Anda di halaman 1dari 7

KODE ETIK PSIKOLOGI

ANALISA KASUS PELANGGARAN KODE ETIK PSIKOLOGI BERDASARKAN


PRINSIP UMUM, AL-QUR’AN, AL-HADIST

Disusun Oleh:

Sholeha (2010901018)

Dosen Pengampu:

Zara Azalia., M.Psi.Psikolog

FAKULTAS PSIKOLOGI

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM

UNIVERSITAS UIN RADEN FATAH PALEMBANG

2023
Contoh Kasus Pelanggaran Kode Etik Psikologi: “Mengambil Ranah
Psikologi Padahal Bukan Psikolog”

A. Rangkuman Kasus

Sebut saja namanya bapak “ L”, ia lulusan S2 magister sains dalam bidang
psikologi. Setelah beberapa bulan dari kelulusannya ia direkrut menjadi dosen di
sebuah Sekolah Tinggi di salah satu lembaga pendidikan di tempat tinggalnya. Satu
hari ia diminta oleh pihak pengelola SMA swasta di daerahnya untuk melakukan
tes psikologi yang bertujuan untuk melihat kemampuan minat dan bakat penjurusan
IPA, IPS dan Bahasa.

Masyarakat setempat terutama pihak sekolah SMA tersebut selama ini


memang tidak mengetahui secara pasti mengenai program studi yang ditempuh “
L” apakah ia mengambil magister profesi atau magister sains begitu juga dengan
perbedaan ranah keduanya, mereka hanya mengetahui kalau “ L“ sudah menempuh
pendidikan tinggi S2 psikologi.

Mendapat tawaran untuk melakukan pengetesan semacam itu, tanpa pkir


panjang “L” langsung menerima dan melakukan tes psikologi serta mengumumkan
hasil tes kepada pihak sekolah tentang siapa saja siswa yang bisa masuk di kelas
IPA, IPS dan bahasa.

“L” melakukan tes psikologi tersebut ternyata tidak sendirian, ia bekerja


sama dengan “M” yang memang seorang psikolog. Mereka berteman akrab sejak
seperguruan waktu dulu mereka menempuh S2 hanya saja “M” adalah adik tingkat
‘L” dan dulu sempat terjalin hubungan dekat antara keduanya sehingga “M” merasa
sungkan jika menolak kerja sama dengan “L”. Anehnya M menerima ajakan kerja
sama “L” dengan senang hati dan tidak mempermasalahkan apapun yang
berhubungan dengan ranah psikologi yang semestinya meskipun pada sebenarnya
ia sendiri sudah paham bahwa “L” tidak boleh melakukan hal tersebut. Antara
keduanya memang terjalin kerja sama akan tetapi yang memegang peranan utama
dalam tes psikologi tersebut adalah “L”, sedangkan “M” sebagai psikolog sendiri
hanya sebatas pendamping “L” mulai dari pemberian tes sampai pada penyampaian
data dan hasil asesmen.

B. Analisa Kasus

Tindakan “ L” sudah jelas menyalahi kode etik psikologi, karena ia sebagai


Magister Sains (Ilmuwan Psikologi) bukan sebagai Magister Psikologi (Psikolog),
tugasnya hanya sebatas pengadministrasian asesmen bukan sebagai penyelenggara
asesmen seperti dalam kasus di atas yang mana ia telah melakukan tes psikologi
dengan menggunakan alat tes dan memberikan hasil asesmen meskipun hasil kerja
sama dengan Psikolog, sehingga tindakan keduanya "L dan M” tersebut merupakan
penyalahgunaan di bidang psikologi terutama bagi “L” sendiri.

Semestinya “L” memberitahu pada pihak sekolah tentang batasan


kompetensinya dan memberi pemahaman bahwa ia tidak berwenang melakukan tes
psikolgi dan ia bisa juga langsung mengalihkan tawaran tersebut kepada teman
akrabnya yaitu Psikolog “M”.

Semestinya juga sebagai seorang yang profesional dalam psikologi, “M”


bisa memberikan pengarahan dan pengertian pada “L” kalau sebetulnya ia tidak
boleh melakukan tes psikologi tapi karena “M” merasa sungkan pada “L” sehingga
ia hanya bisa menerima ajakan “L” untuk membantu dan membiarkan ia tetap
melaksanakan tes psikologi sampai selesai penyampaian data asesmen.

C. Pelanggaran Pasal Kode Etik HIMPSI dari Kasus “ L”


Berdasarkan kasus tersebut, suadara “L” melakukan pelanggaran kode etik dalam
kode etik HIMPSI, yaitu:

1. BAB I Pedoman Umum:

• Pasal 1 Ayat 4: “ILMUWAN PSIKOLOGI adalah ahli dalam bidang ilmu psikologi
dengan latar belakang pendidikan strata 1 dan/atau strata 2 dan/atau strata 3
dalam bidang psikologi. Ilmuwan psikologi memiliki kewenangan untuk
memberikan layanan psikologi yang meliputi bidang-bidang penelitian;
pengajaran; supervisi dalam pelatihan; layanan masyarakat; pengembangan
kebijakan; intervensi sosial; pengembangan instrumen asesmen psikologi;
pengadministrasian asesmen; konseling sederhana;konsultasi organisasi;
perancangan dan evaluasi program. Ilmuwan Psikologi dibedakan dalam
kelompok ilmu murni (sains) dan terapan”. Seorang Psikolog atau Ilmuan
Psikologi tidak boleh menangani kasus diluar kewenangan mereka. Hal ini
dapat dilihat dari perilaku saudara “L” yang seharusnya sebagai seorang
ilmuan psikologi bukan psikolog tidak boleh atau tidak memiliki
wewenangan untuk melakukan pengetesan penjurusan yang seharusnya
dilakukan seseorang yang berprofesi sebagai psikolog.
• Pasal 2 Prinsip Umum Prinsip C: “Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi
menyadari bahwa diperlukan kehati-hatian khusus untuk melindungi hak
dan kesejahteraan individu atau komunitas yang karena keterbatasan yang
ada dapat mempengaruhi otonomi dalam pengambilan keputusan”.
Saudara “L” juga melanggar kode etik HIMPSI pada pasal 2 prinsip C
tentang Profesional pada nomor 1,2,3 dan 4 yang berbunyi “Psikolog
dan/atau Ilmuwan Psikologi menjunjung tinggi kode etik, peran dan
kewajiban profesional, mengambil tanggung jawab secara tepat atas
tindakan mereka, berupaya untuk mengelola berbaggai konflik kepentingan
syang dapat mengarah pada eksploitasi dan dampak buruk”. Hal ini dapat
dilihat dari perilaku “L” yang tidak jujur dan menyebabkan ekploitasi serta
mendatangkan dampak buruk bagi komunitas dan orang lain dan tidak
menjunjung tinggi kode etik psikologi.

Surah Asy-Syu’ara’ ayat 181:

۞ َ‫أ َ ْوفُوا ٱ ْل َك ْي َل َو َل تَكُونُوا مِ نَ ٱ ْل ُم ْخس ِِرين‬

“sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu merugikan orang lain”

• Saudara “L” juga melakukan pelanggaran kode etik HIMPSI pada pasal ke-
2 prinsip E mengenai Manfaat pada nomor 3 yang berbunyi “psikolog
dan/atau Ilmuwan Psikologi perlu waspada terhadap kemungkinan adanya
faktor-faktor pribadi, keuangan, sosial, organisasi maupun politik yang
mengarah pada penyalahgunaan atas pengaruh mereka”. Hal ini terlihat
pada “L” yang melakukan sesuatu diluar kewenangannya dan belum tentu
pemahaman yang ia miliki begitu baik, karena ia yang menyalahgunakan
pengaruhnya tersebut dapat mendatangkan masalah dengan secara tidak
langsung menipu lembaga pendidikan itu sehingga tidak mendatangkan
manfaat meski didampingi “M” yang juga melakukan pelanggaran.
Hadist tentang menipu: “barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk
golongan kami. Orang yang berbuat makar dan pengelabuhan, tempatnya di
neraka”. {HARI. Ibnu Hibban 2: 326 hadist ini shahih sebagaimana kata
Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah No. 1058}.

2. BAB II Mengatasi Isu Etika:

• Pasal 4 penyalahgunaan di bidang psikologi ayat 2: “Apabila Psikolog


dan/atau Ilmuwan Psikologi menemukan pelanggaran atau penilaian salah
terhadap kerja mereka, mereka wajib mengambil langkah-langkah yang
masuk akal sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk memperbaiki atau
mengurangi pelanggaran atau kesalahan yang terjadi”. Sebagai seorang
psikolog seharusnya “M” memberikan pengarahan kepada “L” bahwa dia
telah melakukan kesalahan atau melakukan pelanggaran karena melakukan
layanan di luar dari kewenangannya sebagai seorang ilmuan psikologi.

3. Bab IV Hubungna Antar Manusia

• Pasal 13 Sikap Profesional.


“Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam memberikan layanan
psikologi, baik yang bersifat perorangan, kelompok, lembaga atau
organisasi/ institusi, harus sesuai dengan keahlian dan kewenangannya
serta berkewajiban untuk: a) Mengutamakan dasar-dasar profesional. b)
Memberikan layanan kepada semua pihak yang membutuhkannya. c)
Melindungi pemakai layanan psikologi dari akibat yang merugikan
sebagai dampak layanan psikologi yang diterimanya. d) Mengutamakan
ketidak berpihakan dalam kepentingan pemakai layanan psikologi serta
pihak-pihak yang terkait dalam pemberian pelayanan tersebut. e) Dalam
hal pemakai layanan psikologi menghadapi kemungkinan akan terkena
dampak negatif yang tidak dapat dihindari akibat pemberian layanan
psikologi yang dilakukan oleh Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi maka
pemakai layanan psikologi tersebut harus diberitahu”.
• Pasal 14 ayat 2 tenang Pelecehan Lain: “Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi tidak diperkenankan secara sadar terlibat dalam perilaku yang
melecehkan atau meremehkan individu yang berinteraksi dengan mereka
dalam pekerjaan mereka, baik atas dasar usia, gender, ras, suku, bangsa,
agama, orientasi seksual, kecacatan, bahasa atau status sosial ekonomi”.
Secara tidak langsung “L” telah meremehkan profesi “M” sebagai
Psikolog atas pelanggaran yang ia lakukan.
• Pasal 22 ayat 1 Pengalihan dan Penghentian Layanan Psikologi:
“Pengalihan layanan: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat
mengalihkan layanan psikologi kepada sejawat lain (rujukan) karena: a)
Ketidakmampuan Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi, misalnya sakit
atau meninggal. b) Salah satu dari mereka pindah ke kota lain. c)
Keterbatasan pengetahuan atau kompetensi dari Psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi. d) Keterbatasan pemberian imbalan dari penerima
jasa layanan psikologi”. “L” Seharusnya melakukan pengalihan layanan
kepada sejawat lain seperti “M” yang ia ketahui sebagai seorang psikolog
sesuai dengan kewenangannya melakukan pengetesan dengan menyadari
bahwa ia memiliki keterbatasan kompetensi.

5. Bab XI Asesmen:

• Pasal 63 penggunaan asesmen ayat 2: “(2) Administrasi dan Kategori Tes


Administrasi asesmen psikologi adalah pedoman prinsip dasar yang harus
dipatuhi dalam melakukan proses asesmen psikologi. Termasuk dalam
proses asesmen psikologi adalah observasi, wawancara dan pelaksanaan
psikodiagnostik”. Dari ayat ini jelas bahwa “L” tidak memiliki
kewenangan dalam menyampaikan hasil asesmen KARENA ia adalah
ilmuan Psikologi, yang seharusnya seorang Psikolog lah menyampaikan
hasil asesmen sesuai dengan kewenangannya.

Referensi

HIMPSI. (2010). Kode Etik Psikologi. Jakarta. Pengurus Pusat Himpunan


Psikologi Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai