Anda di halaman 1dari 11

BAB VII

ASPEK HUKUM DALAM PSIKOLOGI

1. Etika

Individu "etis" adalah individu yang secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi asas keseimbangan
antara kepentingan pribadi dengan pihak yang lainnya, antara rohani dengan jasmaninya, sebagai
makhluk yang berdiri sendiri dengan penciptanya. Bahkan untuk menyatakan bahwa keberadaan
manusia dapat bermakna apabila dihayati sebagai eksistensi yang etis. Penghayatan itu tampak melalui
sikap dan perilaku seseorang, baik sebagai pribadi sendiri maupun dalam interaksi antar pribadi.

Sikap dan perilaku seseorang memiliki makna sebagai perilaku etika yang ada dalam hubungan antar
pribadi, dan kesadaran etika tetap berfungsi walaupun berada seorang diri, terlepas dari keterikatan
dengan orang lain. Banyak filsuf beranggapan, bahwa dimensi etika melekat pada pribadi manusia
sebagai subyektif.

Istilah melanggar etik adalah untuk dapat dipergunakan dalam mengaitkan kelakuan (conduct) yang
tidak sesuai dengan mutu profesional yang tinggi, maupun kebiasaan dan cara-cara yang lazim
dipergunakan.

Titik sentral etik dengan etika profesi adalah penilaian terhadap hal-hal yang disetujui dan yang tidak
disetujui. Titik sentralnya antara lain adalah apa yang benar dan apa yang salah, apa yang merupakan
kebaikan dan apa yang merupakan keburukan, apa yang merupakan kejahatan dan apa yang
dikehendaki dan apa yang ditolak oleh lingkungan sekitarnya.

2. Etika Profesi

Pendidikan akademik adalah pendidikan yang sebagian besar ditujukan untuk penugasan dan
pengembangan ilmu dengan bobot keterampilan agak sedikit. Pendidikan akademik dalam pengertian
lain adalah pendidikan dengan program gelar Sarjana/Strata satu, Magisterbatau Strata dua, Doktor
atau Strata tiga yang selama pendidikannya diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi, Institut atau
Universitas.
Di Indonesia, kode etik suatu profesi biasanya disusun oleh wakil-wakil yang duduk dalam asosiasi
profesi itu sendiri. Kesulitan akan timbul apabila untuk satu macam profesi terdapat lebih dari satu
asosiasi. Kesulitan lebih jauh akan timbul, jika prinsip-prinsip profesi diterjemahkan secara berbeda
dalam kode etik masing-masing. Sebelum menyusun kode etik profesi biasanya menyusun kaidah.
kaidah etika dalam kehidupan bidang tugas profesinya.

Etika profesi adalah bagian dari etika sosial yaitu filsafat atau pemikiran kritis rasional tentang kewajiban
dan tanggung jawab manusia sebagai anggota umat manusia (Kansil, 2006).

Undang-undang Nomor 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) pasal 17 menyatakan
"Pendidikan Tinggi terdiri atas pendidikan akademik dan pendidikan profesional". Oleh sebab itu suatu
profesi memiliki kewajiban dan tanggung jawab terhadap bidang tugasnya masing-masing.

Profesi dapat dibedakan profesi yang pada umumnya dikerjakan oleh berbagai profesi dalam bidangnya,
dan profesi pekerjaan yang luhur. Pengertian profesi lebih khusus dibandingkan dengan pengertian
pekerjaan. Profesi adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah
hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian khusus. Persyaratan adanya keahlian yang khusus
membeda kan antara pengertian profesi dan pekerjaan.

Menurut Suhadi (1999), yang dimaksud dengan profesi jalah suatu jabatan yang memerlukan pendidikan
keahlian khusus dalam suatu bidang tertentu, dan dengan keahliannya itu pemegang jabata tersebut
dapat berfungsi lebih baik daripada mereka yang tida romanliki keahlian. Misalnya advokat, notaris,
dokter, doses dibeniawan. Para penyandang sebutan profesi itu yang juga dap disebut, seorang
profesionalis itu bekerja demi pelayanan da pengabdian kepada masyarakat, bukannya untuk mengejar
materi atau mencari uang, walaupun materi atau uang itu juga perlu dem kelangsungan hidup dan
pengabdian mereka.

Profesi menunjukkan pada suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian, tanggung jawab dan
kesetiaan pada profesi. Suatu profesi secara teoritis tidak dapat dilakukan oleh sembarang orangyang
tidak dilatih atau disiapkan sebelumnya. Profesional menunjukkan pada penampilan seseorang yang
sesuai dengan tuntutan yang seharusnya,"dia seorang profesional", misalnya seorang dokter, insinyur
dan lain-lain.

Profesionalisasi menunjukkan pada proses menjadikan seseorang sebagai profesional melalui


pendidikan prajabatan dan atau dalam jabatan proses pendidikannya biasanya lama dan intensif.

Profesionalitas menunjukkan pada derajat dan penampilan seseorang sebagai profesional, atau
penampilan suatu pekerjaan sebagai suatu profesi, ada yang profesionalitasnya tinggi ada yang sedang
dan ada yang rendah.

Profesionalisme mengacu pada sikap dan komitmen anggota profesi untuk bekerja berdasarkan pada
standar yang tinggi dan kode etik profesinya. Berbagai istilah tentang etika profesi akan membantu
memahami etika profesi utamanya profesi psikologi.
3. Organisasi Himpunan Psikologi Indonesia

Himpunan Psikologi Indonesia atau HIMPSI sebagai wadah berhimpunnya profesional psikologi, doktor
psikologi maka perlu menyusun program Sertifikasi Kompetensi Keprofesian Psikologi yang diharapkan
dapat mengarah pada peningkatan kualifikasi keprofesian.

Sebutan profesi psikologi telah dilakukan dalam pertemuan Kolokium Psikologi V di Jakarta tanggal 6-7
Oktober 2000, khususnya hasil Komisi III yang membahas tentang profesi, disebutkan bahwa
kompetensi psikologi mengacu pada konsep kompetensi psikolog dari American Psychological
Assosciation (APA) yaitu relationship. assessment, intervention, research and evolution, consultation,
teaching. Adanya perlindungan dari organisasi atau HIMPSI kepada perlu des profesi psikologi antara
lain sebagai berikut.

a. Adanya persaingan tidak sehat antar sesama Psikolog anggota HIMPSI. Bentuk persaingan, misalnya
persaingan besarnya tarif dan psikologi.

b. dan layanandak sehat dari Sarjana Psikologi/Psikolog bukan ango ta HIMPSI, pada umumnya
cenderung mencari keuntungan pribadi dan mengabaikan Kode Etik Psikologi, yang dapat menimbulkan
malpraktik.

c. Persaingan tidak sehat karena adanya praktik pelayanan jasa psiko logi oleh orang yang sebenarnya
bukan Sarjana Psikologi/Psikolog sehingga tidak memahami dan menguasai teknik-teknik dan prosedur
yang baku dalam pemeriksaan psikologis. Akibatnya terjadi penyimpangan dalam memberikan
pelayanan yang mudah, biaya murah, cepat, tidak ada rahasia terhadap hasil psikotes yang dilakukan.
Sehingga sebagian masyarakat mudah tertarik kepada nya, karena tidak didapatkan dari psikolog yang
memegang teguh Kode Etik Psikologi. Psikolog yang sebenarnya akan melakukan prosedur pela-yanan
secara profesional dan dampaknya dapat ditinggalkan klien atau pelanggan.

d. Legalitas hukum dari praktik psikologi merupakan suatu tuntutan mutlak.

e Wahana pembinaan Psikolog sebagai anggota HIMPSI yang melaku kan praktik. Adanya aturan dan
mekanisme pengawasan dan pembinaan secara periodik Surat Izin Praktik, maka para Psikolog dapat
mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi yang selanjutnya akan mempengaruhi kualitas pelayanan
pemberian jasa psikologi yang dilakukannya.

4. Sertifikasi Psikolog

Sertifikasi dapat diberikan oleh perguruan tinggi (ijazah) dan HIMPSI dalam kaitannya dengan
pendidikan peningkatan kemampuan atau keterampilan anggotanya, yang dapat digunakan untuk
menambah angka kredit yang diperlukan sebagai salah satu persyaratan untuk perpanjangan ijin praktik
psikologi dan penjenjangan keahlian.

Informasi mengenai perkembangan profesi psikologi di Indone sia diperlukan terutama untuk meluaskan
pemahaman bahwa profesi psikolog tidak semata-mta diartikan dalam kajian ruang lingkup kerja atau
terapan psikolog saja.

Sertifikat sebutan psikolog diperlukan karena tidak semua psikolog yang ada pada ijazahnya
mencantumkan keahlian psikologi sebagai psikolog. HIMPSI menerbitkan sertifikat sebutan psikolog.
Sertifikat tidak berlaku sebagai ijin praktik psikologi namun hanya menegaskan pengakuan bahwa
pemegangnya adalah lulusan pendi- dikan psikologi sebagai psikolog dan berhak menyandang sebutan
psikolog yang dituliskan dibelakang namanya.

Berdasarkan Surat Keputusan Nomor. 10/PSKVIII/HIMPSI/2000 tentang Pedoman sertifikasi kompetensi


keprofesian psikologi adalah sebagai berikut.

a. Pengurus HIMPSI periode 2000-2003 menerima mandat dari kongres VIII HIMPSI untuk mengatur tata
cara penggunaan sebutan profesi psikologi dengan benar.

b. Perkembangan pendidikan psikologi di Indonesia yang semakin beragam, tidak lagi meluluskan
psikolog saja, tetapi juga menghasilkan lulusan yang terbagi dalam beberapa kategori yaitu: Sarjana
Psikologi, Psikolog, Magister Psikologi, Doktor Psikologi

c. Era globalisasi mendorong organisasi profesi untuk melakukan standarisasi profesi yang berlaku
secara nasional dan diakui secara internasional.

d. Sesuai catatan dari sidang komisi C pada kongres VIII HIMPSI tahun 2000, dibedakan pengertian
antara sertifikasi dan lisensi. Sertifikasi dibuat untuk melindungi sebutan psikolog tetapi tidak mengatur
praktik psikologi. Lisensi pemahamannya lebih luas dari sertifikasi karena tidak hanya melindungi
psikolog tetapi juga melindungi masyarakat dalam praktik-praktik psikologi, yang mungkin dilakukan
oleh orang-orang yang tidak berhak.

Gelar psikologi yang berkaitan dengan ijin praktik antara lain adalah gelar Drs/Dra dengan kurikulum
lama dan sistem paket murni dan perguruan tinggi negeri. Gelar S.Psi ada pada sistem kredit semester
dan perguruan tinggi negeri dan kurikulum nasional berdasar pada SK Mendikbud No. 18/D/O/1993.
Pada kurikulum lama perguruan yang sudah mengikuti ujian negara sarjana psikologi tinggi sulusan
pendidikan psikologi di Pendidikang sudah lokala lukan akreditasi oleh Direktorat Pendidikan Tinggi
(Dikt) Depadiknas dan S.Psi dengan Program Profesi, semuanya mendapat Sebutan psikolog. Hasil
pembahasan merumuskan bahwa sertifikasi praktik psikologi diberikan kepada psikolog. Psikolog yang
lulusan petelah setelah tahun 2005 mempunyai gelar M. Psi., Drs/Dra dan S.Psi sesuai kategorinya dan
S.Psi dengan profesi berhak mendapat sertifikasi praktik psikologi walaupun bukan M. Psi.

5. Ijin Praktik Psikologi


Perkembangan awal pada sarjana Psikologi Indonesia yang akan melakukan praktik psikologi diharuskan
memiliki ijin praktik dari pemerintah. Secara operasional pelaksanaan ijin praktik bagi sarjana psikologi
diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: PER-01/MEN/1983 tertanggal
1 Februari 1993, Pada perkembangan selanjutnya ijin praktik Psikologi dilakukan oleh Himpunan
Psikologi Indonesia/HIMPSI, dilanjutkan dengan kode etik psikologi. Praktik profesi psikologi sudah
berjalan, bahkan banyak yang menawarkan dan menyatakan mampu memberikan layanan jasa
psikologi. Pentingnya pengaturan Surat Ijin Praktik untuk Sarjana Psikologi/Surat Izin Praktik S.Psi adalah
sebagai berikut.

a. Memberi perlindungan kepada klien dari malpraktek yang dilakukan oleh pemberi jasa psikologi yang
kurang atau tidak bertanggung jawab. Adanya keharusan memiliki Surat Izin Praktik-S.Psi pemberi jasa
psikologi dapat diketahui identitas, alamat praktik, latar belakang kemampuan dan baku tidaknya
prosedur pemberian jasa psikologi yang dilakukan. Adanya perlindungan itu berarti pemerintah
berusaha melindungi klien dari kemungkinan menjadi korban penipuan.

b. Memberi perlindungan kepada masyarakat luas dari kemungkinan penipuan oleh orang-orang yang
tidak atau kurang bertanggung jawab, baik karena sebenarnya tidak mempunyai wewenang melakukan
praktik psikologi, disebabkan tidak memiliki kemampuan yang diperlukan, maupun hanya untuk mencari
keuntungan pribadinya. Pencantuman ada tidaknya Surat Izin Praktik-S.Psi oleh setiap orang yang
membuka praktik jasa psikologi, membuat masyarakat dan pemerintah dapat mengontrol orang yang
bersangkutan.

c. Pemerintah dapat mengontrol setiap pemohon Surat Izin Praktik- S.Psi benar tidaknya yang
bersangkutan memiliki kemampuan yang diperlukan untuk dapat memberikan layanan jasa psikologi
sesuai pembakuan yang berlaku dalam lingkungan profesi psikologi.

d. Perlindungan kepada profesi psikologi pada umumnya, yaitu dengan kontrol pemberian Surat Izin
Praktik-S.Psi berarti sarjana psikologi pemilik Surat Izin Praktik S.Psi akan terlindungi dan tidak disusupi
oleh orang-orang yang tidak berwenang.

Untuk dapat berpraktik psikologi diperlukan Surat Ijin Praktik Psikologi. Surat Ijin Praktik Psikologi
diterbitkan oleh HIMPSI Pusat, pemberiannya dilakukan oleh HIMPSI Wilayah. Ketentuan mengenai
praktik psikologi menjadi wewenang Dewan Penilai dengan memperhatikan masukan dari pengurus
HIMPSI dan pihak terkait lainnya. Termasuk dalam pengaturan pemberian sertifikat sebutan psikolog
bagi lulusan Sistem Paket Murni dan Sistem Kredit Semester, sedangkan lisensi hanya diperlukan oleh
psikolog yang berpraktik dan hanya diberikan oleh HIMPSI dalam bentuk Surat Ijin Praktik Psikologi.

6. Kode Etik Psikologi Indonesia

Kode Etik merupakan kaidah atau kode yang berhubungan dengan perilaku individu dan tegaknya kaidah
atau kode tergantung pada individu yang menggunakannya sebagai pedoman pelaksanaan- nya. Setiap
kaidah berlaku code of conduct yang bertolak dari suatu kaidah etika (code of eties) dengan sendirinya
tidak akan cukup dikurung oleh keinsyafan tentang adanya dan kesadaran tentang berlakunya kaidah-
kaidah itu, melainkan juga ditentukan oleh sejauh mana kaidah-kaidah menjadi suatu nurani yang
menuntun seseorang dalam menetapkan tindakan pilihan pribadi (personal act of choice) Suatu kode
etik berfungsi sebagai pemandu sikap dan tingkahlaku, menjadi fungsi nurani. Dirumuskannya suatu
decid diumpamakan sebagai usaha menempatkan rambu-rambu eksten untuk memandu sikap dan
aktualisasi perilaku, fungsinya tergant dari sejauh mana rambu-rambu kode etik punya dampak internal
de menetap dalam nurani.

Code of Professional Counduct bersifat etika terapan dalam ura an tentang kewajiban-kewajiban
psikolog di Indonesia. Pada profesi psikologi terdapat Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Psikologi &
Indonesia, Kode Etik Psikologi Indonesia disebarluaskan kepada seluruh Ilmuwan Psikologi dan Psikolog
Indonesia melalui berbagai jalur. Diantaranya adalah melalui pendidikan psikologi. Sejak menjadi
mahasiswa psikologi diharapkan Kode Etik Psikologi Indonesia sudah diketahui dan dipahami. Pada saat
lulus, semua sarjana yang sudah menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Psikologi diharapkan mema-
hami Kode Etik Psikologi Indonesia.

Perkembangan aturan-aturan Pedoman Kode Etik Psikologi di Indonesia sangat pesat, terbukti adanya
perubahan pada berbagai aspek hukum. Perubahan aturan-aturan ada pada kode etik psikologi tahun
2003 yang terdapat 19 pasal mengalami penambahan pasal menjadi 80 pasal dalam pedoman kode etik
psikologi tahun 2010.

7. Tuntutan Hukum di Indonesia

Hukum di asumsikan sebagai kekuasaan yang hidup yaitu sebagai kekuasaan yang mengatur dan
memaksa, akan tetapi juga sebagai kekuasaan yang senantiasa berkembang dan bergerak sebagai
perilaku hidup masyarakat yang teratur adalah penjelmaan hukum.

Hukum adalah masyarakat, hidup manusia itu sendiri, atau sebagai pergaulan hidup yang teratur,
hukum dibuat dan disusun oleh manusia dan digunakan untuk membantu mempertahankan tata tertib
kehidupan manusia di dunia.

Norma hukum bertujuan untuk kedamaian hidup bersama sehingga tergolong kaidah antar pribadi.
Hubungan antara dengan etik dan kode etik psikologi merupakan patokan-patokan atau pedoman-
pedoman profesional yang secara etis dapat melampaui batas-batas yang dikehendaki oleh aturan
hukum.

Pelanggaran yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia dapat mengakibatkan tuntutan hukum perdata
atau pidana, PTUN. Masalah tuntutan hukum juga dapat terjadi pada masalah yang terkait dengan
hukum kepegawaian Republik Indonesia, tuntutan pelanggaran pegawai dapat dikeluarkan dari tempat
kerjanya. Dampak psikologis dikeluarkan dari tempat kerja yang dikenakan pada seorang pegawai atau
karyawan yang telah melanggar etik dan termasuk melanggar moral, kode etik profesi dan melanggar
hukum merupakan hukuman terberat terhadap masa depan kehidupan sendiri dan keluarganya.

BAB VIII

ETIKA DAN HUKUM DALAM KODE ETIK PSIKOLOGI

1. Etika dan Hukum

Berfungsinya kesadaran etika ada hubungannya dengan perseps konsepsi dan interpretasi tentang nilai-
nilai pada umumnya disebu sebagai suatu tatanan nilai. Tatanan atau sistem nilai dalam kehidupan
dapat menghubungkan dua kutub dikotomi, dalam rentangan kedua kutub dapat digeser dalam bentuk
perilaku yang berciri nilai-nilai subyektif.

Banyak contoh yang menunjukkan betapa kemungkinan pergeseran nilai-nilai itu dapat menimbulkan
ambivalensi dalam menentukan sikap dan perilaku seseorang sehingga menimbulkan kesan bahwa nilai-
nilai itu memang merupakan realitas yang tidak mudah dihadapi. Penentuan sikap terhadap nilai-nilai
etika itu berciri tindakan pilihan (act of choice) yang subyektif dan konsekuen pada kenyataan dan
bersifat personal.

Keinsyafan (awareness) tentang adanya suatu tatanan nilai etika dan kesadaran (conciousness) tentang
berlakunya suatu kaidah etika pada tindakan dengan sendirinya menjamin terwujudnya sikap dan
perilaku yang sesuai dengan keinsyafan dan kesadaran. Manifestasi etika melalui sikap dan perilaku
seseorang yang berada dalam situasi untuk memutuskan pilihan atau alternatif terutama ditentukan
oleh berfungsinya tatanan nilai yang merupakan jaminan perwujudan sikap dan cara untuk menentukan
pilihan mengacu pada suatu tatanan nilai adalah berfungsinya nurani.

Hukum merupakan sarana untuk mengatur kehidupan manusia agar dalam kehidupannya bersama
manusia lainnya dapat berlangsung tertib, adil dan ada kepastian. Maka diperlukan manusia-manusia
sebagai pelaksana dan penegak hukum yang memadai, yaitu para sarjana hukum dan para ahli hukum
ataupun para profesionalis hukum. Hukum di dalam kehidupan masyarakat hukum mengatur perihal
hidup bertetangga, perjanjian, ketertiban, kerukunan, tolong menolong dan tidak saling mengganggu,
oleh sebab itu maka hukum mutlak diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara demi terwujudnya keamanan, ketertiban, ketentraman, keadilan, kepastian, dan
terpenuhinya hak dan kewajiban.

Analisa norma dan etika berbeda dengan hukum. Norma etika dalam arti sempit bertujuan untuk
kebaikan hidup pribadi atau kebersihan atau kemurnian hati nurani atau ahklak, sehingga masuk ke
dalam kaidah intra pribadi.

Norma hukum bertujuan untuk kedamaian hidup bersama, sehingga tergolong kaidah antar pribadi.
Kode etik sebagai code of profesional conduct yang bersifat etika terapan dalam uraian tentang
kewajiban-kewajiban seorang psikolog di Indonesia, selain kaidah etis atau kesusilaan, terdapat kaidah
kesopanan seperti kewajiban terhadap teman sejawat dan kewajiban terhadap masyarakat dan bangsa.
Bertolak dari pandangan teoritis normatif etika legal adalah bentuk saling mempengaruhi antara etika
dan hukum dalam psikologi.

Etika dan hukum memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mengatur tertib dan tentramnya pergaulan
hidup dalam masyarakat. Namun pengertian etik dan hukum berbeda, etik berasal dari kata Yunani yaitu
ethos, yang berarti baik dan layak, merupakan nilai-nilai atau pola tingkah laku kelompok profesi
tertentu dalam memberikan pelayanan atau jasa kepada masyarakat. Berkaitan dengan pekerjaan
profesi atau profesional berarti pengakuan antara lain psikolog, dokter, apoteker, wartawan, hakim dan
pengacara dan bidang pekerjaan lainnya. Antara etika dan hukum saling berkaitan dengan kode etik
profesi dalam menjalankan tugasnya, karena hukum memegang peranan penting sebagai norma.
Berkaitan dengan etika dan hukum, maka apabila dalam pelaksanaan ternyata terjadi tindakan yang
dianggap melanggar hukum, maka penyelesaian masalahnya diproses berdasarkan hukum yang berlaku.

2. Hukum dan Kode Etik Psikologi Indonesia

Perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang mengaki-batkan kegoncangan keseimbangan


kehidupan dalam masyarakat, tidak hanya apabila peraturan-peraturan hukum dalam suatu masyaraka
dilanggar langsung dan juga apabila peraturan-peraturan kesusilaan keagamaan dan sopan santun
dalam masyarakat dilanggar langsung Demikian juga pelanggaran hukum dalam psikologi sudah tertuang
pada pokok-pokok pikiran dalam kode etik psikologi. Pokok-pokok pikiran itu dirumuskan dalam Kode
Etik Psikologi Indonesia sebagai perangkat nilai-nilai untuk ditaati dan dijalankan dengan sebaik-baiknya
dalam melaksanakan kegiatan selaku ilmuwan psikologi dan psikolog di Indonesia (HIMPSI, 2003).
Pedoman pelaksanaan kode etik psikologi Indonesia antara lain terdiri dari prinsip-prinsip tentang
kewenangan, integritas, tanggung jawab profesional dan keilmuwan, penghormatan terhadap hak asasi
manusia, perhatian terhadap kesejahteraan pihak lain, dan tanggung jawab sosial, dimiliki oleh ilmuwan
psikologi dan psikolog (Sudjiwanati, 2008)

Kode etik psikologi Indonesia memiliki aspek legalitas hukum terhadap praktik psikologi, merupakan
suatu tuntutan mutlak seperti yang tertuang dalam Mukadimah Kode Etik Psikologi Indonesia.
Berdasarkan kesadaran diri atas nilai-nilai luhur Pancasila dan Undang- undang Dasar 1945, ilmuwan
psikologi dan psikolog menghormati harkat dan martabat manusia serta menjunjung tinggi
terpeliharanya hak-hak asasi manusia. Ilmuwan psikologi dan psikolog Indonesia dalam kegiatannya,
mengabdikan dirinya untuk meningkatkan pengetahuan tentang perilaku manusia dalam bentuk
pemahaman bagi dirinya dan pihak lain serta memanfaatkan pengetahuan dan kemampuan bagi
kesejahteraan manusia. Kesadaran diri itu merupakan bagian kesejahteraan manusia. Kesadaran diri itu
merupakan dasar bagi ilmuwan psikologi dan psikolog Indonesia untuk selalu berupaya melindungi
kesejahteraan individu yang meminta jasa atau praktik atau pihak yang menjadi obyek studinya.
Pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki hanya digunakan untuk tujuan yang taat asas berdasarkan
nilai-nilai luhur Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dan nilai- nilai kemanusiaan pada umumnya
dan mencegah penyalahgunaannya oleh pihak lain.

Psikolog dan ilmuwan psikologi dalam melaksanakan kegiatan- nya mempertimbangkan aspek moral,
etika, dan kode etik. Keterkaitan antara nilai-nilai merupakan tanggung jawab moral yang harus dipe-
gang selama menjalankan praktik psikologi.

Menurut Wardy (2008) pelanggaran atas suatu kode etik sebagai pemandu sikap dan perilaku biasanya
disebabkan oleh adanya kesenja- ngan antara yang eksternal dan internal. Bilamana kode etik sekedar
berfungsi sebagai rambu-rambu eksternal maka dampaknya terasa sebagai pengendali yang membatasi
dan mudah diacuhkan, mudah dilanggar dibandingkan dengan yang dihayati fungsinya sebagai
pengendali yang memandu sikap dan perilaku seseorang. Keterkaitan moral, etika, azas dan kode etik
pada gambar 3.

Ajaran Moral = Ajaran tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak menjadi manusia yang
baik.

Moral = Sistem nilai tentang perbuatan manusia yang baik/ buruk, benar/salah, pantas/tidak pantas.

Falsafah Moral = Mencari penjelasan, mengapa perbutan tertentu dinilai/buruk, benar/salah,


pantas/tidak pantas.

Tori-Teori Etika = Kerangka berfikir yang disusun oleh filsuf tertentu untuk memberi pembenaran,
mengapa suatu perbuatan dinilai baik dari pendekatan moral
Asas-asas Etika = Asas-asas yang diturunkan dari teori-teori etika sebagai kaidah-kaid dasar moral bagi
manusia.

Aturan-aturan etika = Seperangkat norma atau pedoman untuk mengukur perbuatan, berua aturan dan
larangan yang didasarkan pada asas-asas etika.

Kode etik profesi = Seperangkat aturan etika yangkhusus berlaku untuk semua anggota asosiasi profesi
tertentu, sebagaimana konsensus bersama, yang wajib ditaati oleh semua anggota dalam menjalankan
profesi.

Gambar 3.

Moral, Etika, Asas, Aturan, Dan Kode Etik Profesi

Pada hakekatnya suatu kode etik, sebagaimana arti katanya adalah kaidah (code) dan sekalipun suatu
kaidah berpengaruh terhadap terwujudnya kecenderungan konformisme dalam hal bersikap dan
berwujudku. Namun kaidah bukan hukum (law) yang normatif, lugas dan tegas, dan tegaknya suatu
kaidah tergantung pada subyek yang menjadikan suatu pedoman.

Kode etik mestinya ditegakkan oleh anggota profesi yang bersangkutan dan hal ini hanya mungkin jika
kode etik itu menjadi fungsi nurani yang senantiasa menyertai setiap tindakan yang dilakukan oleh para
profesional dari profesi itu sendiri. Pada umumnya masing-masing lingkungan profesional dapat memilih
dan menetapkan sendiri cara yang terbaik untuk memelihara kode etik sebagai pemandu tindakan dan
terapan profesional dalam berbagai bentuk perilaku.

Kurang dipahaminya kode etik tidak dapat dijadikan alasan untuk mempertahankan diri ketika
berhadapan dengan permasalahan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran dengan segala
akibatnya, yang bersifat penanganan internal organisasi profesi maupun penanganan menurut hukum
yang berlaku.

Penanganan kasus pelanggaran kode etik psikologi Indonesia, melibatkan Majelis Psikologi Indonesia
yang merupakan badan yang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan mengenai bentuk
sanksi yang akan dijatuhkan terhadap kasus pelanggaran kode etik psikologi.
Majelis Psikologi mengacu pada pedoman yang memuat ketentuan mengenai terapan ilmu dan profesi
psikologi, bentuk pelanggaran yang dilakukan, dan bentuk sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap
anggota, psikolog, ilmuwan psikologi atau pihak yang melakukan pelanggaran terhadap kode etik
psikologi.

Anda mungkin juga menyukai