HUBUNGAN ANTAR
MANUSIA
Kode Etik Psikologi Kelas A
Kelompok 3
01 02 03
Ardi Fathurrohman Amelia Nurhasanah Dinda Trastia
1196000033 1196000022 1206000045
04 05
Meiviani Nurul A.M Sayyida Luthfiah N
1196000099 1206000156
Pasal 13 Sikap Profesional
NN merupakan junior yang baru mendapatkan gelar psikologi nya dan bekerja di biro
jasa psikologi di kota JK. Saat itu ada pasien dengan depresi berat yang
membutuhkan penanganan secepatnya karena pernah mau bunuh diri, namun pada
saat itu psikolog senior semua nya sedang ada perjalan dinas selama beberapa
minggu, akhirnya klien tersebut diberikan kepada NN untuk penanganan sementara.
Namun ketika salah satu psikolog senior kembali dan ingin mengambil alih kasus klien.
NN menolak karena merasa bisa menangani nya walaupun hasil menunjukan bahwa
tidak ada perubahan signifikan selama beberapa minggu. Tentu hal ini melanggar
kode etik professional karena NN memaksakan kehendak untuk mengambil kasus ini
padahal belum ada pengalaman sebelumnya, juga sebagai psikolog NN harusnya
memberi tahu jika ada dampak buruk atau hal lainnya selama masa layanan.
Dalam Hadist dan Al - Qur’an
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan melakukan pekerjaan yang baik, mereka itu adalah
sebaik-baik makhluk.” (QS. al-Bayyinah, 98:7)
Ayat lain dalam al-Qur’an menyebutkan bahwa orang-orang yang beriman dan bekerja secara baik dan
profesional akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Dua kebahagiaan itu merupakan
suatu kemenangan yang agung yang kita dambakan.
ت َﻟ ُﮭ ْم ﺟَ ﻧﱠﺎتٌ ﺗَﺟْ رِ ي ﻣِنْ ﺗَﺣْ ِﺗﮭَﺎ ْاﻷَ ْﻧﮭَﺎ ُر ذﻟِكَ ا ْﻟﻔ َْو ُز ا ْﻟ َﻛﺑِﯾ ُر
ِ إِنﱠ اﻟﱠذِﯾنَ ءَا َﻣﻧُوا َوﻋَ ِﻣﻠُوا اﻟﺻﱠﺎﻟِﺣَ ﺎ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh bagi mereka surga
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; itulah keberuntungan yang besar.” (QS. al-Buruj, 85:11)
Istilah bekerja dengan menggunakan kata amal dalam al-Qur’an, bukan saja dipakai dalam arti beramal
atau bekerja untuk kehidupan akhirat, tapi digunakan juga untuk bekerja bagi kehidupan dunia
Pasal 14 Pelecehan
(1) Pelecehan Seksual
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam penerapan keilmuannya tidak terlibat dalam
pelecehan seksual. Tercakup dalam pengertian ini adalah permintaan hubungan seks,
cumbuan fisik, perilaku verbal atau non verbal yang bersifat seksual, yang terjadi dalam
kaitannya dengan kegiatan atau peran sebagai Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi.
Pelecehan seksual dapat terdiri dari satu perilaku yang intens/parah, atau perilaku yang
berulang, bertahan/sangat meresap, serta menimbulkan trauma. Perilaku yang dimaksud
dalam pengertian ini adalah tindakan atau perbuatan yang dianggap:
(a) tidak dikehendaki, tidak sopan, dapat menimbulkan sakit hati atau dapat menimbulkan
suasana tidak nyaman, rasa takut, mengandung permusuhan yang dalam hal ini Psikolog
dan/atau Ilmuwan Psikologi mengetahui atau diberitahu mengenai hal tersebut atau
(b) bersikap keras atau cenderung menjadi kejam atau menghina terhadap seseorang
dalam konteks tersebut,
(c) sepatutnya menghindari hal-hal yang secara nalar merugikan atau patut diduga dapat
merugikan pengguna layanan psikologi atau pihak lain.
“Saya sengaja melakukan nya untuk mengendalikan diri para pasien saya itu. Tujuan
nya saya telanjang di depan mereka adalah untuk memahami diri dan lingkungan
mereka secara lebih baik sehingga mereka bisa mendapatkan kekuatan dari
kenikmatan yang timbul dari diri mereka dan kekuatan itu diharapkan tidak muncul
selama sesi terapi tetapi juga sesudah nya” ujar white.
Jika di nilai dari kode etik HIMPSI, Sarah White telah melakukan
pelanggaran kode etik pasal 14 azas (1) tentang pelecehan seksual.
Misalnya, kewajiban menutup aurat (QS. An-Nur: 31), berjilbab ketika memasuki kehidupan publik (QS. Al-Ahzab: 59),
larangan berhias berlebihan atau tabbaruj (QS. Al-A’raaf: 31 dan QS. Al-Ahzab: 33). Adanya pendampingan mahrom
(kakek, ayah, saudara laki-laki dan adik ayah) atau suami ketika perempuan melakukan perjalanan lebih dari 24 jam.
Dari Abu Hurairoh RA, bahwa Nabi SAW bersabda,
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, bersafar sejauh
perjalanan sehari semalam kecuali bersama mahramnya.” (HR.Muslim no.1339).
Misalnya, perintah menundukkan pandangan bagi laki-laki (QS. An-Nur: 30) dan perempuan (QS.
An-Nur: 31), larangan berduaan dan campur baur antar laki-laki dan perempuan tanpa hajat syar’i.
Rasulullah SAW bersabda,
“Seorang laki-laki tidak boleh berduaan (kholwat) dengan seorang perempuan kecuali wanita
tersebut bersama mahramnya.” (HR.Muslim)
Pasal 15 Penghindaran Dampak Buruk
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa berbuat zalim kepada saudaranya, baik terhadap
kehormatannya maupun sesuatu yang lainnya, maka mintalah kehalalannya darinya hari ini juga
sebelum dinar dan dirham tidak lagi ada. Jika ia punya amal saleh, maka amalannya itu akan diambil
sesuai dengan kadar kezaliman yang dilakukannya. Dan jika ia tidak punya kebaikan, maka keburukan
orang yang ia zalimi itu dibebankan kepadanya.” (HR Bukhari).
Rasulullah SAW juga menegaskan bahwa: “Jauhilah prasangka, karena sesungguhnya prasangka
adalah seburuk-buruknya perkataan”
ۖ َٰ ٓﯾﺄ َ ﱡﯾﮭَﺎ ٱﻟﱠذِﯾنَ ءَا َﻣﻧُوا۟ ٱﺟْ َﺗ ِﻧﺑُوا۟ َﻛﺛِﯾرً ا ﻣﱢنَ ٱﻟظﱠنﱢ إِنﱠ ﺑَﻌْ ضَ ٱﻟظﱠنﱢ إِ ْﺛ ٌم
“Jauhilah olehmu sebagian besar dari prasangka. Sesungguhnya sebagian dari prasangka itu
adalah keburukan (dosa)” (Q.S. Al Hujuraat).
Wahai orang-orang yang membenarkan Allah dan rasulNya serta melaksanakan SyariatNya, jauhilah
banyak prasangka buruk kepada orang-orang beriman, karena sesungguhnya sebagian dari
dugaan tersebut adalah dosa.
Pasal 16 Hubungan Majemuk
(1) Hubungan Majemuk terjadi apabila:
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi sedapat mungkin menghindar dari hubungan
majemuk apabila hubungan majemuk tersebut dipertimbangkan dapat merusak objektivitas,
kompetensi atau efektivitas dalam menjalankan fungsinya sebagai Psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi, atau apabila beresiko terhadap eksploitasi atau kerugian pada orang
atau pihak lain dalam hubungan profesional tersebut.
(3) Apabila ada hubungan majemuk yang diperkirakan akan merugikan, Psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi melakukan langkah-langkah yang masuk akal untuk mengatasi hal
tersebut dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik orang yang terkait dan
kepatuhan yang maksimal terhadap Kode etik.
(4) Apabila Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dituntut oleh hukum, kebijakan institusi,
atau kondisi-kondisi luar biasa untuk melakukan leboh dari satu peran, sejak awal mereka
harus memperjelas peran yang dapat diharapkan dan rentang kerahasiaannya, bagi diri
sendiri maupun bagi pihak-pihak lain yang terkait.
Studi Kasus
Sebuah perusahaan membutuhkan karyawan baru untuk di tempatkan pada
staf-staf tertentu dalam perusahaan. Pimpinan perusahaan tersebut kemudian
memakai jasa Psikolog ST untuk memberikan psikotes pada calon karyawan yang
berkompeten dalam bidangnya. Namun, ketika memberikan psikotes tersebut, ia
bertemu dengan R saudaranya dan meminta agar Psikolog ST memberikan hasil
psikotes yang baik supaya R dapat diterima dalam perusahaan tersebut. Karena
merasa tidak enak dengan saudaranya, akhirnya Psikolog ST memberikan hasil
psikotes yang memenuhi standar seleksi penerimaan calon karyawan, sehingga
R kemudian diterima dalam perusahaan tersebut dengan menduduki staf
tertinggi. Lama-kelamaan, perusahaan tersebut sering kecewa terhadap cara
kerja R karena dianggap tidak berkompeten dalam bidangnya. Akhirnya
Pimpinan perusahaan menyelidiki cara pemberian jasa Psikolog ST, dan pimpinan
tersebut mengetahui bahwa Pendirian Praktik Psikolog ST ternyata belum
tercatat pada HIMPSI dan Psikolog ST sama sekali belum pernah menjadi
anggota HIMPSI.
Analisis Kasus
Masalah yang dialami Psikolog ST dan saudaranya R berkaitan dengan peran
ganda dalam dirinya, yaitu sebagai psikolog dan saudara. Peran ganda tersebut
menempatkannya dalam relasi majemuk. Kode etik American Psychological
Association (dalam Corey. Schneider-Corey, & Callanan, 2011) dan Himpunan
Psikologi Indonesia (2011) menyatakan relasi majemuk adalah relasi yang
menempatkan praktisi pada peran profesional sekaligus peran lainnya terhadap
seorang individu yang sama, atau terhadap orang lain yang dekat dengan
individu tersebut. Pada kasus di atas, konflik muncul saat R meminta Psikolog ST
untuk meluluskannya pada psikotes karena alasan hubungan persaudaraan. Hal
tersebut telah melanggar kode etik psikologi pasal 16 mengenai hubungan
majemuk.
Sesuai dengan kasus yang telah dibahas diatas, Psikolog ST seharusnya dapat
menghindari hubungan dengan saudaranya ketika akan melakukan tes psikologi
agar dirinya dapat menjaga objektifitas sesuai dengan yang tertuang pada
pasal 16 ayat 2. Kurang objektifnya Psikolog ST dalam memberikan pelayanan
psikologi yaitu dengan membedakan antara saudara dan orang lain /
memberikan penilain dan hasil asesmen yang baik kepada saudara sendiri, dapat
berakibat buruk bagi perusahan yang menerima saudaranya bekerja Seperti
yang tertuang pada pasal 16 ayat 3, hubungan majemuk ini mendatangkan
kerugian bagi perusahaan yang menerima saudaranya, R. Psikolog ST juga tidak
melakukan langkah- langkah untuk mengatasi hal tersebut.
Dalam Al-Qur’an
ِﯾﻼ
ً ﻗُ ْل ُﻛ ﱞل ﯾَﻌْ َﻣ ُل ﻋَ ﻠ َٰﻰ ﺷَﺎ ِﻛ َﻠ ِﺗﮫِۦ ﻓَرَ ﱡﺑ ُﻛ ْم أَﻋْ َﻠ ُم ِﺑﻣَنْ ھ َُو أَھْ دَ ٰى ﺳَ ﺑ
Artinya : Katakanlah! "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya
masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar
jalannya.
Pasal 20
Pada kasus ini Psikolog S melanggar pasal 20 yaitu dimana dalam deskripsi kasus tidak
dijelaskan bahwa ia melakukan informed consent sebelum melakukan intervensi psikologi.
Jikalau ia sudah memberikan informed consent kepada klien, maka ia melanggar pada poin
e yang dimana klien melakukan intervensi psikologi ia tidak dapat merahasiakan masalah
dan nama dari klien sebelumnya.
Pasal 21
Layanan Psikologi Kepada
dan/atau Melalui Organisasi
Pasal 21
Layanan Psikologi Kepada dan/atau
Melalui Organisasi
Psikolog dan/atau Ilumuwan Psikologi yang memberikan
layanan psikologi kepada organisasi/perusahaan
memberikan informasi sepenuhnya. Apabila Psikolog
dan/atau Ilmuwan Psikologi dilarang oleh organisasi
peminta layanan untuk memberikan hasil informasi
kepada orang yang menjalani layanan psikologi, maka
hal tersebut harus diinformasikan sejak awal proses
pemberian layanan psikologi berlangsung.
Pasal 22
Pengalihan dan
Penghentian Layanan
Psikologi
Pasal 22
Pengalihan dan Penghentian Layanan Psikologi
hal-hal yang dapat menyebabkan pelayanan psikologi mengalami
penghentian, terpaksa dihentikan atau dialihkan kepada pihak lain. Sebelum
layanan psikologi dialihkan atau dihentikan pelayanan tersebut dengan
alasan apapun, hendaknya dibahas bersama antara Psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi dengan penerima layanan psikologi kecuali kondisinya
tidak memungkinkan.
1. Pengalihan layanan: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat
mengalihkan layanan psikologi kepada sejawat lain (rujukan)
2. Penghentian layanan: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus
menghentikan layanan psikologi
Kasus Pasal 21
Pelayanan Psikologi Yang Diberikan Kepada Atau Melalui Organisasi.
Suatu perusahaan besar mempunyai seorang HRD. Didalam perusahaan ini juga
si HRD mempunyai teman dekat dengan salah satu karyawan. Lalu pemimpin
perusahaan ingin membuat promosi jabatan dan hendak melihag evaluasi
bagaimana kinerja karyawan. Harusnya HRD ini memberikan informasi ke
pemimpinnya yang memiliki akses atas informasi tersebut. Tapi karena ini
mengenai teman dekat si HRD salah satu yang di evaluasi bersaing dengan
karyawan lainnya jadi si HRD memberikan informasi kepada temannya bahwa si
pemimpin perusahaan akan melakukan pengevaluasoan. Lalu dikarena temennya
ini teman dekat si HRD maka dengan si HRD yang membuat akses penuh dalam
berkomunikasi dengan pemimpinnya maka si HRD memanipulasi data bahwa si
temannya ini mempunyai kinerja yang cukup baik padahal sebenarnya kinerja si
temannya ini biasa saja.
Kasus Pasal 22
Ketergantungan Dari Pengguna Layanan Psikologi Maupun Orang Yang Menjalani
Pemeriksaan Terhadap Psikolog dan atau Ilmuan Psikologi Yang Bersangkutan Sehingga
Timbul Perasaan Tak Nyaman atau Tidak Sehat Pada Salah Satu atau Kedua Belah Pihak.
Prilly adalah seorang psikolog yang sedang menghadapi pasien laki-laki dan telah
melakukan pertemuan kedua kali. sementara masih ada 2 kali pertemuan lagi namun
pada saat prilly menerima info hal yang terjadi pada pasiennya dari kerabat kliennya itu
menyarankan bahwa klien itu seorang lesbian (penyuka sesama jenis wanita). Dan ini
membuat ia tak nyaman dan geli dan takut dengan mendadak ia menghentikan
pertemuan tersebut sementara seharusnya, dia harus menuntaskan masalah kliennya
terlebih dahulu dan menyampingkan perasaan terhadap pasiennya.
Pasal 21
Analisis pada kasus ini HRD melanggar pasal
21 yaitu dimana dalam kasus
Kasus tersebut HRD memiliki hubungan
dekat dengan karyawan nya.
Pasal 22
pada kasus ini Prilly melanggar pasal 22
yaitu dimana dia menghentikan
pertemuan yang seharusnya dia
tuntaskan masalah kliennya terlebih
dahulu atau pengguna layanan psikologi
masih membutuhkan layanan tersebut,
tetapi ia malah menghentikannya karena
alasan pribadi.
Referensi :
https://id.scribd.com/document/420056713/Kode-Etik-Psikologi-Pasal-15-Dan-16
https://mediacenter.palangkaraya.go.id/menghindari-segala-bentuk-kezaliman/
https://tafsirweb.com/9782-surat-al-hujurat-ayat-12.html
https://prezi.com/p/oowbpcqq-h2v/analisis-kasus-pelanggaran-kode-etik-psikologi/?fallback=1
https://informatics.uii.ac.id/2021/12/17/islam-melindungi-perempuan-dari-kekerasan-seksual/#:~
:text=Islam%20mengharamkan%20segala%20bentuk%20kekerasan,An%2DNur%3A%2033).
https://islam.nu.or.id/khutbah/anjuran-islam-tentang-etos-kerja-dan-profesionalisme-5ElUf
https://www.studocu.com/id/document/universitas-muhammadiyah-prof-dr-hamka/kode-etik-ps
ikologi/kode-etik-psikologi/46521744
https://www.scribd.com/document/499549054/Tugas-2-Analisa-Kasus-Kelompok-2#
TERIMA KASIH
KELOMPOK 3