Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan yang cepat, hubungan yang dekat dengan beberapa profesi seperti
psikiatri, pendidikan, manajemen serta sulitnya mengontrol praktik psikologis mengarah
kepada suatu masalah yang penting harus segera ditanggulangi, yaitu kurangnya kode
etik profesional, khususnya malpraktik. Kode etik tersebut seharusnya dapat menjelaskan
hal-hal terkait pertanyaan: Siapa yang berhak mengadministasikan tes psikologis?
Apakah psikiater, konselor, pendidikan atau manajer personalia berhak untuk
mengadministrasikan tes psikologis?
Selayaknya bidang-bidang profesional lainnya seperti Kedokteran, Hukum
ataupun lainnya, maka dalam ranah Psikologi juga terdapat pembahasan atau juga “Kode
Etik” hal ini digunakan untuk mengatur berbagai hal terkait dalam praktik psikologis.

Tujuan
Agar kita mahasiswa (calon-calon) Psikolog lebih bisa menghargai Kode Etik dan
mengikuti peraturan yang sudah ada dibuat.

BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Kode Etik


Kode etik adalah pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu
kegiatan atau pekerjaan.

Tujuan Kode Etik


Untuk menjunjung tinggi martabat profesi.
Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota.
Untuk meningkatkan mutu profesi.

Fungsi Kode Etik


Menurut Biggis dan Blocher mengemukakan tiga fungsi kode etik yaitu:
Melindungi suatu profesi dari campur tangan pemerintah.
Mencegah terjadinya pertentangan internal dalam suatu profesi.
Melndung para praktisi dari kesalahan praktik suatu profesi.

Psikologi Perkembangan Anak


Berkembang  merupakan salah satu tahap dalam Psikologi Perkembangan. Perkembangan
diartikan sebagai perubahan yang continue dan sistematis dalam diri seseorang sejak
tahap konsepsi sampai meninggal dunia. Perkembangan berkaitan dengan kematangan
secara biologis dan proses belajar. Demikian pula dalam perkembangan anak, secara
biologis dia harus berada dalam kondisi sesuai umurnya. Terdapat pola kesamaan
perkembangan dalam diri seseorang dengan anak lainnya pada tahap usia tertentu. Setiap
orang pasti mengalami perkembangan, baik perkembangan fisik maupun perkembangan
rohani. Perkembangan seorang anak secara umum digambarkan melalui periode-periode,
yaitu: Periode pra-natal, periode bayi, periode masa kanak-kanak awal, periode masa
kanak-kanak tengah dan akhir dan periode remaja.

BAB III
STUDI KASUS
Seorang ibu membawa anaknya yang masih duduk di bangku dasar kelas 2 ke psikolog di
Biro Psikologi YYY. Sang Ibu meminta kepada psikolog agar anaknya diperiksa apakah
anaknya termasuk anak autisme atau tidak. Sang Ibu khawatir bahwa anaknya menderita
kelainan autisme karena sang Ibu melihat tingkah laku anaknya berbeda dengan tingkah
laku anak-anak seumurnya. Psikolog itu kemudian melakukan test terhadap anaknya. Dan
hasilnya sudah diberikan kepada sang Ibu, tetapi sang Ibu tersebut tidak memahami
istilah-istilah dalam ilmu Psikologi. Ibu tersebut meminta hasil ulang test  dengan bahasa
yang lebih mudah dipahami. Setelah dilakukan hasil tes ulang, ternyata anak tersebut
didiagnosa oleh Psikolog yang ada di Biro Psikologi itu mengalami autis. Anak tersebut
akhirnya diterapi. Setelah beberapa bulan tidak ada perkembangan dari hasil proses
terapi. Ibu tersebut membawa anaknya kembali ke Biro Psikologi yang berbeda di kota
X, ternyata anak tersebut tidak mengalami autis, tetapi slow learned. Padahal anak
tersebut sudah mengkonsumsi obat-obatan dan makanan bagi anak penyandang autis.
Setelah diselediki ternyata Biro Psikologi YYY tersebut tidak memiliki izin praktek dan
yang menangani bukan Psikolog, hanyalah sarjana Psikologi Strata 1. Ibu tersebut ingin
melaporkan kepada pihak yang berwajib, tetapi Ibu tersebut dengan Psikolog itu tidak
melakukan draft kontrak dalam proses terapi.
KAITAN KASUS DENGAN KODE ETIK PSIKOLOGI

Kasus di atas dalam Kode Etik Psikologi melanggar pasal -pasal yaitu:

Pasal 4
Penyalahgunaan di bidang Psikologi

b) Pelanggaran sedang yaitu:


Tindakan yang dilakukan oleh Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi karena kelalaiannya
dalam melaksanakan proses maupun penanganan yang tidak sesuai dengan standar
prosedur yang telah ditetapkan mengakibatkan kerugian bagi salah satu tersebut di bawah
ini:
i. Ilmu psikologi
ii. Profesi Psikologi
iii. Pengguna Jasa layanan psikologi
iv. Individu yang menjalani Pemeriksaan Psikologi
v. Pihak-pihak yang terkait dan masyarakat umumnya.
Dalam kasus Psikolog lalai dalam melaksanakan proses dan mendiagnosa klien sehingga
menimbulkan kerugian bagi klien dan keluarga klien.

Pasal 7
Ruang Lingkup Kompetensi

(1) Ilmuwan Psikologi memberikan layanan dalambentuk mengajar, melakukan


penelitian dan/atau intervensi sosial dalam area sebatas kompetensinya, berdasarkan
pendidikan, pelatihanatau pengalaman sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan.
            Dalam kasus, individu yang ada di biro psikologi itu bukan psikolog, melainkan
hanya ilmuan psikologi yaitu sarjana S1 yang tidak berhak membuka praktek dan
melakukan intervensi terapi, karena kompetensi melakukan terapi dan intervensi adalah
kompetensi psikolog

Pasal 65
Interpretasi Hasil Asesmen

Psikolog dalam menginterpretasi hasil asesmen psikologi harus mempertimbangkan


berbagai faktor dari instrumen yang digunakan, karakteristik peserta asesmen seperti
keadaan situasional yang bersangkutan, bahasa dan perbedaan budaya yang mungkin
kesemua ini dapat mempengaruhi ketepatan interpretasi sehingga dapat mempengaruhi
keputusan.

Pasal 66
Penyampaian Data dan Hasil Asesmen
(1) Data asesmen Psikologi adalah data alat/ instrument psikologi yang berupadata
kasar,respon terhadap pertanyaan atau stimulus, catatan serta rekam psikologis.Data
asesmenini menjadi kewenangan Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang melakukan
pemeriksaan.Jika diperlukan data asesmen dapat disampaikan kepada sesama profesi
untuk kepentinganmelakukan tindak lanjut bagi kesejahteraan individu yang menjalani
pemeriksaan psikologi.
(2) Hasil asesmen adalah rangkuman atau integrasi data dari seluruh proses pelaksanaan
asesmen. Hasil asesmen menjadi kewenangan Psikolog yang melakukan pemeriksaan dan
hasil dapat disampaikan kepada pengguna layanan. Hasil ini juga dapat disampaikan
kepada sesama profesi, profesi lain atau pihak lain sebagaimana yangditetapkan oleh
hukum.
(3) Psikolog harus memperhatikan kemampuan pengguna layanan dalam menjelaskan
hasil asesmen psikologi. Hal yang harus diperhatikan tikan adalah kemampuan bahasa
dan istilahPsikologi yang dipahami pengguna jasa.
Jadi, psikolog tersebut harusnya menyampaikan secara jelas hasil pemeriksaan psikologis
klien dengan bahasa yang mudah dipahami. Hal ini dikarenakan agar klien tidak merasa
dirugikan ketika datang ke praktek psikologi. Selain itu, ketika klien meminta tes ulang,
bisa saja sudah terjadi bias di dalam tes, karena klien sudah mengetahui tentang apa – apa
yang ingin dilakukan tes atau pemeriksaan.

Pasal 73
Informed Consent dalam Konseling dan Terapi
(1) Konselor/Psikoterapis wajib menghargai hak pengguna layanan psikologi untuk
melibatkan diri atau tidak melibatkan diri dalam proses konseling psikologi/psikoterapi
sesuai denganazas kesediaan. Oleh karena itu sebelum konseling/psikoterapi
dilaksanakan, konselor/psikoterapis perlu mendapatkan persetujuan tertulis (Informed
Consent) dari orang yang menjalani layanan psikologis. Persetujuan tertulis
ditandatangani oleh klien setelah mendapatkan informasi yang perlu diketahui terlebih
dahulu.

     Dalam kasus, tidak ada draft kontrak antara ibu anak tersebut dengan psikolog
sehingga ibu kesulitan untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib tentang persoalan
ini.
Selain melanggar pasal-pasal dalam kode etik tersebut, kasus diatas juga tidak memiliki
izin praktek dari HIMPSI.

Solusi yang disarankan untuk kasus ini adalah


1.      Melaporkannya kepada HIMPSI daerah dimana biro psikologi itu berdiri dan akan
ditindak lanjuti oleh majelis psikologi sesuai dengan pasal 3 ayat 2 kode etik psikologi
Indonesia
2.      Melaporkannya kepada pihak yang berwajib dengan membawa hasil tes anak yang
didiagnosa autis tersebut dan membandingkannya dengan hasil tes anak yang didiagnosa
slow learned.
3.      Melakukan tes ulang pada psikolog yang berbeda tentang hambatan perkembangan
yang dialami oleh anak, karena mungkin saja si anak mengalami autis atau slow learned
atau gangguan yang lainnya.
4.      Ketika mengunjungi psikolog atau suatu biro psikologi, harap memperhatikan SIP
dan No Praktek dari psikolog atau biro psikologi yang bersangkutan yang dikeluarkan
oleh HIMPSI pusat.
5.      Harus meminta adanya informed consent jika klien harus melakukan terapi agar
memudahkan antara psikolog dank lien.

BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
Dari makalah diatas kita dapat menyimpulkan bahwa sebagai mahasiswa calon psikolog
kita harus menaati etika-etika dalam penelitian psikologi perkembangan. Kerahasiaan
klient sangat penting untuk dijaga sebagai profesionalitas sebagai seorang psikolog.

Saran
Sebagai calon psikolog kita harus menaati etika-etika yang berlaku.

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena ridho-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul Contoh Pelanggaran Kode Etik Psikologi Pada Masyarakat Psikologi. Shalawat dan Salam tetap
tercurah kepada Baginda Muhammad SAW. dan keluarga serta sahabat yang telah menuntun kita dari
jalan yang gelap menuju jalan yang terang-benderang. Terima kasih pula kepada dosen pengasuh yang
telah memberi bimbingan kami untuk mengurai materi yang akan kami presentasikan. Dan terima kasih
terhadap teman-teman yang telah memberi kritik dan saran untuk kesempurnaan makalah ini. Makalah ini
tentulah belum sepenuhnya sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapan masukkan untuk
menyempurnakan makalah ini. Atas partisipasinya kami ucapkan terima kasih.

Makassar, 28 September 2017

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C.
Tujuan Pembahasan BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Pelanggaran B. Pengertian Kode Etik
Psikologi C. Psikolog D. Ilmuwan Psikologi E. Layanan Psikologi BAB III A. Kesimpulan B.Saran DAFTAR
PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kode etik adalah suatu acuan yang dibuat untuk beberapa
profesi yang memerlukannya, kode etik sendiri diyakini dapat menjadi barometer tindakan profesional
dalam suatu profesi, termasuk psikolog yang memerlukan kode etik psikologi untuk menjadi acuan agar
dapat bertindak selayaknya psikolog atau ilmuwan psikologi dan sebagainya. Namun, sering kali kode
etik ini disalahgunakan dan tidak diindahkan oleh seorang psikolog maupun ilmuwan psikolog lainnya.
Tidak menutup kemungkinan adanya pelanggaran yang bermacam-macam dilakukan oleh psikolog atau
ilmuwan psikologi. Oleh karena itu, makalah ini kami buat untuk mengetahui pelanggaran apa saja yang
telah dilakukan oleh para psikolog dan bagaimana analisis dari beberapa pelanggaran tersebut dan juga
bagaimana saran yang diberikan untuk menghindari adanya pelanggaran lagi. 1.2 Rumusan Masalah 1.
Apa saja pelanggaran yang telah di lakukan? 2. Bagaimana analisis pelanggaran tersebut menurut pasal
yang telah berlaku? 3. Bagaimana saran yang diberikan agar pelanggaran tersebut tidak terulang
kembali? 1.3 Tujuan Pembahasan 1. Untuk mengetahui dan memahami pelanggaran yang telah
dilakukan agar tidak mengulanginya lagi 2. Untuk mengetahui dan memahami cara menganalisis kasus
dari pelanggaran yang ada dengan Undang-Undang yang ada 3. Untuk mengatahui dan memahami hal-
hal yang harus dihindari agar tidak dapat mengulangi pelanggaran yang sama.

BAB I LANDASAN TEORI

A. Pengertian Pelanggaran

Pelanggaran adalah perilaku yang menyimpang untuk melakukan tindakan menurut kehendak sendiri
tanpa memperhatikan peraturan yang telah dibuat. B. Pengertian Kode Etik Psikologi

Kode Etik Psikologi adalah seperangkat nilai-nilai untuk ditaati dan dijalankan dengan sebaik-baiknya
dalam melaksanakan kegiatan sebagai psikolog dan ilmuwan psikologi di Indonesia.
C.

PSIKOLOG adalah lulusan pendidikan profesi yang berkaitan dengan praktik psikologi dengan 12 Juni
2010 Kode Etik Psikologi Indonesia latar belakang pendidikan Sarjana Psikologi lulusan program
pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1) sistem kurikukum lama atau yang mengikuti pendidikan tinggi
psikologi strata 1 (S1) dan lulus dari pendidikan profesi psikologi atau strata 2 (S2) Pendidikan Magister
Psikologi (Profesi Psikolog). Psikolog memiliki kewenangan untuk memberikan layanan psikologi yang
meliputi bidang-bidang praktik klinis dan konseling; penelitian; pengajaran; supervisi dalam pelatihan,
layanan masyarakat, pengembangan kebijakan; intervensi sosial dan klinis; pengembangan instrumen
asesmen psikologi; penyelenggaraan asesmen; konseling; konsultasi organisasi; aktifitasaktifitas dalam
bidang forensik; perancangan dan evaluasi program; serta administrasi. Psikolog DIWAJIBKAN
MEMILIKI IZIN PRAKTIK PSIKOLOGI sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

D.

ILMUWAN PSIKOLOGI adalah ahli dalam bidang ilmu psikologi dengan latar belakang pendidikan strata
1 dan/atau strata 2 dan/atau strata 3 dalam bidang psikologi. Ilmuwan psikologi memiliki kewenangan
untuk memberikan la- 13 Juni 2010 Kode Etik Psikologi Indonesia yanan psikologi yang meliputi bidang-
bidang penelitian; pengajaran; supervisi dalam pelatihan; layanan masyarakat; pengembangan kebijakan;
intervensi sosial; pengembangan instrumen asesmen

psikologi;

pengadministrasian

asesmen;

konseling

sederhana;konsultasi

organisasi; perancangan dan evaluasi program. Ilmuwan Psikologi dibedakan dalam kelompok ilmu murni
(sains) dan terapan.

E. LAYANAN PSIKOLOGI adalah segala aktifitas pemberian jasa dan praktik psikologi dalam rangka
menolong individu dan/atau kelompok yang dimaksudkan untuk pencegahan, pengembangan dan
penyelesaian masalah-masalah psikologis. Layanan psikologi dapat berupa praktik konseling dan
psikoterapi; penelitian; pengajaran; supervisi dalam pelatihan; layanan masyarakat; pengembangan
kebijakan; intervensi sosial dan klinis; pengembangan instrumen asesmen psikologi; penyelenggaraan
asesmen; konseling karir dan pendidikan; konsultasi organisasi; aktifitas-aktifitas dalam bidang forensik;
perancangan dan evaluasi program; dan administrasi.

BAB III PEMBAHASAN


Contoh kasus: NN adalah seorang psikolog yang barusaja menyandang gelar psikolognya dan bekerja
pada salah satu biro psikologi di Kota JK bersama dengan beberapa ilmuan psikologi dan psikolog yang
lain. Suatu hari, datang klien berinisial AB yang menderita depresi berat sehingga mencoba membunuh
diri dan membutuhkan layanan darurat di biro tersebut, namun para psikolog senior sedang ke luar kota
untuk melakukan perjalanan dinas selama beberapa minggu sehingga klien tersebut diberikan kepada
psikolog NN dengan maksud pemberian layanan darurat untuk sementara waktu. Beberapa hari
kemudian, salah seorang psikolog senior berinisial SH kembali ke Kota JK untuk melakukan penanganan
kepada klien AB, namun psikolog NN menolak untuk memberikan penanganan klien tersebut kepada
psikolog SH karena menganggap bahwa dirinya mampu menyelesaikan masalah klien AB hingga selesai
tanpa bantuan dari psikolog SH walaupun penanganan yang diberikan oleh NN ke AB tidak menunjukkan
hasil yang signifikan.

Analisis: Kasus di atas menunjukkan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh psikolog NN kepada
psikolog SH pada: 1.

BAB I Pedoman Umum, pasal 4 prinsip C tentang profesional yang berbunyi “Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi dapat berkonsultasi, bekerjasama dan/atau merujuk pada teman sejawat, professional lain
dan/atau institusi-institusi lain untuk memberikan layanan terbaik kepada pengguna layanan psikologi.
Dalam kasus tersebut, psikolog NN menolak untuk memberikan pelayananan klien AB kepada psikolog
SH sehingga melanggar pasal 4 prinsip C yang menolak memberikan layanan terbaik kepada pengguna
layanan psikologi.

2.

BAB III Kompetensi pasal 12 ayat 3 dan 4 tentang Pemberian Layanan Psikologi dalam Keadaan darurat
yang berbunyi “Selama memberikan layanan psikologi dalam keadaan darurat, Psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi yang belum memiliki

kompetensi yang dibutuhkan perlu segera mencari psikolog yang kompeten untuk mensupervisi atau
melanjutkan pemberian layanan psikologi tersebut (3). Apabila psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang
lebih kompeten telah tersedia atau kondisi darurat telah selesai, maka pemberian layanan psikologi
tersebut harus dialihkan kepada yang lebih kompeten atau dihentikan segera (4). Kasus di atas sangat
jelas bahwa psikolog NN tidak segera mencari psikolog yang kompeten untuk mensupervisi atau
melanjutkan pemberian layanan psikologi seperti yang dijelaskan pada pasal tiga (3), dan tidak bersedia
mengalihkan layanan AB kepada SH walaupun tidak ada perubahan yang signifikan pada AB seperti
yang dijelaskan pasal empat (4).

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pelanggaran kode
etik psikologi ini rentan terjadi di lingkungan masyarakat psikologi. Mulai dari pelanggaran dalam
penanganan klien yang menggunakan jasa layanan psikologi. B. Saran

1. Memberikan pengarahan kepada psikolog/Ilmuwan psikologi yang belum kompeten mengenai kode
etik HIMPSI terkait kerjasama dengan teman sejawat demi memberikan layanan terbaik kepada
pengguna jasa psikologi. 2. HIMPSI memberikan pengarahan kepada psikolog/Ilmuwan psikologi yang
belum kompeten mengenai kode etik psikolog/Ilmuwan psikologi dalam pemberian layanan darurat dan
bagaimana langka selanjutnya ketika pemberian layanan telah dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA HIMPSI. (2010). Kode etik psikologi Indonesia (Hasil Kongres XI HIMPSI).
Surakarta: Pengurus Pusat HIMPSI. http://utamitamii.blogspot.co.id/2014/10/contoh-kasus-pelanggaran-
kode-etik.html http://sarwono-supeno.blogspot.co.id/2012/04/pengertian-pelanggaran.html

10

Anda mungkin juga menyukai