Anda di halaman 1dari 74

Laporan Kasus

HEMIPARESE DEXTRA TIPE SPASTIK + PARESE N.VII


DEXTRA TIPE SENTRAL + PARESE N.XII DEXTRA TIPE
SENTRAL ET CAUSA CVD NON HEMORAGIK (TROMBOSIS
SEREBRI) + HIPESTESIA DEXTRA + HIPERTENSI GRADE 1 +
DISLIPIDEMIA + COMMUNITY ACQUIRED PNEUMONIA

Oleh :
Mutiara Resya, S.Ked (712019084)
Novi Putri Dwi Iriani, S.Ked (712019076)

Pembimbing :
dr. Yesi Astri, Sp.N, M.Kes

SMF ILMU PENYAKIT SARAF


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Judul:

Hemiparese Dextra Tipe Spastik + Parese N.VII Dextra Tipe Sentral +


Parese N.XII Dextra Tipe Sentral Et Causa CVD Non Hemoragik
(Trombosis Serebri) + Hipestesia Dextra + Hipertensi Grade 1 +
Dislipidemia + Community Acquired Pneumonia

Oleh:
Mutiara Resya, S.Ked (712019084)
Novi Putri Dwi Iriani, S.Ked (712019076)

Telah dilaksanakan pada 28 Juni - 04 Juli 2021 sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Saraf di
Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang

Palembang, Juli 2021


Pembimbing

dr. Yesi Astri, Sp.N, M.Kes

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul Judul:
“Hemiparese Dextra Tipe Spastik+Parese N.VII Dextra Tipe Sentral + Parese N.XII
Dextra Tipe Sentral Et Causa CVD Non Hemoragik (Trombosis Serebri) + Hipestesia
Dextra + Hipertensi Stage 1 + Dislipidemia + Community Acquired Pneumonia” sebagai
salah satu syarat untuk mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit
Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.
Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta
para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman. Pada kesempatan ini penulis
ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada :
1. dr. Yesi Astri, Sp.N, M.Kes selaku pembimbing yang telah memberikan masukan
serta bimbingan dalam penyelesaian laporan kasus ini,
2. Rekan sejawat seperjuangan serta semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini masih
banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik
yang bersifat membangun sangat kami harapkan. Semoga Allah SWT memberikan
balasan pahala atas segala amal yang telah diberikan dan semoga laporan kasus ini
dapat bermanfaat bagi semua.

Palembang, Juli 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..............................................................................................1
1.2 Maksud dan Tujuan ......................................................................................2
1.3 Manfaat .........................................................................................................3

BAB II. STATUS PENDERITA NEUROLOGI


2.1 Identifikasi......................................................................................................4
2.2 Anamnesis......................................................................................................4
2.3 Pemeriksaan Fisik...........................................................................................5
2.4 Pemeriksaan Laboratorium...........................................................................16
2.5 Pemeriksaan Khusus ...................................................................................17
2.6 Ringkasan.....................................................................................................22
2.7 Diskusi Kasus ..............................................................................................25
2.8 Follow Up ....................................................................................................30

BAB III. TINJAUAN PUSTAKA


3.1 Stroke Iskemik .............................................................................................40
3.2 Hipertensi .....................................................................................................55
3.3 Dislipidemia .................................................................................................57
3.4 Community Acquired Pneumonia ................................................................61

BAB IV. ANALISA KASUS ...............................................................................64


DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................65

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang
Penyakit serebrovaskuler / cerebrovascular disease (CVD) merupakan
penyakit sistem persarafan yang paling sering dijumpai. Stroke merupakan bagian
dari CVD. Menurut World Health Organization (WHO), stroke adalah manifestasi
klinis dari gangguan fungsi serebri fokal atau global yang berkembang dengan
cepat atau tiba-tiba, berlangsung lebih dari 24 jam atau berakhir dengan kematian,
dengan tidak tampaknya penyebab lain selain penyebab vaskular. Berdasarkan
American Heart Association (AHA) stroke ditandai sebagai defisit neurologi yang
dikaitkan dengan cedera fokal akut dari sistem saraf pusat (SSP) yang disebabkan
oleh pembuluh darah, termasuk infark serebral, pendarahan intraserebral (ICH)
dan pendarahan subaraknoid (SAH).1
Stroke terjadi ketika jaringan otak terganggu karena berkurangnya aliran
darah atau oksigen ke sel-sel otak. Terdapat dua jenis stroke yaitu iskemik stroke
dan hemoragik. Stroke iskemik terjadi karena berkurangnya aliran darah
sedangkan stroke yang terjadi karena perdarahan ke dalam atau sekitar otak
disebut stroke hemoragik. Perdarahan yang terjadi pada stroke hemoragik dapat
dengan cepat menimbulkan gejala neurologik karena tekanan pada struktur saraf
di dalam tengkorak. Stroke hemoragik lebih jarang terjadi dibanding stroke
iskemik akan tetapi stroke hemoragik menyebabkan lebih banyak kematian. 2
Insidensi stroke di Asia umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan
Amerika Serikat dan juga lebih banyak terjadi pada negara Eropa bagian timur
dibandingkan bagian barat. Insiden stroke pada laki-laki lebih banyak
dibandingkan dengan perempuan pada usia lebih muda, tetapi tidak demikian
halnya pada usia tua. Di Indonesia, penelitian berskala cukup besar pernah
dilakukan oleh ASNA (ASEAN Neurological Association) di 28 Rumah Sakit
(RS) seluruh Indonesia. Dari 2.065 pasien stroke akut, dijumpai rata-rata usia
adalah 58,8 tahun (range 18-95 tahun) dengan kasus pada pria lebih banyak dari
pada wanita.3

1
Penyakit stroke merupakan penyebab kematian utama di hampir seluruh RS
di Indonesia, sekitar 15,4%. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kemenkes
RI tahun 2013 menunjukkan telah terjadi peningkatan prevalensi stroke di
Indonesia dari 8,3 per mil (tahun 2007) menjadi 12,1 per mil (tahun 2013).
Prevalensi penyakit Stroke tertinggi di Sulawesi Utara (10,8per mil), Yogyakarta
(10,3 per mil), Bangka Belitung (9,7 per mil) dan DKI Jakarta (9,7 per mil). 3
Kasus stroke termasuk dalam Standar Kompetensi Dokter dengan grade 3B,
yang berarti dokter umum harus mampu mendiagnosa klinik berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan sederhana. Dokter
umum harus mampu memutuskan dan memberikan terapi pendahuluan, serta
merujuk ke spesialis yang relevan (kasus gawat darurat). Maka dari itu, laporan
kasus ini diharapkan dapat menambah informasi dan wawasan mengenai stroke,
sehingga kompetensi yang diharapkan dapat tercapai.

1. 2. Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan dari pembuatan laporan kasus ini adalah :
1. Diharapkan pada semua sarjana kedokteran dapat memahami setiap kasus
Hemiparese Dextra Tipe Spastik+Parese N.VII Dextra Tipe Sentral+Parese
N.XII Dextra Tipe Sentral Et Causa CVD Non Hemoragik (Trombosis
Serebri) + Hipestesia Dextra + Hipertensi Stage 1 + Dislipidemia
2. Diharapkan adanya pola berpikir kritis setelah dilakukannya diskusi laporan
kasus Hemiparese Dextra Tipe Spastik+Parese N.VII Dextra Tipe
Sentral+Parese N.XII Dextra Tipe Sentral Et Causa CVD Non Hemoragik
(Trombosis Serebri) + Hipestesia Dextra + Hipertensi Stage 1 +
Dislipidemia
3. Diharapkan pada semua sarjana kedokteran dapat mengaplikasikan
pemahaman yang didapat mengenai kasus Hemiparese Dextra Tipe
Spastik+Parese N.VII Dextra Tipe Sentral+Parese N.XII Dextra Tipe
Sentral Et Causa CVD Non Hemoragik (Trombosis Serebri) + Hipestesia
Dextra + Hipertensi Stage 1 + Dislipidemia

2
1. 3. Manfaat
1.1.1 Teoritis
Untuk meningkatkan pengetahuan dan menambah wawasan ilmu tentang
laporan kasus ini

1.1.2 Praktis
Sebagai masukan guna lebih meningkatkan mutu pelayanan yang diberikan
terutama dalam memberikan informasi (pendidikan kesehatan) kepada pasien dan
keluarganya tentang kegawatan pada pasien

3
BAB II
STATUS PENDERITA NEUROLOGI

2.1. IDENTIFIKASI
Nama : Ny. R
Umur : 83 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl.KH Azhari, Palembang Sumatera Selatan
Agama : Islam
MRS Tanggal : 22 Juni 2021

2.2. ANAMNESA (Alloanamnesis) (28 Juni 2021)


Penderita dirawat di bagian syaraf RSMP karena tidak bisa berjalan yang
disebabkan kelemahan pada lengan kanan dan tungkai kanan yang terjadi secara
tiba-tiba.
Sejak kurang lebih 2 hari sebelum masuk rumah sakit, ketika penderita
terbangun dari tidur mengalami kelemahan pada lengan kanan dan tungkai kanan
tanpa disertai kehilangan kesadaran. Saat serangan penderita tidak didahului sakit
kepala yang disertai mual ataupun muntah, keluhan juga tanpa disertai kejang,
dan tidak disertai gangguan rasa pada sisi yang lemah. Kelemahan lengan kanan
dan tungkai kanan dirasakan sama berat. Sehari-hari penderita menggunakan
tangan kanan untuk beraktivitas. Penderita masih dapat mengungkapkan isi
pikiran secara lisan, tulisan dan isyarat. Penderita masih dapat mengerti isi pikiran
orang lain secara lisan, tulisan dan isyarat. Saat bicara mulut penderita mengot ke
kanan dan bicaranya pelo.
Saat serangan penderita tidak mengalami jantung berdebar yang disertai
sesak nafas. Riwayat darah tinggi ada sejak ± 29 tahun yang lalu namun tidak
pernah kontrol dan minum obat secara teratur. Konsumsi obat amlodipine 5mg

4
1xsehari, sejak 1 tahun lalu tidak pernah minum obat lagi. Tidak ada penyakit
jantung, kencing manis, trauma kepala, dan hiperlipidemia. Riwayat merokok dan
minum-minuman alkohol tidak ada pada penderita. Penderita juga memiliki
riwayat jarang berolahraga.
Penyakit seperti ini diderita untuk yang kedua kalinya, keluhan sama
seperti yang dialami penderita sekarang. Saat serangan yang pertama terjadi 15
tahun yang lalu, namun hanya berobat rawat jalan dan penderita kembali sehat
serta dapat berjalan seperti semula.

2.3. PEMERIKSAAN FISIK

Status Praesens
Kesadaran : Composmentis (E:4, M:6, V:5)
Suhu Badan : 37,7ºC
Nadi : 75 x/menit
Pernapasan : 19 x/menit
TD : 150/90 mmHg
Gizi : Normoweight
Berat Badan : 48 kg
Tinggi Badan : 148 cm

Status Internus
Jantung : BJ 1 dan BJ 2 normal, Murmur (+), gallop (-)
Paru-paru : Vesikuler (+/+), ronkhi (-), wheezing (-)
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Anggota Gerak : Akral hangat, pucat (-), edema (-), CRT < 2 detik
Genitalia : Tidak diperiksa

5
Status Psikiatrikus
Sikap : Tidak kooperatif
Perhatian : Ada
Ekspresi Muka : Wajar
Kontak Psikis : Ada

Status Neurologis
A. Kepala
Bentuk : Brachiocephali
Ukuran : Normal
Simetris : Simetris

B. Leher
Sikap : Lurus Deformitas : Tidak ada
Torticolis : Tidak ada Tumor : Tidak ada
Kaku kuduk : Tidak ada Pembuluh darah : Tidak melebar

C. Saraf-Saraf Otak
1. N. Olfaktorius Kanan Kiri
Penciuman Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Anosmia Tidak ada Tidak ada
Hyposmia Tidak ada Tidak ada
Parosmia Tidak ada Tidak ada

2. N.Opticus Kanan Kiri


Visus Tidak di periksa Tidak di periksa
Campus visi

Anopsia Tidak ada Tidak ada

6
Hemianopsia Tidak ada Tidak ada
Fundus Oculi
- Papil edema Tidak diperiksa Tidak diperiksa
- Papil atrofi Tidak diperiksa Tidak diperiksa
- Perdarahan retina Tidak diperiksa Tidak diperiksa

3. Nn. Occulomotorius, Trochlearis, dan Abducens


Diplopia Tidak ada Tidak ada
Celah mata Simetris Simetris
Ptosis Tidak ada Tidak ada
Sikap bola mata
- Strabismus Tidak ada Tidak ada
- Exophtalmus Tidak ada Tidak ada
- Enophtalmus Tidak ada Tidak ada
- Deviation conjugae Tidak ada Tidak ada
Gerakan bola mata Segala arah Segala arah
Pupil
- Bentuknya Bulat Bulat
- Besanya ± 3 mm ± 3 mm
- Isokori/anisokor Isokor Isokor
- Midriasis/miosis Tidak ada Tidak ada
- Refleks cahaya
o Langsung Positif Positif
o Konsensuil Positif Positif
o Akomodasi Positif Posisitf
- Argyl Robertson Tidak ada Tidak ada

4. N.Trigeminus Kanan Kiri


Motorik
- Menggigit Kuat Kuat
- Trismus Tidak ada Tidak ada
- Refleks kornea Positif Positif
Sensorik
- Dahi Normal Normal
- Pipi Normal Normal
- Dagu Normal Normal

5. N.Facialis Kanan Kiri

7
Motorik
- Mengerutkan dahi Simetris Simetris
- Menutup mata Tidak ada lagoftalmus
- Menunjukkan gigi Sudut kanan tertinggal
- Lipatan nasolabialis Lipatan nasolabialis kanan datar
- Bentuk Muka
 Istirahat Tidak simetris
 Berbicara/bersiul Tidak simetris
Sensorik
- 2/3 depan lidah Tidak diperiksa
Otonom
- Salivasi Normal
- Lakrimasi Normal
- Chvostek’s sign Tidak ada

6. N. Cochlearis Kanan Kiri


Suara bisikan Terdengar Terdengar
Detik arloji Terdengar Terdengar
Tes Weber Tidak diperiksa Tidak diperiksa
Tes Rinne Tidak diperiksa Tidak diperiksa

7. N. Glossopharingeus dan N. Vagus


Kanan Kiri
Arcus pharingeus Simetris Simetris
Uvula Di tengah
Gangguan menelan Tidak ada
Suara serak/sengau Tidak ada
Denyut jantung Normal
Refleks
- Muntah Tidak diperiksa
- Batuk Tidak diperiksa
- Okulokardiak Normal
- Sinus karotikus Normal
Sensorik
- 1/3 belakang lidah Tidak dapat diperiksa

8. N. Accessorius Kanan Kiri


Mengangkat bahu Kuat Kuat

8
Memutar kepala Tidak ada hambatan

9. N. Hypoglossus Kanan Kiri


Mengulur lidah Deviasi lidah ke kanan
Fasikulasi Tidak ada
Atrofi papil Tidak ada
Disartria Ada

D. Kolumna Vertebralis
Kyphosis : Tidak ada kelainan
Skoliosis : Tidak ada kelainan
Lordosis : Tidak ada kelainan
Gibbus : Tidak ada kelainan
Deformitas : Tidak ada kelainan
Tumor : Tidak ada kelainan
Menikokel : Tidak ada kelainan
Hematoma : Tidak ada kelainan
Nyeri Ketok : Tidak ada kelainan

E. Badan dan Anggota Gerak


Fungsi Motorik
1. Lengan Kanan Kiri
Gerakan Kurang Cukup
Kekuatan 1 5
Tonus Hipertoni Eutoni
Refleks fisiologis
- Biceps Hiperrefleks Normal
- Triceps Hiperrefleks Normal
- Periost Radius Hiperrefleks Normal
- Periost Ulna Hiperrefleks Normal
Refleks patologis
- Hoffman Ttromner Negatif Negatif

9
Trofik Eutrofik Eutrofik

2. Tungkai Kanan Kiri


Gerakan Kurang Cukup
Kekuatan 1 5
Tonus Hipertoni Eutoni
Klonus
Paha Negatif Negatif
Kaki Negatif Negatif
Refleks fisiologis
- KPR Hiperrefleks Normal
- APR Hiperrefleks Normal
Refleks patologis
- Babinsky Ada Tidak ada
- Chaddock Tidak ada Tidak ada
- Oppenheim Tidak ada Tidak ada
- Gordon Tidak ada Tidak ada
- Schaeffer Ada Tidak ada
- Rossolimo Tidak ada Tidak ada
- Mendel Bechterew Tidak ada Tidak ada
Refleks kulit perut
Atas Tidak ada kelainan
Tengah Tidak ada kelainan
Bawah Tidak ada kelainan
Trofik Eutrofik Eutrofik

Fungsi Sensorik Kanan Kiri


Rasa Nyeri Kurang Sensitif Sensitif
Rasa Suhu Kurang Sensitif Sensitif
Rasa Raba Kurang Sensitif Sensitif
Rasa Posisi Tidak diperiksa Tidak diperiksa
Rasa Getar Tidak diperiksa Tidak diperiksa
Rasa Nyeri Dalam Kurang Sensitif Sensitif

F. Gambar

Lipatan nasolabialis
kanan datar
Sudut kanan tertinggal
Muka tidak simetris
Lidah deviasi kekanan
10
Gerakan : Kurang
Kekuatan : 1
Gerakan : Kurang Refleks Fisiologi hiperreflek
Kekuatan : 1
Refleks Fisiologi hiperreflek

Gerakan : Kurang
Gerakan : Kurang Kekuatan : 1
Rasa Nyeri (-) Refleks patologis:
Kekuatan : 1 Rasa Suhu (-)
Refleks patologis: Babinsky (+)
Rasa Raba (-) Chaddock (-)
Babinsky (+) Rasa Nyeri
Chaddock (-) Oppenheim (-)
Dalam (-) Gordon (-)
Oppenheim (-)
Gordon (-) Schaeffer (+)
Schaeffer (+) Rossolimo (-)
Rossolimo (-) Mendel Bechterew(-)
Mendel Bechterew(-)
G. Gejala Keterangan : Hemiparese Dextra Tipe Spastik +
Parese N. VII Dextra Tipe Sentral + Parese N. XII
Dextra Tipe Sentral + Hipestesia Dextra

H. Rangsang Meningeal
GRM Kanan Kiri
Kaku kuduk Tidak ada
Kernig Tidak ada Tidak ada
Lasseque Tidak ada Tidak ada
Brudzinsky:
- Neck Tidak ada
- Cheek Tidak ada
- Sypmphisi
Tidak ada
s
- Leg I Tidak ada Tidak ada
- Leg II Tidak ada Tidak ada

I. Gait dan Keseimbangan


1. Gait
Ataxia : Belum dapat dinilai

11
Hemiplegic : Belum dapat dinilai
Scissor : Belum dapat dinilai
Propulsion : Belum dapat dinilai
Histeric : Belum dapat dinilai
Limping : Belum dapat dinilai
Steppage : Belum dapat dinilai
Astasia-Abasia : Belum dapat dinilai
2. Keseimbangan dan Koordinasi
Romberg : Belum dapat dinilai
Dysmetri
- jari-jari : Belum dapat dinilai
- jari hidung : Belum dapat dinilai
- tumit-tumit : Belum dapat dinilai
Dysdiadochokinesis : Belum dapat dinilai
Trunk Ataxia : Belum dapat dinilai
Limb Ataxia : Belum dapat dinilai
J. Gerakan Abnormal
Tremor : Tidak ada
Chorea : Tidak ada
Athetosis : Tidak ada
Ballismus : Tidak ada
Dystoni : Tidak ada
Myocloni : Tidak ada

K. Fungsi Vegetatif
Miksi : Normal
Defekasi : Normal
Ereksi : Tidak diperiksa

12
L. Fungsi Luhur
Afasia motorik : Tidak ada kelainan
Afasia sensorik : Tidak ada kelainan
Apraksia : Tidak ada kelainan
Agrafia : Tidak ada kelainan
Alexia : Tidak ada kelainan
Afasia nominal : Tidak ada kelainan

M. Siriraj Stroke Score


Siriraj Stroke Score (SSS) = (2.5 x Tingkat kesadaran) + (2
x Muntah) + (2 x Nyeri kepala) + ( 0.1 x Tekanan darah
diastolik ) – ( 3 x Atheroma markers ) – 12

SSS = (2.5 x 0) + (2 x 0) + (2 x 0) + (0.1 x 90) – (3 x 0) – 12


SSS = 0 + 0 + 0 + 9 – 0 – 12
SSS = -3
Interpretasi : Infark Serebri

N. Algoritma Stroke Gadjah Mada

13
Interpretasi:
Penurunan kesadaran (-), Nyeri kepala (-), Refleks babinski (+)
➔ Infark Serebri (Stroke Non Hemoragik)

2.4. Pemeriksaan Laboratorium Tanggal (22 Juni 2021)


Darah
PEMERIKSAAN HASIL UNIT NILAI NORMAL
Hb 12.3 g/dl 12-16
Leukosit 8.800 /uL 4.200 –11.000
Trombosit 218.000 /uL 150.000-440.000
Hematokrit 36.8 % 37 – 47
Hitung jenis
 Basofil 0 % 0-1
 Eosinofil 1 % 1-3

14
 Batang 3 % 2-6
 Segmen 68.4 % 40-60
 Limfosit 22.7 % 20-50
 Monosit 6.8 % 2–8
LED 1 jam. 26 mm/jam <20
PEMERIKSAAN HASIL UNIT NILAI NORMAL
Glukosa sewaktu 81 mg/dl <180
Cholesterol Total 220 mg/dl < 200
Cholesterol HDL 42 mg/dl 45-100
Cholesterol LDL 162 mg/dl < 130
Trigliserida 79 mg/dl <200
Ureum 54 mg/dl 10-50
Kreatinin 0.7 mg/dl 0.60-1.50
Uric Acid 4,6 mg/dl 3,4-7
Natrium 145 mmol/L 135-155
Kalium 9.5 mmol/L 3,6-6,5
Urine : Tidak diperiksa
Faeces : Tidak diperiksa
Liquor cerebrospinalis : Tidak diperiksa

2.5. Pemeriksaan Khusus


Rontgen foto cranium : Tidak diperiksa
Rontgen foto thoraks : Diperiksa
Rontgen foto columna vertebralis : Tidak diperiksa
Electro Encephalography : Tidak diperiksa
Arteriography : Tidak diperiksa
Electrocardiography : Diperiksa
Pneumography : Tidak diperiksa
Lain-lain (CT-Scan) : Diperiksa

Rontgen Foto Thoraks (tanggal 22 Juni 2021)

15
Pada pemeriksaan foto Rontgen didapatkan :
 Cor kesan membesar
 Infiltrat di pericardial kanan kiri
 Diafragma kanan dan kiri licin
 Sinus kostofrenikus kanan dan kiri lancip
 Tulang-tulang intak
 Soft tissue baik
Kesan :
 Cardiomegaly
 Pneumonia

EKG (tanggal 22 Juni 2021)

16
Kesan : Normal

Rontgen Foto Thoraks (tanggal 26 Juni 2021)

17
Dibandingkan foto lama lesi tak tampak lagi pada foto thorax saat ini
Kesan :
Kemajuan Terapi

CT-Scan Kepala (tanggal 26 Juni 2021)

18
Dilakukan CT Scan Kepala potongan aksial dengan slice thickness 7mm,
scanning tanpa memakai kontra media :
- Soft tissue extracalvaria dan calvaria masih memberikan bentuk dan densitas
yang normal
- Sulci corticalis dan ruang subarachnoid, gyricorticalis, fissure Sylvii ka/ki
dalam batas normal
- Bentuk dan posisi ventrikel lateralis asimetris, ukuran ventrikel lateralis
kanan ventrikel 3-4 normal
- Sisterna ambiens dan basalis tampak normal
- Daerah selatursica dan juxta sella serta daerah Cerebello-Pontin Angle masih
dalam batas normal
- Ganglia basalis, kapsula interna, thalamus, corpus callosum dalam batas
normal
- Parenkim serebellum dan pons tidak menunjukkan densitas patologis,
tampak lesi hipodens batas tegas cortikal-subcortical frontotemporalis kiri
yang menyempitkan ventrikel lateralis kiri
- Tampak kalsifikasi fisiologis di pleksuschoroideus, glandula pinealis
- Mastoid air cell kiri kanan normal
- Sinusethmoidalis, sphenoidalis, maxillaris, frontalis tampak normal
- Bulbus oculi, ruang retrobulber, tampak normal

19
- Nervus opticus kiri kanan dalam batas normal
- Tidak tampak midline shift
Kesan :
Infark cerebri subacute corticqal subcortical frontotemporalis kiri yang
menyempitkan ventrikel lateralis kiri.

2.6. RINGKASAN

2.6.1 ANAMNESA
Penderita dirawat di bagian syaraf RSMP karena tidak bisa berjalan yang
disebabkan kelemahan pada lengan kanan dan tungkai kanan yang terjadi secara
tiba-tiba.
Sejak kurang lebih 2 hari sebelum masuk rumah sakit, ketika penderita
terbangun dari tidur mengalami kelemahan pada lengan kanan dan tungkai kanan
tanpa disertai kehilangan kesadaran. Saat serangan penderita tidak didahului sakit
kepala yang disertai mual ataupun muntah, keluhan juga tanpa disertai kejang,
dan tidak disertai gangguan rasa pada sisi yang lemah. Kelemahan lengan kanan
dan tungkai kanan dirasakan sama berat. Sehari-hari penderita menggunakan
tangan kanan untuk beraktivitas. Penderita masih dapat mengungkapkan isi
pikiran secara lisan, tulisan dan isyarat. Penderita masih dapat mengerti isi pikiran

20
orang lain secara lisan, tulisan dan isyarat. Saat bicara mulut penderita mengot ke
kanan dan bicaranya pelo.
Saat serangan penderita tidak mengalami jantung berdebar yang disertai
sesak nafas. Riwayat darah tinggi ada sejak ± 29 tahun yang lalu namun tidak
pernah kontrol dan minum obat secara teratur. Konsumsi obat amlodipine 5mg
1xsehari, sejak 1 tahun lalu tidak pernah minum obat lagi. Tidak ada penyakit
jantung, kencing manis, trauma kepala, dan hiperlipidemia. Riwayat merokok dan
minum-minuman alkohol tidak ada pada penderita. Penderita juga memiliki
riwayat jarang berolahraga.
Penyakit seperti ini diderita untuk yang kedua kalinya, keluhan sama seperti
yang dialami penderita sekarang. Saat serangan yang pertama terjadi 15 tahun
yang lalu, namun hanya berobat rawat jalan dan penderita kembali sehat serta
dapat berjalan seperti semula.

2.6.2 PEMERIKSAAN FISIK


Status Praesens
Kesadaran : Composmentis (E:4, M:6, V:5)
Suhu Badan : 37,7ºC
Nadi : 75 x/menit
Pernapasan : 19 x/menit
TD : 150/90 mmHg
Gizi : Normoweight
Berat Badan : 48 kg
Tinggi Badan : 148 cm

Pemeriksaan Neurologis
5. N.Facialis Kanan Kiri
Motorik

21
-Mengerutkan dahi Simetris Simetris
-Menutup mata Tidak ada lagoftalmus
-Menunjukkan gigi Sudut kanan tertinggal
- Lipatan nasolabialis Lipatan nasolabialis kanan datar
- Bentuk Muka
 Istirahat Tidak simetris
 Berbicara/bersiul Tidak simetris
Sensorik
- 2/3 depan lidah Tidak diperiksa
Otonom
- Salivasi Normal
- Lakrimasi Normal
- Chvostek’s sign Tidak ada

9. N. Hypoglossus Kanan Kiri


Mengulur lidah Deviasi lidah ke kanan
Fasikulasi Tidak ada
Atrofi papil Tidak ada
Disartria Ada

Fungsi Motorik
3. Lengan Kanan Kiri
Gerakan Kurang Cukup
Kekuatan 1 5
Tonus Hipertoni Eutoni
Refleks fisiologis
- Biceps Hiperrefleks Normal
- Triceps Hiperrefleks Normal
- Periost Radius Hiperrefleks Normal
- Periost Ulna Hiperrefleks Normal
Refleks patologis
- Hoffman Ttromner Negatif Negatif
Trofik Eutrofik Eutrofik

4. Tungkai Kanan Kiri


Gerakan Kurang Cukup
Kekuatan 1 5
Tonus Hipertoni Eutoni

22
Klonus
Paha Negatif Negatif
Kaki Negatif Negatif
Refleks fisiologis
- KPR Hiperrefleks Normal
- APR Hiperrefleks Normal
Refleks patologis
- Babinsky Ada Tidak ada
- Chaddock Tidak ada Tidak ada
- Oppenheim Tidak ada Tidak ada
- Gordon Tidak ada Tidak ada
- Schaeffer Ada Tidak ada
- Rossolimo Tidak ada Tidak ada
- Mendel Bechterew Tidak ada Tidak ada
Refleks kulit perut
Atas Tidak ada kelainan
Tengah Tidak ada kelainan
Bawah Tidak ada kelainan
Trofik Eutrofik Eutrofik

Fungsi Sensorik Kanan Kiri


Rasa Nyeri Kurang Sensitif Sensitif
Rasa Suhu Kurang Sensitif Sensitif
Rasa Raba Kurang Sensitif Sensitif
Rasa Posisi Tidak diperiksa Tidak diperiksa
Rasa Getar Tidak diperiksa Tidak diperiksa
Rasa Nyeri Dalam Kurang Sensitif Sensitif

2.7. Diskusi Kasus

A. DIAGNOSIS BANDING TIPE KELEMAHAN


GEJALA PADA
FLAKSID SPASTIK
PENDERITA
Hipotonus Hipertonus Hipertonus
Hiporefleks Hiperrefleks Hiperrefleks
Refleks patologis (-) Refleks patologis (+/-) Refleks patologis (+)
Atrofi otot (+) Atrofi otot (-) Atrofi otot (-)
Jadi, tipe kelemahan yang dialami23penderita yaitu tipe spastik
B. DIAGNOSIS BANDING TOPIK
Lesi di subkorteks hemisfer serebri: Pada penderita ditemukan gejala:
Defisit motorik (hemiparese dextra tipe
Defisit motoric
spastik)
Afasia motorik subcortical Tidak terdapat afasia
Kelemahan lengan dan tungkai sama Kelemahan lengan dan tungkai sama
berat berat
Jadi kemungkinan lesi di subkorteks hemisfer serebri tidak dapat ditegakkan.
Lesi di korteks hemisfer serebri: Pada penderita ditemukan gejala:
Defisit motoric Defisit motorik (hemiparese dextra
tipe spastik)
Gejala iritatif Tidak terdapat gejala iritatif berupa
kejang
Gejala fokal (kelemahan lengan dan Terdapat gejala fokal berupa
tungkai tidak sama berat) kelemahan lengan dan tungkai yang
sama berat
Gejala defisit sensorik pada sisi yang Tidak terdapat defisit sensorik pada
lemah sisi yang lemah
Afasia motorik kortikal Tidak terdapat afasia
Jadi kemungkinan lesi di korteks hemisfer serebri tidak dapat ditegakkan.

Lesi di kapsula interna hemisferium


Pada penderita ditemukan gejala:
serebri:
Ada hemiparese/hemiplegia tipikal Hemiparese dextra tipe spastik
Parese N. VII tipe sentral Terdapat parese N. VII tipe sentral
Parese N. XII tipe sentral Terdapat parese N. XII tipe sentral
Kelemahan pada lengan dan tungkai Kelemahan pada lengan dan tungkai
sama berat sama berat

24
Jadi kemungkinan lesi di kapsula interna hemisferium serebri dapat
ditegakkan.
KESIMPULAN:
diagnosa topik yaitu lesi di kapsula interna hemisferium serebri sinistra

C. DIAGNOSIS BANDING ETIOLOGI


1) Emboli Cerebri Pada penderita ditemukan gejala :
- Kehilangan kesadaran < 30 - Tidak terdapat kehilangan kesadaran
menit
- Didahului jantung berdebar - Tidak terdapat jantung berdebar-debar
- Hasil EKG: Atrial fibrilasi - Hasil EKG: normal
- Terjadi saat aktifitas - Tidak terjadi saat beraktivitas
Jadi, kemungkinan etiologi emboli cerebri dapat disingkirkan.
2) Hemoragik Pada penderita ditemukan gejala :
- Kehilangan kesadaran > 30 - Tidak terdapat kehilangan kesadaran
menit
- Terjadi saat aktivitas - Terjadi saat beristirahat
- Didahului sakit kepala, - Didahului sakit kepala, mual dan tanpa
mual dan atau tanpa muntah muntah
- Riwayat Hipertensi - Memiliki riwayat hipertensi
Jadi, kemungkinan etiologi hemoragik dapat disingkirkan

3) Trombosis serebri Pada penderita ditemukan gejala :


- Tidak ada kehilangan - Tidak terdapat kehilangan kesadaran
kesadaran
- Terjadi saat istirahat - Terjadi saat bangun tidur
Jadi, kemungkinan diagnosiss etiologi yaitu Trombosis Serebri
KESIMPULAN:
Diagnosis etiologi yaitu :
CVD Non Hemoragik (Trombosis serebri)

25
DIAGNOSA KLINIK : Hemiparese dextra tipe spastik + Parese
N.VII dextra tipe sentral + Parese N.XII
dextra tipe sentral + Hipestesia dextra
DIAGNOSA TOPIK : Lesi di kapsula interna hemisferium serebri
sinistra
DIAGNOSA ETIOLOGI : CVD Non Hemoragik (Trombosis Serebri)
DIAGNOSA TAMBAHAN :
1. Hipertensi derajat II
2. Dislipidemia
3. CAP

PENATALAKSANAAN
1. Non Farmakologi
- Bed Rest
- Diet cair
- Jika kondisi membaik tingkatkan menjadi diet lunak rendah garam
- Fisioterapi
2. Farmakologi
- IVFD RL gtt 20x/menit
- Inj. Ceftriaxone 2x1g
- Inj. Ranitidin 2x25mg
- Inj. Citicoline 2x500mg
- Inj. Vitamin C 2x1
- Asam Folat 2x400mcg tab
- Mecobalamin 3x500mcg tab

26
- Simvastatin 1x20mg tab
- Paracetamol 3x1000mg tab
- Amlodipin 1x10mg tab
- Aspilet 1x80mg tab
- Fluoxetin 1x20mg tab

PROGNOSA
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : Dubia ad bonam

2.8. Follow Up
Tanggal Perjalanan Penyakit Rencana Terapi
28 S: Kelemahan pada lengan dan tungkai kanan - IVFD RL gtt 20
Juni 2021 mulai membaik. x/menit
O: - Inj. Ceftriaxone 2x1g
GCS: E4M6V5 - Inj. Ranitidin 2x25mg
KU: Tampak Sakit Sedang - Inj. Citicoline
TD : 150/90 mmHg 2x500mg
N : 75 x/m - Inj. Vitamin C 2x1
RR: 19 x/m - Asam Folat
T : 37.7 ºC 2x400mcg tab
- Mecobalamin
Pemeriksaan Fisik 3x500mcg tab
Motorik LKA LKI TKA TKI - Simvastatin 1x20mg

27
Gerakan Kurang Cukup Kurang Cukup tab
Kekuatan 1 5 1 5 - Paracetamol
Tonus Hipertonus Normal Hipertonus Normal 3x1000mg tab
- Amlodipin 1x10mg
Refleks Fisiologis Kanan Kiri tab
Biceps Hiperrefleksi Normal - Aspilet 1x80mg tab
Triceps Hiperrefleksi Normal - Fluoxetin 1x20mg tab
P. Radius Hiperrefleksi Normal
P. Ulna Hiperrefleksi Normal
APR Hiperrefleksi Normal
KPR Hiperrefleksi Normal

Refleks Patologis Kanan Kiri


Babinsky Positif Negatif
Chaddock Negatif Negatif
Oppenheim Negatif Negatif
Gordon Negatif Negatif
Schaffer Positif Negatif
Rossolimo Negatif Negatif
Mendel Bachterew Negatif Negatif

Nervus Kranialis
N. I : tidak ada kelainan
N. II : tidak ada kelainan
N. III, IV, VI : pupil bulat, refleks pupil (+/+),
isokor, refleks cahaya langsung
(+/+). Gerakan bola mata baik
kesegala arah

28
N. V : tidak ada kelainan
N. VII : mengerutkan dahi simetris,
Lagoftalmus (-/-), menunjukkan gigi
(+) sudut kanan tertinggal, lipatan
nasolabialis kanan datar, bentuk
muka tidak simetris.
N. VIII : tidak ada kelainan
N. IX : tidak ada kelainan
N. X : tidak ada kelainan
N. XI : tidak ada kelainan
N. XII : deviasi lidah (+) ke kanan, atrofi
papil lidah (-), fasikulasi (-),
dysarthria (+)

Sensorik Kanan Kiri


Rasa nyeri Kurang sensitif Sensitif
Rasa suhu Kurang sensitif Sensitif
Rasa raba Kurang sensitif Sensitif
Rasa posisi Tidak dilakukan
Rasa getar Tidak dilakukan
Rasa nyeri dalam Kurang sensitif Sensitif

Gejala Rangsang Meningeal


Kaku Kuduk : Tidak ada
Kernig : Tidak ada
Lassegue : Tidak ada
Brudzinsky : Tidak ada
Fungsi Luhur : Tidak ada kelainan

29
Fungsi Sensoris : Tidak ada kelainan
Fungsi Vegetatif : Tidak ada kelainan
Gerakan Abnormal : Tidak ada

A:
Diagnosis Klinis :
Hemiparese dextra tipe spastik + Parese N.VII
dextra tipe sentral + Parese N.XII dextra tipe
sentral + Hipestesia dextra
Diagnosis Topik :
Lesi di capsula interna hemisfer serebri sinistra
Diagnosis Etiologi :
CVD Non Hemoragik (Trombosis Serebri)
Diagnosis Tambahan:
1. Hipertensi stage I
2. Dislipidemia
3. CAP

Tanggal Perjalanan Penyakit Rencana Terapi


29 S: Kelemahan pada lengan dan tungkai kanan - IVFD RL gtt 20
Juni 2021 mulai membaik. x/menit
O: - Inj. Ceftriaxone 2x1g
GCS: E4M6V5 - Ranitidin 2x150mg
KU: Tampak Sakit Sedang tab
TD : 140/100 mmHg - Citicoline 2x500mg
N : 65 x/m tab
RR: 20 x/m - Vitamin C 2x1
T : 37.6 ºC - Asam Folat

30
2x400mcg tab
Pemeriksaan Fisik - Mecobalamin
Motorik LKA LKI TKA TKI 3x500mcg tab
Gerakan Kurang Cukup Kurang Cukup - Simvastatin 1x20mg
Kekuatan 1 5 1 5 tab
Tonus Hipertonus Normal Hipertonus Normal - Paracetamol
3x1000mg tab
- Amlodipin 1x10mg
Refleks Fisiologis Kanan Kiri tab
Biceps Hiperrefleksi Normal - Aspilet 1x80mg tab
Triceps Hiperrefleksi Normal - Fluoxetin 1x20mg tab
P. Radius Hiperrefleksi Normal
P. Ulna Hiperrefleksi Normal
APR Hiperrefleksi Normal
KPR Hiperrefleksi Normal

Refleks Patologis Kanan Kiri


Babinsky Positif Negatif
Chaddock Negatif Negatif
Oppenheim Negatif Negatif
Gordon Negatif Negatif
Schaffer Positif Negatif
Rossolimo Negatif Negatif
Mendel Bachterew Negatif Negatif

Nervus Kranialis
N. I : tidak ada kelainan
N. II : tidak ada kelainan

31
N. III, IV, VI : pupil bulat, refleks pupil (+/+),
isokor, refleks cahaya langsung
(+/+). Gerakan bola mata baik
kesegala arah
N. V : tidak ada kelainan
N. VII : mengerutkan dahi simetris,
Lagoftalmus (-/-), menunjukkan gigi
(+) sudut kanan tertinggal, lipatan
nasolabialis kanan datar, bentuk
muka tidak simetris.
N. VIII : tidak ada kelainan
N. IX : tidak ada kelainan
N. X : tidak ada kelainan
N. XI : tidak ada kelainan
N. XII : deviasi lidah (+) ke kanan, atrofi
papil lidah (-), fasikulasi (-),
dysarthria (+)

Sensorik Kanan Kiri


Rasa nyeri Kurang sensitif Sensitif
Rasa suhu Kurang sensitif Sensitif
Rasa raba Kurang sensitif Sensitif
Rasa posisi Tidak dilakukan
Rasa getar Tidak dilakukan
Rasa nyeri dalam Kurang sensitif Sensitif

Gejala Rangsang Meningeal


Kaku Kuduk : Tidak ada

32
Kernig : Tidak ada
Lassegue : Tidak ada
Brudzinsky : Tidak ada
Fungsi Luhur : Tidak ada kelainan
Fungsi Sensoris : Tidak ada kelainan
Fungsi Vegetatif : Tidak ada kelainan
Gerakan Abnormal : Tidak ada

A:
Diagnosis Klinis :
Hemiparese dextra tipe spastik + Parese N.VII
dextra tipe sentral + Parese N.XII dextra tipe
sentral + Hipestesia dextra
Diagnosis Topik :
Lesi di capsula interna hemisfer serebri sinistra
Diagnosis Etiologi :
CVD Non Hemoragik (Trombosis Serebri)
Diagnosis Tambahan:
1. Hipertensi stage I
2. Dislipidemia
3. CAP

Tanggal Perjalanan Penyakit Rencana Terapi


30 S: Kelemahan pada lengan dan tungkai kanan - Ranitidin 2x150mg
Juni 2021 mulai membaik. tab
O: - Citicoline 2x500mg
GCS: E4M6V5 tab
KU: Tampak Sakit Sedang - Vitamin C 2x1
TD : 150/90 mmHg - Asam Folat

33
N : 87 x/m 2x400mcg tab
RR: 20 x/m - Mecobalamin
T : 37.1 ºC 3x500mcg tab
- Simvastatin 1x20mg
Pemeriksaan Fisik tab
Motorik LKA LKI TKA TKI - Paracetamol
Gerakan Kurang Cukup Kurang Cukup 3x1000mg tab
Kekuatan 1 5 1 5 - Amlodipin 1x10mg
Tonus Hipertonus Normal Hipertonus Normal tab
- Aspilet 1x80mg tab
Refleks Fisiologis Kanan Kiri - Fluoxetin 1x20mg
Biceps Hiperrefleksi Normal tab
Triceps Hiperrefleksi Normal
P. Radius Hiperrefleksi Normal
P. Ulna Hiperrefleksi Normal
APR Hiperrefleksi Normal
KPR Hiperrefleksi Normal

Refleks Patologis Kanan Kiri


Babinsky Negatif Negatif
Chaddock Negatif Negatif
Oppenheim Negatif Negatif
Gordon Negatif Negatif
Schaffer Positif Negatif
Rossolimo Negatif Negatif
Mendel Bachterew Negatif Negatif

34
Nervus Kranialis
N. I : tidak ada kelainan
N. II : tidak ada kelainan
N. III, IV, VI : pupil bulat, refleks pupil (+/+),
isokor, refleks cahaya langsung
(+/+). Gerakan bola mata baik
kesegala arah
N. V : tidak ada kelainan
N. VII : mengerutkan dahi simetris,
Lagoftalmus (-/-), menunjukkan gigi
(+) sudut kanan tertinggal, lipatan
nasolabialis kanan datar, bentuk
muka tidak simetris.
N. VIII : tidak ada kelainan
N. IX : tidak ada kelainan
N. X : tidak ada kelainan
N. XI : tidak ada kelainan
N. XII : deviasi lidah (+) ke kanan, atrofi
papil lidah (-), fasikulasi (-),
dysarthria (+)

Sensorik Kanan Kiri


Rasa nyeri Kurang sensitif Sensitif
Rasa suhu Kurang sensitif Sensitif
Rasa raba Kurang sensitif Sensitif
Rasa posisi Tidak dilakukan
Rasa getar Tidak dilakukan
Rasa nyeri dalam Kurang sensitif Sensitif

35
Gejala Rangsang Meningeal
Kaku Kuduk : Tidak ada
Kernig : Tidak ada
Lassegue : Tidak ada
Brudzinsky : Tidak ada
Fungsi Luhur : Tidak ada kelainan
Fungsi Sensoris : Tidak ada kelainan
Fungsi Vegetatif : Tidak ada kelainan
Gerakan Abnormal : Tidak ada

A:
Diagnosis Klinis :
Hemiparese dextra tipe spastik + Parese N.VII
dextra tipe sentral + Parese N.XII dextra tipe
sentral + Hipestesia dextra
Diagnosis Topik :
Lesi di capsula interna hemisfer serebri sinistra
Diagnosis Etiologi :
CVD Non Hemoragik (Trombosis Serebri)
Diagnosis Tambahan:
1. Hipertensi stage I
2. Dislipidemia
3. CAP

36
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Stroke Iskemik


3.1.1 Definisi Stroke
Stroke non hemoragik didefinisikan sebagai sekumpulan tanda klinik
yang berkembang oleh sebab vaskular. Gejala ini berlangsung 24 jam atau lebih
pada umumnya terjadi akibat berkurangnya aliran darah ke otak, yang
menyebabkan cacat atau kematian.5 Stroke non hemoragik sekitar 85%, yang
terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi
serebrum. Obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan (trombus) yang terbentuk di
dalam suatu pembuluh otak atau pembuluh atau organ distal. Trombus yang
terlepas dapat menjadi embolus.5

3.1.2 Etiologi
Pada tingkatan makroskopik, stroke non hemoragik paling sering
disebabkan oleh emboli ekstrakranial atau trombosis intrakranial. Selain itu,
stroke non hemoragik juga dapat diakibatkan oleh penurunan aliran serebral.

37
Pada tingkatan seluler, setiap proses yang mengganggu aliran darah menuju
otak menyebabkan timbulnya kaskade iskemik yang berujung pada terjadinya
kematian neuron dan infark serebri.6
1. Emboli
Sumber embolisasi dapat terletak di arteria karotis atau vertebralis akan
tetapi dapat juga di jantung dan sistem vaskuler sistemik. Emboli dapat
berasal dari jantung, arteri ekstrakranial, ataupun dari right-sided
circulation (emboli paradoksikal). Penyebab terjadinya emboli kardiogenik
adalah trombi valvular seperti pada mitral stenosis, endokarditis, katup
buatan), trombi mural (seperti infark miokard, atrial fibrilasi,
kardiomiopati, gagal jantung kongestif) dan atrial miksoma. Sebanyak 2-3
persen stroke emboli diakibatkan oleh infark miokard dan 85 persen
diantaranya terjadi pada bulan pertama setelah terjadinya infark miokard.6
2. Trombosis
Stroke trombotik dapat dibagi menjadi stroke pada pembuluh darah
besar (termasuk sistem arteri karotis) dan pembuluh darah kecil (termasuk
sirkulus Willisi dan sirkulus posterior). Tempat terjadinya trombosis yang
paling sering adalah titik percabangan arteri serebral utamanya pada daerah
distribusi dari arteri karotis interna. Adanya stenosis arteri dapat
menyebabkan terjadinya turbulensi aliran darah (sehingga meningkatkan
resiko pembentukan trombus aterosklerosis (ulserasi plak), dan
perlengketan platelet.6

3.1.3 Faktor Risiko


1. Faktor yang dapat dimodifikasi
Usia, jenis kelamin, ras, etnis, dan keturunan diketahui merupakan
pertanda risiko stroke. Walaupun faktor risiko ini tidak dapat
dimodifikasi, apabila diketahui adanya faktor risiko ini, memungkinkan
untuk diidentifikasinya pasien dengan risiko yang tinggi, sehingga dapat

38
dilakukan terapi yang lebih cepat terhadap faktor risiko yang dapat
dimodifikasi.8
Usia merupakan faktor risiko tunggal yang berperan pada penyakit
stroke. Setiap kenaikan 10 tahun setelah usia 55 tahun, risiko stroke
meningkat dua kali pada pria dan wanita. Insidens stroke ditemukan 1,25
lebih banyak pada pria.8
Peningkatan insidens stroke dalam keluarga disebabkan karena
beberapa hal, antara lain, kecenderungan genetik, dan paparan lingkungan
atau gaya hidup yang mirip. Pada penelitian Framingham, menunjukkan
bahwa riwayat dari ayah dan ibu berhubungan dengan peningkatan risiko
stroke.8 Risiko stroke juga meningkat apabila ditemukan saudara derajat
satu mempunyai penyakit jantung koroner atau stroke sebelum usia 55
tahun (laki-laki) atau 65 tahun (wanita).9
Riwayat seseorang pernah mengalami gejala stroke (TIA/Transient
ischemic attack) meningkatkan risiko 10 kali dibandingkan seseorang
yang tidak memiliki riwayat stroke. Riwayat penyakit jantung
sebelumnya juga memiliki risiko yang sama.9
2. Faktor yang dapat dimodifikasi8
a) Faktor risiko dari pola hidup
 Merokok
 Unhealthy diet : lemak, garam berlebihan, asam urat, kolesterol
 Alkoholik
 Obat-obatan : narkoba (kokain), antikoagulansia, anti platelet, obat
kontrasepsi
b) Faktor risiko fisiologi
 Penyakit hipertensi
 Penyakit jantung
 Diabetes mellitus

39
 Infeksi/lues, arthritis, traumatik, AIDS, lupus
 Gangguan ginjal
 Kegemukan (obesitas)
 Polisitemia, viskositas darah meninggi dan penyakit perdarahan
 Kelainanan atomi pembuluh darah

3.1.4 Patofisiologi
Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang
dikenal sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua
orang memiliki jumlah neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi di
antara berbagi neuron berbeda-beda. Pada orang dewasa, otak membentuk
hanya sekitar 2% (1200-1400 gram) dari berat tubuh total, tetapi mengkonsumsi
sekitar 20% oksigen dan 50% glukosa yang ada di dalam darah arterial. Dalam
jumlah normal darah yang mengalir ke otak sebanyak 50-60 ml per 100 gram
jaringan otak per menit. Jumlah darah yang diperlukan untuk seluruh otak 
adalah 700-840 ml/menit, dari jumlah darah itu di salurkan melalui arteri
karotis interna yang terdiri dari arteri karotis dekstra dan sinistra, yang
menyalurkan darah ke bagian depan otak disebut sebagai sirkulasi arteri
serebrum anterior, yang kedua adalah vertebrobasiler, yang memasok darah ke
bagian belakang otak disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum posterior,
selanjutnya sirkulasi arteri serebrum anterior bertemu dengan sirkulasi arteri
serebrum posterior membentuk suatu sirkulus Willisi.4
Gangguan pasokan darah otak dapat terjadi dimana saja di dalam arteri-
arteri yang membentuk sirkulus willisi serta cabang-cabangnya. Secara umum,

40
apabila aliran darah ke jaringan otak terputus 15 sampai 20 menit, akan terjadi
infark atau kematian jaringan. Iskemia jaringan otak timbul akibat sumbatan
pada pembuluh darah servikokranial atau hipoperfusi jaringan otak oleh
berbagai faktor seperti aterotrombosis, emboli, atau ketidakstabilan
hemodinamik. Aterotrombosis terjadi pada arteri-arteri besar dari daerah kepala
dan leher dan dapat juga mengenai pembuluh arteri kecil atau percabangannya.
Trombus yang terlokalisasi terjadi akibat penyempitan pembuluh darah oleh
plak aterosklerotik sehingga menghalangi aliran darah pada bagian distal
dari lokasi penyumbatan. Gejala neurologis yang muncul tergantung pada
lokasi pembuluh darah otak yang terkena.4
Penyumbatan pembuluh darah merupakan 80% kasus dari kasus stroke.
Penyumbatan sistem arteri umumnya disebabkan oleh terbentuknya trombus
pada ateromatous plaque pada bifurkasi dari arteri karotis. Erat hubungannya
dengan aterosklerosis (terbentuknya ateroma) dan arteriolosclerosis.4

41
Gambar 1. Susunan Neuromuskular

3.1.5 Gejala Klinis


Gejala klinis tersering yang terjadi yaitu hemiparese yang dimana
penderita stroke non hemoragik yang mengalami infrak bagian hemisfer otak
kiri  akan mengakibatkan terjadinya kelumpuhan pada sebelah kanan, dan
begitu pula sebaliknya dan sebagian juga terjadi Hemiparese dupleks, penderita
stroke non hemoragik yang mengalami hemiparese dupleks akan
mengakibatkan terjadinya kelemahan pada kedua bagian tubuh sekaligus
bahkan dapat sampai mengakibatkan kelumpuhan.2

Tabel 2.1 Perbedaan klinis stroke non hemoragik dan stroke hemoragik1
Gejala atau Stroke non hemoragik Stroke hemoragik

42
pemeriksaan
Gejala yang mendahului TIA (+) TIA (-)
Beraktivitas/istirahat Istirahat, tidur atau segera Sering pada waktu
setelah bangun tidur aktifitas
Nyeri kepala dan muntah Jarang Sangat sering dan hebat
Penurunan kesadaran Jarang Sering
waktu onset
Hipertensi Sedang, normotensi Berat, kadang-kadang
sedang
Rangsangan meningen Tidak ada Ada
Defisit neurologis fokal Sering kelumpuhan dan Defisit neurologik cepat
gangguan fungsi mental terjadi

CT-Scan kepala Terdapat area hipodensitas Massa intrakranial


dengan area hiperdensitas
Angiografi Dapat dijumpai gambaran Dapat dijumpai
penyumbatan, penyempitan dan aneurisma, AVM, massa
vaskulitis intrahemisfer atau
vasospasme

Refleks Babinski
Tanda babinski adalah gerakan dorsofleksi ibu jari kaki dengan atau tanpa
abduksi jari-jari kaki lainnya pada saat dilakukan stimulasi plantar pada pasien
dengan disfungsi traktus piramidalis. Gerakan dorsofleksi ibu jari tersebut
disebabkan adanya kontraksi m.Ekstensor hallusis longus. Otot yang terlibat
pada tanda Babinski adalah otot extensor hallusis longus, tibialis anterior,
extensor digitorum longus, otot hamstring, dan tensor fascia latae. Gerakan
respons yang khas adalah dorsofleksi (ekstensi) ibu jari dan abduksi jari-jari

43
kaki lainnya, diikuti dorsofleksi pergelangan kaki dan fleksi panggul serta sendi
lutut. Respons tersebut dikatakan sebagai tanda Babinski “positif”.20
Tanda Babinski hanya dapat terjadi jika terjadi aktivasi jaras intraspinal
pada refleks fleksi sinergi. Jaras tersebut dapat teraktivasi jika tidak ada kendali
sistem saraf pusat terhadai neuron motorik spinal. Fungsi traktus piramidalis
dapat terganggu tidak hanya disebabkan lesi struktural, namun dapat juga
disebabkan oleh gangguan fungsional (non-neurologis) seperti misalnya
intoksikasi alkohol, hipoglikemia, keadaan post-iktal pada epilepsi, kelelahan
fisik berat.20
Tanda Babinski terjadi akibat disfungsi serabut traktus piramidalis yang
berproyeksi ke zona interneuron yang terlibat pada refleks fleksor sinergi.
Interneuron tersebut saling berhubungan di medula spinalis segmen
lumbosakral, sehinggatanda Babinski selalu disertai hiperaktivitas otot fleksor
yang lebih proksimal. Refleks fleksor sinergi teraktivasi pada pasien dengan
spastisitas.20

3.1.6 Diagnosis
1. Anamnesis
Stroke harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami
defisit neurologi akut (baik fokal maupun global) atau penurunan tingkat
kesadaran. Tidak terdapat tanda atau gejala yang dapat membedakan
stroke hemoragik dan non hemoragik meskipun gejala seperti mual,
muntah, sakit kepala dan perubahan tingkat kesadaran lebih sering terjadi

44
pada stroke hemoragik. Beberapa gejala umum yang terjadi pada stroke
meliputi hemiparese, monoparese, atau qudriparese, hilangnya
penglihatan monokuler atau binokuler, diplopia, disartria, ataksia, vertigo,
afasia, atau penurunan kesadaran tiba-tiba. Meskipun gejala-gejala
tersebut dapat muncul sendiri namun umumnya muncul secara
bersamaan. Penentuan waktu terjadinya gejala-gejala tersebut juga
penting untuk menentukan perlu tidaknya pemberian terapi trombolitik. 10

Diagnosis Algoritma Gadjah Mada10

Skor diagnosis stroke menurut Siriraj10

(2,5 X DK) + (2 X MT) + (2 X NK) + (0,1 X TD) – (3 X TA) – 12

1 Kesadaran ( x 2,5 ) Bersiaga 0


  Pingsan 1
  Semi koma, koma 2
2 Muntah ( x 2 ) No 0
  Yes 1

45
3 Nyeri kepala dalam No 0
  2 jam ( x 2 ) Yes 1
4 Tekanan Diastolik ( DBP ) DBP x 0,1

5 Atheroma markers ( x 3 ) None 0


  diabetes, angina, 1/> 1
  claudicatio intermitten  
Konstanta   - 12
Total skor =    
Interpretasi skor  
  Skor ≤ -1 = Infark
    ≥1 = Hemoragik

2. Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke
ekstrakranial, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupai
stroke, dan menentukan beratnya defisit neurologi yang dialami.
Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaaan kepala dan leher untuk
mencari tanda trauma, infeksi, dan iritasi menings. Pemeriksaan terhadap
faktor kardiovaskuler penyebab stroke membutuhkan pemeriksaan fundus
okuler (retinopati, emboli, perdarahan), jantung (ritmik ireguler, bising),
dan vaskuler perifer (palpasi arteri karotis, radial, dan femoralis). Pasien
dengan gangguan kesadaran harus dipastikan mampu untuk menjaga jalan
napasnya sendiri.10

3. Pemeriksaan Neurologi
Tujuan pemeriksaan neurologi adalah untuk mengidentifikasi gejala
stroke, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang memiliki gejala
seperti stroke, dan menyediakan informasi neurologi untuk mengetahui
keberhasilan terapi. Komponen penting dalam pemeriksaan neurologi
mencakup pemeriksaan status mental dan tingkat kesadaran, pemeriksaan
nervus kranial, fungsi motorik dan sensorik, fungsi serebral, gait, dan
refleks tendon profunda. Tengkorak dan tulang belakang pun harus

46
diperiksa dan tanda-tanda meningimus pun harus dicari. Adanya
kelemahan otot wajah pada stroke harus dibedakan dengan Bell’s palsy di
mana pada Bell’s palsy biasanya ditemukan pasien yang tidak mampu
mengangkat alis atau mengerutkan dahinya.10

4. Gambaran Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin diperlukan sebagai dasar pembelajaran dan
mungkin pula menunjukkan faktor risiko stroke seperti polisitemia,
trombositosis, trombositopenia, dan leukemia). Pemeriksaan ini pun dapat
menunjukkan kemungkinan penyakit yang sedang diderita saat ini seperti
anemia.10
Pemeriksaan kimia darah dilakukan untuk mengeliminasi kelainan
yang memiliki gejala seperti stroke (hipoglikemia, hiponatremia) atau
dapat pula menunjukkan penyakit yang diderita pasien saat ini (diabetes,
gangguan ginjal).10
Pemeriksaan koagulasi dapat menunjukkan kemungkinan
koagulopati pada pasien. Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna jika
digunakan terapi trombolitik dan antikoagulan.10

5. Gambaran Radiologi
 CT scan kepala
Modalitas ini baik digunakan untuk membedakan stroke hemoragik
dan stroke non hemoragik secara tepat kerena pasien stroke non
hemoragik memerlukan pemberian trombolitik sesegera mungkin.
Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna untuk menentukan distribusi
anatomi dari stroke dan mengeliminasi kemungkinan adanya kelainan

47
lain yang gejalanya mirip dengan stroke (hematoma, neoplasma,
abses).10
Adanya perubahan hasil CT scan pada infark serebri akut harus
dipahami. Setelah 6-12 jam setelah stroke terbentuk daerah hipodense
regional yang menandakan terjadinya edema di otak. Jika setelah 3 jam
terdapat daerah hipodense yang luas di otak maka diperlukan
pertimbangan ulang mengenai waktu terjadinya stroke. Tanda lain
terjadinya stroke non hemoragik adalah adanya insular ribbon sign,
hiperdense MCA (oklusi MCA), asimetris sulkus, dan hilangnya
perberdaan gray-white matter.10

Gambar 2.5 CT Scan pada stroke non hemoragik.10

3.1.7 Penatalaksanaan
Waktu merupakan hal terpenting dalam penatalaksanaan stroke non 
hemoragik yang diperlukan pengobatan sedini mungkin, karena jeda terapi dari
stroke hanya 3-6 jam. Penatalaksanaan yang cepat, tepat dan cermat memegang
peranan besar dalam menentukan hasil akhir pengobatan.2
1. Prinsip penatalaksanaan stroke non hemoragik

48
Memulihkan iskemik akut yang sedang berlangsung (3-6 jam
pertama) menggunakan trombolisis dengan rt-PA (recombinan tissue-
plasminogen activator). Ini hanya boleh di berikan dengan waktu onset
<3 jam dan hasil CT scan normal, tetapi obat ini sangat mahal dan hanya
dapat di lakukan di rumah sakit yang fasilitasnya lengkap. 2
Mencegah perburukan neurologis dengan jeda waktu sampai 72 jam
yang diantaranya yaitu :
1) Edema yang progresif dan pembengkakan akibat infark. Terapi
dengan manitol dan hindari cairan hipotonik.
2) Ekstensi teritori infark, terapinya dengan heparin yang dapat
mencegah trombosis yang progresif dan optimalisasi volume dan
tekanan darah yang dapat menyerupai kegagalan perfusi.
3) Konversi hemoragis, msalah ini dapat di lihat dari CT scan, tiga
faktor utama adalah usia lanjut, ukuran infark yang besar, dan
hipertensi akut, ini tak boleh di beri antikoagulan selama 43-72 jam
pertama, bila ada hipertensi beri obat antihipertensi.
Mencegah stroke berulang dini dalam 30 hari sejak onset gejala
stroke terapi dengan heparin.

2. Protokol penatalaksanaan stroke non hemoragik akut


Protokol penatalaksanaan stroke non hemoragik akut dapat dilakukan
sebagai berikut :2
1) Pertimbangan rt-PA intravena 0,9 mg/kgBB (dosis maksimum 90
mg) 10% di berikan bolus intravena sisanya diberikan per drip

49
dalam waktu 1 jam jika onset di pastikan <3 jam dan hasil CT scan
tidak memperlihatkan infrak yang luas.
2) Pemantauan irama jantung untuk pasien dengan aritmia jantung
atau iskemia miokard, bila terdapat fibrilasi atrium respons cepat
maka dapat diberikan digoksin 0,125-0,5 mg intravena atau
verapamil 5-10 mg intravena atau amiodaron 200 mg drips dalam
12 jam.
3) Tekanan darah tidak boleh cepat-cepat diturunkan sebab dapat
memperluas infrak dan perburukan neurologis. Pedoman
penatalaksanaan hipertensi bila terdapat salah satu hal berikut :
 Hipertensi diobati jika terdapat kegawat daruratan hipertensi
neurologis seperti, iskemia miokard akut, edema paru
kardiogenik, hipertensi maligna (retinopati), nefropati
hipertensif, diseksi aorta.
 Hipertensi diobati jika tekanan darah sangat tinggi pada tiga kali
pengukuran selang 15 menit dimana sistolik >220 mmHg,
diastolik >120 mmHg, tekanan arteri rata-rata >140 mmHg.
 Pasien adalah kandidat trombolisis intravena dengan rt-PA
dimana tekanan darah sistolik >180 mmHg dan diastolik >110
mmHg.
Dengan obat-obat antihipertensi labetalol, ACE, nifedipin. Nifedifin
sublingual harus dipantau ketat setiap 15 menit karena penurunan
darahnya sangat drastis. Pengobatan lain jika tekanan darah masih
sulit di turunkan maka harus diberikan nitroprusid intravena, 50
mg/250 ml dekstrosa 5% dalam air (200 mg/ml) dengan kecepatan
3 ml/jam (10 mg/menit) dan dititrasi sampai tekanan darah yang di
inginkan. Alternatif lain dapat diberikan nitrogliserin drip 10-20

50
mg/menit, bila di jumpai tekanan darah yang rendah pada stroke
maka harus dinaikkan dengan dopamin atau debutamin drips.
4) Pertimbangkan observasi di unit rawat intensif pada pasien dengan
tanda klinis atau radiologis adanya infrak yang masif, kesadaran
menurun, gangguan pernafasan atau stroke dalam evolusi.
5) Pertimbangkan konsul ke bedah saraf untuk infrak yang luas.
6) Pertimbangkan sken resonasi magnetik pada pasien dengan stroke
vetebrobasiler atau sirkulasi posterior atau infrak yang tidak nyata
pada CT scan.
7) Pertimbangkan pemberian heparin intravena di mulai dosis 800
unit/jam, 20.000 unit dalam 500 ml salin normal dengan kecepatan
20 ml/jam, sampai masa tromboplastin parsial mendekati 1,5
kontrol pada kondisi:
 Kemungkinan besar stroke kardioemboli
 TIA atau infrak karena stenosis arteri karotis
 Stroke dalam evolusi
 Diseksi arteri
 Trombosis sinus dura
Heparin merupakan kontraindikasi relatif pada infrak yang luas.
Pasien stroke non hemoragik dengan infrak miokard baru, fibrilasi
atrium, penyakit katup jantung atau trombus intrakardiak harus
diberikan antikoagulan oral (warfarin) sampai minimal satu tahun.

Perawatan umum untuk mempertahankan kenyamanan dan jalan


nafas yang adekuat sangatlah penting. Pastikan pasien bisa menelan
dengan aman dan jaga pasien agar tetap mendapat hidrasi dan nutrisi.
Menelan harus dinilai (perhatikan saat pasien mencoba untuk minum),

51
dan jika terdapat kesulitan cairan harus di berikan melalui selang lambung
atau intravena. Beberapa obat telah terbukti bermanfaat untuk pengobatan
penyakit serebrovaskular, obat-obatan ini dapat dikelompokkan atas tiga
kelompok yaitu obat antikoagulansia, penghambat trombosit dan
trombolitika:9
1) Antikoagulansia adalah zat yang dapat mencegah pembekuan darah
dan di gunakan pada keadaan dimana terdapat kecenderungan darah
untuk membeku. Obat yang termasuk golongan ini yaitu heparin dan
kumarin.
2) Penghambat trombosit adalah obat yang dapat menghambat agregasi
trombosit sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan
trombus yang terutama sering ditemukan pada sistem arteri. Obat
yang termasuk golongan ini adalah aspirin, dipiridamol, tiklopidin,
idobufen, epoprostenol, clopidogrel.
3) Trombolitika juga disebut fimbrinolitika berkhasiat melarutkan
trombus diberikan 3 jam setelah infark otak, jika lebih dari itu dapat
menyebabkan perdarahan otak, obat yang termasuk golongan ini
adalah streptokinase, alteplase, urokinase, dan reteplase.

3.2 Hipertensi
3.2.1 Definisi
Hipertensi didefinisikan sebagai kondisi tekanan darah sistolik ≥ 130
mmHg atau diastolik ≥ 80 mmHg.4 Sekitar 80 – 95% merupakan

52
hipertensi esensial yang berarti tidak ada penyebab spesifik. Kondisi ini
umumnya jarang menimbulkan gejala dan sering tidak disadari, sehingga
dapat menimbulkan morbiditas lain seperti gagal jantung kongestif,
hipertrofi ventrikel kiri, stroke, gagal ginjal stadium akhir, atau bahkan
kematian.13
3.2.2 Epidemiologi
Hipertensi merupakan salah satu penyebab terbesar morbiditas di dunia,
sering disebut sebagai pembunuh diam-diam. Data World Health
Organization (WHO) 2015 menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi di
dunia mencapai sekitar 1,13 miliar individu, artinya 1 dari 3 orang di
dunia terdiagnosis hipertensi. Jumlah penderita hipertensi diperkirakan
akan terus meningkat mencapai 1,5 miliar individu pada tahun 2025,
dengan kematian mencapai 9,4 juta individu. Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2013 menghasilkan prevalensi hipertensi pada usia ≥ 18
tahun di Indonesia mencapai 25,8%, yang terdiagnosis oleh tenaga
kesehatan dan/atau memiliki riwayat minum obat hanya 9,5%,
menunjukkan bahwa sebagian besar kasus hipertensi di masyarakat belum
terdiagnosis dan terjangkau oleh tim pelayanan kesehatan.13,14

3.2.3 Klasifikasi15
Kategori Tekanan Darah Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah Diastolik
Normal < 120 mmHg < 80 mmHg
Meningkat (Elevated) 120 – 129 mmHg < 80 mmHg
Stadium 1 130 – 139 mmHg 80 – 89 mmHg
Stadium 2 ≥ 140 mmHg ≥ 90 mmHg

3.2.4 Diagnosis
a. Anamnesis
Keluhan yang dapat muncul antara lain: nyeri kepala, gelisah,
palpitasi, pusing, leher kaku, penglihatan kabur, nyeri dada, mudah

53
lelah, dan impotensi. Nyeri kepala umumnya pada hipertensi berat,
dengan ciri khas nyeri regio oksipital terutama pada pagi hari.
Anamnesis identifikasi faktor risiko penyakit jantung, penyebab
sekunder hipertensi, komplikasi kardiovaskuler, dan gaya hidup
pasien.14
b. Pemeriksaan Fisik
Penderita dapat terlihat sakit ringan hingga berat jika terjadi
komplikasi. Tekanan darah meningkat. Pemeriksaan lain seperti
status neurologis dan pemeriksaan fisik jantung.14
3.2.5 Tatalaksana
a. Non-farmakologis
Intervensi non-farmakologis merupakan salah satu cara efektif untuk
menurunkan tekanan darah; yang telah terbukti dengan uji klinis
adalah penurunan berat badan, Dietary Approaches to Stop
Hypertension (DASH), diet rendah garam, suplemen kalium,
peningkatan aktivitas fisik, dan pengurangan konsumsi alkohol.15
b. Farmakologis
Indonesia masih mengacu pada algoritma yang diterbitkan oleh JNC
VII dalam penatalaksanaan hipertensi. Pilihan terapi dimulai dengan
modifikasi gaya hidup. Kemudian pemberian obat disesuaikan
dengan stadium hipertensi dan indikasi yang mendukung lainnya
seperti gagal jantung, riwayat infark miokardium, risiko tinggi
penyakit koroner, diabetes, penyakit ginjal kronis, dan riwayat stroke
berulang.15
Jenis obat untuk terapi awal didasarkan pada efektivitasnya dalam
mengurangi kejadian klinis serta ditoleransi dengan baik, antara lain:
diuretik tiazid, penghambat ACE, ARBs, dan CCBs. Terapi awal
hipertensi umumnya menggunakan satu jenis obat; kombinasi dengan
jenis obat lain direkomendasikan pada hipertensi stadium 2 atau

54
rerata tekanan darah > 20/10 mmHg melebihi tekanan darah target.4
Beberapa hal lain yang perlu diperhatikan dalam penentuan jenis obat
antara lain usia, interaksi obat, komorbiditas, dan keadaan
sosioekonomi. Kombinasi obat dengan mekanisme kerja sama perlu
dihindari; misalnya kombinasi obat penghambat ACE dengan ARBs,
karena efektivitas masing-masing obat akan berkurang dan risiko
efek samping meningkat.15,16
 Lini Pertama
Diuretik : Klortalidon, metolazon, hidroklorotiazid
Penghambat ACE : Benazepril, kaptopril, Ramipril, enalapril
ARB : candesartan, lorsartan, omelsartan
CCB : amlodipine, felodipin, nikardipin, nifedipin
 Lini Kedua
Diuretic : furosemide, torsemide, bumetanide
Penyekat Beta : atenololm bisoprolol, metoprolol
Penyekat Alfa : dexazosin, prazosin, terazosin
Agonis alfa 2 : klonidin, metildopa, guanfasin
Vasodilator : hidralazin, minoksidil

3.3 Dislipidemia
Dislipidemia didefinisikan sebagai suatu keadaan abnormalitas yang
terjadi pada kadar lipid didalam darah. Abnormalitas yang terjadi bias dilihat

55
dari kadar kolesterol total yang tinggi disertai dengan peningkatan kadar
kolesterol Low Density Lipoprotein (LDL) dan juga peningkatan kadar
trigliserida serta penurunan kadar High Density Lipoprotein (HDL).
Dislipidemia dapat terjadi pada pasien sebelum terjadinya stroke, namun juga
tidak menutup kemungkinan pada pasien yang sesudah stroke untuk terjadi
dislipidemia. Terjadinya dislipidemia pada pasien stroke dapat menjadi faktor
risiko untuk terjadinya stroke berulang. Penanganan dan pencegahan dapat
menjadi titik fokus dalam usaha menurunkan kasus dislipidemia pada pasien
stroke, sehingga kasus stroke berulang akibat dislipidemia juga dapat dicegah.17
Kolesterol total adalah jumlah dari keseluruhan atau total kolesterol
didalam darah. Total kolesterol didalam darah terdiri dari kolesterol LDL, HDL
dan trigliserida. Low Density Lipoprotein (LDL) berperan dalam pembentukan
atherosklerosis dikarenakan kemampuan LDL yang dapat menstimulasi
molekul adhesi dan chemoattractans pada permukaan dinding pembuluh darah
tepatnya pada sel endotel. Sebaliknya HDL memiliki kemampuan dalam
menghambat ekpresi molekul adhesi, menghambat oksidasi LDL dan aktivasi
serta agregasi trombosit. Selain itu HDL juga memiliki sifat anti inflamasi dan
antioksi dan sehingga dapat mengurangi risiko terjadinya stroke. Apabila terjadi
penurunan kadar HDL dan secara bersamaan terjadi peningkatan kadar LDL
maka hal ini dapat meningkatkan risiko untuk terjadinya stroke. Peningkatan
kadar trigliserida dalam darah dapat menyebabkan peningkatan viskositas
plasma dan dapat mengubah kaskade koagulasi sehingga hal ini dapat berisiko
untuk terjadinya thrombosis.17

Pada dasarnya, pedoman penatalaksanaan dislipidemia menurut American


College of Cardiology/ American Heart Association (ACC/AHA) dibagi
menjadi 2 garis besar: untuk kelompok pasien pencegahan primer (tidak pernah
memiliki riwayat atherosclerotic cardiovascular disease / ASCVD klinis

56
sebelumnya) dan pencegahan sekunder (pernah memiliki riwayat klinis
ASCVD sebelumnya). Riwayat ASCVD klinis yang dimaksud meliputi:

 Sindrom koroner akut (acute coronary syndrome / ACS)

 Infark miokard, angina stabil, angina tidak stabil

 Revaskularisasi coroner (Percutaneous coronary intervention / PCI atau


coronary artery bypass graft / CABG)

 Stroke

 Transient ischemic attact / TIA

 Penyakit arteri perifer (peripheral artery disease / PAD) : aneurisma aorta


atau semua PAD aterosklerotik lainnya

a. Penatalaksanaan Dislipidemia Pencegahan Primer

Penatalaksanaan dislipidemia untuk pencegahan primer tergantung dari


hasil penghitungan risiko 10 tahun pasien, yang dapat dirangkum sebagai
berikut:

 Risiko rendah <5% : perubahan gaya hidup


 Risiko borderline 5% - 7.5% : perubahan gaya hidup, kecuali pasien
memiliki pasien memiliki faktor-faktor peningkat risiko (risk-
enhancing factors) maka dapat ditambahkan terapi statin selektif
intensitas menengah (tabel 1)
 Risiko intermediate 7.5% - 20% : evaluasi adanya faktor-faktor
peningkat risiko atau skor kalsium arteri koroner bila tidak yakin,
dilakukan terapi statin intensitas menengah.

57
 Risiko tinggi ≥20% : terapi statin intensitas tinggi

b. Penatalaksanaan Dislipidemia Pencegahan Sekunder

Berdasarkan pedoman ACC/AHA 2018, penatalaksanaan dislipidemia


untuk pencegahan sekunder dibagi menjadi 2 kelompok besar: untuk pasien
atherosclerotic cardiovascular disease/ASCVD stabil (tidak berisiko
tinggi), dan pasien ASCVD risiko sangat tinggi.

 ASCVD stabil : terapi statin maksimal yang dapat ditoleransi


pasien, baik intensitas menengah maupun tinggi.

 ASCVD risiko sangat tinggi : terapi statin maksimal yang dapat


ditoleransi ditambah terapi lainnya dengan mengacu nilai batas
LDL-c, seperti ezetimibe (bila DL-c masih ≥70 mg/dL) atau
proprotein convertase subtilisin / kexin type 9 (PCSK9) inhibitor
(bila LDL-c masih ≥70 mg/dL dengan terapi statin + ezetimibe)

Statin yang Intensitas tinggi Intensitas Intensitas rendah


digunakan (>50%) menengah (30- (<30%)
49%)
Statin utama Atorvastatin 40- Atorvastatin 10- Simvastatin 10
80 mg 20 mg
mg
Rosuvastatin 20- Rosuvastatin 5-
40 mg 10 mg

Simvastatin 20-
40 mg
Statin lainnya - Pravastatin 40-80 Pravastatin 10-20
mg mg

Lovastatin 40-80 Lovastatin 20 mg


mg
Fluvastatin 20-40

58
Fluvastatin XL mg
80 mg

Fluvastatin
2x40mg

Pitavastatin 1-
4mg

3.4 Community Acquired Pneumonia


3.4.1 Definisi
Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru
yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit).
Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak
termasuk. Sedangkan peradangan paru yang disebabkan oleh
nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-
obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis. Community Acquired
Pneumonia (CAP) atau pneumonia komunitas adalah peradangan akut
parenkim paru yang didapat di masyarakat. Pneumonia komunitas
merupakan penyakit yang sering terjadi, bersifat serius serta
berhubungan dengan angka kesakitan dan kematian. Pneumonia
komunitas merupakan penyebab kematian utama di antara penyakit
infeksi.18,19
3.4.2 Epidemiologi
Laporan WHO menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat
penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk
pneumonia dan influenza.Pneumonia di Amerika merupakan penyebab
kematian ke-4 pada usia lanjut, dengan angka kematian 169,7 per
100.000 penduduk. Pneumonia merupakan penyebab kematian nomor
Sembilan di Brunei, nomor tujuh di Malaysia, nomor tiga di Singapura,

59
nomor enam di Thailand, dan nomor tiga di Vietnam. Data Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan bahwa prevalens
pneumonia di Indonesia adalah 0,63%. Lima provinsi di Indonesia yang
mempunyai insidens dan prevalens pneumonia tertinggi untuk semua
umur adalah Nusa Tenggara Timur, Papua, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Barat,dan Sulawesi Selatan.19
3.4.3 Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme,
yaitu bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia
komuniti yang diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan
bakteri Gram positif, sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak
disebabkan bakteri Gram negatif sedangkan pneumonia aspirasi banyak
disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa
kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari
pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri Gram
negatif.18

3.4.4 Diagnosis
Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala klinis
pemeriksaan fisis, foto toraks dan labolatorium. Diagnosis pasti
pneumonia komuniti ditegakkan jika pada foto toraks trdapat infiltrat
baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di
bawah ini :
 Batuk-batuk bertambah
 Perubahan karakteristik dahak / purulent
 Suhu tubuh > 380C (aksila) / riwayat demam
 Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas
bronkial dan ronki
 Leukosit > 10.000 atau < 4500.18

60
3.4.5 Tatalaksana18
Pasien pneumonia komunitas yang dirawat inap dengan antimikroba
intravena dapat dengan aman diganti ke pemberian oral saat perbaikan
klinis. Morbiditas dan mortalitas pasien pneumonia komunitas dapat
dikurangi dengan mengoptimalkan penggunaan antibiotik. Penelitian
pada beberapa dekade terakhir memberikan rekomendasi pemilihan
antibiotik, insisiasi terapi sejak dini, dan pertukaran terapi intravena
keterapioral, namun durasi pemberian terapi antimikroba yang sesuai
hingga saat ini masih menjadi kontroversi. Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan
hasil uji kepekaannya. Secara umum pemilihan antibiotic berdasarkan
bakteri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut :
 Penisilin sensitive streptococcus pneumonia (PSSP) : golongan
penisilin, TMP-SMZ, makrolid
 Penisilin resisten streptococcus pneumonia (PRSP) : betalaktam,
sefotaksim, seftriakson, fluorokuinolon
 Pseudomonas aeruginosa : aminoglikosid, seftazidim, sefoperason,
karbapenem, siprofloksasin, levofloksasin
 Methicillin resistant staphylococcus aureus (MRSA) : vankomisin,
teikoplanin, linezolid
 Hemophilus influenza : azitromisin, sefalosporin, fluorokuonolon
 Legionella : makrolid, fluorokuinolon, rimfapisin

61
BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien dirawat di bagian syaraf RSMP karena tidak bisa berjalan yang
disebabkan kelemahan pada lengan kanan dan tungkai kanan yang terjadi secara tiba-
tiba. Hal ini merupakan suatu tanda bahwa pasien mengalami stroke. Menurut definisi
WHO, stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang secara cepat akibat
gangguan otak fokal atau global dan gejala berlangsung selama 24 jam atau lebih
tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskular.

2 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengalami kelemahan pada lengan
kanan dan tungkai kanan saat terbangun dari tidur tanpa kehilangan kesadaran. Saat
serangan tidak didahului sakit kepala, mual ataupun muntah. Hal ini merupakan suatu
gejala dari stroke non hemoragik atau stroke iskemik. Stroke non hemoragik biasanya
terjadi pada saat pasien istirahat, tidur atau segera setelag pasien terbangun dari tidur.
Biasanya jarang dan hampir tidak pernah terjadi nyeri kepala dan mual muntah pada
pasien.
Pada pasien ini, kelemahan terjadi pada bagian kanan tubuh. Hemiparese pada
pasien yang mengalami infark bagian hemisfer otak kiri akan mengakibatkan
terjadinya terjadinya kelumpuhan pada sebelah kanan, begitu pula sebaliknya dan
sebagian juga terjadi hemiparese dupleks, penderita stroke non hemoragik yang
mengalami hemiparese dupleks akan mengakibatkan terjadinya kelemahan pada
kedua bagian tubuh sekaligus. Dari hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
neurologis ditemukan sudut kanan bibir tertinggal, lipatan nasolabialis datar serta

62
deviasi lidah ke kanan. Hal ini menandakan bahwa pasien mengalami kelemahan
pada nervus kranial VII dan XII. Pasien juga mengalami penurunan gerakan dan
kekuatan pada tangan dan tungkai kanan. Kekuatan otot tangan dan tungkau kanan 1,
refleks fisiologis hiperrefleks di tangan dan tungkai serta refleks Babinski (+) dan
schaedffer (+) pada kaki kanan.
Dari penilaian siriraj stroke skore didapatkan hasil nilai -3 dan pada Algoritma
Stroke Gadjah Mada hanya ditemukan positif pada refleks Babinski. Siriraj stroke
skore adalah skor untuk membantu penegakan diagnosis stroke baik hemoragik
ataupun non hemoragik. Siriraj stroke skore terdiri dari bagaimana tingkat kesadaran
pasien, ada tidaknya muntah, ada tidaknya nyeri kepala, nilai tekanan darah diastolik
serta ada tidaknya atheroma markers. Hasil perhitungan skor kemudian
diintepretasikan sebagai stroke non hemoragik jika skor ≤ -1 dan stroke hemoragik
jika skor ≥ -1. Algoritma Gadjah Mada terdiri dari 3 penilaian, yaitu ada tidaknya
penurunan kesadaran, ada tidaknya nyeri kepala dan ada tidaknya refleks Babinski.
Jika hanya refleks Babinski yang (+) maka diklasifikasikan sebagai stroke non
hemoragik.
Pada pasien telah dilakukan CT-Scan dengan kesan infark cerebri subacute
cortiqal subcortical frontotemporalis kiri yang menyempitkan ventrikel lateralis kiri.
CT-Scan kepala merupakan modalitas yang baik digunakan untuk membedakan
stroke hemoragik dan stroke non hemoragik secara tepat karena pasien stroke non
hemoragik memerlukan pemberian trombolitik sesegera mungkin. Selain itu,
pemeriksaan ini juga berguna untuk menentukan distribusi anatomi dari stroke dan
mengeliminasi kemungkinan adanya kelainan lain yang gejalanya mirip dengan
stroke (hematoma, neoplasma, abses).
Pasien mengatakan memiliki riwayat darah tinggi ± 29 tahun yang lalu namun
tidak pernah control dan minum obat secara teratur. Pasien mengkonsumsi obat
amlodipine 5 mg 1 x sehari dan sejak 1 tahun terakhir tidak pernah minum obat lagi.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah pasien 150/90 mmHg. Darah tinggi
atau hipertensi didefinisikan sebagai kondisi tekanan darah sistolik ≥ 130 mmHg atau

63
diastolik ≥ 80 mmHg. Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya stroke
baik hemoragik maupun non hemoragik. Pada pasien dengan hipertensi akan terjadi
gangguan pasokan darah ke otak maupun organ lainnya akibat dari menyempitnya
pembuluh darah. Secara umum apabila aliran darah ke otak terputus selama 15
sampai 20 menit, akan terjadi infark atau kematian jaringan. Iskemia jaringan otak
timbul akibat dari sumbatan pada pembuluh darah otak oleh berbagai faktor seperti
aterotrombosis, emboli atau ketidakstabilan hemodinamik.
Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan adanya peningkatan pada kadar
kolesterol total dan LDL pasien serta penurunan kadar HDL. Kolesterol total adalah
jumlah dari keseluruhan atau total kolesterol didalam darah. Total kolesterol didalam
darah terdiri dari kolesterol LDL, HDL dan trigliserida. Keadaan abnormalitas dari
kadar kolesterol merupakan definisi dari dislipidemia. Low Density Lipoprotein
(LDL) berperan dalam pembentukan atherosclerosis dikarenakan kemampuan LDL
yang dapat menstimulasi molekul adhesi dan chemoattractans pada permukaan
dinding pembuluh darah tepatnya pada sel endotel. Sebaliknya HDL memiliki
kemampuan dalam menghambat ekspresi molekul adhesi, menghambat oksidasi LDL
dan aktivasi serta agregasi trombosit. Apabila terjadi penurunan kadar HDL dan
secara bersamaan terjadi peningkatan kadar LDL maka hal ini dapat meningkatkan
risiko terjadinya stroke.
Tanda Babinski hanya dapat terjadi jika terjadi aktivasi jaras intraspinal pada
refleks fleksi sinergi. Jaras tersebut dapat teraktivasi jika tidak ada kendali sistem
saraf pusat terhadai neuron motorik spinal. Fungsi traktus piramidalis dapat terganggu
tidak hanya disebabkan lesi struktural, namun dapat juga disebabkan oleh gangguan
fungsional (non-neurologis) seperti misalnya intoksikasi alkohol, hipoglikemia,
keadaan post-iktal pada epilepsi, kelelahan fisik berat.
Tanda Babinski terjadi akibat disfungsi serabut traktus piramidalis yang
berproyeksi ke zona interneuron yang terlibat pada refleks fleksor sinergi. Interneuron
tersebut saling berhubungan di medula spinalis segmen lumbosakral, sehinggatanda

64
Babinski selalu disertai hiperaktivitas otot fleksor yang lebih proksimal. Refleks
fleksor sinergi teraktivasi pada pasien dengan spastisitas.

Peningkatan tekanan darah dalam waktu yang lama akan menyebabkan


perubahan struktur pembuluh darah. Perubahan ini akan meningkatkan risiko
atherosklerosis. Adanya aterosklerosis serta perubahan struktur di pembuluh darah
akan menyebabkan penurunan aliran darah ke otak dan terjadilah hipoperfusi. Dalam
jumlah normal darah yang mengalir ke otak sebanyak 50-60 ml per 100 gram jaringan
otak per menit. Jumlah darah yang diperlukan untuk seluruh otak  adalah 700-840
ml/menit, dari jumlah darah itu di salurkan melalui arteri karotis interna yang terdiri
dari arteri karotis dekstra dan sinistra, yang menyalurkan darah ke bagian depan otak
disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum anterior, yang kedua adalah vertebrobasiler,
yang memasok darah ke bagian belakang otak disebut sebagai sirkulasi arteri
serebrum posterior, selanjutnya sirkulasi arteri serebrum anterior bertemu dengan
sirkulasi arteri serebrum posterior membentuk suatu sirkulus Willisi. Gangguan
pasokan darah otak dapat terjadi dimana saja di dalam arteri-arteri yang membentuk
sirkulus willisi serta cabang-cabangnya. Secara umum, apabila aliran darah ke
jaringan otak terputus 15 sampai 20 menit, akan terjadi infark atau kematian jaringan.
Pada hasil pemeriksaan rontgen thorak pada tanggal 22 Juni 2021 didapatkan
gambaran infiltrat di pericardial kanan dan kiri yang merupakan gambaran dari
pneumonia sehingga pasien didagnosis community acquired pneumonia (CAP) atau
pneumonia komuniti. Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu
peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur
atau parasit. Penyebab tersering pada pneumonia komuniti adalah bakteri gram
positif. Pasien dengan pneumonia dapat diberikan terapi antibiotik yang pemilihannya
didasarkan dari bakteri penyebab pneumonia.
Pada pasien diberikan aspilet 1x80 mg, hal ini ditujukan untuk menghamba
agregasi trombosit sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan thrombus

65
yang terutama sering ditemukan pada system arteri. Pemberian citicolin 2 x 500 mg
pada pasien ini ditujukan untuk melindungi otak, mempertahankan fungsi otak secara
normal serta mengurangi jaringan otak yang rusak akibat cidera dengan cara
meningkatkan senyawa phospholipid. Pasien juga diberikan simvastatin 1 x 20 mg
untuk mengatasi dislipidemia dan amlodipine 1 x 10 mg untuk menurunkan tekanan
darahnya. Untuk mengatasi pneumonia komuniti pada pasien ini diberikan injeksi
ceftriaxone 2 x 1 g. ceftriaxone merupakan obat antibiotic golongan sefalosporin
yang bekerja dengan cara menghambat pertumbuhan bakteri atau membunuh bakteri.
Pada pasien ini diberikan mecobalamin dengan dosis 3 x 500 mg. Pemberian
mecobalamin dapat dikombinasikan dengan pemberian vitamin C. Pemberian kedua
obat ini ditujukan untuk mengurangi kadar homosistein yang merupakan asam amino
yang sering terjadi peningkatan pada pasien stroke. Homosistein adalah asam amino
Alami, yang bila berada dalam kadar yang tinggi dalam darah, dapat meningkatkan
risiko penyumbatan pembuluh darah atau aterosklerosis. Kondisi ini dikenal dengan
hiperhomosisteinemia. Hal ini diketahui bahwa jumlah yang tinggi dari homosistein
dapat merusak lapisan pembuluh darah. Kerusakan inilah yang dapat menyebabkan
aterosklerosis dan akan berdampak terhadap peningkatan risiko stroke.

66
BAB V
KESIMPULAN

Telah dipaparkan kasus dengan diagnosis Hemiparese Dextra Tipe Spastik +


Parese N.VII dextra tipe sentral + parese N.XII dextra tipe sentral et causa CVD Non
Hemoragik (Trombosis Serebri) + Hipestesia Dextra + Hipertensi Grade 1 +
Dislipidemia + Community Acquired Pneumonia. Pasien sudah dipulangkan pada
hari rabu, 30 Juni 2021 dan pasien disarankan lebih lanjut untuk tetap dilakukan
fisioterapi dan mengkonsumsi obat yang diberikan dokter sampai sembuh dan tetap
konsultasi ke dokter spesialis saraf.

67
DAFTAR PUSTAKA

1. Ginsberg L. Lecture notes: neurologi. Edisi 8. Jakarta: Penerbit Erlangga;


2008. p. 89-91.

2. Persatuan Dokter Saraf Indonesia. Guideline stroke. Jakarta: PERDOSSI;


2011.
3. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes RI.
2013.
4. Price, Sylvia A. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit ed.6.
EGC, Jakarta. 2014.
5. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Penerbit Dian
Rakyat. 2010.
6. Ralph LS, Scott EK, Joseph PB, Louis RC. American Heart Association. An
Updated Definition of Stroke for the 21st Century: A statement for Healthcare
Professionals From the American Heart Association/American. 2013.
7. Primara, A. B. & Amalia, L. Stroke pada Usia Muda. Cermin Dunia
Kedokteran, 42(10), 2015. pp. 736-737.
8. Sutrisno, A. Stroke Sebaiknya Tahu Sebelum Terserang. PT. Gramedia
Pustaka Utama: Jakarta. 2007, 93-102

9. Harsono. Kapita Selekta Neurologi Edisi Kedua, Gadjah Mada University


Press, Yogyakarta, 2003, 37-39.
10. Swartz MH. Buku ajar diagnostic fisik. Jakarta: EGC. 2002. hal. 359-98.

68
11. Setyopranoto, I. Stroke: Gejala dan Penatalaksaan. Cermin Dunia Kedokteran
185. 38(4); 2011. 247-250.
12. Junaidi, I. Stroke Waspadai Ancamannya. Edisi 1. Yogyakarta: ANDI. 2011.
13. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J, et al.
2015. Hypertension treatment. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 19th
ed. McGraw-Hill Co, Inc.;
14. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Riskesdas 2013.pdf [Internet]. [cited 2021 Jun 30]. Available from:
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas
%202013.
15. Carey RM, Whelton PK, for the 2017ACC/AHA Hypertension guideline
writing committee. Prevention, detection, evaluation, and management of high
blood pressure in adults: Synopsis of the 2017 American College of
Cardiology/American Heart Association hypertension guideline. Ann Intern
Med. 2018.
16. Williams B, Mancia G, Spiering W, Agabiti Rosei E, Azizi M, Burnier M, et
al. 2018 ESC/ESH Guidelines for the management of arterial hypertension. Eur
Heart J.
17. Nugraha DP, Bebasari E, Sahputra S. 2020. Gambaran Dislipidemia Pada
Pasien Stroke Akut di Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad Provinsi Riau
Periode Janurai – Desember 2019. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. Vol 20 No 1
2020.
18. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia Komuniti Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
19. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2019. Korelasi Kadar Copeptin danSkor
PSI dengan Waktu Terapi Sulih Antibiotik Intravena ke Oral dan Lama Rawat
Pneumonia Komunitas. Jurnal Respirologi Indoneisa. Vol 39 No 1 2019.
20. Poirier J. 2008. Babinski, Histologist and anatomi-pathologist. Romanian J
Morphology and Emberyology.

69
70

Anda mungkin juga menyukai