Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

INVESTIGASI KRIMINAL

MATA KULIAH PSIKOLOGI FORENSIK

Dosen Pengampu:
Dr.phil. Dian Veronika Sakti Kaloeti, S.Psi., M.Psi.

Disusun oleh:
Kelompok 9
Adinda Setyaningrum 15000119140286
Almadina Rizkika Akbar 15000119130282
Maurida Nafisa 15000119130114
Novia Dewi Kusumastuti 15000119140236
Radlieta Syifa Alfiatullail 15000119140201
Rana Umairah 15000119130180
Rosalyn Afina Visanti 15000119130238

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul Criminal
Investigation ini dengan tepat waktu.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Psikologi Forensik. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
mengenai investigasi criminal bagi pembaca dan juga kami sebagai penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada ibu Dr.phil. Dian Veronika Sakti Kaloeti,
S.Psi., M.Psi., selaku dosen mata kuliah Psikologi Forensik yang telah memberikan arahan
kepada kami, sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang
studi yang kami tekuni. Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah
berkontribusi dengan memberikan ide-ide sehingga makalah ini dapat disusun dengan
baik.
Kami menyadari, bahwa makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kami berharap bahwa para pembaca dapat memberikan kritik serta saran
yang membangun agar kami dapat menyelesaikan makalah lainnya dengan lebih baik lagi.

Penyusun

Kelompok 9

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB I 3
LATAR BELAKANG 3
RUMUSAN MASALAH 3
TUJUAN 4
BAB II 5
CRIMINAL PROFILING 5
Definisi Criminal Profiling 5
Pendekatan dalam Criminal Profiling 5
INVESTIGASI LAINNYA 7
Otopsi Psikologis 7
Hypnosis 8
Polygraph and Control Question Technique 10
CONTOH KASUS 13
Ringkasan 13
Hasil Analisis 13
BAB III 16
KESIMPULAN 16
SARAN 16
DAFTAR PUSTAKA 17
LEMBAR PARTISIPASI 18

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam psikologi forensik, kita belajar mengenai berbagai hal yang berkaitan
dengan bidang psikologi dan bidang hukum, salah satunya investigasi kriminal yang
akan dibahas pada makalah ini. Perilaku kriminal itu sendiri diartikan sebagai
perilaku tidak menguntungkan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih dan
berdampak pada orang lain, serta mampu merusak sistem kehidupan bermasyarakat.
Oleh karena itu, dengan adanya perilaku kriminal, peran psikolog forensik di sini di
antaranya adalah menyusun penanggulangan dan pencegahan terhadap hal tersebut.
Namun, terkadang tidak semudah itu untuk pelaku kriminal mengakui perilaku yang
telah dilakukannya sehingga psikolog forensik lah yang bertanggung jawab dalam
melakukan investigasi kriminal.
Dalam investigasi kriminal, perlu dilakukan penggalian informasi mengenai
permasalahan yang terjadi. Hal ini dilakukan untuk mengetahui motif dan perilaku
kejahatan serta kepribadian tersangka kriminal dengan akurat secara psikologis
(buku). Penggalian informasi investigasi kriminal dapat disebut sebagai criminal
profiling. Criminal profiling dapat mencakup pencarian hubungan karakteristik
kriminal secara fisik, emosional dan psikologis. Selain itu criminal profiling
merupakan pekerjaan yang dapat menghubungkan serta menginvestigasi keterkaitan
antara ciri-ciri fisik, perilaku, serta probabilitas pelaku kejahatan sesuai dengan ciri
kronologis serta wilayah terjadinya kejahatan (Muti’ah, 2015). Dengan criminal
profiling, kasus kriminal akan lebih cepat diselesaikan dan dapat menjadi langkah
preventif serta cerminan bagi kasus yang akan terjadi di kemudian hari.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan criminal profiling?
2. Bagaimana pendekatan dalam criminal profiling?
3. Bagaimana konsep dari otopsi psikologis dalam investigasi kriminal?
4. Bagaimana konsep dari hypnosis dalam investigasi kriminal?

3
5. Bagaimana konsep dari polygraph and control question technique dalam
investigasi kriminal?

C. TUJUAN
1. Mengetahui makna dari criminal profiling.
2. Mengetahui pendekatan dalam criminal profiling.
3. Mengetahui konsep dari otopsi psikologis dalam investigasi kriminal.
4. Mengetahui konsep dari hypnosis dalam investigasi kriminal.
5. Mengetahui konsep dari polygraph and control question technique dalam
investigasi kriminal.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. CRIMINAL PROFILING
1. Definisi Criminal Profiling
Pemrofilan kriminal (criminal profiling) adalah sebuah proses atau metode
yang bertujuan untuk menyimpulkan rincian ciri-ciri fisik, demografis, dan
keperilakuan dari kemungkinan pelaku kejahatan berdasarkan aksinya pada
adegan (scene) kejahatan (O’Toole, 1999; Snook dkk., 2008). Scene kejahatan
dapat meliputi tempat-tempat potensial sejauh bukti dari sebuah tindak kriminal
ditemukan, scene kejahatan dibagi menjadi primer dan sekunder (Horswell,
2004). Scene kejahatan primer yaitu wilayah, tempat, atau sesuatu di mana
insiden terjadi atau di mana sebagian besar atau konsentrasi yang tinggi dari
ditemukannya bukti-bukti kejahatan. Sedangkan scene kejahatan sekunder
adalah tempat-tempat atau benda-benda yang berkaitan dengan kejahatan
ditemukan. Secara keseluruhan, ada empat jenis sumber data dalam proses
pemrofilan kriminal yaitu subjek, informan, written documents, dan unwritten
documents (Koentjoro, 2008). Pemrofilan kriminal dibedakan menjadi induktif
dan deduktif (Turvey, 2008). Pemrofilan induktif mencakup generalisasi
berdasarkan sejumlah kecil individu atau peristiwa dan/atau penalaran statistik.
Kelemahannya adalah ketika melakukan generalisasi, tidak ada dua kasus yang
persis sama sebab pelaku kriminal berpikir secara berbeda dari kebanyakan
orang dan perilaku yang dilakukan memiliki makna yang berbeda antar kultur
dan wilayah. Pada pemrofilan deduktif, profil akan didasarkan eksaminasi
forensik serta rekonstruksi keperilakuan yang hati-hati pada scene kejahatan.
Pada metode deduktif, penekanan pemrofilan ada pada pengetahuan diri
pemprofil dan kemampuan berpikir kritisnya.
2. Pendekatan dalam Criminal Profiling
Fulero & Wrightsman (dalam Kaloeti, Indrawati, & Alfaruqy, 2019)
membedakan tiga pendekatan dalam criminal profiling, yang masing-masing
memiliki prosedur berbeda, tetapi dengan tujuan umum yang sama. Berikut
penjelasan ketiga pendekatan tersebut:
a. Membedakan orang yang jahat (“evil” person)

5
Fokus dalam pendekatan ini adalah pada kepribadian dan motif
seseorang dalam melakukan kejahatan. Membedakan orang yang jahat
berarti memisahkan asumsi mengenai “orang yang melakukan kejahatan”
dengan persepsi umum tentang orang pada umumnya. Membedakan orang
yang jahat diperlukan dalam criminal profiling guna memahami
kepribadian dan motif seseorang secara objektif dan komprehensif
mengenai kejahatan yang dilakukannya. Untuk membedakan orang yang
jahat tersebut, profiler berupaya mengumpulkan materi berupa latar
belakang sosioekonomi dan ideologi seseorang, serta pengalaman di masa
kanak-kanak yang dinilai berpengaruh terhadap perilaku di masa depan,
untuk membuat deskripsi psikologis mengenai kepribadian seseorang,
diagnosis kondisi mentalnya, dan prediksi tentang reaksi seseorang terhadap
suatu hal (Fulero & Wrightsman, 2009; Kaloeti, et al., 2019).
b. Menentukan karakteristik utama
Fokus dalam pendekatan ini adalah pada konsistensi dalam
kepribadian, latar belakang, perilaku pelaku yang melakukan kejahatan
serupa. Konsistensi dalam kepribadian dapat dicari dan dilakukan dengan
dua cara, yaitu (Fulero & Wrightsman, 2009):
a. Mengidentifikasi pengalaman masa kanak-kanak
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Sullivan & Sevilla (dalam
Fulero & Wrightsman, 2009), ditemukan bahwa 31 dari 41 pelaku
pemerkosaan mengalami pelecehan seksual saat masih kanak-kanak.
Lebih lanjut, Ressler, et al. (dalam Fulero & Wrightsman, 2009) dalam
penelitiannya menemukan 65% pelaku pembunuhan berorientasi
seksual pernah menerima pelecehan dan 35% pernah menyaksikan
kekerasan seksual di masa kanak-kanaknya. Mereka yang mengalami
pelecehan seksual di masa kanak-kanak cenderung memutilasi tubuh
korban setelah membunuh, berbeda dengan pembunuh yang
memperkosa kemudian membunuh. Namun, Murphy & Peters (dalam
Fulero & Wrightsman, 2009) menanggapi bahwa sebagian besar
anak-anak yang menjadi korban pelecehan seksual tidak menjadi
pelaku kejahatan saat dewasa.
b. Menggunakan Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI)

6
MMPI dan MMPI-2 merupakan perangkat yang digunakan untuk
mengembangkan profil psikologis pelanggar (offender) dan paling
banyak digunakan untuk mendeteksi psikopatologi. Penelitian
membuktikan bahwa pelaku pelecehan seksual terhadap anak
menunjukkan skor yang tinggi, yang menunjukkan Psychopathic
Deviance. Akan tetapi, penelitian lain tidak menemukan adanya
perbedaan skor pada profil psikologis pelanggar dan orang normal
(Murphy & Peters, dalam Fulero & Wrightsman, 2009).
c. Ekstraksi karakteristik spesifik
Fokus dalam pendekatan ini adalah karakteristik khusus yang
ditemukan pada pelaku kejahatan atau di lapangan. Karakteristik khusus
tersebut dapat ditemukan melalui perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam
kasus yang sama sehingga perlu dilakukan analisis yang cermat (Kaloeti, et
al., 2019). Ressler & Shachtman (dalam Fulero & Wrightsman, 2009)
menyatakan bahwa pendekatan ini merupakan pendekatan untuk criminal
profiling yang digunakan oleh FBI.

B. INVESTIGASI LAINNYA
1. Otopsi Psikologis
Diperkirakan bahwa 5-20% kematian yang terjadi masih bersifat
samar-samar. Otopsi psikologis merupakan metode investigasi yang dilakukan
oleh psikolog forensik untuk menentukan modus kematian (mode of death) yang
masih belum jelas atau bersifat samar-samar. Keadaan mental yang terjadi
sebelum kematian merupakan sesuatu yang harus diketahui guna mengetahui
motif kematian dengan lebih komprehensif. Terdapat tiga jenis situasi yang
menjelaskan pentingnya otopsi psikologis menurut Ogloff dan Otto (dalam
Fulero & Wrightsman, 2009), yaitu:
a. Kebutuhan untuk menentukan bahwa seseorang yang telah meninggal
memiliki kapasitas yang tepat untuk membuat wasiat
b. Pada kasus kompensasi kerja, pekerja yang meninggal bisa saja
dikarenakan oleh beban kerja yang terlalu berat, di mana beban kerja ini
yang menjadi penyebab kematian pekerja tersebut

7
c. Dalam kasus-kasus kriminal, kesaksian bahwa seorang pembunuh
melakukan pembunuhan sebagai upaya perlindungan diri sehingga
mengorbankan nyawa seseorang.

Otopsi psikologis pertama kali dilakukan oleh Theodore J. Curphey pada


tahun 1958 dengan melibatkan sejumlah mayat yang meninggal akibat kasus
narkotika. Terdapat tiga pertanyaan yang mendasar yang harus terjawab dalam
proses otopsi psikologis, yaitu:
a. Mengapa seseorang melakukan hal tersebut?
b. Bagaimana dan kapan seseorang itu mati?
c. Apa modus kematian yang paling mungkin terjadi?

Berbeda dengan analisa medis yang menggunakan empat modus kematian


NASH (kematian yang alami, tidak disengaja, bunuh diri, atau dibunuh)
psikolog forensik menekankan pada pencarian serta interpretasi psikologis akan
gaya hidup, kepribadian, dan demografi orang yang meninggal. Selain itu,
adanya perkembangan alat ukur dalam melakukan otopsi psikologis, seperti The
Empirical Criteria for Determination of Death (ECDD) yang terdiri atas 16
aitem deskriptif perilaku dalam bentuk checklist. Hasil dari instrumen ini
mengungkap apakah kematian yang terjadi merupakan bunuh diri atau suatu
ketidaksengajaan.
2. Hypnosis
Penggalian data yang dilakukan dalam sesi hipnosis forensik bertujuan
untuk mendapatkan penjelasan naratif dan deskriptif mengenai kejadian tertentu
yang berhubungan dengan penyelidikan. Hypnosis tidak hanya digunakan bagi
para korban dan saksi untuk mengungkapkan yang dialami dan disaksikannya
dengan lebih jelas, namun membuat seorang tersangka kasus kejahatan
mengaku akan kejahatannya. Reiser (1985, dalam Fulero & Wrightsman, 2009)
melaporkan bahwa mayoritas lebih dari 600 kasus kriminal dapat diungkap
dengan lebih akurat dengan menggunakan hipnosis. Hipnosis membantu polisi
untuk membuat tiga perempat dari total subjek yang diwawancarai dapat
memanggil kembali (recall) informasi dengan akurasi hingga 90%.
Penelitian-penelitian yang dilakukan mengungkap bahwa subjek-subjek
eksperimen dapat lebih percaya diri untuk memanggil kembali informasi yang
diberikan dibandingkan dengan subjek tanpa dilakukannya hipnosis. Hipnosis

8
membantu untuk menimbulkan perasaan rileks pada korban atau saksi. Dalam
kondisi focus state korban atau saksi menjadi sangat patuh terhadap instruksi
hipnotis. Instruksi yang diberikan adalah meminta korban atau saksi untuk
mengingat kembali detail kejadian yang dialaminya. Subjek biasanya akan
mengingat informasi lebih banyak ketika ia dihipnotis dibanding dalam kondisi
tidak terhipnotis. Kondisi ini disebut sebagai hypnotic hypernesia atau suatu
kondisi yang merupakan lawan dari amnesia (Costanzo, 2004). Dalam kondisi
hypernesia, daya ingat seseorang meningkat secara luar biasa sehingga bisa
mengingat dengan detail kejadian atau pengalaman di masa lalu. Namun, ada
satu kondisi yang juga perlu diwaspadai dalam melakukan hipnosis, yakni
kondisi kriptomnesia, atau pada saat suatu memori yang sudah terlupakan
tiba-tiba muncul kembali tapi tidak dikenal sebagai sesuatu yang telah terjadi
atau pernah dialami oleh subjek. Umumnya memori ini muncul kembali dalam
bentuk ide “orisinal” atau intuisi.
Maka dari itu meskipun informasi dapat digali lebih banyak menggunakan
teknik hipnosis, akurasi mengenai informasi yang diberikan masih menjadi
perdebatan hingga sekarang. Beberapa penelitian membuktikan bahwa teknik
hipnotis tidak selalu menghasilkan informasi yang akurat dalam kesaksian
(Steblay & Bothwell, dalam Costanzo, 2004). Kebenaran dalam informasi yang
diberikan hanya terbatas pada keterangan yang diberikan oleh mereka yang
diwawancara. Disisi lain, terdapat celah keterbatasan bahkan hal yang bersifat
membahayakan, yaitu potensi seseorang untuk berbohong di bawah pengaruh
hipnosis, atau terjadinya penyalahgunaan informasi. Berbagai riset yang
dilakukan terhadap memori saksi mata dan kondisi hypernesia menunjukkan
bahwa memori bersifat rekonstruktif, yaitu tidak seperti video yang merekam
kejadian apa adanya dan selanjutnya akan menampilkan hasil rekaman itu juga
apa adanya (Bowers & Hilgard, 1988). Sebuah “memori” bisa sebagian berisi
informasi apa adanya, bisa sebagiannya fantasi, atau bisa juga terkontaminasi
oleh memori lainnya.
Berkenaan dengan praktiknya untuk membantu memanggil kembali
informasi yang hilang akibat trauma, maka sejumlah ketentuan diberlakukan
secara ketat untuk dilakukannya hipnosis dalam ranah forensik, antara lain:
a. Kualifikasi seorang hipnotis

9
Hipnotis berarti seseorang yang melakukan praktik hipnosis. Hipnotis
baiknya telah menempuh pelatihan-pelatihan dari lembaga yang berhak
memberikan lisensi untuk melakukan praktik hipnosis.
b. Perekaman pra-hipnosis
Perekaman pra-hipnosis berguna untuk mengetahui apa yang sejak
semula diketahui oleh saksi atau korban dan dibandingkan pada keterangan
yang diberikan pada saat sesi hipnosis dilangsungkan.
c. Perekaman elektronik pada sesi hipnosis
Seluruh isi percakapan harus terekam secara elektronis dan tidak
hanya dalam tulisan hipnotis. Hal ini berguna untuk mencegah bias dari
hipnotis dalam menuliskan keterangan yang diberikan.
d. Pengukuran hipnotisabilitas
Hipnotisabilitas merupakan derajat sensitivitas seseorang pada
hipnosis, dilakukan untuk mengetahui bahwa seorang subjek cukup sensitif
untuk dilakukannya hipnosis. Pengukuran yang dilakukan biasanya
menggunakan Hypnotic Introduction Profile, Stanford Hypnotic
Susceptibility Scales, Stanford Hypnotic Clinical Scale atau Barber
Creative Imagination Scale.
e. Pengarahan pra-hipnosis
Pengarahan yang dilakukan oleh hipnotis kepada subjek untuk
menjaga kenyamanan subjek dalam proses hipnosis. Subjek harus
mengetahui apa yang akan dilakukan oleh hipnotis kepadanya dan
informasi apa yang akan digali dari subjek.
f. Manajemen sesi hipnosis
Manajemen sesi hipnosis termasuk interview guide dan berbagai
setting seperti ruangan dan peralatan yang dibutuhkan.
g. Penggunaan yang selektif
Penggunaan hipnosis merupakan penggunaan yang tidak wajib, maka
bersifat selektif dan tidak dapat menggantikan prosedur tetap yang sudah
diberlakukan oleh pengadilan.
3. Polygraph and Control Question Technique
Prosedur tes kebohongan atau polygraph dilakukan apabila dalam suatu
kasus, terduga pelaku kejahatan bersikukuh akan pengakuan tidak bersalahnya
atau terduga pelaku kejahatan tidak mengakui kesalahan yang telah diperbuat.

10
Hal ini dilakukan untuk pembuktian pengakuan tersebut dengan asumsi dasar
penggunaan tes polygraph adalah reaksi fisiologis dalam merespon pertanyaan
yang memberatkan adalah suatu kebohongan.
Akurasi tes kebohongan diyakini oleh banyak pihak, namun yang
ditemukan pada hasil penelitian tidak demikian. The British Psychological
Society (dalam Fulero & Wrightsman, dalam Kaloeti, et al., 2019) melaporkan
bahwa kebenaran hasil tes polygraph masih diragukan karena validitas dan
reliabilitas tes polygraph masih rendah dalam penggunaannya. Hal ini sejalan
dengan hasil riset dari para ilmuwan sebelumnya dari The National Research
Council (2002) yang menyatakan bahwa landasan teori pemeriksaan poligraf
lemah (81-91%), terutama menyangkut soal respon fisiologis yang dapat
bervariasi antara satu orang dengan yang lain. Tidak hanya itu, ditemukan pula
beberapa kritik dalam penggunaan polygraph di antaranya yaitu: (1) tes yang
dianggap membosankan dan begitu membuat stres sehingga menimbulkan
kemungkinan terjadinya bias pada respon emosi yang dapat membuat bias
terhadap hasil yang diterima, (2) tidak ada standar prosedur, tidak ada acuan
atau pedoman yang jelas dalam menjalankan proses tes ini, (3) melanggar
hal-hal yang bersifat pribadi dalam diri subjek, seperti sikap agama, politik, atau
orientasi seksual, (4) adanya upaya untuk mendorong subjek mengakui
kesalahannya dengan menciptakan kecemasan di awal, (5) penguji sering
menyesatkan subjek tentang akurasi tes dengan mengatakan bahwa alat ini
memiliki akurasi yang baik, padahal kenyatannya berbeda dengan hal tersebut.
Adanya potensi munculnya ketidakakuratan dalam prosedur polygraph seperti
demikian, menimbulkan adanya upaya kontrol dalam memberikan
pertanyaan-pertanyaan sehingga dapat diketahui secara persis apakah itu
kebohongan atau tidak dari respon yang didapatkan.
Pengujian akurasi tes polygraph dilakukan berdasarkan adanya asumsi
bahwa mengukur respon fisiologis tidak serta merta mengukur kebohongan
seseorang karena perubahan fisiologis sejatinya merupakan pergeseran keadaan
emosi karena pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menekan. Adapun pengujian
tersebut dengan menggunakan Control Question Technique (CQT) yang terdiri
dari 10 pertanyaan relevan, yaitu pertanyaan yang berkaitan dengan kasus yang
dihadapi, dan pertanyaan tidak relevan (pertanyaan kontrol), yaitu merujuk pada
pertanyaan yang menyinggung masa lalu subjek yang dapat memunculkan

11
emosi-emosi tertentu pada subjek sehingga dapat memanggil informasi yang
emosional dan keadaan emosi yang berkaitan dengan informasi masa lalu dapat
dijadikan tolak ukur (baseline) dalam pengukuran derajat kebohongan.
Pertanyaan kontrol harus dipilih secara hati-hati dan diujikan sebelumnya
kepada subjek. Contoh dari pertanyaan kontrol adalah “sebelum berusia 24
tahun, apakah Anda pernah menyakiti seseorang sebagai upaya balas dendam?”.
Dalam hal ini, asumsi yang perlu diperhatikan oleh pewawancara adalah bahwa
jika subjek bersalah atau tidak mengatakan yang sebenarnya, pertanyaan
semacam ini akan menghasilkan reaktivitas yang lebih emosional. Dasar
pemikiran CQT adalah bahwa orang yang tidak bersalah akan bereaksi lebih
terhadap pertanyaan kontrol atau menanggapi sebanyak mungkin
pertanyaan-pertanyaan mengenai kejahatan yang diperkarakan. Hal ini
berbanding terbalik dengan orang yang bersalah, mereka akan menunjukkan
lebih banyak respon fisiologis terhadap pertanyaan yang berkaitan dengan
kejahatan daripada pertanyaan kontrol.
Terdapat tes polygraph pertama yang banyak digunakan dalam kasus
penipuan, yaitu The Relevant-Irrelevant Test. Tes ini terdiri dari pertanyaan
relevan dan tidak relevan, yang mana pertanyaan relevan memiliki kesamaan
dalam bentuk dan konten dengan pertanyaan kontrol, sedangkan pertanyaan
yang tidak relevan merupakan pertanyaan yang tidak berbahaya. Pentingnya
pertanyaan-pertanyaan tidak relevan ini adalah untuk mengukur keadaan normal
subjek sebelum diberikan pertanyaan yang relevan. Contoh dari pertanyaan
tidak relevan adalah “apakah anda berulang tahun di bulan April?”.
Adapun asumsi lain ketika melakukan tes polygraph adalah bahwa respon
fisiologis merupakan respon natural dari seorang penipu yang muncul akibat
rasa takut apabila kesaksiannya “ketahuan” sebagai sebuah kebohongan.
Dengan asumsi demikian, maka seorang penipu akan menunjukkan reaktivitas
emosi yang sangat tinggi dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan relevan
dibandingkan dengan menanggapi pertanyaan-pertanyaan tidak relevan atau
netral. Hal ini berbanding terbalik dengan subjek yang benar-benar jujur, subjek
yang jujur tidak menunjukkan perubahan emosi yang signifikan pada
pertanyaan-pertanyaan relevan dibandingkan dengan pertanyaan-pertanyaan
tidak relevan.

12
C. CONTOH KASUS
Kelompok kami mengangkat kasus yang diambil dari film “The Silence of the
Lambs”. Film yang diadaptasi dari novel ini dirilis pada tahun 1991. Berikut
merupakan ringkasan dan hasil analisis yang didasarkan pada film tersebut.
1. Ringkasan
Film ini menceritakan seorang calon anggota FBI yang memiliki keahlian
di Psikologi dan Kriminologi bernama Clarice Starling. Saat itu, Clarice sedang
berada di masa pelatihannya, tetapi kepala unit Ilmu Perilaku FBI memberikan
tugas kepada Clarice untuk ikut memecahkan kasus Buffalo Bill dengan
mewawancarai sang Hannibal the Cannibal, Dr. Lecter yang merupakan seorang
pembunuh yang suka memakan korbannya. Dr. Lecter diwawancarai karena
dirinya dulu adalah seorang Psikiater yang dipercaya memiliki petunjuk
mengenai keberadaan Buffalo Bill, seseorang yang pernah menjadi pasiennya.
Buffalo Bill merupakan seorang psikopat yang dalam film ini adalah buronan
karena melakukan pembunuhan berantai di mana dia akan menguliti sebelum
membunuh korbannya.
Dalam melakukan wawancara, Clarice diberi beberapa syarat oleh Dr.
Chilton, kepala rumah sakit tempat Dr. Lecter dirawat. Beberapa syarat tersebut
di antaranya: tidak boleh mendekati kaca dan tidak boleh menerima apapun dari
Dr. Lecter. Hal ini disebabkan Dr. Lecter merupakan seseorang yang manipulatif
dan dapat membunuh siapapun di dekatnya. Namun, dalam perjalanannya,
Clarice ternyata melanggar aturan-aturan yang telah diberikan oleh Dr. Chilton.
Klimaks dalam film ini dimulai ketika anak dari seorang Senator Amerika
Serikat, Catherine Martin yang diculik oleh Buffalo Bill. Semenjak itu, pencarian
terhadap Buffalo Bill semakin diperkencang. Di akhir cerita, digambarkan Clarice
bertemu dengan Buffalo Bill karena adanya kesalahan alamat rumah. Namun,
Buffalo Bill berhasil untuk dilemahkan dan ditangkap. Sementara itu, di akhir
film diperlihatkan Dr. Lecter yang akhirnya berkeliaran karena berhasil kabur dari
sel.
2. Hasil Analisis
Pada film “The Silence of The Lamb” ini dapat dilihat bahwa Clarice
Starling sebagai profiler melakukan pembangunan kasus untuk menemukan
pembunuh berantai, yaitu Buffalo Bill dengan cara mengidentifikasi karakteristik

13
korban pembunuhan, mengecek TKP, dan melakukan wawancara mantan
psikiater Buffalo Bill, yaitu Hannibal Lecter. Dapat dilihat dimana Clarice
melakukan wawancara terhadap Hannibal Lecter untuk mendapatkan petunjuk
keberadaan Buffalo Bill dan mengerucutkan motif pembunuhan yang dilakukan
oleh tersangka. Terdapat tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk melakukan
analisis terhadap film ini, yaitu:
a. Membedakan orang yang jahat
Dalam pendekatan ini, profiler harus bertindak objektif terlepas dari
latar belakang pelaku baik sosioekonomi, pengalaman masa kanak-kanak,
dan ideologi untuk menentukan motif dan melihat cerita yang lebih luas dan
komprehensif. Menurut Putra (2013), dijelaskan dalam novel “Hannibal
Rising” oleh Thomas Harris bahwa Buffalo Bill merupakan seorang anak
yang tidak diinginkan oleh ibunya dan identitas ayahnya juga tidak diketahui.
Ibu Bill sendiri adalah seorang mantan beauty pageant namun gagal untuk
menang. Karena kegagalan tersebut, sang ibu melimpahkan amarah dan
kekesalannya terhadap Bill yang masih kecil sehingga terjadi kerenggangan
antara keduanya. Pada umur dua tahun dia dititipkan ke panti asuhan karena
ibunya tidak lagi dapat mengurusnya yang menimbulkan rasa pengabaian
oleh orang tuanya sendiri. Menurut hasil interview, Hannibal Lecter
menjelaskan bahwa Bill merupakan seseorang yang ingin melakukan operasi
transformasi seks namun ditolak oleh setiap RS yang dia ingin kunjungi.
Rasa amarah ini kemudian dilampiaskan oleh Buffalo Bill sehingga korban
pembunuhannya rata-rata adalah wanita dan menguliti korbannya untuk
merasakan kepuasan atas penolakan yang telah dia hadapi. Mengetahui latar
belakang ini, kita dapat mengetahui motif dan alasan dibalik mengapa
dilakukannya pembunuhan dan lebih objektif dalam menilai tersangka ketika
melakukan profiling.
b. Menentukan karakteristik utama
Dalam pendekatan ini, fokus utama adalah kesamaan latar belakang
pelaku kejahatan. Walaupun tidak disebutkan di film secara detail, terdapat
kesamaan latar belakang antara Hannibal Lecter dan Buffalo Bill yang
dijelaskan dalam novel “Hannibal Rising” oleh Thomas Harris. Dijelaskan
dalam Putra (2013) bahwa Hannibal Lecter merupakan anak yang cerdas
namun mengalami pengalaman traumatis dimana saudara perempuannya

14
dibunuh lalu dikanibalkan dan orang tuanya meninggal karena peristiwa
bom. Terdapat kesamaan antara kedua latar belakang pelaku, Hannibal Lecter
dan Buffalo Bill dimana keduanya tidak diberikan kasih sayang orang tua
atau pengasuh sedari kecil. Konsistensi latar belakang antara keduanya yang
dapat membantu profiler membangun kasus serta motif serupa yang dapat
terjadi untuk peristiwa kedepannya.
c. Ekstraksi karakteristik spesifik
Pendekatan ini berfokus terhadap karakteristik khusus yang ditemukan
di TKP. Pada kasus Buffalo Bill, diketahui bahwa dia cenderung melakukan
pembunuhan terhadap wanita bertubuh gemuk dan dibunuh dengan cara
dikuliti serta meninggalkan beberapa potongan baju untuk menjadi jejak
terjadinya pembunuhan. Hal ini dapat membantu profiler untuk
mengidentifikasi kejahatan serupa serta membantu mengetahui motif,
keterkaitan, dan prediksi lokasi akan dilakukan pembunuhan selanjutnya.

15
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dalam melakukan investigasi kriminal, kita akan terlebih dahulu melakukan
criminal profiling. Criminal profiling merupakan sebuah metode investigasi untuk
menyimpulkan ciri fisik, demografis, perilaku dari tersangka pelaku kejahatan
berdasarkan pada tempat (scene) kejahatan. Dalam melakukan criminal profiling,
terdapat dua scene kejahatan, yaitu primer dan sekunder. Serta, sumber data dalam
criminal profiling ada empat, yaitu subjek, informan, written documents, dan
unwritten documents. Selain itu, pendekatan yang dapat digunakan dalam proses
criminal profiling antara lain (1) Membedakan orang yang jahat, (2) Menentukan
karakteristik utama, dan (3) Ekstraksi karakteristik spesifik.
Selanjutnya, teknik mengumpulkan data maupun pengakuan saksi serta
tersangka, dapat menggunakan otopsi psikologis, hypnosis, polygraph, dan control
question technique. Teknik-teknik lainnya tersebut dapat dilakukan oleh Psikolog
Forensik, jadi tidak hanya mengandalkan criminal profiling karena biasanya pelaku
kejahatan akan sulit mengakui kesalahannya. Pada makalah ini, kami mengambil
kasus dari film “The Silence of the Lambs” untuk dianalisa baik dari sudut pandang
psikologi ataupun kriminologi.

B. SARAN
Kami selaku tim penyusun menyadari masih banyak terdapat kekurangan di
dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami berharap adanya saran dan kritik yang
dapat melengkapi materi di dalam makalah ini sehingga lebih sempurna lagi
kedepannya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Kaloeti, D. V. S., Indrawati, E. S., Alfaruqy, M. Z. (2019). Psikologi forensik. Psikosain.

Fulero, S. M., & Wrightsman, L. S. (2009). Forensic psychology (3rd ed.). Cengage
Learning.

Horswell, J. (2004). The practice of crime scene investigation. CRC Press.

Muti'ah, T. (2015). Criminal profiling pelaku eksploitasi seksual pada anak di Yogyakarta.
SOSIOHUMANIORA: Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial dan Humaniora, 1(1).

O’Toole, M. E. (1999). Criminal profiling: The FBI uses criminal investigative analysis to
solve crimes. Corrections Today, 61(1), 44-46.

Putra, P. P. (2013). Psychoanalytical analysis on Hannibal Lecter and Buffalo Bill characters
as seen in The Silence of the Lambs and Hannibal Rising by Thomas Harris. Vivid:
Journal of Language and Literature, 2(2).
http://dx.doi.org/10.25077/vj.2.2.%25p.2013

Snook, B., Gendreau, P., Bennel, C., & Taylor, P. J. (2008). Criminal profiling. Skeptic,
14(2), 42-47.

Turvey, B. E. (2008). Criminal profiling: An introduction to behavioral evidence analysis


(3th ed). Academic Press.

17
LEMBAR PARTISIPASI

No. Nama NIM Partisipasi

1. Adinda Setyaningrum 15000119140286 1. Mengisi bagian definisi


criminal profiling

2. Almadina Rizkika Akbar 15000119130282 1. Menyusun latar belakang


2. Membuat kesimpulan
3. Membuat analisis kasus
4. Merapikan format jurnal

3. Maurida Nafisa 15000119130114 1. Menyusun ketiga


pendekatan dalam criminal
profiling
2. Merapikan makalah

4. Novia Dewi Kusumastuti 15000119140236 1. Menyusun bagian hypnosis

5. Radlieta Syifa Alfiatullail 15000119140201 1. Menyusun kata pengantar


2. Menyusun Bab 2 bagian Tes
Polygraph dan Control
Question Technique (CQT)

6. Rana Umairah 15000119130180 1. Menyusun Bab I


2. Menyusun bagian analisis
kasus
3. Menyusun kesimpulan dan
saran

7. Rosalyn Afina Visanti 15000119130238 1. Menyusun bagian otopsi


psikologis

18

Anda mungkin juga menyukai