Anda di halaman 1dari 19

BAB I.

PENDAHULUAN

Kematian didefenisikan oleh para dokter sebagai berhentinya denyut


jantung dan respirasi secara permanen (mati somatik). Perkembangan dalam
resusitasi telah menyebabkan defenisi kematian terpaksa ditinjau kembali. Mati
otak diartikan sebagai berhentinya semua fungsi otak secara total dan ireversibel
termasuk batang otak. Perkembangan medis seperti ventilator, peralatan dialisis
dan infus obat yang mendukung sirkulasi seringkali menopang pasien yang
sedang kritis untuk dapat bertahan hidup secara somatik walaupun secara
fisiologis sangat parah termasuk di dalamnya kematian otak itu sendiri.1,2
Pada perkembangan bedah transplantasi dan kebutuhan akan organ hidup
mengharuskan adanya fokus perhatian akan etika dan legalitas persetujuan medis
tentang kriteria medis kematian otak. Dengan adanya kriteria kematian otak,
seseorang dapat ditetapkan meninggal secara sah atau legal, bahkan jika jantung
masih terus berdenyut oleh bantuan alat pendukung kehidupan. Adapun negara
pertama di dunia yang mengadopsi istilah mati otak sebagai defenisi mati yang
sah adalah Finlandia pada tahun 1971. Di Amerika Serikat, Kansas kemudian
membuat hukum yang serupa.2
Permasalahan mendiagnosis kematian otak menjadi semakin penting
akhir-akhir ini karena semakin sulitnya menentukan pada pasien dengan
kerusakan otak apakah kerusakan tersebut memungkinkan untuk dapat bertahan
hidup secara layak dengan bantuan alat pernapasan dan dengan peralatan
pendukung lainnya, dan yang kedua karena sulitnya menjawab pertanyaan untuk
menentukan kapan dapat disimpulkan bahwa lesi serebral tersebut ireversibel
sehingga kematian dapat dipastikan segera dan berbagai persiapan dapat
dilakukan untuk memindahkan organ-organ yang masih bermanfaat, khususnya
ginjal untuk transplantasi pada pasien yang lain.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Mati Otak

Secara tradisional, kematian dikenali dengan penghentian permanen fungsi


kardiovaskular dan pernafasan. Sampai beberapa dekade yang lalu, ini telah
terlayani dengan baik di segala situasi. Kematian otak adalah keadaan ketika
fungsi otak secara keseluruhan, termasuk batang otak, hilang secara ireversibel.
Pada kondisi ini refleks saraf otak negatif, tidak ada nafas spontan (karena pusat
nafas terletak di batang otak). Mati otak terjadi karena hipoksia otak yang terjadi
karena penurunan aliran darah otak. Dalam penentuan mati otak (Brain Death
Certification), hal pertama yang penting untuk dilakukan adalah menentukan
adanya mekanisme spesifik yang mendahului sebelum terjadinya mati otak
misalnya mengetahui adanya kerusakan struktur otak yang dapat dilihat dari CT
atau MRI.3

2.2 Anatomi Otak

Otak terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak yang dibentuk oleh
mesensefalon, pons, dan medulla oblongata. Bila kalvaria dan dura mater
disingkirkan, di bawah lapisan arachnoid mater kranialis dan pia mater kranialis
terlihat gyrus, sulkus, dan fisura korteks serebri. Sulkus dan fisura korteks serebri
membagi hemisfer serebri menjadi daerah lebih kecil yang disebut lobus.(4)

Seperti terlihat pada gambar di atas, otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:
1. Serebrum (Otak Besar)
Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua hemisfer.
Hemisfer kanan berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kiri dan
hemisfer kiri berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kanan. Masing-
masing hemisfer terdiri dari empat lobus. Bagian lobus yang menonjol disebut
gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai parit disebut sulkus. Keempat lobus
tersebut masing-masing adalah lobus frontal, lobus parietal, lobus oksipital dan
lobus temporal.5
a. Lobus parietal merupakan lobus yang berada di bagian tengah serebrum.
Lobus parietal bagian depan dibatasi oleh sulkus sentralis dan bagian
belakang oleh garis yang ditarik dari sulkus parieto-oksipital ke ujung
posterior sulkus lateralis (Sylvian). Daerah ini berfungsi untuk menerima
impuls dari serabut saraf sensorik thalamus yang berkaitan dengan segala
bentuk sensasi dan mengenali segala jenis rangsangan somatik.6
b. Lobus frontal merupakan bagian lobus yang ada di bagian paling depan dari
serebrum. Lobus ini mencakup semua korteks anterior sulkus sentral dari
Rolando. Pada daerah ini terdapat area motorik untuk mengontrol gerakan
otot-otot, gerakan bola mata; area broca sebagai pusat bicara; dan area
prefrontal (area asosiasi) yang mengontrol aktivitas intelektual.6
c. Lobus temporal berada di bagian bawah dan dipisahkan dari lobus oksipital
oleh garis yang ditarik secara vertikal ke bawah dari ujung atas sulkus lateral.
Lobus temporal berperan penting dalam kemampuan pendengaran,
pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara.6
d. Lobus oksipital berada di belakang lobus parietal dan lobus temporal. Lobus
ini berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan manusia
mampu melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina
mata.6
Apabila diuraikan lebih detail, setiap lobus masih bisa dibagi menjadi
beberapa area yang punya fungsi masing-masing, seperti terlihat pada gambar di
bawah ini.
Gambar 4. Area Otak (http://apbrwww5.apsu.edu)
2. Serebelum (Otak Kecil)
Serebelum atau otak kecil adalah komponen terbesar kedua otak.
Serebelum terletak di bagian bawah belakang kepala, berada di belakang batang
otak dan di bawah lobus oksipital, dekat dengan ujung leher bagian atas.
Serebelum adalah pusat tubuh dalam mengontrol kualitas gerakan. Serebelum
juga mengontrol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya: mengatur sikap atau
posisi tubuh, mengontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh.
Selain itu, serebelum berfungsi menyimpan dan melaksanakan serangkaian
gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil, gerakan
tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya.7
3. Batang Otak
Batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian
dasar dan memanjang sampai medulla spinalis. Batang otak bertugas untuk
mengontrol tekanan darah, denyut jantung, pernafasan, kesadaran, serta pola
makan dan tidur. Bila terdapat massa pada batang otak maka gejala yang sering
timbul berupa muntah, kelemahan otat wajah baik satu maupun dua sisi, kesulitan
menelan, diplopia, dan sakit kepala ketika bangun.5 Batang otak terdiri dari tiga
bagian, yaitu:
a. Mesensefalon atau otak tengah (disebut juga mid brain) adalah bagian teratas
dari batang otak yang menghubungkan serebrum dan serebelum. Saraf kranial
III dan IV diasosiasikan dengan otak tengah. Otak tengah berfungsi dalam hal
mengontrol respon penglihatan, gerakan mata, pembesaran pupil mata,
mengatur gerakan tubuh dan pendengaran.4
b. Pons merupakan bagian dari batang otak yang berada diantara midbrain dan
medulla oblongata. Pons terletak di fossa kranial posterior. Saraf Kranial
(CN) V diasosiasikan dengan pons. 4
c. Medulla oblongata adalah bagian paling bawah belakang dari batang otak
yang akan berlanjut menjadi medulla spinalis. Medulla oblongata terletak
juga di fossa kranial posterior. CN IX, X, dan XII disosiasikan dengan
medulla, sedangkan CN VI dan VIII berada pada perhubungan dari pons dan
medulla.4
2.3 Kriteria Mati Otak
Pada tahun 1959 Mollaret dan Goulon memperkenalkan istilah coma de
pass (koma irreversibel) dalam menggambarkan 23 pasien koma dengan
hilangnya kesadaran, refleks batang otak, respirasi dan dengan hasil
elektroensefalogram yang mendatar. Sebuah komite Ad hoc pada Fakultas
Kedokteran Harvard pada tahun 1968, meninjau kembali definisi kematian otak
dan kemudian diartikan sebagai koma ireversibel atau kematian otak adalah tidak
adanya respon terhadap stimulus, tidak ada gerakan napas, tidak adanya refleks
batang otak dan koma yang penyebabnya sudah diketahui, kondisi tersebut
menetap sekurang-kurangnya 6 sampai 24 jam.9
Pada tahun 1971 Mohandas dan Chou menggambarkan kerusakan batang
otak sebagai komponen penting dari kerusakan otak yang berat. Konferensi
perguruan tinggi Medical Royal dan fakultas-fakultas yang ada di dalamnya di
Kerajaan Inggris pada tahun 1976, menerbitkan sebuah pernyataan mengenai
diagnosis kematian otak dimana kematian otak diartikan sebagai hilangnya fungsi
batang otak secara lengkap dan ireversibel. Pernyataan ini memberikan pedoman
yang termasuk di dalamnya perbaikan dalam uji apnea dan memusatkan perhatian
pada batang otak sebagai pusat dari fungsi otak. Tanpa batang otak ini, tidak ada
kehidupan. Pada tahun 1981 komisi presiden untuk studi masalah etik dalam
kedokteran biomedis juga penelitian tentang perilaku menerbitkan pedomannya.
Dokumen tersebut merekomendasikan kegunaan tes konfirmasi untuk mengurangi
durasi waktu yang dibutuhkan untuk observasi dan merekomendasikan periode 24
jam bagi pasien dengan gangguan anoksia dan kemudian menyingkirkan syok
sebagai syarat untuk menentukan kematian otak. Akhir-akhir ini Akademi
Neurologi Amerika memberikan kasus berdasarkan bukti dan menyarankan
adanya pemeriksaan-pemeriksaan dalam praktek. Laporan ini secara spesifik
mengarah kepada adanya peralatan-peralatan pemeriksaan klinis dan tes
konfirmasi validitas serta adanya deskripsi tentang uji apnea dalam praktek.8,9
Sehubungan dengan dibutuhkannya konsep kematian otak, maupun
metode terstruktur suatu diagnosis, beragam kriteria telah diterbitkan. Beberapa
diantaranya:
1. Kriteria Harvard
Kunci perkembangan diagnosis kematian otak diterbitkan Kriteria
Harvard, kunci diagnosis tersebut adalah:
1. Tidak bereaksi terhadap stimulus noksius yang intensif (unresponsive
coma).
2. Hilangnya kemampuan bernapas spontan.
3. Hilangnya refleks batang otakdan spinal.
4. Hilangnya aktivitas postural seperti deserebrasi.
5. EEG datar.
Hipotermia dan pemakaian depresan seperti barbiturat harus disingkirkan.
Kemudian, temuan klinis dan EEG harus tetap saat evaluasi sekurang-kurangnya
24 jam kemudian

2. Kriteria Minnesota
Pengalaman klinis dengan menggunakan kriteria Harvard yang
disarankan mungkin sangat terbatas. Hal ini menyebabkan Mohandes dan
Chou mengusulkan Kriteria Minnesota untuk kematian otak. Yang
dihilangkan dari kriteria ini adalah tidak dimasukkannya refleks spinalis dan
aktivitas EEG (elektroensefalograf dan masih dipandang sebagai sebuah
pilihan pemeriksaan untuk konfirmasi), elemen kunci kriteria Minnesota
adalah:
1. Hilangnya respirasi spontan setelah masa 4 menit pemeriksaan.

2. Hilangnya refleks otak yang ditandai dengan: pupil dilatasi,


hilangnya refleks batuk, refleks kornea dan siliospinalis, hilangnya
dolls eye movement, hilangnya respon terhadap stimulus kalori
dan hilangnya refleks tonus leher.

3. Status penderita tidak berubah sekurang-kurangnya dalam 12 jam,


dan

4. Proses patologis yang berperan dan dianggap tidak dapat diperbaiki

Pertimbangan utama dalam mendiagnosis kematian otak adalah sebagai berikut:

1. Hilangnya fungsi serebral,

2. Hilangnya fungsi batang otak termasuk respirasi spontan, dan 3) bersifat


ireversibel. Hilangnya fungsi serebral ditandai dengan berkurangnya
pergerakan spontan dan berkurangnya respon motorik dan vokal terhadap
seluruh rangsang visual, pendengaran dan kutaneus. Refleks-refleks spinalis
mungkin saja ada.10

3. EEG merupakan indikator berharga dalam kematian serebral dan banyak


lembaga kesehatan yang memerlukan pembuktian Electro Cerebral Silence
(ECS), yang juga disebut EEG datar atau isoelektrik. Dikatakan EEG datar
apabila tidak ada perubahan potensial listrik melebihi 2 mikroVolt selama dua
kali 30 menit yang direkam setiap 6 jam. Perlu ditekankan bahwa tidak
adanya respon serebral dan EEG datar tidak selalu berarti kematian otak.
Akan tetapi, keduanya dapat terjadi dan bersifat reversible pada keadaan
hipotermia dan intoksikasi obat-obatan hipnotik-sedatif. Fungsi-fungsi batang
otak dianggap tidak ada jika tidak terdapat reaksi pupil terhadap cahaya, tidak
terdapat refleks kornea, vertibulo-ocular, orofaringeal atau trakea. Tidak ada
respon deserebrasi terhadap stimulus noksius dan tidak ada pernapasan
spontan. Untuk kepentingan dalam praktek, apnea absolut dikatakan terjadi
pada pasien, jika pasien tersebut tidak melakukan usaha untuk menolak
penggunaan alat respirasi setidaknya selama 15 menit. Sebagai tes akhir,
pasien dapat dilepaskan dari respirator lebih lama (beberapa menit) untuk
memastikan bahwa PCO2 arteri meningkat di atas ambang untuk merangsang
pernapasan spontan.(10)

Jika hasil pemeriksaan memperlihatkan bahwa semua fungsi otak hilang,


maka pemeriksaan harus diulang dalam waktu 6 jam untuk memastikan bahwa
keadaan pasien bersifat ireversibel. Jika riwayat dan pengamatan komprehensif
yang sesuai terhadap prosedur penggunaan obat-obatan tidak ada, maka observasi
selama periode 72 jam mungkin dibutuhkan untuk memperoleh reversibilitas
walaupun jarang terjadi dalam praktek, studi perfusi serebral menunjukkan
terhentinya sirkulasi intrakranial secara sempurna menyebabkan terjadinya
kematian otak.10
2.4 Diagnosis Kematian Otak
Untuk mendiagnosis kematian otak ada dua persyaratan kriteria klinis
yang harus dipenuhi. Penyebab cedera harus diketahui yaitu: harus ada bukti nyata
adanya cedera otak yang akut, cedera otak yang ireversibel. Kondisi reversibel
yang mungkin menyamarkan diagnosis klinis kematian otak harus
dikesampingkan.11
- Suhu tubuh harus lebih besar dari 32_C, untuk menyingkirkan hipotermia.
- Tidak ada kemungkinan keracunan obat atau blokade neuromuskular.
- Pasien tidak shock.
Hasil tes berikut harus diperoleh:
1. Pasien tidak menanggapi perintah verbal atau visual.
2. Pasien tidak melakukan gerakan, tidak ada gerakan spontan, atau gerakan
yang disebabkan oleh refleks yang menyakitkan.
3. Murid tetap dan tidak reaktif.
4. Pasien tidak memiliki refleks oculocephalic. Saat mata pasien terbuka dan
kepala dipalingkan dari satu sisi ke sisi lain, mata tetap tetap pada posisi
mereka. Sebagai alternatif, refleks okulovestibular dapat diuji.
5. Kanal telinga pasien diperiksa untuk memastikan membran timpani utuh.
Sementara mata terbuka, air es disuntikkan ke saluran telinga. Mata pasien
yang mati otak tetap terjaga di posisinya.
6. Pasien tidak memiliki refleks kornea saat kapas disentuhkan melintasi
kornea saat mata terbuka.
7. Pasien tidak memiliki refleks muntah. Pergerakan tabung pernapasan
(masuk dan keluar) atau penyisipan tabung yang lebih kecil ke tabung
pernapasan tidak menimbulkan refleks.
8. Pasien tidak memiliki ventilasi spontan. Sementara dukungan hidup
(ventilator) dilepaskan. Dengan berhentinya pernapasan oleh mesin, tubuh
segera mulai membangun limbah metabolisme CO2 dalam darah. Bila
kadar CO2 mencapai 55 mmHg, otak yang aktif menyebabkan pasien
bernafas spontan. Otak yang mati tidak memberi respon. Jika, setelah
pemeriksaan klinis ekstensif ini, pasien tidak menunjukkan tanda fungsi
neurologis dan penyebab cedera diketahui, pasien dapat dikatakan mati
otak. Di beberapa negara bagian, lebih dari satu dokter diharuskan
membuat pernyataan kematian otak ini sebagai kematian hukum.
Meskipun pasien memiliki otak mati dan batang otak mati, refleks
sumsum tulang belakang (misalnya, tersentak lutut) terkadang dapat
ditimbulkan. Pada beberapa pasien kematian otak, gerakan refleks pendek
dapat terjadi saat tangan atau kaki disentuh dengan cara tertentu. Banyak
dokter menggunakan tes konfirmasi untuk kematian otak saat pemeriksaan
klinis tidak menunjukkan fungsi neurologis. Di beberapa negara,
pengujian konfirmasi semacam itu tidak diperlukan.11

2.5 Tanggung jawab rumah sakit dan dokter dalam mendeterminasikan kematian
otak12
Mendeterminasikan kematian otak merupakan langkah yang harus
dilakukan dengan hati-hati. Rumah sakit harus mengeluarkan suatu implementasi
tertulis dan policy untuk mendeterminasikan kematian otak, termasuk : tes dan
prosedur yang diperlukan untuk mendeterminasikan kematian otak,
pemberitahuan pada orang yang paling dekat dengan pasien yang bisa dijadikan
sebagai pembuat keputusan bahwa determinasi kematian otak sedang dalam
proses, dan akomodasi yang beralasan terhadap kepercayaan yng dianut pembuat
keputusan atau objeksi moral untuk menggunakan standar kematian otak untuk
mendeterminasikan kematian pasien. Rumah sakit harus membuat kebijakan yang
memberikan hak istimewa pada dokter untuk membuat determinasi kematian otak
sesuai dengan standar medis. Hal tersebut meliputi :
1. Kebijakan determinasi kematian otak12
Rumah sakit membutuhkan kebijakan yang tertulis yang secara khusus
menerangkan tentang cara mendeterminasikan kematian otak, termasuk
pemeriksaan dan tes yang harus dilakukan.
2. Pemberitahuan12
Pada pedoman yang di keluarkan oleh New York State Law mewajibkan
rumah sakit untuk membuat upaya yang beralasan untuk memberitahu pembuat
keputusan bahwa evaluasi terhadap proses kematian otak sedang dimulai.
3. Penyesuaian yang layak12
Rumah sakit harus membuat prosedur tertulis yang sesuai dengan
kepercayaan pasien dan keluarga atau keberatan moral untuk menggunakan
standar kematian otak dalam mendeterminasikan kematian otak. Kebijakan yang
dikeluarkan memiliki penyesuaian spesifik, seperti penggunaan alat bantu nafas
secara kontinyu dalam keadaan tertentu, namun tetap dibatasi lamanya. Kebijakan
tersebut juga dapat memberikan panduan dalam menggunakan sumber daya
lainnya, seperti anggota klerus, komite etika, dokter perawatan paliatif, konselor
berkabung, dan mediator konflik untuk menangani keberatan atau kekhawatiran.
Sejak keberatan terhadap standar kematian otak hanya berdasarkan penolakan
psikologis dan tidak sesuai pada keyakinan moral atau kepercayaan individu,
suatu penyesuaian yang masuk akal, tidak diperlukan dalam keadaan seperti itu.
Namun, staf rumah sakit harus menunjukkan kepekaan terhadap masalah ini dan
pertimbangkan untuk menggunakan sumber daya lain untuk membantu anggota
keluarga dalam menerima fakta kematian.
4. Hak istimewa12
Penerapan kriteria klinis yang dijelaskan dalam kebijakan ini memerlukan
pertimbangan dari dokter yang berkompeten dalam menentukan kematian otak.
Kemampuan dokter sangat penting dalam memastikan pemeriksaan kematian otak
dengan tepat. Setiap rumah sakit harus menetapkan proses dalam mengidentifikasi
dan memberi hak istimewa kepada dokter untuk membuat keputusan kematian
otak dan suatu mekanisme dimana semua perawat dan staf medis dapat
memverifikasi hak istimewa dokter. Rumah sakit harus menentukan standar ketat
untuk pelatihan dan penilaian kompetensi dalam menentukan kematian otak dan
adanya tinjauan berkala terkait kualifikasi dokter yang harus sesuai standar
memastikan bahwa dokter tersebut memenuhi syarat dan pengetahuan mereka
mencerminkan pemahaman ilmiah saat ini dan praktik klinis yang diterima secara
umum.
2.6 Tanggung Jawab Dokter dalam Mendeterminasikan Kematian Otak
Diagnosis kematian otak terutama bersifat klinis, dan terdiri dari tiga
temuan penting yaitu koma yang ireversibel dan tidak responsif, tidak adanya
refleks batang otak, dan apnea. Tidak ada tes lainnya yang diperlukan jika sudah
memenuhi pemeriksaan klinis yang lengkap, termasuk penilaian refleks batang
otak dan tes apnea, dilakukan secara meyakinkan. Jika temuan klinis tidak
dipenuhi dengan lengkap kematian otak belum dapat didiagnosis dan disertifikasi
pedoman ini berlaku untuk pasien berusia satu tahun atau lebih.
Berikut merupakan langkah dalam mendeterminasikan kematian otak. 12,15
1. Tetapkan penyebab langsung dan keadana koma yang ireversibel, dan
pantau pasien sesuai dengan periode waktu yang tepat untuk
mengeksklusi dari kemungkinan untuk pulih.
2. Lakukan kebijakan rumah sakit untuk memberitahu pengambil
keputusan pengganti
3. Lakukan dan dokumentasikan penilaian klinis terkait reflex batang
otak
4. Lakukan dan dokumentasikan tes apnea
5. Lakukan tes ancillary, jika terindikasi
6. Jika kepercayaan individu dan keberatan moral sudah diketahui, dapat
dilakukan implementasi kebijakan rumah sakit terkait penyesuaian
yang layak
7. Sertifikasi kematian otak
8. Memberhentikan Dukungan kardio respirasi sesuai dengan kebijakan
rumah sakit, termasuk mengenai donasi organ.
Langkah pertama : menentukan penyebab langsung dan keadaan koma
yang ireversibel12,15
Cedera kepala parah, perdarahan intraserebral dan subarachnoid,
aneurysmal, otak hipoksia-iskemik dan kegagalan hati fulminan
merupakan penyebab yang berpotensi menghilangkan fungsi otak secara
ireversibel Dokter harus menilai tingkat dan potensi reversibilitas
kerusakan, dan juga menghilangkan faktor perancu seperti keracunan obat,
blokade neuromuskular, hipotermia, atau kelainan metabolik yang
menyebabkan koma, namun berpotensi untuk reversibe.
Menetapkan penyebab dan kemungkinan koma untuk kembali,
mengharuskan dokter menunggu dalam waktu tertentu dan menghilangkan
faktor pembaur dan kemungkinan pemulihan.
Bukti pemeriksaan imaging dan klinis neural, terhadap gangguan
akut sstem saraf pusat yang sesuai dengan diagnosis klinis
Eksklusi terhadap komplikasi kondisi medis yang dapat
membaurkan penilaian klinis (Contoh : gangguan elektrolit, asam-
basa, dan gangguan endokrin)
Eksklusi terhadap hipotermia atau hipotensi yang signifikan :
Eksklusi terhadap intoksikasi obat. Pasien sedang mendapat
pengobatan terhadap overdosis obat, harus melakukan tes
konfirmasi untuk memastikan bahwa tingkat obat sudah menurun
ke tingkat yang tidak signifikan secara klinis.
Langkah kedua : Pemberitahuan pada pengambil keputusan pengganti12,15
Pihak rumah sakit harus memberitahu pengambil keputusan
pengganti pasien terkait proses determinasi kematian otak yang
sedang berlangsung. Lakukan penyesuaian yang layak terhadap
kepercayaan atau keberatan moral dari keluarga yang ditinggalkan.
Langkah ketiga : Penilaian klinis terhadap reflex batang otak12,15
Jika periode waktu dalam mengevaluasi kematian otak telah
terlewati dan kemungkinan untuk pemulihan sudah dieksklusi, penilaian
klinis fungsi otak dan tes apnea sudah cukup untuk menegakkan kematian
otak. Bagaimanapun jika kemungkinan pulih belum dieksklusi maka
pemeriksaan tersebut dapat ditunda. Disarankan untuk melakukan
pemeriksaan kematian otak secara berulang sebelum apnea test dilakukan
pada anak usia muda.
Selain itu, untuk pasien berusia 18 tahun atau lebih, suhu normal (>
36 C (98,8 F)) harus dicapai, terutama pada penderita hipotermia.
Selain itu, tekanan darah sistolik ( 100 mmHg) (tekanan arteri rata-rata
65 mmHg) harus dicapai sebelum menilai reflek batang otak. Bila kondisi
ini terpenuhi, indikasi klinis berikut ini membuktikan terjadinya kematian
otak :
- Koma : respon tidak ada. Pembukaan dan pergerakan mata
terhadap stimulus tidak ada.
- Refleks batang otak tidak ada :
- Tidak ada reflex pupil di kedua mata. Biasanya pupil tetap
berada pada ukuran sedang atau dilatasi (4-9 mm).
- Tidak ditemukan pergerakan okuler dengan menggunakan tes
okulesepalik (hanya ketika tidak ada fraktur atau instabilitas
yang nyata pada tulang servikal atau basis tengkorak) dan
pemeriksaan okulovestibuler tes.
- Reflex kornea tidak ada.
- Tidak ada pergerakan otot wajah sebagai respon terhadap
stimulus yang berbahaya.
- Tidak adanya reflex muntah dan batuk.
Terdapat beberapa factor yang dapat membaurkan hal tersebut
diatas. Beberapa kondisi dibawah ini dapat mengganggu diagnosis klinis
kematian otak. Pada kondisi ini diperlukan tes ancillary :
- Trauma parah pada wajah dan servikal, atau terdapat
deformitas wajah yang dapat membaurkan penilaian saraf
kranial.
- Penggunaan obat depresan system saraf pusat dan agen
penghambat neuromuscular pada tingkat toksik.
- Gangguan elektrolit, asam-basa, dan endokrin yang parah.
- Penyakit paru kronis parah atau obesitas yang menyebabkan
retensi CO2 kronis.
Langkah 4 : Tes apnea12,15
Umumnya, tes apnea adalah langkah terakhir dalam penentuan
kematian otak, dan dilakukan setelah mengetahui pasien dalam keadaan
koma yang tidak dapat dipulihkan, dan tidak adanya refleks batang otak.
Sebelum melakukan tes apnea, dokter harus menentukan bahwa pasien
memenuhi kondisi berikut :
- Suhu inti > 36 C atau 96,8F
- PaCO2 35-45 mmHg
- Normal PaO2. Pilihan: pre-oksigenasi minimal 10 menit
dengan 100% oksigen sehingga PaO2 > 200 mmHg.
- Normotensi. Sesuaikan cairan dan (jika perlu) vasopressor
pada tekanan darah sistolik 100 mmHg (pilihan: tekanan
arteri rata-rata 65 mmHg).
Setelah mendeterminasikan jika pasien telah memenuhi prasyarat
di atas, dokter dapat melakukan tes apnea, yaitu sebagai berikut :
Pasangkan pulse oximeter
Lepaskan ventilator
Apnea dapat dinilai hanya dengan melepaskan ventilator,
ventilator dapat merasakan perubahan kecil pada tekanan
tabung dan memberikan nafas itu pada pasien.
Memberikan 100% O2, 6 lpm dengan menempatkan kateter
melalui tabung endotrakea. Pilihan: gunakan T-piece dengan
10 cm H20 CPAP dan menyalurkan 100% O2, 12 lpm.
Tentukan garis dasar gas darah arterial
Perhatikan dengan seksama pada gerakan nafas selama 8-10
menit
Ukur PaO2, PaCO2, dan pH setelah kira-kira 8-10 menit dan
sambungkan kembali ventilator.
Jika gerakan respirasi tidak ada dan PaCO2 60 mmHg
(pilihan : 20 mmHg meningkat diatas nilai normal) tes apnea
mendukung diagnosis kematian otak
Jika gerakan respirasi teramati, hasi tes apnea negative
sehingga tidak mendukung diagnosis kematian otak.
Sambungkan ventilator jika, selama pengujian, tekanan darah
sistolik menjadi <90 mmHg (atau di bawah ambang batas
sesuai usia pada anak di bawah 18 tahun) atau pulse oksimeter
menunjukkan desaturasi oksigen yang signifikan (<85%
selama> 30 detik), atau terjadi aritmia jantung; Segera ambil
sampel darah arterial dan analisa gas darah arteri Jika PaCO2
60 mm Hg atau PaCO2 meningkat 20 mmHg PaCO2
baseline normal, maka hasil tes apnea mendukung diagnosis
kematian otak; Jika PaCO2 <60 mm Hg dan PaCO2 meningkat
<20 mmHg di atas normal PaCO awal, hasilnya tidak pasti.
Jika tekanan darah dan oksigenasi cukup
memadaiDipertahankan, tes apnea bisa diulang untuk jangka
waktu yang lebih lama (10-15 menit) atau sebuah tes ancillary
dapat dipertimbangkan jika hasilnya tidak pasti.
Langkah 5 : Tes ancillary sesuai indikasi12,15
Ketika pemeriksaan klinis lengkap, termasuk penilaian refleks
batang otak dan tes apnea, secara meyakinkan dilakukan, tidak ada
pengujian tambahan yang diperlukan untuk menentukan kematian
otak.Pada beberapa pasien dengan luka di wajah atau servikal,
ketidakstabilan kardiovaskular, atau faktor lainnya menyebabkan penilaian
tidak dapat dilakukan dengan aman. Dalam keadaan seperti itu, diperlukan
tes tambahan untuk memverifikasi kematian otak. Tes ini juga bisa
digunakan untuk meyakinkan keluarga pasien dan staf medis. Pilihan uji
tambahan yaitu berdasarkan ketersediaan, kelebihan, dan kekurangan. Tes
tambahan yang tersedia antara lain :
- Angiografi (konvensional, komputerisasi tomografi, dan resonansi
magnetik): Kematian otak dikonfirmasi dengan menunjukkan tidak
adanya pengisian intraserebral pada tingkat bifurkasi karotis atau
Lingkaran Willis. Pada CT angiografi, opasitas dapat terlihat pada
bagian proksimal arteri serebral anterior dan tengah. Peredaran
darah karotid eksternal paten, dan penundaan pada pengisian sinus
sagital superior.
- MRI angiografi sulit dilakukan pada pasien ICU karena
magnet dapat mengganggu perangkat keras lainnya.
- CT angiography biasanya menunjukkan aliran darah pada
pasien dengan kematian otak.
- Arteriografi serebral seringkali sulit dilakukan pada pasien
yang kritis, dan tidak stabil.
- Electroencephalography (EEG): Kematian otak dikonfirmasi
dengan mendokumentasikan tidak adanya aktivitas listrik selama
minimal 30 menit.
- Cerebral Scintigraphy (HMPAO) (Nuklear Brain Scanning) :
Kematian otak dikonfirmasi oleh tidak adanya pengambilan isotop
pada parenkim otak dan / atau vaskulatur, tergantung pada isotop
dan teknik yang digunakan "hollow skull phenomenon"
- Transcranial Doppler Ultrasonography : Kematian otak
dikonfirmasi oleh puncak sistolik yang kecil pada awal sistol tanpa
aliran diastolik menunjukkan pembuluh darah yang memiliki
resistensi yang tinggi terkait dengan tekanan intrakranial yang
meningkat.
Langkah 6 : penyesuaian yang masuk akal12,15
Bila terdapat keberatan atas kematian otak berdasarkan alasan
agama atau moral, dokter dan staf rumah sakit harus mengikuti kebijakan
rumah sakit untuk menyediakan penyesuaian yang masuk akal.
Langkah 7 : sertifikasi kematian otak12,15
Kematian otak dapat ditentukan oleh seorang dokter tunggal yang
memiliki hak istimewa untuk mendeterminasi kematian otak. Penilaian
klinis dan tes tambahan harus memenuhi standar medis, dan semua yang
terlibat dapat memilikinya keyakinan bahwa penentuan kematian otak
tidaklah dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, termasuk kebutuhan dari
penerima organ yang potensial.
Bila dua dokter dibutuhkan untuk mengesahkan waktu kematian,
yaitu ketika direncanakan donor organ, dokter kedua harus meninjau dan
menegaskan bahwa rekam medis dan data sepenuhnya telah mendukung
adanya kematian otak. Setiap aspek penilaian klinis, tes apnea, atau uji
tambahan (jika ada) dapat dilakukan lagi jika dokter kedua percaya hal itu
sesuai indikasikan untuk menguatkan tekadnya tentang kematian otak.
Dokter kedua harus memiliki hak istimewa sebagai anggota staf medis
rumah sakit dan memahami tentang tes yang dilakukan.
Langkah 8 : penghentian Dukungan kardio-respirasi sesuai kebijakan
rumah skait, termasuk mengenai donor organ. 12,15
Bila pasien telah dinyatakan mengalami kematian otak maka
ventilator harus dihentikan, harus dapat memberikan edukasi yang yang
tepat pada keluarga. Jika anggota keluarga menginginkannya, mereka
mungkin akan ditawarkan kesempatan untuk hadir saat ventilator
dihentikan. Namun, anggota keluarga harus siap terhadap aktivitas klinis
dari pasien yang mungkin mengganggu bagi keluarga ketika mereka
menyaksikannya. Saat direncanakannya donasi organ, dukungan ventilasi
akan dihentikan di ruang operasi dan keluarga tidak diperkenankan untuk
terlibat.
2.7 Etika dan Moralitas Eutanasia
Pada awal munculnya undang-undang euthanasia, banyak pihak yang
menentang hal tersebut antara lain Belanda dan di luar negeri seperti Partai
Demokrat Kristen di Jerman. Undang-undang euthanasia sempat mengalami
penggugatan di Mahkamah Pengadilan Eropa. Namun dalam parlemen sebagian
besar suara menerima undang-undang ini.13
Dalam sejarahnya di Belanda, euthanasia dilarang menurut hukum namun
bila syarat syarat tertentu dipenuhi, instansi kehakiman tidak mengambil
tindakan terhadap dokter dalam mendampingi pasien pasien terminal dan
berkeyakinan meminta dilakukannya euthanasia. Dalam perjalanannya terdapat
perubahan pada undang-undang, Setelah diterima undang undang baru pada
April 2001, hukum secara positif mengijinkan dokter mengakhiri kehidupan
pasien terminal, asal memenuhi beberapa syarat. Sejak itu, dalam praktik
euthanasia di Belanda posisi dokter terhadap hukum menjadi lebih jelas dan aman.
Sebelumnya dokter sering segan melapor tindakan euthanasia, kini kekhawatiran
ini tidak perlu lagi, sebab tindakan euthanasia sudah menjadi legal. 13
Pada dasarnya euthanasia masih dianggap sebagai tindakan pembunuhan
dan dapat dikenai sanksi pidana. Adapun hokum terkait euthanasia antara lain : 13
1. Pasal 344 : Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan
yang tegas dan sungguh sungguh dari orang lain itu sendiri dihukum dengan
hukuman penjara selama lamanya dua belas tahun.
Ketentuan di atas dilakukan bila atas permohonan pasien atau keluarganya
(melakukan euthanasia aktif). Namun bila dilakukan tanpa permintaan pasien
(dikategorikan euthanasia pasif), ancamannya 13
2. Pasal 338 : Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain,
karena salah telah melakukan pembunuhan dihukum dengan hukuman
penjara selama lamanya lima belas tahun.
3. Pasal 340 : Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih
dahulu menghilangkan nyawa orang lain, karena salah telah melakukan
pembunuhan dengan direncanakan terlebih dahulu, dihukum dengan
hukuman mati atau dengan hukuman penjara seumur hidup atau dengan
hukuman penjara sementara selama lamanya dua puluh tahun.
Euthanasia pasif terkait dengan hak hak pasien, antara lain hak atas
informasi, hak memberikan persetujuan, hak memilih dokter, hak memilih rumah
sakit, hak atas rahasia kedokteran, hak menolak pengobatan, hak menolak suatu
tindakan medis tertentu, hak untuk menghentikan pengobatan. Dilihat dari sudut
pandang etika, adanya pengakuan hak untuk hidup seyogyanya diperlakukan juga
setara dengan adanya hak untuk mati. Prinsip menghormati kehidupan adalah
salah satu prinsip yang cukup penting dalam etika medis. 13
2.8 Transplantasi organ tubuh jenazah mati
Transplantasi organ merupakan suatu tindakan medis memindahkan
sebagian tubuh atau organ yang sehat untuk menggantikan fungsi organ sejenis
yang tidak dapat berfungsi lagi. Secara legal transplantasi hanya boleh dilakukan
untuk tujuan kemanusiaan dan tidak boleh dilakukan untuk tujuan komersial
sesuai bunyi pasal 33 ayat 2 UU 23/ 1992. Di Indonesia pengaturan hukum
transplantasi organ adalah dalam UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan
PP No. 18/1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta
Transplantasi Alat dan Jaringan Tubuh Manusia. 14,15
Di Indonesia terdapat aturan mengenai transplantasi yang hanya boleh
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang, dan dilakukan atas dasar
persetujuan dari donor maupun ahli warisnya (pasal 65 ayat 1 UU No. 36/2009).
Selain itu dokter yang melakukan transplantasi adalah dokter yang bekerja di RS
yang ditunjuk oleh Menkes (pasal 11 ayat 1 PP 18/1981). Pengambilan organ baru
dapat dilakukan jika donor telah diberitahu tentang resiko operasi, dan atas dasar
pemahaman yang benar tadi donor dan ahli waris atau keluarganya secara sukarela
menyatakan persetujuannya (pasal 65 ayat 2 UU No. 36/2009). 14,15
Yang paling penting dalam transplantasi organ oleh donor mati (cadaver),
adalah perihal persetujuan. Terdapat rasa hormat yang sangat besar terhadap
jenazah bagi berbagai kebudayaan suatu negara di beberapa belahan dunia. Dalam
tiap kebudayaan terdapat kewajiban untuk menghormati mayat, terutama pada
masyarakat yang masih percaya adanya kekuatan di luar dari kekuatan manusia.
Dalam hal transplantasi organ dari donor mati (cadaver) maka harus didasari oleh
persetujuan dari ahli waris/keluarganya jika donor telah meninggal. 14
Masalah-masalah tersebut harus ditegaskan dalam PP dari UU No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan tentang transplantasi untuk mencegah hal-hal yang
tidak diinginkan di kemudian hari. Dari aspek etik dan kesehatan, transplantasi
organ tubuh, jaringan dan sel merupakan suatu upaya yang sangat mulia untuk
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian guna pelaksanaan
transplantasi agar tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan, maka perlu
ada pengaturan hukum lainnya selain apa yang sudah diatur dalam UU No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan. 14

Anda mungkin juga menyukai