Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

Antibiotik Aminoglikosida

Oleh :

Wasista Hanung Pujangga

Pembimbing :

Prof. dr. Agus Sjahrurachman, PhD, SpMK(K)

DEPARTEMEN MIKROBIOLOGI KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA

JAKARTA

2018

1
Aminoglikosida

Pendahuluan
Antibiotika golongan aminoglikosida dikenal juga sebagai aminoglycosidic
aminocyclitol dan pertama kali diperkenalkan pada tahun 1944 yaitu streptomycin. Keunikan
dari antibiotika golongan ini adalah kemampuannya melawan bakteri gram negatif bentuk
batang termasuk Pseudomonas spp. dan Mycobacterium tuberculosis dan insiden resistensi
terhadap antibiotika golongan ini yang relatif rendah. Beberapa jenis aminoglikosida yang
tersedia saat ini antara lain gentamicin, streptomycin, kanamycin, tobramycin, neomycin,
paramoycin, netilmicin dan sisomicin. Aminoglikosida jenis gentamicin, netilmicin dan
sisomicin berasal dari Micromonospora spp. yang dalam penulisan diakhiri dengan akhiran
-micin, sedangkan untuk jenis streptomycin, neomycin, kanamycin, tobramycin dan
paramomycin berasal dari Streptomyces spp. yang dalam penulisan diakhiri dengan akhiran
-mycin. Streptomycin, neomycin, kanamycin, tobramycin dan gentamicin merupakan
aminoglikosida alami, sedangkan amikacin dan netilmicin merupakan turunan semisintetis
dari kanamycin dan sisomicin.(1)
Saat ini di dunia ada beberapa jenis Aminoglikosida yang dikenal, yaitu
gentamicin, streptomycin, kanamycin, tobramycin, neomycin, paramoycin, netilmicin dan
sisomicin. Aminoglikosida jenis streptomycin, neomycin, kanamycin, tobramycin dan
paramomycin yang berasal dari bakteri dari genus Streptomyces diberi nama dengan akhiran
mycin, sedangkan aminoglikosida jenis gentamicin, netilmicin dan sisomicin yang berasal
dari Micromonospora diberi nama dengan akhiran micin. Namun sistem nomenklatur ini
tidak spesifik untuk beberapa aminoglikosida misalnya, vankomisin, antibiotik glycopeptide,
dan eritromisin, antibiotik makrolid yang dihasilkan oleh Saccharopolyspora erythraea,
bersama dengan turunan sintetis klaritromisin dan azitromisin, semua memiliki akhiran yang
sama tetapi mekanisme kerjanya berbeda.(1)

2
Klasifikasi dan struktur kimia
Struktur yang dimiliki Aminoglikosida adalah sebuah cincin heksosa, berupa
streptidin (pada streptomisin) atau 2-deoksistreptamin (pada aminoglikosida lainnya), kepada
berbagai gula amino melekat melalui ikatan glikosidik. Obat ini larut air, stabil dalam larutan
dan lebih aktif pada pH basa daripada asam. (3)

Dougherty TJ, et (eds). Antibiotic Discovery and Development. Springer, 2012 page 236 (2)

3
Berdasarkan struktur kimianya, aminoglikosida dapat diklasifikasikan sebagai
berikut(4) :
1. 4,6-distributed 2-deoxtstreptamines
a. Gentamicin
Merupakan kompleks yang terdiri dari 3 struktur yang berhubungan erat dan juga
merupakan aminoglikosida pertama dengan spektrum luas.
b. Tobramycin
Memiliki aktivitas yang sangat mirip dengan gentamicin tetapi sedikit lebih baik
dalam melawan Pseudomonas aeruginosa.
c. Amikacin
Merupakan turunan sintetis dari kanamycin yang aktif melawan bakteri gram
negatif batang yang resisten terhadap gentamicin.

d. Netilmicin
Spektrum aktivitas mirip seperti amikacin dengan toksisitas yang lebih rendah.
2. 4,5-disubstituted 2-deoxystreptamines
Neomycin
Sangat toksik bila digunakan secara parenteral tetapi dapat digunakan secara
topikal untuk dekontaminasi permukaan mukosa.
3. Streptidine-containing
Streptomycin
Merupakan jenis aminoglikosida yang paling pertama dan saat ini penggunaannya
terbatas untuk pengobatan tuberkulosis.(4)

Gambar 1 Struktur kimia Strepromisin

4
Gambar 2 Struktur kimia Kanamisin dan Amikasin

Gambar 3 Struktur Kimia Tobramisin

5
Gambar 4 Struktur kimia Gentamisin dan Netilmisin

Katzung GB, et al (eds). Basic & Clinical Pharmacology. 13th ed. McGraw Hill. 2015 p. 1077(3)

Berdasarkan gambar struktur dari beberapa antibiotic aminoglikosida di atas, dapat


dijelaskan bahwa cincin II adalah 2-deoxystreptamine. Kemiripan antara kanamisin dan
amikasin serta antara gentamisin, netilmisin dan tobramisin dapat terlihat. Angka yang
dilingkari pada molekul kanamisin menunjukkan tempat serangan dari enzim plasmid-
mediated bacterial transferase yang dapat menginaktivasi obat ini. Nomor 1, 2, dan 3 adalah
enzim asetiltransferase, 4 adalah enzim fosfotransferase, 5 adalah adenililtransferase.
Amikasin dilaporkan resisten pada mekanisme di tempat serangan nomor 2, 3, 4 dan 5.(3)

6
Gambar 5 Struktur Gentamisin sebagai salah satu obat golongan aminoglikosida

Tille PM., Bailey & Scott's Diagnostic Microbiology, 13th Edition. 2014. p 157-158 (5)

Mekanisme kerja aminoglikosida

Cara kerja streptomisin telah diteliti jauh lebih mendalam dibandingkan dengan obat
aminoglikosida lainnya, tetapi semuanya mungkin bekerja dengan cara yang serupa.
Aminoglikosida adalah inhibitor ireversibel sintesis protein, tetapi mekanisme pasti efek
bakterisidal belum diketahui. Proses awal adalah difusi pasif melalui saluran porin menembus
membrane luar. Obat kemudian secara aktif diangkut melalui suatu proses dependan-oksigen.
Gradient elektrokimia transmembrane memasok energi untuk proses ini, dan pemindahan ini
dikaitkan dengan suatu pompa proton. Kedaan anaerob dan pH ekstrasel yang rendah
menghambat pengangkutan dengan mengurangi gradient. Transport ini dapat ditingkatkan
oleh obat-obat yang bekerja pada dinding sel, misalnya penisilin dan vankomisin; penguatan
ini mungkin merupakan dasar dari sinergisme berbagai antibiotic ini dengan aminoglikosida.
(3)

Beberapa mekanisme aminoglikosida yang dapat memberikan signifikansi klinis yaitu:

7
1. Aktivitas antibakteri dari aminoglikosida tergantung pada konsentrasi efektif dari
antibiotik di luar sel.
2. Bakteri anaerob dan induced mutants umumnya resisten, karena tidak memiliki sistem
transport yang sesuai.

3. Dengan tekanan oksigen rendah, seperti di jaringan hipoksia, transfer ke bakteri


berkurang.

4. Kation divalen (kalsium dan magnesium) terletak di LPS, dinding sel, atau membran
dapat mengganggu transportasi ke bakteri karena mereka dapat bereaksi dengan
anionik spesifik dan mengeksklusi aminoglikosida kationik.

5. Gerakan Pasif aminoglikosida melintasi membran sel bakteri difasilitasi oleh pH basa;
pH rendah dapat meningkatkan resistensi membran lebih dari 100 kali lipat.

6. Perubahan osmolalitas juga dapat mengubah penyerapan aminoglikosida.

7. Beberapa aminoglikosida diangkut lebih efisien daripada yang lain dan karena
cenderung memiliki aktivitas antibakteri yang lebih besar.

8. Sinergisme adalah umum ketika aminoglikosida dan β-laktam antibiotik (penisilin dan
sefalosporin) digunakan dalam kombinasi. Cedera dinding sel yang disebabkan oleh
senyawa β-laktam memungkinkan peningkatan penyerapan aminoglikosida oleh
bakteri karena aksesibilitas mudah untuk membran sel bakteri(6)

Farmakokinetik

Aminoglikosida sangat kurang diserap di saluran cerna, dan hampir seluruh dosis oral
di ekskresikan di feses setelah pemberian oral. Namun, obat dapat diserap jika terdapat
ulserasi. (hitner)Setelah penyuntikan intramuscular, aminoglikosida diserap dengan baik,
menghasilkan konsentrasi puncak dalam darah dalam waktu 30-90 menit. Aminoglikosida
biasanya diberikan secara intravena sebagai infus 30-60 menit, setelah suatu fase distribusi
yang singkat, dihasilkan konsentrasi serum yang identic dengan yang terjadi setelah
penyuntikan intramuskuler. Waktu-paruh normal aminoglikosida dalam serum adalah 2 – 3
jam, meningkat menjadi 24-48 jam pada pasien dengan gangguan signifikan fungsi ginjal.
Aminoglikosida hanya secara parsial dan irregular dibersihkan oleh hemodialysis, misalnya
40-60% untuk gentamisin, dan bahkan lebih kurang efektif lagi oleh dialysis peritoneum.(3)

8
Aminoglikosida adalah senyawa yang sangat polar dan tidak mudah masuk ke dalam
sel. Mereka umumnya dikeluarkan dari susunan saraf pusat dan mata. Namun, jika terdapat
peradangan aktif, kadar di cairan serebrospinal dapat mencapai 20% dari kadar plasma, dan
pada meningitis neonatus, kadar mungkin lebih tinggi. Diperlukan penyuntikan intratekal
atau intraventrikel untuk memperoleh kadar yang lebih tinggi di cairan serebrospinal. Bahkan
setelah pemberian parenteral, konsentrasi aminoglikosida tidak terlalu tinggi di sebagian
besar jaringan, kecuali korteks ginjal. Konsentrasi di sebagian besar sekresi umumnya
sedang, di empedu, aminoglikosida dapat mencapai 30% dari kadar darah. Pada pengobatan
jangka panjang, difusi kedalam pleura atau cairan synovium dapat menghasilkan konsentrasi
50-90% dari konsentrasi plasma. (3)

Secara tradisional, aminoglikosid diberikan dalam dua atau tiga dosis setara per hari
pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Namun pemberian dosis harian keseluruhan dalam
satu kali penyuntikan mungkin lebih disukai pada banyak situasi klinis. Aminoglikosida
memiliki kemampuan membasmi bakteri sesuai dengan konsentrasinya, yaitu meningkatkan
konsentrasi akan mematikan lebih banyak bakteri dengan lebih cepat. Mereka juga memiliki
efek pasca-antibiotik yang signifikan, sedemikian sehingga aktivitas antibakteri menetap
melebihi saat obat masih terukur. Efek pasca antibiotik aminoglikosida dapat bertahan
beberapa jam. Karena sifat ini, aminogliokosida dalam jumlah tertentu mungkin memiliki
efikasi lebih baik jika diberikan sebagai dosis tunggal dibandingkan sebagai dosisi terbagi
yang lebih sedikit. Jika diberikan bersama dengan suatu antibiotik yang aktif terhadap
dinding sel (suatu β-laktam atau vankomisin), aminoglikosida memperlihatkan efek
pemusnahan sinergistik bakteri-bakteri tertentu. Efek obat-obat dalam kombinasi lebih besar
daripada efek yang diperkirakan dari masing-masing obat, yaitu efek pemusnahan terapi
kombinasi lebih besar daripada penjumlahan efek masing-masing obat. (3)

Banyak uji klinis memperlihatkan bahwa dosis tunggal hairan aminoglikosida sama
efektifnya dan mungkin kurang toksik dibandingkan dengan dosis multiple yang lebih
rendah. Karena itu dianjurkan aminoglikosida diberikan sebagai dosis harian tunggal. Namun
efikasi pemberian dosis tunggal pada dalam terapi kombinasi untuk endocarditis enterokokus
dan stafilokokus masih perlu dipastikan dan pemberian tiga kali sehari dosis rendah standar
masih dianjurkan. (3)

9
Aminoglikosida dibersihkan oleh ginjal dan ekskresi berbanding lurus dengan klirens
kreatinin. Untuk menghindari penimbunan dan kadar toksik, pemberian dosis sekali sehari
dihindari bila terjadi gangguan fungsi ginjal. Jika klirens kreatinin > 60 mL/menit, dianjurkan
dosis harian tunggal 5-7 mg/kg gentamisin atau tobramisin (15 mg/kg untuk amikasin).
Untuk pasien dengan klirens kreatinin < 60 mL/menit, dianjurkan pemberian dosis
tradisional. Pada pemberian sekali sehari, konsentrasi serum tidak perlu diperiksa secara rutin
sampai hari kedua atau ketiga terapi, bergantung pada stabilitas fungsi ginjal dan perkiraan
lama pengobatan. (3)

Konsentrasi puncak tidak perlu diperiksa karena hasilnya akan tinggi. Tujuannya
adalah memberikan obat sehingga antara 18 dan 24 jam setelah pemberian terdapat
konsentrasi kurang dari 1 mcg/mL. Hal ini memberi cukup waktu untuk pembilasan (wash-
out) obat sebelum dosis berikutnya diberikan. Kadar trough yang sesuai dapat ditentukan
secara akurat dengan mengukur konsentrasi serum dalam sample yang diperoleh 2 jam dan
12 jam setelah pemberian obat dan kemudian menyesuaikan dosis berdasarkan klirens
sebenarnya obat atau dengan mengukur konsentrasi dalam sample yang diambil 8 jam setelah
dosis tunggal. Jika konsentrasi 8 jam terletak antara 1.5 dan 6 mcg/mL, konsentrasi trough
sasaran dapat dicapai pada 18 jam.(3)

Target kerja

Di dalam sel, aminoglikosida berikatan dengan subunit 30S protein ribosom (P12
pada kasus streptomisin). Antibiotik yang mengganggu sintesis protein umumnya
bakteriostatik. Namun, aminoglikosida adalah unik karena sifatnya yang bakterisida. Efek
bakterisida aminoglikosida bersifat concentration dependant, dimana keberhasilan terapi
tergantung pada konsentrasi maksimum (Cmax) obat lebih tinggi daripada konsentrasi
minimum penghambatan (MIC) dari organisme. Untuk aminoglikosida, target Cmax adalah
delapan sampai sepuluh kali MIC. Mereka juga menunjukkan efek pasca antibiotik, dimana
efek penekanan terhadap bakteri tetap terjadi setelah obat kadarnya di bawah MIC. Semakin
besar dosis, semakin lama efek paska antibiotic berlangsung. Karena sifat ini,
memperpanjang selang pemberian obat (dosis tunggal yang besar diberikan sekali sehari)
sekarang lebih umum digunakan daripada dosis harian yang dibagi. Hal ini akan mengurangi
risiko nefrotoksisitas dan meningkatkan kepatuhan dalam minum obat. (7)

10
Sintesis protein dihambat oleh aminoglikosida melalui paling sedikit tiga cara : (8)

1. Interferensi terhadap kompleks inisiasi pembentukan peptide dengan cara blocking


2. Kesalahan pembacaan mRNA pada ribosom, yang menyebabkan terpasangnya asam –
asam amino yang salah ke dalam peptida sehingga terbentuk protein non-fungsional
atau toksik(9)

3. Penguraian polisom menjadi monosomy non-fungsional

Aktivitas – aktivitas ini sedikit banyak terjadi bersamaan, dan efek keseluruhannya bersifat
ireversibel dan mematikan bagi sel.(8)

Gambar 6 Tempat kerja aminoglikosida

Bauman RW. Microbiology - With Diseases by Body System. 4th ed. 2015. P 292 -294(9)

Interaksi Obat
Terjadinya nefrotoksisitas bisa menjadi jelas dengan pemberian bersamaan
aminoglikosida dan berpotensi nefroaktif (seperti diuretik) atau nefrotoksik (seperti NSAID,
vankomisin dan amfoterisin). Blokade neuromuskular lebih mungkin terjadi ketika
aminoglikosida diberikan pada saat yang bersamaan dengan relaksan otot skeletal dan
anestesi gas. Ototoksisitas aminoglikosida ditingkatkan oleh loop-actings diuretik, terutama
furosemide. Depresi kardiovaskular dapat diperburuk oleh aminoglikosida bila diberikan

11
pada hewan yang sedang dibawah pengaruh anestesi halotan. Konsentrasi tinggi karbenisilin,
tikarsilin, dan piperacillin menginaktifkan aminoglikosida karena interaksi langsung baik in
vitro dan in vivo pada penyakit gagal ginjal. (6)

Pada jaman dulu, aminoglikosida telah digunakan dalam kombinasi dengan antibiotik
beta-laktam pada infeksi streptokokus untuk efek sinergistik dan memperluas cakupan,
khususnya pada terapi endokarditis enterokokus serta mempersingkat lama pengobatan untuk
endocarditis streptokokus viridans dan sebagian endocarditis stafilokokus. Salah satu
kombinasi yang paling sering adalah ampisilin (beta-laktam, atau penisilin terkait antibiotik)
dan gentamisin. Seringkali, staf rumah sakit menyebut kombinasi ini sebagai "amp dan gent"
atau lebih baru yang disebut "pen dan gent" untuk penisilin dan gentamisin. (6)

Efek Samping

Efek samping akibat aminoglikosida bergantung pada waktu dan konsentrasi.


Toksisitas kecil kemungkinannnya terjadi sampai konsentrasi ambang tertentu tercapai, tetapi
sekali konsentrasi ini dicapai, waktu setelah ambang ini menjadi penting. Ambang ini belum
didefinisikan secara pasti, tetapi konsentrasi negative sementara di atas 2 mcg/mL bersifat
prediktif untuk toksisitas. Pada dosis yang secara klinis relevan, waktu total diatas ambang ini
lebih lama pada pemberian obat secara multiple, tetapi dosis kecil darpada pemberian obat
sekali sehari dengan dosis besar. (3)

Semua aminoglikosida bersifat ototoksik dan nefrotoksik. Ototoksisitas dan


nefrotoksisitas lebih besar kemungkinannya terjadi jika pengobatan dilanjutkan lebih dari 5
hari, pada dosis tinggi, pada pasien lanjut usia, dan pada keadaan insufisiensi ginjal.
Nefrotoksisitas terjadi pada 5-25% pasien sedangkan ototoksisitas (vestibular atau auditorik)
terjadi pada 0.5 – 3% pasien. Nefrotoksik yang terjadi biasanya reversible, namun tidak pada
ototoksisitas nya.(10)
1. Ototoksisitas

Ototoksisitas dapat muncul sebagai gangguan pendengaran, menyebabkan tinnitus


dan penurunan pendengaran frekuensi tinggi, atau sebagai kerusakan vestibula, berupa
vertigo, ataksia, dan kehilangan keseimbangan. Ototoksisitas (vestibular dan pendengaran)
secara langsung berhubungan dengan kadar puncak obat didalam plasma yang tinggi dan
durasi pengobatan. Antibiotik terakumulasi dalam endolymph dan perilymph dari dalam

12
telinga. Tuli mungkin bersifat ireversibel dan telah diketahui mempengaruhi perkembangan
janin. Pasien yang secara terus menerus mendapat obat ototoksik bersamaan, seperti cisplatin
atau diuretik loop, sangat beresiko mendapatkan efek samping ini. Vertigo (terutama pada
pasien yang menerima streptomisin) mungkin juga terjadi. (7)
2. Nefrotoksisitas

Nefrotoksisitas disebabkan oleh peningkatan kadar kreatinin serum atau berkurangnya


klirens kreatinin, meskipun indikasi paling awal sering berupa peningkatan konsentrasi serum
aminoglikosida. Neomisin, kanamisin, dan amikasin adalah obat yang paling ototoksik.
Streptomisin dan gentamisin adalah obat golongan aminoglikosida yang paling
vestibulotoksik. Neomisin, tobramisin, dan gentamisin, adalah yang paling nefrotoksik. (7)

Dalam dosis yang sangat tinggi, aminoglikosida dapat menyebabkan efek mirip-
kurare berupa blockade neuromuskulus yang menyebabkan paralisis pernapasan. Paralisis
pernapasan biasanya reversible dengan kalsium glukonat (yang diberikan segera) atau
neostigmine. Meskipun jarang, dapat terjadi hipersensitifitas. (7)

Aminoglikosida umumnya digunakan untuk bakteri enteric gram negative, khususnya


jika isolate mungkin resisten terhadap obat dan jika terdapat kecurigaan sepsis.
Aminoglikosida mana dan berapa dosis yang harus digunakan bergantung pada infeksi yang
sedang diobati dan kerentanan isolate. (7)

Indikasi
Aminoglikosida berguna terutama pada infeksi yang disebabkan oleh bakteri aerobik,
bakteri Gram-negatif, seperti Pseudomonas, Acinetobacter, dan Enterobacter. Selain itu,
beberapa Mycobacteria, termasuk bakteri yang menyebabkan tuberkulosis, sensitif terhadap
aminoglikosida. Streptomisin adalah obat yang efektif pertama dalam pengobatan TBC,
meskipun peran aminoglikosida seperti streptomisin dan amikasin telah dikalahkan karena
toksisitasnya, kecuali untuk strain multiple-drug resistan. Penggunaan yang paling sering
aminoglikosida adalah sebagai terapi empirik untuk infeksi serius seperti septikemia, infeksi
intraabdominal dengan komplikasi, infeksi saluran kemih dengan komplikasi, dan infeksi
nosokomial saluran pernapasan. Biasanya, setelah kultur dari organisme penyebab tumbuh
dan kerentanan mereka diuji, aminoglikosida dihentikan untuk menghindari terjadinya toxic
antibiotic. (11)

13
Gambar Indikasi dari masing-masing Antibiotik golongan Aminoglikosida

Hitner H, et al. Pharmacology, an Introduction. 6th ed. 2012. P 721 (12)

Sebagaimana dicatat, aminoglikosida sebagian besar tidak efektif melawan bakteri


anaerob, jamur, dan virus. Infeksi yang disebabkan oleh bakteri Gram-positif juga dapat
diobati dengan aminoglikosida, tetapi masih banyak jenis antibiotik lain yang lebih kuat
dengan efek samping minimal.(6)

Berdasarkan perbedaan spektrumnya, aminoglikosida dapat digolongkan menjadi 3


spektrum, yaitu(6) :

1. Aminoglikosida spektrum sempit


Termasuk dalam kelompok ini adalah streptomisin dan dihydrostreptomycin, yang
terutama aktif terhadap aerobik dan bakteri gram negatif.
2. Aminoglikosida spektrum diperluas
Neomycin, framycetin (neomycin B), paromomycin (aminosidine), dan kanamisin
memiliki spektrum yang lebih luas dari streptomycin yang mencakup banyak bakteri
aerob gram-negatif, serta aktivitas sinergis menuju organisme gram positif yang
dipilih. Gentamisin, tobramycin, amikasin (disintesis dari kanamisin), sisomicin, dan
netilmisin adalah aminoglikosida dengan spektrum yang diperluas yang mencakup
Pseudomonas aeruginosa.

3. Antibiotik Miscellaneous aminoglikosida


Struktur kimia apramycin agak berbeda dari struktur khas aminoglikosida tapi cukup

14
mirip dengan dimasukkan dalam kelas ini. Struktur spectinomycin tidak biasa, tapi itu
cukup sebanding dengan aminocyclitols lain berkenaan dengan mekanisme kerjanya
dan spektrum antibakteri.(6)

Dosis Aminoglikosida

Karena toksisitas lebih tergantung pada durasi dari level terapeutik dari pada peak
level dan karena khasiat adalah concentration-dependent lebih baik daripada time-dependent,
maka frekuensi pemberian dosis sering dihindari. Dosis IV sekali sehari lebih disukai untuk
sebagian indikasi kecuali untuk endokarditis enterococcal. Pemberian aminoglikosida secara
IV dilakukan dengan cara penyuntikkan perlahan-lahan (30 menit dibagi dosis harian atau 30
sampai 45 menit untuk dosis sekali sehari.(13)

Pada pasien dengan fungsi ginjal normal, dosis gentamisin atau tobramisin sekali
sehari adalah 5 mg / kg (7 mg / kg jika pasien sakit kritis) per 24 jam, dan dosis untuk
amikasin sekali sehari adalah 15 mg / kg per 24 jam. Jika pasien merespon 7 mg / kg dosis
gentamisin klinis dan fungsi ginjal terus menjadi normal, dosis harian dapat dikurangi
menjadi 5 mg / kg setelah beberapa hari pertama pengobatan.(13)

Pada pasien sakit kritis, kadar serum puncak harus ditentukan setelah dosis pertama.
Pada semua pasien, tingkat tertinggi dan terendah diukur setelah dosis ke 2 atau 3 (ketika
dosis harian dibagi) atau ketika terapi berlangsung > 3 hari, serta setelah dosis berubah.
Kreatinin serum diukur setiap 2 sampai 3 hari, dan jika itu stabil, tingkat aminoglikosida
serum tidak perlu diukur lagi. Puncak konsentrasi tingkat 60 menit setelah suntikan IM atau
30 menit setelah akhir infus 30-min IV. tingkat endapan diukur selama 30 menit sebelum
dosis berikutnya.(13)

Puncak dalam serum minimal 10 kali MIC yang diinginkan. Dosis disesuaikan untuk
memastikan tingkat puncak serum terapi dan level intoksikasi. Pada pasien sakit kritis, yang
cenderung memiliki volume distribusi yang diperluas dan yang diberikan dosis awal yang
lebih tinggi, kadar serum puncak sasaran dapat mencapai 16 - 24 ug / mL untuk gentamisin
dan tobramycin serta 56-64 mg / mL untuk amikasin. Untuk gentamisin dan tobramycin,
trough level harus <1 mg / mL pada 18 sampai 24 jam setelah dosis pertama dengan dosis
sekali sehari dan antara 1 dan 2 mg / mL dengan dosis harian dibagi.(13)

15
Untuk pasien dengan insufisiensi ginjal, dosis muatan adalah sama dengan yang untuk
pasien dengan fungsi ginjal normal; biasanya, interval dosis lebih ditingkatkan daripada
menurunkan dosis. Pedoman dosis pemeliharaan berdasarkan kreatinin atau kreatinin nilai
cukai serum yang tersedia biasanya kurang tepat, sehingga pemeriksaan laboratorium
dianggap lebih akurat.(13)

Jika pasien mendapat dosis tinggi dari β-laktam (misalnya, piperacillin, tikarsilin) dan
aminoglikosida, kadar serum tinggi dari β-laktam dapat menonaktifkan aminoglikosida in
vitro dalam spesimen serum yang diperoleh untuk menentukan tingkat obat kecuali spesimen
diuji segera atau dibekukan. Jika pasien gagal ginjal yang bersamaan mendapat
aminoglikosida dan dosis tinggi β-laktam, tingkat aminoglikosida serum mungkin lebih
rendah karena interaksi in vivo berkepanjangan.(13)

Kontraindikasi

Menurut Food and Drug Administration (FDA), obat golongan aminoglikosida


termasuk dalam kategori D dimana seharusnya tidak digunakan selama kehamilan.
Aminoglikosida telah terbukti menyebabkan kerusakan janin, khususnya gangguan
pendengaran dan tuli.(14) Aminoglikosida dapat memperburuk kelemahan pada pasien dengan
miastenia gravis, dan penggunaan oleh karena itu dihindari pada pasien ini. Aminoglikosida
kontraindikasi pada pasien dengan penyakit mitokondria karena dapat mengakibatkan
gangguan terjemahan mtDNA, yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran, toksisitas
jantung, dan toksisitas ginjal.(13)

Pencegahan Relaps
Dalam pencegahan relaps terhadap penyakit yang diobati dengan obat golongan
aminoglikosida, sangat erat hubungannya dengan mekanisme resistensi obat. Adapun salah
satu laporan resistensi adalah terhadap obat anti-TB yang mulai tak lama setelah pengenalan
awal antibakteri obat untuk pengobatan TB. Sudah, selama uji klinis acak pertama (RCT)
pada 1940-an, resistensi terhadap streptomisin terdeteksi pada mayoritas pasien yang diobati.
Penyebaran strain yang resistan terhadap obat segera diakui dan, meskipun pengenalan
rejimen obat kombinasi seluruh dunia bertahun-tahun yang lalu, kehadiran resistensi obat
telah didokumentasikan dengan meningkatnya frekuensi dari geografis.(15)

16
Terdapat beberapa mekanisme resistensi pada aminoglikosida, yaitu:

1. Pembentukan suatu enzim transferase yang menginaktifkan aminoglikosida dengan


adenililasi, asetilasi, atau fosforilasi yang biasa disebut aminoglikosida modifying
enzyme (AME). Ini adalah jenis utama resistensi yang dijumpai secara klinis.

Gambar Struktur prototipe aminoglikosida terdiri dari heksosa amino dihubungkan melalui
linkage glikosidik ke pusat inti 2-deoxystreptamine

Goering RV, et al (eds). Mims' Medical Microbiology. 5th ed. 2014 p.458-460(4)

2. Gangguan masuknya aminoglikosida ke dalam sel, gangguan pompa efluks. Hal ini
bersifat genotipik, terjadi karena mutase atau fenotipik, misalnya terjadi karena
kondisi pertumbuhan ketika proses transport dependan oksigen seperti dijelaskan
sebelumnya tidak berjalan.
3. Protein reseptor di subunit 30S ribosom mungkin lenyap atau berubah akibat
mekanisme mutasi dari ribososm ataupun modifikasi ribosom oleh enzyme
methyltransferase.

4. Modifikasi membrane sel kuman (15)

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Brunton LL, et al. Goodman and Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics.
12th ed. 2011 p. 1350-1363
2. Dougherty TJ, et (eds). Antibiotic Discovery and Development. Springer, 2012 page 229
– 269
3. Katzung GB, et al (eds). Basic & Clinical Pharmacology. 13th ed. McGraw Hill. 2015 p.
1076 - 1086
4. Goering RV, et al (eds). Mims' Medical Microbiology. 5th ed. 2014 p.458-460.
5. Tille PM., Bailey & Scott's Diagnostic Microbiology, 13th Edition.2014. p 157-158

6. DVM Boothe, DVM, PhD, 2012, Aminoglycosides (Aminocyclitols), The Merck


Veterinary Manual accessed
http://www.merckvetmanual.com/mvm/pharmacology/antibacterial_agents
/aminoglycosides.html

7. Whalen, et al. Lippincott Illustrated Reviews, Pharmacology. 6 th Ed. Lippincott Williams


& Wilkins. 2015 p 503-505
8. Brooks FG, et al (eds). Jawetz, Melnick & Adelberg's Medical Microbiology. 26th ed.
2013 p 374
9. Bauman RW. Microbiology - With Diseases by Body System. 4th ed. 2015. P 292 -294
10. Guerrant RL, et al. Tropical Infectious Disease, Principles Pathogens & Practices. 3rd ed.
2011.
11. Papadakis MA, et al (eds). Current Medical Diagnosis & Treatment. 52nd ed. 2013. P
1298-1306
12. Hitner H, et al. Pharmacology, an Introduction. 6th ed. 2012. P 721-722

13. ME Levison, MD, 2012, Aminoglycosides, The Merck Manual [1], accessed
http://www.merckmanuals.com/professional/infectious-diseases/bacteria-and-antibacterial-
drugs/aminoglycosides?qt=&sc=&alt=

14. Remington JS, et al. Infectious Diseases of the Fetus and Newborn Infant. 7th ed. 2011 p.
1177-1183
15. Tsodikova SD, Labby KJ., Jan 2016. Mechanisms of Resistance to Aminoglycoside
Antibiotics: Overview and Perspectives, Medchemcom, accessed
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4752126/

18

Anda mungkin juga menyukai