Anda di halaman 1dari 5

PSIKOLOGI BERMAIN

CHILD-CENTERED PLAY THERAPY

Khairani Nilsa Hasian Rayhana Ramadlana Yohana Elfrida

PSIKOLOGI FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 2013

Child Centered Play Therapy Daniel S. Sweeney and Garry L. Landreth


Child-centered play therapy berasal dari teori person-centered yang memfokuskan kepada pribadi seorang anak. Dalam pendekatan ini, terapis tidak mencoba untuk mendiagnosa atau memberikan arahan dalam terapi, melainkan bertindak sebagai fasilitator untuk mengeksplorasi dalam perjalanan seorang anak menemukan dirinya. Tidak seperti pendekatan lainnya, terapis tidak terfokus kepada masalah, gejala, diagnosis dan arahan teknik. Landreth dan Sweeney (1997) :
Child-centered play therapy tidak menyembunyikan terapis dalam permainan untuk memberikan terapi, tetapi terapi ini menekankan kepada filosofi bertindak dan berperilaku dalam suatu hubungan dengan anak-anak. Diantara filosofi dasar dari kemampuan manusia dalam memunculkan dirinya, seorang anak berjuang untuk tumbuh dan menjadi dewasa dalam berperilaku dan mentolerir suatu prinsip untuk mengkonstruksikan kemampuan mengarahkan dari seorang anak. Child-centered play therapy merupakan suatu terapi yang utuh, bukan sekedar aplikasi teknik membangun kesan.

Model dasar yang dikemukakan oleh Carl Rogers (1951) dan diadaptasikan oleh Virginia Axline (1947), yang merupakan mahasiswa Rogers, sebagai child-centered dalam metode terapi bermain. Child-centered dengan pendekatan terapi bermain, seperti client-centered therapy, didasari pada proses bersama anak-anak sebagai ketidaksetujuan terhadap prosedur dari aplikasi yang pernah ada. Terapi ini bukan proses untuk memperbaiki, namun proses untuk menjadi (Landreth & Sweeney, 1999).

Child-Centered View of Maladjustment Rogers (1951) menyatakan bahwa maladjustment terjadi ketika seseorang menolak pengalaman terhadap kesadaran, dimana tidak mendapatkan simbolisasi dan pengorganisasian menjadi struktur dari diri. hal tersebut akan menyebabkan tekanan psikologis. Raskin dan Rogers (1989) merangkumnya :
Rogers, mengasumsikan bahwa bayi yang baru lahir terlibat dalam nilai-nilai langsung organisme dengan sesuatu hal yang sangat sensitif. Mereka dapat memberikan pengalaman sebagai saya dingin, aku tidak suka ini, atau aku suka dengan hal ini, meskipun mereka sangat sedikit memberikan gambaran berupa kata-kata yang hanya di tunjukkan sebagai suatu simbol. Prinsip ini merupakan proses yang alamiah, bayi yang baru lahir memiliki nilai yang positif yang mereka yakini sebagai kemampuan untuk menarik perhatian. Namun situasi berubah, anak-anak mulai terbiasa untuk mengevaluasi sekitar. Cinta yang mereka berikan dan simbolisasi dari dirinya sendiri sebagai kecintaan anak untuk menjadi ketergantungan dalam suatu tingkah laku. Ketika menolak atau membenci bayi maka bayi tersebut akan menangkap bahwa dirinya adalah hal yang buruk dan tidak dapat dicintai. Ekspresi dari rasa marah datang sebagai bentuk yang sama dengan buruk, meskipun dengan mengekspresikan rasa tersebut akan mampu menarik perhatian orang lain sebagai bentuk kepuasan diri terhadap lingkungan. Tipe dari interaksi tersebut mungkin akan memberikan kebingungan mengenai diri, diri menjadi ragu, dan ketidakmampuan menerima diri, sehingga mereka mulai mengevaluasi diri dan sekitar.

Kemampuan anak untuk menyatakan kesalahan dirinya dan keadaan nyata dirinya sebagai kebutuhan dasar, dan setiap perjuangan terus menerus sebagai suatu kepuasan dari kebutuhan. Axline (1947) menyatakan : pada dasarnya setiap orang tidak mampu menyelesaikan banyak permasalahan - siapa saja yang memberikan kesempatan untuk menjadi bebas dan mandiri dengan caranya sendiri. Sedangkan mereka yang tidak meyakini hal tersebut adalah mereka yang menolak untuk mencapai hal tersebut dengan suatu perjuangan. Kesalahpahaman dilihat sebagai hasil dari pembentukan ketidaksesuaian antara apa yang anak lakukan sebagai suatu pengalaman dengan konsep dari dirinya. Persepsi seorang anak akan ditunjukkan berupa bentuk gangguan atau penolakan, ketidaksesuaian ini akan menimbulkan gangguan psikologis.

Therapeutic Limit Setting Banyak diskusi mengenai child-centered play therapy harus masuk sebagai eksplorasi dalam keterbatasan pengaturan teknik terapi. Keterbatasan pengaturan adalah fasilitatif karena anakanak tidak merasa aman atau tidak merasa diterima dalam lingkungan bebas yang utuh. Moustakes (1959) :

Keterbatasan ada dalam setiap hubungan. Manusia merupakan makhluk yang bebas untuk tumbuh dan berkembang dengan keterbatasan potensial dan talenta dan struktur. Dalam psikoterapi, haruslah kebebasan dalam integritas dan menawarkan keterlibatan individu untuk mengaktualisasikan potensinya. Keterbatasan merupakan salah satu dari aspek pengalaman kehidupan, dimana identifikasi, karakter, dan penekanan hubungan dalam terapi. Keterbatasan terbentuk atau terstruktur dari hubungan langsung. Hal ini tidak saja unik tapi juga dapat memungkinkan kehidupan, tumbuh dan pengarahan keterbatasan. Dalam hubungan terapi, keterbatasan menyediakan batasan.

Dasar dari rasional untuk pengaturan ruangan bermain : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Membatasi batasan dalam hubungan terapi Membatasi penyediaan pengamanan dan keselamatan anak, antara fisik dan emosi Membatasi penggambaran terapis untuk memberikan keselamatan anak Membatasi jangkar dari setiap sesi realitas Membatasi pengizinan terapis dengan positif dan penerimaan sikap anak Membatasi pengizinan anak untuk mengekspresikan perasaan negatif tanpa sebab untuk merusak dan menyebabkan perasaan takut yang akan membuat anak merasa harus mendapatkan hukuman 7. Membatasi kestabilan dan kekonsistenan 8. Membatasi pemberitahuan dan penarikan anak terhadap tanggung jawab diri dan kontrol diri 9. Membatasi pemberitahuan mengenai katarsis dengan simbol yang ada 10. Membatasi pengamanan di dalam ruangan 11. Membatasi legal, etika dan standar profesionalisme Landret menyatakan bahwa terapi ini lebih menekankan aksi daripada reaksi :
Pengetahuan mengenai perasaan, harapan dan apa yang diinginkan anak, dimana pengenalan merupakan pemberitahuan untuk merespon terhadap anak dengan refleks dan penerimaan. Membatasi merupakan respon untuk lebih mampu membaca emosi anak dan pengenalan dari dalam diri. Komunikasi batasan mengenai tidak adanya hukuman dan tidak adanya otoritas. Target penerimaan alternatif. Mengenalkan bahwa anak tetap dapat membutuhkan untuk mengekspresikan diri dan seharusnya mampu untuk menerima batasan.

Hal ini menjadi penting, karena membatasi tidak harus dibentuk hingga hal tersebut dibutuhkan. Menyediakan daftar mengenai aktivitas yang dapat dilakukan di awal terapi bermain akan mengurangi kepercayaan diri atau fasilitas eksplorasi dan ekspresi dengan anak. Ketika batasan dibutuhkan, maka terapis haruslah memberikan suatu pembuktian nyata dan

sebab mengapa hal tersebut harus dilakukan agar anak tidak merasa dikritik. Batasan juga harus spesifik dan haruslah total jangan terkondisi dan tidak mengekang,

Anda mungkin juga menyukai