Anda di halaman 1dari 22

TINJAUAN PUSTAKA

ASMA BRONKIAL

1. Definisi
Definisi asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang
melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan
hiperresponsi jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa
mengi sesak napas, dada terasa berat dan batuk – batuk terutama pada malam dan
dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas,
bervariasi dan sering kali bersifar reversible dengan atau tanpa pengobatan.

2. Epidemiologi
Di Indonesia, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013
didapatkan hasil prevalensi nasional untuk penyakit asma pada semua umur
adalah 4,5 % . Menurut WHO (World Health Organization) tahun 2011, 235 juta
orang di seluruh dunia menderita asma dengan angka kematian lebih dari 8% di
negara-negara berkembang yang sebenarnya dapat dicegah. National Center for
Health Statistics (NCHS) pada tahun 2011, mengatakan bahwa prevalensi asma
menurut usia sebesar 9,5% pada anak dan 8,2% pada dewasa, sedangkan menurut
jenis kelamin 7,2% laki-laki dan 9,7% perempuan.

3. Faktor Risiko
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host
factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik
yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik
(atopi), hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan
mempengaruhi individu dengan kecenderungan/predisposisi asma untuk
berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau
menyebabkan gejala- gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan
yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi
pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga.

1
4. Klasifikasi
Tidak mudah membedakan antara satu jenis asma dengan jenis asma lainnya.
Dahulu asma dibedakan menjadi asma alergi (ekstrinsik) yang muncul pada waktu
kanak-kanak dengan mekanisme serangan melalui reaksi alergi tipe 1 terhadap
alergen dan asma non-alergik (intrinsik) bila tidak ditemukan reaksi
hipersensitivitas terhadap alergen. Namun, dalam prakteknya seringkali
ditemukan seorang pasien dengan kedua sifat alergi dan non-alergi, sehingga Mc
Connel dan Holgate membagi asma kedalam 3 kategori, 1) Asma
alergi/ekstrinsik; 2) Asma non-alergi/intrinsik; 3) Asma yang berkaitan dengan
penyakit paru obstruksif kronik.
Klasifikasi berdasarkan derajat berat serangan asma menurut Global Initiative
for Asthma (GINA), dibagi menjadi tiga kategori: 1). Asma ringan : asma
intermiten dan asma persisten ringan; 2) Asma sedang : asma persisten sedang; 3)
Asma berat : asma persisten berat.
Baru-baru ini, GINA mengajukan klasifikasi asma berdasarkan tingkat
kontrol asma dengan penilaian meliputi gejala siang, aktivitas, gejala malam,
pemakaian obat pelega dan eksaserbasi. GINA membagi asma menjadi : 1). asma
terkontrol, 2). Asma terkontrol sebagian, dan 3). Asma tidak terkontrol.
Tabel 1. Tingkat Kontrol Asma menurut GINA

2
Tabel 2. Klasifikasi Derajat Berat Serangan Asma menurut GINA

5. Basic Science
5.1 Percabangan Bronkus
Trakea nantinya akan bercabang menjadi dua dan membentuk bronkus.
Percabangan awal dari trakea disebut bronkus principalis. Masing-masing bronkus
principalis akan menuju ke masing-masing paru yang kemudian bercabang lagi
menjadi bronkus sekunder atau bronkus lobaris untuk masing-masing lobus paru.
Pada paru kiri, terdapat dua bronkus lobaris, karena paru kiri hanya terdiri dari
dua lobus. Sedangkan terdapat tiga bronkus lobaris pada paru kanan. Bronkus
lobaris bercabang lagi menjadi bronkus segmentalis secara dikotom 9-10 kali.
Semakin ke distal, diameter dari bronkus akan semakin kecil. Bronkus
segmentalis kemudian akan bercabang kembali mejadi bronkiolus terminalis yang
kemudian akan bercabang lagi menjadi bronkiolus respiratorius.

3
Gambar 1. Percabangan Bronkus

Vaskularisasi untuk percabangan bronkus dibagi menjadi dua. Arteri


bronkialis memperdarahi bronkus hingga ke bronkiolus terminalis yang kemudian
akan bermuara ke vena bronkialis yang nanti disalurkan ke vena azygos dan vena
hemiazygos. Sedangkan, bronkiolus respiratori hingga alveolus diperdarahi oleh
sirkulasi pulmonal.
Inervasi paru oleh saraf simpatis dan parasimpatis. Saraf simpatis oleh
truncus simpaticus, ganglia vertebralis III, IV, dan V. Sedangkan parasimpatis
oleh nervus vagus.

4
Gambar 2. Perbedaan Bronkiolus Normal dan Asma

5.2 Reaksi Hipersensitivitas


Reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs:
• Tipe I : reaksi anafilaktik (humoral)
• Tipe II : reaksi sitotoksik (humoral)
• Tipe III : reaksi kompleks antigen-antibodi(humoral)
• Tipe IV : reaksi hipersensitivitas tertunda (selular)
5.2.1 Fase-fase Reaksi Hipersensitivitas
Fase Sensitisasi
Kontak pertama dengan alergen → makrofag sebagai APC →alergen/antigen
dibentuk menjadi fragmen-fragmen oleh makrofag dan dimunculkan ke
permukaan → antigen dipresentasikan ke sel T0 oleh MHC→APC melepaskan
sitokin seperti IL-1 →Aktivasi Th0 Th2 (pada kasus ini) →Th2 melepaskan
berbagai mediator (IL-3, IL-4, IL-5,IL-13 dll) → mediator diikat oleh reseptor di
limfosit B →aktivasi limfosit B →berubah menjadi sel plasma → produksi Ig E.
Fase Aktivasi & Efektor (setelah terpapar alergen yg sama) :
Ig E menuju ke sirkulasi dan ke jaringan terjadi ikatan IgE dengan molekul
reseptor pada permukaan mastosit → mekanisme hubungsilang antarreseptor
(minimal 2 molekul reseptor) →aktivasi mastosit → menghasilkan mediator :

5
mediator mastosit I (histamin, ECF-A, NCF-A), mediator mastosit II (heparin,
kemotripsin, IF-A), mediator mastosit III (PGE) terjadi reaksi cepat (5-30 menit)
dan reaksi lambat(6-8 jam).

6. Patofisiologi
Proses inflamasi saluran nafas pasien asma tidak saja ditemukan pada pasien
asma berat, tetapi juga pasien asma ringan, dan reaksi inflamasi ini dapat terjadi
lewat jalur imunologi maupun nonimunologi. Dalam hal ini banyak sel yang
berperan, khususnya sel mast, eosinofil, limfosit T, netrofil dan sel epitel.
Gambaran khas inflamasi ini adalah peningkatan sejumlah eosinofil
teraktifasi, sel mast, makrofag dan limfosit T. Sel limfosit berperan penting dalam
respon inflamasi melalui pelepasan sitokin-sitokin multifungsional. Limfosit T
subset T helper-2 (Th2) yang berperan dalam patgenesis asma akan mensekresi
sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, IL-16 dan Granulocyte Monocyte Colony
Stimulating Factor(GMCSF).
Respon inflamasi tipe cepat dan lambat berperan terhadap munculnya
manifestasi klinis asma. Pada fase cepat, sel- sel mast mengeluarkan mediator-
mediator, seperti histamin, leukotrien, prostaglandin dan tromboksan yang
menimbulkan bronkokonstriksi. Pada fase lambat, sitokin- sitokin dikeluarkan
sehingga memperlama inflamasi dan mengaktivasi eosinofil, basofil, limfosit dan
sel- sel mast. Sitokin bersama sel inflamasi yang lain akan saling berinteraksi
sehingga terjadi proses inflamasi yang kompleks yang akan merusak epitel saluran
nafas. Hiperplasia otot polos dan hiperresponsif bronkial akibat proses inflamasi
kronis menyebabkan menyempitnya saluran udara, hal ini menimbulkan gejala-
gejala mengi, batuk, sesak dada dan nafas pendek.
Serangan asma berkaitan dengan obstruksi jalan nafas secara luas yang
merupakan kombinasi spasme otot polos bronkus, edem mukosa, sumbatan
mukus, dan inflamasi saluran nafas. Sumbatan jalan nafas menyebabkan
peningkatan tahanan jalan nafas, terperangkapnya udara, dan distensi paru yang
berlebih (hiperinflasi). Perubahan tahanan jalan nafas yang tidak merata di seluruh
jaringan bronkus, menyebabkan tidak padu padannya ventilasi dan perfusi.

6
Hiperventilasi paru menyebabkan penurunan compliance paru, sehingga
terjadi peningkatan kerja nafas. Peningkatan tekanan intrapulmonal yang
diperlukan untuk ekspirasi melalui saluran nafas yang menyempit, dapat semakin
sempit atau menyebabkan penutupan dini saluran nafas, sehingga meningkatkan
risiko terjadinya pneumotoraks. Peningkatan tekanan intratorakal dapat
mempengaruhi arus balik vena dan mengurangi curah jantung yang bermanifestasi
sebagai pulsus paradoksus. Ventilasi perfusi yang tidak padu padan, hipoventilasi
alveolar, dan peningkatan kerja nafas menyebabkan perubahan gas dalam darah.
Pada awal serangan untuk mengompensasi hipoksia terjadi hiperventilasi sehingga
kadar PaCO2 akan turun dan dijumpai alkalosis respiratorik.
Pada obstruksi jalan nafas yang berat akan terjadi kelelahan otot pernafasan
dan hipoventilasi alveolar yang berakibat terjadi hiperkapnia dan asidosis
respiratorik. Selain itu dapat terjadi pula asidosis metabolik akibat hipoksia
jaringan, produksi laktat oleh otot nafas, dan masukan kalori yang berkurang.
Hipoksia dan anoksia dapat menyebabkan vasokonstriksi pulmonal. Hipoksia dan
vasokonstriksi dapat merusak sel alveoli sehingga produksi surfaktan berkurang
dan meningkatkan risiko terjadinya atelektasis.
Reaksi tubuh untuk memperbaiki jaringan yang rusak akibat inflamasi dan
bersifat irreversible disebut remodelling. Remodelling saluran nafas merupakan
serangkaian proses yang menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan
mengubah struktur saluran nafas melalui proses diferensiasi, migrasi, dan
maturasi struktur sel. Kombinasi kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang
berlanjut, produksi berlebihan faktor pertumbuhan profibotik/transforming growth
factor (TGF-β) dan proliferasi serta diferensiasi fibroblast menjadi miofibroblast
diyakini merupakan proses yang penting dalam remodelling. Miofibroblast yang
teraktivasi akan memproduksi faktor- faktor pertumbuhan, kemokin dan sitokin
yang menyebabkan proliferasi sel- sel otot polos saluran nafas dan meningkatkan
permeabilitas mikrovaskular, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi dan
jaringan saraf.
Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk proteoglikan kompleks pada
dinding saluran nafas dapat diamati pada pasien yang meninggal karena asma dan

7
hal ini secara langsung berhubungan dengan lamanya penyakit. Hipertrofi dan
hiperplasi otot polos saluran nafas, sel goblet kelenjar submukosa pada bronkus
terjadi pada pasien asma terutama yang kronik dan berat. Secara keseluruhan,
saluran nafas pada pasien asma memperlihatkan perubahan struktur yang
bervariasi yang dapat menyebabkan penebalan dinding saluran nafas. Selama ini
asma diyakini merupakan obstruksi saluran nafas yang bersifat reversibel.
Pada sebagian besar pasien reversibilitas yang menyeluruh dapat diamati pada
pengukuran dengan spirometri setelah diterapi dengan kortikosteroid inhalasi.
Beberapa penderita asma mengalami obstruksi saluran nafas residual yang dapat
terjadi pada pasien yang tidak menunjukkan gejala, hal ini mencerminkan adanya
remodeling saluran napas. Fibroblast berperan penting dalam terjadinya
remodeling dan proses inflamasi. Remodelling ini sangat berpengaruh terhadap
kualitas hidup pasien asma selanjutnya.

7. Diagnosis
Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh dunia,
disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya
penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga
penderita tidak merasa perlu ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang
bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan
variabiliti yang berkaitan dengan cuaca.  Anamnesis yang baik cukup untuk
menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran
faal paru terutama reversibiliti  kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan  nilai
diagnostik. 
• Anamnesis
Anamnesis meliputi adanya gejala yang episodik, gejala berupa batuk, sesak
napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca.
Faktor – faktor yang mempengaruhi asma, riwayat keluarga dan adanya riwayat
alergi.
• Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien asma tergantung dari derajat obstruksi

8
saluran napas. Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada, pernafasan cepat
sampai sianosis dapat dijumpai pada pasien asma.
• Pemeriksaan penunjang :
Spirometri
Cara yang paling cepat dan sederhana untuk menegakkan diagnosis asma
adalah melihat respons pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometri
dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator hirup (inhaler atau
nebulizer) golongan adrenergik beta.
Peningkatan VEP1 sebanyak 12% atau (> 200mL) menunjukkan diagnosis
asma. Tetapi respons yang kurang dari 12% atau 200mL, tidak berarti bukan
asma. Hal-hal tersebut dapat dijumpai pada pasien yang sudah normal atau
mendekati normal. Demikian pula respons terhadap bronkodilator tidak dijumpai
pada obstruksi saluran napas yang berat, oleh karena obat tunggal bronkodilator
tidak cukup kuat memberikan efek yang diharapkan.
Untuk melihat reversibilitas pada hal yang disebutkan di atas mungkin
diperlukan kombinasi obat golongan adrenergik beta, teofilin dan bahkan
kortikosteroid untuk jangka waktu pengobatan 2-3 minggu. Reversibilitas dapat
terjadi tanpa pengobatan yang dapat dilihat dari hasil pemeriksaan spirometri yang
dilakukan pada saat yang berbeda-beda misalnya beberapa hari atau beberapa
bulan kemudian.
Pemeriksaan spirometri selain penting untuk menegakkan diagnosis, juga
penting untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan. Kegunaan
spirometri pada asma dapat disamakan dengan tensimeter pada penatalaksanaan
hipertensi atau glukometer pada diabetes melitus. Banyak pasien asma tanpa
keluhan, tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi. Hal ini
mengakibatkan pasien mudah mendapat serangan asma dan bahkan bila
berlangsung lama atau kronik dapat berlanjut menjadi penyakit paru obstruktif
kronik.
Uji Provokasi Bronkus
Jika pemeriksaan spirometri normal, untuk menunjukan adanya
hipereaktivitas bronkus dilakukan uji provokasi bronkus. Ada beberapa cara untuk

9
melakukan uji provokasi bronkus seperti uji provokasi dengan histamin,
metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin, larutan garam hipertonik, dan bahkan
aqua destilata. Penurunan VEP1 sebesar 20% atau lebih dianggap bermakna. Uji
dengan kegiatan jasmani, dilakukan dengan menyuruh pasien berlari cepat selama
6 menit sehingga mencapai denyut jantung 80-90% dari maksimum.
Dianggap bermakna bila menunjukkan penurunan APE (Arus Puncak
Ekspirasi) paling sedikit 10%. Akan halnya uji provokasi dengan alergen, hanya
dilakukan pada pasien yang alergi terhadap alergen yang diuji.
Pemeriksaan Sputum
Sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma, sedangkan neutrofil
sangat dominan pada bronkhitis kronik. Selain untuk melihat adanya eosinofil,
kristal Charcot-Leyden, dan Spiral Curschmann; pemeriksaan ini juga penting
untuk melihat adanya miselium Aspergillus fumigatus.

Pemeriksaan Eosinofil Total


Jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat pada pasien asma dan
hal ini dapat membantu dalam membedakan asma dari bronkitis kronik.
Pemeriksaan ini juga dapat dipakai sebagai patokan untuk menentukan cukup
tidaknya dosis kortikosteroid yang dibutuhkan pasien asma.
Uji Kulit
Tujuan uji kulit adalah untuk menunjukkan adanya antibodi lgE spesifik
dalam tubuh. Uji ini hanya menyokong anamnesis, karena uji alergen yang positif
tidak selalu merupakan penyebab asma, demikian pula sebaliknya.
Pemeriksaan Kadar IgE Total dan IgE Spesifik Dalam Sputum
Kegunaan pemeriksaan IgE total hanya untuk menyokong adanya atopi.
Pemeriksaan IgE spesifik lebih bermakna dilakukan bila uji kulit tidak dapat
dilakukan atau hasilnya kurang dapat dipercaya.
Foto Rontgen Dada
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi
saluran napas dan adanya kecurigaan terhadap proses patologis di paru atau
komplikasi asma seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, atelektasis.

10
Analisis Gas Darah
Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma yang berat. Pada fase awal
serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO2 < 35 mmHg) kemudian
pada stadium yang lebih berat PaCO2 justru mendekati normal sampai normo-
kapnia. Selanjutnya pada asma yang sangat berat terjadinya hiperkapnia (PaCO2 k
45 mmHg), hipoksemia, dan asidosis respiratorik.

8. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan
kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam
melakukan aktivitas sehari- hari.
Tujuan penatalaksanaan asma:
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktivitas nnormal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) irreversible
7. Mencegah kematian karena asma

Penatalaksanaan asma berguna untk mengontol penyakit. Asma dikatakan


terkontrol bila:
1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk exercise
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis β2 kerja singkat) minimal
4. Variasi harian APE normal atau krang dari 20%
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke unit gawat darurat

11
Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen:
1. Edukasi
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat

8.1 Medikasi Asma


Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi
jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.
Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma
terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang
termasuk obat pengontrol :
• Kortikosteroid inhalasi
• Kortikosteroid sistemik
• Sodium kromoglikat
• Nedokromil sodium
• Metilsantin
• Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
• Agonis beta-2 kerja lama, oral
• Leukotrien modifiers
• Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)
Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala
akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi
jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas.

12
Termasuk pelega adalah:
• Agonis beta2 kerja singkat
• Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila
penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai,
penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).
• Antikolinergik
• Aminofillin
• Adrenalin

Tabel 3. Medikasi Asma


Controller Reliever
Short acting b2 agonist (SABA) : inhalasi,
Kortikosteroid (inhalasi, sistemik)
oral
Leukotriene modifeier Kortikosteroid sistemik
Long acting b2 agonist (LABA) : inhalasi, Antikolinergik : Ipratropium br,
oral oxitropium
Chromolin: Sodium cromoglycate dan
Teofilin
Nedocromil
Teofilin lepas lambat
Anti IgE
Antikolinergik: Tiotropium

8.1.1 Pengontrol
Glukokortikosteroid inhalasi
Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol
asma. Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi
menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas,
mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki
kualiti hidup. Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma persisten
(ringan sampai berat). Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik dan aman pada
dosis yang direkomendasikan.
Efek samping steroid inhalasi adalah efek samping lokal seperti
kandidiasis orofaring, disfonia dan batuk karena iritasi saluran napas atas. Semua
efek samping tersebut dapat dicegah dengan penggunaan spacer, atau mencuci

13
mulut dengan berkumur-kumur dan membuang keluar setelah inhalasi. Absorpsi
sistemik tidak dapat dielakkan, terjadi melalui absorpsi obat di paru. Risiko terjadi
efek samping sistemik bergantung kepada dosis dan potensi obat yang berkaitan
dengan biovailibiliti, absorpsi di usus, metabolisme di hati (first-pass
metabolism), waktu paruh berkaitan dengan absorpsi di paru dan usus; sehingga
masing-masing obat steroid inhalasi berbeda kemungkinannya untuk
menimbulkan efek sistemik.
Penelitian menunjukkan budesonid dan flutikason propionate mempunyai
efek sistemik yang rendah dibandingkan beklometason dipropionat dan
triamsinolon. Risiko efek sistemik juga bergantung sistem penghantaran.
Penggunaan spacer dapat menurunkan bioavailabiliti sistemik dan mengurangi
efek samping sistemik untuk semua glukokortikosteroid inhalasi. Tidak ada data
yang menunjukkan terjadi tuberkulosis paru pada penderita asma malnutrisi
dengan steroid inhalasi, atau terjadi gangguan metabolisme kalsium dan densiti
tulang.
Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan
sebagai pengontrol pada keadaan asma persisten berat (setiap hari atau selang
sehari), tetapi penggunaannya terbatas mengingat risiko efek sistemik. Harus
selalu diingat indeks terapi (efek/ efek samping),steroid inhalasi jangka panjang
lebih baik daripada steroid oral jangka panjang.
Jangka panjang lebih efektif menggunakan steroid inhalasi daripada
steroid oral selang sehari. Jika steroid oral terpaksa harus diberikan misalnya pada
keadaan asma persisten berat yang dalam terapi maksimal belum terkontrol
(walau telah menggunakan paduan pengoabatn sesuai berat asma), maka
dibutuhkan steroid oral selama jangka waktu tertentu. Hal itu terjadi juga pada
steroid dependen.
Di Indonesia, steroid oral jangka panjang terpaksa diberikan apabila
penderita asma persisten sedang-berat tetapi tidak mampu untuk membeli steroid
inhalasi, maka dianjurkan pemberiannya mempertimbangkan berbagai hal di
bawah ini untuk mengurangi efek samping sistemik. Beberapa hal yang harus

14
dipertimbangkan saat memberi steroid oral :
• gunakan prednison, prednisolon, atau metilprednisolon karena mempunyai efek
mineralokortikoid minimal, waktu paruh pendek dan efek striae pada otot minimal
• bentuk oral, bukan parenteral
• penggunaan selang sehari atau sekali sehari pagi hari
Efek samping sistemik penggunaan glukokortikosteroid oral/ parenteral
jangka panjang adalah osteoporosis, hipertensi, diabetes, supresi aksis adrenal
pituitari hipotalamus, katarak, glaukoma, obesiti, penipisan kulit, striae dan
kelemahan otot. Perhatian dan supervisi ketat dianjurkan pada pemberian steroid
oral pada penderita asma dengan penyakit lain seperti tuberkulosis paru, infeksi
parasit, osteoporosis, glaukoma, diabetes, depresi berat dan tukak lambung.
Glukokortikosteroid oral juga meningkatkan risiko infeksi herpes zoster. Pada
keadaan infeksi virus herpes atau varisela, maka glukokortikosteroid sistemik
harus dihentikan.
Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)
Mekanisme yang pasti dari sodium kromoglikat dan nedokromil sodium
belum sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui merupakan antiinflamasi nonsteroid,
menghambat penglepasan mediator dari sel mast melalui reaksi yang diperantarai
IgE yang bergantung kepada dosis dan seleksi serta supresi sel inflamasi tertentu
(makrofag, eosinofil, monosit); selain kemungkinan menghambat saluran kalsium
pada sel target. Pemberiannya secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada
asma persisten ringan. Studi klinis menunjukkan pemberian sodium kromoglikat
dapat memperbaiki faal paru dan gejala, menurunkan hiperesponsif jalan napas
walau tidak seefektif glukokortikosteroid inhalasi). Dibutuhkan waktu 4-6 minggu
pengobatan untuk menetapkan apakah obat ini bermanfaat atau tidak. Efek
samping umumnya minimal seperti batuk atau rasa obat tidak enak saat
melakukan inhalasi .

Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner
seperti antiinflamasi. Efek bronkodilatasi berhubungan dengan hambatan

15
fosfodiesterase yang dapat terjadi pada konsentrasi tinggi (>10 mg/dl), sedangkan
efek antiinflamasi melalui mekanisme yang belum jelas terjadi pada konsentrasi
rendah (5-10 mg/dl). Pada dosis yang sangat rendah efek antiinflamasinya minim
pada inflamasi kronik jalan napas dan studi menunjukkan tidak berefek pada
hiperesponsif jalan napas. Teofilin juga digunakan sebagai bronkodilator
tambahan pada serangan asma berat. Sebagai pelega, teofilin/aminofilin oral
diberikan bersama/kombinasi dengan agonis beta-2 kerja singkat, sebagai
alternatif bronkodilator jika dibutuhkan.
Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai obat
pengontrol, berbagai studi menunjukkan pemberian jangka lama efektif
mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru. Preparat lepas lambat mempunyai
aksi/waktu kerja yang lama sehingga digunakan untuk mengontrol gejala asma
malam dikombinasi dengan antiinflamasi yang lazim. Studi menunjukkan
metilsantiin sebagai terapi tambahan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah
atau tinggi adalah efektif mengontrol asma, walau disadari peran sebagai terapi
tambahan tidak seefektif agonis beta-2 kerja lama inhalasi, tetapi merupakan suatu
pilihan karena harga yang jauh lebih murah.
Efek samping berpotensi terjadi pada dosis tinggi ( 10 mg/kgBB/ hari
atau lebih); hal itu dapat dicegah dengan pemberian dosis yang tepat dengan
monitor ketat. Gejala gastrointestinal nausea, muntah adalah efek samping yang
paling dulu dan sering terjadi. Efek kardiopulmoner seperti takikardia, aritmia dan
kadangkala merangsang pusat napas. Intoksikasi teofilin dapat menyebabkan
kejang bahkan kematian.
Di Indonesia, sering digunakan kombinasi oral teofilin/aminofilin dengan
agonis beta-2 kerja singkat sebagai bronkodilator; maka diingatkan sebaiknya
tidak memberikan teofilin/aminofilin baik tunggal ataupun dalam kombinasi
sebagai pelega/bronkodilator bila penderita dalam terapi teofilin/ aminofilin lepas
lambat sebagai pengontrol. Dianjurkan memonitor kadar teofilin/aminofilin serum
penderita dalam pengobatan jangka panjang. Umumnya efek toksik serius tidak
terjadi bila kadar dalam serum < 15 ug/ml, walau terdapat variasi individual tetapi
umumnya dalam pengobatan jangka panjang kadar teoflin serum 5-15 ug/ml (28-

16
85uM) adalah efektif dan tidak menimbulkan efek samping. Perhatikan berbagai
keadaan yang dapat mengubah metabolisme teofilin antara lain. demam, hamil,
penyakit hati, gagal jantung, merokok yang menyebabkan perubahan dosis
pemberian teofilin/aminofilin. Selain itu perlu diketahui seringnya interaksi
dengan obat lain yang mempengaruhi dosis pemberian obat lain tersebut misalnya
simetidin, kuinolon dan makrolid.
Agonis beta-2 kerja lama
Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan
formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya
agonis beta-2 mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan
mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi
penglepasan mediator dari sel mast dan basofil. Kenyataannya pada pemberian
jangka lama, mempunyai efek antiinflamasi walau kecil. Inhalasi agonis beta-2
kerja lama yang diberikan jangka lama mempunyai efek protektif terhadap
rangsang bronkokonstriktor. Pemberian inhalasi agonis beta-2 kerja lama,
menghasilkan efek bronkodilatasi lebih baik dibandingkan preparat oral.

8.1.2 Pelega
Agonis beta-2 kerja singkat
Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan
prokaterol yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja (onset)
yang cepat. Formoterol mempunyai onset cepat dan durasi yang lama. Pemberian
dapat secara inhalasi atau oral, pemberian inhalasi mempunyai onset yang lebih
cepat dan efek samping minimal/ tidak ada. Mekanisme kerja sebagaimana agonis
beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier,
menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator
dari sel mast.
Merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat
sebagai praterapi pada exercise-induced asthma. Penggunaan agonis beta-2 kerja
singkat direkomendasikan bila diperlukan untuk mengatasi gejala. Kebutuhan
yang meningkat atau bahkan setiap hari adalah petanda perburukan asma dan

17
menunjukkan perlunya terapi antiinflamasi. Demikian pula, gagal melegakan jalan
napas segera atau respons tidak memuaskan dengan agonis beta-2 kerja singkat
saat serangan asma adalah petanda dibutuhkannya glukokortikosteroid oral.
Efek sampingnya adalah rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka
dan hipokalemia. Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit menimbulkan efek
samping daripada oral. Dianjurkan pemberian inhalasi, kecuali pada penderita
yang tidak dapat/mungkin menggunakan terapi inhalasi.
Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih lemah
dibandingkan agonis beta-2 kerja singkat. Aminofillin kerja singkat dapat
dipertimbangkan untuk mengatasi gejala walau disadari onsetnya lebih lama
daripada agonis beta-2 kerja singkat. Teofilin kerja singkat tidak menambah efek
bronkodilatasi agonis beta-2 kerja singkat dosis adekuat, tetapi mempunyai
manfaat untuk respiratory drive, memperkuat fungsi otot pernapasan dan
mempertahankan respons terhadap agonis beta-2 kerja singkat di antara pemberian
satu dengan berikutnya.
Teofilin berpotensi menimbulkan efek samping sebagaimana metilsantin,
tetapi dapat dicegah dengan dosis yang sesuai dan dilakukan pemantauan. Teofilin
kerja singkat sebaiknya tidak diberikan pada penderita yang sedang dalam terapi
teofilin lepas lambat kecuali diketahui dan dipantau ketat kadar teofilin dalam
serum.
Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek
penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan
bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga
menghambat refleks bronkokostriksi yang disebabkan iritan. Efek bronkodilatasi
tidak seefektif agonis beta-2 kerja singkat, onsetnya lama dan dibutuhkan 30-60
menit untuk mencapai efek maksimum. Tidak mempengaruhi reaksi alergi tipe
cepat ataupun tipe lambat dan juga tidak berpengaruh terhadap inflamasi.
Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium bromide dan tiotropium
bromide. Analisis meta penelitian menunjukkan ipratropium bromide mempunyai

18
efek meningkatkan bronkodilatasi agonis beta-2 kerja singkat pada serangan
asma, memperbaiki faal paru dan menurunkan risiko perawatan rumah sakit
secara bermakna. Oleh karena disarankan menggunakan kombinasi inhalasi
antikolinergik dan agnonis beta-2 kerja singkat sebagai bronkodilator pada terapi
awal serangan asma berat atau pada serangan asma yang kurang respons dengan
agonis beta-2 saja, sehingga dicapai efek bronkodilatasi maksimal. Tidak
bermanfaat diberikan jangka panjang, dianjurkan sebagai alternatif pelega pada
penderita yang menunjukkan efek samping dengan agonis beta-2 kerja singkat
inhalasi seperti takikardia, aritmia dan tremor. Efek samping berupa rasa kering di
mulut dan rasa pahit. Tidak ada bukti mengenai efeknya pada sekresi mukus.
Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila tidak
tersedia agonis beta-2, atau tidak respons dengan agonis beta-2 kerja singkat.
Pemberian secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita usia lanjut
atau dengan gangguan kardiovaskular. Pemberian intravena dapat diberikan bila
dibutuhkan, tetapi harus dengan pengawasan ketat (bedside monitoring).

8.2 Rute pemberian medikasi


Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral
dan parenteral (subkutan, intramuskular, intravena). Kelebihan pemberian
medikasi langsung ke jalan napas (inhalasi) adalah :
•lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas
•efek sistemik minimal atau dihindarkan beberapa obat hanya dapat diberikan
melalui inhalasi, karena tidak terabsorpsi pada pemberian oral (antikolinergik dan
kromolin). Waktu kerja bronkodilator adalah lebih cepat bila diberikan inhalasi
daripada oral.

8.3 Macam-macam cara pemberian obat inhalasi


• Inhalasi dosis terukur (IDT)/metered-dose inhaler (MDI)
• IDT dengan alat Bantu (spacer)

19
• Breath-actuated MDI
• Dry powder inhaler (DPI)
• Turbuhaler
• Nebuliser

8.4 Tahapan Pengobatan Asma


Tahap 1. Gejala asma sangat jarang, faal paru normal, tidak ada riwayat
pengobatan dengan pengontrol kortikosteroid inhalasi, maka pasien diberikan obat
penghilang gejala. Adapun yang direkomendasikan adalah agonis beta-2 kerja
singkat (SABA) inhalasi. Alternatif lainnya adalah SABA oral, kombinasi oral
SABA dan teofilin/aminofilin atau antikolinergik kerja singkat inhalasi Tahap 2
sampai dengan 5, pengobatan pengontrol teratur jika perlu.
Tahap 2. Ditemukan gejala asma dan eksaserbasi atau perburukan yang periodik,
dengan atau tanpa riwayat pengobatan kortikosteroid inhalasi sebelumnya, maka
diberikan pengontrol kortikosteroid inhalasi dosis rendah dan penghilang gejala
jika perlu. Alternatif pengontrol lainnya adalah anti-leukotrien bagi pasien yang
tidak tepat menggunakan kortikosteroid inhalasi dan pasien dengan rhinitis
alergika. Selain itu, dapat pula diberikan teofilin lepas lambat kepada pasien
dengan gangguan asma malam hari.
Tahap 3. Tahap ini untuk pasien yang tidak kunjung membaik di tahap 2 selama
kurang-lebih 12 minggu dan diyakini tidak ada masalah lain seperti kepatuhan,
pencetus, dan lain-lain. Pasien diberikan pengontrol kombinasi inhalasi dosis
rendah dan agonis beta-2 kerja lama (LABA) yang disebut LABACS. Alternatif
lainnya sama dengan tahap 2.
Tahap 4. Tahapan setelah tahap 3 dimana harus dinilai apakah gejala pasien
sudah terkontrol sebagian atau belum terkontrol, kepatuhan pasien, komorbiditas,
dan pencetus. Pengobatan yang diberikan adalah LABACS dimana kortikosteroid
inhalasi diberikan dalam dosis sedang-tinggi.
Tahap 5. Obat yang diberikan adalah LABACS dengan dosis kortikosteroid
inhalasi dosis tinggi dan jika perlu dapat ditambahkan kortikosteroid oral dosis
terendah. Kortikosteroid oral bekerja sistemik sehingga diharapkan dapat

20
mempercepat penyembuhan, mencegah kekambuhan, memperpendek hari rawat,
dan mencegah kematian.

Gambar 3. Tahapan pengobatan asma sesuai tingkat kontrol.

8.5 Penatalaksanaan Serangan Akut


Serangan asma bervariasi dari ringan sampai berat bahkan dapat bersifat
fatal atau mengancam jiwa. Seringnya serangan asma menunjukkan penanganan
asma sehari-hari yang kurang tepat. Dengan kata lain penanganan asma
ditekankan kepada penanganan jangka panjang, dengan tetap memperhatikan
serangan asma akut atau perburukan gejala dengan memberikan pengobatan yang
tepat.
Penilaian berat serangan merupakan kunci pertama dalam penanganan

21
serangan akut. Langkah berikutnya adalah memberikan pengobatan tepat,
selanjutnya menilai respons pengobatan, dan berikutnya memahami tindakan apa
yang sebaiknya dilakukan pada penderita (pulang, observasi, rawat inap, intubasi,
membutuhkan ventilator, ICU, dan lain-lain) Langkah-langkah tersebut mutlak
dilakukan, sayangnya seringkali yang dicermati hanyalah bagian pengobatan
tanpa memahami kapan dan bagaimana sebenarnya penanganan serangan asma.
Penanganan serangan yang tidak tepat antara lain penilaian berat
serangan di darurat gawat yang tidak tepat dan berakibat pada pengobatan yang
tidak adekuat, memulangkan penderita terlalu dini dari darurat gawat, pemberian
pengobatan (saat pulang) yang tidak tepat, penilaian respons pengobatan yang
kurang tepat menyebabkan tindakan selanjutnya menjadi tidak tepat. Kondisi
penanganan tersebut di atas menyebabkan perburukan asma yang menetap,
menyebabkan serangan berulang dan semakin berat sehingga berisiko jatuh dalam
keadaan asma akut berat bahkan fatal.

8.6 Komplikasi
 Hipoksemia
 Asidosis
 Sianosis
 Gagal nafas

8.7 Prognosis
Quo ad Vitam : dubia ad Bonam
Quo ad Functionam : dubia ad Bonam

22

Anda mungkin juga menyukai