Anda di halaman 1dari 11

Bahril Hidayat, 2002

Konseling dan Kesehatan Mental

Oleh: Bahril Hidayat


2002 - Yogyakarta

I. Pendahuluan
Dalam dunia psikologi dikenal berbagai metode yang digunakan sebagai
pendekatan reedukasi terhadap individu yang menghadapi masalah. Bagi akademisi
psikologi, metode-metode tersebut merupakan tata cara yang baku dan sistematis dalam
memberikan penanganan psikologis terhadap individu yang membutuhkan pertolongan.
Proses penanganan itu bertujuan untuk meningkatkan fungsi mental individu agar lebih
baik (sehat) dibanding pada saat ia memulai proses itu.
Ketika individu datang atau menemui seorang psikolog, hal itu bermakna bahwa ia
membutuhkan bantuan untuk menolongnya keluar dari suatu masalah psikologis.
Permasalahan yang dihadapinya dapat dipastikan sebagai permasalahan psikologis yang
memerlukan bantuan dari seorang ahli ilmu jiwa (psikolog), sehingga ia mengharapkan
bantuan psikolog yang kompeten untuk mencarikan solusi dari permasalahan yang ia
hadapi. Pada saat itulah individu dikatakan “sakit” secara mental dan menginginkan
“sembuh” secara mental pula. Oleh karena itu, metode-metode yang digunakan dalam
dunia psikologi untuk membantu seseorang yang mengalami “sakit” mental (gangguan
psikologis) sangat menekankan pada menyembuhkan aspek mental yang terganggu itu.
Hal itu berkaitan erat dengan konsep kesehatan mental (mental health) yang
menjadi salah satu kajian utama psikologi, khususnya psikologi klinis. Secara umum,
terminologi kesehatan mental sangat majemuk. Para ahli terlihat berbeda pandangan
dalam mendefinisikan kesehatan mental dalam paradigma semantik, akan tetapi secara
substansial memiliki arah pemaknaan yang sama. Prinsip dasar dari kesehatan mental
adalah kesehatan mental itu lebih dari tiadanya (tidak sekadar) perilaku abnormal,
kesehatan mental itu merupakan konsep yang ideal tentang sehatnya aspek psikologis
individu, dan kesehatan mental sebagai bagian dari karakteristik kualitas hidup
(Notosoedirdjo & Latipun, 2002).
Frank, L.K (dalam Notosoedirdjo & Latipun, 2002) mengatakan bahwa kesehatan
mental merupakan orang yang terus menerus tumbuh, berkembang, dan matang dalam

1
Bahril Hidayat, 2002

hidupnya, menerima tanggung jawab, menemukan penyesuaian dalam berpartisipasi dan


memelihara aturan sosial dan tindakan dalam budayanya.
Di sisi lain, Rogers mengenalkan konsep fully functioning person sebagai bentuk
kondisi mental yang sehat (Schultz dalam Notosoedirdjo & Latipun, 2002). Ada 5 indikasi
utama dari fully functioning person, yaitu terbuka terhadap pengalaman, ada kehidupan
pada dirinya, kepercayaan kepada organismenya, kebebasan berpengalaman, dan
kreativitas. Sementara itu, Maslow dan Mittlemenn (dalam Notosoedirdjo & Latipun, 2002)
mengatakan bahwa kondisi yang sehat secara psikologis merupakan suatu keadaan
apabila individu sudah mencapai pemenuhan kebutuhannya yang paling tinggi—secara
hirarkis dalam teori Hierarki Kebutuhan Manusia, yaitu self-actualization.
Dalam pada itu, kesehatan mental memiliki sasaran utama dalam aplikasinya,
yaitu masyarakat (yang terbentuk dari individu-individu). Dilihat dari aspek kesehatannya,
masyarakat yang menjadi sasaran dalam kesehatan mental ini dapat diklasifikasikan
menjadi beberapa tingkatan sebagai berikut (Notosoedirdjo & Latipun, 2002).
1. Masyarakat umum, masyarakat yang sehat dan tidak berada dalam resiko sakit.
2. Masyarakat dalam kelompok resiko sakit, yaitu masyarakat yang berada dalam
situasi atau lingkungan yang kemungkinan mengalami gangguan relatif tinggi.
3. Kelompok masyarakat yang mengalami gangguan, yaitu kelompok masyarakat
yang sedang terganggu kesehatan mentalnya.
4. Kelompok masyarakat yang mengalami kecacatan atau hendaya, agar mereka
dapat berfungsi secara normal dalam masyarakat.
Pandangan-pandangan para ahli tentang kesehatan mental merupakan konklusi
keseimbangan kepribadian individu secara intrinsik (diri sendiri) maupun ekstrinsik
(lingkungan) dalam kehidupannya dalam ruang lingkup sosial atau kemasyarakatan.
Individu-individu yang sehat mental akan membentuk struktur masyarakat yang sehat
mental pula. Sebaliknya, apabila kelompok masyarakat mengalami fluktuasi kesehatan
mental (kelompok atau klasifikasi ketiga menurut Notosoedirdjo & Latipun tersebut di
atas), maka dapat mempengaruhi keseimbangan psikologis individu yang sehat. Jadi,
kedua dimensi itu saling memiliki keterkaitan yang timbal balik.
Di sisi lain, apabila individu mengalami gangguan—sumber stressor—dari salah
satu ataupun sekaligus kedua lingkungan tersebut, maka individu akan mengalami
gangguan psikologis. Pada saat inilah individu membutuhkan bantuan seorang ahli ilmu

2
Bahril Hidayat, 2002

jiwa (psikolog ataupun psikiater) untuk membantunya keluar dari permasalahan yang ia
hadapi. Kemudian, secara simultan, psikolog akan memilih salah satu metode psikologi
sebagai sistem yang mampu menciptakan peningkatan kesehatan mental individu. Salah
satu metode yang paling dikenal dan cukup efektif adalah metode konseling.

II. Metode Konseling


Pada umumnya, istilah konseling sudah dikenal sejak sejak manusia itu ada. Hal
itu dipandang benar apabila diterima definisi tradisional bahwa konseling itu suatu
pemberian nasehat, karena pemberian nasehat oleh orang tua kepada anak-anaknya
sudah terjadi sejak kehidupan awal manusia (Konseng, 1996). Fuster (dalam Konseng,
1996) melihat konseling sebagai bantuan yang bersifat manusiawi terhadap konseli yang
membutuhkan, yang ditangani secara ilmiah oleh seorang konselor ahli. Partosuwido
(2000) mengatakan bahwa konseling adalah suatu usaha untuk stimulasi dan pengarahan
pertumbuhan emosional dan intelektual yang berkesinambungan pada klien. Selanjutnya,
konseling dapat dikatakan sebagai suatu proses dari kegiatan yang melibatkan konselor
yang berwewenang dan klien yang memiliki masalah.
Menurut Chaplin (1999) istilah konseling merupakan suatu nama yang luas
pengertiannya untuk beraneka ragam prosedur guna menolong orang lain agar mampu
menyesuaikan diri. Dalam proses konseling tersebut, melibatkan konselor dan konseli.
Konselor adalah seorang psikolog atau individu profesional lainnya yang berpraktek
memberikan penyuluhan, sedangkan konseli adalah individu yang mendapatkan atau
mengalami proses konseling.
Pietrofesa, Leonard, & Hoose (dalam Konseng, 1996) mengatakan konseling
sebagai suatu proses adanya seseorang yang dipersiapkan secara profesional untuk
membantu orang lain, untuk pemahaman diri, pembuatan keputusan, dan pemecahan
masalah; pertemuan “dari hati ke hati” antarmanusia; hasilnya sangat bergantung pada
kualitas hubungan.

III. Proses dan Tahapan Konseling


Proses konseling adalah langkah-langkah bantuan yang disusun dari hasil
interaksi atau kerjasama antara konseli dan konselor dalam mencari jalan keluar untuk
memecahkan masalah yang dihadapi konseli (Konseng, 1996). Proses konseling terdiri

3
Bahril Hidayat, 2002

dari beberapa tahap yang disusun berdasarkan situasi konseli sejak ia datang pertama
kali menemui konselor, yaitu pada saat individu mengalami permasalahan psikologis yang
menurutnya membutuhkan bantuan konselor.
Dengan dasar situasi itu proses konseling disusun dalam dua tahap. Tahap
pertama dimulai sejak konseli datang sampai dengan ia selesai menceritakan
masalahnya dan diam. Tahap kedua dimulai sejak konseli diam dan konselor memberikan
tanggapan-tanggapannya. Tahap pertama disebut tahap persiapan dan tahap kedua
disebut tahap pertolongan. Masing-masing tahap ini pun terdiri lagi dari beberapa
langkah. Langkah pertama adalah adalah langkah menghadirkan diri secara penuh
(attending). Langkah kedua adalah langkah menanggapi (responding). Langkah ketiga
adalah personalisasi (personalization) dan langkah keempat adalah menginisiasi
(initiating). Ketiga langkah terakhir ini termasuk dalam tahap kedua, yakni pertolongan.
Untuk jelasnya tahapan dan langkah-langkah tersebut tersusun sebagai berikut (Konseng,
1996:46).

III.a Tahap I : Persiapan


Tahap ini disebut tahap persiapan karena dalam tahap ini konselor
mempersiapkan konseli untuk masuk ke dalam konseling. Tujuan utama tahap ini adalah
menciptakan perasaan-perasaan bebas, tenang, tanpa tekanan dalam diri konseli, dan
untuk membangun hubungan yang baik dengan konseli.

Langkah 1 : Menghadirkan diri secara penuh (attending)


Dalam langkah ini konselor tidak banyak berbicara. Melainkan ia hendaknya
menerima dan mempersilahkan konseli menceritakan masalah-masalah yang dialaminya
serta memperhatikan dan mendengarkan dengan sungguh-sungguh semua yang
diceritakan konseli padanya. Walaupun tanpa banyak bicara, komunikasi konselor
terhadap konseli yang bersifat non-verbal yang nampak dalam sikap konselor yang
menerima, menghormati dan mendengarkan, telah menjadi kondisi dimana konseli akan
merasakan bahwa dirinya dihormati dan didengarkan, sehingga konseli akan merasa
tenang, rileks, dan dapat menceritakan masalah-masalahnya dengan bebas, tanpa takut
dan malu.

4
Bahril Hidayat, 2002

III.b Tahap II: Pertolongan


Tahap ini disebut tahap pertolongan karena dalam tahap ini konselor mulai
memberi bantuan-bantuan konselor dalam arti sesungguhnya. Bentuk bantuan konselor
disesuaikan dengan kondisi kasus klien.

Langkah 2: Menanggapi (responding)


Dalam langkah ini, konselor mulai memberi tanggapan-tanggapannya secara
verbal dan mengajak konseli untuk berdialog lebih lanjut untuk meneliti diri dan
masalahnya secara terarah dengan mengkategorikan masalah, menyelidiki akar-akar dari
masalah, menyadarkan konseli untuk melihat kebutuhan, cita-cita dan tujuan hidup,
potensi-potensi dan pengalaman-pengalaman yang dimilikinya, serta mengajaknya
menemukan sasaran-sasaran yang akan diusahakan.
Diharapkan, bila bisa menemukan sasaran-sasaran yang pasti, konseli perlahan-
lahan mulai mengetahui arah dan cara bertindak yang bisa membantunya keluar dari
masalahnya. Seiring dengan itu diharapkan pula gejolak emosionalnya pun akan
perlahan-lahan mereda atau berkurang.

Langkah 3 : Personalisasi (Personalization)


Melalui penelitian diri yang dibuat pada langkah kedua, akan ditemukan banyak
aspek baru dari kepribadiannya yang perlu diselidiki lebih mendalam. Maka dalam
langkah ini konselor perlu membantu konseli untuk melanjutkan penyelidikan terhadap
aspek-aspek baru dari kepribadiannya yang perlu mendapat perhatian secara lebih
mendalam. Dengan penyelidikan itu diharapkan konseli dapat semakin memahami dirinya
dan menemukan suatu tindakan yang lebih tepat untuk mengembangkan kepribadiannya.
Dengan demikian, sasaran koseling pun telah bergeser dari penelitian dan
penyelesaian masalah (kasus) ke pengembangan kepribadian seluruh aspek kepribadian.
Masalah yang dikemukakan konseli pada awal konseling lalu menjadi semacam batu
loncatan untuk mengembangkan seluruh kepribadian konseli secara menyeluruh dan
terpadu.

5
Bahril Hidayat, 2002

Langkah 4 : Menginisiasi (initiating)


Penelitian-penelitian diri yang dibuat dalam langkah kedua dan ketiga
sesungguhnya masih bersifat konsepsional. Konseling yang hanya berupa penyelidikan
diri yang bersifat konsepsional sebenarnya belum tuntas. Sebab konseling yang bertujuan
untuk mengubah tingkah laku belum berhasil bila tidak disertakan dengan tindakan-
tindakan nyata perubahan perilaku.
Maka dalam langkah, konselor perlu mengajak konseli untuk melaksanakan
berbagai jalan keluar yang telah ditetapkan, dan hendaknya masih tetap mendampinginya
selama konseli melaksanakan tindakan-tindakan tersebut demi perubahan perilakunya.
Berdasarkan teori-teori konseling di atas, dapat disimpulkan bahwa konseling
merupakan bentuk komunikasi interpersonal yang memiliki tujuan tertentu. Dalam
interaksi itu, salah seorang individu (konselor) akan mengupayakan kondisi yang kondusif
bagi proses konseling berupa sikap-sikap tertentu terhadap individu lainnya (konseli).
Sikap-sikap konselor yang baku berupa empati, menghormati, konkret, mengungkapkan
pengalaman pribadi, konfrontasi, dan imediasi, dipandang sangat berguna untuk
menstimulasi kesediaan konseli untuk mengungkapkan permasalahan-permasalahannya
agar dapat dirumuskan jalan keluar (problem solving) dari permasalahannya. Jadi, tujuan
dari konseling adalah untuk merumuskan jalan keluar (problem solving) bagi konseli.
Pada saat interaksi inilah konselor berupaya memberikan jalan keluar atas
permasalahan yang dihadapi oleh konseli. Apabila konseli bersedia mengikuti proses
konseling secara baik, maka ia akan mendapatkan problem solving dari masalahnya.
Dengan demikian, keadaan mental konseli yang sebelumnya “sakit”, akan berubah
menjadi “sehat”. Inilah tujuan dari proses konseling, yaitu menciptakan kondisi kesehatan
mental bagi konseli sehingga ia dapat lebih bertanggung jawab, berkembang, lebih
matang, mampu menyesuaikan diri secara lebih baik, personalisasi (aktualisasi potensi
yang efektif). Oleh karena itu, metode konseling sangat berperan dalam meningkatkan
kesehatan mental individu sebagai anggota dan pembentuk struktur sosial (masyarakat).
Dengan lain perkataan, apabila individu-individu telah sehat pada aspek psikologisnya,
maka secara otomatis akan membentuk komunitas masyarakat yang sehat pula.

6
Bahril Hidayat, 2002

IV. Kasus1
Subjek adalah seorang remaja perempuan berusia 16 tahun. Ia telah hidup
menjadi anak jalanan setelah minggat dari rumahnya. Penyebab subjek minggat dari
rumahnya adalah ia diperkosa oleh paman kandungnya sendiri di saat usianya masih 13
tahun.
Setelah subjek mengalami peristiwa itu, di saat ia masih menginjak usia remaja
pertengahan, subjek merasa sangat tertekan (depresi). Ia sering merasa trauma, takut,
cemas, tapi tidak berdaya menghadapi perasaan itu. Pernah terlintas niat di kepalanya
untuk menceritakan kejadian itu terhadap orang tuanya, akan tetapi tidak dilakukannya. Ia
takut bahwa orangtuanya justru tidak menerima hal itu, karena orangtuanya sangat keras
(otoriter) dalam mendidik subjek dan saudara-saudaranya. Akhirnya, ia justru memilih
untuk minggat dan hidup menjadi anak jalanan.
Berkaitan dengan keadaan orang tua subjek, konselor mengetahui bahwa
sebenarnya orang tuanya sudah berusaha mencari keberadaan subjek. Bahkan, melalui
seorang temannya (key person) yang kebetulan berasal dari satu daerah dengan subjek,
konselor mendapat informasi bahwa subjek pernah dikirim mendapat surat dari orang
tuanya—melalui temannya tersebut—yang meminta agar ia kembali ke rumah. Temannya
tersebut tidak berani mengatakan keberadaan subjek karena ia takut kalau-kalau subjek
akan memarahinya, karena ia tahu bahwa subjek tidak ingin pulang karena masih takut
dan trauma dengan kejadian tersebut.

IV. Analisis Kasus Melalui Proses Konseling Berdasarkan RET (Rational Emotive
Therapy)
Berdasarkan permasalahan di atas, dan apa dampaknya terhadap diri klien,
konselor menyimpulkan bahwa klien mengalami confused yang diakibatkan oleh
bertumpuknya (represi) problem. Hal itu berdampak pada ketidakmampuan klien untuk
menyikapi problem secara adaptif. Oleh karena itu, konselor berupaya mengembalikan

Kasus ini merupakan kasus yang ditangani langsung oleh penulis. Sebelumnya, penulis telah menyajikan
1

kasus ini pada makalah terdahulu, akan tetapi penulis merujuk ulang kasus ini karena secara kebetulan
relevan dengan tema tulisan ini. Dengan demikian, koherensi tematis tulisan terhadap analisis kasus dan
kompetensi penulis untuk menganalisisnya secara riil (karena berdasarkan pengalaman langsung) akan
dapat dipaparkan secara proporsional.

7
Bahril Hidayat, 2002

dinamika problemnya berdasarkan sistematika permasalahan sehingga klien mampu


memandang masalahnya satu per satu, menganalisisnya, menyimpulkan, dan bertindak
(menyikapi) masalah tersebut dengan baik.
Berdasarkan kasus subjek di atas, dengan menggunakan dasar-dasar pandangan
RET tentang teori kepribadian A-B-C yang dikemukakan oleh Albert Ellis (dalam Corey,
1997), maka dapat dinamika masalah subjek dapat dijabarkan sebagai berikut.
A = Diperkosa.
B = Takut, malu, dimarahin oleh orang tua, tidak dipercaya.
C = Depresi dan menjadi anak jalanan.
Untuk jelasnya, dapat dilihat skema dinamika kasus berdasarkan teori kepribadian
A-B-C berikut ini.

A  Fakta: B  Keyakinan subjek terhadap A:


Diperkosa oleh paman Takut, malu, dimarahin orangtua, tidak
kandungnya sendiri. dipercaya.

C  Reaksi:
Depresi dan Minggat

V. Pendekatan Konseling yang Dilakukan


Dengan adanya dinamika kasus di atas, konselor sudah memahami masalah
utama yang dihadapi subjek, yaitu depresi. Hal itu berakibat pada kenyataan bahwa ia
harus keluar dari lingkungan tempat terjadinya fakta (A) dan menjadi anak jalanan karena
keyakinannya (B) terhadap kejadian (A) adalah penolakan (rejected) dari orang tua, tidak
dipercaya, malu, dll. Akibatnya, ia mengalami depresi (C) dan memilih minggat dan
menjadi anak jalanan.
Dalam proses konseling yang dilakukan, konselor mencoba melakukan
pendekatan aktif—tidak hanya mendengarkan—dengan cara meyakinkan subjek tentang

8
Bahril Hidayat, 2002

cara berpikirnya yang tidak rasional terhadap masalah itu. Tahap pertama yang dilakukan
konselor adalah mencoba mengulangi seluruh cerita subjek secara sistematis. Konselor
mengajak subjek untuk melakukan evaluasi terhadap kasus itu agar meyakinkan subjek
bahwa pola pikirnya adalah salah. Tentu saja hal itu dilakukan setelah konselor
meyakinkan subjek bahwa ia sehat dan mampu berpikir rasional untuk mengevaluasi
masalahnya secara lebih positif. Bukan dengan cara seperti saat ini, yaitu lari dari rumah
dengan sebab keyakinan-keyakinannya yang salah (irasional).
Kemudian, konselor berusaha meyakinkan bahwa cara pandang subjek terhadap
peristiwa perkosaan yang menimpa dirinya merupakan kenyataan yang tidak dapat ditolak
lagi. Hal itu tidak dapat diubah, karena itu sudah terjadi. Namun, yang lebih penting
adalah bagaimana kondisi subjek ke depan dapat lebih baik dari saat ini (depresi dan
menjadi anak jalanan).
Konselor berusaha merekonstruksi pola kognitif subjek bahwa keyakinannya
terhadap fakta perkosaan itu dengan bersikap malu, takut dimarahin dan tidak dipercaya
orang tuanya, merupakan keyakinan-keyakinan yang salah. Lebih dari itu, konselor
berusaha meyakinkan bahwa sikap orangtuanya yang keras (otoriter), rasa malu (aib),
dan ketakutan-ketakutan irasional lainnya tidak seharusnya disikapi dengan cara
menciptakan kondisi kecemasan dalam dirinya, atau bahkan minggat dari rumah.
Konselor menekankan bahwa subjek harus berani menghadapi kenyataan itu dan
seharusnya menceritakan kejadian itu kepada orang tuanya. Pulang ke rumah dengan
menyusun ulang keyakinan-keyakinan baru yang lebih sehat terhadap masalah itu adalah
jalan keluar dari kompleksitas permasalahan hidup di jalanan.

VI. Simpulan
Konsep kesehatan mental merupakan salah satu kajian utama dalam psikologi
klinis. Istilah kesehatan mental mencakup suatu keadaan yang sehat sehat secara
psikologis yang memiliki indikator-indikator tertentu, misalnya mampu menyesuaikan diri,
bertanggung jawab, mampu berkembang secara dinamis, dan mampu
mengaktualisasikan diri (potensi) secara baik di masyarakat. Kadang, individu mengalami
goncangan atau stressor yang mengakibatkan dirinya kehilangan konsep-konsep atau
indikator-indikator kesehatan mental itu.

9
Bahril Hidayat, 2002

Pada saat itu, individu membutuhkan pertolongan dari seorang profesional yang
kompeten dalam mengatasi permasalahan tersebut. Psikolog sebagai salah satu
akademisi yang memegang peran pada kondisi tersebut, perlu kiranya mengaplikasikan
metode-metode psikologi yang ia kuasai untuk merumuskan solusi dari masalah itu. Salah
satu metode populer adalah konseling, karena konseling merupakan metode re-edukasi
yang efektif untuk menciptakan kesehatan mental bagi konseli.
Akhirnya, dengan segala permasalahan individu dan masyarakat, salah satu
masalah urgen adalah kesehatan mental masyarakat, dapat difasilitasi oleh konseling.
Metode konseling yang dilakukan secara individual maupun klasikal terhadap konseli
bertujuan untuk merumuskan problem solving dari masalah-masalah psikologis konseli.
Apabila problem solving sudah terwujud, maka permasalahan psikologis itu akan
mendapatkan jalan keluar yang memadai. Keadaan inilah yang menciptakan kondisi
kesehatan mental individu dan masyarakat.

10
Bahril Hidayat, 2002

Daftar Pustaka

Chaplin, J, P. 1999. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Corey, G. 1997. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama.

Konseng, A. 1996. Konseling Pribadi. Jakarta:Penerbit Obor.

Mappiare, AT. 2002. Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Jakarta:PT. Raja Grafindo
Persada.

Partosuwido, S, R. 2000. Psikologi Konseling. Handout (tidak diterbitkan). Yogyakarta:


Fakultas Psikologi UII.

Notosoedirdjo & Latipun, 2002. Kesehatan Mental: Konsep dan Penerapan.


Malang:Universitas Muhammadiyah Malang.

11

Anda mungkin juga menyukai