Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

ANESTESI UMUM PADA OPERASI EKSISI BIOPSI PASIEN


DENGAN TUMOR MAKSILA

Disusun Oleh :
Rikianto
I4061191043

PEMBIMBING
dr. Leonardus Singgih Wibowo, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SOEDARSO
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2021

1
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui laporan kasus dengan judul:

“Anestesi Umum pada Operasi Eksisi Biopsi Pasien dengan


Tumor Maksila”

Disusun oleh :
Rikianto
I4061191043

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Anestesi

Pembimbing Penyusun

dr. Leonardus Singgih Wibowo, Rikianto


Sp.An

2
BAB I
PENDAHULUAN

Tumor adalah jaringan baru atau neoplasma yang timbul dalam tubuh akibat
pengaruh berbagai faktor penyebab dan menyebabkan jaringan setempat pada
tingkat gen dan adanya kehilangan kendali normal atas pertumbuhannya. Istilah
neoplasma pada dasarnya memiliki makna sama dengan tumor. Keganasan
merujuk kepada segala penyakit yang ditandai dengan hyperplasia sel ganas,
termasuk berbagai tumor ganas. Tumor dapat dibagi menjadi tumor odontogenik
dan non-odontogenik. Tumor odontogenik adalah neoplasma yang melibatkan
jaringan perkembangan gigi. Tumor odontogenik dibagi lagi menjadi tumor yang
berasal dari ectodermal, mesodermal, dan campuran meso-ektodermal. Sedangkan
tumor non-odontogenik dibagi menjadi tumor osteogenik, tumor jaringan
vascular, dan tumor jaringan jaringan saraf. Pertumbuhan tumor tersebut dapat
terjadi dimana saja, salah satunya pada daerah rahang, yang disebut dengan tumor
rahang.
Rahang tersusun atas banyak jaringan, yaitu tulang, otot, kelenjar, dan
mukosa. Oleh karena itu, setiap jaringan tersebut rentan untuk terjadi
pertumbuhan yang abnormal. Terkadang terdapat kerancuan dalam mendiagnosa
tumor yang terjadi pada pasien. Untuk menghindari kesalahan dalam
mendiagnosis serta penatalaksanaan kasus tumor jinak dan tumor ganas,
diperlukan pemahaman lebih lanjut mengenai perbedaan setiap tumor yang ada
pada daerah rahang. 1

3
BAB II
PENYAJIAN KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. RF
Nomor Rekam Medis : 149593
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir / Usia : 03-10-2003/ 18 tahun
Alamat : Jl. Parit Baru No.2, Sungai Raya
Status Pernikahan : Belum Menikah
Pekerjaan : Pelajar
Tanggal Masuk RS : 17-10-2021
Tanggal Operasi : 18-10-2021

1.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 17 Oktober 2021.
1. Keluhan Utama
Benjolan di Gusi kiri rahang bagian atas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang berobat ke Poli Gigi dengan keluhan benjolan di gusi
kiri sejak ± 1 tahun SMRS. Menurut pasien, keluhan benjolan awalnya
berukuran kecil dan makin lama semakin membesar selama 1 tahun ini.
Benjolan berukuran kurang lebih 2 cm x 1 cm, konsistensi padat. Pasien
mengaku tidak mengeluhkan nyeri pada benjolan tersebut dan terkadang
berdarah sedikit karena benjolan tergesek saat menggosok gigi. Namun,
karena benjolan tersebut semakin membesar, akhirnya pasien dibawa oleh
orang tuanya berobat ke Rumah Sakit. Keluhan demam, penurunan Berat
Badan dan riwayat trauma disangkal. Pasien tidak merokok dan
menkonsumsi alkohol.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Hipertensi, Diabetes Melitus, Asma dan Kejang disangkal.

4
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan maupun penyakit yang
serupa dengan pasien.
5. Riwayat Alergi
Pasien menyangkal adanya riwayat alergi obat maupun makanan.
6. Riwayat Pengobatan
Sebelumnya, pasien pernah berobat ke RS. Bhayangkara Anton
Soedjarwo Pontianak dan hingga akhirnya di rujuk ke RS. Dr. Soedarso
Pontianak
Sebelumnya, pasien sudah menjalani pemeriksaan FNAB pada
benjolannya pada tanggal 10 September 2021. Dari hasil yang didapat,
dinyatakan tumor suspek jinak.

1.2 Pemeriksaan Fisik


1. Pemeriksaan Tanda Vital
Kesadaran : Compos Mentis, GCS: E4V5M6

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang


Tekanan Darah : 112/67 mmHg
Frekuensi Nadi : 90 x/menit
Frekuensi Napas : 20 x/menit
Suhu : 36,5 oC
Saturasi Oksigen : 99 %
Berat Badan : 45 kg
Tinggi Badan : 165 cm
BMI : 16,5
2. Status Generalisata
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-)
Mulut : benjolan ukuran 2 x 1 cm di gusi kiri rahang atas
Leher : JVP normal, Pembesaran KGB (-)
Pulmo
 Inspeksi : Simetris kanan dan kiri baik statis maupun dinamis

5
 Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-)
 Perkusi : Terdengar sonor pada seluruh lapang paru
 Auskultasi : Suara napas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Cor
 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
 Perkusi : Batas kanan jantung di ICS IV linea parasternal
desktra dan batas kiri jantung di ICS V linea aksilaris anterior
sinistra
 Auskultasi : S1 dan S2 regular, murmur (-), gallop (-).
Abdomen
 Inspeksi : Datar, simetris kiri dan kanan, scar (-)
 Auskultasi : Bising usus (+) normal 9x/menit
 Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-)
hepatosplenomegali (-)
 Perkusi : Timpani di seluruh abdomen
Ekstremitas atas : Akral hangat, CRT < 3 detik, edema (-/-)
Ekstremitas bawah : Akral hangat, CRT < 3 detik, edema (-/-)

Penilaian Jalan Napas:


 Inspeksi luar : trauma facial(-), lidah besar(-), gigi seri
besar(-), kumis dan jenggot(-)
 Jarak gigi seri >3 jari, jarak mentum-os hyoid>3 jari, jarak
thyromental 2 jari.
 Skor mallampati :I
 Obstruksi : trauma (-), abses peritonsilar (-)
 Keterbatasan gerak leher (-)

6
1.3 Pemeriksaan Penunjang
a. Foto Thorax PA (17-10-2021)
Hasil foto thorax PA :
Cor : Besar dan bentuk normal
Pulmo : Tidak tampak infiltrate, fibrosis, mass. Hilus dan
Bronchovaskuler normal
Diafragma letak rendah dan mendatar
Tulang-tulang baik
Kesan: Emphysematous

b. Darah Lengkap (21-09-2021)


Parameter Hasil Nilai Rujukan
Leukosit 5.53 4,5 – 11 10^3 / µL
Eritrosit 5.65 4,6 – 6,0 x 10^6 / µL
Hemoglobin 16.7 12,0 – 16,0 g/dL
Hematokrit 48.5 36 - 54 %
MCV 85.8 82 – 92 fl
MCH 28.7 27 – 31 pg
MCHC 33.4 32 – 37 g/dL
Platelet 352 150 – 440 x 10^3 / µL
Waktu perdarahan 2’00” 1-3
Waktu pembekuan 7’00” 5-15

c. Serologi (21-09-2021)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
HbsAg Non-reaktif Non-reaktif
Anti HCV Non-reaktif Non-reaktif
Anti HIV Non-reaktif Non-reaktif

7
d. Kimia Klinik (21-09-2021)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
GDS 85 70 – 150 mg/dL
Ureum 13,7 13 – 43 mg/dL
Kreatinin 0,85 0,6 – 1,2 mg/dL
SGOT 11,6 1.0 – 40.0 U/L
SGPT 6,4 1.0 – 34.0 U/L

e. Patologi/Sitologi-FNAB (13-09-2021)

Bahan : FNAB, Nodul pada gusi regio 23


Ringkasan keterangan klinik/hasil operasi: benjolan pada gusi
dialami selama 1 tahun ini. Nyeri (-)
Diagnosa klinik : Suspek inflamasi kronik regio 23
Hasil Pemeriksaan:
 Nodul pada gusi reg. 23, ukuran 1 x 1, konsistensi padat, warna
kemerahan
 Dilakukan 2x FNAB  aspirat darah
 Mikroskopik : sediaan smear terdiri dari sebaran sel-sel darah
merah. Tampak sebaran minimal sel-sel radang
polimorfonuklear.
Kesan: Benign Lesion
1.4 Diagnosis
Diagnosis : Tumor Maxilla
1.5 Tatalaksana
Incision of Gum alveolar bone, Eksisi + Biopsi
1.6 Kunjungan Pra-Anestesi
Penentuan status ASA : ASA II
Persiapan pra-operasi:
1. Informed consent
2. Puasa 6 jam pre operasi
3. Konsultasi ke penyakit dalam dan anestesi
1.7 Laporan anestesi
 Diagnosis pra-bedah: Tumor Maxilla
 Diagnosis post-bedah: Tumor maxilla post incision of gum alveolar
bone, eksisi-biopsi

8
 Jenis pembedahan: Incision of gum alveolar bone, Eksisi-Biopsi
 Jenis anestesi: Anestesi umum
 Teknik anestesi: Intubasi oral ETT no. 7,5
 Premedikasi : Fentanyl 100 mcg, Midazolam 3 mg
 Induksi anestesi: Propofol 100 mg, atracurium 30 mg, sevoflurane 2,5
vol%
 Medikasi intra-operasi: Tramadol 100 mg, ketorolac 30 mg,
ondancentrone 4 mg, sulfas atropine 0,25 mg, aminophiline 48 mg,
neostigmine 0,5 mg, nokoba 0,8 mg
 Jumlah cairan : RL 1000 ml infus tangan kanan, abocath no. 20
 Respirasi : Ventilator (VT 360 ml, RR 14)
 Posisi : Supine
 Durasi anestesi dan operasi :
 Mulai anestesi 09.30 WIB
 Mulai operasi 09.40 WIB
 Selesai operasi 10.40 WIB
 Durasi operasi 1 jam 00 menit

Perhitungan (BB Hasil


pasien=45 kg)
Kebutuhan cairan basal 2 ml/kgBB/jam =2 ml x 45 kg
(maintenance) =90 ml/jam
Kebutuhan cairan Kebutuhan basal x jam =90 ml/jam x 6 jam
puasa (puasa 6 jam pre puasa =540 ml
op)
Stres operasi 4 ml/kgBB (operasi =4 ml x 45 kg
Op kecil, durasi 1 jam ringan dewasa) =180 ml
(third space loss)
Perdarahan
Estimated Blood BB x 75 ml =45 kg x 75 ml
Volume (EBV) =3375 ml
Estimated Blood Loss 10% EBV =10% (3375 ml)
(EBL) =337,5 ml

9
 MOP laki-laki dengan berat badan 45 kg
M = 2 ml/kgBB/jam
= 2 ml x 45 kg
= 90 ml
O = 4 ml x kgBB
= 4 ml x 45 kg
= 180 ml
P = M x lama puasa
= 90 ml x 6 jam
= 540 ml/jam
 Kebutuhan cairan 1 jam pertama
=½P+M+O
= ½ 540 + 90 + 180
= 405 ml/jam

Waktu TTV Keterangan


09.20 TD 110/70  Pasien masuk kamar operasi
N 90  Pasien dipasang pulse oximetry dan
RR 20 manset tekanan darah
SpO2 98%
09.30 TD 120/72  Dilakukan premedikasi dengan bolus
N 92 Midazolam 3 mg, Fentanyl 100 mcg
RR 18  Dilakukan preoksigenasi
SpO2 100%  Induksi anestesi dengan Propofol 100
mg
 Beri relaksan dengan bolus atracurium
30 mg
 Intubasi dengan ETT spiral no.7,5
 Respirasi menggunakan ventilator, VT
360 ml, RR 14
 Anestesi inhalasi sevoflurane 2,5 vol%
 Atur mesin anestesi dan ventilator untuk
maintenance selama operasi

10
09.40 TD 120/74 Operasi dimulai
N 94  Medikasi : Dexamethasone 10 mg
RR 14
SpO2 100%
09.50 TD 122/76 Operasi berlangsung
N 96
RR 14
SpO2 100%
10.00 TD 126/72 Operasi berlangsung
N 94
RR 14
SpO2 100%
10.10 TD 127/78 Operasi berlangsung
N 98
RR 14
SpO2 100%
10.20 TD 122/72 Operasi berlangsung
N 92
RR 14
SpO2 100%
10.30 TD 128/80 Operasi berlangsung
N 95  Medikasi : Tramadol 100 mg, ketorolac
RR 14 30 mg, ondancentrone 4 mg
SpO2 100%

10.40 TD 120/78  Operasi selesai


N 94  Membangunkan pasien, bolus IV sulfas
RR 14 atropine 0,25 mg, neostigmine 0,5 mg,
SpO2 100 aminophilin 48 mg, nokoba 0,8 mg
 Rangsang nyeri
 Ekstubasi

10.50 TD 122/80  Pasien diantar ke Recovery Room

11
N 92  Observasi pasien di RR: pemberian
RR 20 oksigen 3L/menit, monitor saturasi O2
SpO2 100 dan tanda-tanda vital
11.00 TD 124/74  Monitoring pasien di RR
N 95
RR 20
SpO2 100
11.20 TD 125/77  Pasien dipindahkan ke bangsal rawat
N 94 inap
RR 20
SpO2 99%

1.8 Instruksi Post Operasi


 Awasi keadaan umum dan tanda-tanda vital
 Aff tampone 2 jam post OP
 Medikasi post OP: ketorolac 30 mg iv 3x1, dexamethasone 5 mg iv 3x1
 Diet lemak
 Mobilisasi normal
 Jaga self higiene

12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi Maksila


Maksila dibentuk oleh tulang maksila dan palatum, yang merupakan tulang
terbesar setelah mandibula (rahang bawah). Masing-masing maksila mempunyai
bagian:
a. Corpus : yang berbentuk pyramid dengan 4 permukaan dinding:
 Facies orbitalis yang ikut membentuk dasar cavum orbi
 Facies nasalis yang ikut membentuk dinding lateral cavum nasi
 Facies infra temporalis yang menghadap postero-lateral
 Facies anterior
b. Processus : ada 4 proscessus yaitu:
 Proc. Frontalis yang bersendi dengan os Frontale, nasal dan lacrimale
 Proc. Zygomaticus yang bersendi dengan os Zygomaticus
 Proc. Alveolaris yang ditempati akar gigi
 Proc. Palatines yang memisahkan cavum nasi dengan cavum oris

Corpus maksila merupakan bangunan berongga, berdinding tipis, terutama


pada facies nasalis. Rongga tersebut dinamakan sinus maksilaris, yang merupakan
sinus terbesar dari keempat sinus paranasal yang ada. Dibawah mukosanya, pada
dinding anterior dan posterior, terdapat anyaman saraf yang dibentuk cabang
n.maksilaris yang masuk menuju sinus melalui canalis alveolaris dan canalis infra
orbitalis untuk mempersarafi gigi rahang atas. Akar gigi yang tumbuh pada proc.
Alveolaris maksila kadang-kadang dapat menembus sinus, yaitu akar gigi dari
M1. Terdapat juga otot-otot yang kecil dan tipis yang melekat pada maksilayang
mendapat persarafan motoric dari nervus fasialis.

13
3.2. Tumor Maksila
3.2.1. Definisi
Tumor adalah jaringan baru atau neoplasma yang timbul dalam tubuh
akibat pengaruh berbagai faktor penyebab dan menyebabkan jaringan sekitar
pada tingkat gen mengalami hilangnya kendali normal atas pertumbuhannya.
Tumor dapat terjadi dimana saja tergantung lokasinya, salah satunya di
daerah maksila sehingga disebut dengan tumor maksila.1

3.2.2. Klasifikasi1
Klasifikasi tumor odontogenik regio rahang:
1. Tumor jinak
1. Tumor odontogenik epitelium : hanya melibatkan jaringan epitel
odontogenik tanpa partisipasi odontogenik ektomesenkimal.
 Ameloblastoma
Tumor jinak epitel yang bersifat infiltrative, tumbuh
lambat, diawali dengan asimptomatik, tidak berkapsul,
berdiferensiasi baik. Berasal dari lamina dentalis atau unsur-
unsurnya. Kasus tumor ini terjadi lebih banyak di rahang
bawah, khususnya didaerah posterior dan ramus,
dibandingkan dengan maksila dengan perbandingan 5:1.
Gambaran radiologi: unilocular atau multilocular
radiolucent dalam berbagai bentuk dan ukuran, yang biasa
disebut sebagai soap bubble atau honeycomb-like
appearance.
 Tumor odontogenik epitelium berkalsifikasi
Tumor ini tidak umum dan biasanya menyerang pasien
laki-laki maupun wanita berusia 30-50 tahun. Tumor ini
diperkirakan berasal dari sel-sel stratum intermedium dan
benih gigi atas dasar adanya kesamaan morfologi sel tumor
dengan sel dari stratum intermedium, dan aktivitas yang

14
tinggidari alkalin fosfatase dan adenine trifosfat. Tumor ini
memiliki persentase sekitar 1% dari tumor odontogenik
secara keseluruhan. Biasanya berlokasi di dalam tulang dan
memproduksi zat mineralisasi seperti zat amyloid. Tumor ini
paling sering ditemukan pada rahang bawah region
molar/premolar dan sisanya pada maksila. Tumor ini timbul
dari epitel enamel yang berkurang dari gigi yang tidak erupsi
atau impaksi dalam 50% kasus.
Gejala klinis pasien biasanya diawali dengan
asimptomatik dan bengkak secara perlahan. gambaran
radiologi pada tumor : dapat berupa unilocular (lebih sering
pada maxilla) atau multilocular radioluscent. Kalsifikasi
biasa tersebar didalam tumor (driven snow appearance) dan
paling sering berada disekitar mahkota dan gigi impaksi
(pericoronal radioluscent).
 Odontogenik mixoma
Tumor ini lebih sering pada wanita berusia 10-30 tahun.
Tumor ini biasa berhubungan dengan kelainan kongenital
atau gigi yang tidak tererupsi. Pertumbuhan tumor ini
lambat, dapat atau tidak disertai dengan nyeri, pergeseran
gigi, ulserasi, parestesia. Tumor ini dipercaya berasal dari
periodontal ligament. Dapat menyerang daerah maxillary
sebesar 25% kasus. Predileksi posterior mandibular,
gambaran : batas tidak jelas, jelly like tumor (myxoid).
 Tumor odontogenik skuamosa
Tumor ini adalah sebuah proliferasi neoplasma dari
epitel odontogenik, kemungkinan berasal dari sisa-sisa
Malassez dalam PDL dari permukaan lateral gigi yang
tererupsi.
Lokasi yang paling sering yaitu maxillary incisor canine
dan mandibular molar. Biasa lesi asimptomatik namun
terkadang menyebabkan nyeri ringan, tidak nyaman,

15
gangguan motilitas gigi. Gambaran radiologi : semicircular
atau triangular radioluscent dengan sclerotic atau berbatas
tegas.

 Tumor odontogenik adenimatoid


Tumor ini paling sering menyerang pasien wanita
berusia dibawah 30 tahun. Tumor ini jinak dan tidak
invasive. Tumor tumbuh dari sisa odontogenik epitelium.
Tumor ini biasa terdapat pada maxilla yang melibatkan
caninus dan premolar. Pertumbuhan tumor lambat namun
akan berlanjut menginfiltrasi tulang untuk menggantikan
gigi. Biasanya tanpa gejala dan seringkali ditemukan ketika
melakukan pemeriksaan radiografi rutin. Tumor tersebut
tampak berbatas, unilokular radioluscent (fine calcified
deposit).

2. Tumor odontogenik campuran: tersusun dari epitel odontogenik


dan ektomesenkimal dengan atau tanpa pembentukan jaringan
keras dental
 ameloblastik fibroma
tumor ini merupakan gabungan dari lesi odontogenik
yang mencakup epithelial dan komponen mesenkimal
neoplasma. Tumor ini paling sering terjadi di usia muda
antara 20-30 tahun. Tumor ini sering muncul di premolar
bawah dan berhubungan dengan gigi impaksi dan terlihat
radiolusen karena berkaitan dengan mahkota atau akar dari
gigi yang impaksi. Secara radiografis, tumor ini terlihat
radiolusen dengan batas tegas antara unilokular dan
multilokular.

2. Tumor ganas
1. Odontogenic carcinoma

16
 Metastasizing ameloblastoma
 Ameloblastic carcinoma
2. Odontogenic sarcoma
 Amelolastic fibrosarcoma

Sedangkan tumor yang berasal dari non-odontogenik terdiri atas:


 Jinak
a. Osteogenic neoplasma
b. Fibrous dysplasia
c. Central giant cell granuloma
 Ganas
a. Osteosarcoma
b. Burkitt’s Lymphoma
c. Ewing’s sarcoma

3.2.3. Etiologi 1
Penyebab dari tumor maxilla odontogenik paling banyak disebabkan
oleh tumbuhnya gigi bungsu moalr 3 yang tidak seharusnya impaksi. Hal
tersebut mengakibatkan gigi disekitarnya menjadi terdesak dan memicu
terjadinya pembengkakan dan akan memicu terbentuknya tumor. Selain itu
terdapat penyebab lain yang memicu tumbuhnya tumor adalah:
1. Masalah pada mulut
Masalah pada mulut seperti gigi berlubang, karies, gigi yang patah,
dan gigi yang tumbuh diluar jalur dapat mengakibatkan pembengkakan
pada mulut yang akan menjadi penyebab terbentuknya tumor.
2. Trauma rahang
Trauma rahang seperti rahang patah, bruxism (menggertak) atau
pertumbuhan tulang rahang yang berada diluar batas yang terkadang
muncul pada usia lanjut.
3. Infeksi sinus

17
Infeksi ini dapat menyebabkan nyeri pada rahang akibat adanya
tekanan di rongga sinus sehingga dapat menjalar dan berdampak pada
rahang.
4. Lain-lain
Adanya penyakit lain seperti migraine, tetanus, keracunan
strychnine atau penyakit caffey. Atau dapat juga berupa penyebaran
dari tempat lain (metastasis), oral hygiene, bad habit (rokok dan
alkohol) dan faktor genetic.
3.2.4. Patofisiologi 1
Infeksi odontogenik biasanya dimulai dengan terjadinya kematian
pulpa, invasi bakteri dan perluasan proses infeksi kearah periapikal.
Terjadinya keradangan yang terlokalisir (osteitis periapikal kronis) atau abses
periapikal akut, pembentukan eksudat purulent tergantung dari virulensi
kuman, dan efektivitas pertahanan hospes. Kerusakan pada ligamentum
periodontium bisa memberikan kemungkinan masuknya bakteri dan akhirnya
terjadi abses periodontal akut. Apabila gigi tidak erupsi sempurna, mukosa
yang menutupi sebagian gigi tersebut mengakibatkan abses perikoronal.
Dengan pertahanan hospes yang efektif atau terapi yang benar, suatu infeksi
akut bisa dikurangi menjadi subakut atau kronis, dapat bertahan seperti dan
akhirnya sembuh. Indikator klinis utama pada jaringan lunak sehubungan
dengan kekronisan adalah terbentuknya jaringan granulasi dan terjadinya
fistulasi yang bisa mendrainase daerah yang mengalami infeksi kronis.
Bila terdapat keganasan pada sinus maxillaris, maka lesi yang paling
sering adalah karsinoma, dan daerah yang terkena atau terlibat biasanya pada
infrastruktur sinus. Perluasan lesi ini pada prosesus alveolaris menyebabkan
penyebaran dan timbulnya lesi pada gingiva berupa ulserasi dan gigi yang
goyang. Keganasan yang timbul pada prosesus alveolaris maksila juga dapat
melibatkan antrum. Keganasan sinus maxilla yang mengenai orbita atau fosaa
infratemporalis sering ditemukan.

3.2.5. Gejala dan Tanda1

18
Tumor maxilla akan menimbulkan berbagai tanda dan gejala yang mirip
seperti facial pain syndrome, termasuk trigeminal neuralgia. Pada fase awal
pasien akan mengeluhkan nyeri lokal pada daerah maksila kemudian gejala
akan berlanjut pada mobilitas dari gigi. Ketika tumor menyerang maksila,
akan menimbulkan adanya infiltrate pada sinus maksilaris. Dalam keadaan
tersebut, pasien akan merasakan adanya sumbatan pada nasal oleh karena
gejala obstruksi. Selain itu, tumor akan menginvasi saraf infraorbital (cabang
dari maksilaris dari nervus trigeminus) yang akan menyebabkan gangguan
sensoris pada daerah wajah. Apabila tumor ganas, maka akan menimbulkan
nyeri yang berlebih.
Ketika tumor menjalar kedaerah superior, daerah orbita, akan
menyebabkan restriksi dari mobilitas ocular, perubahan posisi bola mata, dan
selanjutnya akan menginfiltrasi periorbital dan otot extraokular. Selanjutnya
penyebaran akan berlanjut pada daerah ethmoid lalu menuju bangsal
tengkorak.
Penyebaran tumor maksila melalui lokal infiltrasi yaitu menyebar
secara sentrifugal dalam jaringan lunak tetapi akan berubah ketika sudah
mengenai tulang. Apabila sudah mengenai tulang, penyebaran dapat melalui:
 Lapisan periosteal atau subperiosteal, terutama di alveolar lingual dari
mandibular.
 Membrane periodontal ketika gigi masih ada
 Difusi melalui ruang sumsum
 Penyebaran perineural terutama sepanjang saraf alveolar inferior, paling
sering dibagian proksimal kearah peterygoid fosa dan basal tengkorak dan
kemudian menuju ganglion trigeminal
 Melalui sistem pembuluh darah dan limfatik.
Apabila berdasarkan lokasinya, tumor maksila dapat menyebar:
 Anterior : pipi, kulit
 Posterior : pterygopalatine fossa, infra temporal fossa, temporal bone
middle cranial fossa
 Medial : rongga hidung
 Lateral : pipi, kulit

19
 Superior : orbit, sinus etmoid
 Inferior : palate, buccal sulcus

3.2.6. Diagnosis
Hal yang terpenting dalam mendiagnosa kelainan odontogenik adalah
anamnesis yang lengkap dan melalui pemeriksaan fisik. Perlu ditanyakan
mengenai sakitnya, gigi yang lepas, masalah gigi terakhir, keterlambatan
erupsi gigi, pembengkakan, dysthesia, atau adanya perdarahan intraoral
(biasanya berhubungan dengan tumor atau kista odontogenik). Gejala-gejala
seperti paresthesia, trismus, dan maloklusi yang tampak dapat
mengindikasikan suatu proses keganasan. Onset serta lama dari
perkembangan dari massa sangat diperlukan.
Pemeriksaan yang dilakukan pemeriksaan kepala dan leher secara
general yang harus mencakup inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi pada
bagian rahang dan gigi yang terlihat secara teliti. Pemeriksaan radiologi
(rontgen foto dan CT-scan) sangat berperan penting dan biasanya merupakan
pilihan prosedur utama dalam mengevaluasi tumor atau kista pada rahang.
Setelah itu, untuk menyingkirkan diagnose banding, diperlukan identifikasi
histopatologi dari lesi tersebut yaitu dengan Fine Needle Aspiration Biopsy
(FNAB).

3.2.7. Tatalaksana1
a. Drainage/debridement
Drainage adekuat seperti nasoantral window seharusnya dibuka pada
pasien dengan sinusitis sekunder dan pada pasien yang mendapat
terapi radiasi sebagai pengobatan primer.
b. Resection
Surgical resection selalu direkomendasikan dengan tujuan kuratif.
Paliatif eksisi dipertimbangkan untuk mengurangi nyeri yang parah,
untuk dekompresi cepat dari struktur-struktur vital, atau untuk
debulking lesi massif, atau untuk membebaskan penderita dari rasa
malu. Pembedahan merupakan penatalaksanaan tunggal untuk tumor

20
maligna traktus sinonasal dengan prognosis hidup selama 5 tahun
sebesar 19%-86%.
c. Pendekatan bedah lainnya
 Endoskopi
 Transoral/transpalatal
 Midfacial deglovingterdiri dari 3 langkah: bilateral maxilla
vestibular approach dan diseksi subperiosteal; insisi sirkular
dari nasal
 Weber ferguson atau lateral rhinotomi
 Gabungan pendekatan kraniofasial

d. Rehabilitasi
Tujuan utama rehabilitasi post operasi adalah penyembuhan luka
primer, memelihara atau rekonstruksi bentuk wajah dan pemulihan
oronasal yang terpisah kemudian memperlancar proses bicara dan
menelan. Rehabilitasi setelah reseksi pembadahan dapat dicapai
dengan dental prosthesis seperti flap otot temporalis dengan atau
tanpa inklusi tulang kranial, pedikel atau mikrovaskular free
myocutaneus.
e. Terapi radiasi
Radiasi digunakan untuk sebagai metode tunggal untuk membantu
pembedahan atau sebagai terapi paliatif. Radiasi post operasi dapat
mengontrol secara lokal tetapi tidak menyebabkan kelangsungan
spesifik dan absolut.
f. Kemoterapi
Peran kemoterapi untuk pengobatan tumor traktus sinonasal biasanya
paliatif, penggunaan efek cytoreductive untuk mengurangi rasa nyeri
dan penyumbatan, atau untuk mengecilkan lesi eksternal massif.
Cisplatin dan 5 flurouracil merupakan salah satu obat yang diberikan
pada tindakan kemoterapi.

1.3. Anestesi Umum

21
Anestesi adalah hilangnya seluruh modalitas dari sensasi yang meliputi
sensasi nyeri/sakit, raba, suhu, serta posisi/proprioseptif. Anesthesia umum atau
general anesthesia bertujuan menghilangkan nyeri, membuat tidak sadar, dan
menyebabkan amnesia yang bersifat reversible. Amnesia bersifat retrograde yaitu
hilangnya ingatan saat dilakukan pembiusan dan operasi sehingga saat sadar
pasien tidak mengingat peristiwa pembedahan/pembiusan yang baru saja
dilakukan. Tiga pilar anestesi umum disebut juga trias anestesi yang terdiri dari
hipnotik atau sedatif, yaitu membuat pasien tertidur atau mengantuk/tenang,
analgesia atau tidak merasakan nyeri, dan relaksasi otot yaitu kelumpuhan otot
rangka.2
Terdapat 5 kelas utama agen anaestesi yaitu anestesi intravena (IV), anestesi
inhalasi, sedative IV, opioid sintetik dan obat penghambat neuromuskuler. Masing-
masing kelas memiliki kekuatan dan kelemahan tertentu dalam mencapai tujuan
utama anestesi umum.
Pasien yang menjalani prosedur pembedahan yang membutuhkan relaksasi
mendalam untuk jangka waktu yang lama paling cocok untuk anestesi umum
selama tidak ada kontraindikasi. Pembedahan yang tidak dapat dibius dengan
anestesi lokal atau regional memerlukan anestesi umum. Operasi yang
kemungkinan besar akan mengakibatkan kehilangan darah yang signifikan atau
yang menyebabkan gangguan pernapasan memerlukan anestesi umum. Pasien
yang tidak kooperatif juga lebih baik dirawat dengan anestesi umum bahkan untuk
prosedur yang lebih kecil. Preferensi pasien juga dapat mempengaruhi keputusan
untuk menjalani anestesi.
Tidak ada kontraindikasi absolut terhadap anestesi umum selain penolakan
pasien. Namun, ada banyak kontraindikasi relative. Kontraindikasi relative
meliputi pasien dengan kondisi medis yang tidak dioptimalkan sebelum operasi
elektif, pasien dengan kesulitan jalan napas, atau komorbiditas signifikan lainnya
(stenosis aorta berat, penyakit paru signifikan, CHF, dll.), menjalani prosedur
yang dapat dilakukan dengan prosedur regional atau teknik neuroaksial. Oleh
karena itu, menghindari manipulasi jalan napas dan perubahan fisiologis yang
terkait dengan anestesi umum. 2

1.4. Obat-Obat yang Digunakan Dalam Anestesi 5, 6,7,

22
a. Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia
dengan tujuan untuk melancarkan induksi rumatan dan bangun dari anesthesia.
Secara lebih rinci tujuan premedikasi sebagai berikut:
1. Meredakan kecemasan dan ketakutan
2. Memperlancar induksi anesthesia
3. Mengurangi sekresi saliva dan bronkus
4. Meminimalkan jumlah obat anestetik
5. Mengurangi mual dan muntah pasca bedah
6. Menciptakan amnesia
7. Mengurangi isi cairan lambung
8. Mengurangi refleks yang membahaykan

Obat-obatan premedikasi diantaranya adalah sulfas atropine (SA),pethidin,


fentanyl, dan midazolam.
1. Midazolam
Midazolam merupakan suatu golongan imidazo-benzodiazepin dengan
sifat yang sangat mirip dengan golongan benzodiazepine. Merupakan
benzodiazepine kerja cepat yang bekerja menekan SSP. Midazolam
berikatan dengan reseptor benzodiazepine yang terdapat diberbagai area
otak seperti di medulla spinalis, batang otak, serebelum, sistem limbic
serta korteks serebri. Efek induksi terjadi sekitar 1,5 menit setelah
pemberian intravena bila sebelumnya diberikan premedikasi obat
narkotika dan 2-2,5 menit tanpa premedikasi narkotika sebelumnya.
Midazolam diindikasikan pada premedikasi sebelum induksi anestesi,
basal sedasi sebelum tindakan diagnostic atau pembedahan yang dilakukan
dibawah anestesi lokal serta induksi dan pemeliharaan selama anestesi.
Obat ini dikontraindikasikan pada keadaan sensitive terhadap golongan
benzodiazepine, pasien dengan insufisiensi pernafasan dan glaucoma sudut
tertutup akut.
Dosis premedikasi sebelum operasi adalah pemberian intramuskular
pada penderita yang mengalami nyeri sebelum tindakan bedah, pemberian

23
tunggal atau kombinasi dengan antikolinergik atau analgesik. Dewasa :
0,07- 0,1 mg/ kg BB secara IM sesuai dengan keadaan umum pasien,
lazimnya diberikan 5 mg. Dosis usia lanjut dan pasien lemah 0,025 – 0,05
mg/ kg BB (IM). Untuk basal sedation pada dewasa tidak melebihi 2,5 mg
IV 5-10 menit sebelum permulaan operasi, pada orang tua dosis harus
diturunkan 1- 1,5 mg dengan total dosis tidak melebihi 3,5 mg IV.
Efek midazolam pada SSP tergantung pada dosis yang diberikan, cara
pemberian da nada atau tidaknya obat lain. waktu timbulnya efek sedative
setelah pemberian dan ada atau tidak adanya obat lain. waktu timbulnya
efek sedative setelah pemberian IM pada orang dewasa adalah 15 menit,
dengan puncak sedasi terjadi 30 hingga 60 menit setelah injeksi. Waktu
timbulnya efek sedatif pada populasi anak dimulai dalam 5 menit dan
mencapai puncaknya pada 15 hingga 30 menit tergantung pada dosis yang
diberikan. Sedasi pada pasien dewasa dan anak-anak dicapai dalam 3-5
menit setelah injeksi intravena (IV); waktu onset dipengaruhi oleh dosis
total yang diberikan dan pemberian premedikasi narkotika secara
bersamaan. Ketika midazolam diberikan IV sebagai agen induksi anestesi,
induksi anestesi terjadi sekitar 1,5 menit ketika premedikasi narkotika
telah diberikan dan dalam 2-2,5 menit tanpa premedikasi narkotika atau
premedikasi sedative lainnya.
Midazolam memiliki absorbs oral yang buruk dan memiliki waktu
paruh eliminasi 1,5 sampai 2,5 jam. Durasi IM midazolam adalah 1- 6 jam.
2. Fentanyl
Fentanyl adalah opioid sintetik yang kuat, mirip dengan morfin tetapi
menghasilkan analgesia lebih luas. Agen farmakologis yang kuat ini
biasanya 50 hingga 100 kali lebih kuat. Dosis hanya 100 mikrogram
dapat menghasilkan analgesia yang setara dengan sekitar 10 mg morfin.
Namun, fentanil menunjukkan sifat dan farmakokinetik yang sangat
berbeda. Secara klinis, penggunaan yang paling sering adalah sebagai obat
penenang pada pasien yang diintubasi dan kasus nyeri yang parah pada
pasien dengan gagal ginjal karena eliminasi terutama pada hati. Kadang-

24
kadang, dokter juga dapat menggunakan fentanil untuk mengobati pasien
nyeri kronis yang telah mengembangkan toleransi terhadap opiate.
Ketika digunakan sebagai obat penenang, paling sering diberikan
sebagai infus, karena keserbagunaannya dalam skenario titrasi. Metode ini
mungkin sering membutuhkan dosis besar bila digunakan sebagai obat
penenang pada pasien dengan kebutuhan ventilasi mekanis. Sebagai pra-
pengobatan untuk prosedur, yaitu yang diantisipasi menyebabkan
ketidaknyamanan, fentanil juga merupakan pilihan perioperatif.
Terakhir, penggunaan fentanil dapat meluas ke pengobatan epilepsi.
Artinya, dalam kombinasi dengan obat neuroleptik tertentu sebagai bagian
dari neuroleptanalgesia terapeutik.
Obat fentanyl tidak boleh digunakan bersamaan dengan obat tertentu
seperti penghambat CYP3A4 seperti antibiotic makrolida atau agen
antijamur azol, dan penghambat protease dapat meningkatkan konsentrasi
plasma fentanyl, memperpanjang kerja obat opioid dan memperburuk
depresi pernapasan yang diinduksi opioid (OIRD). Di sisi lain,
penghentian obat penginduksi CYP3A4 (yaitu, karbamazepin, fenitoin)
pada pasien yang diobati dengan suntikan fentanil sitrat berpotensi
meningkatkan konsentrasi plasma fentanil yang memperpanjang efek
samping opioid.
3. Sulfas atropine
Sulfas atropin termasuk golongan anti kolinergik. Berguna untuk
mengurangi sekresi lendir dan menurunkan efek bronchial dan kardial
yang berasal dari perangsangan parasimpatis akibat obat anestesi atau
tindakan operasi. Efek lainnya yaitu melemaskan otot polos, mendepresi
vagal reflek, menurunkan spasme gastrointestinal, dan mengurangi rasa
mual serta muntah. Obat ini juga menimbulkan rasa kering di mulut serta
penglihatan kabur, maka lebih baik tidak diberikan pra anestesi lokal
maupun regional. Dalam dosis toksik dapat menyebabkan gelisah,
delirium, halusinasi, dan kebingungan pada pasien. Tetapi hal ini dapat
diatasi dengan pemberian prostigmin 1–2 mg intravena.

25
Sediaan : dalam bentuk sulfat atropine dalam ampul 0,25 dan 0,5 mg.
dosis : 0,01 mg/kgBB, pemberian: SC,IM, IV.
4. Pethidin
Pethidin merupakan narkotik yang sering digunakan untuk
premedikasi. Keuntungan penggunaan obat ini adalah memudahkan
induksi, mengurangi kebutuhan obat anestesi, menghasilkan analgesia pra
dan pasca bedah, memudahkan melakukan pemberian pernafasan buatan,
dan dapat diantagonis dengan naloxone.
Pethidin dapat menyebabkan vasodilatasi perifer, sehingga dapat
menyebabkan hipotensi orthostatic. Hal ini akan lebih berat lagi bila
digunakan pada pasien dengan hipovolemia, sehingga dapat juga
menyebabkan depresi pusat pernapasan dimedula yang dapat ditunjukkan
dengan respon turunya CO2, mual dan muntah di medulla menunjukkan
adanya stimulasi narkotik padapusat muntah di medulla. Posisi tidur dapat
mengurangi efek tersebut. Sediaan : dalam ampul 100 mg/2cc. Dosis : 1
mg/kgBB dan pemberian dilakukan secara IV, IM.

b. Induksi 7, 8,9,10,11
Induksi anesthesia adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anesthesia dan
pembedahan. Induksi anesthesia dapat dikerjakan secara intravena,
inhalasi, intramuscular, atau rektal.
Propofol adalah campuran 1% obat dalam air dan emulsi yang berisi
10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25% glycerol. Dosis
yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi.
Pemberian intravena propofol (2mg/kg) menginduksi anestesi secara
cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi ditempat suntikan tetapi jarang
disertai phlebitis atau thrombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan
infus propofol yang berkesinambungan dengan opiate, N2O dan atau
anestetik inhalasi lain.

26
Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi efek
ini disebabkan karena vasodilatasi perifer dan penurunan curah jantung.
Tekanan sistemik kembali normal dengan intubasi trakea. Propofol tidak
merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak
dan tekanan intracranial akan menurun. Keuntungan propofol karena
bekerja lebih cepat dari thiopental dan konfusi pascaoperasi yang
minimal.
Efek samping propofol pada sistem pernapasan adanya depresi
pernapasan, apnea, bronkospasme dan laringospasme. Pada sistem
kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardia, bradikardia,
hipertensi. Pada susunan saraf pusat adanya sakit kepala, pusing,
euphoria, kebingungan, kejang, mual dan muntah.

c. Pemeliharaan 7, 8,9,10,11
Dihidrogenoksida (N2O) merupakan gas yang tidak berwarna, berbau
manis dan tidak iritatif, tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak
mudahterbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber
(pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat
melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut dalam
darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu
pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi
otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti.
Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena
Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh.
Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi
tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya
dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam
anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah sebagai
berikut 60% : 40% ; 70%: 30% atau 50% : 50%.
Sevofluran adalah senyawa yang sedikit berbau dan sangat cocok
digunakan untuk induksi pada anak maupun dewasa. Sevofluran dikenal
dengan obat untuk single breath induction, yaitu hanya dengan satu

27
tarikan napas dapat membuat pasien langsung tertidur dan otot rangka
lemas sehingga memudahkan intubasi. Kelarutan dalam darah rendah
menyebabkan pasien cepat bangun dari kondisi tertidur begitu pemberian
dihentikan. Metabolisme di hepar hanya seperempat halotan sehingga
cukup aman untuk pasien dengan gangguan fungsi hepar.

d. Pelumpuh otot atau muscle relaxant


Pelumpuh otot digunakan untuk membantu proses pemasangan ET
atau intubasi. Terdapat relaksan nondepolarisasi seperti rokuronium,
atrakurium, vekurium, dan pavulon. Selain itu terdapat juga relaksan
depolarisasi misalnya suksinil kolin. Golongan depolarisasi membuat
pasien mengalami fasikulasi atau gerakan seperti kejang, beronset cepat
(30-60 detik), dan berdurasi pendek. Fasikulasi tersebut menyebabkan
pasien mengeluh myalgia pascaoperasi. Suksinil kolin juga memicu
timbulnya hipertermia maligna yaitu gangguan hipermetabolisme otot
rangka.5

Golongan nondepolarisasi relatif lebih banyak jenisnya. Saat ini


banyakdigunakan rokuronium atau atrakurium karena onsetnya yang
relatif cepat dan durasinya cukup panjang. Dosis untuk intubasi yaitu

0,5-0,6 mg/kgBB.5

BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien Tn. RF datang berobat ke Poli Gigi dengan keluhan benjolan di gusi
kiri sejak ± 1 tahun SMRS. Menurut pasien, keluhan benjolan awalnya berukuran
kecil dan makin lama semakin membesar selama 1 tahun ini. Benjolan berukuran
kurang lebih 2 cm x 1 cm, konsistensi padat. Pasien mengaku tidak mengeluhkan
nyeri pada benjolan tersebut dan terkadang berdarah sedikit karena benjolan
tergesek saat menggosok gigi. Namun, karena benjolan tersebut semakin
membesar, akhirnya pasien dibawa oleh orang tuanya berobat ke Rumah Sakit.

28
Keluhan demam, penurunan Berat Badan dan riwayat trauma disangkal. Pasien
tidak merokok dan menkonsumsi alkohol. Riwayat penyakit seperti HT, DM,
asma, kejang, penyakit keluarga, alergi obat dan makanan disangkal.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,
pasien dikategorikan dalam ASA II, yaitu pasien dengan penyakit sistemik ringan.
Pasien diminta puasa sebelum dilakukan tindakan anestesi dan pembedahan.
Puasa prabedah bertujuan untuk mengurangi terjadinya risiko aspirasi paru yang
dapat terjadi setelah induksi selama prosedur anestesi atau segera setelah operasi.
Makanan ringan dan susu dapat dikonsumsi hingga jam sebelum anestesi umum,
sedangkan air putih dapat dikonsumsi hingga 2 jam sebelum prosedur anestesi
umum.
Pasien datang dengan diagnosis tumor maxilla pada gusi kiri bagian rahang
atas. Tindakan eksisi-biopsi dilakukan untuk mengangkat tumor dengan tujuan
untuk dilakukan pemeriksaan patologi anatomi yang berguna dalam menentukan
jenis dari tumor tersebut serta tatalaksana kedepannya apabila teridentifikasi
sebagai tumor ganas.
Pada pasien ini digunakan anestesi umum dengan teknik kombinasi antara
anestesi intravena dan inhalasi. Pilihan teknik anestesi ini didasarkan atas
pertimbangan keadaan pasien dan sesuai dengan indikasi.
Midazolam merupakan obat golongan benzodiazepine yang memiliki efek
ansiolisis, sedasi, hypnosis, antikonvulsi, relaksasi otot rangka (melalui fasilitasi
chorda spinalis) dan amnesia anterograde. Benzodiazepine bekerja dengan
berikatan pada reseptor GABAA meningkatkan frekuensi pembukaan kanal
klorida. Benzodiazepine dapat digunakan untuk premedikasi, sedasi intravena,
induksi intravena anestesi dan tatalaksana kejang. Penggunaan midazolam (1-2
mg IV) cukup efektif untuk premedikasi dan sedasi selama anestesi.
Fentanyl merupakan obat golongan opioid yang memiliki efek analgesik.
Penggunaan fentanyl sebagai obat anestesi intravena telah banyak digunakan
karena dapat mencapai efek opioid yang diinginkan pada sistem saraf pusat tanpa
menyebabkan efek samping. Namun, obat ini juga dapat menimbulkan terjadinya
hipoventilasi atau penurunan volume tidal dan hipotensi tetapi tidak terlalu
banyak.

29
Obat-obatan lain yang diberikan pada pasien adalah ondancentron (anti-
emetik), ketorolac dan tramadol diberikan sebagai analgesic menjelang akhir
operasi.
Operasi berlangsung selama 1 jam dan tidak terdapat gangguan
hemodinamik selama periode operatif. Kemudian dilakukan pemantauan pasca
tindakan operatif dan tidak terdapat keluhan mual dan muntah serta gangguan
hemodinamik maupun sistemik pasca operasi.

BAB V
KESIMPULAN

Tn. RF, 18 tahun dengan keluhan benjolan di gusi kiri rahang atas sejak ±

1 tahun yang lalu, didiagnosis tumor maksila yang akan dilakukan tindakan bedan

eksisi biopsi. Status fisik pasien adalah ASA II. Pasien sudah dioperasi dengan

30
general anestesi. Selama operasi dan pasca operasi tidak ada penyulit dalam

tindakan anestesi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Neville, Brad W. et al. Oral and Maxillofacial Pathology-4rd edition.


UK:Elsevier.2015.
2. Pramono A. Buku kuliah: anestesi. Jakarta: EGC; 2015.

31
3. Smith G, D’Cruz JR, Rondeau B, et al. General Anesthesia for
Surgeons updated 2020. StatPearls Publishing. 2020
4. Marin PCE, Arevalo J, Pinzon P, Saavedra AV, Leguizamon M. Use of
total intravenous anaesthesia in Colombia: A national survey among
active anaesthetists in Colombia. Rev Colomb Anestesiol.
2017;45(2):122-127
5. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anestesiologi.
Ed.2. Jakarta: BP FKUI; 2007
6. Thejasvi N. Lingamchetty; Seyed Alireza Hosseini; Abdolreza
Saadabadi. Midazolam. StatPearls. 2020
7. Seizalam, Versed (DSC) (midazolam) dosing, indications,
interactions, adverse effects, and more. Medscape. 2018.
8. Kabi F. Midazolam. FDA [Internet]. 2017; Available
from: https://www.accessdata.fda.gov/
9. Vahedi HSM, Hajebi H, Vahidi E, Nejati A, Saeedi M. Comparison
between intravenous morphine versus fentanyl in acute pain relief in drug
abusers with acute limb traumatic injury. World J Emerg Med. 2019.
10. Medscape. Sublimaze (fentanyl) dosing, indications, interactions,
adverse effects, and more. MedScape. 2018.
11. Rehatta NM, Hanindito E, Tantri AR, Redjeki IS, Soenarto RF, Bisri DY,
et al. Buku Teks KATI-PERDATIN : Anestisiologi dan Terapi Intensif
Edisi Pertama. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.2019

32

Anda mungkin juga menyukai