Anda di halaman 1dari 51

i

PROPOSAL PENELITIAN

JUDUL:

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN TERJADINYA TEMPER

TAKTRUM

Oleh:

ANDI HERLIN

15.01.049

YAYASAN PERAWAT SULAWESI SELATAN

STIKES PANAKKUKANG MAKASSAR

PRODI S1-KEPERAWATAN

2019
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan proses belajar sepanjang hayat yang dimulai

dari sejak lahir sampai liang lahat. Sementara itu pendidikan pada anak usia

dini merupakan dasar bagi pendidikan dan perkembangan anak ditingkat

selanjutnya sepanjang hidup. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) menurut

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Pasal 1 ayat 14 adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak

sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian

rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani

dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih

lanjut.

Berdasarkan perkembangannya, masyarakat telah menunjukkan

kepedulian terhadap masalah pendidikan, pengasuhan, dan perlindungan anak usia

dini untuk usia 0 sampai dengan 6 tahun dengan berbagai jenis layanan sesuai

dengan kondisi dan kemampuan yang ada, baik dalam jalur pendidikan formal

maupun non formal.

Penyelenggaraan PAUD jalur pendidikan formal berbentuk Taman

Kanak-Kanak (TK)/Raudhatul Atfal (RA) dan bentuk lain yang sederajat,

yang menggunakan program untuk anak usia 4–≤6 tahun sedangkan

penyelenggaraan PAUD jalur pendidikan nonformal berbentuk Taman Penitipan

Anak (TPA) dan bentuk lain yang sederajat, yang menggunakan program untuk
2

anak usia 0–<2 tahun, 2–<4 tahun, 4–≤6 tahun dan Program Pengasuhan untuk

anak usia 0–≤6 tahun, Kelompok Bermain (KB) dan bentuk lain yang

sederajat, menggunakan program untuk anak usia 2– <4 tahun dan 4–≤6 tahun.

Pada anak usia 5-6 tahun terjadi perkembangan otak mencapai titik optimal

yang biasa disebut masa “golden age”. Pada masa tersebut semua fungsi

organ dan syaraf pada otak berkembang secara pesat sehingga anak harus

distimulasi agar seluruh perkembangannya berkembang secara optimal (Slamet

Suyanto, 2015: 14)

Rentang usia 0-6 tahun merupakan masa emas perkembangan anak, yang

apabila pada masa tersebut anak diberi pendidikan dan pengasuhan yang

tepat akan menjadi modal penting bagi perkembangan anak di kemudian

hari. Anak mulai berkenalan dan belajar menghadapi rasa kecewa saat apa yang

dikehendaki tidak dapat terpenuhi. Rasa kecewa, marah, sedih dan sebagainya

merupakan suatu rasa yang wajar dan natural. Namun seringkali, tanpa

disadari orang tua menyumbat emosi yang dirasakan oleh anak. Misalnya saat

anak menangis karena kecewa, orangtua dengan berbagai cara berusaha

menghibur, mengalihkan perhatian, memarahi demi menghentikan tangisan

anak. Hal ini sebenarnya membuat emosi anak tak tersalurkan dengan lepas.

Jika hal ini berlangsung terus menerus, akibatnya timbullah yang disebut dengan

tumpukan emosi. Tumpukan emosi inilah yang nantinya dapat meledak tak

terkendali dan muncul sebagai temper tantrum.

Temper tantrum adalah ledakan emosi yang kuat yang terjadi ketika anak

balita merasa lepas kendali. Tantrum adalah demonstrasi praktis dari apa
3

yang dirasakan oleh anak dalam dirinya. Ketika orang-orang membicarakan

tantrum, biasanya hanya mengenai satu hal spesifik, yaitu kemarahan yang

dilakukan oleh anak kecil. Hampir semua tantrum terjadi ketika anak sedang

bersama orang yang paling dicintainya. Tingkah laku ini biasanya mencapai titik

terburuk pada usia 18 bulan hingga tiga tahun, dan kadang masih ditemui pada

anak usia lima atau enam tahun, namun hal tersebut sangat tidak biasa dan

secara bertahap akan menghilang.

Saat anak mengalami tantrum, banyak orangtua yang beranggapan bahwa

hal tersebut merupakan sesuatu yang negatif, dan pada saat itu juga

orangtua bukan saja bertindak tidak tepat tetapi juga melewatkan salah satu

kesempatan yang paling berharga untuk membantu anak menghadapi emosi

yang normal (marah, frustrasi, takut, jengkel) secara wajar dan bagaimana

bertindak dengan cara yang tepat sehingga tidak menyakiti diri sendiri dan orang

lain ketika sedang merasakan emosi tersebut.

Mengamuk adalah langkah-langkah maju yang alami yang sering

terjadi dan bersifat positif dalam perkembangan anak (Hames 2015:2).

Amukan membuktikan bahwa anak mulai mengembangkan suatu perasaan

akan dirinya. Mengamuk adalah cara anak menghadapi rasa putus asa ketika tidak

mampu lagi mempertahankan perasaan yang masih rapuh tentang dirinya.

Dariyo (2014:34) mengatakan jika temper tantrum merupakan kondisi

yang normal terjadi pada anak-anak berumur 1-3 tahun, apabila tidak ditangani

dengan tepat dapat bertambah sampai umur 5-6 tahun. Kemampuan untuk

mengolah atau mengatur emosi memegang peranan penting dalam perkembangan


4

kepribadiannya. Oleh karena itu anak yang mudah mengatur emosinya maka ia

akan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.

Menurut psikolog Michael Potegal (Hayes, 2013) terdapat dua jenis

tantrum yang berbeda dengan landasan emosional dan tingkah laku yang

berbeda yaitu, tantrum amarah (anger tantrum) yang diperlihatkan dengan

cara menghentakkan kaki, menendang, memukul, berteriak, dan tantrum

kesedihan (distress tantrum) yang diperlihatkan dengan cara membanting diri,

menangis terisak-isak, serta berlari menjauh. Tantrum dapat terjadi karena

kesedihan dan amarah, juga karena kebingungan dan ketakutan.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tantrum terjadi sekurangnya

sekali seminggu pada 50-80 persen anak prasekolah. Diperkirakan tiga perempat

dari seluruh perilaku tantrum terjadi di rumah, namun tantrum terburuk

sering ditujukan di tempat-tempat umum yang menjamin anak mendapat

perhatian sebesarnya dengan membuat orang tua merasa malu (Hayes: 20`3).

Penelitian lain menunjukkan bahwa penyebab utama tantrum pada

anak adalah konflik mereka dengan orang tua, yang paling umum konflik

mengenai makanan dan makan (16,7 %), konflik karena meletakkan anak di

kereta dorong, kursi tinggi untuk bayi, tempat duduk di mobil, dan sebagainya

(11,6 %), konflik mengenai pemakaian baju (10,8 %). Ada kejadian puncak

yang menunjukkan bahwa tantrum lebih banyak terjadi menjelang tengah hari

dan petang saat anak lapar ataupun lelah (Hayes: 2013).

Proses munculnya dan terbentuknya temper tantrum pada anak, biasanya

berlangsung diluar kesadaran anak. Demikian pula orang tua atau pendidiknya
5

tidak menyadari bahwa dialah sebenarnya yang memberi kesempatan bagi

pembentukan tantrum pada anak. Temper tantrum seringkali terjadi pada

anak-anak yang terlalu sering diberi hati, sering dicemaskan oleh orang tuanya,

serta sering muncul pula pada anak-anak dengan orang tua yang bersikap

terlalu melindungi (Kartono, 2014:14).

Menurut Hurlock (2014: 117) lingkungan sosial rumah mempengaruhi

intensitas dan kuatnya rasa amarah anak. Ledakan amarah lebih banyak timbul di

rumah bila ada banyak tamu atau ada lebih dari dua orang dewasa. Jenis disiplin

dan metode latihan anak juga mempengaruhi frekuensi dan intensitas

ledakan amarah anak. Semakin orangtua bersikap otoriter, semakin besar

kemungkinan anak bereaksi dengan amarah.

Anak yang terlalu dimanjakan dan selalu mendapatkan apa yang

diinginkan, bisa tantrum ketika permintaannya ditolak. Bagi anak yang

terlalu dilindungi dan didominasi oleh orang tuanya, sekali waktu anak bisa

bereaksi menentang dominasi orang tua dengan perilaku tantrum. Orang tua

yang mengasuh secara tidak konsisten juga bisa menyebabkan anak tantrum.

Misalnya, orang tua yang tidak mempunyai pola yang jelas kapan ingin melarang

atau kapan ingin mengizinkan anak berbuat sesuatu, dan orang tua yang

seringkali mengancam untuk menghukum tapi tidak pernah menghukum.

Anak akan dibingungkan oleh orang tua dan menjadi tantrum ketika orang tua

benar-benar menghukum. Selain itu, pada ayah ibu yang tidak sependapat satu

sama lain, yaitu yang satu memperbolehkan anak dan yang lain melarang anak.
6

Anak bisa menjadi tantrum agar mendapatkan keinginan dan persetujuan dari

kedua orang tua.

Perilaku tantrum merupakan hal yang wajar terjadi namun apabila tidak

di atasi akan mempengaruhi anak pada perkembangan yang selanjutnya.

Hurlock (2014: 211) menjelaskan pengaruh emosi terhadap penyesuaian pribadi

dan sosial anak yaitu: 1) ketegangan emosi mengganggu keterampilan

motorik, 2) emosi mengganggu aktivitas mental, 3) emosi mempengaruhi

suasana psikologis, 4) reaksi emosional apabila diulang-ulang akan berkembang

menjadi kebiasaan.

Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan pada saat awal penelitian

terhadap seorang kepala sekolah yang berada di Taman Kanak-Kanak Negeri

Pembina Kabupaten Jeneponto, peneliti mendapatkan seorang anak dengan ciri-

ciri suka mengamuk, membuat temannya menangis, memukuli orangtuanya jika

tidak terpenuhi keinginannya, suka berebut dengan teman dan merengut jika apa

yang dia inginkan tidak terpenuhi. Dengan ciri-ciri yang peneliti lakukan melalui

wawancara awal dari guru maka anak tersebut tergolong anak temper tantrum.

Saat dilakukannya observasi awal juga terdapat ciri-ciri tantrum yang muncul

dari beberapa anak yang terdapat di kelas B seperti: mengamuk, menangis,

menendang serta memukul. Ketika anak mengalami menunjukkan perilaku

tantrum, sikap orangtua acuh, bahkan memberikan predikat “nakal” kepadanya.

Perkembangan emosi anak dipengaruhi oleh perubahan pola interaksi

dan pola komunikasi dalam keluarga Menurut (Hurlock, 2014). Faktor penyebab

anak mengalami temper tantrum antara lain: Faktor fisiologis, yaitu lelah, lapar
7

atau sakit; Faktor psikologis, antara lain anak mengalami kegagalan, dan orangtua

yang terlalu menuntut anak sesuai harapan orangtua; Faktor orangtua, yakni pola

asuh dan komunikasi; dan Faktor lingkungan, yaitu lingkungan keluarga dan

lingkungan luar rumah (Kirana, 2013).

Hal yang paling banyan memberikan pengaruh pada munculnya tantrum

pada anak yaitu factor orang tuan yaitu pertama, Pola asuh orang tua merupakan

salah satu elemen yang tidak bisa dipandang dengan sebelah mata. Sebab seorang

anak akan berhasil atau gagal dalam proses pembentukan kepribadian dan

potensinya kelak, tidak pernah terlepas dari peran serta orang tua sebagai guru

sekaligus pendidik pertama dan utama pada masa awal perkembangan anak.

Karena kegiatan anak pada awal perkembangan, seluruhnya hampir melibatkan

peran serta orang tua. Hasil Studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti

Wesiana Heris (2014) menunjukkan bahwa berdasarkan hasil analisis data

diperoleh ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan temper tantrum pada

anak usia 2-4 tahun di PAUD Darun Najah, Desa Gading, Kecamatan Jatirejo,

Kabupaten Mojokerto.

Selanjutnya faktor lain yaitu pendidikan kesehatan yang dimiliki orang

tua terhadap pola asuh juga ikut mepengaruhi pola asuh orang tua terhadap

kejadian tantrum pada anak. Hal initelah dilakukan oleh Sri Mulyanti (2014) yang

menemukan hasil penelitian bahwa Pola asuh orang tua tidak hanya dipengaruhi

oleh faktor pendidikan kesehatan, namun ada faktor lain yang berperan.

Kedua, pola komunikasi orang tua juga ikut mempengaruhi terjadinya

tantrum pada anak. Anak-anak belajar dari orang tua yang berasal dari pilihan-
8

pilihan kata yang diucapkan pada anak-anak. Orang tua biasanya memberikan

sosialisasi langsung kepada anak-anaknya tentang komunikasi yang baik.

Menurut (Yusrizal, 2014) komunikasi yang baik adalah komunikasi yang efektif,

komunikasi efektif bila rangsangan yang disampaikan dan dimaksudkan oleh

pengirim atau sumber berkaitan erat dengan rangsangan yang ditangkap dan

dipahami oleh penerima. Ada 5 cara untuk mengukur komunikasi yang efektif

yaitu: pemahaman, kesenangan, mempengaruhi sikap, memperbaiki hubungan

dan tindakan.

Hal ini juga ditunjukkan pada hasil penelitian Rosa Maria Suwarni

Yiw’Wiyouf dkk (2017) yang menunjukkan bahwa adanya hubungan pola

komunikasi orang tua dengan kejadian temper tantrum pada anak usia pra

sekolah di Tk Islamic Center Manado.

Berdasarkan latar belakang diatas peneliti bermaksud untuk melakukan

penelitian mengenai faktor Faktor-Faktor Yang Berhubungan Terjadinya Temper

Taktrum pada di Taman Kanak-Kanak Negeri Pembina Kabupaten Jeneponto.

B. Perumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apa saja faktor-faktor

yang berhubungan dengan terjadinya temper taktrum di Taman Kanak-Kanak

Negeri Pembina Kabupaten Jeneponto?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya temper

taktrum di Taman Kanak-Kanak Negeri Pembina Kabupaten Jeneponto.


9

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui hubungan pola asuh dengan kejadian temper taktrum

di Taman Kanak-Kanak Negeri Pembina Kabupaten Jeneponto.

b. Untuk mengetahui hubungan Pendidikan kesehatan orang tua dengan

kejadian temper taktrum di Taman Kanak-Kanak Negeri Pembina

Kabupaten Jeneponto.

c. Untuk mengetahui hubungan pola komunikasi dengan kejadian temper

taktrum di Taman Kanak-Kanak Negeri Pembina Kabupaten Jeneponto.

D. Manfaat penelitian

1. Bagi orangtua anak.

Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai

kejadian temper taktrum di Taman Kanak-Kanak Negeri Pembina

Kabupaten Jeneponto.

2. Bagi Instanti Tempat Penelitian

Penelitian ini sebagai informasi dan masukan bagi instansi

kesehatan mengenai hubungan pola asuh dengan kejadian temper taktrum

pada anak.

3. Bagi Mahasiswa

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu

pengetahuan bagi pembaca dalam bidang ilmu kesehatan masyarakat dan

dapat digunakan sebagai data dasar untuk penelitian selanjutnya.


10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan umum tentang Perkembangan Anak Usia Prasekolah

1. Pengertian

Anak usia prasekolah adalah mereka yang berusia 3-6 tahun. Mereka

biasa mengikuti program prasekolah dan kinderganten. Sedangkan di

Indonesia pada umumnya mereka mengikuti program tempat penitipan anak

3-5 tahun dan kelompok bermain atau Play Group (usia 3 tahun), sedangkan

pada anak usia 4-6 tahun biasanya mereka mengikuti program taman kanak-

kanak. (Biechler dan Snowman dari Patmonodewo, 2013).

2. Tumbuh dan Kembang Anak

Anak merupakan individu yang unik, karena faktor bawaan dan

lingkungan yang berbeda, maka pertumbuhan dan pencapaian kemampuan

perkembangan juga berbeda (Soetijiningsih, 1995).

Pertumbuhan berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar,

jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang bisa

diukur dengan ukuran berat (gram, kilogram), ukuran panjang (centimeter,

meter), dan ukuran tulang (Soetijiningsih, 1995).

Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam

struktur dan fungsi yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat

diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan yang menyangkut adanya

proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan

sistem organ yang berkembang sedemikian rupa, sehingga masing-masing


11

dapat memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan emosi,

intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya

(Soetijiningsih, 1995).

Tumbuh kembang merupakan proses kontinyu sejak dari konsepsi

sampai maturasi atau dewasa yang dipengaruhi oleh faktor bawaan dan

lingkungan (Soetijiningsih, 1995). Pertumbuhan adalah peningkatan jumlah

dan ukuran sel pada saat membelah diri dan mensintesis protein baru

menghasilkan peningkatan ukuran dan berat seluruh atau sebagian dari

bagian sel (Wong, 2009).

Perkembangan adalah perubahan dan perluasan secara bertahap

perkembangan tahap kompleksitas dari yang lebih rendah ke yang lebih

tinggi, peningkatan dan perluasan kapasitas seseorang melalui pertumbuhan

maturasi serta pembelajaran. Pola tumbuh kembang bersifat jelas dapat

diprediksi, kontinyu, teratur, dan progresif, pola atau kecendrungan ini juga

bersifat universal dan mendasar bagi semua individu, namun unik dalam hal

cara dan waktu pencapaiannnya.

3. Ciri-ciri Anak Prasekolah

Snowman (1993) dikutip dari Padmonodewo (2013) mengemukakan

ciri-ciri anak prasekolah meliputi aspek fisik, sosial, emosi dan kognitif

anak.

a. Ciri Fisik

Penampilan atau gerak-gerik prasekolah mudah dibedakan dengan anak

yang berada dalam tahapan sebelumnya.


12

1) Anak prasekolah umumnya sangat aktif. Mereka telah memiliki

penguasaan (kontrol) terhadap tubuhnya dan sangat menyukai

kegiatan-kegiatan yang dilakukan sendiri. Berikan kesempatan kepada

anak untuk lari, memanjat, dan melompat. Usahakan kegiatan-

kegiatan tersebut sebanyak mungkin sesuai dengan kebutuhan anak

dan selalu di bawah pengawasan.

2) Walaupun anak laki-laki lebih besar, namun anak perempuan lebih

terampil dalam tugas yang bersifat praktis, khususnya dalam tugas

motorik halus, tetapi sebaiknya jangan mengkritik anak lelaki apabila

dia tidak terampil. Jauhkan dari sikap membandingkan lelaki-

perempuan, juga dalam kompetensi ketrampilan.

b. Ciri Sosial

Anak prasekolah biasanya mudah bersosialisasi dengan orang di

sekitarnya. Umumnya anak pada tahapan ini memiliki satu atau dua

sahabat yang cepat berganti. Mereka umumnya dapat cepat

menyesuaikan diri secara sosial, mereka mau bermain dengan teman.

Sahabat yang biasa dipilih biasanya yang sama jenis kelaminnya, tetapi

kemudian berkembang menjadi sahabat yang terdiri dari jenis kelamin

yang berbeda.

c. Ciri Emosional

Anak prasekolah cenderung mengekspresikan emosinya dengan bebas

dan terbuka, sikap marah, iri hati pada anak prasekolah sering terj adi,

mereka seringkali memperebutkan perhatian guru atau orang sekitar.


13

Pada usia ini sudah menjadi kebiasaan anak untuk berperilaku lebih

agresif dan lemah dalam kontrol diri. Anak-anak dengan emosional

tinggi dapat menunjukkan sifatnya tersebut dengan temper tantrum.

d. Ciri Kognitif

Anak prasekolah umumnya sudah terampil berbahasa, sebagian besar

dari mereka senang berbicara, khususnya pada kelompoknya. Sebaliknya

anak diberi kesempatan untuk menjadi pendengar yang baik

(Padmonodewo, 2003).

4. Tugas Tumbuh Kembang Anak

Soetijiningsih, 1995 mengemukakan bahwa semua tugas

perkembangan anak usia 4-6 tahun itu disusun berdasarkan urutan

perkembangan dan diatur dalam empat kelompok besar yang disebut sektor

perkembangan yang meliputi :

a. Perilaku Sosial

Aspek yang berhubungan dengan kemampuan kemandirian,

bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan misalnya, membantu di

rumah, mengambil makan, berpakaian tanpa bantuan, menyuapi boneka,

menggosok gigi tanpa bantuan, dapat makan sendiri.

b. Gerakan Motorik Halus

Aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati

sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian tubuh tertentu yang

dilakukan otot-otot kecil, tetapi memerlukan koordinasi yang cermat

misalnya menggambar garis, lingkaran dan menggambar manusia.


14

c. Bahasa

Kemampuan yang memberikan respon terhadap suara, mengikuti

perintah, misalnya bicara semua dimengerti, mengenal dan menyebutkan

warna, menggunakan kata sifat (besar-kecil).

d. Gerakan Motorik Kasar

Aspek yang berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh, misalnya

berdiri dengan satu kaki, berjalan naik tangga dan menendang bola ke

depan.

5. Faktor yang mempengaruhi perkembangan

a. Keturunan

Karakteristik yang diturunkan mempunyai pengaruh besar pada

perkembangan jenis kelamin anak, yang ditentukan oleh seleksi acak

pada waktu konsepsi, mengarahkan pola pertumbuhan dan perilaku orang

lain terhadap anak. Jenis kelamin dan determinan keturunan lain secara

kuat mempengaruhi hasil akhir pertumbuhan dan laju perkembangan

untuk mendapatkan hasil akhir tersebut. Terdapat hubungan yang besar

antara orang tua dan anak dalam hal sifat seperti tinggi badan, berat

badan dan laju pertumbuhan. Kebanyakan karakteristik fisik, termasuk

pola dan bentuk gambaran, bangun tubuh dan keganjilan fisik diturunkan

dan dapat mempengaruhi cara pertumbuhan dan integrasi anak dengan

lingkungan (Soetjiningsih, 1995).


15

b. Faktor Neuroendoktrin

Penelitian menunjukan kemungkinan adanya pusat pertumbuhan dalam

region hipotalamik yang bertanggungjawab untuk mempertahankan pola

pertumbuhan yang ditetapkan secara genetic. Beberapa hubungan

fungsional diyakini diantara hipotalamus dan system endokrin yang

mempengaruhi pertumbuhan.

c. Nutrisi

Nutrisi mungkin merupakan satu-satunya pengaruh paling penting pada

pertumbuhan. Faktor diit mengatur pertumbuhan pada semua tahap

perkembangan dan efeknya ditunjukan pada cara yang beragam dan

rumit, selama masa bayi dan kanak-kanak. Kebutuhan kalori relative

besar dibuktikan oleh peningkatan tinggi dan berat badan (Soetjiningsih,

1995).

d. Hubungan interpersonal

Hubungan dengan orang terdekat memainkan peran penting dalam

perkembangan terutama dalam perkembangan emosi, intelektual dan

kepribadian, terutama dalam perkembangan emosi, intelektual dan

kepribadian tidak hanya kualitas dan kuantitas kontak dengan orang lain

yang memberi pengaruh pada anak yang sedang berkembang tetapi

luasnya rentang kontak penting untuk pembelajaran dan perkembangan

kepribadian yang sehat.


16

e. Tingkat Sosioekonomi

Tingkat sosioekonomi keluarga mempunyai dampak signifikan pada

pertumbuhan dan perkembangan. Pada semua usia anak dari kelas atas

dan menengah mempunyai tinggi lebih dari anak keluarga dengan strata

ekonomi rendah. Keluarga dari sosioekonomi rendah kurang memiliki

pengetahuan atau sumber daya yang diperlukan untuk memberikan

lingkungan yang aman, menstimulasi dan kaya nutrisi yang membantu

perkembangan optimal anak.

f. Penyakit

Perubahan pertumbuhan dan perkembangan adalah satu menifestasi

klinis dalam sejumlah gangguan hereditas. Gangguan pertumbuhan

terutama terlihat pada gangguan skeletal, seperti berbagai bentuk

duarfisme dan sedikitnya satu anomaly kromosom (sindrom turner)

banyak gangguan metabolisme seperti riketsia resisten-vitamin D,

mukopoli sekaridosis, dan berbagai gangguan lain, kecendrungannya

adalah kearah persentil atas tinggi badan. Gangguan apapun yang

dicirikan dengan ketidakmampuan untuk mencerna dan mengabsorsi

nutrisi tubuh akan memberi efek merugikan pada pertumbuhan dan

perkembangan

g. Bahaya Lingkungan

Bahaya dilingkungan adalah sumber kekawatiran pemberi asuhan

kesehatan dan orang lain yang memperhatikan kesehatan dan keamanan

cedera fisik paling sering terjadi akibat bahaya lingkungan, dan berkaitan
17

dengan usia bahaya khusus dan ketidakmampuan fisik (Soetjiningsih,

1995). Anak beresiko tinggi mengalami cedera akibat resiko kimia dan

ini berhubungan dengan potensi kardiogenik, efek enzimatik dan

akumulasi (Baum dan Shannon, 1995). Agens berbahaya yang paling

sering dikaitkan dengan resiko kesehatan adalah bahan kimia dan radiasi.

h. Stress pada masa kanak-kanak

Meskipun semua anak mengalami stres beberapa anak muda tampak

lebih rentan dibanding yang lain. Usia anak temperamen situasi hidup

dan status kesehatan mempengaruhi kerentanan reaksi dan kemampuan

mereka mengatasi stres. Orang tua dapat mencoba untuk mengenali tanda

stres untuk membantu anak mengahadapi stres sebelum menjadi berat

(Soetjiningsih, 1995).

i. Pengaruh media massa

Media dapat memberi pengaruh besar pada perkembangan anak, media

memberi anak suatu cara untuk memperluas pengetahuan mereka tentang

dunia tempat mereka hidup dan berkontribusi untuk mempersempit

perbedaan antar kelas. Anak dapat mengidentifikasi secara dekat orang

atau karakter yang digambarkan dalam materi bacaan, film, video dan

program televisi serta iklan (Soetjiningsih, 1995).


18

B. Tinjauan Umum tentang Temper Tantrum

1. Pengertian

Temper tantrum adalah suatu luapan emosi yang meledak-ledak dan

tidak terkontrol. Temper tantrum seringkali muncul pada anak suai 15 bulan

hingga 6 tahun (Zaviera, 2008).

Umumnya anak kecil lebih emosional daripada orang dewasa karena

pada usia ini anak masih relatif muda dan belum dapat mengendalikan

emosinya. Pada usia 2-4 tahun, karakteristik emosi anak muncul pada

ledakan marahnya atau temper tantrum (Hurlock, 2014). Sikap yang

ditunjukkan untuk menampilkan rasa tidak senangnya, anak melakukan

tindakan yang berlebihan, misalnya menangis, menjerit-jerit, melemparkan

benda, berguling-guling, memukul ibunya atau aktivitas besar lainnya

(Hurlock, 2014).

Tantrum lebih mudah terjadi pada anak-anak yang dianggap sulit

dengan ciri-ciri memiliki kebiasaan tidur, makan dan buang air besar yang

tidak teratur, sulit menyukai situasi, makanan dan orang-orang baru, lambat

beradaptasi terhadap perubahan, suasana hati lebih sering negative, mudah

terprovokasi, gampang merasa marah dan sulit dialihkan perhatiannya

(Zaviera, 2008).

La Forge (dalam Zaviera, 2008) menilai bahwa tantrum adalah suatu

perilaku yang masih tergolong normal yang merupakan bagian dari proses

perkembangan, suatu periode dalam perkembangan fisik, kognitif, dan

emosi. Sebagai periode dari perkembangan, tantrum pasti akan berakhir.


19

Berdasarkan teori-teori di atas disimpulkan bahwa tempertantrum

merupakan luapan emosi yang meledak-ledak akibat suasana yang tidak

menyenangkan yang dirasakan oleh anak. Ledakan emosi tersebut dapat

berupa menangis, menjerit-jerit, melemparkan benda, berguling-guling,

memukul ibunya atau aktivitas besar lainnya

2. Manifestasi tantrum berdasarkan kelompok usia

Berdasarkan kelompok usia tantrum dibedakan menjadi (Zaviera,

2008):

e. Di bawah 3 tahun

Anak dengan usia di bawah 3 tahun ini bentuk tantrumnya adalah

menangis, menggigit, memukul, menendang, menjerit, memekik- mekik,

melengkungkan punggung, melempar badan ke lantai, memukul-

mukulkan tangan, menahan napas, membentur-benturkan kepala dan

melempar-lempar barang (Zaviera, 2008).

f. Usia 3-4 tahun

Anak dengan rentang usia antara 3 tahun sampai dengan 4 tahun bentuk

tantrumnya meliputi perilaku pada anak usia di bawah 3 tahun ditambah

dengan menghentak-hentakkan kaki, berteriak-teriak, meninju,

membanting pintu, mengkritik dan merengek (Zaviera, 2008).

g. Usia 5 tahun ke atas

Bentuk tantrum pada anak usia 5 tahun ke atas semakin meluas yang

meliputi perilaku pertama dan kedua ditambah dengan memaki,


20

menyumpah, memukul, mengkritik diri sendiri, memecahkan barang

dengan sengaja dan mengancam (Zaviera, 2008).

Menurut Purnamasari (2005) menyebutkan bahwa stiap anak yang

setidaknya telah berusia 18 bulan hingga tiga tahun dan bahkan lebih akan

menentang perintah dan menunjukkan individualitasnya sekali waktu. Hal

ini merupakan bagian normal balita karena mereka terus menerus

mengeksplorasi dan mempelajari batasan-batasan disekelilingnya. Anak

akan menunjukkan berbagai macam tingkah laku, seperti keras kepala dan

membangkang karena sedang mengembangkan kepribadian dan

otonominya. Tantrum juga merupakan cara normal untuk mengeluarkan

semua perasaan yang menumpuk. Seorang anak pada usia ini akan

menunjukkan beberapa atau semua tingkah laku sebagai berikut :

a. Penolakan atas kontrol dalam bentuk apapun

b. Keinginan untuk mandiri, lebih banyak menuntut dan menunjukkan

tingkah laku yang membangkang.

c. Berganti-ganti antara kemandirian dan bertingkah manja.

d. Ingin mendapatkan kendali dan ingin mengendalikan

e. Pada umumnya menunjukkan tantrum.

3. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya temper tantrum

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya temper

tantrum, diantaranya adalah (Zaviera, 2008) :

a. Terhalangnya keinginan anak mendapatkan sesuatu


21

Anak jika menginginkan sesuatu harus selalu terpenuhi, apabila tidak

tidak berhasil terpenuhinya keinginan tersebut maka anak sangat

dimungkinkan untuk memakai cara tantrum guna menekan orangtua agar

mendapatkan apa yang ia inginkan (Zaviera, 2008).

b. Ketidakmampuan anak mengungkapkan diri

Anak-anak mempunyai keterbatasan bahasa, pada saatnya dirinya ingin

mengungkapkan sesuatu tapi tidak bisa, dan orangtua pun tidak dapat

memahami maka hal ini dapat memicu anak menjadi frustasi dan

terungkap dalam bentuk tantrum (Zaviera, 2008).

c. Tidak terpenuhinya kebutuhan

Anak yang aktif membutuhkan ruang dan waktu yang cukup untuk selalu

bergerak dan tidak bisa diam dalam waktu yang lama. Apabila suatu saat

anak tersebut harus menempuh perjalanan panjang dengan mobil, maka

anak tersebut akan merasa stress. Salah satu contoh pelepasan stresnya

adalah tantrum (Zaviera, 2008).

d. Pola asuh orangtua

Cara orangtua mengasuh anak juga berperan untuk menyebabkan

tantrum. Anak yang terlalu dimanjakan dan selalu mendapat apa yang ia

inginkan, bisa tantrum ketika suatu kali permintaannya ditolak. Anak

yang terlalu dimanjakan dan selalu mendapatkan apa yang diinginkan,

bisa tantrum ketika suatu kali permintaannya ditolak. Bagi anak yang

terlalu dan didominasi oleh orantuanya, sekali waktu anak bisa jadi

bereaksi menentang dominasi orangtua dengan perilaku tantrum.


22

Orangtua yang mengasuh anak secara tidak konsisten juga bisa

menyebabkan anak tantrum (Zaviera, 2008).

Pola asuh orangtua dalam hal ini sebenarnya lebih pada bagaimana

orangtua dapat memberikan contoh atau teladan kepada anak dalam

setiap bertingkah laku karena anak akan selalu meniru setiap tingkah laku

orangtua. Jika anak melihat orangtua meluapkan kemarahan atau

meneriakkan rasa frustasi karena hal kecil, maka anak akan kesulitan

untuk mengendalikan diri. Seorang anak perlu melihat bahwa orang

dewasa dapat mengatasi frustasi dan kekecewaan tanpa harus lepas

kendali, dengan demikian anak dapat belajar untuk mengendalikan diri.

Orangtua jangan menghadapkan anak dapat menunjukkan sikap yang

tenang jika selalu memberikan contoh yang buruk.

e. Anak merasa lelah, lapar atau dalam keadaan sakit

Kondisi sakit, lelah serta lapar dapat menyebabkan anak menjadi rewel.

Anak yang tidak pandai mengungkapkan apa yang dirasakan maka

kecenderungan yang timbul adalah rewel, menangis serta bertindak

agresif (Zaviera, 2008).

f. Anak sedang stress dan merasa tidak aman

Anak yang merasa terancam, tidak nyaman dan stress apalagi bila tidak

dapat memecahkan permasalahannya sendiri ditambah lagi lingkungan

sekitar yang tidak mendukung menjadi pemicu anak menjadi temper

tantrum (Zaviera, 2008).

Pemicu tantrum menurut Purnamasari (2005) menyebutkan bahwa :


23

a. Mencari perhatian

Walaupun tantrum jarang dilakukan hanya untuk memanipulasi orangtua,

jika hasil dari tantrum adalah perhatian penuh orang dewasa, hal ini

memberi alasan untuk mulai menunjukkan tantrum.

b. Meminta sesuatu yang tidak bisa ia miliki

Anak memaksa ingin sarapan es krim atau meminta ibunya memeluknya

saat menyiapkan makanan.

c. Ingin menunjukkan kemandirian

Anak ingin mengenakan pakaian yang kurang sesuai dengan cuaca hari

itu, seperti kaus di hari-hari yang dingin, atau tidak mau makan makanan

yang sudah disiapkan.

d. Frustasi dengan kemampuan yang terbatas untuk melakukan aktivitas

yang ia coba, anak ingin menunjukkan kemampuannya melakukan

beberapa hal sendiri, seperti berpakaian, atau menemukan potongan

puzle, tetapi tidak bisa berhasil menyelesaikannya.

e. Cemburu

Biasanya ditunjukkan kepada kakak, adik atau lain. Ia menginginkan

mainan atau buku mereka.

f. Menantang otoritas

Anak tiba-tiba tidak ingin melakukan rutinitas seperti rutinitas sebelum

tidur, atau menolak berangkat ke tempat penitipan anak, walaupun ia

selalu senang di sana.

g. Semata-mata keras kepala


24

Seorang anak bisa saja menunjukkan tantrum apapun yang terjadi

C. Tinjauan Umum tentang Pola Asuh Orang Tua

1. Pengertian Pola Asuh

Pola asuh orang tua adalah pola perilaku orang tua yang diterapkan

pada anak yang bersifat relatif dan konsisten dari waktu kewaktu. Pola

perilaku ini dapat dirasakan oleh anak dari segi negative maupun positif

(Drey, 2006).

Pada dasarnya pola asuh dapat diartikan seluruh cara perlakuan orang

tua yang diterapkan pada anak. Banyak ahli mengatakan pengasuhan anak

adalah bagian penting dan mendasar, menyiapkan anak untuk menjadi

masyarakat yang baik. Terlihat bahwa pengasuhan anak menunjuk kepada

pendidikan umum yang diterapkan. Pengasuhan terhadap anak berupa suatu

proses interaksi antara orang tua dengan anak. Interaksi tersebut mencakup

perawatan seperti dari mencukupi kebutuhan makan, mendorong

keberhasilan dan melindungi, maupun mensosialisasi yaitu mengajarkan

tingkah laku umum yang diterima oleh masyarakat (Jas & Rahmadiana,

2004).

Pendampingan orang tua diwujudkan melalui pendidikan cara- cara

orang tua dalam mendidik anaknya. Cara orang tua mendidik anaknya

disebut sebagai pola pengasuhan. Dalam interaksinya dengan orang tua anak

cenderung menggunakan cara-cara tertentu yang dianggap paling baik bagi

anak. Disinilah letaknya terj adi beberapa perbedaan dalam pola asuh.

Disuatu sisi orang tua harus bisa menentukan pola asuh apa yang tepat
25

dalam mempertimbangkan kebutuhan dan situasi anak, disisi lain sebagai

orang tua juga mempunyai keinginan dan harapan untuk membentuk anak

menjadi seseorang yang dicita citakan yang tentunya lebih baik dari orang

tuanya (Jas & Rahmadiana, 2004).

Setiap upaya yang dilakukan dalam mendidik anak, mutlak didahului

oleh tampilnya sikap orang tua dalam mengasuh anak meliputi :

a. Perilaku yang patut dicontoh.

Artinya setiap perilakunya tidak sekedar perilaku yang bersifat mekanik,

tetapi harus didasarkan pada kesadaran bahwa perilakunya akan

dijadikan lahan peniruan dan identifikasi bagi anak anaknya. Orangtua

yang tidak dapat bertindak konsisten antara apa yang diucapkan dengan

apa yang diperbuat dapat memberikan penilaian yang negatif pada anak.

Akhirnya anak akan protes yang salah satu caranya adalah dengan

bertindak temper tantrum.

b. Kesadaran diri.

Ini juga harus ditularkan pada anak anak dengan mendorong mereka agar

perilaku kesehariannya taat kepada nilai-nilai moral. Oleh sebab itu

orang tua senantiasa membantu mereka agar mampu melakukan

observasi diri melalui komunikasi dialogis, baik secara verbal maupun

non verbal tentang perilaku. Hal ini apabila tertanam dengan baik dalam

diri anak maka anak akan mengetahui dan memahami batasan- batasan

yang diperbolehkan sehingga dapat meminimalisir tindakan tantrum.


26

c. Komunikasi

Komunikasi dialogis yang terj adi antara orang tua dan anak-anaknya,

terutama yang berhubungan dengan upaya membantu mereka untuk

memecahkan permasalahnya. Orangtua yang menerapkan pola

komunikasi yang baik dengan anak, akan membentuk hubungan yang

baik antara anak dengan orangtua. Anak yang memiliki kedekatan

emosional yang tinggi terhadap orangtua akan ada kecenderungan untuk

mengungkapkan keinginan dengan baik sehingga didapatkan pemecahan

masalah dengan baik pula. Oleh karena itu cara ini diharapkan dapat

mengurangi tindakan tantrum pada anak.

2. Bentuk Pola Asuh

Menurut Drey (2006), terdapat 4 macam pola asuh orang tua :

a. Pola asuh Otoriter

Para orang tua cenderung menetapkan standar yang mutlak harus

dituruti, biasanya bersamaan dengan ancaman-ancaman. Misalnya kalau

tidak mau makan, maka tidak akan diajak bicara. Orang tua cenderung

memaksa, memerintah, menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan

apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tidak seggan

menghukum anaknya. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi

dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah dan orang tua tidak

memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya

(Drey, 2006).
27

Pola asuh Otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang

penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka

melanggar norma, berkepribadian lemah dan menarik diri. Berkaitan dengan

perilaku gemar menentang, melanggar norma dan bertindak agresif

merupakan ciri dari temper tantrum (Drey, 2006).

Menurut Kartono (1992), ada beberapa pendekatan yang diikuti

orangtua dalam berhubungan dan mendidik anak-anaknya salah satu di

antaranya adalah sikap dan pendidikan otoriter. Pola asuh otoriter ditandai

dengan ciri-ciri sikap orangtua yang kaku dan keras dalam menerapkan

peraturan-peraturan maupun disiplin. Orangtua bersikap memaksa dengan

selalu menuntut kepatuhan anak, agar bertingkah laku seperti yang

dikehendaki oleh orangtuanya. Karena orangtua tidak mempunyai pegangan

mengenai cara bagaimana mereka harus mendidik, maka timbullah berbagai

sikap orang tua yang mendidik menurut apa yang dinggap terbaik oleh

mereka sendiri, diantaranya adalah dengan hukuman dan sikap acuh tak

acuh, sikap ini dapat menimbulkan ketegangandan ketidaknyamanan,

sehingga memungkinkan kericuhan di dalam rumah.

b. Pola asuh Demokratis

Pola asuh yang mempentingkan kepentingan anak, akan tetapi tidak

ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap

rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran pemikiran

dan orang tua bersikap realitis terhadap kemampuan anak, memberikan


28

kebebasan pada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan dan

pendekatannya pada anak bersifat hangat (Drey, 2006).

Pola asuh demokratis akan menghasilkan karekteristik anak yang

mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan

temannya dan mempunyai minat terhadap hal-hal baru. Pola asuh

demokratis ini membantu anak untuk untuk dapat mengembangkan diri

berdasarkan kemampuannya. Hasil dari pola asuh ini adalah adanya kontrol

diri yang bagus pada anak sehingga dapat mengurangi temper tantrumnya.

Hurlock (2014) berpendapat bahwa pola asuh demokrasi adalah salah

satu tehnik atau cara mendidik dan membimbing anak, di mana orangtua

bersikap terbuka terhadap tuntutan dan pendapat yang dikemukakan anak,

kemudian mendiskusikan hal tersebut bersama- sama. Pola inilebih

memusatkan perhatian pada aspek pendidikan daripada aspek

hukuman,orangtua memberikan peraturan yang luas serta memberikan

penjelasan tentang sebab diberikannya hukuman serta imbalan tersebut.

Hurlock (2014) mengatakan bahwa pola asuh demokrasi ditandai dengan

sikap menerima, responsif, berorientasi pada kebutuhan anak yang disertai

dengan tuntutan, kontrol dan pembatasan. Jadi penerapan pola asuh

demokrasi dapat memberikan keleluasaan anak untuk menyampaikan segala

persoalan yang dialaminya tanpa ada perasaan takut, keleluasaan yang

diberikan orangtua tidak bersifat mutlak akan tetapi adanya kontrol dan

pembatasan berdasarkan norma-norma yang ada.


29

c. Pola asuh Permisif

Orang tua memberikan pengawasan yang sangat longgar, memberikan

kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang

cukup darinya. Orang tua cenderung tidak menegur atau memperingatkan

anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang

diberikan oleh orang tua. Namun orang tua tipe ini biasanya hangat

sehingga sering disukai anak.

Pola asuh Permisif akan menghasilkan karekteristik anak yang

impulsiv, agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri,

kurang percaya diri, dan kurang matang secara sosial. Kecenderungan untuk

mendapatkan sesuatu menjadi suatu keharusan, sehingga apabila tidak

terpenuhi maka anak akan menunjukkan marahnya dengan temper tantrum.

Pola asuh permisif dikatakan pola asuh tanpa disiplin sama sekali.

Orangtua enggan bersikap terbukaterhadap tuntutan dan pendapat yang

dikemukakan anak. Menurut Kartono (1992) dalam pola asuh permisif,

orangtua memberikan kebebasan sepenuhnya dan anak diijinkan membuat

keputusan sendiri tentang langkah apa yang akan dilakukan, orangtua tidak

pernah memberikan pengarahan dan penjelasan kepada anak tentang apa

yang sebaiknya dilakukan anak. Dalam polaasuh permisif hampir tidak ada

komunikasi antara anak dengan orangtua serta tanpa ada disiplin sama

sekali.
30

d. Pola asuh campuran

Pola asuh campuran adalah orangtua yang tidak konsisten dalam

mengasuh anak. Orangtua terombang-ambing antara tipe demokratis,

otoriter atau permisif. Orangtua mungkin menghadapi sifat anak dari waktu-

kewaktu dengan cara berbeda, contohnya orangtua bisa memukul anaknya

ketika anak menolak perintah orangtua, pada kesempatan lain orangtua

mengabaikan anak bila anak melanggar perintah orangtua.

3. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh

Adapun faktor yang mempengaruhi pola asuh anak adalah :

a. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua serta pengalaman sangat

berpengaruh dalam mengasuh anak (Anwar, 2000).

b. Lingkungan

Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak

mustahil jika lingkungan juga ikut serta mewarnai pola-pola pengasuhan

yang diberikan orang tua terhadap anaknya (Anwar, 2000).

c. Budaya

Sering kali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh

masyarakat dalam mengasuh anak, kebiasaan-kebiasaan masyarakat

disekitarnya dalam mengasuh anak. Karena pola-pola tersebut dianggap

berhasil dalam mendidik anak kearah kematangan. Orang tua

mengharapkan kelak anaknya dapat diterima dimasyarakat dengan baik,

oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam mengasuh


31

anak juga mempengaruhi setiap orang tua dalam memberikan pola asuh

terhadap anaknya (Anwar, 2000)…

4. Cara mengukur pola asuh

Pola asuh yang dibedakan atas bentuk otoriter, demokratis dan

permisif maka cara pengukuran pola asuh didasarkan pada hasil kuesioner

yang berisikan tentang penerapan pola asuh orangtua. Pengklasifikasiannya

didasarkan pada kecenderungan hasil jawaban yang mengarah pada bentuk

pola asuh otoriter, demokratis atau permisif.

D. Tinjauan umum tentang Pola Komunikasi

1. Definisi komunikasi orang tua

Pada awal mulanya, istilah komunikasi atau dalam bahasa

Inggris communication adalah kata yang berasal dari bahasa Latin

communicatio dan communis yang mempunyai arti sama makna.

Dengan arti sama makna, sebuah komunikasi diantara 2 orang terjadi

minimal adanya kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan

(Effendy, 2011 h.9). Menurut (Nurjaman & Umam, 2012 h.36) Komunikasi

adalah kata yang mencakup segala bentuk interaksi dengan orang lain

yang berupa percakapan biasa, membujuk, mengajar, dan negosiasi. (Keith

David, 2010) mengungkapkan bahwa communication in the process of

passing information and undarstanding frome one person to another yang

artinya suatu proses penyampaian dan pemahaman dari seseorang

kepada orang lain. Sedangkan menurut (oxford university press tahun 2010

h. 213) menjelaskan bahwa komunikasi adalah pengirim atau bertukar


32

informasi. Wilbur Schramm, seorang pakar dari Standford University,

mendefinisikan komunikasi sebagai “the sharing of an orientationtoward a

set of information signs” (Hasan, 2011 h.17).

Nasrudin (2016 h.199) mengatakan bahwa anak belajar dari orang

tua yang berasal dari piliha-pilihan kata yang diucapkan pada anak-

anak. Orang tua biasanya memberikan sosialisasi langsung kepada

anak-anaknya tentang komunikasi yang baik (Nasrudin, 2016 h.199).

Komunikasi Orang tua menurut Suryo Subroto (dalam Ilyas, 2004)

anak sangat penting bagi perkembangan kepribadian anak. Apabila

komunikasi orang tua berpengaruh baik kepada anaknya maka hal itu

akan menyebabkan anak berkembang baik pula, suasana komunikasi

orang tua kepada anak dirumah mempunyai peranan penting dalam

menentukan kehidupan anak sekolah. Orang tua harus menjadi rumah

sebagai wadah untuk berkomunikasi secara intens dengan anaknya.

Jadi dari beberapa definisi yang telah diuraikan diatas, maka

komunikasi antara orang tua dengan anak yang dimaksud yaitu suatu

interaksi yang dilakukan oleh orang tua dengan anak dalam keluarga

untuk memberikan kehangatan, enyamanan, perhatian, kasih saying,

bimbingnan, memberikan contoh perilaku yang baik kepada anak

dengan menanamkan nilai- nilai budi pekerti yang baik yang semua itu

bertujuan agar terbentuk perilaku yang baik pada anak baik dalam

lingkungan keluarga, sekolah ataupun masyarakat.


33

2. Sifat Komunikasi

Komunikasi dapat ditinjau dari sifatnya yang dikelompokkan menjadi

empat, yaitu (Effendi, 2011 h.53):

a. Komunikasi Verbal (verbal communication):

1) Komunikasi lisan (oral communication).

2) Komunikasi tulisan / cetak (written communication).

b. Komunikasi Nirverbal (nonverbal communication):

1) Komunikasi yang mencakup komunikasi kial/ isyarat badan (body

communication).

2) Komunikasi gambar(pictorial communication).

c. Komunikasi tatap muka (face-to-face communication).

d. Komunikasi bermedia (mediated communication).

3. Unsur-unsur komunikasi

Menurut (Nurudi,2016 h. 41-57) mengatakan bahwa terdiri dari :

a. Komunikator

Seseorang yang mengirim pesan atau sumber informasi.

b. Pesan. Segala sesuatu yang berbentuk verbal maupun non verbal yang

disampaikan komunikator kepada penerima pesan.

c. Media

Alat bantu untuk memindahkan pesan dari komunikator ke komunikan.

d. Komunikan

Orang yang menjadi sasaran pesan yang dikrim (penerima pesan).

e. Pengaruh
34

Perbedaan antara apa yang dipikirkan,dirasakan, dan dilakukan oleh

komunikan sebelum dan sesudah menerima pesan.

f. Umpan balik (feedback)

Suatu respon balik dari komunikan. Umpan balik tidak akan terjadi jika

tidak ada komunikan, sementara komunikan ada karena ada komunikator.

g. Lingkungan

Lingkungan dapat mempengaruhi komunikasi, jika lingkungan yang

bising akan menganggu konsentrasi dalam berkomunikasi.

4. Unsur-unsur komunikasi

Menurut (Effendy, 2011 hal. 55) Komunikasi berfungsi untuk:

a. Menginformasikan to inform

b. Mendidik to educate

c. Menghibur to entertain

d. Mempengaruhi to influence

Selain itu (Robbins&Judge, 2011 h.5) mengungkapkan bahwa fungsi

komunikasi adalah sebagai berikut :

a. Kontrol

Fungsi ini menjelaskan bahwa untuk mengontrol perilaku anggota

dalam suatu organisasi diperlukan cara-cara dalam bertindak. Organisasi

memiliki hierarki otoritas dan garis panduan formal yang patut ditaati

oleh karyawan. Contohnya adalah ketika seorang anak diwajibkan

untuk mengomunikasikan segala keluhan yang di alami.


35

b. Motivasi

Komunikasi menjaga motivasi dilakukan dengan cara menjelaskan

kepada anggota mengenai apa yang harus dilakuka ketika kemauan

tidak dituruti.

c. Ekspresi emosional

Fungsi komunikasi ini adalah sebagai jalan keluar dari perasaan-

perasaan anggotanya dalam memenuhi kebutuhan sosial.

d. Informasi

Komunikasi mempunyai peran sebagai pemberi informasi yang

dibutuhkan baik oleh individu maupun kelompok yang digunakan

untuk mendapatkan pengetahuan.

Jika pendidikannya kurang maka pengetahuan orang tua kurang

dalam memberikan informasi-informasi baik kepada anak karena

pendidikan berperan penting dalam merawat,mengasuh anaknya

(Werdiningsih, 2012).

Dengan demikian, penulis dapat menyimpulkan dari beberapa uraian

diatas bahwasanya komunikasi yang dianggap sebagai suatu kebutuhan

yang sangat vital dalam kegidupan manusia memiliki beberapa fungsi

seperti yang telah diuraikan diatas dari beberapa pendapat para ahli antara

lain yaitu sebagai suatu saran untuk mengungkapkan segala perasaan kasih

sayang, perhatian serta dapat menambah keakraban dan keterbukaan

antara orang tua dengan anak/ keluarga dan dapat perkomunikasi

dengan baik dan memberikan barometer terhadap anak.


36

5. Karakteristik komunikasi yang efektif

Menurut (Widjaja, 2000 h.127) karakteristik komunikasi antar

pribadi, sebagai berikut :

a. Keterbukaan

b. Empati

c. Dukungan

d. Rasa Positif

e. Kesetaraan/kesamaan

Menurut (Yusrizal, 2005) mengatakan bahwa secara umum

komunikas dinilai efektif bila rangsangan yang disampaikan dan

dimaksudkan oleh pengirim atau sumber brkaitan erat dengan rangsangan

yang ditangkap dan dipahami oleh penerima. Ada 5 cara untuk mengukur

komunikasi yang efektif: pemahaman, kesenangan,mempengaruhi sikap,

memperbaiki hubungan dan tindakan.

Sedangkan Menurut Elizabeth B. Hurlock (2014) bahwa ada

beberapa ciri orang tua yang komunikatif antara lain, yaitu:

a. Melakukan berbagai hal untuk anak.

b. Bersifat cukup permisif dan luwes.

c. Adil dalam disiplin menjaga individual anak.

d. Menciptakan suasana hangat, bukan suasana yang penuh ketakutan.

e. Memberi contoh yang baik.

f. Menjadi teman baik dan menemani anak dalam bebagai kegiatan.

g. Bersikap baik untuk sebagian besar waktu.


37

h. Menunjukkan kasih sayang yang baik terhadap anak (perhatian).

i. Menaruh simpati bila anak sedih atau mengalami kesulitan.

j. Mencoba membuat suasana rumah bahagia

k. Memberi kemandirian yang sesuai dengan usia anak.

Menurut (Wulandari, 2013) Komunikasi yang diharapkan adalah

komunikasi yang efektif, komunikasi yang efektif dapat menimbulkan

pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang baik dan

tindakan. (Wulandari, 2013) juga mengatakan Mengatakan komunikasi

merupakan faktor penting dalam pengasuhan dan cara orang tua

berkomunikasi dipengaruhi gaya pengasuhan. Ada 4 dimensi penting dalam

pengasuhan yaitu cara penerapan disiplin, kehangatan dan pelayanan pada

anak, cara komunikasi, dan harapan terhadap kematangan dan kontrol

Menurut (Wulandari ,2013).

Menurut (Dowshen, 2009) Bila komunikasi orang tua positif atau

baik kepada anak akan memberikan dampak yang besar terhadap

perkembangan anak diantaranya yaitu: membatu perkembangan

kognitif,terutama bahasa anak, meningkatkan harga diri, ketaatan yang

lebih baik kepada standar moral, sesuai dengan harapan orang tua dan

berkurangnya permasalahan prilaku anak.

E. Tinjauan umum tentang Pendidikan

1. Definisi Pendidikan Ibu

Pendidikan adalah dalam bahasa romawi terdapat istilaheducate yang

artinya membawa keluar (sesuatu yang ada di dalam). Dalam bahasa Jerman
38

ada istilah ziehen yang artinya menarik (lawan dari mendorong). Dalam

bahasa jerman, pendidikan juga disalin dengan istilah erziehung, yang

juga berarti menarik keluar atau mengeluarkan (Effendi, 2011).

Tingkat pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan

berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan

dicapai dan kemauan yang dikembangkan. Tingkat pendidikan

berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat

pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat

untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku

dan gaya hidup sehari- hari, khususnya dalam hal kesehatan (Suhardjo,

2007).

Berdasarkan definisi-definisi di atas, pendidikan dapat diartikan

sebagai suatu kegiatan yang secara sadar dan disengaja, serta penuh

tanggung jawab yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak

sehingga timbul interaksi dari keduanya agar anak tersebut mencapai

kedewasaan yang dicita-citakan dan berlangsung terus menerus.

2. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan dapat dibedakan berdasarkan tingkatan-tingkatan

tertentu seperti:

a. Pendidikan dasar awal selama 9 tahun meliputi SD, SMP.

b. Pendidikan lanjut yang meliputi:

1) Pendidikan menengah minimal 3 Tahun meliputi, SMA atau sederajat.


39

2) Pendidikan Tinggi meliputi diploma, sarjana, magister doktor, dan

spesialis yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi (Kumalasari,

2014).

H. Kerangka teori

Perkembangan emosi anak dipengaruhi oleh perubahan pola

interaksi dan pola komunikasi dalam keluarga Menurut (Hurlock, 2003).

Faktor penyebab anak mengalami temper tantrum antara lain: Faktor fisiologis,

yaitu lelah, lapar atau sakit; Faktor psikologis, antara lain anak mengalami

kegagalan, dan orangtua yang terlalu menuntut anak sesuai harapan orangtua;

Faktor orangtua, yakni pola asuh dan komunikasi; dan Faktor lingkungan,

yaitu lingkungan keluarga dan lingkungan luar rumah (Kirana, 2013).


40

Bagan Kerangka teori

Faktor fisiologis Faktor Psikologis Faktor Orang tua Faktor Lingkungan

1. Anak 1. Lingkungan
1. Lelah mengalami Keluarga
2. Lapar 1. Pola asuh
kegagalan 2. Lingkungan luar
3. Sakit 2. Pola komunikasi
2. Tuntutan orang rumah
tua

Faktor fisiologis

: Hubungan tidak langsung


: Hubungan langsung
Sumber : Modifikasi penulis disesuaikan dari Hurlock dalam Kirana, 2013
41

BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka

hubungan antara konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian

yang akan dilakukan. (Notoatmodjo, 2012).

Berikut gambar bagan kerangka konsep penelitian:

Faktor Faktor Psikologis Faktor Orang tua Faktor


fisiologis Lingkungan

3. Anak 3. Lingkungan
1. Lelah mengalami 3. Pola asuh Keluarga
2. Lapar kegagalan 4. Pola 4. Lingkungan
3. Sakit 4. Tuntutan komunikasi luar rumah
orang tua

Kejadian
Temper
tantrum

Keterangan:

: Variabel bebas
: variable terikat
Gambar 3. 1. Kerangka Konsep
42

B. Defenisi Operasional Dan Kriteria Objektif

Tabel 3. 1. Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Kriteria Objektif Cara Ukur/ Alat Skala


Ukur Pengukuran

Temper Suatu luapan emosi pada Beresiko : 41-80 Kuesioner Ordinal


tantrum anak ketika keinginannya Tidak Beresiko : 20-40 Selalu : 4
1 tidak sesuai dengan yang (Ridwan, 2013) Sering : 3
diharapakan Kadang-kadang : 2
1. Merengek
Tidak pernah :1
2. Mengamuk
3. Menangis
4. Menjerit
5. Menghentakkan kaki
6. Membenturkan kepala
7. Melempar barang atau merusak
8. Memukul atau menendang
9. Membanting badan kelantai atau berguling
2 Pola Asuh Banyaknya anggota Pola 1. Mengambil keputusan dengan musyawarah Wawancara/Kuesioner Ordinal
asuh orangtua adalah 2. Menghukum anak dengan mencari alasannya
bentuk pengasuhan 3. Disiplin yang dipaksakan
orangtua untuk 4. Hubungan dengan keluarga Kurang
menanamkan disiplin 5. Peraturan dan disiplin dengan memperhatikan
pada anaknya, yang anak
43

akhirnya akan 6. Menghadapi masalah dengan tenang


membentuk kepribadian 7. Komunikasi dua arah
dan perilaku anak. 8. Pengambilan keputusan hanya dari orang tua
9. Anak bebas bertingkah laku
10. Memberi kebutuhan materi saja
3 Pola Suatu interaksi yang Baik bila :67-100% kuesioner Ordinal
Komunikasi dilakukan orang tua Cukup bila :34-66%
dengan anak dalam Kurang bila 0-33%
keluarga untuk (Nursalam, 2014)
memberikan kehangatan,
kenyamanan, perhatian, 1. Keakraban
kasih saying, memberikan 2. Keterbukaan
contoh perilaku yang baik 3. Perhatian
kepada anak
5 Pendidikan Jenjang atau tingkat 1. Tinggi (Perguruan Tinggi) Wawancara/Kuesioner Ordinal
pendidikan formal yang 2. Menengah (SMA/SMK)
telah dilalui 3. Dasar (SD dan SMP)
(Pidarta, 2009).
oleh ibu.
44

C. Hipotesis penelitian

1. Adapun hipotesis nol dari penelitian ini adalah:

a. Tidak ada hubungan antara pola asuh dengan kejadian temper taktrum di

Taman Kanak-Kanak Negeri Pembina Kabupaten Jeneponto.

b. Tidak ada hubungan antara Pendidikan kesehatan orang tua dengan

kejadian temper taktrum di Taman Kanak-Kanak Negeri Pembina

Kabupaten Jeneponto.

c. Tidak ada hubungan antara pola komunikasi dengan kejadian temper

taktrum di Taman Kanak-Kanak Negeri Pembina Kabupaten Jeneponto

2. Adapun hipotesis alternative dari penelitian ini adalah:

a. Ada hubungan antara pola asuh dengan kejadian temper taktrum di

Taman Kanak-Kanak Negeri Pembina Kabupaten Jeneponto.

b. Ada hubungan antara Pendidikan kesehatan orang tua dengan kejadian

temper taktrum di Taman Kanak-Kanak Negeri Pembina Kabupaten

Jeneponto.

c. Ada hubungan antara pola komunikasi dengan kejadian temper taktrum

di Taman Kanak-Kanak Negeri Pembina Kabupaten Jeneponto


45

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian analitik. Penelitian

analitik adalah suatu studi menemukan fakta dengan intepretasi yang tepat

dan hasil penelitian diolah dengan menggunakan uji ststistik, untuk

mengetahui tingkat hubungan antar dua variabel tanpa melakukan perubahan,

tambahan dan manipulasi terhadap data yang sudah ada menurut Nursalam

(2013).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Jeneponto. Adapun lokasi dan

waktu pelaksanaan penelitian yaitu sebagai berikut:

1. Waktu : Juli-Agustus 2019

2. Lokasi : Taman Kanak-kanak Negeri Pembina Kabupaten Jeneponto.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi penelitian

Populasi adalah objek penelitian atau objek yang akan diteliti

(Notoatmojo, 2012). Populasi dalam penelitian ini adalah semua orang tua

di Taman Kanak-kanak Negeri Pembina Kabupaten Jeneponto sejumlah 32

orang tua.

2. Sampel penelitian

Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh

populasi (Notoatmodjo,2012). Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian


46

orang tua di Taman Kanak-kanak Negeri Pembina Kabupaten Jeneponto

berjumlah 30 orang tua.

D. Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh melalui

pengumpulan data yang berupa data primer dan sekunder.

a. Data primer

Pengumpulan data dilakukan langsung oleh peneliti dengan

melakukan wawancara dan pengisian kuesioner pada Ibu anak selaku

responden. Sebelum mengisi kuesioner, responden mendapatkan penjelasan

tentang tujuan dan cara pengisian kuesioner dari peneliti.

b. Data sekunder

Data sekunder diperoleh dari institusi atau pihak lain yang dapat

dipercaya, yaitu data dari guru Taman Kanak-kanak Negeri Pembina

Kabupaten Jeneponto.

E. Instrumen Penelitian

Instrument penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Alat Tulis

2. Kuesioner

Kuesioner pada penelitian ini berupa kuisoner tertulis dan

digunakan untuk memperoleh data atau informasi dari responden tentang

faktor yang berhubungan kejadian temper tantrum pada anak melalui

wawancara langsung. Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik

responden (identitas ibu dan anak).


47

F. Pengolahan dan Penyajian Data

Setelah semua data dikumpulkan, dilakukan tahap-tahap pengolahan data

yang meliputi:

1. Editing, merupakan langkah untuk meneliti kelengkapan data yang

diperoleh melalui wawancara.

2. Koding, merupakan langkah memberikan kode pada masing-masing

jawaban untuk memudahkan pengolahan data.

3. Tabulasi, merupakan pengelompokan data berdasarkan variabel yang diteliti

yang disajikan dalam tabel frekuensi.

Data yang telah dianalisis disajikan dalam bentuk tabel dan narasi untuk

membahas hasil penelitian.

G. Analis Data

1. Analisa Univariat

Analisa univariat digunakan untuk melihat distribusi frekuensi

variabel independen yaitu pola asuh, pola komunikasi, pendidikan serta

variabel dependen yaitu kejadian temper tantrum yang dibuat dalam bentuk

distribusi frekuensi. Analisis dilakukan dengan menggunakan program

komputer yaitu SPSS untuk mengetahui distribusi frekuensi nilai

maksimum dan nilai minumum dari masing-masing variabel. Analisis

tersebut selanjutn nya diinterpretasikan secara deksriptif untuk melihat

gambaran distribusi responden, gambaran dari masing-masing variabel,

baik variabel independen, variabel dependen, maupun karakteristik

responden.
48

2. Analisa Bivariat

Analisa ini diperlukan untuk menguji hubungan antara masing-

masing variabel bebas yaitu tingkat pendidikan ibu dan variabel terikat yaitu

praktek pemberian makanan atau minuman. Dalam analisa ini uji statistik

yang digunakan adalah Chi Square dengan pengukuran signifiknsi nilai

yang diperoleh lebih kecil dari p-Value 0.05. Karena variabel yang diteliti

berskala interval, ordinal, dan menggunakan lebih dari dua kelompok

sampel tidak berpasangan (Sopiyudin, 2014).


49

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia. Perusahaan, Cetakan Ke-2, PT.
Remaja Rosda Karya, Bandun
Dariyo. Agoes. 2014. Psikologi perkembangan anak tiga tahun pertama.
Bandung:Refika Aditama.
Dowshen, S., Izenberg N & Bass E. 2009. Panduan Kesehatan Balita Petunjuk
Lengkap untuk Orang tua dari Masa Kehamilan Sampai Usia Anak 5
Tahun Buku Kesatu. Jakarta : Rajawali Sport pp. 175-7
Drey, Hancock DL. 2006. The Bactrocera dorsalis complex of fruit flies (Diptera:
Tepritidae: Dacinae) in Asia. Bul of Entomol Res Supp (2):68.
Effendy, Onong Ucyana. 2011. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Hames Penney. 2015. Menghadapi dan Mengatasi Anak yang Suka Ngamuk.
Jakarta: PT Gramedia.
Hayes, Eileen. 2013. Tantrum. Jakarta: Erlangga
Hurlock Elizabeth.B. 2014. perkembangan anak. Erlangga : Jakarta.
Jas & Rahmadiana, 2004. Mengkomunikasikan Moral Pada Anak. Jakarta: PT
Elex Komputindo.
Kartono, 2014. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta : PT Raja. Grafindo
Persada
Kirana, Rizkia Sekar. 2013. Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Temper
Tantrum Pada Anak Pra Sekolah.
Nasrudin. 2016. Ilmu komunikasi : ilmiah dan populer. Ed.1,Cet.1.Rajawali
Pers: Jakarta.
Nursalam, 2014. Konsep dan penerapan metode penelitian ilmu keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika
Patmonodewo, Soemiarti. 2013. Pendidikan Anak Prasekolah. Jakarta:Asdi
Mahasatya
Pidarta, Made. 2009. Supervisi Pendidikan Kontekstual. Jakarta : Rineka Cipta
Purnamasari. 2005. Research design penelitiaan kualitatif, kuantitatif dan mixed.
Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Robbins & Judge, 2011. Perilaku organisasi. Salemba Empat: Jakarta
Rosa Maria Suwarni Yiw’Wiyouf, Amatus Yudi Ismanto, Abram Babakal. 2017.
Hubungan Pola Komunikasi Dengan Kejadian Temper Tantrum Pada
50

Anak Usia Pra Sekolah Di Tk Islamic Center Manado.Volume 5 Nomor


1, Februari 2017. Universitas Sam Ratulangi Manado

Soetijiningsih, Christiana Hari. 1995. Perkembangan Anak. Jakarta: Prenada


Media Group.
Sri Mulyanti, Sunarsih Rahayu. 2014. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang
Pola Asuh Terhadap Kejadian Tantrum Pada Anak Usia Prasekolah.
Volume 3, No 2, November 2014 Kementerian Kesehatan Politeknik
Kesehatan Surakarta Jurusan Keperawatan.
Wesiana Heris Santy, Titi Alifina Irtanti. 2014. Pola Asuh Orang Tua
Mempengaruhi Temper Tantrum Pada Anak Usia 2-4 Tahun Di Paud
Darun Najah Desa Gading, Jatirejo, Mojokerto. 74. Jurnal Ilmiah
Kesehatan, Vol 7, No12, Pebruari 2014., hal73-81. UNUSA.
Werdiningsih, 2012. Peran Ibu Dalam Pemenuhan Kebutuhan Dasar Anak
Terhadap Perkembangan Anak USia Prasekolah.
Wong, Donna. 2009. Pedoman Klinis Keperawatan Klinis Pediatric. EGC:
Jakarta.
Wulandari, Agustin. 2013. Pelatihan komunikasi efektif meningkatkan
pengetahuan ibu dalam mengatasi tantrum pada anak pra sekolah.
http://lib.ui.ac.id.pdf.
Yusrizal, 2005. Pengertian dan arti pentingnya Komunikasi, jenis dan prosesnya
komunikasi, komunikasi efektif dan implikasi manajerial.
https://Fajarbahri.blogspot.com/
Zaviera, 2008. Mengenali dan memahami tumbuh kembang anak. Jogjakarta:
Kata Hati.

Anda mungkin juga menyukai