Anda di halaman 1dari 19

PERSPEKTIF KONTEMPORER SOSIOKULTURAL, BIOPSIKOSOSIAL

& PRESPEKTIF PSIKOLOGIS

TUGAS PSIKOLOGI ABNORMAL

Tugas ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Abnormal yang Dibimbing oleh
HUSNUL KHOTIMAH , S.Psi., M.A.

Oleh:
Zulfikri Ikhlasul Qamal Bialangi
NIM: 1509000082

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MERDEKA MALANG
2019
PERSPEKTIF DALAM PSIKOLOGI ABNORMA
A. PERSPEKTIF PSIKODINAMIKA
 Tokoh utama : SIGMUND FREUD
 Perilaku maladaptif disebabkan karena adanya konflik antara id, ego dan
superego dalam alam bawah sadar individu.
 Perilaku manusia merupakan produk dari interaksi atau dinamika pikiran dan
perasaan sadar dengan tidak sadar dalam diri individu.
 Perilaku juga disebabkan karena adanya kondisi saling mempengaruhi antara id,
ego dan superego.
 Perkembangan kepribadian ditentukan oleh pengalaman-pengalaman awal pada
usia 5 tahun pertama kehidupan.

I. STRUKTUR JIWA (PSYCHE)

1. ID
 Ada sejak individu dilahirkan.
 Berisi sejumlah energi yang diperlukan untuk menjalankan fungsi
psyche.
 Terdiri dari dorongan-dorongan dasar seperti rasa lapar, haus,
pembuangan/pengeluaran kotoran, kehangatan, afeksi, agresi dan
seksual.
 Bekerja dengan menggunakan pleasure principle yaitu pencarian
pemuasan kebutuhan dengan segera. Jika dorongan id tidak dipenuhi
maka akan timbul ketegangan (tension) dalam diri individu. Pada kondisi
itu, id akan berusaha untuk mengurangi ketegangan dengan sesegera
mungkin.
 Cara memuaskan kebutuhan dengan segera:
a. Berinteraksi dengan lingkungan. Misalnya: bayi yang ingin menyusu
pada ibunya akan berusaha untuk mencari tetek ibunya dan kemudian
menyusu.
b. Primary process thinking, yaitu membayangkan/mengimajinasikan
keinginan-keinginannya. Misalnya: bayi yang ingin menyusu tadi
akan membayangkan tetek ibunya. Pada saat itu, si bayi akan
mengalami pemuasan sementara melalui wish-fulfilling fantasy.
2. EGO
 Berkembang selama 6 bulan kedua kehidupan (12 bulan).
 Bertugas untuk berhubungan dengan realitas.
 Bekerja dengan menggunakan reality principle, yang merupakan cara
ego untuk menunda pemuasan dorongan id dan menghubungkannya
dengan harapan lingkungan.
 Primary process thinking tidak selamanya bisa menjaga kehidupan
individu, untuk itu ego kemudian menggunakan secondary process
sebagai cara yang memakai perencanaan dan pengambilan keputusan
dalam memenuhi suatu dorongan. Misal: bayi yang haus dan ingin
menyusu pada ibunya tadi menggunakan secondary process dengan
memutuskan untuk mencari perhatian ibunya, mungkin dengan
menangis.

3. SUPEREGO
 Bagian jiwa yang bertindak selaku kesadaran dan merefleksikan standar
moral masyarakat, seperti benar-salah, baik-buruk.
 Pada saat dorongan id muncul, ego tidak hanya memuaskannya dengan
menghubungkan pada realitas tapi juga dengan standar benar-salah dari
superego. Misal: saat ujian, tiba-tiba dosen keluar ruangan. Saat itu
mungkin berarti ada kesempatan untuk mencontek. Tapi individu tidak
melakukan itu karena dia merasa bersalah jika melakukannya atau dia
merasa tidak jujur, dsb.

 TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN PSIKOSEKSUAL


Individu berkembang melalui serangkaian tahap psikoseksual. Dimana pada tiap
tahap terdapat bagian tubuh tertentu yang paling sensitif terhadap pembangkitan
atau kegairahan seksual dan merupakan bagian yang paling dapat memuaskan
dorongan id.
1. TAHAP ORAL (< 2 TH)
 Pemuasan berasal dari daerah mulut. Sumber kenikmatan poko yang
berasal dari mulut adalah makanan. Makan meliputi stimulasi
sentuhan terhadap bibir dan rongga mulut serta menelan atau
menghisap, dan jika makanan tidak menyenangkan, maka akan
memuntahkan keluar. Setelah gigi tumbuh maka mulut dipakai
untuk menggigit dan mengunyah.
 Dua aktivitas oral ini yaitu menelan makanan dan menggigit
merupakan dasar bagi ciri karakter yang berkembang kemudian.
 Contoh:
a. Orang yang mudah ditipu menunjukkan adanya fiksasi dalam
tahap perkembangan fase oral. Individu ini akan menelan semua
apa yang dikatakan orang. Individu tersebut mengalami kepuasan
pada saat fase oral sehingga tidak mau berkembang ke fase
berikutnya.
b. Orang yang suka berdebat atau mengkritik orang, juga
mengalami gangguan dalam fase oralnya.

2. TAHAP ANAL (2 – 3 TH)


 Pemuasan berasal dari daerah anus, berhubungan dengan aktifitas
pembuangan atau pengeluaran kotoran (faeses). Setelah makanan
dicernakan, maka makanan menumpuk di ujung bawah dari usus dan
secara refleks akan dilepaskan keluar apabila tekanan pada otot
lingkar dubur mencapai taraf tertentu.
 Pengeluaran fases menghilangkan sumber ketidaknyamanan dan
menimbulkan perasaan lega (kenikmatan).
 Anak mendapatkan pembiasaan akan kebersihan (toilet training) dan
anak mendapatkan pengalaman pertama yang menentukan
pengaturan atas suatu impuls instingstual dari pihak luar. Ia belajar
menunda kenikmatan yang timbul dengan belajar menunda
pengeluaran faeses tersebut.
 Pengaruh ibu dalam memberikan toilet training cukup besar dan hal
itu berpengaruh pada munculnya sejumlah ciri kepribadian.
 Contoh:
a. Jika ibu sangat keras dan represif dalam toilet training, si anak
bisa sangat kuat menahan faeses dan bisa sembelit. Kalau hal itu
digeneralisasikan ke cara bertingkah laku yang lain, mungkin ia
bisa menjadi sangat kikir atau keras kepala. Atau sebaliknya
karena himpitan cara yang represif itu, anak bisa melampiaskan
kemarahannya dengan mengeluarkan faeses pada saat yang tidak
tepat. Dan ini merupakan bentuk dari segala macam sifat
ekspulsif seperti kekejaman, anarkis, merusak membabi buta,
ledakan-ledakan amarah dan sifat jorok.
b. Jika ibu dengan sabar membujuk anak untuk buang air besar dan
memberikan pujian jika anak melakukan dengan benar, maka
anak akan belajar bahwa aktivitas membuang faeses adalah
sangat penting. Ini bisa menjadi dasar bagi munculnya kreativitas
dan produktivitas.

3. TAHAP PHALIC (3 – 5/6 TH)


 Pemuasan berasal dari rangsangan terhadap alat kelamin. Pusat
dinamika dalam tahap perkembangan ini adalah perasaan seksual dan
agresif berkaitan dengan bekerjanya fungsi genital.
 Merupakan tahap perkembangan yang paling krusial. Anak
mengembangkan suatu perasaan ketertarikan secara seksual terhadap
orang tua yang berlainan jenis dan permusuhan terhadap orang tua
sejenis. Anak laki-laki ingin memiliki ibunya dan menyingkirkan
ayahnya, anak perempuan ingin memiliki ayahnya dan
mengenyahkan ibunya. Pada anak laki-laki keadaan tersebut
mengacu pada istilah oedipus complex dan pada perempuan adalah
electra complex.
 Oedipus complex. Adanya hasrat seks terhadap ibu dan kebencian
terhadap ayah menyebabkan konflik anak dengan orang tua. Ayah
dianggap sebagai saingan dalam mendapatkan cinta dari ibunya.
Anak akan semakin takut dan jika ayahnya adalah seorang yang
keras dan otoriter. Anak takut bahwa ayahnya akan menghilangkan
organ genitalnya sebagai sumber dari kenikmatan. Pemikiran itu
muncul karena anak mengira bahwa ayahnya cemburu pada dirinya
yang jatuh cinta pada sang ibu. Ketakutan tersebut disebut castration
anxiety, yang menyebabkan si anak merepresikan hasrat seksnya
pada ibu dan rasa permusuhan pada ayah. Kecemasan itu juga
membuat anak laki-laki mengidentifikasikan diri dengan ayahnya.
Dengan begitu, si anak secara tidak langsung memperoleh pemuasan
bagi impuls seksnya pada ibu. Pada saat yang sama, perasaan
erotisnya yang membahayakan ibunya dirubah menjadi sikap kasih
sayang yang lembut dan tidak membahayakan. Pada perkembangan
Oedipus complex inilah merupakan benteng pertahanan bagi
munculnya incest dan agresi.
 Electra complex. Pada awalnya anak perempuan juga cinta pada
ibunya, tapi kemudian dia mengganti objek cintanya dengan yang
baru yakni ayah. Hal itu terjadi sebagai reaksi kekecewaannya ketika
ia mengetahui bahwa anak laki-laki mempunyai alat kelamin yang
menonjol yaitu penis sedangkan ia hanya memiliki sejenis rongga.
Penemuan itu menimbulkan konsekuensi:
a. Ia menganggap ibunya adalah penyebab keadaannya ini sehingga
cintanya pada ibu melemah.
b. Ia mentransfer cintanya pada ayah, karena ayah memiliki organ
yang ingin dimilikinya.
Hal itu menimbulkan suatu keadaan yang disebut penis envy (sejajar
dengan keadaan castration anxiety pada anak laki-laki. Anak
perempuan merasa iri soal penis terhadap laki-laki. Ia
membayangkan bahwa ia kehilangan sesuatu yang berharga
sedangkan anak laki-laki takut kehilangan itu. Berbeda seperti
kompleks pada laki-laki yang direpresikan dan diubah, pada
perempuan, kompleks ini bersifat menetap dan tidak direpresikan
kuat-kuat. Dipercaya bahwa perbedaan hakikat kompleks ini
menjadi dasar perbedaan psikologis laki-laki dan perempuan.

4. TAHAP LATENCY (6 – 12 TH)


 Masa-masa penurunan dorongan id, anak-anak berperilaku aseksual
(tidak berhubungan dengan seksual). Anak kemudian menurunkan
kecemasannya dengan mengidentifikasikan pada orang tua yang
sama. Mereka kemudian berkembang menjadi lebih tenang, belajar
sosialisasi, pengembangan kemampuan, dan belajar banyak hal
tentang diri dan lingkungan sosialnya.

5. TAHAP GENITAL (> 12 TH)


 Merupakan tanda pubertas dan kematangan seksual remaja. Terdapat
dominasi terhadap ketertarikan seksual pada lawan jenis.
 Remaja mulai tertarik kepada orang lain bukan karena cinta diri
(narsisistik) seperti tahap pra genital, tapi karena daya tarik seksual,
sosialisasi, kegiatan kelompok, perencanaan karir dan muncul
persiapan untuk menikah serta membangun rumah tangga.
 Pada akhir masa remaja, hal-hal tersebut sudah cukup stabil dalam
bentuk kebiasaan-kebiasaan. Individu mengalami transformasi dari
bayi narsisistik serta memburu kenikmatan menjadi orang dewasa
yang memasyarakat dan berorientasi pada kenyataan.
 Fungsi biologis dari tahap genital adalah reproduksi dan aspek
psikologis membantu mencapai tujuan ini dengan memberikan
stabilitas dan keamanan sampai batas tertentu.
 Impuls pada tahap pra genital tidak digantikan oleh tahap genital tapi
disintesiskan menjadi satu pada tahap genital.

III. MEKANISME PERTAHANAN DIRI


 Mekanisme pertahanan diri adalah cara yang ditempuh alam bawah sadar
untuk melindungi ego dari kecemasan.
 Ada dua ciri umum yaitu:
a. Mereka menyangkal, memalsukan dan mendistorsikan kenyataan.
b. Mereka bekerja secara tidak sadar sehingga kadang orangnya tidak
mengetahui yang sedang terjadi.
 Macamnya:
 REPRESI: Menekan kemunculan dorongan dan pikiran-pikiran yang
tidak dapat diterima ego ke alam bawah sadar. Biasanya berhubungan
dengan suatu objek atau pengalaman yang menimbulkan
ketidaknyamanan. Secara tidak sadar melupakan pengalaman yang tidak
menyenangkan untuk diingat.
 PROYEKSI: Menganggap orang lain memiliki perasaan terhadap
dirinya yang sebenarnya merepresentasikan dari perasaan sesungguhnya
yang dia miliki terhadap orang tersebut. Misalnya untuk mengatakan
“Saya membenci dia”, diubah menjadi “Dia membenci saya”.
 REAKSI FORMASI: Menganggap memiliki perasaan terhadap orang
lain yang sebaliknya dari perasaan dirinya terhadap orang tersebut.
Misalnya untuk mengatakan “Saya suka dia” merubahnya menjadi “Saya
benci dia”.
 RASIONALISASI: Mencoba mengungkapkan alasan rasional yang
dapat diterima secara sosial dan menjadi percaya bahwa suatu kondisi
yang bertentangan dengan apa yang diinginkan sesungguhnya adalah hal
yang memang diinginkannya. Misalnya karena tidak berhasil
mendapatkan tiket nonton sepakbola, lalu mengatakan bahwa sebenarnya
dia tidak tertarik untuk pergi.
 REGRESI: Kembali kepada tahap perkembangan yang lebih awal.
Misalnya anak yang takut masuk sekolah di hari pertama bisa melakukan
perilaku infantil seperti menangis, mengisap ibu jari, berpegangan pada
guru atau duduk di pojok kelas. Regresi biasanya akan kembali pada
tahap perkembangan yang mengalami fiksasi.
 FIKSASI: Berhenti pada satu tahap perkembangan karena menganggap
tahap berikutnya penuh kecemasan. Misalnya anak yang sangat
tergantung pada orang lain, kecemasan menghambat untuk mandiri.

IV. NEO FREUDIAN


ERIK ERIKSON (TEORI PSIKOSIAL TENTANG PERKEMBANGAN)
 Membagi tahap psikosial menjadi 8 tahap dimana masing-masing tahap ditandai
dengan suatu tantangan gan dan krisis yang jika tidak dapat ditangani maka akan
menghambat perkembangan selanjutnya.
 Erikson menekankan pada masa adolesen karena merupakan masa peralihan dari
masa kanak-kanak ke masa dewasa.
 Tahap-tahap Perkembangan Psikososial Erikson:
1. Infancy (0 –1)
 Trust vs Mistrust (kepercayaan dasar vs kecurigaan dasar)
 Mengembangkan sejumlah perasaan kepercayaan atau kecurigaan
terhadap kebutuhan dasar seperti pengasuhan, kehangatan, kebersihan
dan kontak fisik.
 Ibu yang bersifat kelembutan melalui pandangannya, belaiannya,
senyumannya, sentuhannya, cara memanggilnya memberikan perasaan
diakui pada bayi, yang akan menimbulkan kepercayaan dasar.
 Ketiadaan pengakuan pada bayi dapat menyebabkan keterasingan,
perasaan dipisahkan dan dibuang, menimbulkan kecurigaan dasar.
2. Early childhood (1 – 3)
 Autonomy vs shame, doubt (otonomi vs perasaan malu, ragu-ragu)
 Anak belajar apa yang diharapkan dari dirinya, kewajiban dan haknya
serta pembatasan pada dirinya.
 Tahap untuk berkembangnya pengungkapan diri dan sifat penuh kasih
sayang. Anak harus didorong untuk mengalami situasi yang menuntut
otonomi dalam melakukan pilihan bebas.
 Penanaman rasa malu secara berlebihan akan menyebabkan anak tidak
memiliki rasa malu atau mencoba melarikan diri dari hal tersebut dengan
diam-diam, tidak suka berterus terang dan serba bertindak dengan diam-
diam, akhirnya menyebabkan perasaan malu dan ragu-ragu yang
menetap.
3. Play age (3 – 6)
 Initiative vs guilt (inisiatif vs kesalahan)
 Masa untuk memperluas penguasaan dan tanggung jawab, anak
mempunyai tujuan dalam aktifitasnya.
 Kegiatan utamanya adalah bermain. Tujuan berkembang dalam kegiatan
bermainnya, eksplorasi, usaha dan kegagalannya.
 Bahayanya adalah muncul rasa bersalah pada diri anak karena anak
terlalu bergairah dalam mencapai tujuannya termasuk menggunakan cara
yang agresif dan manipulatif.
4. School age (7 – 11)
 Industry vs inferiority (kerajinan vs inferioritas)
 Masa anak sekolah, mengembangkan kemampuan belajar, rasa ingin
tahu dan sekaligus mengembangkan perasaan rendah diri jika gagal (atau
merasa gagal) menguasai tugas-tugas yang dipilihnya atau yang
diberikan guru.

5. Adolescence (12 – 20)


 Identity vs identity confusion (identitas vs kekacauan identitas)
 Masa dimana remaja mulai merasakan suatu perasaan identitasnya
sendiri, merasa unik, siap untuk berperan dalam masyarakat. Mulai
menyadari sifat-sifat yang melekat pada dirinya sendiri seperti kesukaan
dan ketidaksukaannya, tujuan yang dikejar di masa datang, kekuatan dan
hasrat untuk mengontrol nasibnya sendiri.
 Merupakan masa peralihan dari anak ke dewasa. Menjadikan kadang
remaja berada pada kondisi kekacauan identitas. Mereka menjadi hampa,
terisolasi, cemas dan bimbang. Mereka menjadi kacau, tingkah lakunya
tidak konsisten. Ingin masuk dunia kehidupan dewasa tapi masyarakat
menganggap belum mampu dan mereka merasa sudah bukan anak-anak
lagi. Terjadi suatu kekacauan.
 Jika tidak terselesaikan anak akan berada pada kondisi krisis identitas
yang akan mengembangkan identitas negatif pada dirinya yaitu dirinya
hanya memiliki sifat yang potensial buruk atau tidak berharga.
6. Young adulthood (20 – 30)
 Intimacy vs isolation (keintiman vs isolasi)
 Siap dan ingin menyatukan identitasnya dengan orang lain,
mendambakan hubungan akrab dengan lawan jenis dalam percintaan.
Mengembangkan persaudaran,menyiapkan daya untuk membina
komitmen dan siap berkorban.
 Bahayanya adalah muncul isolasi, kecenderungan untuk menghindari
hubungan karena tidak mau terlibat atau melibatkan diri dalam
keintiman.
7. Adulthood (30 – 65)
 Generativity vs stagnation (generativitas vs stagnasi)
 Perhatian terhadap apa yang dihasilkan – keturunan, produk, ide, dsb –
serta penetapan dan pembentukan pedoman untuk generasi mendatang.
 Apabila generativitas lemah atau tidak diungkapkan maka kepribadian
akan mundur dan mengalami stagnasi.

8. Mature age (> 65)


 Integrity vs despair (integritas vs putus asa)
 Masa dimana individu melihat kembali tentang hasil yang dicapai aik ide,
produk dan suatu refleksi setelah berhasil menyesuaikan diri dengan
keberhasilan dan kegagalan dalam hidupnya.
 Gaya hidupnya dipertahankan untuk menghindari dari ancaman.
 Lawannya adalah kondisi putus asa,merasa hiduop tidak berguna dan
pasrah pada keadaan menunggu ajal.

B. PERSPEKTIF HUMANISTIK
 Tokoh utama: Carl Rogers
 Memandang bahwa semua manusia pada dasarnya baik, mempunyai potensi
untuk menjadi sehat dan kreatif. Gangguan mental dapat berkembang akibat
tekanan sosial.
 Menerapkan pentingnya pemberian cinta dan penerimaan dari orang tua atau
orang terdekat lainnya terhadap perkembangan kepribadian.
 Rogers menciptakan teori yang terpusat pada individu (person-centered theory).
Prinsip-prinsipnya:
 Untuk memahami seseorang, kita harus melihat dari cara mereka mengalami
peristiwa tersebut daripada terhadap peristiwanya itu sendiri.
 Setiap individu itu unik, perbedaan persepsi dan perasaan pada tiap individu
menentukan perilaku mereka.
 Motif utama yang selalu menggerakkan individu untuk maju adalah self
actualization, merupakan perwujudan dari seluruh potensi yang dimiliki
individu.
 Mereka mempunyai tujuan yang sudah ditentukan. Adanya pengaruh dari
luar dirinya (orang tua, teman sebaya, sosial atau tekanan lingkungan)
mengakibatkan individu kehilangan arah yang sudah ditentukan.

C. PERSPEKTIF BEHAVIORAL
 Perilaku, dalam pandangan ini sangatlah ditentukan oleh pengaruh
lingkungannya.
 John B Watson menekankan betapa dibutuhkannya suatu observasi dan
eksperimen yang sitematis untuk mempelajari perilaku. Manusia pada dasarnya
dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan sosial budayanya.
 Segenap perilaku manusia itu dipelajari, termasuk juga perilaku abnormalnya
yang dipelajari dengan cara yang sama pada individu lain.
 Pendekatan ini lebih tertarik pada perilaku-perilaku yang dapat diamati daripada
kondisi-kondisi abstrak atau bawah sadar yang merupakan tema pokok
psikoanalisa.
 Ivan Pavlov (classical conditioning)
 Menggunakan Pavlov’s dog.
 CS (bel) tidak keluar saliva

UCS (daging) keluar saliva

CS diikuti UCS (berulang-ulang) keluar saliva

CS keluar saliva

 BF Skinner (operant conditioning)


 Menggunakan Skinner’s box (merpati)

 Bandura (modelling)
 Individu mengamati model untuk kemudian menirukan perilaku tersebut.
 Misalnya anak kecil akan menunjukkan perilaku jongkok saat berjumpa
dengan anjing, karena dia mengamati orang tuanya berperilaku tersebut saat
berjumpa dengan anjing.

D. PERSPEKTIF KOGNITIF
 Pendekatan kognitif memusatkan perhatiaannya tentang bagaimana manusia
(bahkan hewan sekalipun) melakukan strukturisasi terhadap pengalaman,
bagaimana mereka membuat suatu sense terhadap pengalaman-pengalaman
tersebut kemudian mentransformasi stimulus-stimulus lingkungan menjadi
informasi yang siap digunakan.
 Didalamnya terdapat juga tentang bagaimana seharusnya proses-proses mental
seperti pikiran, persepsi, ingatan, perhatian, pemecahan masalah dan penggunaan
bahasa dipelajari untuk memahami suatu perilaku.
 Albert Ellis mengemukakan Rational-emotive theory.
 Menurut teori ini individu yang memiliki rational beliefes, pada saat mengalami
kejadian negatif akan menunjukkan emosi negatif seperti sedih dan frustrasi. Tapi
individu dengan irrational beliefes akan berubah menjadi depresi, cemas atau
marah.
 Menurut Allbert Ellis manusia itu mempunyai potensi baik untuk berpikiran baik
dan rasional maupun buruk dan irasional. Manusia memiliki kecenderungan-
kecenderungan untuk memelihara diri, berbahagia, berpikir dan berkata,
mencintai, bergabung dengan orang lain serta tumbuh dan mengaktualisasikan
diri. Akan tetapi manusia juga mempunyai kecenderungan-kecenderungan untuk
menghancurkan diri, menghindari pemikiran, berlambat-lambat, menyesali
kesalahan sampai berlarut-larut, intoleransi, perfeksionis dan mencela diri serta
menghindari pertumbuhan dan aktualisasi diri. Manusia pun berkecenderungan
untuk terpaku pada pola-pola tingkah laku lama yang disfunction.
 Abnormalitas terjadi karena adanya penimbunan keyakinan-keyakinan irasional
yang berpengaruh pada masa kanak-kanak. Ellis mengatakan “gangguan emosi
pada dasarnya merupakan terdiri atas kalimat-kalimat atau arti-arti yang keliru,
tidak logis dan tidak bisa disahihkan, yang oleh orang terganggu diyakini secara
dogmatis dan tanpa kritik dan terhadapnya dia beremosi atau bertindak sampai
ia sendiri kalah”.
 Ada tiga kategori utama irrational beliefes, dimana masing-masing membawa
konsekuensi terhadap kekalahan diri yaitu:
a. Gagasan bahwa seseorang harus benar-benar kompeten, layak, berprestasi
dalam segala hal dan dicintai sepanjang waktu atau gagasan bahwa seseorang
merasa tidak mampu dan tidak berharga. Gagasan ini bisa menyebabkan
panik dan depresi.
b. Gagasan bahwa semua orang harus memperlakukannya dengan baik dan jujur
atau gagasan bahwa orang-orang tertentu buruk, keji, atau jahat dan harus
dikutuk atas kejahatannya. Gagasan ini dapat mengembangkan perasaan
marah dan agresif.
c. Gagasan bahwa segala sesuatu harus mengikuti kehendaknya, tidak terlalu
sukar dikerjakan dan tidak membuat frustrasi atau gagasan bahwa hidup
adalah mengerikan, buruk, sangat menyakitkan dan malapetaka. Gagasan ini
dapat menciptakan kondisi mengasihani diri sendiri dan toleransi yang
rendah terhadap frustrasi juga prokrastinasi.

E. PERSPEKTIF VULNERABILITY – STRESS


 Perspektif ini menghubungkan antara faktor biologis, psikologis dan lingkungan.
 Vulnerability mengacu pada satu atau sejumlah karakteristik individu yang
meningkatkan peluang bagi berkembangnya suatu gangguan. Dapat berupa
biologis atau psikologis. Biologis misalnya adanya kerentanan secara genetis dari
orang tua, adanya abnormalitas yang diturunkan. Psikologis misalnya, orang-
orang yang mempunyai keyakinan lemah terhadap agama lebih rentan terhadap
munculnya depresi.
 Stress mengacu pada suatu kondisi lingkungan individu yang menyebabkan
kesulitan. Hal itu disebut stressor. Stressor dapat berupa biologis dan psikologis.
Biologis misalnya kekurangan oksigen saat kelahiran atau gizi yang buruk selama
kanak-kanak dapat menyebabkan disfungsi otak. Psikologis misalnya masalah
kuliah, bencana banjir, tindak kekerasan orang lain, gagal tes kerja, kematian
pasangan hidup, dsb.
 Interaksi antara Vulnerability dan Stress dapat menyebabkan munculnya
gangguan. Misalnya individu yang secara biologis rentan terhadap skizofrenia,
jika diberi stressor yang tepat, maka kemungkinan untuk menjadi skizofrenia
makin besar.

Perspektif Sosiokultural
Asumsi dasar : kepribadian, keyakinan,
sikap dan keterampilan dipelajari dari orang lain. Tidak mungkin memahami seseorang
tanpa memahami budaya, identitas etnis, gender dan faktor-faktor sosio-kultural lainnya.
Manusia harus difahami dalam konteksnya.
Pendekatan sosiokultural
Pendekatan sosiokultural menjelaskan sebuah $ara dimana masyarakat dan
budayalingkungan mempengaruhi kelakuan. Pendekatan sosiokulltural menyatakan
bahwa pemahaman penuh dari tingkah laku seseorang membutuhkan pengetahuan
tentangkonteks lingkungan dimana kelakuan terjadi
Prinsip dasar:
 Setiap manusia terbentuk karena budaya
 Manusia harus difahami dalam
konteksnya:
 Beberapa istilah: – Ethnic group: kelompok manusia yang berasal dari satu nenek
moyang – Ethnic identity: rasa memiliki suatu kelompok etnis dan berbagi belief,
sikap, keterampilan, musik, upacara, dsb.
 Gender identity: pandangan diri sebagai lelaki atau wanita.

Dua aspek penting pendekatan


sociokultural
 Cultural relativity : budaya lain bukan inferior, tetapi budaya lain berbeda dengan
budaya kita. Artinya, perbedaan ini merupakan sumber ide yang kaya dalam
mengatasi permasalahan hidup
 Tidak semua anggota dari budaya tertentu adalah serupa. Orang Asia:
– pendek – tinggi
– pandai matematika – kurang pandai
Prespektif Konsep Model Biopsikososial dalam Psikologi

Dikembangkan di Universitas Rochester oleh George L Engel dan John Romano tahun
1977. Biopsikososial ini memahami kesehatan manusia dan penyakit dalam konteks
mereka baik secara biologis, psikologis dan sosial. Biopsikososial adalah metode
interkasi biologi, psikologis dan faktor sosial dalam mengobati penyakit dan
meningkatkan kesehatan menjadi lebih baik.
Hal ini adalah sebuah kombinasi antara tubuh, pikiran dan lingkungan. Pendekatan
model biopsikososial ini melibatkan faktor biologis, psikologis dan sosial dalam
memahami penyakit dan sakitnya seseorang. Sedangkan konsep biopsikososial sendiri
memungkinkan suatu pemahaman tentang munculnya sakit yang kemudian dihubungkan
dengan faktor lingkungan dan kondisi stres.

Biologis fokus pada obat, psikologis fokus pada psikoterapi dan sosial fokus pada
dukungan dan modifikasi sosial.

 Pendekatan Biologis
 Adanya impairment, disability, functional limitation yang berpengaruh
pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia sehingga menimbulkan
gangguan seperti merubahnya nutrisi, kenyamanan, kerusaka mobilitas
fisik, resiko cedera, kurang merawat diri dan intoleransi aktivitas
(Carpenito, 1997)
 Adanya perubahan penampilan, status dan peran, monilitas fisik, aktivitas
dan pekerjaan sehari-hari dengan orang lain karena adanya perbedaan
kondisi sehat dan sakit terlebih dalam kebutuhan dasar manusia dimana
seseorang dalam kondisi sakit akan membutuhkan bantuan orang lain.
 Dampak fisik akan memunculkan kondisi stres sehingga membutuhkan
penanganan secara fisik dan psikologis sedini mungkin. Karena dengan
begitu klien diharapkan merasa tenang, terlepas dari stres dan
memperoleh prognosis yang lebih baik lagi.

 Pendekatan Psikologis
Klien mengalami keadaan psikologis seperti :
 Shock atau kaget saat mendengar diagnosis penyakit hasil pemeriksaan dokter
 Denial atau penolakan dan tidak percaya atas hasil pemeriksana dokter
 Marah dan berusaha menolak sakitnya dan menyesali kenapa hal tersebut terjadi
pada dirinya
 Kecemasan dan ketakutan adanya nyeri, penurunan berat badan serta penipisan
finansial
 Depresi dan merasa kesepian
 Merasa tidak berdaya dan putus asa, Malu

Pendekatan yang dilakukan seperti :

 Menjadi orang terdekat yang dapat dijadikan sebagai tempat mengekspresikan


perasaan dan pikirannya
 Memberikan dukungan agar menerima sakit yang dialami terlebih jika penyakitnya
membutuhkan proses penyembuhan lama dan hasil yang tidak pasti
 Sholat dan berdoa untuk memenuhi kebutuhan spiritual demi kekuatan untuk
bertahan hidup
 Menyeimbangkan keadaan psikologi karena mempengaruhi keadaan biologis atau
fisiknya sebab keadaan psikologis yang buruk akan memberatkan prognosis dan
penyembuhan penyakit yang dialami oleh seseorang

 Pendekatan Sosial

Adanya perubahan dalam kehidupan sosial, diantaranya :

 Kehilangan pekerjaan
 Perubahan peran di rumah
 Gangguan interaksi sosial
 Menarik diri
 Tidak mampu melakukan ibadah dan organisasi atau kegiatan lain yang pernah
diikutinya

Keadaan psikologisnya seperti :


 Mudah marah
 Tersinggung
 Depresi
 Interaksi sosial tidak baik
 Minder
Pendekatan yang dilakukan adalah dengan tidak menjauhkannya dari orang-orang
terdekat mereka. Kedekatan ini akan mempengaruhi keadaan psikologisnya sehingga
klien akan merasa kedamaian sehingga proses fisiologis dan biologis dalam
penyembuhan penyakkit dapat maksimal.

Penanganan dalam hal ini yaitu : Dukungan sosial dan depresi(makrolevel) dan kerusakan
sel atau ketidakseimbangan kimiawi (mikrolevel) akan saling berinteraksi mencapai
kesehatan tertentu. Dari konsep model biopsikososial kesehatan dan penyakit adalah hal
yang dipengaruhi oleh faktor tertentu yang menimbulkan efek.

Selain itu, pikiran dan tubuh merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena hal
itu saling mempengaruhi dalam aspek kesehatan dan penyakit. Konsekuensinya bahwa
kesehatan, penyakit dan perawatan medis adalah satu proses yang tidak dapat dipisahkan.
Selain itu adapula implikasi model biopsikososial pada praktek klinis terhadap pasien
yaitu :

 Mengetahui Kesehatan Atau Penyakit Seseorang


Dalam hal ini, konsep model biopsikososial harus memperhatikan hubungan faktor
biologis, psikologis dan sosial pada proses diagnosis (Oken, 2000)

 Treatment
Model biopsikososial harus memastikan bahwa treatment yang disarankan telah
mencakup tiga faktor tersebut yakni faktor biologis, psikologis dan sosial.

 Hubungan Praktisi dengan Pasien

Model biopsikososial dapat membentuk jelas hubungan antara praktisi dengan pasien
sehingga hal ini bisa berefek dalam meningkatkan motivasi pasien, dampak treatment
baik dan pemulihan penyakit yang lebih cepat (Belar, 1997). Praktisi disini harus
memahami bahwa faktor sosial dan psikologis berkontribusi terhadap pengobatan yang
tepat dalam menyembuhkan penyakit. Singkatnya dalam keadaan seseorang yang sehat,
model ini menunjukkan bahwa individu dapat memahami kebiasaan kesehatan pada
koneks psikologi dan sosial. Konteks ini berpengaruh pada bagaimana menjaga kesehatan
yang baik dengan modifikasi yang tepat dan fasilitas perkembangan yang sehat.
Sedangkan dalam kasus seseorang yang sakit, maka biologis, psikologis dan sosial
berkontribusi dalam proses pemulihan.

Anda mungkin juga menyukai