Anda di halaman 1dari 10

MODUL 3

PROSES KOMUNIKASI INTERPERSONAL


Wenny Pahlemy, MSi

The challenge that may people face when interacting with


others is that they lack of the necessary interpersonal skills needed to be effective.
—Robert W Lucas

Pada bagian ini kita akan membahas sistem komunikasi interpersonal. Terutama
tentang bagaimana Anda memandang diri Anda dan bagaimana orang lain
memandang Anda. Kondisi ini akan mempengaruhi pola interaksi Anda dengan
orang lain.

Persepsi Interpersonal
Kita sudah membahas konsep umum persepsi. Ada faktor personal dan
situasional yang mempengaruhi persepsi. Persepsi objek adalah bagaimana
tanggapan kita terhadap benda-benda di sekeliling. Sedangkan persepsi
interpersonal adalah bagaimana kita memandang manusia. Mana yang lebih
cermat, persepsi objek atau persepsi interpesonal? Mengamati papan tulis atau
mengamati seorang dosen? Besar dugaan kita, persepsi kita terhadap papan tulis
tidak jauh berbeda. Sedangkan persepsi terhadap dosen pasti sangat beragam. Ini
disebabkan antara lain bahwa objek tidak bereaksi kepada kita dan kita pun tidak
memberikan reaksi emosional kepadanya. Objek juga relatif tetap, sedang manusia
berubah—ubah (Kita hari ini berbeda dengan kita yang kemarin yang, misalnya,
sedih karena kunci motor hilang, dll).

Pengaruh Faktor-faktor Situasional pada Persepsi Interpersonal

1. Diskripsi Verbal

Menurut eksperimen Solomon E. Asch, bahwa kata yang disebutkan pertama


akan mengarahkan penilaian selanjutnya. Pengaruh kata pertama ini kemudian
terkenal sebagai primacy effect. Menurut teori Asch, ada kata-kata tertentu yang
mengarahkan seluruh penilaian kita tentang orang lain. Jika kata tersebut berada di
tengah rangkaian kata maka disebut central organizing trait.
Walaupun teori Asch ini menarik untuk melukiskan bagaimana cara orang
menyampaikan berita tentang orang lain mempengaruhi persepsi kita tentang orang
itu, dalam kenyataan kita jarang melakukannya. Jarang kita melukiskan orang
dengan menyebut rangkaian kata sifat. Kita biasanya mulai pada central trait,
menjelaskan sifat itu secara terperinci, baru melanjutkan pada sifat-sifat yang lain.

Edward T. Hall, juga menyimpulkan keakraban seorang dengan orang lain


disebabkan pertama:dari jarak mereka, seperti yang kita amati. Kedua, erat
kaitannya dengan yang pertama, kira menangapi sifat orang lain dari cara orang itu
membuat jarak dengan kita. Ketiga, cara orang mengatur ruang mempengaruhi
persepsi kita tentang orang itu.

2. Petunjuk Proksemik

Proksemik adalah studi tentang penggunaan jarak dalam menyampaikan


pesan. Istilah ini dikenalkan oleh antropolog interkultural, Edward T Hall. Hall
membagi jarak ke dalam 4 kategori: jarak publik, jarak sosial, jarak personal, dan
jarak akrab. Jarak yang dibuat individu dalam hubungannya dengan orang lain
menunjukkan tingkat keakraban di antara mereka. Ba (kalau ada) antara Anda
dengan orang yang paling akrab dengan Anda. Betulkan kita memersepsi orang
lain dengan melihat jaraknya dengan kita?

3. Petunjuk Kinesik

Petunjuk kinesik adalah persepsi yang didasarkan kepada gerakan orang lain
yang ditunjukkan kepada kita. Misalnya: Membusungkan dada (sombong);
Menundukkan kepala (merendah); Bertopang dagu (sedih), dll. Beberapa penelitian
membuktikan bahwa persepsi yang cermat tentang sifat-sifat dari pengamatan
berasal dari petunjuk kinesik. Begitu pentingnya petunjuk kinesik, sehingga apabila
petunjuk-petunjuk lain (seperti ucapan) bertentangan dengan petunjuk kinesik,
orang mempercayai yang terakhir. Mengapa? Karena petunjuk kinesik adalah yang
paling sukar untuk dikendalikan secara sadar oleh orang yang menjadi stimuli
(selanjutnya disebut persona stimuli-orang yang dipersepsi; lawan dari persona
penanggap).
4. Petunjuk Wajah

Seperti petunjuk kinesik, petunjuk wajah pun dapat diandalkan dalam


menimbulkan persepsi terhadap orang lain. Cicero, tokoh retorika Romawi
mengatakan:”Wajah adalah cerminan jiwa”. Shakespeare, penyair Inggris
menulis:”Your face...is book where men may read strange matters”. Kata-kata
sastra ini pun telah diteliti oleh para psikolog sosial.

Ekman (1975) merancang serangkaian foto yang mengungkapkan berbagai


emosi. Foto-foto itu kemudian diperlihatkan kepada subjek-subjek berbagai bangsa
(Amerika Serikat, Brazil, Chili, Argentina, Jepang). Persepsi subjek menunjukkan
tingkat konsensus yang tinggi. Senyum ditanggapi sebagai ungkapan bahagia;
mata melotot sebagai kemarahan; dst. Penelitian ini dikritik karena ada
kemungkinan keseragaman persepsi wajah disebabkan kontak kultural bangsa-
bangsa tersebut yang berlangsung melalui televisi, dilm, majalah dan surat kabar.
Lalu Ekman dkk melakukan penelitian lagi pada kelompok-kelompok Irian yang
terasing. Mereka tidak mengalami kontak budaya, dan respons mereka pun hampir
sama.

Ahli komunikasi non verbal, Dale G. Leather (1976:21), menulis; “Wajah


sudah lama menjadi sumber informasi dalam komunikasi interpersonal. Inilah alat
yang sangat penting dalam menyampaikan makna. Dalam beberapa detik
ungkapan wajah dapat menggerakkan kita ke puncak keputusan. Kita menelaah
wajah rekan dan sahabat kita untuk perubahan-perubahan halus dan nuansa
makna dan mereka, pada gilirannya, menelaah kita”.

Walaupun petunjuk wajah dapat mengungkapkan emosi, tidak semua orang


mempersepsi emosi itu dengan cermat. Ada yang sangat sensitive pada wajah, ada
yang tidak. Sekarang para ahli psikologi sosial sudah menemukan ukuran
kecermatan persepsi wajah itu dengan tes yang disebut FMST-facial meaning
sensitivity test (tes kepekaan makna wajah). Dengan tes ini, kepekaan kita
menangkap emosi pada wajah orang lain dapat dinilai skornya.

5. Petunjuk Paralinguistik
Yang dimaksud paralinguistik ialah bagaimana cara orang mengucapkan
lambang-lambang verbal. Jadi, jika petunjuk verbal menunjukkan apa yang
diucapkan, petunjuk paralinguistik mencerminkan bagaimana mengucapkannya. Ini
meliputi tinggi-rendahnya suara, tempo bicara, gaya verbal (dialek), dan interaksi
(perilaku ketika melakukan komunikasi atau obrolan). Suara keras akan dipersepsi
marah atau menunjukkan hal yang sangat penting. Tempo bicara yang lambat,
ragu-ragu, dan tersendat-sendat, akan dipahami sebagai ungkapan rendah diri
misalnya.

Dialek digunakan menentukan persepsi juga. Bayangkan reaksi Anda pada


aksen Batak kawan Anda, misalnya. Dari dialeknya, kita menentukan persepsi kita
tentang dia. Mungkin segala sifat orang Batak (yang digeneralisasi) akan
diterapkan pada kawan Anda tersebut. Perilaku seseorang ketika berbicara dengan
orang lain, seperti menginterupsi atau menyela, memonopoli pembicaraan,
mengangguk-angguk tersebut memberikan petunjuk paralinguistik tentang
kepribadian persona stimuli.

6. Petunjuk Artifaktual

Petunjuk artifaktual meliputi segala macam penampilan (appearance) dari


bentuk tubuh, kosmetik yang dipakai, baju, pangkat, badge, dan atribut-atribut
lainnya. Anda mungkin bertemu dengan seseorang, lalu Anda berpikir orang itu
cerdas, periang, dan seksi. Atau tiba-tiba Anda merasa benci pada seseorang
tanpa menyadari sebab-sebabnya. Ini kemungkinan besar terjadi karena reaksi
Anda terhadap penampilannya, walaupun terjadi lewat alam bawah sadar Anda.
Umumnya, kita mempunyai stereotip -gambaran kaku yang tidak berubah serta
tidak benar- tentang penampilan tertentu. Apalagi bila stereotip ini diperkokoh
dengan pengalaman-pengalaman Anda.

Karon Dion, ellen Bercheid, dan Elaine Walster (1972) meneliti pengaruh
stereotip ini:Apakah penampilan menarik atau tidak menarik menimbulkan asumsi-
asumsi tertentu? Apakah orang yang cantik cenderung dianggap berperilaku baik
dan kemungkinan sukses dalam hidupnya? Mereka memperlihatkan tiga buah foto
kepada para mahasiswa S1. Foto pertama menunjukkan orang yang cantik; kedua,
rata-rata dan ketiga, berwajah jelek. Mahasiswa diharuskan memberikan penilaian
tentang kepribadian orang dalam foto tersebut dengan mengisi angket ukutran
kepribadian. Kemudian mereka harus memperkirakan kemungkinan perkawinannya
dan keberhasilan dalam karirnya. Sibjek-subjek eksperimen itu terbukti menilai
orang cantik lebih bahagia dalam pernikahannya dan lebih mungkin berhasil
memperoleh pekerjaan yang baik ketimbang rekan-rekannya yang berwajah jelek.

Bila kita mengetahui bahwa seseorang memiliki satu sifat (misalnya, cantik
atau jelek), kita beranggapan bahwa ia memiliki sifat-sifat tertentu (misalnya,
periang atau penyedih); ini disebut halo effect. Bila kita sudah menyenangi
seseorang, maka kita cenderung melihat sifat-sifat baik pada orang itu dan
sebaliknya.

Kita menangkap kesan tentang personal stimuli dari petunjuk-petunjuk verbal


dan nonverbal. Apakah persepsi ktia cermat atau tidak? Mengapa seorang persona
stimuli menimbulkan kesan berlainan bagi orang yang berbeda?

Pengaruh Faktor-faktor Personal pada Persepsi Interpersonal

Pada bagian sebelumnya, kita sudah membahas faktor situasional yang


mempengaruhi persepsi. Pada bagian ini kita akan fokus pada faktor-faktor
personal yang secara langsung mempengaruhi kecermatan persepsi, bukan proses
persepsi itu sendiri.

Persepsi interpersonal besar pengaruhnya bukan saja pada komunikasi


interpersonal, tetapi juga pada hubungan interpersonal. Karena itu, keceramatan
persepsi interpersonal akan sangat berguna untuk meningkatkan kualitas
komunikasi interpersonal kita. Beberapa ciri-ciri khusus penanggap yang cermat
adalah :

1. Pengalaman
Pengalaman mempengaruhi kecermatan persepsi. Pengalaman tidak selalu
lewat proses belajar formal. Pengalaman kita bertambah juga melalui rangkaian
peristiwa yang pernah kita hadapi. Inilah yang menyebabkan seorang ibu segera
melihat hal yang tidak beres pada wajah anaknya atau pada petunjuk kinesik
lainnya. Ibu lebih berpengalaman mempersepsi anaknya daripada bapak. Ini juga
sebabnya mengapa kita lebih sukar berdusta di depan orang yang paling dekat
dengan kita.

2. Motivasi

Proses konstruktif yang banyak mewarnai persepsi interpersonal juga sangat


banyak melibatkan unsur-unsur motivasi. Di antara motivasi yang pernah diteliti
adalah motif biologis, ganjaran dan hukuman, karakteristik kepribadian, dan
perasaan terancam.

Motif personal yang juga mempengaruhi persepsi interpersonal adalah


kebutuhan untuk mempercayai dunia yang adil (Melvin Learner, 1975).

3. Kepribadian

Dalam psikoanalisis dikenal proyeksi, sebagai salah satu cara pertahanan


ego. Proyeksi adalah mengeksternalisasikan pengalaman subjektif secara tidak
sadar. Orang melempar perasaan bersalahnya pada orang lain. Maling teriak maling
adalah contoh tipikal dari proyeksi. Pada persepsi interpersonal, orang mengenakan
pada orang lain sifat-sifat yang ada pada dirinya, yang tidak disenanginya. Sudah
jelas, orang yang banyak melakukan proyeksi akan tidak cermat menanggapi
persona stimuli, bahkan mengaburkan gambaran sebenarnya. Sebaliknya, orang
yang menerima dirinya apa adanya, orang yang tidak dibebani perasaan bersalah,
cenderung menafsirkan orang lain lebih cermat. Begitu pula orang yang tenang,
mudah bergaul dan ramah cenderung memberikan penilaian posoitif pada orang
lain. Ini disebut leniency effect (Basson dan Maslow, 1957).

Bila petunjuk-petunjuk verbal dan non verbal membantu kita melakukan


persepsi yang cermat, beberapa faktor personal ternyata mempersulitnya. Persepsi
interpersonal menjadi lebih sulit lagi, karena persona stimuli bukanlah benda mati
yang tidak sadar. Menusia secara sadar berusaha menampilkan dirinya kepada
orang lain sebaik mungkin. Inilah yang disebut dengan Erving Goffman sebagai
self-presentation (penyajian diri).

Proses Pembentukan Kesan

Bagaimana proses persepsi interpersonal berlangsung?

 Stereotyping

Seorang guru ketika menghadapi murid-muridnya yang bermacam-macam, ia


akan mengelompokkan mereka pada konsep-konsep tertentu; cerdas, bodoh,
cantik, jelek, rajin, atau malas. Penggunaan konsep ini menyederhanakan begitu
banyak stimuli yang diterimanya. Tetapi, begitu anak-anak ini diberi kategori cerdas,
persepsi guru terhadapnya akan konsisten. Semua sifat anak cerdas akan
dikenakan kepada mereka. Inilah yang disebut stereotyping.

Stereotyping ini juga menjalaskan terjadinya primacy effect dan halo effect
yang sudah kita jelaskan di muka. Primacy effect secara sederhana menunjukkan
bahwa kesan pertama amat menentukan; karena kesan itulah yang menentukan
kategori. Begitu pula, halo effect. Persona stimuli yang sudah kita senangi telah
mempunyai kategori tertentu yang positif, dan pada kategori itu sudah disimpan
semua sifat yang baik.

 Implicit Personality Theory

Setiap orang memiliki konsepsi sendiri tentang sifat-sifat apa berkaitan


dengan sifat-sifat apa. Misalnya, konsep “makanan ‘berkaitan dengan kue, donat,
buah, dll. Konsep “bersahabat” mencakup konsep ramah, hangat, suka menolong,
dll. Konsepsi ini merupakan teori yang dipergunakan orang ketika membuat kesan
tentang orang lain. Teori ini tidak pernah dinyatakan, kerena itu disebut implicit
personality theory. Suatu hari kita menemukan seorang bersembahyang, kita
menduga ia pasti jujur, saleh, bermoral tinggi. Teori anda belum tentu benar, sebab
ada pengunjung masjid atau gereja yang tidak saleh dan tidak bermoral.

 Atribusi

Atribusi adalah proses menyimpulkan motif, maksud, dan karakteristik orang


lain dengan melihat pada perilakunya yang tampak (Baron dan Byrne, 1979:56).
Atribusi boleh juga ditujukan pada diri sendiri (self attribution), tetapi di sini kita
hanya membicarakan atribusi pada orang lain. Atribusi merupakan masalah yang
cukup poupuler pada dasawarsa terakhir di kalangan psikologi sosial, dan agak
menggeser fokus pembentukan dan perubahan sikap. Secara garis besar ada dua
macam atribusi: atribusi kausalitas dan atribusi kejujuran.

Fritz Heider (1958) adalah yang pertama menelaah atribusi kausalitas.


Menurut Heider, bila kita mengamati perilaku sosial, pertama-tama kita menentukan
dahulu apa yang menyebabkannya; faktor situasional atau personal; dalam teori
atribusi lazim disebut kausalitas eksternal dan kausalitas internal (Jones dan
Nisbett, 1972).

Sekarang bagaimana kita dapat menyimpulkan bahwa persona stimuli jujur


atau munafik (atribusi kejujuran-attribution of honesty)? Menurut Robert A. Baron
dan Donn Byrne (1979:70-71), kita akan memperhatikan dua hal: (1) sejauh mana
pernyataan orang itu menyimpang dari pendapat yang popular dan diterima orang,
(2) sejauh mana orang itu memperoleh keuntungan dari kita dengan pernyataan itu.

Pengaruh Persepsi Interpersonal Pada Komunikasi Interpersonal

Perilaku kita dalam komunikasi interpersonal amat bergantung pada persepsi


interpersonal. Karena persepsi yang keliru, seringkali terjadi kegagalan dalam
komunikasi. Kegagalan komunikasi dapat diperbaiki bila orang menyadari bahwa
persepsinya mungkin salah. Komunikasi interpersonal kita akan menjadi lebih baik
bila kita mengetahui bahwa persepsi kita bersifat subjektif dan cenderung keliru.
Kita jarang meneliti kembali persepsi kita. Akibat lain dari persepsi kita yang tidak
cermat ialah mendistorsi pesan yang tidak sesuai dengan persepsi kita. Persepsi
kita tentang orang lain cenderung stabil, sedangkan persepsi stimuli adalah
manusia yang selalu berubah. Adanya kesenjangan antara persepsi dengan realitas
sebenarnya mengakibatkan bukan saja perhatian selektif, tetapi juga penafsiran
pesan yang keliru.

Referensi
Griffin, EM. 2003. A First Look At Communication Theory. London : Mcgraw-Hill.
Miller, Katherine. 2002. Communication Theories: Perspective, Process, and
Context. Boston:

Jalaludin Rakhmat. Psikologi Komunikasi. Edisi Revisi. Bandung: Simbiosa


Rekatama Media. 2018

Anda mungkin juga menyukai