Anda di halaman 1dari 13

PENERAPAN SUGESTI DAN SENTUHAN KASIH SAYANG DALAM

MENGATASI TANTRUM PADA ANAK HYPERACTIVE

Maufidatul Hasanah, Aji Zulhaqim, Amalia Nabilah Fatin, Lela Nurafifah

Fakultas Psikologi, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

ABSTRAK

Setiap anak akan melewati tahap perkembangan sesuai dengan usia nya. Menurut Erikson
dalam Wade, Tavris & Garry (2014) bahwasannya setiap anak tentu akan melewati delapan
fase dalam hidupnya antara lain yaitu kepercayaan versus ketidakpercayaan; otonomi versus
ragu-ragu; inisiatif versus rasa bersalah; kompetensi versus inferioritas; identitas versus
kebingungan identitas; keintiman versus isolasi; generativitas versus stagnasi; dan integritas
ego versus keputusasaan. Salah satu aspek emosional pada tahap perkembangan anak sering
ditemui pada usia pra-sekolah, yang mana biasanya pada anak di usia ini temper tantrum
dialami seperti menangis, guling-gulin, berteriak, dan berkata kasar. Biasanya ada orangtua
yang kesulitan dala mengatasi anak yang sedang temper tantrum. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui apakah pemberian sugesti dan sentuhan kasih sayang dapat mengatasi
tantrum pada anak hiperaktif. Dan penelitian ini didasarkan pada argumen bahwa
pengambilan sikap yang tepat oleh orang tua pada saat anak mengalami tantrum akan mampu
mengatasi kondisi tantrum tersebut.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini metode pendekatan kualitatif dengan jenis
penelitian studi kasus. Studi kasus (case study) adalah penelitian tentang status subjek yang
berkenaan dengan suatu fase spesifik dari keseluruhan personal. Metode pengumpulan data
nya melalui observasi, wawancara dan dokumentasi.

Kata Kunci: Anak, Perkembangan, Tantrum, Hyperaktif, Penanganan, dan kasih sayang

PENDAHULUAN

Pada setiap anak tentu akan melewati tahap-tahap perkembangan selama hidupnya,
mengenai perkembangan penting bagi setiap orang tua untuk mengetahui dan memahami
pentingnya tahap-tahap perkembangan pada anak. Karena hal tersebut akan menentukan cara
orang tua dalam mengambil sikap untuk mengatasi setiap perilaku pada anaknya. Menurut
Erikson dalam Wade, Tavris & Garry (2014) bahwasannya setiap anak tentu akan melewati
delapan fase dalam hidupnya antara lain yaitu kepercayaan versus ketidakpercayaan; otonomi
versus ragu-ragu; inisiatif versus rasa bersalah; kompetensi versus inferioritas; identitas
versus kebingungan identitas; keintiman versus isolasi; generativitas versus stagnasi; dan
integritas ego versus keputusasaan. Yang mana pada setiap fasenya memiliki ciri berupa
tantangan psikologis yang pada dasarnya harus diselesaikan sebelum melanjutkan pada fase
selanjutnya. Dan menurut Wade, Tavris & Garry (2014) dalam perkembangan anak terdapat
beberapa aspek yang perlu diperhatikan yaitu aspek emosional seperti kelekatan; aspek
kognitif seperti perkembangan Bahasa dan berpikir; aspek moral seperti pengedalian diri dan
hati Nurani; aspek gender. Ketiga aspek tersebut distimulasi dengan baik agar tahap
perkembangan anak berlangsung dengan baik.

Salah satu aspek emosional pada tahap perkembangan anak sering ditemui pada usia
pra-sekolah, yang mana biasanya pada anak di usia ini temper tantrum dialami seperti
menangis, guling-gulin, berteriak, dan berkata kasar. Pada kondisi seperti itu orang tua sering
kali mengalami kesulitan dalam mengatasinya. Dan tidak jarang orang tua salah dalam
mengambil sikap ketika menghadapi anak dengan kondisi temper tantrum ini, seperti
memberikan hukuman kepada anak berupa hukuman verbal seperti kata-kata kasar dan
bahkan hukuman fisik seperti memukul, mencubit dan lain sebagainya. hal tersebut justru
akan memperparah kondisi perilaku tantrum anak (Fithriyah, Setiawati, & Yuniar, 2019).
Temper 4 tantrum sendiri dapat dikatakan normal jika hanya berlangsung selama
perkembangan pada usia 1 hingga 4 tahun yang mana pada usia tersebut tugas perkembangan
anak adalah berupa pengendalian emosi dalam menghadapi emosiemosi negatif seperti
kebingungan, putus asa, kemarahan, bosan dan lain sebagainya dan hal tersebut hanya
berlangsung sekitar 10-15 menit. Dan bagi anak yang mengalami temper tantrum hingga usia
lima tahun dan kondisi tersebut bertahan hingga 15 menit atau lebih, dan pada kondiis
tersebut anak mengalami kegagalan dalam meregulasi emosinya, yang kemudian
memunculkan perilaku impulsive, hyperactive, dan sulit untuk ditenangkan (Fithriyah,
Setiawati, & Yuniar, 2019).

Sikap orang tua dalam menghadapi temper tantrum anak adalah yang dapat
menentukan perilaku anak. Orang tua yang mengetahui tahap perkembangan anak dengan
baik dan cara bersikap dalam mengatasi setiap kondisi anak pada setiap fase
perkembangannya akan membantu anak untuk dapat meregulasi emosinya dengan baik.
Berbagai strategi yang dapat digunakan untuk menangani anak dengan temper tantrum
menurut Fetsch et al (2013) dan Harrington (2013) dalam Fithriyah, Setiawati, & Yuniar
(2019) adalah dengan belajar untuk dapat mengendalikan kemarahan seperti dengan
memberikan sugerti yang baik dan memberikan sentuhan kasih sayang ketika anak tantrum;
mengalihkan perhatian anak atau dengan memberikan pengarahan kepada anak; memberikan
intruksi yang singkat dan jelas; mengetahui penyebab temper tantrum pada anak, tidak
mempermalukan anak, memberitahu anak mengenai tingkatan atau jenis amarah;
memberikan Batasan yang jelas dalam mengatasi kemarahan yang disesuaikan dengan usia,
kemampuan dan kondisi tempramen anak; memberikan reward; menjalin komunikasi yang
baik agar anak terbuka; dan mengajarkan anak untuk care dan memiliki sikap empati.
Berdasarkan pada uraian di atas, peneliian ini bertujuan untuk mengetahui apakah
pemberian sugesti dan sentuhan kasih sayang dapat mengatasi tantrum pada anak hiperaktif.
Dan penelitian ini didasarkan pada argumen bahwa pengambilan sikap yang tepat oleh orang
tua pada saat anak mengalami tantrum akan mampu mengatasi kondisi tantrum tersebut.

LANDASAN TEORI

1. Sugesti

Dalam KBBI sugesti adalah merupakan suatu pendapat, anjuran, arahan, saran,
dorongan dan lain sebagainya yang diberikan seseorang dengan tujuan untuk
dipertimbangkan yang kemudian dapat menggerakan hati individu dalam melakukan
sesuatu atau dalam berperilaku. Dan dikutip dari exploring your mind (2017) definisi
sugesti adalah merupakan suatu proses psikologis yang di dalamnya terdapat aspek
manipulasi dengan menggunakan indikator-indikator berupa adegan, kata-kata, situasi,
ataupun gambar.

Menurut Lorens (2010) dan Tasmin (2008) dalam Syamsuddin (2013)


menyatakan bahwa ketika menghadapi anak tantrum terdapat salah satu tindakan yang
perlu dilakukan adalah membujuk, memberikan argument, memberikan sugesti,
memberikan nasihat-nasihat moral dengan tujuan anak dapat meregulasi emosinya
dengan baik. Dan dalam teori Hull dalam exploring your mind (2017) bahwasannya
setiap individu akan mengikuti suatu pola atau arahan sesuai dengan yang mereka dengar
ataupun yang mereka lihat.

2. Sentuhan Kasih Sayang


a. Definisi

Menurut Tasmin dalam Syamsuddin (2013) Bahwasannya dalam menghadapi


anak tantrum alangkah baiknya anak diberikan sentuhan kasih sayang berupa pelukan
atau dekapan. Akan tetapi berbeda dengan kondisi tantrum anak yang memunculkan
sikap meronta-ronta, memukul, mencakar dan lain sebagainya. Karena hal tersebut
ditakutkan akan memicu sikap orang tua untuk bertindak kasar atas perilaku anak
tersebut. dan dalam kondisi tersebut orang tua harus dapat mengontrol emosinya
dengan baik dan berusaha untuk sabar dan tidak terprovokasi oleh lingkungan sekitar.
Sentuhan menurut Suhendro, Sujianto, & Kusuma (2020) adalah merupakan salah
satu Teknik terapi yang efektif digunakan untuk intervensi dalam penanganan suatu
perawatan individu dengan kasus-kasus tertentu. Terapi sentuhan sendiri ada sejak
tahun 1970 yang diperkenalkan oleh Delores Krieger dan Dora Kuntz. Sebagai suatu
Teknik intervensi terhadap perawatan non invansif yang diambil dari proses
penyembuhan di dunia timur kuno.

Mengenai bentuk-bentuk sentuhan disimpulkan dari definisi sentuhan menurut


KBBI yang menyatakan bahwa sentuhan merupakan suatu perbuatan yang berbentuk
singgungan, senggolan, sentuhan. Yang mana hal tersebut dapat disimpulkan bahwa
sentuhan dapat berupa pelukan, elusan, pegangan dan lain sebagainya. Dan berangkat
dari definisi yang dikemukakan oleh Tasmin dalam syamsuddin (2013) mengetai
salah satu contoh bentuk sentuhan kasih sayang adalah berupa pelukan atau dekapan.
Konsep pelukan sendiri menurut Puspita dalam Kasyifatussaja (2019) adalah suatu
magnet yang dapat merekatkan suatu hubungan, yang dapat meredakan rasa marah
sehingga terciptanya rasa tenang, hingga dapat menghilangkan rasa takut dan
memunculkan rasa nyaman dan terlindungi.

b. Manfaat Sentuhan Kasih Sayang

Menurut Zarman dalam Kasyifatussaja (2019) terdapat tiga manfaat yang dapat
diperoleh dari pemberian tentuhan kasih sayang pada anak antara lain sebagai berikut:

1) Dapat mendekatkan jiwa seorang anak dengan orang tua


2) Memunculkan kepercayaan pada diri anak terhadap orang tuanya sehingga
anak mampu bersikap terbuka kepada orang tua
3) Dan mampu memberikan dampak positif bagi anak terutama pada
perkembangan emosional anak.
3. Temper Tantrum

Temper tantrum merupakan perilaku yang pada umumnya terjadi pada anak usia
prasekolah, yang mana kondisi ini biasanya ditandai dengan luapan emosi yang
berlebihan seperti kemarahan yang dikaibatkan oleh kondisi anak yang tidak dapat
meregulasi emosinya dengan baik. Dan perilaku temper tantrum ini ditunjukkan dengan
sikap-sikap seperti menentang, berontak, marah, keras kepala, berteriak, berkata kasar,
berkuling-guling, memukul, menendang, membenturkan kepalanya ke tembok dan sikap
negative lainnya. Hal tersebut tentu dapat mamunculkan distress pada orang sekitar
terutama orang tua (Fithriyah, Setiawati, & Yuniar, 2019).

Dalam menangani temper tantrum menurut Sisterhen & Wy (2021) terdapat


menejemen strategi yang dapat digunakan ketika orang tua tidak dapat menghindari
amukan seorang anak dan hal tersebut dapat meminimalisisr stressor pada orang tua.
Strategi tersebut adalah R.I.D.D. yang mana strategi tersebut merupakan singkatan dari
empat aspek antara lain sebagai berikut:

1) R (Remain calm) atau tetap tenang. Orang tua dapat memberikan sugesti atau
arahan secara tegas dengan nada netral contoh “tidak menggigit”. Ketika seorang
pengasuh atau orang tua menggunakan pendekatan yang tenang dalam
menghadapi anak temper tantrum maka itu akan berguna untuk mengalihkan
fokus anak. Dan untuk instruksi yang diberikan disesuaikan dengan usia anak.
2) I (Ignore the tantrum) atau mengabaikan amukan anak
3) D (Distract the child) atau bisa dikatakan mengajak anak uuntuk keluar
meninggalkan tempat hingga perilaku tantrumnya berhenti
4) D (Do say “yes”) atau mengatakan iya untuk memenuhi kebutuhan fisik dan
keamana anak. Mungkin hal ini bisa dilakukan sambil memeluk, mengelus,
memegang tangannya dan lain sebagainya. namun pada aspek keempat ini orang
tua harus bijak dalam menuruti tuntutan seorang anak karena tidak selamanya
tuntutan anak ketika tantrum harus diikuti. Dan hal tersebut harus dilakukan
karena orang tua yyang selalu mengikuti tuntutan seorang anak justru akan
memperkuat perilaku tantrum anak atau perilaku yang tidak diinginkan lainnya.

mengenai kondisi temper tantrum ekstrem dan atipikal dapat terlihat dalam
berbagai keadaan perilaku, proses perkembangan, dan psikiatri. Dan dalam mendiagnosa
seorang anak dengan temper tantrum juga seorang professional harus mempertimbangkan
banyak hal seperti gangguan yang dimiliki, control impuls pada anak, dan perilaku anak
seperti gangguan menentang oposisi, gangguan terkait trauma seperti PTSD, dan
gangguan pada perkembangan saraf pada anak seperti gangguan hiperaktif defisit
perhatian, autisme, ketidakmampuan belajar, defisit pendengaran, dan defisit penglihatan
(Sisterhen & Wy, 2021).

4. Hiperaktif
ADHD (Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder) menurut Center for Integrated
Healtcare (2013) adalah merupakan gangguan neurologis yang ditandai dengan gejala
kurangnya perhatian atau hiperaktivitas-impulsif yang sering terjadi dan parah serta
memiliki pola yang terus-menerus. Terdapat dua gangguan utama yang berkaitan dengan
ADHD antara lain sebagai berikut:

1) Kekurangan perhatian Pada gangguan deficit perhatian atau kurang pehatian


terdapat gejala-gejala sebagai berikut:
a. Kecerobohan atau perhatian yang buruk terhadap detail-detail tertentu
b. Kesulitan dalam mempertahankan perhatian
c. Tampaknya tidak mendengarkan
d. Sering mengalami kegagalan dalam menyelesaikan tugas
e. Kesulitan dalam berorganisasi
f. Menghindari atau tidak menyukai tugas yang membutuhkan focus yang tinggi
g. Mudah kehilangan sesuatu
h. Mudah terganggu
i. Cepat melupakan aktivitas sehari-hari
Tipe Anak ADHD

Para ahli mempunyai perbedaan pendapat mengenai pembagian anak hiperaktif.


Namun demikian, secara umum mereka membagi ADHD kedalam tiga tipe kategori.
Pertama, tipe anak yang tidak bisa memusatkan perhatian. Anak yang mengalami jenis
gangguan ini sangat mudah terganggu perhatiannya, tetapi tidak sampai pada taraf
hiperaktif atau impulsif. Gejala ini kebanyakan terjadi pada anak perempuan dimana
mereka pada umumnya tidak menunjukkan gejala hiporeaktif. Anak dengan gejala ini
sering melamun serta dapat digambarkan seperti sedang berada di awang-awang. Kedua,
tipe anak yang hiperaktif dan impulsif. Anak dengan jenis gangguan ini menunjukkan
gejala yang sangat hiperaktif dan impulsif, tetapi masih mampu memusatkan perhatian.
Tipe ini seringkali ditemukan pada anak kecil. Ketiga, tipe gabungan.Anak dengan jenis
gangguan ini sangat mudah terganggu perhatiannya, hiperaktif serta impulsif.
Kebanyakan anak termasuk tipe seperti ini.

Jadi, yang dimaksud hiperaktif adalah suatu pola perilaku kepada seseorang yang
menunjukkan sikap tidak mau diam, tak terkendali serta enggan memperhatikan dan
impulsif (berbuat sekehendak hatinya). Anak hiperaktif selalu bergerak dan tidak pernah
merasakan asyiknya permainan yang disukai anak lain seusia mereka. Hal tersebut
disebabkan perhatian mereka cepat beralih. Mereka seakan-akan tidak berhenti mencari
sesuatu yang menarik dan mengasyikkan, tetapi tak kunjung ditemui.

Penanganana ADHD

Kesalahan mendasar dalam penanganan ADHD adalah memandangnya sebagai


suatu diagnosis. Sesungguhnya ADHD bukanlah suatu penyakit, melainkan sekumpulan
gejala yang dapat disebabkan oleh beragam penyakit dan beberapa gangguan sehingga
tidaklah tepat dalam pemberian obat atau pendekatan yang sama kepada anak yang
mengalami ADHD tanpa mendalami terlebih dahulu gangguan atau penyakit yang
melatar belakanginya.

Perlu diketahui, ADHD tidak dapat di sembuhkan, tetapi dapat dikurangi


gejalanya. Terdapat empat cara yang dapat dilakukan yaitu:

1) Terapi
2) Obat
3) Lingkungan
a. Rumah

Beberapa hal yang dapat dilakukan di rumah adalah pengaturan waktu,


ruangan untuk melakukan aktivitas, dan mungkin tempat untuk anak jika
ingin menyendiri.

b. Sekolah
Beberapa hal yang perlu diperhatikan disekolah misalnya ruang kelas serta
kerjasama dan perhatian guru. Ini dilakukan misalnya dengan membuatkan
kartu yang berisi kegiatan anak dalam satu hari beserta dengan keterangan
apakah Ia sudah melakukannya dengan baik.
c. Teman
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dengan teman adalah dengan cara
mengawasi permainannya, misalnya mencari tahu apa yang akan ia mainkan
dan berapa jumlah temannya. Untuk menghindari agar anak berpasangan
diusahakan agar teman yang Beberapa hal yang perlu diperhatikan dengan
teman adalah dengan cara mengawasi permainannya, misalnya mencari tahu
apa yang akan ia mainkan dan berapa jumlah temannya. Untuk menghindari
agar anak berpasangan diusahakan agar teman yang ada setidaknya tiga orang
atau berjumlah ganjil. Ajarkan kemampuan yang belum dikenal.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus.
Penelitian berlokasi di tempat tinggal subjek yaitu di daerah Karang Tengah, Kota
Tangerang. Waktu Penelitian dilaksanakan selama 3 minggu. Subjek penelitian yang
mengalami hiperaktif dalam keadaan tantrum adalah anak berinisial DS. DS saat ini berusia 5
tahun.

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara, observasi dan
dokumentasi.

a. Metode wawancara

Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin


melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan
juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan
jumlah respondennya sedikit/kecil. Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan
data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan
yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden
yang lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit/kecil. Teknik pengumpulan data
ini mendasarkan diri pada laporan tentang diri sendiri atau self-report, atau setidak-
tidaknya pada pengetahuan dan atau keyakinan pribadi.

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan teknik wawancara tidak


terstruktur artinya wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman
wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan
datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar
permasalahan yang akan ditanyakan.

b. Metode Observasi

Observasi sebagai teknik pengumpulan data mempunyai ciri yang spesifik bila
dibandingkan dengan teknik yang lain, yaitu wawancara. Observasi merupakan suatu
proses yang kompleks, suatu proses yang Observasi sebagai teknik pengumpulan data
mempunyai ciri yang spesifik bila dibandingkan dengan teknik yang lain, yaitu
wawancara. Observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang
tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologis. Dua di antara yang terpenting
adalah proses-proses pengamatan dan ingatan.

Metode observasi merupakan sebuah teknik pengumpulan data yang


mengharuskan peneliti turun ke lapangan mengamati hal-hal yang berkaitan dengan
ruang, tempat, pelaku, kegiatan, benda-benda, waktu, peristiwa, tujuan dan perasaan.
Tetapi tidak semua perlu diamati oleh peneliti, hanya hal-hal yang terkait atau sangat
relevan dengan data yang dibutuhkan. Observasi yang dilakukan peneliti adalah melihat,
meneliti dan melakukan pencatatan terhadap hal-hal yang terkait perilaku tantrum pada
anak hiperaktif

c. Dokumentasi

Dokumentasi dalam penelitian ini digunakan untuk mengumpulkan data dari


sumber-sumber non-insani. Data ini akan depergunakan sebagai data pelengkap yang
telah diperoleh melalui metode interview dan observasi. Penggunaan studi dokumentasi
ini didasarkan pada lima alasan. Pertama, sumber-sumber ini tersedia dan murah. Kedua,
dokumen dan rekaman merupakan sumber informasi yang stabil, akurat, dan dapat
dianalisis kembali. Ketiga, dokumen dan rekaman merupakan sumber informasi yang
kaya, secara kontekstual relevan dan mendasar dalam konteksnya. Keempat, sumber ini
merupakan pernyataan legal yang dapat memenuhi akuntabilitas, dan kelima, sumber ini
bersifat non-reaktif, sehingga tidak sukar ditemukan dengan teknik kajian isi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian yang dilakukan di tempat tinggal subjek yang berada di Karang Tengah,
Kota Tangerang menemukan gejala-gejala hiperaktif dan suka mengalami tantrum yang
ditunjukkan oleh subjek yaitu DS yang berusia 5 tahun. Menurut keterangan orangtua,
hiperaktif yang dialami DS muncul sejak DS berusia 3 tahun. DS sudah pernah melakukan
pemeriksaan di psikiater, dan DS di diagnosa mengalami ADHD (attention deficit
hyperactivity disorder). ADHD adalah gangguan mental yang menyebabkan anak sulit
memusatkan perhatian, serta memiliki perilaku impulsif dan hiperaktif. Seperti yang
diungkapkan orang tua subjek berikut:

“DS aktif dari umur 3 tahun. Sebelumnya dia seperti anak kecil pada umumnya.
Akhirnya saat umur 5 tahun saya perikasakan ke psikiater. Dan DS didiagnosa
mengalami ADHD. Dia dikasih obat yang harus diminum secara rutin. Dan melakukan
banyak terapi”

Setelah melakukan observasi DS menunjukkan gejala gejala antara lain:

1. Tidak bisa melakukan aktivitas dengan tenang


2. Tidak bisa mengikuti instruksi untuk mengerjakan sesuatu
3. Sering berlari-lari atau memanjat disaat yang tidak tepat
4. Tidak suka aktivitas yang banyak memusatkan perhatian.
5. Sering kehilangan barang yang digunakan sehari-hari
6. Selalu ingin bergerak.
7. Suka mengalami tantrum atau menjatuhkan diri saat ada yang subjek tidak sukai.

Dari hasil observasi dan melihat gejala-gejala yang ditunjukkan oleh DS, peneliti
dapat mendiagnosis bahwa subyek tersebut mengalami kesulitan dalam konsentrasi pada satu
kegiatan, mudah beralih perhatian, sering berteriak tidak jelas dan sulit untuk bisa duduk
dengan tenang dan DS juga suka tantrum yang menyebabkan DS menjatuhkan dirinya dan
mengamuk. Orang tua subjek juga mengungkapkan bahwa:

“DS sebelum umur 3 tahun, sangat pintar bernyanyi dan berhitung. Tetapi setelah umur
3 tahun DS tidak bisa berkonsentrasi dan mulai aktif. Seperti berlari, teriak teriak, tidak
bisa fokus ke satu kegiatan saja”

Penanganan anak yang hiperaktif atau mengalami ADHD dapat melalui diberikannya
terapi, meminum obat dengan rutin, situasi lingkungan yang memperhatikan kondisi subjek,
dan yang terpenting diberikannya penerapan sugesti dan kasih sayang. Hal tersebut
diungkapkan oleh orang tua subjek

“DS pernah terapi wicara, terapi perilaku dan mengkonsumsi obat yang diberikan oleh
psikiater agar dia bisa lebih tenang. Tapi karena biaya nya sangat mahal, saya dan
keluarga tidak bisa melanjutkan terapi tersebut dan mengajarkan DS sebisa saya di
rumah. DS sering mengalami tantrum saat apa yang dia mau tidak di turuti dan saat ada
yang dia tidak suka seperti suara motor yang sangat kencang pasti dia akan mengamuk”

Jika Orangtua sudah mengetahui bahwa anaknya mengalami hiperaktif, orangtua


harus bisa menerima kondisi tersebu dan memberikan kasih sayang kepada anak tersebut
tetapi tidak memanjakan. Anak yang mengalami hiperaktif membutuhkan kasih sayang dan
perhatian yang lebih karena seberapa besar kasih sayang yang diberikan kepadanya tidak
akan pernah bisa “penuh”. Orangtua juga tidak boleh memberikan hukuman kepada anak
hiperaktif, cukup beriikan penguatan positif dengan memberikan pujian ketika ia berhasil
menyelesaikan tugas tertentu dan memberikan pelukan saat anak tersebut sedang mengalami
tantrum atau mengamuk.

Treatment ini coba dilakukan dan diterapkan pada DS. Pertama kali dilakukan saat
DS mengalami tantrum karena tidak diperbolehkan untuk bermain air terus menerus, DS
mengamuk dan menjatuhkan diri. Ibu DS mencoba untuk memegang tangan DS dan
memfokuskan mata DS untuk melihat ibunya sambil berbicara bahwa itu tidak baik. Setelah
DS sedikit tenang, Ibu DS memeluknya dan DS pun berhenti tantrum dan tidak mengamuk
lagi. Treatment kedua dilakukan saat DS mendengar suara motor yang sangat kencang, dan
dia merasa terganggu dengan suara itu. Menyebabkan DS mengamuk dan membantingkan
dirinya ke lantai. Ibunya mencoba melakukan treatment itu lagi dengan memegang tangannya
dan memeluknya. Kedua kalinya treatment ini berhasil menenangkan DS yang sedang
tantrum. Treatment ini dilakukan dengan berulang kali dan berhasil.

“Sebelumnya saat DS tantrum, saya hanya menuruti kemauanya saja dia akan berenti
mengamuk. Tapi setelah saya mencoba memberikan treatment yang kasih sayang seperti
memgang tangan saat DS mengamuk, memberikan sugesti bahwa hal yang dilaukan itu tidak
baik, sampai memeluknya saat ia sedang mengamuk. Treatment ini cukup berhasil saat saya
menangani DS yang sedang tantrum.

Di dalam membimbing anak yang mengalami hiperaktif ADHD. Penanganan yang


dilakukan oleh orangtua DS dengan berupa teguran kepada anak apabila melakukan
kesalahan dan membiarkan saat DS mengalami tantrum karena tidak mengerti kemauan DS.
Menurut peneliti, tindakan yang dilakukan orangtua DS tidak tepat karena cenderung akan
meningkatkan hiperaktivitas anak. Tindakan yang seharusnya dilakukan oleh orangtua untuk
menangani anak hiperaktif salah satunya menggunakan sentuhan kasih sayang yang lebih
berupa pelukan dan sugesti bahwa hal yang dilakukan tersebut tidak baik dengan berbicara
dengan pelan.

Pada penelitian terdahulu penulis tidak menjumpai penelitian yang sama dengan
penelitian yang dilakukan kali ini. Tetapi, penulis mendapatkan beberapa hasil penelitian
yang memilliki relevensi terhadap penelitian yang akan dilakukan. Penelitian oleh Wina
Winawaty mengenai upaya yang dilakukan oleh guru dalam mengatasi anak yang berperilaku
temper tantrum, 30 hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa strategi yang diterapkan oleh
guru ketika mengatasi anak temper tantrum, adalah dengan mengabaikan perilaku buruk anak
yang dapat memicu kembali perilaku tantrumnya. Strategi berikutnya adalah, dengan
mengajarkan kepada anak bagaimana seharusnya mengungkapkan emosi kemarahan dengan
tanpa mengamuk dan melakukan tindakan negatif yang dapat merugikan diri sendiri maupun
orang lain. Guru juga memberikan treatment, pada anak yang sedang tantrum berupa pelukan
sebagai wujud kasih sayang. Jika anak sudah mulai tenang, maka akan mengajak bicara anak
dan memberikan contoh agar perilaku tantrumnya sedikit demi sedikit dapat berkurang.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian melalui observasi dan wawancara maka disimpulkan


bahwa dengan pemberian sugesti dan kasih yang lebih dapat menangani anak hiperaktif bisa
dikatakan efektif. Hal ini dibuktikan setelah pemberian treatment sugesti dan kasih sayang
lebih pada anak hiperaktif ada perubahan sikap dari DS lebih bisa mengetahui ada hal hal
atau sikap yang tidak baik untuk dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan
keaktifan atau anak hiperaktif menurun. Orangtua yang memiliki anak hiperaktif dapat
menggunakan treatment sugesti dan memberikan sentuhan kasih sayang yang lebih untuk
mengatasi anak hiperaktif.

DAFTAR PUSTAKA
Bungin, B. (2001). Metodologi Penelitian Sosial: Format-format Kuantitatif dan Kualitatif.
Surabaya: Airlangga University Press.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia (3 ed.).
Jakarta: Pusat Bahasa Dep. Pendidikan Nasional: Balai Pustaka.

Exploring your mind. (2017, January 15). Psychology: The Power of Suggestion. Retrieved
from Exploring Your Mind: https://exploringyourmind.com/the-power-of-suggestion/

Fithriyah, I., Setiawati, Y., & Yuniar, S. (2019). Mengatasi Temper Tantrum PADA ANAK
PRASEKOLAH. Surabaya: Airlangga University Press.

Healthcare, Center For Integrated. (2013, July). Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder.


Retrieved from CIH Center for Integrated Healthcare: https://www.mirecc.va.gov/cih-
visn2/Documents/Patient_Education_Handouts/ADHD_Patient_Information_Version
_3.pdf
Kasyifatussaja, S. (2019). PENGARUH SENTUHAN KASIH SAYANG ORANG TUA
TERHADAP PELAKSANAAN DISIPLIN SALAT ANAK. Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah .

Moleong, L. J. (2013). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Patternotte, A., & Buittelar, J. (2010). ADHD (Attention Deficit Hiperactivity Disorder)
Tanda-tanda, Diagnosis, Terapi, serta Penanganannya di Rumah dan di Sekolah. (J.
M. tiel, Trans.) Jakarta: Prenada.

Sisterhen, L. L., & Wy, P. A. (2021, July 2). Temper Tantrums. Retrieved from National
Library of Medicine National Center for Biotechnology Information:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK544286/

Suhendro, A., Sujianto, U., & Kusuma, H. (2020). MODUL TERAPI SENTUHAN
QUANTUM PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIS YANG MENJALANI
HEMODIALISA. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Syamsuddin. (2013). MENGENAL PERILAKU TANTRUM DAN BAGAIMANA


MENGATASINYA (UNDERSTANDING TANTRUM BEHAVIOR AND HOW TO
SOLVE IT). Informasi, 73-82.

Wade, C., Tavris, C., & Garry, M. (2014). PSIKOLOGI. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai