Anda di halaman 1dari 15

PSIKOTERAPI

“PSIKOTERAPI BEHAVIORISTIK”
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Psikoterapi

DOSEN PEMBIMBING :
Al Thuba Septa Ps., S.Psi., M.Psi., Psikolog

Oleh :
Zulfikri ( 15090000082)
Viona Panampaswara (17090000047)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MERDEKA MALANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Terapi behavior adalah penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang
berakar pada berbagai teori tentang belajar. Ia menyatakan penerapan yang
sistematis prinsip-prinsip belajar pada perubahan tingkah laku kearah cara-cara
yang lebih adaptif. Pendekatan ini telah memberikan sumbangan-sumbangan yang
berarti baik kepada bidang-bidang klinis maupun pendidikan. Berlandaskan teori
belajar, modifikasi tingkah laku dan terapi tingkah laku adalah pendekatan-
pendekatan terhadap konseling dan psikoterapi yang berurusan dengan
pengubahan tingkah laku. Penting untuk dicatat bahwa tidak ada teori tunggal
tentang belajar yang mendominasi praktek tingkah laku.
Sejumlah terori belajar yang beragam memberikan andil kepada pendekatan
terapeutik umum yang satu ini. Ketimbang memandang terapi tingkah laku
sebagai pendekatan terapi yang dipersatukan dan tunggal, lebih tepat
menganggapnya sebagai terapi-terapi tingkah laku yang mencakup berbagai
prinsip dan metode yang belum dipadukan kedalam suatu sistem yang
dipersatukan. Salah satu aspek yang paling penting dari gerakan modifikasi tingka
laku adalah penekanannya pada tingkah laku yang bisa didefinisikan secara
operasional, diamati dan diukur. Para tokoh menyajikan suatu indikasi objektif
tentang aktivitasaktivitas mereka sendiri. Perubahan tingkah laku sebagai kriteria
yang spesifik memberikan kemungkinan bagi evaluasi langsung atas keberhasilan
kerja dan kecepatan bergerak kearah tujuan-tujuan terapeutik yang bisa
dispesifikasi dengan jelas.
Dari penjelasan diatas pada pembahasan selanjutnya akan diuraikan secara
jelas Teknik-teknik dari terapi behavior tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pengertian psikoterapi behavioristic?
2. Apa saja Teknik-teknik yang digunakan pada psikoterapi behavioristic?

C. TUJUAN
1. Memahami pengertian psikoterapi behavioristic
2. Mengerti Teknik-teknik yang digunakan pada psikoterapi behavioristic?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN PSIKOTERAPI BEHAVIORISTIK
Terapi tingkah laku adalah gabungan dari beberapa teori belajar yang di
kemukakan oleh ahli yang berbeda menurut Willis, terapi tingkah laku berasal
dari dua konsep yang di tuangkan oleh Ivan Pavlov dan Skinner. Tetapi Latipun,
menambahkan J.B Watson setelah Pavlov dan skinner sebagai tokoh yang
mengembangkan dan menyempurnakn prinsip-prinsip behaviorisme. Pendiri
behaviorisme sendiri adalah J.B Watson yang mengesampingkan nilai kesadaran
dan unsur positif manusia lainnya.
Pendiri dari teori behaviorisme adalah Jhon Broads Watson, menurutnya
psikologi harus menjadi ilmu yang objektif, dalam artian psikologi harus di
pelajari sebagaimana mempelajari ilmu pasti atau ilmu lain. Oleh karena itu, ia
tidak mengakui adanya kesadaran yang hanya dapat di teliti melalui metode
instropeksi yang di anggap tidak obyektif dan tidak ilmiah. Pengaruh Watson
yang adalah Psikoterapi, yaitu dengan digunakanya Teknik kondisioning untuk
menyembuhkan kelainan-kelainan tingkah laku .
Behaviorisme adalah suatu pandangan ilmiah tentang tingkah laku manusia.
Dalil dasarnya adalah tingkah laku itu tertib dan bahwa eksperiman yang di
kendalikan dengan cermat akan meyingkapkan hukum-hukum yang
mengendalikan tingkah laku. Behaviorisme di tandai oleh sikap membatasi
metode-metode dan prosedur-prosedur pada data yang diamati.
Terapi Behavior adalah terapi tentang tingkah laku. Sekilah tentang terapi
tingkah laku menurut Marquis, terapi tingkah laku adalah suatu Teknik yang
menerapkan informasi-informasi ilmiah guna menemukan pemecahan masalah
yang dihadapi oleh manusia. Jadi tingkah laku berfokus pada bagaimana orang-
orang belajar dan kondisi-kondisi apa saja yang menentukan ingkah laku mereka.
Istilah terapi tingkah laku atau konseling behaviorisme berasal dari Bahasa inggris
Behavior Counseling yang pertama kalinya di gunakan oleh Jhon D . Krumboln
(1964) Krumboln adalah premotor utama dalam menerapkan pendekatan
behaviorisme terhadap konseling, meskipun dia melanjutkan aliran yang sudah
dimulai sejak tahun 1950.
1. Perbedaan dengan Psikoterapi Yang Lain
B.F Skinner menyebutkan bahwa para behavioris menekankan manusia
sebagai di kendalikan oleh kondisi-kondisi lingkungan. Pendirian
deterministic mereka yang kuat berkaitan erat dengan komitmen terhadap
pencarian pola pola tingkah laku yang dapat di amati. Mereka menjabarkan
melalui rincian spesifik berbagai faktor yang dapat diamati yang
mempengaruhi belajar serta membuat argument bahwa manusia dikendalikan
oleh kekuatan-kekuatan eksternal. Seperti yang di kemukakan John Watson
behaviorisme berfokus pada bagaimana orang-orang belajar dan kondisi-
kondisi apa saja yang menentukan tingkah laku mereka.

2. Konsep Dasar
Behaviorisme adalah suatu pandangan ilmiah tentang tingkah laku
manusia. Dalil dasarnya adalah bahwa tingkah laku itu tertib dan bahwa
eksperimen yang di kendalikan dengan cermat akan menyingkapka hukum-
hukum yang mengendalikan tingkah laku. Behaviorisme di tandai oleh sikap
membatasi metode metode dan prosedur-prosedur pada data yang dapat
diamati.

3. Perilaku Bermasalah
Dalam pandangan behaviorisme perilaku bermasalah dimaknai sebagai
perilaku atau kebiasaan-kebiasaan negatif atau perilaku yang tidak tepat, yaitu
perilaku yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Perilaku yang salah
penyesuaian terbentuk melalui proses interaksi dengan lingkunganya. Artinya
bahwa perilaku individu itu meskipun secara sosial adalah tidak tepat, dalam
beberapa saat memperoleh ganjaran dari pihak tertentu. Dari cara demikian
akhrinya perilaku yang tidak diharapkan secara sosial atau perilaku destruktif
dikelas (Latipun, 2003: 89). Sedangkan perilaku bermasalah dalam
pandangan behaviorisme adalah perilaku yang tidak sesuai dengan yang
diharapkan atau tidak sesuai dengan norma yang ada. Perilaku bermasalah ini
merupakan kebiasaan-kebiasaan negatif yang juga terbentuk dari hasil
interaksi dengan lingkungan. (1) terapi behavior hanya mengubah perilaku
bukan mengubah perasaan, (2) behavior therapy gagal menghubungkan
faktor-faktor penting dalam terapi/konseling, (3)behavior therapy tidak
memberikan proses pemahaman, (4) behavior therapy berusaha
menghilangkan simptom daripada mencari penyebab, (5) behavior therapy
dikontrol dan dimanipulasi oleh terapis.

4. Tujuan Psikoterapi Behavior


Pada Dasarnya terapi tingkah laku ( Behaviorsistik ) di arahkah pada
tujuan-tujuan memperoleh tingkah laku baru, penghapusan tingkah laku yang
maladaptive, serta memperkuat dan mempertahankan tingkah laku yang
diinginkan. Pernyataan yang tepat tentang tujuan-tujuan treatment
dispesifikasi, sedangkan pernyataan yang bersifat umum tentang tujuan
ditolak.klien diminta menyatakan dengan cara-cara yang kongkret jenis-jenis
tingkah laku masalah yang ingin diubahnya.

5. Hubungan Klien dan Terapis


Psikolog memberitahukan kepada calon klien aspek – aspek penting dari
hubungan yang akan dijalani yang bisa mempengaruhi putusan klien untuk
memasuki hubungan”. Ada beberapa factor yang bisa mempengaruhi putusan
klien untuk memasuki hubungan. Misalnya perekaman wawancara dengan
menggunakan pita video atau tape – recorder. Orang – orang selain terapis
dank lien bisa menyaksikan atau mendengarkan rekaman itu, juga sejumlah
biro menggunakan pengamatan melalui kaca satu arah sehingga para
pembimbing dan para calon konselor bisa memantau pertemuan terapi.
Sejumlah sekolah menerapkan kebijakan diwajibkan melaporkan nama para
klien tersebut kepada kepala sekolah, atua jika seorang siswi mengakui
dirinya hamil atau meminta informasi tentang alat – alat kontrasepsi atau
pengguguran, konselor harus melaporkan si siswa kepada perawat sekolah
yang kemudian akan memberitahukannya kepada orang tua sisi itu. Sering
terjadi orang – orang diminta oleh orang lain untuk menjalani konseling atau
meminta bantuan psikiatrik mereka bukan orang – orang yang secara sukarela
menjalani hubungan terapeutik, melainkan subjek – subjek “konseling wajib”
(mandatory counseling). Jelas bahwa kebijakan – kebijakan atau kondisi
kondisi seperti contoh – contoh di atas bisa mempengaruhi klien dalam
membuat keputusan memasuki hubungan terapeutik. Oleh karena itu,
merupakan praktek yang etis bagi terapis untuk memberitahukan kepada
calon klien batas – batas hubungan teapeutik. Marilah kita ungkap masalah –
masalah yang mendasari praktek – praktek yang bisa mempengaruhi
hubungan terapeutik

6. Peran dan Fungsi Terapis


Terapi Behavioristik harus memainkan peran aktif dan direktif dalam
pemberian treatment, yakni terapis menerapkan pengetahuan ilmiah pada
pencarian pemecahan-pemecahan bagi masalah-masalah manusia. Para
kliennya. Terapi Behavioristik secara khas berfungsi sebagai
guru,pengarah,dan ahli dalam mendiagnosis tingkah laku yang maladaptive
dan dalam menentukan prosedur prosedur penyembuhan yang diharapkan,
mengarah kepada tingkat laku yang baru dan adjustive.
Sebagai hasil tinjaunya yang seksama atas kepustakaan psikoterapi,
Krasner (1967) mengajukan argument bahwa peran seorang terapis, terlepas
dari aliansi teoritisnya, sesungguhnya adalah “Mesin perkuatan”. Apa pun
yang dilakukannya, terapis pada dasarnya terlibat dalam pemberian
perkuatan-perkuatan sosial, baik yang positif maupun negative. Bahkan
meskipun mempersepsikan dirinya sebagai pihak yang netral sehubungan
dengan pertingmbangan-pertimbangan nilai, terapis membentuk tingkah laku
klien, baik melalui cara-cara langsung maupun melalui cara-cara tidak
langsung. Krasner (1967) menekankan bahwa “ terapis atau pemberi
pengaruh adalah suatu ‘mesin Perkuatan’, yang dengan kehadirannya
memasok perkuatan yang di generalisasikan pada setiap kesempatan dalam
situasi terapi.

B. TEKNIK-TEKNIK PSIKOTERAPI BEHAVIORISTIK


1. Desensitisasi Sistematis
Desensitisasi sistematis merupakan salah satu teknik yang paling luas
digunakan untuk terapi tingkah laku. Desensitisasi distematis digunakan
untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif, dan ia
menyertakan pemunculan tingkah laku atau respons yang berlawanan dengan
tingkah laku yang hendak dihapuskan.
Wolpe pengembang desensitisasi meberikan argumen bahwa tingkah
laku neurotik adalah ungkapan dari kecemasan dan respons kecemasan bisa
dihapus oleh penemuan-penemuan respons-respons yang secara inheren
berlawanan dengan respons tersebut. Namun dengan pengondisian klasik,
kekuatan stimulus kecemasan bisa dilemahkan, dan gejala kecemasan bisa
dikendalikan serta dihapus melalui penggantian stimulus.
Desensitisasi sistematis juga melibatkan beberapa teknik relaksasi yang
melatih klien untuk santai dan mengasosiasikan keadaan santai dengan
pengalaman-pengalaman pembangkit kecemasan yang dibayangkan. Situasi
tersebut dihadirkan pada suatu rangkaian mulai dari keadaan yang tidak
mengancam sampai dengan keadaan sangat mengancam. Dalam teknik ini
Wolpe telah mengembangkan suatu respons yang disebut relaksasi yang
secara fisiologisnya bertentangan dengan aspek dari situasi yang mengancam.
Adapun beberapa prosedur dari model pengondisian balik ini adalah
sebagai berikut:
a. Menganilisis tingkah laku atas stimulus yang menyebabkan kecemasan
pada suatu wilayah tertentu seperti penolakan, rasa iri, ketidaksetujuan,
atau fobia. Terapis akan menyusun tingkatan kemunculan dari kecemasan
mulai dari tingkatan paling tinggi yang terbayangkan oleh klien sampai
dengan tingkatan paling rendah.
b. Pada pertemuan pertama terapi dan terapi selanjutnya, klien akan
diberikan pelatihan relaksasi yang terdiri atas kontraksi dan pengenduran
otot-otot sampai klien bisa merasa santai atau dalam keadaan relax
penuh. Sebelum pelatihan relaksasi dimulai, klien akan diberitahu cara
untuk relax dalam kehidupan sehari-hari dan mengendurkan bagian tubuh
tertentu. Pengenduran otot dimulai dari pada otot wajah, otot tangan,
kepala, leher dan pundak, punggung, perut, dada, kemudian anggota
badan bagian bawah. Teknik relaksasi ini dicetuskan oleh Jacobsen
(1938) dan diuraikan secara rinci oleh Wolpe (1969). Situasi yang bisa
dibayangkan untuk relaksasi seperti duduk di pinggir danau, jalan-jalan di
taman yang indah. Hal ini penting untuk diberikan kepada klien utnutk
mencapai keadaan tenang dan damai. Saat diluar pertemuan terapi pun,
klien diwajibkan melakukan teknik relaksasi ini selama 30 menit/hari agar
klien bisa dalam keadaan relax dengn cepat saat sesi terapi berjalan.
c. Proses desensitisasi ini mengharuskan klien relax dengan mata tertutup
yang nantinya terapis akan menceritakan serangkaian situasi dan meminta
klien untuk membayangkan dirinya pada dalam setiap situasi yang
diceritakan oleh terapis. Jika klien dapat tetap relax, maka ia akan diminta
untuk membayangkan situasi yang membangkitkan stimulus kecemasan
dengan taraf rendah sampai ke taraf paling tinggi dan membuat klien
mengalami kecemasan. Saat itulah pengungkapan situasi akan dihentikan.
Treatment ini akan dianggap selesai jika klien tetap bisa relax ketika
membayangkan situasi yang sebelumnya berada di taraf tinggi untuk
menghasilkan kecemasan.
Wolpe (1969) menyatakan ada 3 penyebab kegagalan dalam pelaksanaan
desensitisasi sistematik yaitu :
a. Kesulitan-kesulitan dalam relaksasi yang bisa jadi menunjuk pada
kesulitan-kesulitan dalam komunikasi antara terapis dan klien atau kepada
keterhambatan ekstrem yang dialami oleh klien
b. Tingkatan-tingkatan yang menyesatkan atau tidak relevan, yang ada
kemungkinannya melibatkan penanganan pada tingkatan yang keliru
c. Ketidakmemadaian dalam membanyangkan
Teknik ini juga dapat dilakukan untuk terapi tingkah laku kelompok.
Terapi tingkah laku kelompok ini digunakan pertama kali oleh Shaffer dan
Galinsky. Teknik ini akan dianjurkan pada klien yang mengalami kecemasan
pada situasi yang spesifik. Kelompok biasanya terdiri atas para partisipan
yang memiliki kecemasan yang sama. Para anggota akan saling memberikan
dukungan dalam kegiatan-kegiatan yang beresiko di dalam maupun luar
kelompok.

2. Flooding
Behavioral teknik flooding atau pembanjiran ini efektif dalam
meminimalisir kecemasan yang disebabkan karena:
a. Teori behavioral merupakan salah satu teori yang memiliki tujuan utama
mengubah perilaku atau kebiasaan positif yang dapat diterima.
b. Teknik flooding berlandaskan paradigma mengenai penghapusan
eksperimental. Teknik ini terdiri atas pemunculan stimulus berkondisi
secara berulang-ulang tanpa memberikan kekuatan. Terapis akan
memunculkan stimulus-stimulus penghasil kecemasan, klien
membayangkan situasinya, dan terapis akan mempertahankan kecemasan
klien tersebut.

3. Shaping
Shaping merupakan prosedur yang digunakan untuk membentuk perilaku
individu yang diiginkan dengan memberikan reinforcement pada setiap
tingkah laku yang ditampilkan. Melaui pendekatan behavioral dengan teknik
shaping ini hakikatnya adalah memecahkan masalah yang dilakukan secara
kelompok oleh seorang konselor maupun terapis yang ditujukan kepada siswa
dengan harapan akan terjadi perubahan tingkah laku. Selanjutnya klien yang
telah berubah perilakunya setelah diberi terapi kemudian diberikan
reinforcement. Sedangkan tujuan utama dari oendekatan behavioral adalah
fokusnya pada perilaku yang tampak dan spesifik, kecermatan dan penguraian
tujuan-tujuan treatment, formulasi prosedur treatment khusus dan penilaian
objektif mengenai hasil terapi.
Teknik shaping adalah cara membentuk tingkah laku baru yang belum
ditampilkannya yaitu dengan memberi reinforcement secara sistematik dan
lagsung setiap kali tingkah laku tersebut ditampilkan (Komalasari, dkk 2011:
169). Ada beberapa langkah dalam menjalankan teknik shaping yaitu:
a. Membuat analisis ABC
b. Menetapkan target perilaku spesifik yang akan dicapai bersama terapis
atau klien
c. Menentukan bersama reinforcement positif yang akan digunakan
d. Membuat perencanaan dengan membuat tahapan pencapaian perilaku
mulai dari perilaku awal sampai akhir
e. Perencanaan dapat dimodifikasi selama berlangsungnya program shaping
f. Penetapan waktu pemberian reinforcement pada setiap tahap program
Inti utama terapi dengn teknik shaping adalah penerapan aneka ragam
teknik dan prosedur yang berakar pada berbagai teori belajar. Pendekatan ini
telah memberikan penerapan yang sistematis tentang prinsip-prinsip belajar
dan pengubahan tingkah laku ke arah cara-cara yang lebih adaptif.

4. Token Economic
Metode ini dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku apabila
persetujuan dan pemerkuat-pemerkuat yang tidak bisa diraba lainnya tidak
memberikan pengaruh. Tingkah laku yang layak bisa diperkuat dengan
perkuatan-perkuatan yang bisa diraba seperti kepingan logam yang nantinya
ditukar dengan objek-objek yang diingini.
Penggunaan tanda-tanda sebagai pemerkuat-pemerkuat tingkah laku
yang layak memiliki beberapa keuntungan, diantara lain:
a. Tanda-tanda tidak kehilangan nilai insentifnya
b. Tanda-tanda bisa mengurangi penundaan yang ada di antara tingkah laku
yang layak dengan ganjarannya
c. Tanda-tanda bisa digunakan sebagai pengukur yang kongkret bagi
motivasi individu untuk mengubah tingkah laku tertentu
d. Tanda-tanda adalah bentuk perkuatan yang positif
e. Individu memiliki kesempatan untuk memutuskan bagaimana
menggunakan tanda-tanda yang diperolehnya
f. Tanda-tanda cenderung menjembatani kesenjangan yang sering muncul di
antara lembaga dan kehidupan sehari-hari
Token economy adalah salah satu contoh dari perkuatan yang ekstrinsik
dan menjadikan orang-orang melakukan sesuatu untuk meraih “pemikat di
ujung tongkat”. Tujuannya adalah mengubah motivasi yang ekstrinsik
menjadi motivasi yang intrinsik.

5. Assertive Training
Assertive training atau latihan asertif ini merupakan pendekatan
behavioral yang populer. Teknik ini digunakan pada situasi interpersonal
dimana individu mengalami kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa
menyatakan atau menegaskan diri adalah tindakan yang layak atau benar.
latihan asertif ini digunakan untuk membantu orang-orang yang :
a. Tidak mampu mengungkapkan perasaan marah atau tersinggung
b. Menunjukkan kesopanan yang berlebihan sehingga selalu mendorong
orang lain untuk mendahuluinya
c. Kesulitan untuk mengatakan “tidak”
d. Kesulitan mengungkapkan afeksi dan respon-respon positif lainnya
e. Merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-
pikiran sendiri
Pendekatan assertive training ini menggunakan prosedur bermain peran.
Dimana klien dan terapis akan memainkan peran atas situasi yang dihadapi
oleh klien. Contohnya ada seorang klien yang mengeluh merasa ditekan oleh
atasannya untuk melakukan hal yang merugikan namun mengalami hambatan
untuk bersikap tegas pada atasannya tersebut. Pertama klien memainkan
peran sebagai atasan untuk memberi contoh pada terapis, sementara terapis
akan mencontoh cara berpikir dan cara klien menghadapi atasan. Selanjutnya
mereka akan bertukar peran sambil klien mencoba tingkah laku baru dan
terapis memainkan peran sebagai atasan. Disini klien bole memberikan
pengarahan kepada terapis tentang bagaimana berperan sebagai atasannya
secara realistis, sebaliknyapun kepada terapis akan melatih klien bagaimana
bersikap secara tegas kepada atasannya. Proses pembentukan terjadi ketika
tongkah laku dicapai dan juga menghilangnya kecemasan dalam menghadapi
atasan serta sikap klien dapat lebih tegas kepada atasannya. Tingkah laku
penegasan diri ini akan dilakukan pada situasi bermain peran yang nantinya
akan dipraktekkan pada situasi kehidupan nyata dengan bimbingan dari
terapis.
Selain itu juga terdapat kelompok latihan asertif yang terdiri atas delapan
sampai sepuluh anggota yang memiliki latar belakang sama, dan sesi terapi
berlangsung semala dua jam. Terapis bertindak sebagai penyelenggara dan
pengarah permainan peran, peatih, pemberi kekuatan, model peran, pemberi
bimbingan dalam situasi-situasi permainan peran, dan memberikan umpan
balik kepada para anggota. Seperti kelompok terapi tingkah laku lainnya,
kelompok latihan asertif ini juga terstruktur dan mempunyai pemimpin.
Berikut adalah struktur pada sesi kelompok latihan asertif:
a. Sesi pertama, pengenalan didaktik tentang kecemasan sosial yang tidak
realistis. Memusatkan pada belajar menghapuskan respons-respons
internal yang tidak efektif yang mengakibatkan kurang tegasnya sikap
anggota.
b. Sesi kedua, mengenalkan latihan relaksasi dan masing-masing anggota
menerangkan tingkah laku spesifik dalam situasi-situasi interpersonal
yang dirasa bermasalah.
c. Sesi ketiga, anggota menerangkan tentang tingkah laku penegasan diri
yang sudah pernah dicoba pada situasi di kehidupan nyata mereka yang
nantinya akan dievaluasi kembali serta bermain peran.
d. Sesi keempat, penambahan latihan relaksasi dan melakukan perjanjian
untuk melakukan tingkah laku penegasan diri yang akan di evaluasi
kembali
e. Sesi terakhir, disesuaikan dengan kebutuhan anggota secara individual.
Terapi ini dasarnya adalah penerapan latihan tingkah laku pada kelompok
dengan sasaran membantu individu-individu dalam mengembangkan cara
berhubungan secara langsung dalam situasi-situasi interpersonal. Fokusnya
ialah mempraktekkan melalui bermain peran, kecakapan bergaul, dan
bagaimana mereka mengungkapkan perasaan serta pikirannya secara terbuka.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
Terapi tingkah laku adalah gabungan dari beberapa teori belajar yang di
kemukakan oleh ahli yang berbeda menurut Willis, terapi tingkah laku berasal
dari dua konsep yang di tuangkan oleh Ivan Pavlov dan Skinner. Behaviorisme
adalah suatu pandangan ilmiah tentang tingkah laku manusia. Terapi Behavior
adalah terapi tentang tingkah laku. Sekilah tentang terapi tingkah laku menurut
Marquis, terapi tingkah laku adalah suatu Teknik yang menerapkan informasi-
informasi ilmiah guna menemukan pemecahan masalah yang dihadapi oleh
manusia.
Terapi behavior memiliki beberapa Teknik terapi yang sering digunakan,
diantaranya adalah Desensitisasi sistematis, flooding, shaping, token economy,
assertive training.
Daftar Pustaka:
Putu, Ni Eka Junita Wardani. Ketut, Ni Suarni. Arum, Dewi WMP. Ejournal
Undiksha Jurusan Bimbingan Konseling: Efektivitas Konseling Behavioral
Dengan Teknik Pembanjiran Untuk Meminimalisasi Kecemasan Siswa Dalam
Menyampaikan Pendapat Kelas VIII di SMP Negeri 2 Singaraja Tahun Pelajaran
2013/2014. Vol.2, No.1. 2014
Ernawati, Elly. Djarot, Vitalis Sumarwoto. Jurnal Bimbingan dan
Konseling: Efektivitas Layanan Konseling Kelompok dengan Pendekatan
Behavioral Melalui Teknik Shaping Untuk Mengurangi Prokratinasi Akademik
Siswa Kelas VIII SMP Negeri 2 Barat Kabupaten Magetan
Corey, G. (2009). Teori dan praktek konseling dan psikoterapi. Bandung:
PT Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai