ABSTRAK
Setiap anak akan melewati tahap perkembangan sesuai dengan usia nya. Menurut Erikson
dalam Wade, Tavris & Garry (2014) bahwasannya setiap anak tentu akan melewati delapan
fase dalam hidupnya antara lain yaitu kepercayaan versus ketidakpercayaan; otonomi versus
ragu-ragu; inisiatif versus rasa bersalah; kompetensi versus inferioritas; identitas versus
kebingungan identitas; keintiman versus isolasi; generativitas versus stagnasi; dan integritas
ego versus keputusasaan. Salah satu aspek emosional pada tahap perkembangan anak sering
ditemui pada usia pra-sekolah, yang mana biasanya pada anak di usia ini temper tantrum
dialami seperti menangis, guling-gulin, berteriak, dan berkata kasar. Biasanya ada orangtua
yang kesulitan dala mengatasi anak yang sedang temper tantrum. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui apakah pemberian sugesti dan sentuhan kasih sayang dapat mengatasi
tantrum pada anak hiperaktif. Dan penelitian ini didasarkan pada argumen bahwa
pengambilan sikap yang tepat oleh orang tua pada saat anak mengalami tantrum akan mampu
mengatasi kondisi tantrum tersebut.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini metode pendekatan kualitatif dengan jenis
penelitian studi kasus. Studi kasus (case study) adalah penelitian tentang status subjek yang
berkenaan dengan suatu fase spesifik dari keseluruhan personal. Metode pengumpulan data
nya melalui observasi, wawancara dan dokumentasi.
Kata Kunci: Anak, Perkembangan, Tantrum, Hyperaktif, Penanganan, dan kasih sayang
PENDAHULUAN
Pada setiap anak tentu akan melewati tahap-tahap perkembangan selama hidupnya,
mengenai perkembangan penting bagi setiap orang tua untuk mengetahui dan memahami
pentingnya tahap-tahap perkembangan pada anak. Karena hal tersebut akan menentukan cara
orang tua dalam mengambil sikap untuk mengatasi setiap perilaku pada anaknya. Menurut
Erikson dalam Wade, Tavris & Garry (2014) bahwasannya setiap anak tentu akan melewati
delapan fase dalam hidupnya antara lain yaitu kepercayaan versus ketidakpercayaan; otonomi
versus ragu-ragu; inisiatif versus rasa bersalah; kompetensi versus inferioritas; identitas
versus kebingungan identitas; keintiman versus isolasi; generativitas versus stagnasi; dan
integritas ego versus keputusasaan. Yang mana pada setiap fasenya memiliki ciri berupa
tantangan psikologis yang pada dasarnya harus diselesaikan sebelum melanjutkan pada fase
selanjutnya. Dan menurut Wade, Tavris & Garry (2014) dalam perkembangan anak terdapat
beberapa aspek yang perlu diperhatikan yaitu aspek emosional seperti kelekatan; aspek
kognitif seperti perkembangan Bahasa dan berpikir; aspek moral seperti pengedalian diri dan
hati Nurani; aspek gender. Ketiga aspek tersebut distimulasi dengan baik agar tahap
perkembangan anak berlangsung dengan baik.
Salah satu aspek emosional pada tahap perkembangan anak sering ditemui pada usia
pra-sekolah, yang mana biasanya pada anak di usia ini temper tantrum dialami seperti
menangis, guling-gulin, berteriak, dan berkata kasar. Pada kondisi seperti itu orang tua sering
kali mengalami kesulitan dalam mengatasinya. Dan tidak jarang orang tua salah dalam
mengambil sikap ketika menghadapi anak dengan kondisi temper tantrum ini, seperti
memberikan hukuman kepada anak berupa hukuman verbal seperti kata-kata kasar dan
bahkan hukuman fisik seperti memukul, mencubit dan lain sebagainya. hal tersebut justru
akan memperparah kondisi perilaku tantrum anak (Fithriyah, Setiawati, & Yuniar, 2019).
Temper 4 tantrum sendiri dapat dikatakan normal jika hanya berlangsung selama
perkembangan pada usia 1 hingga 4 tahun yang mana pada usia tersebut tugas perkembangan
anak adalah berupa pengendalian emosi dalam menghadapi emosiemosi negatif seperti
kebingungan, putus asa, kemarahan, bosan dan lain sebagainya dan hal tersebut hanya
berlangsung sekitar 10-15 menit. Dan bagi anak yang mengalami temper tantrum hingga usia
lima tahun dan kondisi tersebut bertahan hingga 15 menit atau lebih, dan pada kondiis
tersebut anak mengalami kegagalan dalam meregulasi emosinya, yang kemudian
memunculkan perilaku impulsive, hyperactive, dan sulit untuk ditenangkan (Fithriyah,
Setiawati, & Yuniar, 2019).
Sikap orang tua dalam menghadapi temper tantrum anak adalah yang dapat
menentukan perilaku anak. Orang tua yang mengetahui tahap perkembangan anak dengan
baik dan cara bersikap dalam mengatasi setiap kondisi anak pada setiap fase
perkembangannya akan membantu anak untuk dapat meregulasi emosinya dengan baik.
Berbagai strategi yang dapat digunakan untuk menangani anak dengan temper tantrum
menurut Fetsch et al (2013) dan Harrington (2013) dalam Fithriyah, Setiawati, & Yuniar
(2019) adalah dengan belajar untuk dapat mengendalikan kemarahan seperti dengan
memberikan sugerti yang baik dan memberikan sentuhan kasih sayang ketika anak tantrum;
mengalihkan perhatian anak atau dengan memberikan pengarahan kepada anak; memberikan
intruksi yang singkat dan jelas; mengetahui penyebab temper tantrum pada anak, tidak
mempermalukan anak, memberitahu anak mengenai tingkatan atau jenis amarah;
memberikan Batasan yang jelas dalam mengatasi kemarahan yang disesuaikan dengan usia,
kemampuan dan kondisi tempramen anak; memberikan reward; menjalin komunikasi yang
baik agar anak terbuka; dan mengajarkan anak untuk care dan memiliki sikap empati.
Berdasarkan pada uraian di atas, peneliian ini bertujuan untuk mengetahui apakah
pemberian sugesti dan sentuhan kasih sayang dapat mengatasi tantrum pada anak hiperaktif.
Dan penelitian ini didasarkan pada argumen bahwa pengambilan sikap yang tepat oleh orang
tua pada saat anak mengalami tantrum akan mampu mengatasi kondisi tantrum tersebut.
LANDASAN TEORI
1. Sugesti
Dalam KBBI sugesti adalah merupakan suatu pendapat, anjuran, arahan, saran,
dorongan dan lain sebagainya yang diberikan seseorang dengan tujuan untuk
dipertimbangkan yang kemudian dapat menggerakan hati individu dalam melakukan
sesuatu atau dalam berperilaku. Dan dikutip dari exploring your mind (2017) definisi
sugesti adalah merupakan suatu proses psikologis yang di dalamnya terdapat aspek
manipulasi dengan menggunakan indikator-indikator berupa adegan, kata-kata, situasi,
ataupun gambar.
Menurut Zarman dalam Kasyifatussaja (2019) terdapat tiga manfaat yang dapat
diperoleh dari pemberian tentuhan kasih sayang pada anak antara lain sebagai berikut:
Temper tantrum merupakan perilaku yang pada umumnya terjadi pada anak usia
prasekolah, yang mana kondisi ini biasanya ditandai dengan luapan emosi yang
berlebihan seperti kemarahan yang dikaibatkan oleh kondisi anak yang tidak dapat
meregulasi emosinya dengan baik. Dan perilaku temper tantrum ini ditunjukkan dengan
sikap-sikap seperti menentang, berontak, marah, keras kepala, berteriak, berkata kasar,
berkuling-guling, memukul, menendang, membenturkan kepalanya ke tembok dan sikap
negative lainnya. Hal tersebut tentu dapat mamunculkan distress pada orang sekitar
terutama orang tua (Fithriyah, Setiawati, & Yuniar, 2019).
1) R (Remain calm) atau tetap tenang. Orang tua dapat memberikan sugesti atau
arahan secara tegas dengan nada netral contoh “tidak menggigit”. Ketika seorang
pengasuh atau orang tua menggunakan pendekatan yang tenang dalam
menghadapi anak temper tantrum maka itu akan berguna untuk mengalihkan
fokus anak. Dan untuk instruksi yang diberikan disesuaikan dengan usia anak.
2) I (Ignore the tantrum) atau mengabaikan amukan anak
3) D (Distract the child) atau bisa dikatakan mengajak anak uuntuk keluar
meninggalkan tempat hingga perilaku tantrumnya berhenti
4) D (Do say “yes”) atau mengatakan iya untuk memenuhi kebutuhan fisik dan
keamana anak. Mungkin hal ini bisa dilakukan sambil memeluk, mengelus,
memegang tangannya dan lain sebagainya. namun pada aspek keempat ini orang
tua harus bijak dalam menuruti tuntutan seorang anak karena tidak selamanya
tuntutan anak ketika tantrum harus diikuti. Dan hal tersebut harus dilakukan
karena orang tua yyang selalu mengikuti tuntutan seorang anak justru akan
memperkuat perilaku tantrum anak atau perilaku yang tidak diinginkan lainnya.
mengenai kondisi temper tantrum ekstrem dan atipikal dapat terlihat dalam
berbagai keadaan perilaku, proses perkembangan, dan psikiatri. Dan dalam mendiagnosa
seorang anak dengan temper tantrum juga seorang professional harus mempertimbangkan
banyak hal seperti gangguan yang dimiliki, control impuls pada anak, dan perilaku anak
seperti gangguan menentang oposisi, gangguan terkait trauma seperti PTSD, dan
gangguan pada perkembangan saraf pada anak seperti gangguan hiperaktif defisit
perhatian, autisme, ketidakmampuan belajar, defisit pendengaran, dan defisit penglihatan
(Sisterhen & Wy, 2021).
4. Hiperaktif
ADHD (Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder) menurut Center for Integrated
Healtcare (2013) adalah merupakan gangguan neurologis yang ditandai dengan gejala
kurangnya perhatian atau hiperaktivitas-impulsif yang sering terjadi dan parah serta
memiliki pola yang terus-menerus. Terdapat dua gangguan utama yang berkaitan dengan
ADHD antara lain sebagai berikut:
Jadi, yang dimaksud hiperaktif adalah suatu pola perilaku kepada seseorang yang
menunjukkan sikap tidak mau diam, tak terkendali serta enggan memperhatikan dan
impulsif (berbuat sekehendak hatinya). Anak hiperaktif selalu bergerak dan tidak pernah
merasakan asyiknya permainan yang disukai anak lain seusia mereka. Hal tersebut
disebabkan perhatian mereka cepat beralih. Mereka seakan-akan tidak berhenti mencari
sesuatu yang menarik dan mengasyikkan, tetapi tak kunjung ditemui.
Penanganana ADHD
1) Terapi
2) Obat
3) Lingkungan
a. Rumah
b. Sekolah
Beberapa hal yang perlu diperhatikan disekolah misalnya ruang kelas serta
kerjasama dan perhatian guru. Ini dilakukan misalnya dengan membuatkan
kartu yang berisi kegiatan anak dalam satu hari beserta dengan keterangan
apakah Ia sudah melakukannya dengan baik.
c. Teman
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dengan teman adalah dengan cara
mengawasi permainannya, misalnya mencari tahu apa yang akan ia mainkan
dan berapa jumlah temannya. Untuk menghindari agar anak berpasangan
diusahakan agar teman yang Beberapa hal yang perlu diperhatikan dengan
teman adalah dengan cara mengawasi permainannya, misalnya mencari tahu
apa yang akan ia mainkan dan berapa jumlah temannya. Untuk menghindari
agar anak berpasangan diusahakan agar teman yang ada setidaknya tiga orang
atau berjumlah ganjil. Ajarkan kemampuan yang belum dikenal.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus.
Penelitian berlokasi di tempat tinggal subjek yaitu di daerah Karang Tengah, Kota
Tangerang. Waktu Penelitian dilaksanakan selama 3 minggu. Subjek penelitian yang
mengalami hiperaktif dalam keadaan tantrum adalah anak berinisial DS. DS saat ini berusia 5
tahun.
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara, observasi dan
dokumentasi.
a. Metode wawancara
b. Metode Observasi
Observasi sebagai teknik pengumpulan data mempunyai ciri yang spesifik bila
dibandingkan dengan teknik yang lain, yaitu wawancara. Observasi merupakan suatu
proses yang kompleks, suatu proses yang Observasi sebagai teknik pengumpulan data
mempunyai ciri yang spesifik bila dibandingkan dengan teknik yang lain, yaitu
wawancara. Observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang
tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologis. Dua di antara yang terpenting
adalah proses-proses pengamatan dan ingatan.
c. Dokumentasi
Hasil penelitian yang dilakukan di tempat tinggal subjek yang berada di Karang Tengah,
Kota Tangerang menemukan gejala-gejala hiperaktif dan suka mengalami tantrum yang
ditunjukkan oleh subjek yaitu DS yang berusia 5 tahun. Menurut keterangan orangtua,
hiperaktif yang dialami DS muncul sejak DS berusia 3 tahun. DS sudah pernah melakukan
pemeriksaan di psikiater, dan DS di diagnosa mengalami ADHD (attention deficit
hyperactivity disorder). ADHD adalah gangguan mental yang menyebabkan anak sulit
memusatkan perhatian, serta memiliki perilaku impulsif dan hiperaktif. Seperti yang
diungkapkan orang tua subjek berikut:
“DS aktif dari umur 3 tahun. Sebelumnya dia seperti anak kecil pada umumnya.
Akhirnya saat umur 5 tahun saya perikasakan ke psikiater. Dan DS didiagnosa
mengalami ADHD. Dia dikasih obat yang harus diminum secara rutin. Dan melakukan
banyak terapi”
Dari hasil observasi dan melihat gejala-gejala yang ditunjukkan oleh DS, peneliti
dapat mendiagnosis bahwa subyek tersebut mengalami kesulitan dalam konsentrasi pada satu
kegiatan, mudah beralih perhatian, sering berteriak tidak jelas dan sulit untuk bisa duduk
dengan tenang dan DS juga suka tantrum yang menyebabkan DS menjatuhkan dirinya dan
mengamuk. Orang tua subjek juga mengungkapkan bahwa:
“DS sebelum umur 3 tahun, sangat pintar bernyanyi dan berhitung. Tetapi setelah umur
3 tahun DS tidak bisa berkonsentrasi dan mulai aktif. Seperti berlari, teriak teriak, tidak
bisa fokus ke satu kegiatan saja”
Penanganan anak yang hiperaktif atau mengalami ADHD dapat melalui diberikannya
terapi, meminum obat dengan rutin, situasi lingkungan yang memperhatikan kondisi subjek,
dan yang terpenting diberikannya penerapan sugesti dan kasih sayang. Hal tersebut
diungkapkan oleh orang tua subjek
“DS pernah terapi wicara, terapi perilaku dan mengkonsumsi obat yang diberikan oleh
psikiater agar dia bisa lebih tenang. Tapi karena biaya nya sangat mahal, saya dan
keluarga tidak bisa melanjutkan terapi tersebut dan mengajarkan DS sebisa saya di
rumah. DS sering mengalami tantrum saat apa yang dia mau tidak di turuti dan saat ada
yang dia tidak suka seperti suara motor yang sangat kencang pasti dia akan mengamuk”
Treatment ini coba dilakukan dan diterapkan pada DS. Pertama kali dilakukan saat
DS mengalami tantrum karena tidak diperbolehkan untuk bermain air terus menerus, DS
mengamuk dan menjatuhkan diri. Ibu DS mencoba untuk memegang tangan DS dan
memfokuskan mata DS untuk melihat ibunya sambil berbicara bahwa itu tidak baik. Setelah
DS sedikit tenang, Ibu DS memeluknya dan DS pun berhenti tantrum dan tidak mengamuk
lagi. Treatment kedua dilakukan saat DS mendengar suara motor yang sangat kencang, dan
dia merasa terganggu dengan suara itu. Menyebabkan DS mengamuk dan membantingkan
dirinya ke lantai. Ibunya mencoba melakukan treatment itu lagi dengan memegang tangannya
dan memeluknya. Kedua kalinya treatment ini berhasil menenangkan DS yang sedang
tantrum. Treatment ini dilakukan dengan berulang kali dan berhasil.
“Sebelumnya saat DS tantrum, saya hanya menuruti kemauanya saja dia akan berenti
mengamuk. Tapi setelah saya mencoba memberikan treatment yang kasih sayang seperti
memgang tangan saat DS mengamuk, memberikan sugesti bahwa hal yang dilaukan itu tidak
baik, sampai memeluknya saat ia sedang mengamuk. Treatment ini cukup berhasil saat saya
menangani DS yang sedang tantrum.
Pada penelitian terdahulu penulis tidak menjumpai penelitian yang sama dengan
penelitian yang dilakukan kali ini. Tetapi, penulis mendapatkan beberapa hasil penelitian
yang memilliki relevensi terhadap penelitian yang akan dilakukan. Penelitian oleh Wina
Winawaty mengenai upaya yang dilakukan oleh guru dalam mengatasi anak yang berperilaku
temper tantrum, 30 hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa strategi yang diterapkan oleh
guru ketika mengatasi anak temper tantrum, adalah dengan mengabaikan perilaku buruk anak
yang dapat memicu kembali perilaku tantrumnya. Strategi berikutnya adalah, dengan
mengajarkan kepada anak bagaimana seharusnya mengungkapkan emosi kemarahan dengan
tanpa mengamuk dan melakukan tindakan negatif yang dapat merugikan diri sendiri maupun
orang lain. Guru juga memberikan treatment, pada anak yang sedang tantrum berupa pelukan
sebagai wujud kasih sayang. Jika anak sudah mulai tenang, maka akan mengajak bicara anak
dan memberikan contoh agar perilaku tantrumnya sedikit demi sedikit dapat berkurang.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, B. (2001). Metodologi Penelitian Sosial: Format-format Kuantitatif dan Kualitatif.
Surabaya: Airlangga University Press.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia (3 ed.).
Jakarta: Pusat Bahasa Dep. Pendidikan Nasional: Balai Pustaka.
Exploring your mind. (2017, January 15). Psychology: The Power of Suggestion. Retrieved
from Exploring Your Mind: https://exploringyourmind.com/the-power-of-suggestion/
Fithriyah, I., Setiawati, Y., & Yuniar, S. (2019). Mengatasi Temper Tantrum PADA ANAK
PRASEKOLAH. Surabaya: Airlangga University Press.
Patternotte, A., & Buittelar, J. (2010). ADHD (Attention Deficit Hiperactivity Disorder)
Tanda-tanda, Diagnosis, Terapi, serta Penanganannya di Rumah dan di Sekolah. (J.
M. tiel, Trans.) Jakarta: Prenada.
Sisterhen, L. L., & Wy, P. A. (2021, July 2). Temper Tantrums. Retrieved from National
Library of Medicine National Center for Biotechnology Information:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK544286/
Suhendro, A., Sujianto, U., & Kusuma, H. (2020). MODUL TERAPI SENTUHAN
QUANTUM PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIS YANG MENJALANI
HEMODIALISA. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Wade, C., Tavris, C., & Garry, M. (2014). PSIKOLOGI. Jakarta: Penerbit Erlangga.