Anda di halaman 1dari 29

Asuhan Keperawatan

Pada Klien Karsinoma


Nasofaring
Kamis, 12 Mei 2016

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN CA NASOFARING

MAKALAH
SISTEM RESPIRASI 1
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN
CA NASOFARING
Dosen pembimbing     : Suratmi, S.Kep. Ns. M.kep
Disusun Oleh : Kelompok 1 (2A)
1.      Andri Wijaya                          (1402011392)
2.      Dewi Nur Fitriana                   (1402011400)
3.      Lukvian Lingga Anggara        (1402011412)
4.      Novita Sari                              (1402011419)
5.      Oktaria Firman Naf’ah            (1402011424)
6.      Vicky Charchev Yusa S          (1402011437)
7.      Ninda Junita                          (1402011881P)

PROGRAM STUDY S1 KEPERAWATAN


STIKES MUHAMMADYAH LAMONGAN
2014/2015
 
LEMBARAN PENGESAHAN
Oleh:
Kelompok 1 (2A)
1.     Andri Wijaya                       (1402011392)
2.     Dewi Nur Fitriana                (1402011400)
3.     Lukvian Lingga Anggara      (1402011412)
4.     Novita Sari                          (1402011419)
5.     Oktaria Firman Naf’ah        (1402011424)
6.     Vicky Charchev Yusa S        (1402011437)
7.     Ninda Junita                       (1402011881P)

Diterima dan Disetujui Untuk Seminar

Lamongan,  2 Juni 2015

Pembimbing

Suratmi, S.Kep. Ns. M.kep

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, atas luasnya
limpahan rahmat dan hidayah-Nya hingga akhirnya makalah “Asuhan Keperawatan Pada
Klien Ca Nasofaring” ini dapat diselesaikan sebagaimana mestinya. Shalawat dan salam tidak
lupa kami panjatkan atas junjungan Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,
para sahabatnya serta ummatnya yang senantiasa iltizam diatas kebenaran hingga akhir
zaman.
Penulisan makalah ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memenuhi tugas
mata kuliah “SISTEM RESPIRASI I”. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan dan
penulisan makalah ini penuh keterbatasan dan masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu,
saran yang konstruktif merupakan bagian yang tak terpisahkan dan senantiasa kami harapkan
demi penyempurnaan makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini kami mendapatkan banyak bantuan dan dorongan dari
berbagai pihak, kami menyampaikan penghargaan atas apresiasi yang telah disumbangkan
kepada penulis serta ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1.      Dosen pembimbing Ibu “Suratmi, S.Kep. Ns. M.kep”     .
2.      Serta teman-teman yang telah memberikan motivasi kepada penulis.
Semoga segala bantuan yang telah diberikan mendapat pahala yang berlipat ganda disisi
Allah SWT.Akhirnya penulis berharap semoga jurnal penelitian ini dapat bermanfaat.
Allahumma Amin.

Lamongan, 2 Juni 2015

Penulis
                                                DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................i
KATA PENGANTAR................................................................................. ii
DAFTAR ISI................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................... 2
1.3  Tujuan Penulisan..................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.2  Pengertian karsinoma nasofaring............................................................ .3
2.2 Etiologi dari karsinoma nasofaring......................................................... 3
2.3 Anatomi dari fisiologi nasofaring........................................................... 6
2.3  Tanda dan gejala karsinoma nasofaring.................................................. 8
2.5 Patofisiologi karsinoma nasofaring......................................................... 9
2.6 Pencegahan karsinoma nasofaring.......................................................... 11
2.7 Pathway pada karsinoma nasofaring....................................................... 12
2.8 Pemeriksaan penunjangan pada karsinoma nasofaring........................... 13
2.9 Penatalaksanaan karsinoma nasofaring................................................... 15
2.10 Proknosis pada karsinoma nasofaring................................................... 17
2.11 Komplikasi karsinoma nasofaring......................................................... 17
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN KARSINOMA NASOFARING
3.1 Pengkajian............................................................................................... 19
3.2 Diagnosa Keperawatan........................................................................... 26
3.3 Intervensi Keperawatan.......................................................................... 26
3.4 Implememntasi Keperawatan.................................................................. 32
3.5 Evaluasi................................................................................................... 34
BAB IV PENUTUP                                   
4.1 Kesimpulan............................................................................................. 35
4.2 Saran....................................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 36

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

      Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai
diantara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring temasuk dalam lima
besar tumor ganas, dengan frekuensi tertinggi (bersama tumor ganas serviks uteri, tumor
payudara, tumor getah bening dan tumor kulit), sedangkan di daerah kepala dan leher
menduduki tempat pertama (KNF mendapat persentase hampir 60% dari tumor di daerah
kepala dan leher, diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor
ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah).
      Santoso (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF berdasarkan data
patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair Surabaya (1973-1976)
diantara 8463 kasus keganasan diseluruh tubuh. Di bagiam THT Semarang mendapatkan 127
kasus KNF dari tahun 2000-2002. Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada
tahun 1980 secara “pathology based” mendapatkan angka pravalensi karsinoma nasofaring
4,7 per 100.000 penduduk atau diperkirakan 7000-8000 kasus per tahun diseluruh Indonesia.
      Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu masalah,
hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak
nasofaring yang tersembunyi, dan tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahli
sehingga diagnosis sering terlambat, dengan ditemukannya metastasis pada leher sebagai
gejala pertama. Dengan makin terlambatnya diagnosis maka prognosis (angka bertahan hidup
5 tahun) semakin buruk.
      Dengan melihat hal tersebut, diharapkan tenaga kesehatan khususnya perawat dapat
berperan dalam pencegahan, deteksi diri, terapi maupun rehabilitasi dari karsinoma
nasofaring ini. Penulis berusaha untuk menuliskan aspek-aspek yang dirasakan perlu untuk
dipahami melalui tinjauan  pustaka dalam referat ini dan diharapkan dapat bermanfaat.

1.2 Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Asuhan keperawatan pada klien dengan karsinoma nasofaring ?

1.3 Tujuan
1.      Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan karsinoma nasofaring

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian karsinoma nasofaring


            Karsinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel ephitalial yang
cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan metastasis (Mangan, 2009).
            Nasofaring adalah suatu rongga dengan dinding kuku di atas, belakang dan lateral
yang anatomi termasuk bagian faring (Pearce, 2009).
            Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh pada ephitalial pelapis
ruangan dibelakang hidung (nasofaring) dan belakang langit-langit rongga mulut dengan
predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring. Karsinoma nasofaring merupakan
tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60 %
tumor ganas daerah kepala dan leher merupakan kanker nasofaring., kemudian diikuti tumor
ganas hidung dan paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil,
hipofaring dalam prosentase rendah (Huda Nurarif & Kusuma, 2013).
            Karsinoma Nasofaring sebagian besar adalah tipe epidermoid dengan potensi invasi
ke dasar tulang tengkorang yang menyebabkan neuropati kranial (Lucente, 2011).
            Pada banyak klien, karsinoma nasofaring banyak terdapat pada ras monggoloid yaitu
penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Thailand, Malaysia, dan Indonesia juga di daerah
India. Ras kulit putih jarang ditemui terkena kanker jenis ini. Selain itu kanker nasofaring
juga merupakan jenis kanker yang ditemukan secara genetik (Mangan, 2009).

2.2 Etiologi karsinoma nasofaring


            Kanker ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita dengan rasio 2-3-1 dan
apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubugannya dengan
faktor genetic, kebebasan hidup, pekerjaan dan lain-lain. Distribusi umur pasien dengan KNF
berbeda-beda pada daerah dengan insiden yang bervariasi. Pada daerah dengan insiden tinggi
KNF meningkat setelah umur 30 tahun, puncaknya pada umur 40-59 tahun dan menurun
setelahnya (Ernawati, Kadrianti, & Basri, 2004).
            Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya kanker nasofaring adalah (Mangan,
2009):
1.      Kerentanan Genetik
Walaupun Ca Nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan terhadap Ca
Nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol dan memiliki fenomena
agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA ( Human luekocyte antigen ) dan
gen pengode enzim sitokrom p4502E ( CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan
terhadap Ca Nasofaring, mereka berkaitan dengan timbulnya sebagian besar Ca Nasofaring .
Penelitian menunjukkan  bahwa kromosom pasien Ca Nasofaring menunjukkan
ketidakstabilan, sehingga lebih rentan terhadap serangan berbagai faktor berbahaya dari
lingkungan dan timbul penyakit.
2.      Virus Epstein Barr
Metode imunologi membuktikan virus EB membawa antigen yang spesifik  seperti antigen
kapsid virus (VCA), antigen membran (MA), antigen dini (EA), antigen nuklir (EBNA), dll.
Virus EB  memiliki kaitan erat dengan Ca Nasofaring , menurut (Zulkarnain Haq,
2011) alasannya adalah:
a.       Di dalam serum pasien Ca Nasofaring ditemukan antibodi terkait virus EB ( termasuk VCA-
IgA, EA-IgA, EBNA, dll ) , dengan frekuensi positif maupun rata-rata titer geometriknya
jelas lebih tinggi dibandingkan orang normal dan penderita jenis kanker lain, dan titernya
berkaitan positif dengan beban tumor . Selain itu titer antibodi dapat menurun secara bertahap
sesuai pulihnya kondisi pasien dan kembali meningkat bila penyakitnya rekuren atau
memburuk.
b.      Di dalam sel Ca Nasofaring dapat dideteksi  zat petanda  virus EB seperti DNA virus dan
EBNA.
c.       Epitel nasofaring di luar tubuh bila diinfeksi dengan galur sel mengandung virus EB,
ditemukan epitel yang terinfeksi tersebut tumbuh lebih cepat , gambaran pembelahan inti juga
banyak.
d.      Dilaporkan virus EB di bawah pengaruh zat karsinogen tertentu dapat menimbulkan
karsinoma tak berdiferensiasi pada jaringan mukosa nasofaring fetus manusia.
Virus Epstein Barr dengan ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya penyakit
ini. Virus ini dapat masuk dalam tubuh dan tetap tinggal disana tanpa menyebabkan suatu
kelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu
mediator kebiasaan untuk mengkonsumsi ikan asin secara terus menerus mulai dari masa
kanak-kanak. Mediator yang berpengaruh untuk timbulnya Ca Nasofaring :
1.      Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamine.
2.      Keadaan social ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.
3.      Sering kontak dengan Zat karsinogen ( benzopyrenen, benzoantrance, gas kimia, asap
industri, asap kayu, beberapa ekstrak tumbuhan).
4.      Ras dan keturunan (Malaysia, Indonesia)
5.      Radang kronis nasofaring
6.      Profil HLA
(Huda Nurarif & Kusuma, 2013)
3.      Faktor Lingkungan (Zulkarnain Haq, 2011)
Faktor lingkungan juga berperan penting. Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat berikut
berkaitan dengan timbulnya Ca Nasofaring :
1.      Hidrokarbon aromatik, pada keluarga di area insiden tinggi kanker nasofaring , kandungan
3,4- benzpiren dalam tiap gram debu asap mencapai 16,83 ug, jelas lebih tinggi dari keluarga
di area insiden rendah.
2.      Unsur renik : nikel sulfat dapat memacu efek karsinognesis pada proses timbulnya kanker
nasofaring.
3.      Golongan nitrosamin :  banyak terdapat pada pengawet ikan asin. Terkait dengan kebiasaan
makan ikan asin waktu kecil, di dalam air seninya terdeteksi nitrosamin volatil yang berefek
mutagenik.

            Pembagian Karsinoma Nasofaring (Huda Nurarif & Kusuma, 2013)


-          Menurut Histopatologi :
1.    Well differentiated epidermoid carconoma
      Keratinizing
      Non Keratinizing
2.    Undiffentiated epidermoid carcinoma = anaplastic carcinoma
3.    Adenocystic carcinoma
‐            Menurut bentuk dan cara tumbuh
1.      Ulseratif
2.      Eksofilik : Tumbuh keluar seperti polip
3.      Endofilik : Tumbuh di bawah mukosa, agar sedikit lebih tinggi dari jaringan sekitar
‐            Klasifikasi Histopatologi menurut WHO (1982)
Tipe WHO 1
      Karsinoma sel skuamosa (KSS)
      Deferensiasi baik sampai sedang
      Sering eksofilik (tumbuh dipermukaan)
Tipe WHO 2
      Karsinoma non keratinisasi (KNK)
      Paling banyak pariasinya
      Menyerupai karsinoma transisional
Tipe WHO 3
      Karsinoma tanpa diferensiasi (KTD)
      Seperti antara lain limfoepitelioma, karsinoma anaplastik, “Clear Cell Carsinoma”, varian sel
epitel
      Lebih radiosensitif, prognosis lebih baik

2.3 Anatomi fisiologi nasofaring


            Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral,
terletak di bawah dasar tengkorak, belakang naris posterior, dan di atas palatum mole (Pearce,
2009). 4 batas nasofaring (Gibson, 2002) :
         Superior : Basis krani, diliputi oleh mukosa dan fascia
         Inferior : Bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, bersifat subjektif
karena tergantung dari palatum durum
         Anterior : Choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri
         Posterior : vertebra servicalis I dan II, Fascia space rongga yang berisi jaring longgar,
Mukosa lanjutan dari mukosa atas
         Lateral : Mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang, Muara tuba eustachii, Fossa
rosenmulleri
            Pada dinding lateral nasofaring lebih kurang 1,5 inci dari bagian belakang konka nasal
inferior terdapat muara tuba eustachius. Pada bagian belakang atas muara tuba eustachius
terdapat penonjolan tulang yang disebut torus tubarus dan dibelakannya terdapat suatu
lekukan dari fossa Rosenmuller dan tepat diujung atas posteriornya terletak foramen laserum.
Pada daerah fossa ini sering terjadi pertumbuhan jaringan limfe yang menyempitkan muara
tuba eustachius sehingga mengganggu ventilasi udara telinga tengah (Anas, 2008).
            Dinding lateral nasofaring merupakan bagian terpenting, dibentuk oleh lamina
faringobasilaris dari fasia faringeal dan otot konstriktor faring superior. Fasia ini mengandung
jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale, foramen jugularis, kanalis karotis dan
kanalis hipoglossus. Struktur ini penting diketahui karena merupakan tempat penyebaran
tumor ke intrakranial (Pratiwi, 2012).
            Nasofaring berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi karena
dindingnya dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum molle. Nasofaring akan
tertutup bila palatum molle melekat ke dinding posterior pada waktu menelan, muntah,
mengucapkan kata-kata tertentu (Pratiwi, 2012).
            Struktur penting yang ada di Nasofaring (Gunardi & Saputra, 2012)
1.      Ostium Faringeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva
2.      Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan karena
cartilago tuba auditiva
3.      Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum yang disebabkan karena musculus
levator veli palatini
4.      Plica salpingopalatina. Lipatan di depan torus tubarius
5.      Plica salpingopharingea, lipatan di belakang torus tubarius, merupakan penonjolan dari
musculus salpingopharingeus yang berfungsi untuk membuka ostium faringeum tuba auditiva
terutama ketika menguap atau menelan
6.      Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan tempat predileksi
Karsinoma Nasofaring
7.      Tonsila Pharingea, dibentuk oleh jaringan limfoid yang terbenam di dinding posterior
nasopharing. Disebut adenoid jika ada pembesaran. Sedangkan jika ada inflamasi disebut
adenoiditis
8.      Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus
9.      Isthmus pharinggeus merupakan suatu penyempitan di antara nasopharing dan oropharing
karena musculus sphincterpalatopharing
10.  Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raffae pharingei

Fungsi nasofaring
  Sebagai jalan udara pada respirasi
  Jalan udara ke tuba eustachii
  Resonator
  Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung

2.4 Tanda dan gejala karsinoma nasofaring


            Karsinoma nasofaring biasanya dijumpai pada dinding lateral dari nasofaring
termasuk fossa rosenmuler. Yang kemudian dapat menyebar ke dalam ataupun keluar
nasofaring ke sisi lateral lainnya dan atau posterosuperior dari dasar tulang tengkorok atau
palatum, rongga hidung atau orofaring. Metastase khususnya ke kelenjar getah bening
servikal. Metastase jauh dapat mengenai tulang, paru-paru, mediastinum dan hati (jarang).
Gejala yang akan timbul tergantung pada daerah yang terkena. Sekitar separuh pasien
memiliki gejala yang beragam, tetapi sekitar 10% asimtomatik. Pembesaran dari kelenjar
getah bening leher atas yang nyeri merupakan gejala yang paling sering dijumpai. Gejala dini
karsinoma nasofaring sulit dikenali oleh karena mirip dengan saluran nafas atas (Lucente,
2011).
            Pada Karsinoma nasofaring, paresis fasialis jarang menjadi manifestasi awal. Karena
lokasinya, karsinoma nasofaring menimbulkan sindrom penyumbatan tuba dengan tuli
konduktif sebagai keluhan. Perluasan infiltratif karsinoma nasofaring berikutnya
membangkitkan perdarahan dan penyumbatan jalan lintasan napas melalui hidung. Setelah
itu, pada tahap berikutnya dapat timbul gangguan menelan dan kelumpuhan otot mata luar
(paralisis okular) (Muttaqin, 2008).
            Gejala nasofaring yang pokok adalah (Huda Nurarif & Kusuma, 2013) :
1.      Gejala Hidung
      Epiktasis : rapuhnya mukosa hidung sehingga mudah terjadi perdarahan
      Sumbatan Hidung : sumbatan menetap karena pertumbuhan tumor kedalam rongga
nasofaring dan menutupi koana, gejalanya adalah pilek kronis, ingus kental, gangguan
penciuman
2.      Gejala Telinga
      Kataralis/Oklusi tuba Eustachii : tumor mula-mula pada fossa rosenmuler, pertumbuhan
tumor dapat menyebabkan penyumbatan muara tuba (berdengung, rasa penuh, kadang
gangguan pendengaran)
      Otitis Media Serosa sampai perforasi dan gangguan pendengaran
      Sering kali pasien datang sudah dalam kondisi pendengaran menurun, dan dengan tes rinne
dan webber, biasanya akan ditemukan tuli konduktif
3.      Gejala Mata
      Pada penderita KNF seringkali ditemukan adanya diplopia (penglihatan ganda) akibat
perkembangan tumor melalui foramen laseratum dan menimbulkan gangguan N. IV dan N.
VI. Bila terkena chiasma opticus akan menimbulkan kebutaan
4.      Gejala Lanjut
      Limfadenopati servikal : melalui pembuluh limfe, sel-sel kanker dapt mencapai kelenjar
limfe dan bertahan disana. Dalam kelenjar ini sel tumbuh dan berkembang biak hingga
kelenjar membesar dan tampak benjola di leher bagian samping, lama-kelamaan karena tidak
dirasakan kelenjar akan berkembang dan melekat pada otot sehingga sulit digerakkan
5.      Gejala Kranial
Gejala Kranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai saraf-saraf kranialis.
Gelajanya antara lain :
      Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase secara hematogen
      Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang
      Kerusakan pada waktu menelan
      Afoni
      Sindrom Jugular Jackson atau sindrom reptroparotidean mengenai N. IX, N. X, N. XI, N.
XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada Lidah, palatum, Faring atau laring, M.
Sternocleidomastoideus, dan M. trapezeus

2.5 Patofisiologi karsinoma nasofaring


            Sel-sel epitel ganas nasofaring adalah sel poligonal besar dengan komposisi syncytial.
Sel-sel tidak menunjukkan parakeratosis atau kornifikasi dan sering bercampur dengan sel-sel
limfoid di nasofaring, sehingga dikenal sebagai lymphoepithelioma. Sudah hampir dipastikan
ca nasofaring disebabkan oleh virus eipstein barr. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai
adanya protein-protein laten pada penderita ca. nasofaring. Sel yang terinfeksi oleh EBV akan
menghasilkan protin tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan
kelangsungan virus di dalam sel host. Protein tersebut dapat digunakan sebagai tanda adanya
EBV, seperti EBNA-1 dan LMP-1, LMP-2A dan LMP-2B. EBNA-1 adalah protein nuclear
yang berperan dalam mempertahankan genom virus. EBV tersebut mampu aktif dikarenakan
konsumsi ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat karsinogen yang  menyebabkan
stimulasi pembelahan sel abnormal yang tidak terkontrol, sehingga terjadi differensiasi dan
proliferasi protein laten(EBNA-1). Hal inilah yang memicu pertumbuhan sel kanker pada
nasofaring, dalam hal ini terutama pada fossa Rossenmuller (Wei & Sham, 2005).
            Penggolongan Ca Nasofaring (Huda Nurarif & Kusuma, 2013) :
      Tumor Size (T)

1.      T : Tumor primer


2.      T0 : Tidak tampak tumor
3.      T1 : Kanker terbatas di rongga nasofaring
4.      T2 : Kanker menginfiltrasi kavum  nasal, orofaring atau di celah parafaring  di anterior dari
garis SO ( garis penghubung prosesus stiloideus dan margo posterior  garis tengah foramen 
magnum os oksipital ).
5.      T3 : Kanker di celah parafaring di posterior garis SO atau mengenai basis kranial, fosa
pterigopalatinum atau terdapat rudapaksa tunggal syaraf kranial kelompok anterior atau
posterior.
6.      T4 : Saraf kranial kelompok anterior dan posterior terkena serentak, atau kanker mengenai
sinus paranasal, sinus spongiosus, orbita, fosa infra-temporal.
      Regional Limfe Nodes (N)
7.      N0 : Belum teraba pembesaran kelenjar limfe .
8.      N1 : Kelenjar limfe koli superior berdiameter  < 4 cm.
9.      N2 : Kelenjar koli inferior membesar atau berdiameter 4-7 cm.
10.  N3 : Kelenjar limfe supraklavikular membesar atau berdiameter > 7 cm
      Metastase Jauh (M)

11.  M0 : Tak ada metastasis jauh.


12.  M1 : Ada metastasis jauh.
Penggolongan stadium klinis, antara lain :
1.      Stadium I        : T1N0M0
2.      Stadium II       : T2N0 – 1M0, T0 – 2N1M0
3.      Stadium III     : T3N0 -  2M0, T0 – 3N2M0
4.      Stadium Iva    : T4N0 – 3M0, T0 – 4N3M0
5.      Stadium Ivb    : T apapun, N Apapun, M1

2.6  Pencegahan Karsinoma nasofaring


1.    Ciptakan lingkungan hidup dari lingkungan kerja yang sehat, serta usahakan agar pergantian
udara lancar.
2.    Hindari polusi udara, seperti kontak dengan gas hasil kimia, asap industri, asap kayu, asap
rokok, asap minyak tanah, dan polusi lain yang mengaktifkan virus Epstein Bar.
3.    Hindari mengkonsumsi makanan yang diawetkan, makanan yang panas, atau makanan yang
merangsang selaput ledir.
(Mangan, 2009)

-  Geografis         - infeksi
-  Jenis kelamin  - Genetik
-  Pekerjaan        - Gaya Hidup
-  Makanan diawetkan
Virus Eistain Barr
2.6 Patway Karsinoma Nasofaring
Metastasis sel-sel kanker getah bening melalui aliran limfe
Nyeri
Penyumbatan Muara tuba
Karsinoma Nasofaring
Pertumbuhan dan perkembangan sel-sel kanker di kelenjar getah bening
Pertumbuhan sel abnormal
Kelenjar melekat pada otot dan sulit digerakkan
Penekanan pada tuba eustacius
Benjolan massa pada leher bagian samping
Menembus kelenjar dan mengenai otak dibawahnya
Obstruksi jalan nafas
Hidung tersumbat dan adanya sekret
Ketidakefektifan bersihan jalan napas
Mengiritasi sel nasofaring 
Hambatan komunikasi verbal
Gangguan Pendengaran

Infeksi dan menutupi koana


Tumor mula-mula pada fossa rosenmuler
Gangguan harga diri rendah
Perubahan sel pada nasofaring
Obstruksi pada waktu menelan
Suplai nutrisi jaringan menurun
Intake kurang
BB menurun
Ketidakseimbangan nutrisi kuramg dari kebutuhan tubuh
Berdengung
Resiko infeksi
ketidakkuatan pertahanan sekunder imunosupresi

 
2.7 Pemeriksaan Penunjang
            Untuk mencapai diagnosis dini harus melaksanakan hal berikut (Lucente, 2011) :
1.      Tindakan kewaspadaan, perhatikan keluhan utama pasien.
Pasien dengan epiktasis aspirasi balik, hidung tersumbat menetap, tuli unilateral,
limfadenopati leher tak nyeri, sefalgia, rudapaksa saraf kranial dengan kausa yang tak jelas,
dan keluhan lain harus diperiksa teliti rongga nasofaringya dengan nasofaringoskop indirek
atau elektrik.
2.    Pemeriksaan kelenjar limfe leher.
Perhatikan pemeriksaan kelenjar limfe rantai vena jugularis interna, rantai nervus aksesorius
dan arteri vena transvesalis koli apakah terdapat pembesaran.
3.      Pemeriksaan saraf kranial
Terhadap saraf kranial tidak hanya memerlukan pemeriksaan cermat sesuai prosedur rutin
satu persatu , tapi pada kecurigaan paralisis otot mata, kelompok otot kunyah  dan lidah
kadang perlu diperiksa berulang kali, barulah ditemukan hasil yang positif
4.      Pemeriksaan serologi virus EB
Dewasa ini, parameter rutin yang diperiksa untuk penapisan kanker nasofaring adalah VCA-
IgA, EA-IgA, EBV-DNAseAb. Hasil positif pada kanker nasofaring berkaitan dengan kadar
dan perubahan antibodi tersebut.  Bagi yang termasuk salah satu kondisi berikut ini dapat
dianggap memilki resiko tinggi kanker nasofaring :
                         i.     Titer antibodi VCA-IgA >= 1:80

                       ii.     Dari pemeriksaan VCA-IgA, EA-IgA dan EBV-DNAseAb, dua diantara tiga indikator

tersebut positif.
                     iii.     Dua dari tiha dari indikator pemeriksaan diatas, salah satu menunjukkan titer yang tinggi

kontinyu atau terus meningkat.


Bagi pasien yang memenuhi patokan tersebut , harus diperiksa teliti dengan nasofaringoskop
elektrik , bila perlu dilakukan biopsi. Yang perlu ditekankan adalah perubahan serologi virus
Eb dapat menunjukkan reaksi positif  4 – 46 bulan sebelum diagnosis kanker nasofaring
ditegakkan.

 Diagnosis pencitraan (Lucente, 2011).


1.      Pemeriksaan CT Scan : makna klinis aplikasinya adalah membantu menggambarkan invasi
baik ke bidang fasial paranasofaringeal dan invasi tulang tengkorak tanpa kelumpuhan nervus
kranialis, memastikan luas lesi, penetapan stadium secara adekuat, secara tepat menetapkan
zona target terapi, merancang medan radiasi, memonitor kondisi remisi tumor pasca terapi
dan pemeriksaan tingkat lanjut (Schwartz, 2000).
2.      Pemeriksaan MRI : MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan lunak, dapat serentak
membuat potongan melintang, sagital, koronal, sehingga lebih baik dari pada CT. MRI selai
dengan jelas memperlihatkan lapisan struktur nasofaring dan luas lesi, juga dapat secara lebih
dini menunjukkan infiltrasi ke tulang. Dalam membedakan antara fibrosis pasca radioterapi
dan rekurensi tumor , MRI juga lebih bermanfaat .
a.    Pencitraan tulang seluruh tubuh : berguna untuk diagnosis kanker nasofaring dengan
metastasis ke tulang, lebih sensitif dibandingkan rongtsen biasa atau CT, umumnya lebih dini
4-6 bulan  dibandingkan rongsen. Setelah dilakukan bone-scan, lesi umumnya tampak
sebagai akumulasi radioaktivitas, sebagian kecil tampak sebagai area defek radioaktivitas.
Bone-scan sangat sensitif untuk metastasis tulang, namun tidak spesifik . maka dalam menilai
lesi tunggal akumulasi radioaktivitas , harus memperhatikan riwayat penyakit, menyingkirkan
rudapaksa operasi, fruktur, deformitas degeneratif tulang, pengaruh radio terapi, kemoterapi,
dll.
b.    PET (Positron Emission Tomography) : disebut juga pencitraan biokimia molukelar
metabolik in vivo. Menggunakan pencitraan biologismetabolisme glukosa dari zat kontras
18-FDG dan pencitraan anatomis dari CT yang dipadukan hingga mendapat gambar PET-
CT . itu memberikan informasi gambaran biologis bagi dokter  klinisi, membantu penentuan
area target biologis kanker nasofaring , meningkatka akurasi radioterapi, sehingga efektifitas
meningkat dan rudapaksa radiasi terhadap jaringan normal berkurang.
 Diagnosis histologi (Zulkarnain Haq, 2011)
Pada pasien kanker nasofaring sedapat mungkin diperoleh jaringan dari lesi primer
nasofaring untuk pemeriksaan patologik. Sebelum terapi dimulai harus diperoleh diagnosis
histologi yang jelas. Hanya jika lesi primer tidak dapat memeberikan diagnosis patologik
pasti barulah dipertimbangkan biopsi kelenjar limfe leher.
            Pemeriksaan adanya kanker nasofaring dapat dilakukan dengan pemeriksaan
nasofaringoskopi, Rinoskopi anterior dan posterior menujukkan tumor pada nasofaring.
Selanjutnya untuk menentukan jenis tumor perlu diadakan biopsi dan pemeriksaan patologi.
Foto rontgen kepala dan CT-scan jika perlu dibuat untuk melihat metastasis ke
intrakranial (Herawati & Rukmini, 2000).
                                                                                              
2.8 Penatalaksaan Karsinoma Nasofaring
a.       Radioterapi
Radioterapi adalah pengobatan standar untuk karsinoma nasofaring. Tetapi hal ini dapat
menghasilkan komplikasi yang tidak diinginkan karena lokasi tumor di dasar tengkorak dan
organ yang rentan terhadap radiasi termasuk batang otak, sumsum tulang belakang, hipofisis
hipotalamus axis, temporal lobus, mata, telinga tengah dan dalam, dan kelenjar parotis (Wei
& Sham, 2005).
Hal yang perlu dipersiapkan adalah keadaan umum pasien baik, hygiene mulut, bila ada
infeksi mulut diperbaiki dulu. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi
leher (benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran atau timbul kembali setelah
penyinaran dan tumor induknya sudah hilang yang terlebih dulu diperiksa dengan radiologik
dan serologik), pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi,
vaksin dan antivirus (Pratiwi, 2012).

b.      Kemoterapi
Kemoterapi meliputi kemoterapi neodjuvan, kemoterapi adjuvan dan kemoradioterapi
konkomitan. Formula kemoterapi  yang sering dipakai adalah : PF ( DDP + 5FU ),
kaboplatin+5FU, paklitaksel +DDP, paklitasel +DDP +5FU dan DDP gemsitabin , dll (Wei
& Sham, 2005).
DDP : 80-100 mg/m2 IV drip hari pertama ( mulai sehari sebelum kemoterapi , lakukan
hidrasi 3 hari )
5FU : 800-1000 mg/m2/d IV drip , hari ke 1-5 lakukan infus kontinyu intravena.
Ulangi setiap 21 hari atau:
Karboplatin  : 300mg/m2 atau AUC = 6 IV drip, hari pertama.
5FU : 800-1000/m2/d IV drip , hari ke 1-5 infus intravena kontinyu.
Ulangi setiap 21 hari.
c.       Terapi Biologis
Dewasa ini masih dalam taraf penelitian laboraturium dan uji klinis.
d.      Terapi Herbal TCM
Dikombinasi dengan radioterapi dan kemoterapi, mengurangi reaksi radiokemoterapi ,
fuzhengguben ( menunjang, memantapkan ketahanan tubuh) , kasus stadium lanjut tertentu
yang tidak dapat diradioterapi atau kemoterapi masih dapat dipertimbangkan hanya diterapi
sindromnya dengan TCM. Efek herba TCM dalam membasmi langsung sel kanker dewasa ini
masih dalam penelitian lebih lanjut.
e.       Terapi Rehabiltatif
Pasien kanker secara faal dan psikis menderita gangguan fungsi dengan derajat bervariasi.
Oleh karena itu diupayakan secara maksimal meningkatkan dan memperbaiki kualitas
hidupnya.
f.       Rehabilitas Psikis
Pasien kanker nasofaring harus diberi pengertian bahwa pwnyakitnya berpeluang untuk
disembuhkan, uapayakan agar pasien secepatnya pulih dari situasi emosi depresi.
g.      Rehabilitas Fisik
Setelah menjalani radioterapi, kemoterpi dan terapi lain, pasien biasanya merasakan kekuatan
fisiknya menurun, mudah letih, daya ingat menurun. Harus memperhatikan suplementasi
nutrisi , berolahraga fisik ringan terutama yang statis, agar tubuh dan ketahanan meningkat
secara bertahap.
h.      Pembedahan
Dalam kondisi ini dapat dipertimbangkan tindakan operasi :
1.      Rasidif lokal nasofaring pasca radioterapi , lesi relatif terlokalisasi.
2.      3 bulan pasca radioterapi kurtif terdapat rasidif lesi primer nasofaring
3.      Pasca radioterapi kuratif terdapat residif atau rekurensi kelenjar limfe leher.
4.      Kanker nasofaring dengan diferensiasi agak tinggi seperti karsinoma skuamosa grade I, II,
adenokarsinoma.
5.      Komplikasi radiasi.
(Zulkarnain Haq, 2011)

2.9 Proknosis dari karsinoma nasofaring


            Ditemukan bahwa karsinoma nasofaring tipe 1 (karsinoma sel skuamosa) memiliki
prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan karsinoma nasofaring tipe 2 dan 3. Hal ini
terjadi karena pada karsinoma nasofaring tipe 1, metastasis lebih mudah terjadi (Pratiwi,
2012). Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45%, tetapi pada stadium
lanjut kurang dari 3 tahun.  Prognosis diperburuk oleh beberapa faktor, seperti:
         Stadium yang lebih lanjut
         Usia lebih dari 40 tahun
         Laki-laki dari pada perempuan
         Ras Cina dari ras kulit putih
         Adanya pembesaran kelenjar leher
         Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak
         Adanya metastasis jauh 12,16

2.10 Komplikasi pada Karsinoma Nasofaring


            Metastasis ke kelenjar limfa dan jaringan sekitar merupakan suatu komplikasi yang
selalu terjadi. Pada KNF, sering kali terjadi komplikasi ke arah nervus kranialis yang
bermanifestasi dalam bentuk (Pratiwi, 2012) :
1.    Petrosphenoid sindrom
Tumor tumbuh ke atas tengkorok lewat foramen laserum sampai sinus kavernosus menekan
saraf N. III. N. IV, N.VI juga menekan N.II yang menekan kelainan :
           Neuralgia trigeminus (N.V)  : Trigeminal neuralgia meupakan suatu nyer pada wajah sesisi
yang ditandai dengan rasa seperti terkena aliran listrik yang terbatas pada daerah disribusi
dari nervus trigeminus.
           Plosis palpebra (N. III)
           Ophthalmoplegia (N. III, N. IV)

2.    Retropariden  sindrom
Tumor tumbuh ke depan kearah rongga hidung kemudian dapat menginfiltrasi ke sekitarnya.
Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah daerah retropharing dimana ada kelenjar
getah bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X, N. XI, N. XII dengan manifestasi gejala.
      N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta gangguan pada
sepertiga belakang lidah.
      N. X : hiper/hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring, disertai gangguan
respirasi dan saliva.
      N. XI : kelumpuhan/atrofi oto trapezius, otot SCM serta hemiparese palatum mole.
      N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.
      Sindrom horner : kelumpuhan N, simpaticus servicalis, berupa penyempitan disura
palpebralis, Onoftalmus dan miosis.

            Sel-sel kanker dapat mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai organ
tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati, dan paru. Hal ini
merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk. Dalam penelitian lain ditemukan bahwa
karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-
masing 20% sedangkan ke hati 10%, ginjal 0,4%, dan tiroid 0,4%.
BAB III
Asuhan Keperawatan Karsinoma Nasofaring

3.1 Pengkajian
A.  Identitas
1.    biodata klien
a.    Nama : tidak mempengaruhi
b.    Tempat tanggal lahir : tidak mempengaruhi
c.    Umur : meningkat setelah umur 30 tahun, puncaknya pada umur 40-59 tahun dan menurun
setelahnya
d.   Jenis Kelamin : Lebih dominan Laki-laki daripada perempuan
e.    Suku Bangsa : lebih dominan ras cina
f.     Status Perkawinan : tidak mempengaruhi
g.    Pendidikan : bagi orang yang tingkat pendidikan rendah/minim mendapatkan pengetahuan
penyakit ini maka akan mengabaikan bahayanya penyakit ini
h.    Pekerjaan : bagi orang yang tempat kerjaannya sering kontak dengan zat karsinogen dan
penghasilan kurang sehingga kebutuhan sosial ekonomi rendah maka akan menyebabkan dan
memperparah penyakit ini
i.      Status Ekonomi : Lebih banyak dimiliki status ekonomi menegah ke bawah yang sering
mengkonsumsi ikan asin
j.      Alamat : mungkin dipengaruhi lingkungan dan kebiasaan hidup di rumah yang kurang sehat
k.    Tanggal Masuk : tidak mempengaruhi
l.      No. Register : tidak mempengaruhi
2.    Penanggung Jawab
a.       Nama                                        :
b.      Alamat                                      :
c.       Umur                                        :
d.      Jenis Kelamin                           :
e.       Pendidikan                               :
f.       Tempat/Tanggal Lahir              :
g.      Hubungan dengan
klien           :                                                                                                                                   
                 

B.     Riwayat Kesehatan
1.    Keluhan Utama (keluahan yang pertama kali dirasakan dan diucapkan klien) Leher terasa
nyeri, semakin lama semakin membesar, susah menelan, hidung terasa tersumbat, telinga
seperti tidak bisa mendengar, penglihatan berkunang-kunang, badan merasa lemas, serta BB
turun drastis dalam waktu singkat.
2.    Riwayat Kesehatan Sekarang (Tanyakan keluhan yang dirasakan sekarang)
P : Nyeri karena gangguan pada nasofaring
Q : Nyeri tak terbayangkan dan tak dapat diungkapkan, terlihat membesar pada bagian leher
dan terasa banyak gangguan pada hidung, telinga, dan mata, nyeri dirasakan setiap waktu
R : Keluhan dirasakan pada bagian dalam hidung, telinga, mulut dan menyebar
S : Keluhan yang dirasa mengganggu aktivitas, skala nyeri 10     
T : Nyeri hilang timbul dan lebih sering saat bernafas dan menelan, keluhan muncul secara
bertahap
3.    Riwayat Kesehatan Masa Lalu (Tanyakan apakah klien pernah menderita penyakit yang
mempermudah terjadinya ca nasofaring)
Mempunyai profil HLA, pernah menderita radang kronis nasofaring
4.    Riwayat Kesehatan Keluarga (Tanyakan apakah ada kluarga yang menderita penyakit yang
menyebabkan ca nasofaring)
5.    Riwayat Kesehatan Lingkungan (Tanyakan tentang lingkungan klien)
Terbiasa terhadap  lingkungan karsinogen

C.     Pola Kesehatan Fungsional (Hidayat & Alimul, 2007)


1.    Pola persepsi kesehatan – pemeliharaan kesehatan
Pada klien ca nasofaring terjadi perubahan persepsi dan tata laksana hidup sehat karena
kurangnya pengetahuan tentang dampak sehingga menimbulkan presepsi yang negatif
terhadap dirinya dan kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur pengobatan dan
perawatan yang lama, oleh karena itu perlu adanya penjelasan yang benar dan mudah
dimengerti pasien.
2.    Pola metabolisme nutrisi
Akibat adanya pembekakan pada saluran pernafasan atas shingga menimbulkan keluahan
nyeri pada leher, susah menelan, berat badan menurun dan lemas. Keadaan tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan metabolisme yang dapat mempengaruhi
status kesehatan penderita.
3.    Pola eliminasi
Akibat kurangnya konsumsi air putih menyebabkan volume kencing berkurang, susah
kencing. Pada eliminasi alvi terdapat gangguan, klien buang air besar tidak teratur.
4.    Pola aktivitas
Adanya Ca Nasofaring menyebabkan penderita tidak mampu melaksanakan aktivitas sehari-
hari secara maksimal, penderita mudah mengalami lemah dan letih. Klien biasanya bekerja
diluar rumah, tapi saat ini klien hanya beristirahat di Rumah Sakit.
5.    Pola istirahat – tidur
Adanya Ca nasofaring membuat klien mengalami perubahan pada pola tidur. Klien kurang
tidur baik pada waktu siang maupun malam hari. Klien tampak tergangu dengan kondisi
ruang perawatan yang ramai. Dan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur misalnya
nyeri, ansietas, berkeringat malam.
6.    Pola kognitif – persepsi
Klien mampu menerima Pengetahuan, ide persepsi, dan bahasa. Klien mampu melihat,
mendengar, mencium, meraba, dan merasa dengan baik.
7.    Pola persepsi diri – konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita mengalami
gangguan pada gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya biaya perawatan dan
pengobatan menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan gangguan peran pada keluarga.
Klien mengalami cemas karena kurangnya pengetahuan tentang sifat penyakit, pemeriksaan
diagnostik dan tujuan tindakan yang diprogramkan.
8.    Pola hubungan – peran
Ca nasofaring yang sukar sembuh menyebabkan penderita malu dan manarik diri dari
pergaulan.
9.        Pola seksual – reproduksi
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi sehingga
menyebabkan gangguan potensi seksual, gangguan kualitas maupun ereksi, serta memberi
dampak pada proses ejakulasi serta orgasme. Selama dirawat di rumah sakit klien tidak dapat
melakukan hubungan seksual seperti biasanya.
10.    Pola penanganan masalah – strees – toleransi
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit kronik, perasaan tidak berdaya karena
ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah, kecemasan,
mudah tersinggung, kehilangan kontrol, dan menarik diri dapat menyebabkan penderita tidak
mampu menggunakan mekanisme koping yang konstruktif/adaptif. Klien merasa sedikit
stress menghadapi tindakan kemoterapi/sitotraktika karena kurangnya pengetahuan.
11.    Pola keyakinan – nilai-nilai
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta Ca nasofaring tidak
menghambat penderita dalam melaksanakan ibadah tetapi mempengaruhi pada ibadah
penderita.

D.    Pemeriksaan Fisik
1.    Penampilan atau keadaan umum
Secara keseluruhan keadaan tidak baik, BB menurun
2.    Tingkat kesadaran
Kesadaran klien tidak begitu terkontrol, mata : 2, Respon Verbal : 5, Respon motor : 4, indra
penciuman terganggu, ketajaman terganggu, berjalan sempoyongan, tidak bisa seimbang
3.    Tanda-Tanda Vital
1.         Suhu Tubuh                 : 37,5oC
2.         Tekanan Darah            : 140/90 mmHg
3.         Nadi                            : 94 x/menit
4.         RR                               : 24 x/menit
4.    Pemeriksaan Head to Toe
a.    Pemeriksaan Kepala
1.   Tulang tengkorak : Inspeksi (bentuk mesocepal, ukuran kranium, bulat sempurna, tidak ada
deformitas, tidak ada benjolan, tidak ada pembesaran kepala) Palpasi (tidak ada nyeri tekan)
2.   Kulit kepala : Inspeksi (kulit kepala bersih, tidak ada lesi, tidak ada skuama, tidak ada
kemerahan, tidak ada nevus)
3.   Wajah : Inspeksi (ekspresi wajah bingung, keadaan simetris, tidak ada edema, dan tidak ada
massa) Palpasi : (tidak ada kelainan sinus)
4.   Rambut : Inspeksi (rambut kotor, ada ketombe, ada uban) Palpasi (rambut rontok)
5.   Mata : Inspeksi (bulat besar, bersih tidak cowong, simestris, konjungtiva tidak anemis, sclera
tidak ikterik, pupil isokor, diameter 3 mm, reflek cahaya positif, gerakan mata tidak normal,
fungsi penglihatan tidak terlalu baik) Palpasi (bola mata normal, tidak ada nyeri tekan)
6.   Hidung        : Inspeksi (keadaan kotor, ada lendir, ada polip, ada pernafasan cuping hidung,
ada deviasi septum, mukosa lembab, kesulitan bernafas, warna cokelat, tidak ada benda
asing) Palpasi (tidak ada nyeri tekan)
7.   Telinga        : Inpeksi (Simetris, bersih, fungsi pendengaran kurang baik, tidak ada
serumen, tidak terdapat kelainan bentuk) Palpasi (normal tidak ada lipatan, ada nyeri)
8.   Mulut          : Inspeksi (kotor, tidak ada stomatitis, mukosa bibir lembab, lidah simetris, lidah
kotor,  gigi kotor, ada sisa makanan, berbau,  gigi atas dan bawah tanggal 3/2,   sebagian
goyang, faring ada pembekakan, tonsil ukuran tidak normal, uvula tidak simetris) Palpasi
(tidak ada lesi)
9.   Leher dan Tenggorok         : Inspeksi dan Palpasi (Tidak ada pembesaran jvp, ada
pembesaran limfe, leher panas)
b.    Pemeriksaan Dada dan Thorak
1.      Paru-paru        :
Inspeksi         : Pergerakan dinding dada tidak normal, tidak ada batuk, nafas dada, frekuensi
nafas 24 x/menit.
Palpasi           : Suara fremitus kanan-kiri, tidak ada nyeri tekan, .
Perkusi          : Sonor pada saluran lapang paru.
Auskultasi     : Suara dasar paru vesikuler, tidak ada weezing.
2.      Jantung           :
Inspeksi         : Normal (Iktus kordis tidak tampak).
Palpasi           : Normal (Iktus kordis teraba pada V±2cm)
Perkusi          : Normal (Pekak)
Auskultasi : Normal (BJ I-II Murni, tidak ada gallop, tidak ada murmur)
c.    Pemeriksaan Payudara
Inspeksi : Bersih, tidak ada pembekakan, bentuk simetris
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
d.   Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Perut datar, tidak ada bekas post operasi, warna cokelat, permukaan normal
Auskultasi : Bising usus 10x/menit
Palpasi : Tidak ada nyeri, tidak ada benjolan, kulit normal, Hepar tidak teraba, limpa tidak
teraba, Ginjal tidak teraba, tidak ada ascites, tidak ada nyeri pada Titik Mc. Burney
Perkusi : Timpani, tidak ada cairan atau udara
e.    Pemeriksaan Anus dan Genitalia
1.    Anus
Inspeksi : Warna cokelat, tidak ada bengkak atau inflamasi
Palpasi : Feses keras, tidak ada darah, tidak ada pus, tidak ada darah
2.    Genitalia
Wanita
Inspeksi : Warna merah muda, tidak berbau, tidak ada lesi, nodul, pus, daerah bersih, bentuk
simetris, tidak varices
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, Fungsi Reproduksi baik, tidak terpasang DC
Laki-Laki  
Inspeksi : Ada rambut pubis, kulit penis normal, lubang penis ditengah, kulit skrotum halus,
tidak ada pembekakan, posisi testis norma
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan pada batang penis dan skrotum
f.     Pemeriksaan Ekstremitas
1.    Ekstremitas Atas :
Inspeksi : Jari tangan lengkap, kuku bersih, bentuk simetris, tidak ada sianosis di lengan
kanan atas, tidak ada edema.
Palpasi : Denyut nadi 94 x/menit, kuku normal, kekuatan menggenggam normal
2.    Ektremitas Bawah :
Inspeksi : bentuk simetris, warna kulit cokelat, kuku bersih, ada bulu, tidak ada lesi, tidak ada
edema, tidak ada sianosis, persendian normal.
Palpasi : Nadi 94 x/menit, tidak ada nyeri tekan
3.    Tulang Belakang :
Inspeksi : Postul normal, vertebra normal, lengkungan normal
Palpasi : Otot bekerja baik
g.    Pemeriksaan Kulit
Inspeksi : Kulit bersih, Kulit pucat, kulit kering, tidak ada lesi
Palpasi : Tekstur tidak normal pada bagian leher, ada turgor

E.     Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Labolatorium
o   Hb : 11,9 g/dl
o   Leukosit : 3000 sel/mm3
o   Trombosit : 556000/mm3
o   Ht : 35,4%
o   Eritrosit : 4,55 x 106/mm3
o   LED : 10

Pemeriksaan Diagnostik
kopi : Melihat Liang telinga, membran timpani
2.    Nasofaringoskopi : Ada massa di hidung atau nasofaring
3.    Rinoskopi anterior : Pada tumor endofilik tak jelas kelainan di rongga hidung mungkin hanya
banyak sekret. Sedangkan pada tumor eksofilik tampak tumor di bagian belakang rongga
hidung, tertutup sekret mukopurulen, fenomena palatum mole negatif.
4.    Rinoskopi posterior : Pada tumor endofilik tak terlihat masa, mukosa nasofaring tampak
lebih menonjol, tak rata, dan puskularisasi meningkat. Sedangkan pada tumor eksofilik
tampak masa kemerahan.
5.    Biopsi multiple
6.    Radiologi : Thorak PA, Foto tengkorak, CT Scan, Bone Scantigraphy (bila dicurigai
metastase tulang)
7.    Pemeriksaan Neuro-oftalmologi : untuk mengetahui perluasan tumor kejaringan sekitar yang
menyebabkan penekanan atau infiltrasi kesaraf otak, manifestasi tergantung dari saraf yang
dikenai

3.2 Diagnosa Keperawatan


1.    Nyeri akut b.d metastase sel kanker
2.    Ketidakefektifan Bersihan jalan nafas b.d adanya bendaa asing (tumor ganas)
3.    Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake makanan yang kurang
4.    Hambatan komunikasi verbal b.d gangguan status organ sekunder metastase tumor
5.    Resiko infeksi b.d ketidakkuatan pertahanan sekunder imunosupresi
6.    Harga diri Rendah b.d perubahan perkembangan penyakit

3.3 Contoh Intervensi Keperawatan


Tgl/Ja Tujuan dan Kriteria
No Intervensi Rasional TTD
m Hasil
Setelah dilakukan O: Observasi reaksi   Informasi
tindakan keperawatan nonverbal dari memberikan data
selama 2 x 24 jam klien ketidaknyamanan dasar untuk
diharapkan nyeri dapat O: Kaji dan monitor mengevaluasi
berkurang dan berapa skala nyeri kebutuhan/keefektifan
terkontrol. O: Lakukan dengan intervensi
KH : komunikasi terapeutik
K : Klien mampu N: Pantau aktivitas   Untuk menjaga
menunjukkan tingkat klien, cegah hal-hal kenyamanan pasien
nyeri dengan yang bisa memicu   Meningkatkan
menunjukkan skala terjadinya nyeri relaksasi dan
nyeri (0-10) N: Bantu klien untuk pengalihan perhatian
1.
A : Klien mampu lebih berfokus pada
mengutarakan aktivitas bukan pada   Mengurangi rasa
ketidaknyamanan nyeri ketidaknyamanan
dengan yang dikeluhkan N: Lakukan karena nyeri
P : Klien merasa penanganan nyeri
nyerinya sudah dengan relaksasi   Membantu
berkurang E: Berikan sokongan menurunkan ambang
P : Setelah dilakukan (support) pada presepsi nyeri
tindakan keperawataan ektremitas yang luka.
  Mengurangi rasa
klien dapat melakukan C: Kolaborasi
nyeri
aktifitas dengan normal. pemberian obat-obatan
Skala nyeri : 6 analgesik
2. Setelah dilakukan O: Monitor   Untuk mengetahui
tindakan keperawatan TTV,  Klien TTV dan
selama 2 x 24 jam klien dianjurkan untuk memudahkan
diharapkan dapat napas dalam sebelum tindakan
mempertahankan jalan dilakukan tindakan
nafas tetap terbuka dan O: Kaji kebutuhan oral   Untuk mengetahui
bersihan jalan nafas O: Klien dianjurkan sumbatan
paten. untuk istirahat dan   Untuk meringankan
KH : napas dalam setelah bebab klien
K : Klien dapat dilakukan tindakan
menunjukkan jalan N: Atur posisi klien   Memungkinkan
nafas yang paten dengan bagian kepala untuk pengembangan
A : Klien mampu tempat tidur maksimal rongga
0
mengidentifikasi dan ditinggikan 45 dada
mencegah faktor yang N: Auskultasi suara
dapat menghambat jalan nafas sebelum dan   Membedakan suara
nafas sesudah suctioning nafas
P : Klien mampu batuk N: Menggunakan alat
  Supaya tidak terjadi
efektif dan suara nafas yang steril
infeksi
yang bersih, tidak ada N: Menginstruksikan
sianosis, dan dyspneu klien tentang batuk   Untuk memudahkan
P : Nasofaring dapat dan teknik napas pengeluaran sekret
bekerja dengan baik, dalam
respirasi dalam batas N: Penghisapan   Untuk memudahkan
normal 16-20x/menit nasofaring untuk pengeluaran sekret
TTV mengeluarkan sekret
Suhu : 36,00C N: Monitor respirasi   Jalan napas tetap
TD : 140/90 mmHg dan status O2 stabil
Nadi :  70 x/menit N: Berikan   Kelembaban
RR : 20 x/menit udara/oksigen yang menurunkan
telah dihumidifikasi kekentalan sekret
E: Jelaskan pada klien
tentang suctioning   Supaya pasien
C: Kolaborasi mengerti
melakukan fisioterapi
dada, melakukan   Untuk memudahkan
suction, memberi pengobatan
bronkodilstor bila
perlu
3. Setelah dilakukan O: Kaji dan hitung   Untuk mengetahui    
tindakan keperawatan kadar nutrisi pada tentang keadaan dan
selama 2 x 24 jam klien klien kebutuhan nutrisi
diharapkan O: Kaji kemampuan pasien sehingga dapat
mendapatkan nutrisi klien untuk diberikan tindakan
yang seimbang. mendapatkan nutrisi dan pengaturan nutrisi
KH : yang dibutuhkan   Untuk mencegah
K : Klien mengetahui O: Monitor kekurangan nutrisi
penyebab kekurangan pertumbuhan dan   Untuk memenuhi
nutrisi perkembangan nutrisi kebutuhan asupan
A : Klien dapat N: Berikan makanan kalori yang adekuat
menutarakan sedikit dan sering   Kebutuhan terhadap
ketidaknyamanan dengan bahan diet dapat mencegah
keadaan sekarang makanan yang tidak komplikasi
P : Klien mampu bersifat iritatif   Mengetahui
mengatur pola makan N: Anjurkan pasien perkembangan berat
dan kebutuhan nutrisi untuk mematuhi diet badan
P : Klien tidak mersakan yang telah   Untuk memudahkan
tubuh lemas, berat diprogramkan klien menelan
badan naik, dan nafsu N: Berikan substansi   Kebutuhan pasien
makan bertambah gula teratasi
N: Timbang klien   Untuk memenuhi
A= BB : menurun pada interval yang kebutan nutrisi
B= HB : turun tepat   Untuk memberikan
C= Klien biasanya N: Ubah posisi pasien nutrisi maksimal
tampak lemas dan pucat, semi fowler atau dengan upaya
kulit kering fowler tinggi minimal pasien /
D= Porsi makan E: Ajarkan klien penggunaan energi
berkurang biasanya 3 bagaimana membuat
kali menjadi 1 kali catatan makanan
harian
E: Berikan informasi
tentang kebutuhan
nutrisi
E: Jelaskan bagaimana
tanda-tanda
kekurangan nutrisi
C: Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk
menentukan jumlah
kalori dan nutrisi yang
dibutuhkan klien
Setelah dilakukan O: Kaji kemampuan   Untuk memudahkan    
tindakan keperawatan klien untuk intervensi kepada
selama 2 x 24 jam klien menghindari infeksi klien
diharapkan tidak terjadi O: Monitor TTV,   Merupakan tanda
infeksi. tanda dan gejala adanya infeksi apabila
KH : infeksi sistemik dan terjadi peradangan
K : Klien mengetahui lokal   Untuk melindungi
proses penularan O: Monitor kerentanan tubuh terhadap infeksi
penyakit dan faktor terhadap infeksi   Meminimalkan
penularan N: Intruksikan untuk penyebaran dan
A : Klien menunjukkan menjaga hygiene penularan agens
suhu norma dan tanda- personal infeksius
tanda vital normal N: Berikan perawatan   Untuk Mencegah
P : Klien mampu kulit pada area infeksi semakin
mencegah infeksi dan epidema bertambah
melakukan hidup sehat N: Inspeksi kulit dan   Supaya personal
4.
P : Klien bernafas membran mukosa hygiene terjaga
normal, melakukan nafa terhadap kemerahan,   Untuk menjaga
dalam untuk mencegah panas, drainase penularan infeksi
disfungsi dan infeksi E: Batasi pengunjung   Antibiotik dapat
respiratori E: Pertahankan mencegah sekaligus
TTV lingkungan aseptik membunuh kuman
Suhu : 36,00C E: Ajarkan klien dan penyakit untuk
TD : 140/90 mmHg keluarga tanda dan berkembangbiak
Nadi :  70 x/menit gejala infeksi serta
RR : 20 x/menit cara menghindari
infeksi
E: Ajakan pengunjung
untuk mencuci tangan
C: Memberi terapi
antibiotik bila perlu
Infection Protection
5. Setelah dilakukan O: Kaji   Untuk mengetahui    
tindakan keperawatan ketidakmampuan klien tingkat kemampuan
selama 2 x 24 dalam kemampuan dan ketidakmampuan
jam ganguan untuk berbicara, klien dalam
komunikasi verbal dapat mendengar, menulis berkomunikasi
teratasi. membaca, dan   Untuk membantu
KH : memahami pasien agar cepat/
K : Klien mengerti N: Berdiri didepan mudah berkomunikasi
penyebab tidak bisa pasien saat berbicara   Alat bantu dengar
berkomuunikasi dan bicara agak keras dapat membantu
A : Klien N: Dorong klien untuk pendengaran sehingga
mengungkapkan tidak berkomunikasi secara dalam berkomunikasi
bisa mengontrol respon perlahan dan klien dapat
ketakutan dan mengulangi melakukannya
kecemasan terhadap permintaan   Untuk memelihara
ketidakmapuan E: Anjurkan kepada kepercayaan dan
mendengar pasien dan keluarga mengurangi frustasi
P : Klien merasa nyeri tentang alat bantu   Untuk membantu
saat berkomunikasi mendengar pasien mudah
hilang E: Anjurkan keluarga berkomunikasi
P : Klien untuk memberi
mampu  mengontrol stimulus komunikasi
respon, memanajemen C: Konsultasikan
kemampuan fisik yang dengan dokter
dimiliki, kebutuhan mendengar
mengkomunikasikan
kebutuhan dengan
lingkungan sosial
6. Setelah dilakukan O: Monitor frekuensi   Untuk mengetahui    
tindakan keperawatan komunikasi verbal seberapa lancar
selama 2 x 24 klien negative berkomunikasi
jam gangguan harga diri O: Kaji alasan untuk   Supaya klien tidak
pasien teratasi. mengkritik atau lagi menyalahkan diri
KH : menyalahkan diri sendiri
K : Klien mampu sendiri   Untuk menguatkan
mengenali kekuatan diri N: Dorong klien diri klien
A : Klien mengidentifikasi   Untuk meningkatkan
mengungkapkan kekuatan dirinya rasa tanggung jawab
perubahan gaya hidup N: Dukung dan bisa menerima
tentang perasaan tidak peningkatan tanggung keadaan
berdaya, dan keinginan jawab diri   Untuk meningkatkan
untuk mendapatkan N: Dukung Klien rasa percaya diri
konseling untuk menerima   Untuk Menambah
P : Klien mampu tantangan baru rasa percaya diri pada
menerima diri, E: Ajarkan klien dan lebih mudah
menerima kritik dari Keterampilan perilaku untuk
orang lain dan yang positif mengaplikasikannya
komunikasi terbuka E: Tunjukkan rasa
P : Klien dapat percaya diri terhadap
beradaptasi terhadap kemampuan klien
penyakit, percaya diri, C: Kolaborasi dengan
optimis tentang masa sumber-sumber lain
depan, dan merubah (petugas dinas social,
hidup perawat spesialis
klinis, dan layanan
keagamaa)

3.5 Contoh Implementasi Keperawatan


Tgl/jam No. Dx Implementasi Respon Pasien TTD
Senin, Mengkaji keluhan utama DS : Klien
1/06/2015 Mengkaji tingakat nyeri mengatakan nyeri
07.15 Dan monitor TTV pada bagian leher
P : Nyeri karena
07.20 Memberikan cairan infuse gangguan pada
nasofaring
07.25 Memberian obat-obatan Q : Nyeri seperti
analgesik ditekan-tekan, terlihat
membesar pada
07.30 Lakukan penanganan nyeri bagian leher
dengan relaksasi dan R : Nyeri pada hidung,
1
memberi sokongan telinga, mulut dan
(support) pada ektremitas menyebar
07.45 yang luka S : Skala nyeri 5
T : Mulai 3 bulan
yang lalu, nyeri hilang
timbul dan lebih
sering saat bernafas
dan menelan
DO : Klien terlihat
menahan sakit, prilaku
hati-hati, dan merintih
08.00 Memposisikan pasien semi DS : Klien
fowler mengatakan
2 kesulitan bernafas
08.15 Auskultasi suara nafas pada hidung
DO : Klien terlihat
08.30 Pemberian oksigen Irama ireguler, sesak
nanaf, Sianosis,
08.45 2 Menginstruksikan klien Adanya sputum, suara
untuk batuk dan teknik serak
napas dalam
09.15 4, 5, 6 Melakukan  pendekatan DS : Klien
therapeutik pada klien dan mengatakan telah
berkomunikasi dengan dekat mengerti tentang
penyakit yang di
2 Memberikan penjelasan derita
09.30 sebab-sebab dan akibat DO : Paham dan
terjadinya nyeri mengerti
10.00 Melakukan penimbangan DS : Klien
3 berat badan mengatakan pada
leher terasa gatal
DO :
10.30 4, 5 Mengajarkan klien menjaga BB : menurun
personal hygiene Kebersihan terjaga
11.00 Ubah posisi pasien semi DS : Klien
fowler atau fowler tinggi mengatakan
11.10 2, 3 Menganjurkan pasien kekurangan asupan
mencuci tangan gizi dan nyaman pada
11.15 Pemberian makanan yang posisi semi fowler
lunak
11.30 Pemberian makanan sedikit DO : Sedikit kuat
dan sering karena kebutuhan gizi
11.45 Menganjurkan klien untuk terpenuhi sesuai
3, 4, 5 memperbanyak kebutuhan
mengkonsumsi buah dan BB : sedikit
sayuran. meningkat
12.00 Monitor respirasi dan status DS : Klien merasa
O2 masalah sebagian
12.15 Monitoring TTV teratasi
12.30 Pantau aktivitas klien, cegah
hal-hal yang bisa memicu DO :
1, 2 terjadinya nyeri Suhu : 36,50C
12.45 Bantu klien untuk lebih TD : 110/90 mmHg
berfokus pada aktivitas Nadi :  60 x/menit
bukan pada nyeri RR : 18 x/menit

13.00 Berikan perawatan kulit DS : Klien


Membersihkan, memantau, mengatakan kulit
dan meningkatkan proses terasa gatal, masih
penyembuhan luka nyeri
4, 5, 6
Pantau kegiatan pasien yang
13.30 menyebabkan nyeri DO : Kulit tidak
merasa gatal, nyeri
berkurang
14.00 Melakukan kolaborasi DS :
1, 2, 3,
dengan dokter DO : Klien mulai
4, 5, 6
pemberian obat berkurang keluhan

3.6 Evaluasi
Hari/Tgl/Ja
No. Dx Evaluasi TTD
m
Senin, 1. S : pasien mengatakan nyeri pada leher
P : Nyeri karena gangguan pada nasofaring
Q : Nyeri seperti ditekan-tekan, terlihat membesar
pada bagian leher
R : Nyeri pada hidung, telinga, mulut dan
menyebar
1/06/2015
S : Skala nyeri 5    
T : Mulai 3 bulan yang lalu, nyeri hilang timbul
dan lebih sering saat bernafas dan menelan
O : terlihat menahan nyeri
A : Masalah belum teratasi
P : intervensi di lanjutkan (1, 2, 3, 4, 5, 6)
S: Klien mengatakan masih merasakan gangguan
pernafaan
O: Klien terlihat tidak merasa nyaman, RR:
2.
20x/menit, S: 37,50C
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
S : pasien mengatakan kondisinya sedikit kuat
O : pasien kuat berdiri
3.
A : masalah sebagian teratasi
P : intervensi dilanjutkan
S : Klien mengatakan masih sedikit gatal
O : Klien merasa kurang nyaman
4.
A : Masalah sebagian teratasi
P : Intervensi dilanjutkan
S : klien mengatakan susah bergaul/berkomunikasi
dengan orang lain
O : Klien tidak dapat melakukan komunikasi
5.
verbal dengan baik
A : Masalah belum teratasi
P : Intervensi dilanjutkan
S : Klien mengatakan leher masih besar
O : Klien masih menahan diri
6..
A : Masalah belum teratasi
P : Intervensi dilanjutkan

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
            Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh pada ephitalial pelapis
ruangan dibelakang hidung (nasofaring) dan belakang langit-langit rongga mulut dengan
predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring. Kanker ini lebih sering ditemukan pada
pria dibanding wanita dengan rasio 2-3-1 dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan
pasti, mungkin ada hubugannya dengan faktor genetic, kebebasan hidup, pekerjaan dan lain-
lain. Karsinoma nasofaring menimbulkan sindrom penyumbatan tuba dengan tuli konduktif
sebagai keluhan. Perluasan infiltratif karsinoma nasofaring berikutnya membangkitkan
perdarahan dan penyumbatan jalan lintasan napas melalui hidung. Setelah itu, pada tahap
berikutnya dapat timbul gangguan menelan dan kelumpuhan otot mata luar (paralisis okular).
Untuk mencapai diagnosis harus melaksanakan Pemerksaan fisik maupun Pemeriksaan
Diagnostik diantaranya CT Scan, MRI, dll. Pada Karsinoma nasofaring biasanya dilakukan
pengobatan Radioterapi maupun Kemoterapi.

4.2 Saran
            Dengan adanya makalah ini diharapkan pembaca dapat memahami tentang Karsinoma
Nasofaring yang sangat berbahaya. Lalu dapat mendeteksi awal terhadap gejala karsinoma
nasofaring karena seringkali penderita karsinoma nasofaring terdeteksi pada stadium lanjut.
Dan bagi pembaca yang berprofesi sebagai perawat atau tenaga medis lainnya agar lebih
memahami tentang Karsinoma Nasofaring sehingga dapat lebih memahami kebutuhan klien,
memberi motivasi, memberi pengetahuan, dan memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Anas, T. (2008). Klien Gangguan Pernapasan : Seri Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.


Ernawati, Kadrianti, E., & Basri, H. M. (2004). Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis Volume 4 Nomor
2. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Karsinoma Nasofaring (KNF), 224.
Gibson, J. (2002). Fisiologi dan Anatomi Modern Untuk Perawat. Jakarta: EGC.
Gunardi, d. S., & Saputra, d. L. (2012). Quick Review Anatomi Klinik, Edisi Kedua. Tanggerang
Selatan: Binapura Aksara Publisher.
Hidayat, & Alimul, A. A. (2007). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan, Edisi 3. Jakarta: Salemba
Medika.
Huda Nurarif, A., & Kusuma, H. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & Nanda Nic-Noc, Jilid 1. Yogyakarta: Mediaction Publishing.
Lucente, F. F. (2011). Ilmu THT Esensial. Jakarta: EGC.
Mangan, Y. (2009). Solusi Sehat Mencegah dan Mengatasi Kanker. Jakarta: Agromedia Pustaka.
Muttaqin, A. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Pratiwi, N. (2012, September 28). Makalah Ca Nasofaring. Dipetik Mei 16, 2015, dari Makalah Ca
Nasofaring Web site: http://www.scrib.com
Wei, W. I., & Sham, J. S. (2005). Nasopharyngeal carsinoma. carsinoma Nasofaring, 2-3.
Wilkinson, J. M. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.
Zulkarnain Haq, N. (2011, Oktober 12). Askep Kanker Nasofaring. Dipetik Mei 16, 2015, dari Askep
Kanker Nasofaring Web Site: http://nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id

Diposting oleh NINDA JUNITA di 00.43 Tidak ada komentar: 


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest
Postingan Lebih BaruBeranda
Langganan: Postingan (Atom)
Mengenai Saya

NINDA JUNITA
Aku seorang mahasiswa keperawatan yang saat ini sedang menekuni profesi
Lihat profil lengkapku
Arsip Blog

 ▼  2016 (1)
o ▼  Mei (1)
 ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN CA NASOFARING
Tema Kelembutan. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai