Anda di halaman 1dari 35

BAB IV

HUBUNGAN ANTAR
MANUSIA
Kode Etik Psikologi Kelas A
Kelompok 3

01 02 03
Ardi Fathurrohman Amelia Nurhasanah Dinda Trastia
1196000033 1196000022 1206000045

04 05
Meiviani Nurul A.M Sayyida Luthfiah N
1196000099 1206000156
Pasal 13 Sikap Profesional

Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam memberikan layanan psikologi,


baik yang bersifat perorangan, kelompok, lembaga atau organisasi/
institusi, harus sesuai dengan keahlian dan kewenangannya serta
berkewajiban untuk:

a) Mengutamakan dasar-dasar profesional.


b) Memberikan layanan kepada semua pihak yang membutuhkannya.
c) Melindungi pemakai layanan psikologi dari akibat yang merugikan sebagai
dampak layanan psikologi yang diterimanya.
d) Mengutamakan ketidak berpihakan dalam kepentingan pemakai layanan
psikologi serta pihak-pihak yang terkait dalam pemberian pelayanan
tersebut.
e) Dalam hal pemakai layanan psikologi menghadapi kemungkinan akan
terkena dampak negatif yang tidak dapat dihindari akibat pemberian
layanan psikologi yang dilakukan oleh Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi
maka pemakai layanan psikologi tersebut harus diberitahu.
Studi Kasus

NN merupakan junior yang baru mendapatkan gelar psikologi nya dan bekerja di biro
jasa psikologi di kota JK. Saat itu ada pasien dengan depresi berat yang
membutuhkan penanganan secepatnya karena pernah mau bunuh diri, namun pada
saat itu psikolog senior semua nya sedang ada perjalan dinas selama beberapa
minggu, akhirnya klien tersebut diberikan kepada NN untuk penanganan sementara.
Namun ketika salah satu psikolog senior kembali dan ingin mengambil alih kasus klien.
NN menolak karena merasa bisa menangani nya walaupun hasil menunjukan bahwa
tidak ada perubahan signifikan selama beberapa minggu. Tentu hal ini melanggar
kode etik professional karena NN memaksakan kehendak untuk mengambil kasus ini
padahal belum ada pengalaman sebelumnya, juga sebagai psikolog NN harusnya
memberi tahu jika ada dampak buruk atau hal lainnya selama masa layanan.
Dalam Hadist dan Al - Qur’an

‫ت أ ُو َﻟﺋِكَ ُھ ْم ﺧَ ْﯾ ُر ا ْﻟﺑَرِ ﱠﯾ ِﺔ‬


ِ ‫إِنﱠ اﻟﱠذِﯾنَ ءَا َﻣﻧُوا َوﻋَ ِﻣﻠُوا اﻟﺻﱠﺎﻟِﺣَ ﺎ‬

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan melakukan pekerjaan yang baik, mereka itu adalah
sebaik-baik makhluk.” (QS. al-Bayyinah, 98:7)

Ayat lain dalam al-Qur’an menyebutkan bahwa orang-orang yang beriman dan bekerja secara baik dan
profesional akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Dua kebahagiaan itu merupakan
suatu kemenangan yang agung yang kita dambakan.

‫ت َﻟ ُﮭ ْم ﺟَ ﻧﱠﺎتٌ ﺗَﺟْ رِ ي ﻣِنْ ﺗَﺣْ ِﺗﮭَﺎ ْاﻷَ ْﻧﮭَﺎ ُر ذﻟِكَ ا ْﻟﻔ َْو ُز ا ْﻟ َﻛﺑِﯾ ُر‬
ِ ‫إِنﱠ اﻟﱠذِﯾنَ ءَا َﻣﻧُوا َوﻋَ ِﻣﻠُوا اﻟﺻﱠﺎﻟِﺣَ ﺎ‬

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh bagi mereka surga
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; itulah keberuntungan yang besar.” (QS. al-Buruj, 85:11)

Istilah bekerja dengan menggunakan kata amal dalam al-Qur’an, bukan saja dipakai dalam arti beramal
atau bekerja untuk kehidupan akhirat, tapi digunakan juga untuk bekerja bagi kehidupan dunia
Pasal 14 Pelecehan
(1) Pelecehan Seksual
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam penerapan keilmuannya tidak terlibat dalam
pelecehan seksual. Tercakup dalam pengertian ini adalah permintaan hubungan seks,
cumbuan fisik, perilaku verbal atau non verbal yang bersifat seksual, yang terjadi dalam
kaitannya dengan kegiatan atau peran sebagai Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi.
Pelecehan seksual dapat terdiri dari satu perilaku yang intens/parah, atau perilaku yang
berulang, bertahan/sangat meresap, serta menimbulkan trauma. Perilaku yang dimaksud
dalam pengertian ini adalah tindakan atau perbuatan yang dianggap:

(a) tidak dikehendaki, tidak sopan, dapat menimbulkan sakit hati atau dapat menimbulkan
suasana tidak nyaman, rasa takut, mengandung permusuhan yang dalam hal ini Psikolog
dan/atau Ilmuwan Psikologi mengetahui atau diberitahu mengenai hal tersebut atau
(b) bersikap keras atau cenderung menjadi kejam atau menghina terhadap seseorang
dalam konteks tersebut,
(c) sepatutnya menghindari hal-hal yang secara nalar merugikan atau patut diduga dapat
merugikan pengguna layanan psikologi atau pihak lain.

(2) Pelecehan lain


Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak diperkenankan secara sadar terlibat dalam
perilaku yang melecehkan atau meremehkan individu yang berinteraksi dengan mereka
dalam pekerjaan mereka, baik atas dasar usia, gender, ras, suku, bangsa, agama, orientasi
seksual, kecacatan, bahasa atau status sosialekonomi
Studi Kasus
Seorang psikologi muda (24) asal amerika ini melakukan terapi psikologis yang tidak
biasa. Sarah white melepaskan pakaian nya satu persatu ketika konseling, dan
meyakini tindakan nya dapat mencairkan ketertutupan sikap pasien nya sebagian besar
pria.

“Saya sengaja melakukan nya untuk mengendalikan diri para pasien saya itu. Tujuan
nya saya telanjang di depan mereka adalah untuk memahami diri dan lingkungan
mereka secara lebih baik sehingga mereka bisa mendapatkan kekuatan dari
kenikmatan yang timbul dari diri mereka dan kekuatan itu diharapkan tidak muncul
selama sesi terapi tetapi juga sesudah nya” ujar white.

Diana Kischner, psikolog klinis New York, menjelaskan :


“White hanya menggunakan terapi kata-kata tetapi saya tidak menggangap ini sebagai
terapi. Saya menilai pendekatannya itu sebagao pelayanan interaktif pornografi melalui
internet.
Analisis Kasus

Jika di nilai dari kode etik HIMPSI, Sarah White telah melakukan
pelanggaran kode etik pasal 14 azas (1) tentang pelecehan seksual.

(1) Pelecehan seksual


“Tercakup dalam penelitian ini adalah permintaan hubungan seks,
cumbuan fisik, perilaku verbal atau non verbal yang bersifat
seksual, yang terjadi dalam kaitannya dengan kegiatan atau peran
sebagai psikolog dan/atau ilmuwan psikologi (HIMPSI, 2010”.
Dalam Hadist dan Al - Qur’an
1. Penerapan aturan-aturan Islam yang dikhususkan untuk menjaga kehormatan dan martabat perempuan.

Misalnya, kewajiban menutup aurat (QS. An-Nur: 31), berjilbab ketika memasuki kehidupan publik (QS. Al-Ahzab: 59),
larangan berhias berlebihan atau tabbaruj (QS. Al-A’raaf: 31 dan QS. Al-Ahzab: 33). Adanya pendampingan mahrom
(kakek, ayah, saudara laki-laki dan adik ayah) atau suami ketika perempuan melakukan perjalanan lebih dari 24 jam.
Dari Abu Hurairoh RA, bahwa Nabi SAW bersabda,

“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, bersafar sejauh
perjalanan sehari semalam kecuali bersama mahramnya.” (HR.Muslim no.1339).

2. Penerapan aturan-aturan Islam terkait pergaulan laki-laki dan perempuan.

Misalnya, perintah menundukkan pandangan bagi laki-laki (QS. An-Nur: 30) dan perempuan (QS.
An-Nur: 31), larangan berduaan dan campur baur antar laki-laki dan perempuan tanpa hajat syar’i.
Rasulullah SAW bersabda,

“Seorang laki-laki tidak boleh berduaan (kholwat) dengan seorang perempuan kecuali wanita
tersebut bersama mahramnya.” (HR.Muslim)
Pasal 15 Penghindaran Dampak Buruk

Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengambil


langkah-langkah yang masuk akal untuk menghindari
munculnya dampak buruk bagi pengguna layanan
psikologi serta pihak- pihak lain yang terkait dengan
kerja mereka serta meminimalkan dampak buruk untuk
hal-hal yang tak terhindarkan tetapi dapat diantisipasi
sebelumnya. Dalam hal seperti ini, maka pemakai layanan
psikologi serta pihak-pihak lain yang terlibat harus
mendapat informasi tentang kemungkinan-kemungkinan
tersebut.
Studi Kasus
Seorang ibu membawa anaknya yang masih duduk di bangku dasar kelas 2 ke
Psikolog RB di biro psikologi YYY. Sang ibu meminta kepada psikolog RB agar
anaknya diperiksa apakah anaknya termasuk anak autisme atau tidak. Sang ibu
khawatir bahwa anaknya menderita kelainan autism karena sang ibu melihat
tingkah laku anaknya berbeda dengan tingkah laku anak-anak seumurnya.
Psikolog RB kemudian melakukan test terhadap anaknya. Dan hasilnya sudah
diberikan kepada sang ibu, tetapi sang ibu tidak memahami istilah-istilah dalam
ilmu psikologi. Ibu tersebut meminta hasil ulang test dengan bahasa yang lebih
mudah dipahami. Setelah dilakukan hasil tes ulang, ternyata anak tersebut
didiagnosa oleh Psikolog RB mengalami autis. Anak tersebut akhirnya diterapi.
Setelah beberapa bulan tidak ada perkembangan dari hasil proses terapi. Ibu
tersebut membawa anaknya kembali ke biro psikologi yang berbeda di kota X,
ternyata anak tersebut tidak mengalami autis, tetapi slow learned. Padahal
anak tersebut sudah mengkonsumsi obat-obatan bagi anak penyandang autis.
Setelah diselediki ternyata biro psikologi YYY tersebut tidak memiliki izin praktek
dan yang menangani bukan Psikolog, hanya sarjana psikologi Strata 1.
Analisis Kasus
Dalam kasus yang telah dipaparkan diatas telah terjadi
pelanggaran pada kode etik pasal 15 mengenai
penghindaran dampak buruk. Seorang Psikolog seharusnya
menghindari dampak buruk yang akan terjadi akibat layanan
psikologi yang diberikannya. Dalam kasus diatas, Psikolog
RB semestinya memberikan penjelasan yang
sejelas-sejelasnya terhadap klien, namun kenyataanya
psikolog tersebut membuat hasil tes dengan bahasa yang
sulit dipahami klien sehingga klien harus meminta hasil ulang
dari tes anaknya. Kemudian ternyata hasil tesnya keliru
sehingga berdampak kepada si anak yang telah meminum
obat-obatan khusus anak autis padahal anak tersebut
sebenarnya tidak autis
Dalam Hadist dan Al-Qur’an

Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa berbuat zalim kepada saudaranya, baik terhadap
kehormatannya maupun sesuatu yang lainnya, maka mintalah kehalalannya darinya hari ini juga
sebelum dinar dan dirham tidak lagi ada. Jika ia punya amal saleh, maka amalannya itu akan diambil
sesuai dengan kadar kezaliman yang dilakukannya. Dan jika ia tidak punya kebaikan, maka keburukan
orang yang ia zalimi itu dibebankan kepadanya.” (HR Bukhari).

Rasulullah SAW juga menegaskan bahwa: “Jauhilah prasangka, karena sesungguhnya prasangka
adalah seburuk-buruknya perkataan”

Al-Quran, tepatnya Surat Al Hujuraat ayat 12.

‫ۖ َٰ ٓﯾﺄ َ ﱡﯾﮭَﺎ ٱﻟﱠذِﯾنَ ءَا َﻣﻧُوا۟ ٱﺟْ َﺗ ِﻧﺑُوا۟ َﻛﺛِﯾرً ا ﻣﱢنَ ٱﻟظﱠنﱢ إِنﱠ ﺑَﻌْ ضَ ٱﻟظﱠنﱢ إِ ْﺛ ٌم‬

“Jauhilah olehmu sebagian besar dari prasangka. Sesungguhnya sebagian dari prasangka itu
adalah keburukan (dosa)” (Q.S. Al Hujuraat).

Wahai orang-orang yang membenarkan Allah dan rasulNya serta melaksanakan SyariatNya, jauhilah
banyak prasangka buruk kepada orang-orang beriman, karena sesungguhnya sebagian dari
dugaan tersebut adalah dosa.
Pasal 16 Hubungan Majemuk
(1) Hubungan Majemuk terjadi apabila:

a) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi sedang dalam peran profesionalnya dengan


seseorang dan dalam waktu yang bersamaan menjalankan peran lain dengan orang yang
sama, atau
b) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam waktu yang bersamaan memiliki hubungan
dengan seseorang yang secara dekat berhubungan dengan orang yang memiliki hubungan
profesional dengan Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tersebut.

(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi sedapat mungkin menghindar dari hubungan
majemuk apabila hubungan majemuk tersebut dipertimbangkan dapat merusak objektivitas,
kompetensi atau efektivitas dalam menjalankan fungsinya sebagai Psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi, atau apabila beresiko terhadap eksploitasi atau kerugian pada orang
atau pihak lain dalam hubungan profesional tersebut.
(3) Apabila ada hubungan majemuk yang diperkirakan akan merugikan, Psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi melakukan langkah-langkah yang masuk akal untuk mengatasi hal
tersebut dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik orang yang terkait dan
kepatuhan yang maksimal terhadap Kode etik.
(4) Apabila Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dituntut oleh hukum, kebijakan institusi,
atau kondisi-kondisi luar biasa untuk melakukan leboh dari satu peran, sejak awal mereka
harus memperjelas peran yang dapat diharapkan dan rentang kerahasiaannya, bagi diri
sendiri maupun bagi pihak-pihak lain yang terkait.
Studi Kasus
Sebuah perusahaan membutuhkan karyawan baru untuk di tempatkan pada
staf-staf tertentu dalam perusahaan. Pimpinan perusahaan tersebut kemudian
memakai jasa Psikolog ST untuk memberikan psikotes pada calon karyawan yang
berkompeten dalam bidangnya. Namun, ketika memberikan psikotes tersebut, ia
bertemu dengan R saudaranya dan meminta agar Psikolog ST memberikan hasil
psikotes yang baik supaya R dapat diterima dalam perusahaan tersebut. Karena
merasa tidak enak dengan saudaranya, akhirnya Psikolog ST memberikan hasil
psikotes yang memenuhi standar seleksi penerimaan calon karyawan, sehingga
R kemudian diterima dalam perusahaan tersebut dengan menduduki staf
tertinggi. Lama-kelamaan, perusahaan tersebut sering kecewa terhadap cara
kerja R karena dianggap tidak berkompeten dalam bidangnya. Akhirnya
Pimpinan perusahaan menyelidiki cara pemberian jasa Psikolog ST, dan pimpinan
tersebut mengetahui bahwa Pendirian Praktik Psikolog ST ternyata belum
tercatat pada HIMPSI dan Psikolog ST sama sekali belum pernah menjadi
anggota HIMPSI.
Analisis Kasus
Masalah yang dialami Psikolog ST dan saudaranya R berkaitan dengan peran
ganda dalam dirinya, yaitu sebagai psikolog dan saudara. Peran ganda tersebut
menempatkannya dalam relasi majemuk. Kode etik American Psychological
Association (dalam Corey. Schneider-Corey, & Callanan, 2011) dan Himpunan
Psikologi Indonesia (2011) menyatakan relasi majemuk adalah relasi yang
menempatkan praktisi pada peran profesional sekaligus peran lainnya terhadap
seorang individu yang sama, atau terhadap orang lain yang dekat dengan
individu tersebut. Pada kasus di atas, konflik muncul saat R meminta Psikolog ST
untuk meluluskannya pada psikotes karena alasan hubungan persaudaraan. Hal
tersebut telah melanggar kode etik psikologi pasal 16 mengenai hubungan
majemuk.

Sesuai dengan kasus yang telah dibahas diatas, Psikolog ST seharusnya dapat
menghindari hubungan dengan saudaranya ketika akan melakukan tes psikologi
agar dirinya dapat menjaga objektifitas sesuai dengan yang tertuang pada
pasal 16 ayat 2. Kurang objektifnya Psikolog ST dalam memberikan pelayanan
psikologi yaitu dengan membedakan antara saudara dan orang lain /
memberikan penilain dan hasil asesmen yang baik kepada saudara sendiri, dapat
berakibat buruk bagi perusahan yang menerima saudaranya bekerja Seperti
yang tertuang pada pasal 16 ayat 3, hubungan majemuk ini mendatangkan
kerugian bagi perusahaan yang menerima saudaranya, R. Psikolog ST juga tidak
melakukan langkah- langkah untuk mengatasi hal tersebut.
Dalam Al-Qur’an

‫ِﯾﻼ‬
ً ‫ﻗُ ْل ُﻛ ﱞل ﯾَﻌْ َﻣ ُل ﻋَ ﻠ َٰﻰ ﺷَﺎ ِﻛ َﻠ ِﺗﮫِۦ ﻓَرَ ﱡﺑ ُﻛ ْم أَﻋْ َﻠ ُم ِﺑﻣَنْ ھ َُو أَھْ دَ ٰى ﺳَ ﺑ‬
Artinya : Katakanlah! "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya
masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar
jalannya.

Dalam pandangan Al-Quran surat Al-Isra’: 84, sebagaimana pendapat para


mufassir, memberikan isyarat yang mengarah pada adanya petunjuk bahwa
suatu perbuatan atau pekerjaan, apapun jenis profesi yang disandang,
hendaknya dilakukan dengan profesional.
Pasal 17
Konflik Kepentingan
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menghindar dari
melakukan peran profesional apabila kepentingan
pribadi, ilmiah, profesional, hukum, finansial, kepentingan
atau hubungan lain diperkirakan akan merusak
objektivitas, kompetensi, atau efektivitas mereka dalam
menjalankan fungsi sebagai Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi atau berdampak buruk bagi pengguna layanan
psikologi serta pihak-pihak yang terkait dengan pengguna
layanan psikologi tersebut.
Kasus
Psikolog S membuka praktik psikologi seperti mendiagnosis, konseling
dan psikoterapi terhadap kliennya. Ada sebuah perusahaan yang
memakai jasa Psikolog S untuk memberikan psikotes pada calon
karyawan yang berkompeten dalam bidangnya. Namun, ketika
memberikan psikotes tersebut, ia bertemu dengan R saudaranya. R
meminta agar Psikolog S memberikan hasil psikotes yang baik agar R
dapat diterima dalam perusahaan tersebut. Karena merasa tidak enak
dengan saudaranya, akhirnya Psikolog S memberikan hasil psikotes
yang memenuhi standar seleksi penerimaan, hingga R kemudian
diterima dalam perusahaan tersebut dengan menduduki jabatan yang
tinggi. Seiring berjalannya waktu, perusahaan sering kecewa terhadap
cara kerja R. Pimpinan perusahaan kemudian menyelidiki cara
pemberian jasa Psikolog S. Namun diketahui bahwa pendirian praktik
Psikolog S ternyata belum tercatat dalam HIMPSI dan Psikolog S
tersebut sama sekali belum pernah menjadi anggota HIMPSI.
Analisis Kasus
Kasus Psikolog S berkaitan dengan Kode Etik Psikologi
Pasal 17 mengenai Konflik Kepentingan.

• Seorang psikolog harus bisa bersikap objektif ketika


melaksanakan tugasnya.
• Lebih baik ia menghindari atau tidak menyetujui
permintaan kerjasama yang berkaitan dengan peran
profesionalnya.
• Kejujuran juga sangat penting bagi seorang psikolog
sebagai bentuk profesionalisme dan tanggungjawabnya.

Hal seperti pada kasus dapat merusak objektivitas dan


efektivitas serta berdampak buruk terhadap psikolog itu
sendiri dan bagi pengguna layanan psikologi (perusahaan).
Perspektif Islam
"Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Janganlah
kalian bersaksi untuk seseorang karena kedudukannya, maka ia akan menipu kamu,
dan janganlah kalian bersaksi terhadap seseorang karena kerabatnya, maka ia akan
melanggar keadilan. Bersaksi lah untuk kebenaran, walaupun hal itu menimpa diri
kalian sendiri, ayah dan ibu kalian.'"
(HR. Bukhari no. 2582 dan Muslim no. 4)
Pasal 18
Eksploitasi
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak
melakukan hal-hal yang dianggap mengandung unsur
eksploitasi.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak
melakukan eksploitasi data yang digunakan atau
dimanipulasi untuk kepentingan pribadi.

Kedua hal ini harus dihindari karena sangat


memengaruhi penilaian masyarakat pada Psikolog
dan/atau Ilmuwan Psikologi.
Pasal 19
Hubungan profesional
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memiliki
dua jenis bentuk hubungan profesional yaitu
hubungan antar profesi yaitu dengan sesama
Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi serta
hubungan dengan profesi lain.
1. Hubungan antar Profesi
2. Hubungan dengan profesi lain
Pasal 20
Informed Consent
Informed Consent adalah persetujuan dari orang yang
akan menjalani proses di bidang psikologi yang
meliputi penelitian pendidikan/pelatihan/asesmen dan
intervensi psikologi. Persetujuan dinyatakan dalam
bentuk tertulis dan ditandatangani oleh orang yang
menjalani pemeriksaan/yang menjadi subyek penelitian
dan saksi
Kasus pasal 19 dan 20
Seorang Psikolog S membuka praktik psikologi dengan memasang plang di depan rumahnya. Ia
melakukan beberapa praktik seperti mendiagnosis, memberikan konseling dan psikoterapi
terhadap kliennya. Namun ketika memberikan hasil diagnosa, ia justru menggunakan
istilah-istilah psikologi yang tidak mudah dimengerti oleh kliennya, sehingga sering terjadi salah
paham. Ia memberikan prognosis, seperti menganalisis gangguan syaraf yang seharusnya
ditangani oleh dokter. Ia juga sering menceritakan masalah klien kepada klien baru tanpa
menyamarkan namanya. Di lain waktu, ada sebuah perusahaan membuka lowongan karyawan
baru untuk ditempatkan dalam perusahaan. Pimpinan perusahaan kemudian memakai jasa
Psikologi S untuk memberikan psikotes untuk calon karyawan yang berkompeten di bidangnya.
Namun ketika memberikan psikotes, ia bertemu dengan R saudaranya dan meminta agar
Psikolog S memberikan hasil psikotes yang baik supaya R diterima di perusahaan tersebut.
Karena merasa tidak enak Psikolog S memberikan hasil psikotes yang memenuhi standar
seleksi penerimaan, hingga R akhirnya diterima dalam perusahaan tersebut dan menduduki
jabatan tinggi.
Lama kelamaan perusahaan tersebut ternyata sering kecewa terhadap cara kerja si R karena
dianggap tidak kompeten dalam bidangnya. Sehingga akhirnya pimpinan perusahaan menyelidiki
cara pemberian jasa Psikologh S, dan terbongkar bahwa pendirian praktik psikolog S ternyata
belum tercatat dalam HIMPSI dan Psikolog S tersebut sama sekali belum pernah menjadi
anggota HIMPSI.
Analisis
Pasal 19
Psikolog S melanggar pasal ini pada bagian 2 poin b, yang berbunyi Ilmuwan Psikologi
wajib mencegah dilakukannya pemberian layanan psikologi oleh orang atau pihak lain yang
tidak memiliki kompetensi dan kewenangan. Pada kasus ini Psikolog S sendiri yang
seharusnya mencegah dilakukannya layanan psikologi. Karena diketahui bahwa ia belum
memiliki kewenangan atas izin praktek yang diberikan HIMPSI dan kompetensi yang belum
diketahui secara resmi. Hal ini menunjukkan bahwa ia tidak profesionalitas dalam
pekerjaannya yang berhubungan dengan pihak lain selain dirinya

Pasal 20
Pada kasus ini Psikolog S melanggar pasal 20 yaitu dimana dalam deskripsi kasus tidak
dijelaskan bahwa ia melakukan informed consent sebelum melakukan intervensi psikologi.
Jikalau ia sudah memberikan informed consent kepada klien, maka ia melanggar pada poin
e yang dimana klien melakukan intervensi psikologi ia tidak dapat merahasiakan masalah
dan nama dari klien sebelumnya.
Pasal 21
Layanan Psikologi Kepada
dan/atau Melalui Organisasi
Pasal 21
Layanan Psikologi Kepada dan/atau
Melalui Organisasi
Psikolog dan/atau Ilumuwan Psikologi yang memberikan
layanan psikologi kepada organisasi/perusahaan
memberikan informasi sepenuhnya. Apabila Psikolog
dan/atau Ilmuwan Psikologi dilarang oleh organisasi
peminta layanan untuk memberikan hasil informasi
kepada orang yang menjalani layanan psikologi, maka
hal tersebut harus diinformasikan sejak awal proses
pemberian layanan psikologi berlangsung.
Pasal 22
Pengalihan dan
Penghentian Layanan

Psikologi
Pasal 22
Pengalihan dan Penghentian Layanan Psikologi
hal-hal yang dapat menyebabkan pelayanan psikologi mengalami
penghentian, terpaksa dihentikan atau dialihkan kepada pihak lain. Sebelum
layanan psikologi dialihkan atau dihentikan pelayanan tersebut dengan
alasan apapun, hendaknya dibahas bersama antara Psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi dengan penerima layanan psikologi kecuali kondisinya
tidak memungkinkan.
1. Pengalihan layanan: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat
mengalihkan layanan psikologi kepada sejawat lain (rujukan)
2. Penghentian layanan: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus
menghentikan layanan psikologi
Kasus Pasal 21
Pelayanan Psikologi Yang Diberikan Kepada Atau Melalui Organisasi.

Suatu perusahaan besar mempunyai seorang HRD. Didalam perusahaan ini juga
si HRD mempunyai teman dekat dengan salah satu karyawan. Lalu pemimpin
perusahaan ingin membuat promosi jabatan dan hendak melihag evaluasi
bagaimana kinerja karyawan. Harusnya HRD ini memberikan informasi ke
pemimpinnya yang memiliki akses atas informasi tersebut. Tapi karena ini
mengenai teman dekat si HRD salah satu yang di evaluasi bersaing dengan
karyawan lainnya jadi si HRD memberikan informasi kepada temannya bahwa si
pemimpin perusahaan akan melakukan pengevaluasoan. Lalu dikarena temennya
ini teman dekat si HRD maka dengan si HRD yang membuat akses penuh dalam
berkomunikasi dengan pemimpinnya maka si HRD memanipulasi data bahwa si
temannya ini mempunyai kinerja yang cukup baik padahal sebenarnya kinerja si
temannya ini biasa saja.
Kasus Pasal 22
Ketergantungan Dari Pengguna Layanan Psikologi Maupun Orang Yang Menjalani
Pemeriksaan Terhadap Psikolog dan atau Ilmuan Psikologi Yang Bersangkutan Sehingga
Timbul Perasaan Tak Nyaman atau Tidak Sehat Pada Salah Satu atau Kedua Belah Pihak.

Prilly adalah seorang psikolog yang sedang menghadapi pasien laki-laki dan telah
melakukan pertemuan kedua kali. sementara masih ada 2 kali pertemuan lagi namun
pada saat prilly menerima info hal yang terjadi pada pasiennya dari kerabat kliennya itu
menyarankan bahwa klien itu seorang lesbian (penyuka sesama jenis wanita). Dan ini
membuat ia tak nyaman dan geli dan takut dengan mendadak ia menghentikan
pertemuan tersebut sementara seharusnya, dia harus menuntaskan masalah kliennya
terlebih dahulu dan menyampingkan perasaan terhadap pasiennya.
Pasal 21
Analisis pada kasus ini HRD melanggar pasal
21 yaitu dimana dalam kasus
Kasus tersebut HRD memiliki hubungan
dekat dengan karyawan nya.

Pasal 22
pada kasus ini Prilly melanggar pasal 22
yaitu dimana dia menghentikan
pertemuan yang seharusnya dia
tuntaskan masalah kliennya terlebih
dahulu atau pengguna layanan psikologi
masih membutuhkan layanan tersebut,
tetapi ia malah menghentikannya karena
alasan pribadi.
Referensi :
https://id.scribd.com/document/420056713/Kode-Etik-Psikologi-Pasal-15-Dan-16
https://mediacenter.palangkaraya.go.id/menghindari-segala-bentuk-kezaliman/
https://tafsirweb.com/9782-surat-al-hujurat-ayat-12.html
https://prezi.com/p/oowbpcqq-h2v/analisis-kasus-pelanggaran-kode-etik-psikologi/?fallback=1
https://informatics.uii.ac.id/2021/12/17/islam-melindungi-perempuan-dari-kekerasan-seksual/#:~
:text=Islam%20mengharamkan%20segala%20bentuk%20kekerasan,An%2DNur%3A%2033).
https://islam.nu.or.id/khutbah/anjuran-islam-tentang-etos-kerja-dan-profesionalisme-5ElUf
https://www.studocu.com/id/document/universitas-muhammadiyah-prof-dr-hamka/kode-etik-ps
ikologi/kode-etik-psikologi/46521744
https://www.scribd.com/document/499549054/Tugas-2-Analisa-Kasus-Kelompok-2#
TERIMA KASIH
KELOMPOK 3

Anda mungkin juga menyukai