Oleh :
Mutiara Resya, S.Ked (712019084)
Novi Putri Dwi Iriani, S.Ked (712019076)
Pembimbing :
dr. Yesi Astri, Sp.N, M.Kes
Laporan Kasus
Judul:
Oleh:
Mutiara Resya, S.Ked (712019084)
Novi Putri Dwi Iriani, S.Ked (712019076)
Telah dilaksanakan pada 28 Juni - 04 Juli 2021 sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Saraf di
Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul Judul:
“Hemiparese Dextra Tipe Spastik+Parese N.VII Dextra Tipe Sentral + Parese N.XII
Dextra Tipe Sentral Et Causa CVD Non Hemoragik (Trombosis Serebri) + Hipestesia
Dextra + Hipertensi Stage 1 + Dislipidemia + Community Acquired Pneumonia” sebagai
salah satu syarat untuk mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit
Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.
Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta
para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman. Pada kesempatan ini penulis
ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada :
1. dr. Yesi Astri, Sp.N, M.Kes selaku pembimbing yang telah memberikan masukan
serta bimbingan dalam penyelesaian laporan kasus ini,
2. Rekan sejawat seperjuangan serta semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini masih
banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik
yang bersifat membangun sangat kami harapkan. Semoga Allah SWT memberikan
balasan pahala atas segala amal yang telah diberikan dan semoga laporan kasus ini
dapat bermanfaat bagi semua.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..............................................................................................1
1.2 Maksud dan Tujuan ......................................................................................2
1.3 Manfaat .........................................................................................................3
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Penyakit serebrovaskuler / cerebrovascular disease (CVD) merupakan
penyakit sistem persarafan yang paling sering dijumpai. Stroke merupakan bagian
dari CVD. Menurut World Health Organization (WHO), stroke adalah manifestasi
klinis dari gangguan fungsi serebri fokal atau global yang berkembang dengan
cepat atau tiba-tiba, berlangsung lebih dari 24 jam atau berakhir dengan kematian,
dengan tidak tampaknya penyebab lain selain penyebab vaskular. Berdasarkan
American Heart Association (AHA) stroke ditandai sebagai defisit neurologi yang
dikaitkan dengan cedera fokal akut dari sistem saraf pusat (SSP) yang disebabkan
oleh pembuluh darah, termasuk infark serebral, pendarahan intraserebral (ICH)
dan pendarahan subaraknoid (SAH).1
Stroke terjadi ketika jaringan otak terganggu karena berkurangnya aliran
darah atau oksigen ke sel-sel otak. Terdapat dua jenis stroke yaitu iskemik stroke
dan hemoragik. Stroke iskemik terjadi karena berkurangnya aliran darah
sedangkan stroke yang terjadi karena perdarahan ke dalam atau sekitar otak
disebut stroke hemoragik. Perdarahan yang terjadi pada stroke hemoragik dapat
dengan cepat menimbulkan gejala neurologik karena tekanan pada struktur saraf
di dalam tengkorak. Stroke hemoragik lebih jarang terjadi dibanding stroke
iskemik akan tetapi stroke hemoragik menyebabkan lebih banyak kematian. 2
Insidensi stroke di Asia umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan
Amerika Serikat dan juga lebih banyak terjadi pada negara Eropa bagian timur
dibandingkan bagian barat. Insiden stroke pada laki-laki lebih banyak
dibandingkan dengan perempuan pada usia lebih muda, tetapi tidak demikian
halnya pada usia tua. Di Indonesia, penelitian berskala cukup besar pernah
dilakukan oleh ASNA (ASEAN Neurological Association) di 28 Rumah Sakit
(RS) seluruh Indonesia. Dari 2.065 pasien stroke akut, dijumpai rata-rata usia
adalah 58,8 tahun (range 18-95 tahun) dengan kasus pada pria lebih banyak dari
pada wanita.3
1
Penyakit stroke merupakan penyebab kematian utama di hampir seluruh RS
di Indonesia, sekitar 15,4%. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kemenkes
RI tahun 2013 menunjukkan telah terjadi peningkatan prevalensi stroke di
Indonesia dari 8,3 per mil (tahun 2007) menjadi 12,1 per mil (tahun 2013).
Prevalensi penyakit Stroke tertinggi di Sulawesi Utara (10,8per mil), Yogyakarta
(10,3 per mil), Bangka Belitung (9,7 per mil) dan DKI Jakarta (9,7 per mil). 3
Kasus stroke termasuk dalam Standar Kompetensi Dokter dengan grade 3B,
yang berarti dokter umum harus mampu mendiagnosa klinik berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan sederhana. Dokter
umum harus mampu memutuskan dan memberikan terapi pendahuluan, serta
merujuk ke spesialis yang relevan (kasus gawat darurat). Maka dari itu, laporan
kasus ini diharapkan dapat menambah informasi dan wawasan mengenai stroke,
sehingga kompetensi yang diharapkan dapat tercapai.
2
1. 3. Manfaat
1.1.1 Teoritis
Untuk meningkatkan pengetahuan dan menambah wawasan ilmu tentang
laporan kasus ini
1.1.2 Praktis
Sebagai masukan guna lebih meningkatkan mutu pelayanan yang diberikan
terutama dalam memberikan informasi (pendidikan kesehatan) kepada pasien dan
keluarganya tentang kegawatan pada pasien
3
BAB II
STATUS PENDERITA NEUROLOGI
2.1. IDENTIFIKASI
Nama : Ny. R
Umur : 83 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl.KH Azhari, Palembang Sumatera Selatan
Agama : Islam
MRS Tanggal : 22 Juni 2021
4
1xsehari, sejak 1 tahun lalu tidak pernah minum obat lagi. Tidak ada penyakit
jantung, kencing manis, trauma kepala, dan hiperlipidemia. Riwayat merokok dan
minum-minuman alkohol tidak ada pada penderita. Penderita juga memiliki
riwayat jarang berolahraga.
Penyakit seperti ini diderita untuk yang kedua kalinya, keluhan sama
seperti yang dialami penderita sekarang. Saat serangan yang pertama terjadi 15
tahun yang lalu, namun hanya berobat rawat jalan dan penderita kembali sehat
serta dapat berjalan seperti semula.
Status Praesens
Kesadaran : Composmentis (E:4, M:6, V:5)
Suhu Badan : 37,7ºC
Nadi : 75 x/menit
Pernapasan : 19 x/menit
TD : 150/90 mmHg
Gizi : Normoweight
Berat Badan : 48 kg
Tinggi Badan : 148 cm
Status Internus
Jantung : BJ 1 dan BJ 2 normal, Murmur (+), gallop (-)
Paru-paru : Vesikuler (+/+), ronkhi (-), wheezing (-)
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Anggota Gerak : Akral hangat, pucat (-), edema (-), CRT < 2 detik
Genitalia : Tidak diperiksa
5
Status Psikiatrikus
Sikap : Tidak kooperatif
Perhatian : Ada
Ekspresi Muka : Wajar
Kontak Psikis : Ada
Status Neurologis
A. Kepala
Bentuk : Brachiocephali
Ukuran : Normal
Simetris : Simetris
B. Leher
Sikap : Lurus Deformitas : Tidak ada
Torticolis : Tidak ada Tumor : Tidak ada
Kaku kuduk : Tidak ada Pembuluh darah : Tidak melebar
C. Saraf-Saraf Otak
1. N. Olfaktorius Kanan Kiri
Penciuman Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Anosmia Tidak ada Tidak ada
Hyposmia Tidak ada Tidak ada
Parosmia Tidak ada Tidak ada
6
Hemianopsia Tidak ada Tidak ada
Fundus Oculi
- Papil edema Tidak diperiksa Tidak diperiksa
- Papil atrofi Tidak diperiksa Tidak diperiksa
- Perdarahan retina Tidak diperiksa Tidak diperiksa
7
Motorik
- Mengerutkan dahi Simetris Simetris
- Menutup mata Tidak ada lagoftalmus
- Menunjukkan gigi Sudut kanan tertinggal
- Lipatan nasolabialis Lipatan nasolabialis kanan datar
- Bentuk Muka
Istirahat Tidak simetris
Berbicara/bersiul Tidak simetris
Sensorik
- 2/3 depan lidah Tidak diperiksa
Otonom
- Salivasi Normal
- Lakrimasi Normal
- Chvostek’s sign Tidak ada
8
Memutar kepala Tidak ada hambatan
D. Kolumna Vertebralis
Kyphosis : Tidak ada kelainan
Skoliosis : Tidak ada kelainan
Lordosis : Tidak ada kelainan
Gibbus : Tidak ada kelainan
Deformitas : Tidak ada kelainan
Tumor : Tidak ada kelainan
Menikokel : Tidak ada kelainan
Hematoma : Tidak ada kelainan
Nyeri Ketok : Tidak ada kelainan
9
Trofik Eutrofik Eutrofik
F. Gambar
Lipatan nasolabialis
kanan datar
Sudut kanan tertinggal
Muka tidak simetris
Lidah deviasi kekanan
10
Gerakan : Kurang
Kekuatan : 1
Gerakan : Kurang Refleks Fisiologi hiperreflek
Kekuatan : 1
Refleks Fisiologi hiperreflek
Gerakan : Kurang
Gerakan : Kurang Kekuatan : 1
Rasa Nyeri (-) Refleks patologis:
Kekuatan : 1 Rasa Suhu (-)
Refleks patologis: Babinsky (+)
Rasa Raba (-) Chaddock (-)
Babinsky (+) Rasa Nyeri
Chaddock (-) Oppenheim (-)
Dalam (-) Gordon (-)
Oppenheim (-)
Gordon (-) Schaeffer (+)
Schaeffer (+) Rossolimo (-)
Rossolimo (-) Mendel Bechterew(-)
Mendel Bechterew(-)
G. Gejala Keterangan : Hemiparese Dextra Tipe Spastik +
Parese N. VII Dextra Tipe Sentral + Parese N. XII
Dextra Tipe Sentral + Hipestesia Dextra
H. Rangsang Meningeal
GRM Kanan Kiri
Kaku kuduk Tidak ada
Kernig Tidak ada Tidak ada
Lasseque Tidak ada Tidak ada
Brudzinsky:
- Neck Tidak ada
- Cheek Tidak ada
- Sypmphisi
Tidak ada
s
- Leg I Tidak ada Tidak ada
- Leg II Tidak ada Tidak ada
11
Hemiplegic : Belum dapat dinilai
Scissor : Belum dapat dinilai
Propulsion : Belum dapat dinilai
Histeric : Belum dapat dinilai
Limping : Belum dapat dinilai
Steppage : Belum dapat dinilai
Astasia-Abasia : Belum dapat dinilai
2. Keseimbangan dan Koordinasi
Romberg : Belum dapat dinilai
Dysmetri
- jari-jari : Belum dapat dinilai
- jari hidung : Belum dapat dinilai
- tumit-tumit : Belum dapat dinilai
Dysdiadochokinesis : Belum dapat dinilai
Trunk Ataxia : Belum dapat dinilai
Limb Ataxia : Belum dapat dinilai
J. Gerakan Abnormal
Tremor : Tidak ada
Chorea : Tidak ada
Athetosis : Tidak ada
Ballismus : Tidak ada
Dystoni : Tidak ada
Myocloni : Tidak ada
K. Fungsi Vegetatif
Miksi : Normal
Defekasi : Normal
Ereksi : Tidak diperiksa
12
L. Fungsi Luhur
Afasia motorik : Tidak ada kelainan
Afasia sensorik : Tidak ada kelainan
Apraksia : Tidak ada kelainan
Agrafia : Tidak ada kelainan
Alexia : Tidak ada kelainan
Afasia nominal : Tidak ada kelainan
13
Interpretasi:
Penurunan kesadaran (-), Nyeri kepala (-), Refleks babinski (+)
➔ Infark Serebri (Stroke Non Hemoragik)
14
Batang 3 % 2-6
Segmen 68.4 % 40-60
Limfosit 22.7 % 20-50
Monosit 6.8 % 2–8
LED 1 jam. 26 mm/jam <20
PEMERIKSAAN HASIL UNIT NILAI NORMAL
Glukosa sewaktu 81 mg/dl <180
Cholesterol Total 220 mg/dl < 200
Cholesterol HDL 42 mg/dl 45-100
Cholesterol LDL 162 mg/dl < 130
Trigliserida 79 mg/dl <200
Ureum 54 mg/dl 10-50
Kreatinin 0.7 mg/dl 0.60-1.50
Uric Acid 4,6 mg/dl 3,4-7
Natrium 145 mmol/L 135-155
Kalium 9.5 mmol/L 3,6-6,5
Urine : Tidak diperiksa
Faeces : Tidak diperiksa
Liquor cerebrospinalis : Tidak diperiksa
15
Pada pemeriksaan foto Rontgen didapatkan :
Cor kesan membesar
Infiltrat di pericardial kanan kiri
Diafragma kanan dan kiri licin
Sinus kostofrenikus kanan dan kiri lancip
Tulang-tulang intak
Soft tissue baik
Kesan :
Cardiomegaly
Pneumonia
16
Kesan : Normal
17
Dibandingkan foto lama lesi tak tampak lagi pada foto thorax saat ini
Kesan :
Kemajuan Terapi
18
Dilakukan CT Scan Kepala potongan aksial dengan slice thickness 7mm,
scanning tanpa memakai kontra media :
- Soft tissue extracalvaria dan calvaria masih memberikan bentuk dan densitas
yang normal
- Sulci corticalis dan ruang subarachnoid, gyricorticalis, fissure Sylvii ka/ki
dalam batas normal
- Bentuk dan posisi ventrikel lateralis asimetris, ukuran ventrikel lateralis
kanan ventrikel 3-4 normal
- Sisterna ambiens dan basalis tampak normal
- Daerah selatursica dan juxta sella serta daerah Cerebello-Pontin Angle masih
dalam batas normal
- Ganglia basalis, kapsula interna, thalamus, corpus callosum dalam batas
normal
- Parenkim serebellum dan pons tidak menunjukkan densitas patologis,
tampak lesi hipodens batas tegas cortikal-subcortical frontotemporalis kiri
yang menyempitkan ventrikel lateralis kiri
- Tampak kalsifikasi fisiologis di pleksuschoroideus, glandula pinealis
- Mastoid air cell kiri kanan normal
- Sinusethmoidalis, sphenoidalis, maxillaris, frontalis tampak normal
- Bulbus oculi, ruang retrobulber, tampak normal
19
- Nervus opticus kiri kanan dalam batas normal
- Tidak tampak midline shift
Kesan :
Infark cerebri subacute corticqal subcortical frontotemporalis kiri yang
menyempitkan ventrikel lateralis kiri.
2.6. RINGKASAN
2.6.1 ANAMNESA
Penderita dirawat di bagian syaraf RSMP karena tidak bisa berjalan yang
disebabkan kelemahan pada lengan kanan dan tungkai kanan yang terjadi secara
tiba-tiba.
Sejak kurang lebih 2 hari sebelum masuk rumah sakit, ketika penderita
terbangun dari tidur mengalami kelemahan pada lengan kanan dan tungkai kanan
tanpa disertai kehilangan kesadaran. Saat serangan penderita tidak didahului sakit
kepala yang disertai mual ataupun muntah, keluhan juga tanpa disertai kejang,
dan tidak disertai gangguan rasa pada sisi yang lemah. Kelemahan lengan kanan
dan tungkai kanan dirasakan sama berat. Sehari-hari penderita menggunakan
tangan kanan untuk beraktivitas. Penderita masih dapat mengungkapkan isi
pikiran secara lisan, tulisan dan isyarat. Penderita masih dapat mengerti isi pikiran
20
orang lain secara lisan, tulisan dan isyarat. Saat bicara mulut penderita mengot ke
kanan dan bicaranya pelo.
Saat serangan penderita tidak mengalami jantung berdebar yang disertai
sesak nafas. Riwayat darah tinggi ada sejak ± 29 tahun yang lalu namun tidak
pernah kontrol dan minum obat secara teratur. Konsumsi obat amlodipine 5mg
1xsehari, sejak 1 tahun lalu tidak pernah minum obat lagi. Tidak ada penyakit
jantung, kencing manis, trauma kepala, dan hiperlipidemia. Riwayat merokok dan
minum-minuman alkohol tidak ada pada penderita. Penderita juga memiliki
riwayat jarang berolahraga.
Penyakit seperti ini diderita untuk yang kedua kalinya, keluhan sama seperti
yang dialami penderita sekarang. Saat serangan yang pertama terjadi 15 tahun
yang lalu, namun hanya berobat rawat jalan dan penderita kembali sehat serta
dapat berjalan seperti semula.
Pemeriksaan Neurologis
5. N.Facialis Kanan Kiri
Motorik
21
-Mengerutkan dahi Simetris Simetris
-Menutup mata Tidak ada lagoftalmus
-Menunjukkan gigi Sudut kanan tertinggal
- Lipatan nasolabialis Lipatan nasolabialis kanan datar
- Bentuk Muka
Istirahat Tidak simetris
Berbicara/bersiul Tidak simetris
Sensorik
- 2/3 depan lidah Tidak diperiksa
Otonom
- Salivasi Normal
- Lakrimasi Normal
- Chvostek’s sign Tidak ada
Fungsi Motorik
3. Lengan Kanan Kiri
Gerakan Kurang Cukup
Kekuatan 1 5
Tonus Hipertoni Eutoni
Refleks fisiologis
- Biceps Hiperrefleks Normal
- Triceps Hiperrefleks Normal
- Periost Radius Hiperrefleks Normal
- Periost Ulna Hiperrefleks Normal
Refleks patologis
- Hoffman Ttromner Negatif Negatif
Trofik Eutrofik Eutrofik
22
Klonus
Paha Negatif Negatif
Kaki Negatif Negatif
Refleks fisiologis
- KPR Hiperrefleks Normal
- APR Hiperrefleks Normal
Refleks patologis
- Babinsky Ada Tidak ada
- Chaddock Tidak ada Tidak ada
- Oppenheim Tidak ada Tidak ada
- Gordon Tidak ada Tidak ada
- Schaeffer Ada Tidak ada
- Rossolimo Tidak ada Tidak ada
- Mendel Bechterew Tidak ada Tidak ada
Refleks kulit perut
Atas Tidak ada kelainan
Tengah Tidak ada kelainan
Bawah Tidak ada kelainan
Trofik Eutrofik Eutrofik
24
Jadi kemungkinan lesi di kapsula interna hemisferium serebri dapat
ditegakkan.
KESIMPULAN:
diagnosa topik yaitu lesi di kapsula interna hemisferium serebri sinistra
25
DIAGNOSA KLINIK : Hemiparese dextra tipe spastik + Parese
N.VII dextra tipe sentral + Parese N.XII
dextra tipe sentral + Hipestesia dextra
DIAGNOSA TOPIK : Lesi di kapsula interna hemisferium serebri
sinistra
DIAGNOSA ETIOLOGI : CVD Non Hemoragik (Trombosis Serebri)
DIAGNOSA TAMBAHAN :
1. Hipertensi derajat II
2. Dislipidemia
3. CAP
PENATALAKSANAAN
1. Non Farmakologi
- Bed Rest
- Diet cair
- Jika kondisi membaik tingkatkan menjadi diet lunak rendah garam
- Fisioterapi
2. Farmakologi
- IVFD RL gtt 20x/menit
- Inj. Ceftriaxone 2x1g
- Inj. Ranitidin 2x25mg
- Inj. Citicoline 2x500mg
- Inj. Vitamin C 2x1
- Asam Folat 2x400mcg tab
- Mecobalamin 3x500mcg tab
26
- Simvastatin 1x20mg tab
- Paracetamol 3x1000mg tab
- Amlodipin 1x10mg tab
- Aspilet 1x80mg tab
- Fluoxetin 1x20mg tab
PROGNOSA
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : Dubia ad bonam
2.8. Follow Up
Tanggal Perjalanan Penyakit Rencana Terapi
28 S: Kelemahan pada lengan dan tungkai kanan - IVFD RL gtt 20
Juni 2021 mulai membaik. x/menit
O: - Inj. Ceftriaxone 2x1g
GCS: E4M6V5 - Inj. Ranitidin 2x25mg
KU: Tampak Sakit Sedang - Inj. Citicoline
TD : 150/90 mmHg 2x500mg
N : 75 x/m - Inj. Vitamin C 2x1
RR: 19 x/m - Asam Folat
T : 37.7 ºC 2x400mcg tab
- Mecobalamin
Pemeriksaan Fisik 3x500mcg tab
Motorik LKA LKI TKA TKI - Simvastatin 1x20mg
27
Gerakan Kurang Cukup Kurang Cukup tab
Kekuatan 1 5 1 5 - Paracetamol
Tonus Hipertonus Normal Hipertonus Normal 3x1000mg tab
- Amlodipin 1x10mg
Refleks Fisiologis Kanan Kiri tab
Biceps Hiperrefleksi Normal - Aspilet 1x80mg tab
Triceps Hiperrefleksi Normal - Fluoxetin 1x20mg tab
P. Radius Hiperrefleksi Normal
P. Ulna Hiperrefleksi Normal
APR Hiperrefleksi Normal
KPR Hiperrefleksi Normal
Nervus Kranialis
N. I : tidak ada kelainan
N. II : tidak ada kelainan
N. III, IV, VI : pupil bulat, refleks pupil (+/+),
isokor, refleks cahaya langsung
(+/+). Gerakan bola mata baik
kesegala arah
28
N. V : tidak ada kelainan
N. VII : mengerutkan dahi simetris,
Lagoftalmus (-/-), menunjukkan gigi
(+) sudut kanan tertinggal, lipatan
nasolabialis kanan datar, bentuk
muka tidak simetris.
N. VIII : tidak ada kelainan
N. IX : tidak ada kelainan
N. X : tidak ada kelainan
N. XI : tidak ada kelainan
N. XII : deviasi lidah (+) ke kanan, atrofi
papil lidah (-), fasikulasi (-),
dysarthria (+)
29
Fungsi Sensoris : Tidak ada kelainan
Fungsi Vegetatif : Tidak ada kelainan
Gerakan Abnormal : Tidak ada
A:
Diagnosis Klinis :
Hemiparese dextra tipe spastik + Parese N.VII
dextra tipe sentral + Parese N.XII dextra tipe
sentral + Hipestesia dextra
Diagnosis Topik :
Lesi di capsula interna hemisfer serebri sinistra
Diagnosis Etiologi :
CVD Non Hemoragik (Trombosis Serebri)
Diagnosis Tambahan:
1. Hipertensi stage I
2. Dislipidemia
3. CAP
30
2x400mcg tab
Pemeriksaan Fisik - Mecobalamin
Motorik LKA LKI TKA TKI 3x500mcg tab
Gerakan Kurang Cukup Kurang Cukup - Simvastatin 1x20mg
Kekuatan 1 5 1 5 tab
Tonus Hipertonus Normal Hipertonus Normal - Paracetamol
3x1000mg tab
- Amlodipin 1x10mg
Refleks Fisiologis Kanan Kiri tab
Biceps Hiperrefleksi Normal - Aspilet 1x80mg tab
Triceps Hiperrefleksi Normal - Fluoxetin 1x20mg tab
P. Radius Hiperrefleksi Normal
P. Ulna Hiperrefleksi Normal
APR Hiperrefleksi Normal
KPR Hiperrefleksi Normal
Nervus Kranialis
N. I : tidak ada kelainan
N. II : tidak ada kelainan
31
N. III, IV, VI : pupil bulat, refleks pupil (+/+),
isokor, refleks cahaya langsung
(+/+). Gerakan bola mata baik
kesegala arah
N. V : tidak ada kelainan
N. VII : mengerutkan dahi simetris,
Lagoftalmus (-/-), menunjukkan gigi
(+) sudut kanan tertinggal, lipatan
nasolabialis kanan datar, bentuk
muka tidak simetris.
N. VIII : tidak ada kelainan
N. IX : tidak ada kelainan
N. X : tidak ada kelainan
N. XI : tidak ada kelainan
N. XII : deviasi lidah (+) ke kanan, atrofi
papil lidah (-), fasikulasi (-),
dysarthria (+)
32
Kernig : Tidak ada
Lassegue : Tidak ada
Brudzinsky : Tidak ada
Fungsi Luhur : Tidak ada kelainan
Fungsi Sensoris : Tidak ada kelainan
Fungsi Vegetatif : Tidak ada kelainan
Gerakan Abnormal : Tidak ada
A:
Diagnosis Klinis :
Hemiparese dextra tipe spastik + Parese N.VII
dextra tipe sentral + Parese N.XII dextra tipe
sentral + Hipestesia dextra
Diagnosis Topik :
Lesi di capsula interna hemisfer serebri sinistra
Diagnosis Etiologi :
CVD Non Hemoragik (Trombosis Serebri)
Diagnosis Tambahan:
1. Hipertensi stage I
2. Dislipidemia
3. CAP
33
N : 87 x/m 2x400mcg tab
RR: 20 x/m - Mecobalamin
T : 37.1 ºC 3x500mcg tab
- Simvastatin 1x20mg
Pemeriksaan Fisik tab
Motorik LKA LKI TKA TKI - Paracetamol
Gerakan Kurang Cukup Kurang Cukup 3x1000mg tab
Kekuatan 1 5 1 5 - Amlodipin 1x10mg
Tonus Hipertonus Normal Hipertonus Normal tab
- Aspilet 1x80mg tab
Refleks Fisiologis Kanan Kiri - Fluoxetin 1x20mg
Biceps Hiperrefleksi Normal tab
Triceps Hiperrefleksi Normal
P. Radius Hiperrefleksi Normal
P. Ulna Hiperrefleksi Normal
APR Hiperrefleksi Normal
KPR Hiperrefleksi Normal
34
Nervus Kranialis
N. I : tidak ada kelainan
N. II : tidak ada kelainan
N. III, IV, VI : pupil bulat, refleks pupil (+/+),
isokor, refleks cahaya langsung
(+/+). Gerakan bola mata baik
kesegala arah
N. V : tidak ada kelainan
N. VII : mengerutkan dahi simetris,
Lagoftalmus (-/-), menunjukkan gigi
(+) sudut kanan tertinggal, lipatan
nasolabialis kanan datar, bentuk
muka tidak simetris.
N. VIII : tidak ada kelainan
N. IX : tidak ada kelainan
N. X : tidak ada kelainan
N. XI : tidak ada kelainan
N. XII : deviasi lidah (+) ke kanan, atrofi
papil lidah (-), fasikulasi (-),
dysarthria (+)
35
Gejala Rangsang Meningeal
Kaku Kuduk : Tidak ada
Kernig : Tidak ada
Lassegue : Tidak ada
Brudzinsky : Tidak ada
Fungsi Luhur : Tidak ada kelainan
Fungsi Sensoris : Tidak ada kelainan
Fungsi Vegetatif : Tidak ada kelainan
Gerakan Abnormal : Tidak ada
A:
Diagnosis Klinis :
Hemiparese dextra tipe spastik + Parese N.VII
dextra tipe sentral + Parese N.XII dextra tipe
sentral + Hipestesia dextra
Diagnosis Topik :
Lesi di capsula interna hemisfer serebri sinistra
Diagnosis Etiologi :
CVD Non Hemoragik (Trombosis Serebri)
Diagnosis Tambahan:
1. Hipertensi stage I
2. Dislipidemia
3. CAP
36
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.2 Etiologi
Pada tingkatan makroskopik, stroke non hemoragik paling sering
disebabkan oleh emboli ekstrakranial atau trombosis intrakranial. Selain itu,
stroke non hemoragik juga dapat diakibatkan oleh penurunan aliran serebral.
37
Pada tingkatan seluler, setiap proses yang mengganggu aliran darah menuju
otak menyebabkan timbulnya kaskade iskemik yang berujung pada terjadinya
kematian neuron dan infark serebri.6
1. Emboli
Sumber embolisasi dapat terletak di arteria karotis atau vertebralis akan
tetapi dapat juga di jantung dan sistem vaskuler sistemik. Emboli dapat
berasal dari jantung, arteri ekstrakranial, ataupun dari right-sided
circulation (emboli paradoksikal). Penyebab terjadinya emboli kardiogenik
adalah trombi valvular seperti pada mitral stenosis, endokarditis, katup
buatan), trombi mural (seperti infark miokard, atrial fibrilasi,
kardiomiopati, gagal jantung kongestif) dan atrial miksoma. Sebanyak 2-3
persen stroke emboli diakibatkan oleh infark miokard dan 85 persen
diantaranya terjadi pada bulan pertama setelah terjadinya infark miokard.6
2. Trombosis
Stroke trombotik dapat dibagi menjadi stroke pada pembuluh darah
besar (termasuk sistem arteri karotis) dan pembuluh darah kecil (termasuk
sirkulus Willisi dan sirkulus posterior). Tempat terjadinya trombosis yang
paling sering adalah titik percabangan arteri serebral utamanya pada daerah
distribusi dari arteri karotis interna. Adanya stenosis arteri dapat
menyebabkan terjadinya turbulensi aliran darah (sehingga meningkatkan
resiko pembentukan trombus aterosklerosis (ulserasi plak), dan
perlengketan platelet.6
38
dilakukan terapi yang lebih cepat terhadap faktor risiko yang dapat
dimodifikasi.8
Usia merupakan faktor risiko tunggal yang berperan pada penyakit
stroke. Setiap kenaikan 10 tahun setelah usia 55 tahun, risiko stroke
meningkat dua kali pada pria dan wanita. Insidens stroke ditemukan 1,25
lebih banyak pada pria.8
Peningkatan insidens stroke dalam keluarga disebabkan karena
beberapa hal, antara lain, kecenderungan genetik, dan paparan lingkungan
atau gaya hidup yang mirip. Pada penelitian Framingham, menunjukkan
bahwa riwayat dari ayah dan ibu berhubungan dengan peningkatan risiko
stroke.8 Risiko stroke juga meningkat apabila ditemukan saudara derajat
satu mempunyai penyakit jantung koroner atau stroke sebelum usia 55
tahun (laki-laki) atau 65 tahun (wanita).9
Riwayat seseorang pernah mengalami gejala stroke (TIA/Transient
ischemic attack) meningkatkan risiko 10 kali dibandingkan seseorang
yang tidak memiliki riwayat stroke. Riwayat penyakit jantung
sebelumnya juga memiliki risiko yang sama.9
2. Faktor yang dapat dimodifikasi8
a) Faktor risiko dari pola hidup
Merokok
Unhealthy diet : lemak, garam berlebihan, asam urat, kolesterol
Alkoholik
Obat-obatan : narkoba (kokain), antikoagulansia, anti platelet, obat
kontrasepsi
b) Faktor risiko fisiologi
Penyakit hipertensi
Penyakit jantung
Diabetes mellitus
39
Infeksi/lues, arthritis, traumatik, AIDS, lupus
Gangguan ginjal
Kegemukan (obesitas)
Polisitemia, viskositas darah meninggi dan penyakit perdarahan
Kelainanan atomi pembuluh darah
3.1.4 Patofisiologi
Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang
dikenal sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua
orang memiliki jumlah neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi di
antara berbagi neuron berbeda-beda. Pada orang dewasa, otak membentuk
hanya sekitar 2% (1200-1400 gram) dari berat tubuh total, tetapi mengkonsumsi
sekitar 20% oksigen dan 50% glukosa yang ada di dalam darah arterial. Dalam
jumlah normal darah yang mengalir ke otak sebanyak 50-60 ml per 100 gram
jaringan otak per menit. Jumlah darah yang diperlukan untuk seluruh otak
adalah 700-840 ml/menit, dari jumlah darah itu di salurkan melalui arteri
karotis interna yang terdiri dari arteri karotis dekstra dan sinistra, yang
menyalurkan darah ke bagian depan otak disebut sebagai sirkulasi arteri
serebrum anterior, yang kedua adalah vertebrobasiler, yang memasok darah ke
bagian belakang otak disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum posterior,
selanjutnya sirkulasi arteri serebrum anterior bertemu dengan sirkulasi arteri
serebrum posterior membentuk suatu sirkulus Willisi.4
Gangguan pasokan darah otak dapat terjadi dimana saja di dalam arteri-
arteri yang membentuk sirkulus willisi serta cabang-cabangnya. Secara umum,
40
apabila aliran darah ke jaringan otak terputus 15 sampai 20 menit, akan terjadi
infark atau kematian jaringan. Iskemia jaringan otak timbul akibat sumbatan
pada pembuluh darah servikokranial atau hipoperfusi jaringan otak oleh
berbagai faktor seperti aterotrombosis, emboli, atau ketidakstabilan
hemodinamik. Aterotrombosis terjadi pada arteri-arteri besar dari daerah kepala
dan leher dan dapat juga mengenai pembuluh arteri kecil atau percabangannya.
Trombus yang terlokalisasi terjadi akibat penyempitan pembuluh darah oleh
plak aterosklerotik sehingga menghalangi aliran darah pada bagian distal
dari lokasi penyumbatan. Gejala neurologis yang muncul tergantung pada
lokasi pembuluh darah otak yang terkena.4
Penyumbatan pembuluh darah merupakan 80% kasus dari kasus stroke.
Penyumbatan sistem arteri umumnya disebabkan oleh terbentuknya trombus
pada ateromatous plaque pada bifurkasi dari arteri karotis. Erat hubungannya
dengan aterosklerosis (terbentuknya ateroma) dan arteriolosclerosis.4
41
Gambar 1. Susunan Neuromuskular
Tabel 2.1 Perbedaan klinis stroke non hemoragik dan stroke hemoragik1
Gejala atau Stroke non hemoragik Stroke hemoragik
42
pemeriksaan
Gejala yang mendahului TIA (+) TIA (-)
Beraktivitas/istirahat Istirahat, tidur atau segera Sering pada waktu
setelah bangun tidur aktifitas
Nyeri kepala dan muntah Jarang Sangat sering dan hebat
Penurunan kesadaran Jarang Sering
waktu onset
Hipertensi Sedang, normotensi Berat, kadang-kadang
sedang
Rangsangan meningen Tidak ada Ada
Defisit neurologis fokal Sering kelumpuhan dan Defisit neurologik cepat
gangguan fungsi mental terjadi
Refleks Babinski
Tanda babinski adalah gerakan dorsofleksi ibu jari kaki dengan atau tanpa
abduksi jari-jari kaki lainnya pada saat dilakukan stimulasi plantar pada pasien
dengan disfungsi traktus piramidalis. Gerakan dorsofleksi ibu jari tersebut
disebabkan adanya kontraksi m.Ekstensor hallusis longus. Otot yang terlibat
pada tanda Babinski adalah otot extensor hallusis longus, tibialis anterior,
extensor digitorum longus, otot hamstring, dan tensor fascia latae. Gerakan
respons yang khas adalah dorsofleksi (ekstensi) ibu jari dan abduksi jari-jari
43
kaki lainnya, diikuti dorsofleksi pergelangan kaki dan fleksi panggul serta sendi
lutut. Respons tersebut dikatakan sebagai tanda Babinski “positif”.20
Tanda Babinski hanya dapat terjadi jika terjadi aktivasi jaras intraspinal
pada refleks fleksi sinergi. Jaras tersebut dapat teraktivasi jika tidak ada kendali
sistem saraf pusat terhadai neuron motorik spinal. Fungsi traktus piramidalis
dapat terganggu tidak hanya disebabkan lesi struktural, namun dapat juga
disebabkan oleh gangguan fungsional (non-neurologis) seperti misalnya
intoksikasi alkohol, hipoglikemia, keadaan post-iktal pada epilepsi, kelelahan
fisik berat.20
Tanda Babinski terjadi akibat disfungsi serabut traktus piramidalis yang
berproyeksi ke zona interneuron yang terlibat pada refleks fleksor sinergi.
Interneuron tersebut saling berhubungan di medula spinalis segmen
lumbosakral, sehinggatanda Babinski selalu disertai hiperaktivitas otot fleksor
yang lebih proksimal. Refleks fleksor sinergi teraktivasi pada pasien dengan
spastisitas.20
3.1.6 Diagnosis
1. Anamnesis
Stroke harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami
defisit neurologi akut (baik fokal maupun global) atau penurunan tingkat
kesadaran. Tidak terdapat tanda atau gejala yang dapat membedakan
stroke hemoragik dan non hemoragik meskipun gejala seperti mual,
muntah, sakit kepala dan perubahan tingkat kesadaran lebih sering terjadi
44
pada stroke hemoragik. Beberapa gejala umum yang terjadi pada stroke
meliputi hemiparese, monoparese, atau qudriparese, hilangnya
penglihatan monokuler atau binokuler, diplopia, disartria, ataksia, vertigo,
afasia, atau penurunan kesadaran tiba-tiba. Meskipun gejala-gejala
tersebut dapat muncul sendiri namun umumnya muncul secara
bersamaan. Penentuan waktu terjadinya gejala-gejala tersebut juga
penting untuk menentukan perlu tidaknya pemberian terapi trombolitik. 10
45
3 Nyeri kepala dalam No 0
2 jam ( x 2 ) Yes 1
4 Tekanan Diastolik ( DBP ) DBP x 0,1
2. Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke
ekstrakranial, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupai
stroke, dan menentukan beratnya defisit neurologi yang dialami.
Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaaan kepala dan leher untuk
mencari tanda trauma, infeksi, dan iritasi menings. Pemeriksaan terhadap
faktor kardiovaskuler penyebab stroke membutuhkan pemeriksaan fundus
okuler (retinopati, emboli, perdarahan), jantung (ritmik ireguler, bising),
dan vaskuler perifer (palpasi arteri karotis, radial, dan femoralis). Pasien
dengan gangguan kesadaran harus dipastikan mampu untuk menjaga jalan
napasnya sendiri.10
3. Pemeriksaan Neurologi
Tujuan pemeriksaan neurologi adalah untuk mengidentifikasi gejala
stroke, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang memiliki gejala
seperti stroke, dan menyediakan informasi neurologi untuk mengetahui
keberhasilan terapi. Komponen penting dalam pemeriksaan neurologi
mencakup pemeriksaan status mental dan tingkat kesadaran, pemeriksaan
nervus kranial, fungsi motorik dan sensorik, fungsi serebral, gait, dan
refleks tendon profunda. Tengkorak dan tulang belakang pun harus
46
diperiksa dan tanda-tanda meningimus pun harus dicari. Adanya
kelemahan otot wajah pada stroke harus dibedakan dengan Bell’s palsy di
mana pada Bell’s palsy biasanya ditemukan pasien yang tidak mampu
mengangkat alis atau mengerutkan dahinya.10
4. Gambaran Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin diperlukan sebagai dasar pembelajaran dan
mungkin pula menunjukkan faktor risiko stroke seperti polisitemia,
trombositosis, trombositopenia, dan leukemia). Pemeriksaan ini pun dapat
menunjukkan kemungkinan penyakit yang sedang diderita saat ini seperti
anemia.10
Pemeriksaan kimia darah dilakukan untuk mengeliminasi kelainan
yang memiliki gejala seperti stroke (hipoglikemia, hiponatremia) atau
dapat pula menunjukkan penyakit yang diderita pasien saat ini (diabetes,
gangguan ginjal).10
Pemeriksaan koagulasi dapat menunjukkan kemungkinan
koagulopati pada pasien. Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna jika
digunakan terapi trombolitik dan antikoagulan.10
5. Gambaran Radiologi
CT scan kepala
Modalitas ini baik digunakan untuk membedakan stroke hemoragik
dan stroke non hemoragik secara tepat kerena pasien stroke non
hemoragik memerlukan pemberian trombolitik sesegera mungkin.
Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna untuk menentukan distribusi
anatomi dari stroke dan mengeliminasi kemungkinan adanya kelainan
47
lain yang gejalanya mirip dengan stroke (hematoma, neoplasma,
abses).10
Adanya perubahan hasil CT scan pada infark serebri akut harus
dipahami. Setelah 6-12 jam setelah stroke terbentuk daerah hipodense
regional yang menandakan terjadinya edema di otak. Jika setelah 3 jam
terdapat daerah hipodense yang luas di otak maka diperlukan
pertimbangan ulang mengenai waktu terjadinya stroke. Tanda lain
terjadinya stroke non hemoragik adalah adanya insular ribbon sign,
hiperdense MCA (oklusi MCA), asimetris sulkus, dan hilangnya
perberdaan gray-white matter.10
3.1.7 Penatalaksanaan
Waktu merupakan hal terpenting dalam penatalaksanaan stroke non
hemoragik yang diperlukan pengobatan sedini mungkin, karena jeda terapi dari
stroke hanya 3-6 jam. Penatalaksanaan yang cepat, tepat dan cermat memegang
peranan besar dalam menentukan hasil akhir pengobatan.2
1. Prinsip penatalaksanaan stroke non hemoragik
48
Memulihkan iskemik akut yang sedang berlangsung (3-6 jam
pertama) menggunakan trombolisis dengan rt-PA (recombinan tissue-
plasminogen activator). Ini hanya boleh di berikan dengan waktu onset
<3 jam dan hasil CT scan normal, tetapi obat ini sangat mahal dan hanya
dapat di lakukan di rumah sakit yang fasilitasnya lengkap. 2
Mencegah perburukan neurologis dengan jeda waktu sampai 72 jam
yang diantaranya yaitu :
1) Edema yang progresif dan pembengkakan akibat infark. Terapi
dengan manitol dan hindari cairan hipotonik.
2) Ekstensi teritori infark, terapinya dengan heparin yang dapat
mencegah trombosis yang progresif dan optimalisasi volume dan
tekanan darah yang dapat menyerupai kegagalan perfusi.
3) Konversi hemoragis, msalah ini dapat di lihat dari CT scan, tiga
faktor utama adalah usia lanjut, ukuran infark yang besar, dan
hipertensi akut, ini tak boleh di beri antikoagulan selama 43-72 jam
pertama, bila ada hipertensi beri obat antihipertensi.
Mencegah stroke berulang dini dalam 30 hari sejak onset gejala
stroke terapi dengan heparin.
49
dalam waktu 1 jam jika onset di pastikan <3 jam dan hasil CT scan
tidak memperlihatkan infrak yang luas.
2) Pemantauan irama jantung untuk pasien dengan aritmia jantung
atau iskemia miokard, bila terdapat fibrilasi atrium respons cepat
maka dapat diberikan digoksin 0,125-0,5 mg intravena atau
verapamil 5-10 mg intravena atau amiodaron 200 mg drips dalam
12 jam.
3) Tekanan darah tidak boleh cepat-cepat diturunkan sebab dapat
memperluas infrak dan perburukan neurologis. Pedoman
penatalaksanaan hipertensi bila terdapat salah satu hal berikut :
Hipertensi diobati jika terdapat kegawat daruratan hipertensi
neurologis seperti, iskemia miokard akut, edema paru
kardiogenik, hipertensi maligna (retinopati), nefropati
hipertensif, diseksi aorta.
Hipertensi diobati jika tekanan darah sangat tinggi pada tiga kali
pengukuran selang 15 menit dimana sistolik >220 mmHg,
diastolik >120 mmHg, tekanan arteri rata-rata >140 mmHg.
Pasien adalah kandidat trombolisis intravena dengan rt-PA
dimana tekanan darah sistolik >180 mmHg dan diastolik >110
mmHg.
Dengan obat-obat antihipertensi labetalol, ACE, nifedipin. Nifedifin
sublingual harus dipantau ketat setiap 15 menit karena penurunan
darahnya sangat drastis. Pengobatan lain jika tekanan darah masih
sulit di turunkan maka harus diberikan nitroprusid intravena, 50
mg/250 ml dekstrosa 5% dalam air (200 mg/ml) dengan kecepatan
3 ml/jam (10 mg/menit) dan dititrasi sampai tekanan darah yang di
inginkan. Alternatif lain dapat diberikan nitrogliserin drip 10-20
50
mg/menit, bila di jumpai tekanan darah yang rendah pada stroke
maka harus dinaikkan dengan dopamin atau debutamin drips.
4) Pertimbangkan observasi di unit rawat intensif pada pasien dengan
tanda klinis atau radiologis adanya infrak yang masif, kesadaran
menurun, gangguan pernafasan atau stroke dalam evolusi.
5) Pertimbangkan konsul ke bedah saraf untuk infrak yang luas.
6) Pertimbangkan sken resonasi magnetik pada pasien dengan stroke
vetebrobasiler atau sirkulasi posterior atau infrak yang tidak nyata
pada CT scan.
7) Pertimbangkan pemberian heparin intravena di mulai dosis 800
unit/jam, 20.000 unit dalam 500 ml salin normal dengan kecepatan
20 ml/jam, sampai masa tromboplastin parsial mendekati 1,5
kontrol pada kondisi:
Kemungkinan besar stroke kardioemboli
TIA atau infrak karena stenosis arteri karotis
Stroke dalam evolusi
Diseksi arteri
Trombosis sinus dura
Heparin merupakan kontraindikasi relatif pada infrak yang luas.
Pasien stroke non hemoragik dengan infrak miokard baru, fibrilasi
atrium, penyakit katup jantung atau trombus intrakardiak harus
diberikan antikoagulan oral (warfarin) sampai minimal satu tahun.
51
dan jika terdapat kesulitan cairan harus di berikan melalui selang lambung
atau intravena. Beberapa obat telah terbukti bermanfaat untuk pengobatan
penyakit serebrovaskular, obat-obatan ini dapat dikelompokkan atas tiga
kelompok yaitu obat antikoagulansia, penghambat trombosit dan
trombolitika:9
1) Antikoagulansia adalah zat yang dapat mencegah pembekuan darah
dan di gunakan pada keadaan dimana terdapat kecenderungan darah
untuk membeku. Obat yang termasuk golongan ini yaitu heparin dan
kumarin.
2) Penghambat trombosit adalah obat yang dapat menghambat agregasi
trombosit sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan
trombus yang terutama sering ditemukan pada sistem arteri. Obat
yang termasuk golongan ini adalah aspirin, dipiridamol, tiklopidin,
idobufen, epoprostenol, clopidogrel.
3) Trombolitika juga disebut fimbrinolitika berkhasiat melarutkan
trombus diberikan 3 jam setelah infark otak, jika lebih dari itu dapat
menyebabkan perdarahan otak, obat yang termasuk golongan ini
adalah streptokinase, alteplase, urokinase, dan reteplase.
3.2 Hipertensi
3.2.1 Definisi
Hipertensi didefinisikan sebagai kondisi tekanan darah sistolik ≥ 130
mmHg atau diastolik ≥ 80 mmHg.4 Sekitar 80 – 95% merupakan
52
hipertensi esensial yang berarti tidak ada penyebab spesifik. Kondisi ini
umumnya jarang menimbulkan gejala dan sering tidak disadari, sehingga
dapat menimbulkan morbiditas lain seperti gagal jantung kongestif,
hipertrofi ventrikel kiri, stroke, gagal ginjal stadium akhir, atau bahkan
kematian.13
3.2.2 Epidemiologi
Hipertensi merupakan salah satu penyebab terbesar morbiditas di dunia,
sering disebut sebagai pembunuh diam-diam. Data World Health
Organization (WHO) 2015 menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi di
dunia mencapai sekitar 1,13 miliar individu, artinya 1 dari 3 orang di
dunia terdiagnosis hipertensi. Jumlah penderita hipertensi diperkirakan
akan terus meningkat mencapai 1,5 miliar individu pada tahun 2025,
dengan kematian mencapai 9,4 juta individu. Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2013 menghasilkan prevalensi hipertensi pada usia ≥ 18
tahun di Indonesia mencapai 25,8%, yang terdiagnosis oleh tenaga
kesehatan dan/atau memiliki riwayat minum obat hanya 9,5%,
menunjukkan bahwa sebagian besar kasus hipertensi di masyarakat belum
terdiagnosis dan terjangkau oleh tim pelayanan kesehatan.13,14
3.2.3 Klasifikasi15
Kategori Tekanan Darah Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah Diastolik
Normal < 120 mmHg < 80 mmHg
Meningkat (Elevated) 120 – 129 mmHg < 80 mmHg
Stadium 1 130 – 139 mmHg 80 – 89 mmHg
Stadium 2 ≥ 140 mmHg ≥ 90 mmHg
3.2.4 Diagnosis
a. Anamnesis
Keluhan yang dapat muncul antara lain: nyeri kepala, gelisah,
palpitasi, pusing, leher kaku, penglihatan kabur, nyeri dada, mudah
53
lelah, dan impotensi. Nyeri kepala umumnya pada hipertensi berat,
dengan ciri khas nyeri regio oksipital terutama pada pagi hari.
Anamnesis identifikasi faktor risiko penyakit jantung, penyebab
sekunder hipertensi, komplikasi kardiovaskuler, dan gaya hidup
pasien.14
b. Pemeriksaan Fisik
Penderita dapat terlihat sakit ringan hingga berat jika terjadi
komplikasi. Tekanan darah meningkat. Pemeriksaan lain seperti
status neurologis dan pemeriksaan fisik jantung.14
3.2.5 Tatalaksana
a. Non-farmakologis
Intervensi non-farmakologis merupakan salah satu cara efektif untuk
menurunkan tekanan darah; yang telah terbukti dengan uji klinis
adalah penurunan berat badan, Dietary Approaches to Stop
Hypertension (DASH), diet rendah garam, suplemen kalium,
peningkatan aktivitas fisik, dan pengurangan konsumsi alkohol.15
b. Farmakologis
Indonesia masih mengacu pada algoritma yang diterbitkan oleh JNC
VII dalam penatalaksanaan hipertensi. Pilihan terapi dimulai dengan
modifikasi gaya hidup. Kemudian pemberian obat disesuaikan
dengan stadium hipertensi dan indikasi yang mendukung lainnya
seperti gagal jantung, riwayat infark miokardium, risiko tinggi
penyakit koroner, diabetes, penyakit ginjal kronis, dan riwayat stroke
berulang.15
Jenis obat untuk terapi awal didasarkan pada efektivitasnya dalam
mengurangi kejadian klinis serta ditoleransi dengan baik, antara lain:
diuretik tiazid, penghambat ACE, ARBs, dan CCBs. Terapi awal
hipertensi umumnya menggunakan satu jenis obat; kombinasi dengan
jenis obat lain direkomendasikan pada hipertensi stadium 2 atau
54
rerata tekanan darah > 20/10 mmHg melebihi tekanan darah target.4
Beberapa hal lain yang perlu diperhatikan dalam penentuan jenis obat
antara lain usia, interaksi obat, komorbiditas, dan keadaan
sosioekonomi. Kombinasi obat dengan mekanisme kerja sama perlu
dihindari; misalnya kombinasi obat penghambat ACE dengan ARBs,
karena efektivitas masing-masing obat akan berkurang dan risiko
efek samping meningkat.15,16
Lini Pertama
Diuretik : Klortalidon, metolazon, hidroklorotiazid
Penghambat ACE : Benazepril, kaptopril, Ramipril, enalapril
ARB : candesartan, lorsartan, omelsartan
CCB : amlodipine, felodipin, nikardipin, nifedipin
Lini Kedua
Diuretic : furosemide, torsemide, bumetanide
Penyekat Beta : atenololm bisoprolol, metoprolol
Penyekat Alfa : dexazosin, prazosin, terazosin
Agonis alfa 2 : klonidin, metildopa, guanfasin
Vasodilator : hidralazin, minoksidil
3.3 Dislipidemia
Dislipidemia didefinisikan sebagai suatu keadaan abnormalitas yang
terjadi pada kadar lipid didalam darah. Abnormalitas yang terjadi bias dilihat
55
dari kadar kolesterol total yang tinggi disertai dengan peningkatan kadar
kolesterol Low Density Lipoprotein (LDL) dan juga peningkatan kadar
trigliserida serta penurunan kadar High Density Lipoprotein (HDL).
Dislipidemia dapat terjadi pada pasien sebelum terjadinya stroke, namun juga
tidak menutup kemungkinan pada pasien yang sesudah stroke untuk terjadi
dislipidemia. Terjadinya dislipidemia pada pasien stroke dapat menjadi faktor
risiko untuk terjadinya stroke berulang. Penanganan dan pencegahan dapat
menjadi titik fokus dalam usaha menurunkan kasus dislipidemia pada pasien
stroke, sehingga kasus stroke berulang akibat dislipidemia juga dapat dicegah.17
Kolesterol total adalah jumlah dari keseluruhan atau total kolesterol
didalam darah. Total kolesterol didalam darah terdiri dari kolesterol LDL, HDL
dan trigliserida. Low Density Lipoprotein (LDL) berperan dalam pembentukan
atherosklerosis dikarenakan kemampuan LDL yang dapat menstimulasi
molekul adhesi dan chemoattractans pada permukaan dinding pembuluh darah
tepatnya pada sel endotel. Sebaliknya HDL memiliki kemampuan dalam
menghambat ekpresi molekul adhesi, menghambat oksidasi LDL dan aktivasi
serta agregasi trombosit. Selain itu HDL juga memiliki sifat anti inflamasi dan
antioksi dan sehingga dapat mengurangi risiko terjadinya stroke. Apabila terjadi
penurunan kadar HDL dan secara bersamaan terjadi peningkatan kadar LDL
maka hal ini dapat meningkatkan risiko untuk terjadinya stroke. Peningkatan
kadar trigliserida dalam darah dapat menyebabkan peningkatan viskositas
plasma dan dapat mengubah kaskade koagulasi sehingga hal ini dapat berisiko
untuk terjadinya thrombosis.17
56
sebelumnya) dan pencegahan sekunder (pernah memiliki riwayat klinis
ASCVD sebelumnya). Riwayat ASCVD klinis yang dimaksud meliputi:
Stroke
57
Risiko tinggi ≥20% : terapi statin intensitas tinggi
Simvastatin 20-
40 mg
Statin lainnya - Pravastatin 40-80 Pravastatin 10-20
mg mg
58
Fluvastatin XL mg
80 mg
Fluvastatin
2x40mg
Pitavastatin 1-
4mg
59
nomor enam di Thailand, dan nomor tiga di Vietnam. Data Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan bahwa prevalens
pneumonia di Indonesia adalah 0,63%. Lima provinsi di Indonesia yang
mempunyai insidens dan prevalens pneumonia tertinggi untuk semua
umur adalah Nusa Tenggara Timur, Papua, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Barat,dan Sulawesi Selatan.19
3.4.3 Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme,
yaitu bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia
komuniti yang diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan
bakteri Gram positif, sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak
disebabkan bakteri Gram negatif sedangkan pneumonia aspirasi banyak
disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa
kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari
pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri Gram
negatif.18
3.4.4 Diagnosis
Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala klinis
pemeriksaan fisis, foto toraks dan labolatorium. Diagnosis pasti
pneumonia komuniti ditegakkan jika pada foto toraks trdapat infiltrat
baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di
bawah ini :
Batuk-batuk bertambah
Perubahan karakteristik dahak / purulent
Suhu tubuh > 380C (aksila) / riwayat demam
Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas
bronkial dan ronki
Leukosit > 10.000 atau < 4500.18
60
3.4.5 Tatalaksana18
Pasien pneumonia komunitas yang dirawat inap dengan antimikroba
intravena dapat dengan aman diganti ke pemberian oral saat perbaikan
klinis. Morbiditas dan mortalitas pasien pneumonia komunitas dapat
dikurangi dengan mengoptimalkan penggunaan antibiotik. Penelitian
pada beberapa dekade terakhir memberikan rekomendasi pemilihan
antibiotik, insisiasi terapi sejak dini, dan pertukaran terapi intravena
keterapioral, namun durasi pemberian terapi antimikroba yang sesuai
hingga saat ini masih menjadi kontroversi. Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan
hasil uji kepekaannya. Secara umum pemilihan antibiotic berdasarkan
bakteri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut :
Penisilin sensitive streptococcus pneumonia (PSSP) : golongan
penisilin, TMP-SMZ, makrolid
Penisilin resisten streptococcus pneumonia (PRSP) : betalaktam,
sefotaksim, seftriakson, fluorokuinolon
Pseudomonas aeruginosa : aminoglikosid, seftazidim, sefoperason,
karbapenem, siprofloksasin, levofloksasin
Methicillin resistant staphylococcus aureus (MRSA) : vankomisin,
teikoplanin, linezolid
Hemophilus influenza : azitromisin, sefalosporin, fluorokuonolon
Legionella : makrolid, fluorokuinolon, rimfapisin
61
BAB IV
ANALISA KASUS
Pasien dirawat di bagian syaraf RSMP karena tidak bisa berjalan yang
disebabkan kelemahan pada lengan kanan dan tungkai kanan yang terjadi secara tiba-
tiba. Hal ini merupakan suatu tanda bahwa pasien mengalami stroke. Menurut definisi
WHO, stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang secara cepat akibat
gangguan otak fokal atau global dan gejala berlangsung selama 24 jam atau lebih
tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskular.
2 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengalami kelemahan pada lengan
kanan dan tungkai kanan saat terbangun dari tidur tanpa kehilangan kesadaran. Saat
serangan tidak didahului sakit kepala, mual ataupun muntah. Hal ini merupakan suatu
gejala dari stroke non hemoragik atau stroke iskemik. Stroke non hemoragik biasanya
terjadi pada saat pasien istirahat, tidur atau segera setelag pasien terbangun dari tidur.
Biasanya jarang dan hampir tidak pernah terjadi nyeri kepala dan mual muntah pada
pasien.
Pada pasien ini, kelemahan terjadi pada bagian kanan tubuh. Hemiparese pada
pasien yang mengalami infark bagian hemisfer otak kiri akan mengakibatkan
terjadinya terjadinya kelumpuhan pada sebelah kanan, begitu pula sebaliknya dan
sebagian juga terjadi hemiparese dupleks, penderita stroke non hemoragik yang
mengalami hemiparese dupleks akan mengakibatkan terjadinya kelemahan pada
kedua bagian tubuh sekaligus. Dari hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
neurologis ditemukan sudut kanan bibir tertinggal, lipatan nasolabialis datar serta
62
deviasi lidah ke kanan. Hal ini menandakan bahwa pasien mengalami kelemahan
pada nervus kranial VII dan XII. Pasien juga mengalami penurunan gerakan dan
kekuatan pada tangan dan tungkai kanan. Kekuatan otot tangan dan tungkau kanan 1,
refleks fisiologis hiperrefleks di tangan dan tungkai serta refleks Babinski (+) dan
schaedffer (+) pada kaki kanan.
Dari penilaian siriraj stroke skore didapatkan hasil nilai -3 dan pada Algoritma
Stroke Gadjah Mada hanya ditemukan positif pada refleks Babinski. Siriraj stroke
skore adalah skor untuk membantu penegakan diagnosis stroke baik hemoragik
ataupun non hemoragik. Siriraj stroke skore terdiri dari bagaimana tingkat kesadaran
pasien, ada tidaknya muntah, ada tidaknya nyeri kepala, nilai tekanan darah diastolik
serta ada tidaknya atheroma markers. Hasil perhitungan skor kemudian
diintepretasikan sebagai stroke non hemoragik jika skor ≤ -1 dan stroke hemoragik
jika skor ≥ -1. Algoritma Gadjah Mada terdiri dari 3 penilaian, yaitu ada tidaknya
penurunan kesadaran, ada tidaknya nyeri kepala dan ada tidaknya refleks Babinski.
Jika hanya refleks Babinski yang (+) maka diklasifikasikan sebagai stroke non
hemoragik.
Pada pasien telah dilakukan CT-Scan dengan kesan infark cerebri subacute
cortiqal subcortical frontotemporalis kiri yang menyempitkan ventrikel lateralis kiri.
CT-Scan kepala merupakan modalitas yang baik digunakan untuk membedakan
stroke hemoragik dan stroke non hemoragik secara tepat karena pasien stroke non
hemoragik memerlukan pemberian trombolitik sesegera mungkin. Selain itu,
pemeriksaan ini juga berguna untuk menentukan distribusi anatomi dari stroke dan
mengeliminasi kemungkinan adanya kelainan lain yang gejalanya mirip dengan
stroke (hematoma, neoplasma, abses).
Pasien mengatakan memiliki riwayat darah tinggi ± 29 tahun yang lalu namun
tidak pernah control dan minum obat secara teratur. Pasien mengkonsumsi obat
amlodipine 5 mg 1 x sehari dan sejak 1 tahun terakhir tidak pernah minum obat lagi.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah pasien 150/90 mmHg. Darah tinggi
atau hipertensi didefinisikan sebagai kondisi tekanan darah sistolik ≥ 130 mmHg atau
63
diastolik ≥ 80 mmHg. Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya stroke
baik hemoragik maupun non hemoragik. Pada pasien dengan hipertensi akan terjadi
gangguan pasokan darah ke otak maupun organ lainnya akibat dari menyempitnya
pembuluh darah. Secara umum apabila aliran darah ke otak terputus selama 15
sampai 20 menit, akan terjadi infark atau kematian jaringan. Iskemia jaringan otak
timbul akibat dari sumbatan pada pembuluh darah otak oleh berbagai faktor seperti
aterotrombosis, emboli atau ketidakstabilan hemodinamik.
Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan adanya peningkatan pada kadar
kolesterol total dan LDL pasien serta penurunan kadar HDL. Kolesterol total adalah
jumlah dari keseluruhan atau total kolesterol didalam darah. Total kolesterol didalam
darah terdiri dari kolesterol LDL, HDL dan trigliserida. Keadaan abnormalitas dari
kadar kolesterol merupakan definisi dari dislipidemia. Low Density Lipoprotein
(LDL) berperan dalam pembentukan atherosclerosis dikarenakan kemampuan LDL
yang dapat menstimulasi molekul adhesi dan chemoattractans pada permukaan
dinding pembuluh darah tepatnya pada sel endotel. Sebaliknya HDL memiliki
kemampuan dalam menghambat ekspresi molekul adhesi, menghambat oksidasi LDL
dan aktivasi serta agregasi trombosit. Apabila terjadi penurunan kadar HDL dan
secara bersamaan terjadi peningkatan kadar LDL maka hal ini dapat meningkatkan
risiko terjadinya stroke.
Tanda Babinski hanya dapat terjadi jika terjadi aktivasi jaras intraspinal pada
refleks fleksi sinergi. Jaras tersebut dapat teraktivasi jika tidak ada kendali sistem
saraf pusat terhadai neuron motorik spinal. Fungsi traktus piramidalis dapat terganggu
tidak hanya disebabkan lesi struktural, namun dapat juga disebabkan oleh gangguan
fungsional (non-neurologis) seperti misalnya intoksikasi alkohol, hipoglikemia,
keadaan post-iktal pada epilepsi, kelelahan fisik berat.
Tanda Babinski terjadi akibat disfungsi serabut traktus piramidalis yang
berproyeksi ke zona interneuron yang terlibat pada refleks fleksor sinergi. Interneuron
tersebut saling berhubungan di medula spinalis segmen lumbosakral, sehinggatanda
64
Babinski selalu disertai hiperaktivitas otot fleksor yang lebih proksimal. Refleks
fleksor sinergi teraktivasi pada pasien dengan spastisitas.
65
yang terutama sering ditemukan pada system arteri. Pemberian citicolin 2 x 500 mg
pada pasien ini ditujukan untuk melindungi otak, mempertahankan fungsi otak secara
normal serta mengurangi jaringan otak yang rusak akibat cidera dengan cara
meningkatkan senyawa phospholipid. Pasien juga diberikan simvastatin 1 x 20 mg
untuk mengatasi dislipidemia dan amlodipine 1 x 10 mg untuk menurunkan tekanan
darahnya. Untuk mengatasi pneumonia komuniti pada pasien ini diberikan injeksi
ceftriaxone 2 x 1 g. ceftriaxone merupakan obat antibiotic golongan sefalosporin
yang bekerja dengan cara menghambat pertumbuhan bakteri atau membunuh bakteri.
Pada pasien ini diberikan mecobalamin dengan dosis 3 x 500 mg. Pemberian
mecobalamin dapat dikombinasikan dengan pemberian vitamin C. Pemberian kedua
obat ini ditujukan untuk mengurangi kadar homosistein yang merupakan asam amino
yang sering terjadi peningkatan pada pasien stroke. Homosistein adalah asam amino
Alami, yang bila berada dalam kadar yang tinggi dalam darah, dapat meningkatkan
risiko penyumbatan pembuluh darah atau aterosklerosis. Kondisi ini dikenal dengan
hiperhomosisteinemia. Hal ini diketahui bahwa jumlah yang tinggi dari homosistein
dapat merusak lapisan pembuluh darah. Kerusakan inilah yang dapat menyebabkan
aterosklerosis dan akan berdampak terhadap peningkatan risiko stroke.
66
BAB V
KESIMPULAN
67
DAFTAR PUSTAKA
68
11. Setyopranoto, I. Stroke: Gejala dan Penatalaksaan. Cermin Dunia Kedokteran
185. 38(4); 2011. 247-250.
12. Junaidi, I. Stroke Waspadai Ancamannya. Edisi 1. Yogyakarta: ANDI. 2011.
13. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J, et al.
2015. Hypertension treatment. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 19th
ed. McGraw-Hill Co, Inc.;
14. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Riskesdas 2013.pdf [Internet]. [cited 2021 Jun 30]. Available from:
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas
%202013.
15. Carey RM, Whelton PK, for the 2017ACC/AHA Hypertension guideline
writing committee. Prevention, detection, evaluation, and management of high
blood pressure in adults: Synopsis of the 2017 American College of
Cardiology/American Heart Association hypertension guideline. Ann Intern
Med. 2018.
16. Williams B, Mancia G, Spiering W, Agabiti Rosei E, Azizi M, Burnier M, et
al. 2018 ESC/ESH Guidelines for the management of arterial hypertension. Eur
Heart J.
17. Nugraha DP, Bebasari E, Sahputra S. 2020. Gambaran Dislipidemia Pada
Pasien Stroke Akut di Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad Provinsi Riau
Periode Janurai – Desember 2019. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. Vol 20 No 1
2020.
18. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia Komuniti Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
19. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2019. Korelasi Kadar Copeptin danSkor
PSI dengan Waktu Terapi Sulih Antibiotik Intravena ke Oral dan Lama Rawat
Pneumonia Komunitas. Jurnal Respirologi Indoneisa. Vol 39 No 1 2019.
20. Poirier J. 2008. Babinski, Histologist and anatomi-pathologist. Romanian J
Morphology and Emberyology.
69
70