Anda di halaman 1dari 28

BAB 1

TUNJAUAN PUSTAKA

1.1 Pendahuluan

Tenggelam merupakan kasus gawat darurat, termasuk penyebab kematian

utama karena kecelakaan pada anak, dan memerlukan pertolongan cepat di tempat

kejadian, kemudian dilanjutkan dengan perawatan secara intensif. Secara umum,

di dunia, sekitar 500.000 orang tenggelam setiap tahunnya. Kejadian tenggelam

pada anak sekitar 4,6/100.000/tahun. Kematian terjadi 32,8/100 korban

tenggelam, 5-12% korban yang berhasil bertahan hidup mengalami kerusakan

neurologis berat yang permanen.1,2 Awalnya, kasus tenggelam (immersion /

drowning) dan hampir tenggelam (submersion / near drowning) dianggap sama

dengan keadaan tenggelam (drowning). Akibat terpenting peristiwa tenggelam/

hampir tenggelam adalah hipoksia, sehingga oksigenisasi, ventilasi, dan perfusi

harus dipulihkan secepat mungkin. Hal ini memerlukan tindakan resusitasi

jantung paru dan layanan kegawatdaruratan medis.1,3-6 Terapi resusitasi inisiasi di

tempat kejadian sebelum sampai di rumah sakit dilanjutkan respons cepat dan

tatalaksana agresif tim ruang gawat darurat dan ruang intesif rumah sakit

mereduksi mortalitas karena gangguan kardiorespiratori akibat tenggelam.

Kerusakan neurologis karena hipoksemia dan iskemia menjadi penyebab

mortalitas dan morbiditas jangka panjang.1

1.2 Definisi

Anak-anak beresiko untuk mengalami tenggelam jika berada pada

lingkungan dengan air sebagai salah satu peluang bahaya. Kongres dunia untuk

1
Drowning menjelaskan bahwa tenggelam adalah proses mengalami penurunan

pernapasan akibat perendaman dalam cairan. Tenggelam (drowning) adalah

kematian akibat asfiksia yang terjadi dalam 24 jam setelah peristiwa tenggelam di

air, sedangkan hampir tenggelam (near drowning) adalah korban masih dalam

keadaan hidup lebih dari 24 jam setelah peristiwa tenggelam di air. Jadi,

tenggelam (drowning) merupakan suatu keadaan fatal, sedangkan hampir

tenggelam (near drowning) mungkin dapat berakibat fatal.1-3

1.3 Epidemiologi7

Dari 2005-2009, rata-rata 3.880 orang per tahun menjadi korban

tenggelam fatal dan diperkirakan 5789 orang dirawat di departemen darurat rumah

sakit di AS untuk tenggelam nonfatal. Tingkat kematian akibat tenggelam

tertinggi terjadi pada anak-anak usia 1-4 tahun (2,55/100.000) dan 15-19 tahun

(1,29/100.000). Pada anak-anak, tenggelam merupakan penyebab kematian kedua

akibat cedera setelah kecelakaan kendaraan bermotor di Inggris. Risiko tenggelam

juga berkaitan dengan faktor seperti jenis kelamin, penggunaan alcohol, riwayat

kejang, pelajaran berenang, dan faktor risiko lingkungan seperti pengawasan.

- Anak usia <1 tahun

Sebagian besar (71%) kematian akibat tenggelam pada anak berusia di bawah

satu tahun terjadi di bak mandi, ketika bayi ditingal sendiri ataupun dengan

saudara yang lebih tua. Risiko utama lainnya pada kelompok usia ini adalah

ukuran ember di rumah (16%). Rata-rata anak berusia sembilan bulan dengan

berat tubuh bagian atas lebih berat dapat dengan mudah jatuh ke dalam ember

2
dengan kepala di bagian bawah sehingga dalam hitungan menit dapat

meninggal.

- Anak usia 1-4 tahun

Kejadian tenggelam paling sering terjadi pada usia 1-4 tahun, oleh karena rasa

ingin tahu anak-anak tentang lingkungan sekitar serta perkembangan fisik

mereka yang memungkinkan untuk terjadinya tenggelam. Angka kejadian

tenggelam di AS mencapai 7,62/100.000 sama halnya dengan kejadian

tenggelam di Negara berkembang. Penyebab kematian paling sering akibat

tenggelam terjadi karena kealpaan pengawasan orang dewasa. Di daerah

pedesaan kematian akibat tenggelam pada kelompok usia ini terjadi di parit

irigasi, kolam, atau sungai. Tenggelam adalah salah satu penyebab utama

kematian akibat cidera di daerah pertanian.

- Anak usia sekolah

Tenggelam pada anak usia sekolah lebih sering terjadi di badan air alami

seperti sungai, danau, dan laut. Tidak seperti pada usia presekolah, berenang

dan kegiatan berperahu merupakan faktor penting penyebab tenggelam pada

usia sekolah.

- Remaja

Angka kematian akibat tenggelam tertinggi kedua terjadi pada usia remaja 15-

19 tahun. Hampir 70% kejadian tenggelam terjadi di air tawar. Pada kelompok

usia ini kejadian kematian akibat tenggelam dipengaruhi jenis kelamin dan

ras. Fatal drowning 80% terjadi pada laki-laki, kejadian tenggelam pada laki-

laki 10 kali lebih besar dibanding pada wanita. Ketimpangan gender mungkin

terkait dengan perilaku pengambilan risiko pada laki-laki yang lebih besar,

3
penggunaan alcohol yang lebih banyak pada laki-laki, kurangnya persepsi

tentang risiko terkait tenggelam, serta keyakinan kemampuan berenang yang

lebih tinggi dibanding perempuan. Pada tahun 2009, kejadian tenggelam pada

laki-laki kulit hitam usia 15-19 tahun dua kali lebih besar daripada laki-laki

kulit putih pada usia yang sama. Perbedaan paparan pelajaran tentang renang,

sikap budaya, dan kekhawatiran tentang berenang, serta pengalaman di sekitar

air, turut berkontribusi untuk risiko tenggelam.

- Keadaan tertentu

Beberapa kondisi medis berkaitan dengan kejadian tenggelam pada semua

kelompok umur. Sejumlah penelitian mengemukakan peningkatan risiko

hingga 19 kali lipat terjadi pada individu dengan epilepsy. Tenggelam pada

anak dengan kejang lebih sering terjadi di bathtubs dan kolam renang.

Kelainan jantung seperti aritmia, miokarditis, dan gelombang QT yang

memanjang ditemukan pada beberapa kematian mendadak pada anak di dalam

air.

- Penggunaan alkohol

Penggunaan alkohol dan obat-obat terlarang meningkatkan risiko tenggelam.

Pada remaja dan dewasa yang meninggal ditemukan 30-40% positif

mengandug alkohol dalam darah. Alkohol dapat merusak penilaian,

melakukan perilaku berisiko, penurunan keseimbangan dan koordinasi, serta

menumpulkan kemampuan untuk menyelamatkan diri. Orang dewasa yang

berada dalam pengaruh alkohol juga menyebabkan pengawasan yang kurang

efektif pada anak yang berada di sekitar perairan.

4
- Olahraga dan rekreasi

Sebagian besar kematian akibat tenggelam di Amerika Serikat terjadi saat

rekreasi. Tenggelam merupakan penyebab utama kematian pada olahraga non-

kardiak. Pada 2012 United States Coast Guard melaporkan hampir 90%

kejadian tenggelam pada kegiatan berperahu tidak mengenakan baju

pelampung.

1.4 Patofisiologi

Keselamatan seseorang yang tenggelam dipengaruhi oleh banyak faktor,

antara lain adalah ketahan fisik, kemampuan berenang, keberadaan bantuan alat

pelampung, jarak untuk mencapai tempat yang aman, suhu air, usia, dan lain-lain.3

Cedera anoksia-iskemia7

Setelah tenggelam eksperimental, hewan sadar awalnya panik kemudian

mencoba ke permukaan. Selama tahap ini, sejumlah kecil air masuk hipofaring,

memicu spasme laring. Ada penurunan progresif saturasi oksigen darah arteri

(SaO2), dan hewan segera kehilangan kesadaran. Menyebabkan hipoksia dan

depresi medulla menyebabkan apnea terminal. Dalam waktu yang sama akan

terjadi penurunan kardiak output dan suplai oksigen ke berbagai organ. Dalam 3-4

menit hipoksia miokardiak menyebabkan kegagalan sirkulasi. Beberapa jam

setelah cardiopulmonal arrest akan terjadi udem serebral. Udem serebral yang

berat dapat meningkatkan tekanan intra kranial yang berkontribusi memperberat

iskemia.

5
Efek terhadap paru

Pada korban tenggelam di air tawar, terjadi perpindahan (absorpsi) air

secara besar-besaran dari rongga alveolus ke dalam pembuluh darah paru. Hal ini

dikarenakan tekanan osmotic di dalam pembuluh darah paru lebih tinggi daripada

tekanan osmotik di dalam alveolus. Perpindahan tersebut akan menyebabkan

hemodilusi. Air akan memasuki eritrosit, sehingga eritrosit mengalami lisis.

Eritrosit yang mengalami lisis ini akan melepaskan ion kalium ke dalam sirkulasi

darah dan mengakibatkan peningkatan kadar kalium di dalam plasma

(hiperkalemi).

Keadaan hiperkalemi ditambah dengan beban sirkulasi yang meningkat

akibat penyerapan air dari alveolus dapat mengakibatkan fibrilasi ventrikel.

Apabila aspirasi air cukup banyak, akan timbul hemodilusi yang hebat. Keadaan

ini akan menyebabkan curah jantung dan aliran balik vena bertambah, sehingga

mengakibatkan edema umum jaringan termasuk paru.1-3 Aspirasi air tawar

hipotonik dapat mengurangi konsentrasi surfaktan sehingga dapat menyebabkan

instabilitas alveolar sehingga terjadi kolaps paru.1 Pada inhalasi air laut, tekanan

osmotik cairan di dalam alveolus lebih besar daripada di dalam pembuluh darah.

Oleh karena itu, plasma darah akan tertarik ke dalam alveolus. Proses ini dapat

mengakibatkan berkurangnya volume intravaskular, sehingga terjadi hipovolemia

dan hemokonsentrasi. Hipovolemia mengakibatkan terjadinya penurunan tekanan

darah dengan laju nadi yang cepat, dan akhirnya timbul kematian akibat anoksia

dan insufiensi jantung dalam 3 menit. Keluarnya cairan ke dalam alveolus juga

akan mengurangi konsentrasi surfaktan. Selanjutnya, akan terjadi kerusakan

alveoli dan sistem kapiler, sehingga terjadi penurunan kapasitas residu fungsional

6
dan edema paru.1-3 Akibat lebih lanjut lagi, dapat terjadi atelektasis karena

peningkatan tekanan permukaan alveolar.1

Bila korban mengalami aspirasi atau edema paru, dapat terjadi acute

respiratory distress syndrome (ARDS). Saluran respiratorik yang tersumbat oleh

debris di dalam air akan menyebabkan peningkatan tahanan saluran respiratorik

dan memicu pelepasan mediator-mediator inflamasi, sehingga terjadi

vasokonstriksi yang menyebabkan proses pertukaran gas menjadi terhambat.1,2

Komposisi bahan yang diaspirasi dapat mempengaruhi perjalanan klinis pasien:

isi lambung, patogenitas organism, bahan kimia beracun, dan benda asing lainnya

yang dapat melukai paru dan obstruksi jalan napas.

Efek terhadap kardiovaskular

Sebagian besar korban tenggelam mengalami hipovolemia akibat

peningkatan permeabilitas kapiler yang disebabkan oleh hipoksia. Hipovolemia

selanjutnya akan mengakibatkan hipotensi. Keadaan hipoksia ini juga akan

mempengaruhi fungsi miokardium, sehingga dapat terjadi disritmia ventrikel dan

asistol. Selain itu, hipoksemia juga dapat menyebabkan kerusakan miokardium

dan penurunan curah jantung. Hipertensi pulmoner dapat terjadi akibat pelepasan

mediator inflamasi.3

Efek terhadap susunan saraf pusat

Kerusakan pada susunan saraf pusat berhubungan erat dengan lamanya

hipoksemia, dan pasien dapat tidak sadar. Efek lain dari hipoksia diantaranya

adalah disseminated intravascular coagulation (DIC), insufisiensi ginjal dan hati,

serta asidosis metabolik. Pada penelitian kasus-kasus hampir tenggelam

dilaporkan terdapat kelainan elektrolit yang ringan. Perubahan yang mencolok dan

7
penting adalah perubahan gas darah dan asam-basa akibat insufisiensi respirasi,

diantaranya adalah hipoksemia, hiperkapnia, serta kombinasi asidosis metabolik

dan respiratorik. Kelainan yang lebih banyak terjadi adalah hipoksemia. Keadaan

yang segera terjadi setelah tenggelam dalam air adalah hipoventilasi dan

kekurangan oksigen. Pada percobaan binatang, tekanan parsial O2 arterial (PaO2)

menurun drastis menjadi 40 mmHg dalam satu menit pertama, menjadi 10 mmHg

setelah 3 menit, dan 4 mmHg setelah 5 menit.1,3

Disfungsi serebri dapat terjadi akibat kerusakan hipoksia awal, atau dapat

juga karena kerusakan progresif susunan saraf pusat yang merupakan akibat dari

hipoperfusi serebri pasca resusitasi. Hipoperfusi serebri paska resusitasi terjadi

akibat berbagai mekanisme, antara lain yaitu peningkatan tekanan intrakranial,

edema serebri sitotoksik, spasme anteriolar serebri yang disebabkan masuknya

kalsium ke dalam otot polos pembuluh darah, dan radikal bebas yang dibawa

oksigen.1,3

Cidera air dingin7

Tenggelam harus dibedakan dari cidera tenggelam di air dingin, dimana

korban tetap mengapung dan menjaga kepala di atas air tanpa gangguan

pernapasan. Definisi air dingin bervariasi antara 15-20 C. Tenggelam dalam air

dingin korban akan mengalami syok air dingin serangkaian respon fisiologis

kardiorespiratori yang menyebabkan tenggelam.

Gejala dan derajat keparahan hipotermi dikategorikan berdasarkan suhu

tubuh. Korban dengan hipotermia ringan memiliki suhu dari 34-36 C dengan

mekanisme termogenik utuh (termogenesis dengan menggigil dan tidak

menggigil, vasokonstriksi) dan gerakan aktif. Penurunan suhu inti dapat

8
menyebabkan gangguan kognisi, koordinasi, dan kekuatan otot sehingga kurang

kemampuan untuk penyelamatan diri. Termoregulasi mungkin gagal dan

rewarming spontan tidak akan terjadi. Moderate hipotermia 30 sampai <34 C

dapat menyebabkan kehilangan kesadaran sehingga mengalami aspirasi air.

Progresif bradikardia, gangguan kontraktilitas miokard, dan hilangnya tonus

vasomotor berkontribusi menyebabkan perfusi tidak adekuat, hipotensi, dan

mungkin syok. Pada suhu tubuh <28 C, terjadi bradikardia ekstrim dengan

penurunan curah jantung, dan kecenderungan untuk fibrilasi ventrikel spontan

atau asistol. Depresi pusat pernapasan pada hipotermia berat menyebabkan

hipoventilasi dan akhirnya apnea.

1.5 Tatalaksana

Perjalanan klinis dan dampak yang ditimbulkan dari drowning ditentukan

oleh durasi, waktu cepat tanggap penyelamatan pasien, dan keefektifan usaha

resusitasi. Pada kasus drowning, pasien dibagi menjadi dua kelompok sesuai

dengan keadaan saat di tempat kejadian. Kelompok pertama adalah anak yang

membutuhkan resusitasi awal dan mengalami napas spontan setelah ditindak.

Kelompok kedua adalah anak yang mengalami henti jantung yang membutuhkan

resusitasi lebih lanjut dan berisiko mengalami gagal multiorgan, gangguan

neurologis berat, dan kematian.7

Pada prinsipnya, tata laksana kasus drowning adalah tata laksana

prehospital Care diikuti dengan pemantauan ABC (Airway, Breathing,

Circulation) untuk mengatasi gangguan oksigenisasi, ventilasi, sirkulasi,

keseimbangan asam basa, dan mencegah kerusakan sistim saraf pusat yang

9
lanjut.7 Segera setelah korban ditolong, harus dilakukan resusitasi jantung paru.

Oksigen harus diberikan secepatnya dan dilanjutkan dalam perjalanan ke rumah

sakit dan untuk membalikkan keadaan anoksia dan mencegah cedera karena

hipoksia.7 Setiap menit yang dilalui tanpa pernapasan dan sirkulasi yang adekuat

menurunkan secara dramatis kesempatan luaran yang baik. Semua korban

drowning harus dirawat di rumah sakit, bagaimanapun kondisi pasien.1 Pasien

yang tidak bergejala harus diobservasi, minimal selama 6-8 jam di rumah sakit

untuk menilai tanda-tanda hiperkapnia karena hipeoventilasi yang ditandai dengan

meningkatnya usaha napas dan meningkatnya PCO2 pada analisis gas darah.7

Kematian yang lambat dapat terjadi akibat atelektasis yang luas, edema paru akut,

dan hipoksemia setelah pasien meninggalkan ruang gawat darurat.1,3

Jalan napas harus bersih dari muntahan dan benda asing yang dapat

menyebabkan obstruksi atau aspirasi. Abdominal thrusts tidak dianjurkan untuk

mengeluarkan cairan, karena sering pasien drowning mengalami distensi perut

karena tertelan air, sehingga jika dilakukan dapat meningkatkan risiko regurgitasi

dan aspirasi. Bila diduga adanya benda asing, manuver chest compression atau

back blows lebih dianjurkan.1,7 Pada pasien yang belum bernapas spontan, dapat

diberikan napas bantuan mouth-to mouth atau mouth-to-nose sampai datang alat

bantu napas atau dengan masker bagging tekanan positif. Bila pasien dapat

bernapas spontan, berikan oksigen 100% yang dilembabkan, dengan

menggunakan masker. Jika korban tidak bernapas, ventilasi darurat segera

dilakukan, setelah membersihkan jalan napas dengan melakukan intubasi terutama

pada pasien dengan penurunan kesadaran dan gangguan hemodinamik. Pemberian

oksigen selanjutnya disesuaikan dengan hasil pemeriksaan analisis gas darah

10
arteri.1,3 Spina servikal dijaga bila terdapat kemungkinan cedera tulang leher.

Leher diposisikan dalam posisi netral. Pikirkan cedera servikal pada remaja,

kecelakaan bermotor, jatuh dari ketinggian, kekerasan dalam rumah tangga, tanda

klinis pada trauma sangat berat1,7 Sejalan dengan penyelamatan jalan napas dan

fungsi ventilasi dan oksigenase, awasi status kardiovaskular dan pertimbangkan

untuk resusitasi.7 Resusitasi jantung paru dilakukan pada pasien dengan hipotensi

berat, bradikardia, dan pulseless. Pantau EKG untuk deteksi dini aritmia dan awasi

tanda-tanda shock berupa akral dingin, penurunan kesadaran, dan capillary

refilling Time yang lambat.7

Awasi tanda-tanda hipotermia karena dapat mengganggu miokardium dan

menyebabkan aritmia. Pada pasien dengan hemodinamik stabil, buang pakaian

basah yang masih melekat di badan setelah pasien berada di IGD atau di PICU.

Pada pasien yang tidak stabil seperti aritmia, lingkungan sekitar pasien

dihangatkan menjadi 34oC dan jangan sampai hipertermia.7 Alat untuk

menghangatkan penderita dapat digunakan selimut penghangat atau radiant

warmer.1,7 Akses vaskular harus segera dipasang jika dibutuhkan pengobatan dan

perbaikan sirkulasi secara seksama.7

Tatalaksana Pemantauan di IGD

Pasien drowning harus dipantau di IGD sekurang-kurangnya 6-8 jam

walaupun asimtomatis. Pada korban yang asimptomatik atau gejala minimal,

hampir setengahnya perburukan atau hipoksemia pada 4-8 jam setelah peristiwa

tenggelam.1,7 Pemantauan suhu inti tubuh merupakan hal penting, pengukuran

terbaik dilakukan pada membrane timpani karena berkorelasi kuat dengan suhu

otak. Alat untuk menghangatkan penderita dapat digunakan selimut penghangat

11
atau radiant warmer.1,7 Lakukan pemantauan vital sign secara serial dan

oksigenase dengan pulse oximetry. Pasien drowning dengan risiko rendah dan

asimtomatik yang setelah observasi 6-8 jam didapatkan pemeriksaan fisik normal

dan kadar oksigenasinya normal maka pasien boleh pulang.

Tatalaksana Kardiorespirasi

Pasien drowning tanpa henti jantung perlu diperhatikan tanda-tanda

hipoventilasi untuk mencegah hiperkapnia, yang ditandai dengan meningkatnya

usaha napas. Sebelum memperbaiki fungsi miokardium, terlebih dahulu harus

diperbaiki oksigenase dan ventilasi agar adekuat. Untuk mencapai itu dilakukan

resusitasi cairan dan agen inotropik untuk meningkatkan volume preload sehingga

meningkatkan stroke volume dan cardiac output. Hindari overloading cairan pada

pasien dengan miokardium yang terganggu karena dapat menyebabkan edema

paru. Pemantauan EKG wajib dilakukan untuk deteksi dini aritmia.7 Pada pasien

drowning di air bukan es dengan henti jantung yang persisten, dilakukan resusitasi

jantung paru secara agresif dan dilanjutkan jika menunjukkan perbaikan. Namun,

jika resusitasi tidak menunjukkan perbaikan, pada beberapa laporan disebutkan

resusitasi dihentikan setelah 25-30 menit, tetapi penghentian ini tergantung dari

keadaan individu pasien.7

Tatalaksana Neurologi

Pasien drowning yang sadar dan awas saat berada di rumah sakit biasanya

keadaan neurologisnya baik. Untuk mencegah kerusakan SSP maka evaluasi

oksigenase, ventilasi, perfusi, suhu inti tubuh, dan kadar gula darah. Pada pasien

drowning yang koma, kemungkinan terjadinya kerusakan SSP ireversibel sangat

tinggi karena risiko tinggi untuk mengalami hipertensi intrakranial. Perawatan

12
intensif neurologi yang konvensional pada pasien drowning seperti pembatasan

cairan, hiperventilasi, relaksan otot, agen osmotik, diuretik, barbiturat, steroid

tidak memberikan manfaat pada kebanyakan kasus. Pemeriksaan EEG tidak

dianjurkan karena tidak memberikan pengaruh bermakna pada penatalaksanaan

pasien drowning. Jika ada kejang, maka berikan phenytoin atau fosphenytoin

dengan dosis loading 10-20mg/kgBB dilanjutkan maintenance 5-8 mg/kgBB/hari

terbagi 2-3 dosis. Phenytoin memiliki efek neuroprotektif, dan memulihkan edema

paru neurogenik. Pasien dengan koma terutama koma yang dalam sering tidak

bisa diselamatkan karena cedera hipoksia otak atau sembuh dengan kerusakan

neurologis yang sangat berat.7

Tatalaksana Masalah Terkait

Cari dan nilai tanda-tanda cedera, terutama pada pasien drowning karena

olahraga. Jika terdapat anemia pikirkan perdarahan internal. Awasi tanda-tanda

hiperglikemik, cedera ginjal akut. Pasien dipuasakan. Pasien drowning sebagian

besar mengalami demam pada 48 jam pertama dan sembuh sendiri tanpa

antibiotik.7

Tatalaksana Hipotermia

Buang semua pakaian basah yang masih melekat di badan pasien. Lakukan

pencegahan hipotermia dengan menghangatkan tubuh pasien secara pasif, aktif

eksternal, atau aktif internal. Lakukan RJP pada pasien drowning dengan

hipotermia jika tidak ada denyut atau kompleks QRS tidak ada di EKG. Jika suhu

inti tubuh <30oC dan terjadi ventricular fibrillation, maka berikan defibrilasi

sambil menaikkan suhu inti tubuh >30oC, tetapi defibrilasi akan baru efektif jika

13
suhu inti tubuh >30oC. Setelah pasien sadar, lakukan pemantauan suhu tubuh

secara terus menerus. Jika pasien tetap tidak sadar, hentikan RJP.7

X-ray dada biasanya didapatkan gambaran edema antar sel atau edema

alveolar. Sebagian besar menunjukkan adanya infiltrate nodular yang

berkonfluensi pada 1/3 medial lapangan paru.1,3

Menurut Model dan kawan-kawan, 70% kasus mengalami asidosis

metabolik. Bila pasien menunjukkan hipotensi atau tidak ada respons, dianjurkan

pemberian natrium bikarbonat dengan dosis 1 mEq/kg BB secara intravena. Jika

pemeriksaan analisis gas darah dapat dilakukan, natrium bikarbonat diberikan

sesuai dengan rumus:3

Na bikarbonat (mEq) = berat badan (kg) x deficit basa (mEq) x 0,3. Jalan

napas harus dibersihkan dari kotoran dan dijamin tetap terbuka. Pada korban

hampir tenggelam yang banyak menelan air, risiko aspirasi muntahan sangat

besar. Oleh karena itu, lambung harus cepat dikosongkan dengan memakai pipa

nasogastrik.3

Pengobatan selanjutnya bergantung pada hasil evaluasi PaO2, PaCO2, dan

pH darah. PaCO2 lebih dari 60 mmHg merupakan indikasi untuk melakukan

bantuan pernapasan. Bila terjadi kegagalan oksigenisasi meskipun telah diberikan

oksigen, perlu dilakukan intubasi endotrakeal.3 Inisial positive end-expiratory

pressure (PEEP) dimulai sekitar 5 cm H2O, dapat di naikkan bertahap hingga 10-

15 cm H2O bila oksigenisasi masih belum adekuat (target SaO2>90%).1

Anak-anak korban tenggelam menunjukkan irama jantung asistol 55%,

ventrikel takikardi (VT) atau ventrikel fibrilasi (VF) 29% dan bradikardi 16%.

Defibrilasi elektrik atau kardioversi diperlukan pada korban dengan VF atau VT

14
tanpa nadi. Obat-obatan kardioaktif mungkin diperlukan untuk memperbaiki ritme

jantung. Oksigenisasai dan ventilasi yang adekuat merupakan syarat memperbaiki

fungsi miokard. Resusitasi cairan dan inotropik seringkali dibutuhkan untuk

memperbaiki fungsi jantung dan perfusi perifer, namun pada keadaan disfungsi

miokard pemberian cairan yang agresif mungkin dapat memperburuk edema paru.

Infuse epinefrin (dosis 0,05-1g/kg/menit) biasanya merupakan pilihan utama

pada penderita dengan disfungsi jantung atau hipotensi setelah kejadian hipoksik-

iskemik, dobutamin (dosis 2-20g/kg/menit) dapat memperbaiki cardiac output

pada penderita normotensi.1

Pengobatan lain yang perlu dipertimbangkan adalah pemberian

bronkodilator dan antibiotik. Jika pada pemeriksaan fisis didapatkan

bronkospasme, pemberian bronkodilator seperti aminofilin intravena atau

nebulisasi agonis-2 akan memberikan hasil yang baik. Pemberian antibiotik pada

saat awal tidak dianjurkan, meskipun seringkali air yang diaspirasi mengalami

kontaminasi. Oleh karena itu perlu pemeriksaan kultur darah, kultur sputum,

jumlah lekosit, dan analisis tanda vital. Pemilihan antibiotik dilakukan

berdasarkan kultur darah atau sputum. Penggunaan obat steroid tidak dianjurkan

karena tidak ada bukti baik secara klinis maupun eksperimental yang

menunjukkan bahwa penggunaannya bermanfaat.1,3

1.6 Prognosis

Prediktor yang memengaruhi prognosis baik antara lain, waktu tenggelam

< 5menit, durasi RJP <10 menit, irama jantung sinus, pupil reaktif, respons

neurologi baik di tempat kejadian, sadar dalam 48-72 jam setelah kejadian.

Prediktor yang memengaruhi prognosis buruk antara lain, koma yang dalam,

15
apnea, refleks pupil tidak ada, hiperglikemik, waktu tenggelam >10 menit, dan

durasi RJP >10 menit. GCS kurang memiliki penilaian yang bermakna dalam

prognosis

16
1.7 Pencegahan

Prinsip pencegahan drowning adalah bagaimana pengawasan yang sesuai

dengan keadaan lingkungan air dan lingkungan sekitarnya. Pengawas harus

bersikap awas, tidak meminum alkohol atau pengobatan, tidak sedang

bersosialisasi, perhatian penuh dan fokus sepenuhnya saat mengawas anak. Tabel

berikut menjelaskan pendekatan strategis untuk mencegah drowning.

17
BAB 2

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : AB
Umur : 11 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
No MR : 470291

Autoanamnesis
Seorang anak perempuan umur 11 tahun dirawat di Bangsal anak RSUD
Achmad Mochtar Bukittinggi sejak tanggal 16 April 2017 dengan :
Keluhan Utama:
Sesak napas sejak 4 jam sebelum masuk Rumah Sakit
Riwayat Penyakit Sekarang:
Sesak napas sejak 4 jam sebelum masuk Rumah Sakit setelah tenggelam
Pasien awalnya bermain dan diajak berenang kemudian tenggelam. Lama
tenggelam lebih dari lima menit. Setelah tenggelam pasien tidak sadarkan
diri. Tidak ada yang mengawasi pasien saat kejadian. Tidak ada pagar,
penghalang, ataupun tanda peringatan dilarang berenang di tempat
kejadian.
Setelah ditemukan, pasien dilarikan ke Puskesmas Pakan Kamih dan
diberikan napas bantuan, oksigen, dan resusitasi minimal kemudian pasien
dirujuk ke RSAM Bukittinggi. Pasien sadar saat di perjalanan menuju
rumah sakit.
Setelah sadar pasien mengeluhkan ada rasa tercekik. Pasien batuk dan
keluar air dari mulut dan hidung dengan jumlah setengah gelas
Pasien mengatakan ada tertelan air tetapi sedikit
Pasien tidak menggunakan pelampung atau alat bantu renang
Pasien tidak bisa berenang
Muntah ada, tidak proyektil, berwarna kemerahan, sebanyak 1 gelas.
BAK berwarna kemerahan

18
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien tidak pernah menderita penyakit jantung dan kejang.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami penyakit keturunan,
kejiwaan, dan keganasan
Riwayat Kehamilan:
Selama hamil ibu tidak pernah menderita penyakit berat, tidak
mengonsumsi obat-obatan/jamu, kontrol kehamilan teratur ke bidan, dan lama
hamil cukup bulan.
Riwayat Kelahiran:
Lahir spontan, ditolong bidan, saat lahir menangis kuat dengan berat badan
lahir 2900 gr panjang badan 41 cm
.
Riwayat Makanan dan Minuman:
ASI : 0-2 tahun
PASI : 6-8 bulan
Bubur susu : 6 bulan
Nasi Tim : 8 bulan
Nasi biasa : 1 tahun sampai sekarang
Riwayat Imunisasi:
imunisasi dasar lengkap
Riwayat Keluarga:
Ayah Ibu
Umur 44 tahun 46 tahun
Pendidikan SMA SMA
Pekerjaan Wiraswasta Ibu Rumah Tangga
Perkawinan Pertama Pertama
Penyakit yang pernah di
- -
derita

Riwayat Tumbuh Kembang:


Perkembangan fisik: lupa

19
Perkembangan mental:
Isap jempol (-), gigit kuku (-), sering mimpi(-), mengompol (-), aktif sekali(-),
apati (-), membangkang (-), ketakutan (-).
Kesan : Pertumbuhan fisik dan perkembangan mental dalam batas normal.

Riwayat Lingkungan dan Perumahan:


Tinggal di rumah permanen, sumber air minum dari air galon, buang air besar di
WC dalam rumah, sampah dibuang ke TPA, pekarangan cukup luas.
Kesan : higiene dan sanitasi cukup.

Pemeriksaan Fisik:
Tanda vital
Keadaan umum : Sakit berat
Kesadaran : Somnolen (GCS 14 E4V4M6)
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Frekuensi nadi : 101x/i
Frekuensi napas : 61x/menit
Suhu : 35,9oC
Berat badan : 35 kg
Tinggi badan : 137 cm
Status gizi : BB/U : 94,5%
TB/U : 95,1%
BB/TB : 109%
Kesan : normal
Pemeriksaan Sistemik
Kulit : Teraba hangat
KGB : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening
Kepala : Bentuk bulat, simetris, tidak ada deformitas, rambut hitam
tidak mudah rontok.
Mata : Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik
Telinga : Tidak ditemukan kelainan
Hidung : Nafas cuping hidung tidak ada

20
Tenggorokan : tonsil T1-T1 tidak hiperemis, faring tidak hiperemis
Gigi & mulut : Bibir dan mukosa mulut basah
Leher : Tidak ditemukan kelainan
Dada :
o Paru : I : Normochest, simetris kiri dan kanan, retraksi -
Pa : fremitus kiri sama dengan kanan
Pe : Sonor
Au : Vesikuler, ronkhi +/+, wheezing -/-
o Jantung : I : Iktus tidak terlihat
Pa : Iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Pe : atas : RIC II, kiri : 1 jari medial LMCS RIC V,
kanan : linea sternalis dextra
Au : Irama teratur, bising (-)
Abdomen : I : distensi (-)
Pa : supel, hepar tidak ada pembesaran, lien tidak teraba
Pe : timpani
Au: Bising usus (+) normal
Punggung : Tidak ada kelainan
Alat kelamin : Tidak ada kelainan
Ekstremitas : Akral hangat, CRT<2 detik

Pemeriksaan laboratorium:
1. Urinalisa
Warna kuning muda
Protein
Glukosa
Bilirubin
Urobilinogen
Benda keton ++
pH 6,5
Nitrit
Darah samar

21
Leukosit
Berat jenis 1,05
2. Kimia darah
Hb : 16 gr/dl
Eritrosit : 5,87 jt
Hematokrit: 43,9 %
Leukosit : 4160/mm3
Trombosit : 443.000
Na/K/Cl : 133,4/3,39/98,6
Glukosa : 154 mg/dl
3. Analisis Gas Darah
pH : 7,32
pCO2 : 39,4 mmHg
pO2 : 67,5 mmHg
SO2 : 91,5 %
HCO3- : 20,6 mmol/L
Pemeriksaan Radiologi

Kesan : Peningkatan corakan bronkovaskuler

22
Diagnosis Kerja:
Pneumonia Aspirasi es Near drowning (nonfatal drowning)
Terapi:
IVFD RL 28 tpm
O2 10 l/menit NRM
Injeksi ceftriaxon 2x1 g iv
Injeksi bisolvon 3x1 amp iv
Injeksi ranitidine 2x50 mg iv
Injeksi vitamin K 3x1 amp iv
Injeksi kalnex 3x1 amp iv
Injeksi deksametason 3x1 amp iv
NGT

Follow up 17 April 2017


S/ : Hari rawatan ke-2, sesak napas masih ada namun sudah berkurang.
Demam tidak ada. Muntah tidak ada. Nyeri perut ada. BAK ada, warna dan
jumlah biasa. BAB belum ada. NGT kehijauan.
O/ :
KU : Sakit sedang
Kesadaran : Sadar
Nadi : 98x/menit
Nafas : 30x/menit
Suhu : 36,4oC
Mata : Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
KGB : Tidak terdapat pembesaran
Mulut : Mukosa bibir dan mulut basah
Thorak : rhonki +/+
Abdomen : distensi (-), bising usus + normal
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 detik
A/ Pneumonia Aspirasi es Near drowning (nonfatal drowning)
P/
IVFD RL 28 tpm

23
O2 1L/menit nasal kanul
Ceftriaxon 1x2 gr
Ranitidine 2x40 mg iv
Deksametason 3x5 mg iv
Diet ML 1000 kkal per oral

Follow up 18 April 2017


S/ : Hari rawatan ke-3, sesak napas tidak ada. Demam tidak ada. Nyeri perut
tidak ada. BAK ada, warna dan jumlah biasa. BAB belum ada.
O/ :
KU : Sakit sedang
Kesadaran : Sadar
Nadi : 94x/menit
Nafas : 24x/menit
Suhu : 36,8oC
Mata : Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
KGB : Tidak terdapat pembesaran
Mulut : Mukosa bibir dan mulut basah
Thorak : rh +/+ berkurang
Abdomen : distensi (-), bising usus + normal
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 detik
A/ Pneumonia Aspirasi es Near drowning (nonfatal drowning)
P/
IVFD RL 28 tpm
O2 1L/menit nasal kanul
Ceftriaxon 1x2 gr
Ranitidine 2x40 mg iv
Deksametason 3x5 mg iv
Diet ML 2000 kkal per oral

24
Follow up 19 April 2017
S/ : Hari rawatan ke-3, sesak napas tidak ada. Demam tidak ada. Nyeri perut
tidak ada. Muntah tidak ada. BAK ada, warna dan jumlah biasa. BAB ada.
O/ :
KU : Sakit sedang
Kesadaran : Sadar
Nadi : 96x/menit
Nafas : 24x/menit
Suhu : 36,9oC
Mata : Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
KGB : Tidak terdapat pembesaran
Mulut : Mukosa bibir dan mulut basah
Thorak : cor dan pulmo dalam batas normal
Abdomen : distensi (-), bising usus + normal
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 detik
A/ Pneumonia Aspirasi ec Near drowning (nonfatal drowning)
P/
O2 1L/menit nasal kanul
Ceftriaxon 1x2 gr
Ranitidine 2x40 mg iv
Diet MB TKTP

25
BAB 3

DISKUSI

Pasien anak perempuan umur 11 tahun hari rawatan ke-3 di RSUD Ahmad

Mochtar Bukittinggi telah didiagnosis dengan Pneumonia Aspirasi ec Near

drowning (nonfatal drowning).

Diagnosis near drowning ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan

fisik. Pada anamnesis didapatkan keluhan utama sesak napas sejak 4 jam sebelum

masuk rumah sakit. Pada riwayat penyakit sekarang didapatkan pasien bermain

dan diajak berenang kemudian tenggelam. Hal ini dapat menyingkirkan sesak

disebabkan pneumonia bakteri atau virus. Pasien tenggelam lebih dari lima menit,

tetapi pasien langsung sadar setelah mendapatkan resusitasi minimal dan langsung

sadar dalam waktu kurang dari 24 jam. Hal ini menunjukkan prognosis yang baik

pada pasien ini.1,7 Pasien menceritakan bahwa tidak ada pagar, penghalang,

ataupun tanda peringatan dilarang berenang di tempat kejadian. Kemudian pasien

juga mengatakan tidak membawa pelampung ataupun alat bantu renang. Pasien

juga mengatakan tidak bisa berenang. Hal ini menunjukkan faktor risiko

terjadinya drowning pada anak-anak.7 Pasien juga mengatakan bahwa saat sadar

masih mengeluhkan rasa tercekik. Hal ini menunjukkan masih terjadi

laringospasme tetapi tidak menyebabkan hipoventilasi.7 Pasien mengeluhkan

Muntah berwarna kemerahan kemungkinan menunjukkan pasien ini mengalami

shock dan terdapat sejumlah air yang tertelan sehingga terjadi gangguan

kompensasi aliran darah yang tidak seharusnya ke saluran cerna. Penyebab BAK

warna kemerahan mungkin memerlukan kajian lebih lanjut.

26
Pada pasien ini tidak terdapat defisit neurologis karena tidak ada gejala

peningkatan tekanan intrakranial yang ditandai dengan muntah yang proyektil.

Kemudian pasien cepat sadar dalam 24 jam setelah kejadian sehingga pada pasien

ini tidak terdapat cedera otak karena hipoksia, termasuk kerusakan batang otak.

Pada pasien juga tidak terdapat riwayat kejang dan epilepsi. Saat pasien di IGD

juga tidak ada kejang pada pasien ini.

Pada pasien ini tidak terdapat tanda-tanda dari henti jantung karena pasien

dalam keadaan sadar, tidak terdapat tanda-tanda hipoventilasi, dan perfusi

jaringan yang baik yang ditandai dengan hasil AGD berupa pCO2 39,4 mmHg

(dalam batas normal), pO2 67,5 mmHg (dalam batas normal), dan SO2 : 91,5%,

dengan suhu tubuh 35,9% sehingga tidak perlu pemantauan EKG karena

pemantauan EKG dilakukan pada pasien yang tidak sadar, terdapat tanda-tanda

hipoventilasi dengan hasil AGD asidosis dan suhu tubuh <30oC. Pada keadaan

tersebut, fungsi miokardium masih terganggu dan kemungkinan terjadi aritmia

cukup besar.

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang didapatkan

diagnosis berupa near drowning/nonfatal drowning.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Kallas H. Drowning and near drowning. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia:
Saunders; 2007. h. 321-30.
2. Zulkarnaen I. Hampir Tenggelam Dalam: NN Rahajoe, B Supriyatno, DB
Setyanto, penyunting Buku Ajar Respirologi Anak Edisi pertama Jakarta:Ikatan
Dokter Anak Indonesia;2008 hlm 427-32
3. Stevenson M, Rimajova M, Edgecombe D, Vickery K. Childhood drowning:
barriers surrounding private swimming pools. Pediatrics 2003:111;e 115-9.
4. Nasrullah M, Muazzam S. Drowning mortality in the United States, 1999-2006
J Community Health (2011) 36:69-75.
5. American Heart Association. Drowning. Circulation 2005;112:IV-133-IV-135.
6. Numa AH, Hammer J, Newth C. Near-drowning and drowning. . Dalam:
Chernick V, Boat TF, Wilmott RW, Bush A, penyunting. Kendig's disorders of
the respiratory tract in children. Edisi ke-7.Philadelphia: Saunders-Elsivier;
2006. hlm. 661-75..
7. Caglar D and Quan L. Drowning and Submersion Injury. Nelson textbook of
pediatrics. 20 edition. Philadelphia: Elsevier; 2016. p 561-8

28

Anda mungkin juga menyukai