Psikologi Klinis Anak” NADIRA WULANDARI 197029003 D I R A A N I S A H U L FA H 197029004 TA M A R A K H A I R U N 197029024 Kasus Seorang ibu membawa anaknya yang masih duduk di bangku dasar kelas 2 ke Psikolog di Biro Psikologi YYY. Sang ibu meminta kepada Psikolog agar anaknya diperiksa apakah anaknya termasuk anak autisme atau tidak. Sang ibu khawatir bahwa anaknya menderita kelainan autism karena sang ibu melihat tingkah laku anaknya berbeda dengan tingkah laku anak-anak seumurnya. Psikolog itu kemudian melakukan test terhadap anaknya. Dan hasilnya sudah diberikan kepada sang ibu, tetapi sang ibu tersebut tidak memahami istilah-istilah dalam ilmu psikologi. Ibu tersebut meminta hasil ulang test dengan bahasa yang lebih mudah dipahami. Setelah dilakukan hasil tes ulang, ternyata anak tersebut didiagnosa oleh Psikolog yang ada di biro psikologi itu mengalami autis. Anak tersebut akhirnya diterapi. Setelah beberapa bulan tidak ada perkembangan dari hasil proses terapi. Ibu tersebut membawa anaknya kembali ke biro psikologi yang berbeda di kota X, ternyata anak tersebut tidak mengalami autis, tetapi slow learned. Padahal anak tersebut sudah mengkonsumsi obat-obatan dan makanan bagi anak penyandang autis. Setelah diselidiki ternyata Biro Psikologi Y tersebut tidak memiliki izin praktek dan yang menangani bukan Psikolog, hanyalah Sarjana Psikologi (S1). Ibu tersebut ingin melaporkan kepada pihak yang berwajib, tetapi ibu tersebut dengan Psikolog itu tidak melakukan draft kontrak dalam proses terapi. Pelanggaran Kode Etik Psikologi Pelanggaran kode etik psikologi adalah segala tindakan Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang menyimpang dari ketentuan yang telah dirumuskan dalam Kode Etik Psikologi Indonesia. Termasuk dalam hal ini adalah pelanggaran oleh Psikolog terhadap janji/sumpah profesi, praktik psikologi yang dilakukan oleh mereka yang bukan Psikolog, atau Psikolog yang tidak memiliki Ijin Praktik, serta layanan psikologi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dalam Kode Etik Psikologi Indonesia (Pasal 4 ayat 3 tentang penyalahgunaan di bidang Psikologi). Pasal 2 Prinsip Umum; Prinsip A Penghormatan pada Harkat Martabat Manusia ayat (3) “Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menyadari bahwa diperlukan kehati-hatian khusus untuk melindungi hak dan kesejahteraan individu atau komunitas yang karena keterbatasan yang ada dapat mempengaruhi otonomi dalam pengambilan keputusan.” Pembahasan: Sarjana Psikologi dari biro psikologi YYY tidak memperhatikan dan melindungi hak dan kesejahteraan kliennya dengan salah diagnosa dan salah memberikan terapi. Pasal 2 Prinsip B Integritas dan sikap ilmiah ayat (2) “Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi senantiasa menjaga ketepatan, kejujuran, kebenaran dalam keilmuan, pengajaran, pengamalan dan praktik psikologi.” Pembahasan: Sarjana Psikologi tersebut tidak tepat dan benar dalam memberikan diagnosa klinis. Pasal 2 Prinsip C Profesional -Ayat (1) “Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus memiliki kompetensi dalam melaksanakan segala bentuk layanan psikologi, penelitian, pengajaran, pelatihan, layanan psikologi dengan menekankan pada tanggung jawab, kejujuran, batasan kompetensi, obyektif dan integritas. -Ayat (4) “Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat berkonsultasi, bekerjasama dan/atau merujuk pada teman sejawat, profesional lain dan/atau institusi-institusi lain untuk memberikan layanan terbaik kepada pengguna layanan psikologi.” Pembahasan: Sarjana Psikologi tersebut memberikan pelayanan tanpa menekankan pada tanggungjawab dan kejujuran akan batasan kompetensi yang dimilikinya. Ia bahkan tidak merujuk kliennya kepada professional lainnya saat ia mengetahui batasan yang dimilikinya, Pasal 2 Prinsip E: Manfaat -Ayat (1) “Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berusaha maksimal memberikan manfaat pada kesejahteraan umat manusia, perlindungan hak dan meminimalkan resiko dampak buruk pengguna layanan psikologi serta pihak- pihak lain yang terkait.” -Ayat (2) “Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi apabila terjadi konflik perlu menghindari serta meminimalkan akibat dampak buruk; karena keputusan dan tindakan-tindakan ilmiah dari Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat mempengaruhi kehidupan pihak-pihak lain.” Pembahasan: Sarjana Psikologi tersebut salah dalam memberikan diagnosa dan terapi yang tepat. Ia tidak memberikan manfaat secara maksimal terhadap kesejahteraan kliennya. Pasal 4 ayat b Pelanggaran sedang terkait penyalahgunaan di bidang Psikologi “Tindakan yang dilakukan oleh Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi karena kelalaiannya dalam melaksanakan proses maupun pe-nanganan yang tidak sesuai dengan standar prosedur yang telah ditetapkan meng-akibatkan kerugian bagi salah satu tersebut di bawah ini: i. Ilmu psikologi ii. Profesi Psikolog iiii. Pengguna Jasa layanan psikologi iv. Individu yang menjalani Pemeriksaan Psikologi v. Pihak-pihak yang terkait dan masyarakat umumnya.” Pembahasan: Dalam hal ini, sarjana Psikologi tersebut lalai dalam melaksanakan proses dan mendiagnosa klien sehingga menimbulkan kerugian bagi klien dan keluarganya karena salah diagnosa. Serta ia melakukan penyimpangan karena melakukan diagnosa tanpa izin praktek dan membuka biro psikologi tanpa status seorang Psikolog. Pasal 7 ayat (1) Ruang lingkup kompetensi. “Ilmuwan Psikologi memberikan layanan dalam bentuk mengajar, melakukan penelitian dan/atau intervensi sosial dalam area sebatas kompetensinya, berdasarkan pendidikan, pelatihan atau pengalaman sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.” Pembahasan: Dalam kasus, individu yang ada di biro psikologi itu bukan Psikolog, melainkan hanya ilmuan psikologi yaitu sarjana S1 yang tidak berhak membuka praktek dan melakukan intervensi terapi, karena kompetensi melakukan terapi dan intervensi adalah kompetensi Psikolog. Pasal 66 ayat (3); Penyampaian Data & Hasil Asesmen “Psikolog harus memperhatikan kemampuan pengguna layanan dalam menjelaskan hasil asesmen psikologi. Hal yang harus diperhatikan adalah kemampuan bahasa dan istilah Psikologi yang dipahami pengguna jasa.” Pembahasan: Psikolog tersebut harusnya menyampaikan secara jelas hasil pemeriksaan psikologis klien dengan bahasa yang mudah dipahami. Hal ini dikarenakan agar klien tidak merasa dirugikan ketika datang ke praktek psikologi. Selain itu, ketika klien meminta tes ulang, bisa saja sudah terjadi bias di dalam tes, karena klien sudah mengetahui tentang apa – apa yang ingin dilakukan tes atau pemeriksaan. Pasal 73 ayat (1); Informed Consent dalam Konseling & Terapi “Konselor/Psikoterapis wajib menghargai hak pengguna layanan psikologi untuk melibatkan diri atau tidak melibatkan diri dalam proses konseling psikologi/psikoterapi sesuai denganazas kesediaan. Oleh karena itu sebelum konseling/psikoterapi dilaksanakan, konselor/psikoterapis perlu mendapatkan persetujuan tertulis (Informed Consent) dari orang yang menjalani layanan psikologis. Persetujuan tertulis ditandatangani oleh klien setelah mendapatkan informasi yang perlu diketahui terlebih dahulu.” Pembahasan: Dalam kasus, tidak ada draft kontrak antara ibu anak tersebut dengan Psikolog sehingga ibu kesulitan untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib tentang persoalan ini. Selain melanggar pasal-pasal dalam kode etik tersebut, kasus diatas juga tidak memiliki izin praktek dari HIMPSI. Saran 1. Melaporkannya kepada HIMPSI daerah dimana biro psikologi itu berdiri dan akan ditindak lanjuti oleh majelis psikologi sesuai dengan pasal 3 ayat 2 kode etik Psikologi Indonesia 2. Sebaiknya layanan psikologi yang dilakukan pada biro YYY memiliki Psikolog yang memiliki izin praktik psikologi. 3. Ketika mengunjungi Psikolog atau suatu biro psikologi, harap memperhatikan SIP dan No Praktek dari Psikolog atau biro psikologi yang bersangkutan yang dikeluarkan oleh HIMPSI Pusat. 4. Harus meminta adanya informed consent jika klien harus melakukan terapi agar memudahkan antara Psikolog dan klien. Daftar Pustaka HIMPSI. (2010). Kode Etik Psikologi Indonesia. Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia