Anda di halaman 1dari 18

2.

1 Depresi
2.1.1. Definisi
Berdasarkan DSM-V, Major Depressive Disorders (MDD) merupakan sindrom yang
ditandai dengan perasaan tertekan atau hilangnya ketertarikan atau perasaan senang dalam
kebanyakan aktivitas. Gejala lainnya berupa perasaan tidak berharga atau bersalah, gagasan
untuk bunuh diri, percobaan bunuh diri, agitasi psikomotor atau kelambanan psikomotor,
insomnia atau hypersomnia, penurunan atau peningkatan berat badan, terganggunya konsentrasi,
kesulitan berpikir, dan kehilangan tenaga (American Psychiatric Association, 2000).
Berikut kriteria Major Depressive Episodes menurut DSM-V:
A. Lima (atau lebih) gejala berikut hadir selama periode dua minggu dan menampilkan
perubahan dari kebiasaan sebelumnya. Setidaknya satu gejala merupakan mood tertekan
atau kehilangan ketertarikan atau rasa senang. Gejala yang dihasilkan kondisi medis
tidak dihitung.

 Perasaan tertekan pada sebagian besar waktu, hampir setiap hari, ditunjukkan oleh
laporan pribadi (contoh: merasa sedih atau kosong) atau observasi orang lain
(contoh: kelihatan takut). Catatan: Pada anak-anak dan remaja, dapat berupa
perasaan marah.
 Kehilangan ketertarikan atau kesenangan pada sejumlah besar aktivitas, hampir
setiap hari (ditunjukkan oleh pendapat pribadi ataupun observasi orang lain).
 Penurunan/peningkatan berat badan atau perubahan selera makan yang signifikan
ketika tidak melakukan diet.
 Insomnia atau hypersomnia hampir setiap hari.
 Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (harus dapat diobservasi dan
bukan perasaan subjektif)
 Kelelahan atau kehilangan tenaga hampir setiap hari
 Merasa tidak berharga atau memiliki rasa bersalah yang berlebihan (mungkin saja
bersifat delusi) hampir setiap hari.
 Penurunan kemampuan berpikir atau berkonsentrasi, sulit menentukan pilihan,
hampir setiap hari.
 Pikiran tentang kematian yang berulang, pikiran tentang bunuh diri yang berulang,
baik tanpa rencana atau dengan rencana yang jelas dalam bunuh diri.
B. Gejala menyebabkan kesedihan signifikan atau gangguan dalam pekerjaan,
hubungan sosial, ataupun bidang lain yang penting dalam hidup.
C. Episode ini tidak terkait dampak psikologis dari penggunaan obat-obatan.
D. Kemunculan episode ini tidak diterangkan lebih baik dengan schizophrenia,
gangguan delusi, atau psychotic disorder.
E. Tidak ada sejarah hypomanic atau manic episode.

2.1. Epidemiologi

Survei World Mental Health (WMH) juga memberikan kumpulan data terbesar

tentang prevalensi gangguan depresi mayor. Tingkat prevalensi seumur hidup dan 12 bulan

diperkirakan di 18 negara, dibagi menurut pendapatan tinggi dan menengah ke bawah.

Prevalensi seumur hidup memperkirakan rata-rata 11,1 (kisaran 8,0 hingga 18,4) di negara-

negara berpenghasilan rendah dan 14,6 (kisaran 6,6 hingga 21,0) di negara-negara

berpenghasilan tinggi, sedangkan tingkat prevalensi 12 bulan rata-rata 5,5 tinggi (kisaran 2,2

hingga 8,3) dan 5,9 (kisaran 3,8). ke 10.4) di negara-negara berpenghasilan rendah. Perkiraan

prevalensi yang lebih baru dari studi The National Epidemiologic Survey on Alcohol and

Related Conditions (NESARC) adalah 13,2 untuk seumur hidup dan 5,3 untuk depresi mayor

12 bulan. Kumpulan temuan ini menunjukkan bahwa epidemiologi deskriptif gangguan mood

meskipun ada berbagai perkiraan, tingkat rata-rata baik depresi seumur hidup dan 12 bulan

cukup konsisten di seluruh penelitian yang menggunakan metodologi yang sebanding.

(Sadock, 2017)

Beberapa penelitian cross-sectional dan prospektif juga melaporkan tingkat gangguan

depresi mayor pada remaja. Tingkat seumur hidup gangguan depresi utama dalam rentang

masa kanak-kanak dari sekitar 0,6 hingga 4,8 persen dengan median 2,2 persen. Hasil

penelitian The National Comorbidity Survey-Adolescent supplement (NCS-A) pada remaja di

Amerika Serikat menghasilkan prevalensi depresi mayor seumur hidup dan 12 bulan masing-

masing sebesar 11,0 dan 7,5 persen. Keduanya The Tracking Adolescents’ Individual Lives

Survey(TRAILS) di Belanda juga menandai gangguan depresi utama dengan tingkat

keparahan berdasarkan kerusakan. Seperti yang diharapkan tingkat seumur hidup dalam
penelitian ini secara substansial lebih rendah daripada gangguan depresi mayor tidak berat

dengan masing-masing seumur hidup dan tingkat 12 bulan 3,0 dan 2,3 persen. Dalam NCS-

A, prevalensi gangguan depresi mayor meningkat secara signifikan di seluruh remaja, dengan

peningkatan yang sangat mencolok di antara wanita daripada di antara pria. Sebagian besar

kasus gangguan depresi utama dikaitkan dengan komorbiditas psikiatri dan gangguan peran

berat, dan minoritas substansial melaporkan bunuh diri. Perawatan dalam beberapa bentuk

diterima oleh mayoritas remaja dengan depresi mayor sesuai DSM-IV periode 12 bulan (60,4

persen), tetapi hanya sebagian kecil yang menerima perawatan yang khusus gangguan

mental.(Sadock, 2017)

Demikian juga, banyak individu di masyarakat mungkin menunjukkan beberapa (beberapa atau
lebih) gejala depresi yang tidak mencapai tingkat keparahan atau ambang durasi untuk gangguan suasana
perasaan tertentu dalam sistem DSM-5 tetapi, bagaimanapun juga memiliki morbiditas dan disfungsi yang
besar. Meskipun ambang gangguan ini mungkin bentuk yang kurang parah dari gangguan depresi mayor
atau bipolar, mereka juga dapat menyebabkan penderitaan dan disabilitas yang besar.(Sadock, 2017)..

Tabel 1. Epidemiologi Gangguan Mood (Marwick K. , 2013)

2.1.2. Faktor Penyebab


2.1.3.1. Genetik
Sebuah analisa menemuka bahwa rata-rata saudara kembar menyebabkan hereditas MDD.
Sekitar 37% kasus depresi dapat dijelaskan dengan genetik. Perkiraan hereditas menjadi lebih
tinggi ketika penelitian menggunakan sampel yang lebih parah, seperti pasien yang dirawat dalam
rumah sakit (Kring, Johnson, Davison, Neale, 2012).

2.1.3.2. Neurotransmitter
Pada awalnya, depresi dikaitkan dengan tingkat norepinephrine dan dopamin yang
rendah. Depresi juga juga diduga terkait dengan tingkat serotonin yang rendah. Namun,
penelitian mengenai antidepressant menunjukkan hal yang berbeda. Pada satu sisi, penelitian
tersebut menunjukkan bahwa depresi memang terkait dengan neurotransmitter di atas.
Contohnya, antidepressant yang efektif menghasilkan peningkatan langsung serotonin,
norepinephrine, dan/atau dopamin. Namun dari segi waktu, depresi tidak dapat dijelaskan
hanya dari tingkat neurotransmitter. Antidepressant membutuhkan 7 sampai 14 hari untuk
mengurangi depresi. Pada saat itu, tingkat neurotransmitter sudah kembali ke keadaan
sebelumnya (Kring, Johnson, Davison, Neale, 2012).
Dari bukti-bukti yang ada, penelitian mulai mengarah pada sensitivitas reseptor
terhadap serotonin. Studi menunjukkan bahwa menurunkan tryptophan (menyebabkan
penurunan serotonin) akan menimbulkan gejala depresi sementara pada individu dengan
sejarah depresi. Pemikiran saat ini adalah individu dengan reseptor serotonin yang tidak
sensitif akan lebih mudah terkena depresi (Kring, Johnson, Davison, Neale, 2012).

Gambar 2. Model sederhana etiologi gangguan mood. (Marwick K. , 2013)

2.1.3.3. Faktor Sosial


Episode depresi seringkali dipicu oleh kejadian yang menekan. Pada kenyataannya,
peneliti telah menemukan bahwa penderita depresi mengalami lebih banyak kejadian yang tidak
menyenangkan dibandingkan dengan orang lain dalam satu periode waktu (Comer, 2013).
Dalam berbagai studi, 42-67% individu melaporkan bahwa mereka mengalami kejadian yang
amat serius sebelum depresi mereka timbul. Kejadian tersebut termasuk kehilangan pekerjaan,
sahabat penting, ataupun hubungan romantis (Kring, Johnson, Davison, Neale, 2012).
Keadaan lingkungan kerja yang buruk dapat menjadi sumber stress dan membuat
individu lebih rentan terhadap depresi. Rasa kesepian dan isolasi dalam lingkungan kerja
merupakan salah satu stressor kerja (Shen et al., 2013). Hal ini sejalan dengan kebiasaan
penulis kreatif yang jarang bersosialisasi dan lebih memilih isolasi dalam mengerjakan
karyanya (Kaufman & Kaufman, 2009).
Salah satu stressor yang paling terlihat dalam pekerjaan terletak dalam masalah
finansial (Swisher et al., 1998). Stressor lain merupakan kesenjangan antara harapan akan
performa kerja dan kenyataannya (Grynderup et al., 2012). Pada penulis, tekanan kerja ini

dapat mengambil bentuk dalam kritik negatif akan karya dan rendahnya penjualan karya
(Kaufman & Kaufman, 2009).

2.1.3.4. Faktor Kognitif


Dalam pendekatan kognitif, depresi timbul karena pola pikir negatif yang dilakukan
secara terus menerus. Hal ini tampak dalam pemikiran seperti “Nilai diri saya tergantung pada
performa saya dalam tugas” atau “Bila saya gagal, orang lain akan menjauhi diri saya”. Sikap ini
umumnya merupakan hasil dari pengalaman pribadi dan opini orang-orang di sekitar mereka.
Adanya kegagalan dalam aktivitas merupakan hal yang tidak dapat terhindarkan, sehingga pola
pikir tersebut tidaklah tepat (Comer, 2013).

2.4. Diagnosis

Depresi ditandai dengan gejala yang umumnya terbagi dalam dua kategori: psikologis,

dan somatik (atau fisik). Yang pertama dicirikan oleh kesedihan yang terus-menerus, yang

disebut "dysphoria," dan keadaan yang terus-menerus kekurangan kenikmatan atau

kesenangan biasa dalam kegiatan yang sebelumnya menyenangkan, disebut "anhedonia."

Awalnya dikembangkan di Inggris dan sedang diselidiki di Universitas Columbia di New

York City, depresi atipikal mengacu pada kelelahan yang ditumpangkan pada sejarah

kecemasan dan fobia somatik, bersama dengan tanda vegetatif terbalik (suasana yang lebih

buruk di malam hari, insomnia, kecenderungan untuk tidur nyenyak dan makan berlebihan).

Pengalaman menunjukkan bahwa tanda vegetatif terbalik lainnya meningkatkan minat dan /

atau hasrat seksual, meskipun tetap tidak terdeskripsikan dalam literatur ini. Tidur terganggu

pada paruh pertama malam pada banyak orang dengan gangguan depresi atipikal, dan

iritabilitas, hipersomnolen, dan kelelahan siang hari. Temperamen pasien-pasien ini dicirikan
oleh sifat-sifat yang sensitif. MAOI dan antidepresan serotonergik tampaknya menunjukkan

beberapa spesifisitas untuk pasien seperti itu, yang merupakan alasan utama bahwa depresi

atipikal dianggap serius.(Sadock, 2017)(Friedman, 2014).

Gambar 3. Dimensi Gejala Episode Depresi mayor(Stahl, 2013)(APA, 2013)

ICD-10 telah menetapkan pedoman diagnostik tertentu untuk mendiagnosis episode

depresif. Durasi minimum episode adalah 2 minggu dan setidaknya dua dari tiga gejala

depresi, kehilangan minat atau kesenangan dan peningkatan kelelahan harus ada. Episode

depresif dapatdinilai ringan, sedang atau berat tergantung pada jumlah dan keparahan gejala.

Episode depresi yang terjadi dengan halusinasi, delusi, atau pingsan depresif selalu

dikodekan sebagai 'parah dengan fitur psikotik.Episode biasanya mulai selama periode

prodromal berminggu-minggu sampai berbulan-bulan. Pada DSM-5 diagnosis gangguan

depresi utama membutuhkan salah satu dari berikut: (1) suasana hati disforik atau (2)

penurunan minat dalam kegiatan biasa. Gejala seperti itu harus dipertahankan setidaknya

selama 2 minggu, dan tidak dapat dijelaskan dengan proses lain yang diketahui menyebabkan

gejala depresi, seperti berkabung normal, kondisi fisik tertentu yang umumnya terkait dengan
depresi, atau gangguan mental lainnya. Ini bisa menjadi satu episode atau, umumnya,

berulang, atau keduanya. Berdasarkan DSM-5, Gangguan depresi meliputi disruptive mood

dysregulation, gangguan depresi mayor, gangguan depresi persisten (distimia), premenstual

dysphoric disorder, substance/ medication-induce depressive disorder, gangguan depresi yang

berhubungan dengan kondisi medis lainnya, gangguan depresi yang tidak spesifik, dan

gangguan depresi yang tidak tergolongkan. Tidak seperti DSM-IV, pada DSM-5, gangguan

depresi sudah dipisahkan dengan gangguan afektif bipolar. Gangguan utama pada penyakit

ini adalah penampakan sedih saat ini, kosong, atau mood yang iritabel, diikuti dengan

perubahan somatik dan kognitif secara signifikan mempengaruhi fungsi sehari-hari

seseorang. Macam-macam gangguan depresi pada DSM-5 ini kemudian dibedakan

berdasarkan durasinya, waktu atau etiologinyaKriteria Depresi menurut Diagnostic And

Statistical Manual OfMental Disorder, Fifth Edition(DSM-5),yang menggunakan istilah

Major Depressive Disorder (MDD) atau selanjutnya disebut Gangguan Depresi Mayor

(GDM) yaitu harus memenuhi kriteria :

A. Lima atau lebih dari gejala dibawah ini yang sudah ada bersama-sama selama 2 minggu

dan memperlihatkan perubahan fungsi dari sebelumnya; minimal terdapat 1 gejala dari

(1) mood yang depresi atau (2) hilangnya minat.

Catatan : Jangan memasukkan gejala yang merupakan bagian dari gangguan kondisi

medis lainnya.

1. Mood depresi sepanjang hari, hampir setiap hari, yang ditunjukkan oleh baik laporan

subyektif (misalnya perasaan sedih, kosong, tidak ada harapan) atau observasi orang

lain (misalnya terlihat menangis). (Catatan : pada anak-anak dan remaja, bisa mood

yang iritabel).

2. Secara nyata terdapat penurunan minat atas seluruh rasa senang, aktifitas harian,

hampir setiap hari (yang ditandai oleh perasaan subyektif atau objektif).

3. Kehilangan atau peningkatan berat badan yang nyata tanpa usaha khusus (contoh :
perubahan 5% atau lebih berat badan dalam 1 bulan terakhir), atau penurunan dan

peningkatan nafsu makan yang hampir terjadi setiap hari. (catatan : Pada anak-anak,

perhatikan kegagalan mencapai berat badan yang diharapkan).

4. Sulit tidur atau tidur berlebih hampir setiap hari.

5. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (teramati oleh orang lain, bukan

semata-mata perasaan gelisah atau perlambatan yang subyektif).

6. Kelelahan atau kehilangan energi hampir setiap hari.

7. Perasaan tidak berguna atau rasa bersalah yang mencolok (bisa bersifat waham)

hampir setiap hari (bukan semata-mata menyalahkan diri atau rasa bersalah karena

menderita sakit).

8. Penurunan kemampuan untuk berpikir atau konsentrasi, atau penuh keragu-raguan

hampir setiap hari (baik sebagai hal yang dirasakan secara subyektif atau teramati

oleh orang lain).

9. Pikiran berulang tentang kematian (bukan sekedar takut mati), pikiran berulang

tentang ide bunuh diri dengan atau tanpa rencana yang jelas, atau ada usaha bunuh

diri atau rencana bunuh diri yang jelas.

B. Gejala-gejala ini secara klinis nyata menyebabkan distress atau hendaya dalam fungsi

sosial, pekerjaan, atau area penting kehidupannya.

C. Episodenya tidak terkait dengan efek fisiologis zat atau kondisi medis lainnya.

Catatan : Kriteria A-C menggambarkan episode depresi.

Respon kehilangan yang bermakna (misalnya berduka, masalah financial, lolos dari

bencana, penyakit berat atau disabilitas) termasuk perasaan sedih yang berat, pemikiran

tentang kehilangan, sulit tidur, kehilangan nafsu makan, dan penurunan berat badan

seperti yang terdapat di kriteri A, mungkin menyerupai depresi. Walaupun gejala-gejala

tersebut mungkin dapat dipahami atau dipertimbangkan sebagai respon normal terhadap

kehilangan yang bermakna, harus secara hati-hati tetap dipertimbangkan. Keputusan ini
tidak dapat dipungkiri membutuhkan pelatihan keterampilan klinis berdasarkan riwayat

hidup individu dan norma budaya dalam menentukan distress akibat kehilangan.

D. Keberadaan episode depresi tidak dapat dijelaskan pada gangguan skizoafektif,

skizofrenia, skizofreniform, gangguan waham, atau spektrum skizofrenia lainnya yang

tidak spesifik.

E. Tidak pernah dijumpai episode manik atau hipomanik. (APA, 2013)(Sadock, 2017)

(Marwick K. , 2013)(Friedman, 2014)


Tabel 2. Karakterisasi Gangguan Depresi Mayor menurut ICD-10 dan DSM-5
(Friedman, 2014)(Friedman, 2014)(APA, 2013)

Gejala depresi sering dijumpai pada orang yang sakit secara medis. Namun, hanya

sejumlah pasien yang menderita gangguan depresi mayor menurut kriteria DSM, yaitu,

perasaan depresi yang terkait dengan kehilangan minat atau kesenangan, perubahan nafsu
makan, gangguan tidur, retardasi psikomotor atau agitasi, kelelahan, perasaan tidak berharga

dan rasa bersalah. , dan pikiran untuk bunuh diri. Penyakit fisik dapat memainkan peran

penyebab dengan menginduksi kerusakan otak struktural (misalnya stroke) atau mengubah

mekanisme neurotransmiter (misalnya sindrom Cushing). Dalam beberapa kasus, peristiwa

kehidupan yang penuh stres dapat menjadi faktor yang berkontribusi terhadap timbulnya

penyakit yang bermanifestasi dengan depresi (misalnya hipertiroidisme).(Cosci, Fiammetta;,

2015)

Tabel 3. Manifestasi awal dari penyakit medis. (Cosci, Fiammetta;, 2015)

penatalaksanaan

Obat dan psikoterapi singkat (terapi perilaku-kognitif, terapi interpersonal) dapat meredakan

gejala depresi. Terapi kombinasi juga telah dikaitkan dengan tingkat perbaikan
gejalamdepresi yang lebih tinggi secara signifikan; peningkatan kualitas hidup; dan

kepatuhan pengobatan yang lebih baik. Ada juga dukungan empiris untuk kemampuan CBT

untuk mencegah kekambuhan.[9][10] Terapi elektrokonvulsif berguna untuk pasien yang

tidak merespon obat dengan baik atau ingin bunuh diri.[11][1]

Farmakoterapi

 Inhibitor reuptake serotonin selektif (SSRI)

 Serotonin/norepinefrin reuptake inhibitor (SNRI)

 Antidepresan atipikal

 Modulator Aktivitas Serotonin-Dopamin (SDAM)

 Antidepresan trisiklik (TCA)

 Inhibitor monoamine oksidase (MAOIs)

 Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs): SSRI memiliki keuntungan dari

kemudahan pemberian dosis dan toksisitas rendah pada overdosis. Mereka juga

merupakan obat lini pertama untuk depresi onset lambat.

 SSRI meliputi: Citalopram, escitalopram, fluoxetine, fluvoxamine, paroxetine, sertraline,

vilazodone, vortioxetine

 Serotonin/norepinefrin reuptake inhibitor (SNRI): SNRI, yang meliputi venlafaxine,

desvenlafaxine, duloxetine, dan levomilnacipran dapat digunakan sebagai agen lini

pertama, terutama pada pasien dengan kelelahan yang signifikan atau sindrom nyeri

yang terkait dengan episode depresi. SNRI juga memiliki peran penting sebagai agen lini

kedua pada pasien yang belum merespon SSRI.

 Antidepresan atipikal termasuk bupropion, mirtazapine, nefazodone, dan trazodone.

Mereka semua telah ditemukan efektif dalam monoterapi pada gangguan depresi mayor

dan dapat digunakan dalam terapi kombinasi untuk pengobatan depresi yang lebih sulit.
 Modulator Aktivitas Serotonin-Dopamin (SDAM): SDAM termasuk brexpiprazole dan

aripiprazole. SDAM bertindak sebagai agonis parsial pada reseptor 5-HT1A dan dopamin

D2 pada potensi yang sama, dan sebagai antagonis pada 5-HT2A dan noradrenalin alp

Brexpiprazole diindikasikan sebagai terapi tambahan untuk gangguan depresi mayor

(MDD).

 Antidepresan trisiklik (TCAS): TCA meliputi: Amitriptyline, clomipramine, desipramine,

doxepin, imipramine, nortriptyline, protriptyline, trimipramine. TCA memiliki catatan

panjang kemanjuran dalam pengobatan depresi. Mereka lebih jarang digunakan karena

profil efek sampingnya dan toksisitasnya yang cukup besar pada overdosis.

 Inhibitor monoamine oksidase (MAOIs): MAOI termasuk isocarboxazid, phenelzine,

selegiline, dan tranylcypromine. Agen-agen ini secara luas efektif dalam berbagai

gangguan afektif dan kecemasan. Karena risiko krisis hipertensi, pasien yang

menggunakan obat ini harus mengikuti diet rendah tiramin. Efek samping lainnya dapat

mencakup insomnia, kecemasan, ortostasis, penambahan berat badan, dan disfungsi

seksual.

Terapi Elektrokonvulsif (ECT)

ECT adalah pengobatan yang sangat efektif untuk depresi. Onset tindakan mungkin lebih

cepat daripada pengobatan obat, dengan manfaat terlihat dalam waktu 1 minggu

pengobatan dimulai. ECT (biasanya sampai 12 sesi) adalah pengobatan pilihan untuk

pasien yang tidak berespon terhadap terapi obat, psikotik, atau bunuh diri atau

membahayakan bagi diri mereka sendiri. Dengan demikian, indikasi penggunaan ECT

meliputi:

 Perlunya respons antidepresan yang cepat Kegagalan terapi obat

 Riwayat respons yang baik terhadap ECT

 Preferensi pasien
 Resiko tinggi bunuh diri

 Risiko tinggi morbiditas dan mortalitas medis

Meskipun kemajuan dalam anestesi dan kelumpuhan neuromuskular telah meningkatkan

keamanan dan tolerabilitas ECT, pengobatan ini menimbulkan banyak risiko, termasuk yang

terkait dengan anestesi umum, keadaan bingung setelah tindakan, dan, yang lebih jarang,

kesulitan memori jangka pendek.

Psikoterapi

Terapi Perilaku Kognitif dan Terapi Interpersonal adalah psikoterapi berbasis bukti yang

terbukti efektif dalam pengobatan depresi.

Terapi perilaku-kognitif (CBT)

CBT adalah bentuk terapi terstruktur dan didaktik yang berfokus pada membantu individu

mengidentifikasi dan memodifikasi pola pikir dan perilaku maladaptif (16 hingga 20 sesi). Ini

didasarkan pada premis bahwa pasien yang mengalami depresi menunjukkan "triad kognitif"

depresi, yang mencakup pandangan negatif tentang diri mereka sendiri, dunia, dan masa

depan. Pasien dengan depresi juga menunjukkan distorsi kognitif yang membantu

mempertahankan keyakinan negatif mereka. CBT untuk depresi biasanya mencakup

strategi perilaku (yaitu, penjadwalan aktivitas), serta restrukturisasi kognitif untuk mengubah

pikiran otomatis negatif dan mengatasi skema maladaptif.

Ada bukti yang mendukung penggunaan CBT dengan individu dari segala usia. Hal ini juga

dianggap berkhasiat untuk pencegahan kekambuhan. Ini sangat berharga untuk pasien

lanjut usia, yang mungkin lebih rentan terhadap masalah atau efek samping dengan obat-

obatan.
Terapi kognitif berbasis mindfulness (MBCT) dirancang untuk mengurangi kekambuhan di

antara individu yang telah berhasil diobati untuk episode gangguan depresi mayor berulang.

Komponen perawatan utama adalah pelatihan kesadaran. MBCT secara khusus berfokus

pada proses berpikir ruminatif sebagai faktor risiko kekambuhan. Penelitian menunjukkan

bahwa MBCT efektif dalam mengurangi risiko kekambuhan pada pasien dengan depresi

berulang, terutama pada mereka dengan gejala sisa yang paling parah. Terapi Interpersonal

(IPT)

DAFTAR PUSTAKA

APA, 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5 th edition. Washington

DC : American Psychiatric Association. pp: 160-161

Kring, A. M., Johnson, S. L., Davison, G. C., & Neale, J. M. (2012). Mood
disorders. Abnormal Psychology, 12th ed. United States of America: John Wiley & Sons, Inc,
168.

Kaufman, J. C., & Beghetto, R. A. (2009). Beyond big and little: The four c model of
creativity. Review of general psychology, 13(1), 1-12.

Barlow, D. H., Bullis, J. R., Comer, J. S., & Ametaj, A. A. (2013). Evidence-based
psychological treatments: An update and a way forward. Annual review of clinical
psychology, 9, 1-27.

Sadock, Benjamin J.; Sadock, Virginia A.; et al, 2017. Mood Disorders in Comprehensive
Textbook of Psychiatry, Volume I/II, 10th edition. Philadelphia : Wolters Kluwer. pp: 4099-
4403

Friedman, Edward S.; Anderson, Ian M, 2014. Handbook of Depression, second Edition.

London : Springer Healthcare, a part of Springer Science+Business Media.pp:1-29

APA, 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5 th edition. Washington

DC : American Psychiatric Association. pp: 160-161


Regier, D. A., Kuhl, E. A., & Kupfer, D. J. (2013). The DSM‐5: Classification and
criteria changes. World psychiatry, 12(2), 92-98.

Cosci, F., Fava, G. A., & Sonino, N. (2015). Mood and anxiety disorders as early
manifestations of medical illness: a systematic review. Psychotherapy and
psychosomatics, 84(1), 22-29.

Marwick,K; Birrel,M., 2013. The Mood (Affective) Disorders in Crash Course Psychiatry,

4th Edition. Edinburgh : Elsevier Ltd. Pp:133-137

Salik I, Marwaha R. StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing; Treasure Island (FL): Jul 1, 2021.
Electroconvulsive Therapy. [PubMed]

Horowitz MA, Taylor D. Tapering of SSRI treatment to mitigate withdrawal symptoms. Lancet


Psychiatry. 2019 Jun;6(6):538-546. [PubMed]

Knappe S, Einsle F, Rummel-Kluge C, Heinz I, Wieder G, Venz J, Schouler-Ocak M, Wittchen HU,


Lieb R, Hoye J, Schmitt J, Bergmann A, Beesdo-Baum K. [Simple guideline-oriented supportive
tools in primary care: Effects on adherence to the S3/NV guideline unipolar depression]. Z
Psychosom Med Psychother. 2018 Sep;64(3):298-311. [PubMed]

Saracino RM, Nelson CJ. Identification and treatment of depressive disorders in older adults with
cancer. J Geriatr Oncol. 2019 Sep;10(5):680-684. [PMC free article] [PubMed]

Ellenbroek, Bart; Youn, Jiun, 2016. Affective Disorders in Gene-Environment Interactions in

Psychiatry, Nature, Nurture, Neuroscience. London : Elsevier Inc. pp:173-183

Isometsa, Erkki. 2014. Suicidal Behaviour in Mood Disorders-Who, When, and Why?

CanJPsychiatry. 59(3). pp:120–130

Stahl, Stephen M.; Muntner, Nancy, 2013. Mood Disorders in Stahl‘s Essential

Psychopharmacology, Neuroscientific Basis and Practical Application, 4th edition.


New York : Cambridge University Press. Pp:237-282

Sadock, Benjamin J.; Sadock, Virginia A.; et al, 2017. Mood Disorders in Comprehensive

Textbook of Psychiatry, Volume I/II, 10th edition. Philadelphia : Wolters Kluwer. pp:

4099-4403

APA, 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5 th edition. Washington

DC : American Psychiatric Association. pp: 160-161

B.Mansur, Rodrigo; Brietzke, Elisa; McIntyre, Roger S., 2015. ―Is there Metabolic-

Mood Syndrome? A review of the Relationship between obesity and mood disorders.

Neuroscience and Biobehavioral Reviews. J.neubiorev.12.017. pp:5

Johnstone, Eve C; Owens, David Cunningham; et al, 2010. Mood Disorders in Companion to

Psychiatric Studies, 8th Edition. Edinburgh : Elsevier Ltd. Pp:427-449

Serafini, Gianluca; Gonda, Xenia, et al, 2017. Possible predictors of Age at illness onset and

illness duration in a cohort study comparing younger adults and older major affective

patients. Journals of Affective Disorders (225). pp:691–701

Anda mungkin juga menyukai