Anda di halaman 1dari 18

BAB V

KEPRIBADIAN DALAM KOMUNIKASI INTERPERSONAL


Sebuah Analisis Psikologis
Social interest is true and inevitable conipensation
for all the natural zveaksesses of individual human being
(Alfred Adler, Problems of Neurosis, 1929)
PENDAHULUAN
Ketika seorang laki-laki mulai mencoba mengenal seorang wanita setelah melalui
pertemuan dan basa-basi yang cukup lama, lalu laki-laki itu melakukan PDKT
(pendekatan) untuk mengetahui diri wanita itu lebih jauh, maka laki-laki tersebut akan
berjumpa

dengan konsep-konsep

seperti kepribadian,

kecantikan, manipulasi

penampilan, citra diri, konsep diri, dan lain-lain. Semua konsep itu berguna untuk
mempermudah laki-laki itu mencapai tujuan : menjadi kekasih gadis tersebut !
Terkadang kita sama sekali tidak perduli dengan ada atau tidaknya konsep-konsep di
atas, yang penting tujuan kita tercapai. Permasalahannya adalah kita tetap saja
berhadapan dengan bentuk konkret dan konsep-konsep tadi, baik kita sadari atau tidak
kita sadari.
Kepribadian, konsep diri, pengelolaan kesan (impression management),
semuanya memiliki potensi yang menentukan ketika interaksi manusia mulai dilakukan.
lnteraksi yang terjadi dalam bentuk paling sederhana seperti dalam komunikasi
interpersonal membutuhkan pengetahuan mendalam tentang konsep-konsep di atas
agar tujuan komunikasi tercapai. Djalaludin Rakhmad menuliskan kekuatan akan
pengetahuan atas persepsi yang membantu dalam komunikasi interpesonal. Ada
empat hal yang sangat berpengaruh dalam hubungan interpersonal menurut Rakhmat.
keempat hal itu adalah: (1). Persepsi Interpersonal, (2). Proses Pembentuk Kesan, (3).
Proses Pengelolaan Kesan (Impression Management), (4). Pengaruh Persepsi
Interpersonal pada Komunikasi Interpersonal9.
Analisis interpersonal yang diberikan Rakhmat menunjukan betapa vitalnya
peran persepsi dalam proses komunikasi interpersonal. Sementara itu Supratiknya
menempatkan konsep self

disclosure (pembukaan diri)

sebagai awal guna

Jalaluddm Rakhmat, (2001), Psikologi Komunikasi, Edisi Revisi, Penerbit PT Remaja Rosdakarya,
Bandung.

menciptakan

komunikasi

interpersonal

yang

efektif10.

Self

disclosure

adalah

pengungkapan reaksi atau tanggapan kita terhadap situasi yang sedang kita hadapi
serta memberikan informasi tentang masa lalu yang relevan atau yang berguna untuk
memahaimi tanggapan kita dimasa kini tersebut. Tanggapan terhadap orang lain atau
terhadap kejadian tertentu lebih melibatkan perasaan. Membuka diri berarti
membagikan kepda orang lain perasan kita terhadap sesuatu yang telah dikatakan
atau dilakukannya, atau perasaan kita terhadap kejadian-kejadian yang baru saja kita
saksikan.
Pembukaan diri menurut Johnson meimiliki dua sisi yaitu bersikap terbuka
kepada yang lain, dan bersikap terbuka bagi yang lain. Kedua proses ini dapat
berlangsung secara serentak dan akan membuahkan hasil berupa relasi yang terbuka
antara kita dan orang lain. Kemampuan untuk membuka diri ini akan bervariasi pada
setiap orang. Namun bagaimana kemudian keinginan untuk membuka diri itu menjadi
muncul akan sangat tergantung pada kepribadian orang bersangkutan. Dari sinilah
perbincangan masalah kepribadian menjadi penting untuk kita lakukan.
KEPRIBADIAN; RAGAM KATEGORI DEFINISI
Ada dua golongan besar yang akan kita temui ketika akan mendefinisikan
kepribadian. Golongan pertama menyamakan konsep kepribadian dengan ketrampilan
atau kecakapan sosial. Kepribadian individu dinilai berdasarkan kemampuannya
memperoleh reaksi-reaksi positif dan berbagai orang dalam berbagai keadaan.
Dengan kategori ini sangat wajar bila seorang guru memvonis siswanya telah meimiliki
masalah kepribadian dengan maksud untuk mengatakan bahwa ketrampilanketrampilan sosial siswa itu kurang memadai untuk memelihara hubungan-hubungan
yang memuaskan dengan sesama siswa dan guru. Akhirnya kepribadian tidak lebih
sebagai pemolesan diri untuk mendapatkan ketrampilan sosial.
Golongan kedua memandang kepribadian individu sebagai kesan yang paling
menonjol atau paling kentara yang ditunjukkan seseorang terhadap orang lain.
Akhirnya muncullah anggapan bahwa seseorang memiliki kepribadian agresif atau
bahkan kepribadian penakut. Biasanya dalam kategori ini sang pengamat memilih
satu atribut atau kualitas yang paling khas pada subjek dan agaknya merupakan
bagian penting dan keseluruhan kesan yang ditimbulkan pada orang-orang lain
sehingga kepribadian orang tersebut identik dengan istilah seperti di atas. Akhirnya
kepribadian dilukiskan sebagai baik dan buruk.
!

Pemahaman akan kepribadian menjadi sangat kompleks karena definisi


kepribadian itu sendiri bersifat multi perspektif. Allport menemukan hampir 50 definisi
berbeda tentang kepribadian yang dapat digolongkan kedalam sejumlah kategori.
Beberapa kategori dan definisi itu antara lain definisi biososial dan biofisik, definisi
rag-bag atau omnibus, dan fungsi integratif atau fungsi organisasi kepribadian.11
Dengan kenytaan banyaknya definisi tentang kepribadian ini tak salah bila Calvin S.
Hall & Gardner Lindzey berkeyakinan bahwa tidak satupun definisi substantif tentang
kepribadian dapat diberlakukan secara umum. Cara-cara individu tertentu dalam
mendefinisikan kepribadian sepenuhnya tergantung pada preferensi teoritisnya yang
khusus. Karena pada bahasan kali ini kita akan melihat kepribadian dalam konteks
komunikasi interpersonal, dalam arti konsep kepribadian dipotret dalam konteks
interaksi sosial, maka kita akan melihat kepribadian dengan penekanan pada
fungsinya dalam menjembatani atau mengatur penyesuaian diri individu. Kepribadian
mencakup usaha-usaha menyesuaikan diri yang beraneka ragam namun khas yang
dilakukan oleh individu. Dalam konteks inilah maka analisis hubungan pribadi yang
dipaparkan Supratiknya menemukan relevansinya. Namun dalam tulisan ini kita tidak
akan masuk terlalu jauh pada tataran aplikatif yang diberikan Supratiknya, melainkan
hanya membicarakan konsep kepribadian secara teoritis dengan membedah beberapa
pemikiran ahli-ahli psikologi kepribadian. Setelah itu kita akan melihat langsung apa
peranan persepsi dalam konteks komunikasi interpersonal tersebut. Kita akan memulai
dengan perspektif Jungian yang dipelopori oleh ahli psikoanalisis setelah Freud, Carl
Gustav Jung.
KEPRIBADIAN MENURUT CARL GUSTAV JUNG
Kepribadian sebagai sebuah konsep dalam diri manusia adalah fokus kajian yang unik.
Salah satu tokoh yang serius rnembedah masalah kepribadian manusia ini adalah
tokoh prikoanalisis Carl Gustav Jung. Tokoh prikoanalisis ini lahir di Kesswyl, sebuah
kota di kawasan Lake Constance di Canton Thurgau, Swiss, pada 26 Juli 1875, dan
dibesarkan di Basel. Ayahnya seorang pendeta di Gereja Reformasi swiss. Jung
menganggap ayahnya sangat lemah dan didominasi ibunya. Ibunya ia gambarkan
sebagai seorang wanita yang sering merasa tidak aman, sering merasakan kontradiksi

Kategori definisi kepribadian ini bisa dilacak lebih jauh dan penjelasan Aliport yang dihimpun oleh
Calvin S. Hall & Gardner Lindzey, Teori-teori Psikodinainik (KIi,iis), (1993), Penterjernah Yustinus,
Kanisius, Jogjakarta, hal 26 29.

dalam dirinya, serta memperlakukan para anggota keluarga dengan tidak konsisten.
Setelah lulus kedokteran tahun 1900, ia menjadi asisten di rumah sakit mental di
Zurich. Ketertarikannya dengan etimologi skizofrenia memberinya inspirasi pada
penemuan teori ketidaksadaran kolektif. Ia juga menemukan fantasi dan delusi pasien
yang dalam banyak hal mirip dengan mitos-mitos kebudayaan abad lampau.
Dengan terpublikasikannya karya Jung, The Psychology of Dementia Preacox,
berisi tentang sebuah treatmen psikoanalisis terhadap skizofrenia, mengawali posisi
Jung sebagai sahabat Sigmund Freud. Melalui proses pertemuan dan diskusi intensif
dengan Freud, Jung menjadi pelopor gerakan humanis yang penting. Ia juga
mengatakan bahwa cara realisasi diri adalah melalui penemuan kembali spiritual self
Berikut kita akan mengkaji prinsip dan konsep dasar teori kepribadian yang dipaparkan
oleh Jung.
PRINSIP DAN KONSEP DASAR12
Carl Gustav Jung memaparkan bahwa totalitas kepribadian disebut psike (psyche).
Dalam konsepsinya, psike bukanlah bentuk fisik yang memiliki realitas khusus. Melalui
psike, energi mengalir secara kontinyu dengan arah yang beragam dan ketidaksadaran
menuju ke kesadaran dan kembali lagi; serta dan dalam ke luar realitas dan kembali
lagi. Energi psikis ini, bagi Jung merupakan sesuatu yang real. Dia menganggap
bahwa energi psikis dan libido saling berkaitan. Libido menunjuk pada sebuah energi
proses kehidupan dimana seksualitas hanyalah merupakan satu aspek. Energi psikis,
seperti energi fisik, merupakan abstraksi yang merepresentasikan sesuatu yang real,
yang tidak dapat disentuh atau dirasakan,tetapi kita sadar akan keberadaannya melalui
efek yang ditimbulkan. Seperti halnya bentuk manifestasi energi fisik yang menerangi
atau menghangatkan ruangan, energi psikis mewujudkannya dalam berbagai
perasaan, peinikiran, dan perilaku.
Sesuatu yang penting dan sebuah energi psikis adalah bahwa energi psikis
merupakan produk konflik diantara kekuatan-kekuatan dalam kepribadian. Tanpa
konflik, tidak akan ada energi dan tak ada kehidupan. Cinta dan kebencian dapat eksis
dalam psike, menciptakan tekanan dan energi baru yang mencari ekspresi dalam
perilaku. Potensi konflik ini sungguh-sungguh tidak terbatas.
"

Paulus Budiraharjo (Ed), (1997), Mengenal Teori Kepribadian Mutakhir, Kanisius, Jogjakarta, hal 41

57. Sebenarnya buku ini rnenghadirkan banyak pernikiran tokoh-tokoh psikologi kepribadian, namun kita
hanya memfokuskan kajian pada peniikiran Carl Gustav Jung. Bagi yang berininat rnendalanii lebih jauh
tentang kepribadian, bisa membaca buku itu lebih lanjut.

Jung juga mengatakan bahwa berbagai struktur psike secara kontinyu


berlawanan satu sama lain. Inisalnya, kesadaran dan ketidaksadaran adalah saling
tergantung. Lebih jauh, shadow (ketidaksadaran dan seringkali merupakan sisi gelap
dari keberadaan manusia) bisa terjadi konflik dengan ego, ketika ego menyimpan atau
menekan ingatan yang tidak menyenangkan dari kesadaran. Jadi, pada prinsipnya,
psike merupakan suatu entitas umum yang bekerja menurut prinsip yang berlawanan
(principle of opposites).
Ketika muncul, energi bergerak kesegala arah. Bisa berwujud dalam perilaku
atau secara kontinyu bergerak dalam psike. Mula-mula ke satu arah kemudian kearah
lain, gerakan itu dapat melompat dan bergerak secara tidak sistematis rnelalui psike,
bergerak dalam ketidaksadaran, atau mendekat pada sumber energi lain yang
kemudian memanifestasikan dirinya dalam bentuk-bentuk psiklogis yang aneh seperti
halusinasi atau delusi.
Libido juga bekerja menurut prinsip ekivalen (principle of eqivalence) dan
entropi. Formulasi psikolgis ini didasarkan pada hukum termodinaimika pertama dan
kedua dalam ilmu fisika. Prinsip ekivalen menyatakan bahwa suatu kuantitas energi
yang dihabiskan atau dikonsumsi dalam kondisi tertentu adalah sama dengan energi
yang muncul di tempat lain. Misalnya dalam wilayah seksualitas, perasaan erotis
seseorang yang tidak dapat sepenuhnya tersalurkan akan diekspresikan, tetapi tidak
hilang begitu saja, melainkan aktif secara kontinyu dalam level intensitas yang sama
dalam alam tak sadar. Dalam diri orang lain, ekspresi perasaan yang sama mungkin
dapat disublimasikan atau ditransformasikan dalam bentuk kerja kreatif. Pemikiran
Jung ini mirip dengan konsepsi Feud tentang displacement.
Prinsip entropi dapat diartikan sebagai proses dalam psike dimana elemenelemen yang memiliki kekuatan tidak sama akan mencari keseimbangan psikologis.
Misalnya jika energi terpusatkan pada ego, tekanan akan muncul dan dalam psike
untuk menggerakan energi ketidaksadaran menuju kesadaran dalam rangka mencapai
keseimbangan. Hal terpenting adalah bahwa perkembangan di satu sisi dalam
kepribadian menciptakan konflik dan tekanan. Distribusi, sebaliknya menciptakan
harmoni. Tujuan dari perkembangan individual adalah realisasi diri yang mencakup
semua aspek dalam integritas kepribadian. Dalam keadaan harmoni, individu dapat
mencapai kebahagiaan dan produktivitas.

KAJIAN TEORI
Ego dalam Identitas
Jung meyakini bahwa ego merupakan representasi kompleks yang terdiri dari pusat
bidang sadar dan muncul untuk memberi tekanan dengan derajat yang sangat tinggi
pada identitas dan kontinuitas. lstilah kompleks diartikan sebagai kumpulan pemikiran
yang dipersatukan, seringkali oleh perasaan pada umumnya. Ego yang kompleks tidak
sinoinim dengan psike, melainkan hanya satu aspek darinya. Selain itu, ego tidak
identik dengan kesadaran. Ego sebenarnya merupakan sebuah pemusatan kekuatan
dalam psike yang terletak pada pusat kesadaran. Prinsipnya, ego bertanggung jawab
kepada perasaan identitas dan kontinuitas keberadaan manusia.
Ketidaksadaran Personal
Wilayah di bawah ego adalah ketidaksadaran personal. Ketidaksadaran personal terdiri
dari semua pengalaman yang dilupakan, yang kehilangan intensitasnya karena
beberapa alasan, terutama karena tidak menyenangkan, termasuk kesan-kesan yang
terlalu lemah untuk diterima di alam sadar. Materi ketidaksadaran ini dapat muncul ke
kesadaran dalam kondisi tertentu. Misalnya dapat dimunculkan oleh keterampilan
terapis dalam menolong pasiennya melalui hipnotis, asosiasi bebas, atau metode
amplikasi.
Ketidaksadaran Kolektif
Bagian terdalam dan kepribadian adalah ketidaksadaran kolektif. Bagi seorang Jung,
ini merupakan pusat ingatan laten manusia dan leluhurnya yang terdiri dan insting dan
arketipe yang diturunkan serta seringkali mengontrol perilaku kita. Arketipe-arketipe itu
eksis dalam semua kebudayaan melalui sejarah. Ingatan kilektif, bagi Jung adalah
universal dalam kehidupan karena evolusi pada umumnya dan struktur otak. Konsepsi
ini seringkali salah dimengerti. Orang sering menganggap ini sebagai sumbangan
orisinal Jung pada psikologi, walaupun Freud sebelumnya telah mengajukan konsep
agak mirip yang disebutnya sebagai ketidaksadaran rasial yang dimiliki secara kolektif.
Hal yang lebih penting, Jung tidak menerima ide, terutama dan J.B Lamarck, bahwa
seseorang memiliki karakter yang diwarisi secara Iangsung. Jung mengatakan bahwa
kita tidak mutlak mewarisi karakter yang diwariskan secara Iangsung. Kita hanya
mewarisi sebagian dan membawanya pada sebuah kecendrungan atau predisposisi
untuk merespons pengalaman tertentu dengan cara yang khusus. Terkadang
kecendrungan ini muncul dengan cara spontan dan terkadang ketika seseorang dalam

kondisi stres, dalam bentuk motif arketipe. Misalnya Jung mengatakan bahwa pria dan
wanita dalam setiap kebudayaan memiliki sifat turunan atau kecendrungan untuk
merespon secara ambigu dan merasa terancam oleh sesuatu yang memiliki eksistensi
paling berkuasa, yang kita sebut dengan Allah. Lebih lanjut Jung mengatakan bahwa
seseorang yang meninggalkan ide tentang Allah akan mengalami kesulitan
kepribadian.
Ide tentang Allah bagi Jung tidak seperti ide tentang kursi yang tampak jelas.
Allah merupakan simbol universal, dan simbol tersebut walaupun real tidak
sepenuhnya dapat dimengerti. Dengan realitas yang begitu kompleks, maka
pemahaman

rasional

hanya

dapat

menolong

memahamannya

secara

tidak

menyeluruh. Disamping itu, hanya kepercayaan dan penerimaan pada ketidaktahuan


dari aspek-aspek yang tidak diketahui yang dapat menggerakkan psike akan mencapai
keseimbangan.
Arketipe
Seperti telah disinggung sebelumnya, arketipe merupakan tema universal yang
mempengaruhi perilaku manusia. Arketipe, pada prinsipnya merupakan bentuk
pemikiran atau ide yang memberikan pandangan tentang pengalaman-pengalaman
tertentu. Misalnya satu arketipe utama berupa hubungan antara ibu dan anak yang
didirikan dengan perlindungan ibu terhadap anaknya.
Arketipe dibentuk secara tidak sama atau merata dalam kepribadian. Beberapa
diantaranya dibentuk dengan baik dan memiliki pengaruh yang kuat pada fungsi
kepribadian. Adapun yang lain tidak terbentuk secara baik dan hanya sedikit
pengaruhnya. bentuk arketipe utama lain dalam sistem Jungian mencakup pesona,
shadow, anima dan animus, self, dan juga ekstrovert dan introvert. Walaupun introvert
dan ekstrovert oleh banyak ahli dikatakan bukan bentuk arketipe, namun Jung
mengatakan sebaliknya, bahwa bentuk arketipe merupakan disposisi tetapi sering kali
dibentuk juga oleh pengalaman.
Persona, merupakan sebuah kompromi antara tuntutan lingkungan dan
kepentingan konstitusi individual. Ia merupakan topeng yang berfungsi secara
memadai ketika seseorang berhubungan dengan orang lain. Topeng ini meliputi
banyak sekali peran yang digunakan dalam kegiatan-kegiatan rutin. Persona juga
membantu mengontrol kekuatan jahat dalam ketidaksadaran kolektif. Agaknya, pesona
memang merupakan satu arketipe karena itu merupakan manifestasi universal dan
usaha seseorang menyesuaikan diri dengan orang lain.

Persona juga bisa merupakan ciri yang negatif. Seseorang dapat belajar
menyembunyikan diri atau kepribadian yang sebenarnya dibalik topeng-topeng ini. Dan
perspektif lain, dapat juga dikatakan bahwa ketika seseorang terperangkap dalam
peran tertentu, ia dapat kehilangan sebagian sisi individualitasnya. Jacob memberikan
ilustrasi:
Kita semua mengetahii profesor ... yang secara individual menampakkan din dalam
peran profesor, tetapi di balik topengnya seseorang mungkin dapat ditemukan keluhankeluhan dan sif at kekanak-kanakan.

Dalam pandangan Jungian, seseorang harus menyadari dan menerima batas


rasionalitas dan intelektualitasnya. Dia juga harus menerima arketipe seperti orang tua
bijaksana yang mengajarkan tentang kesalahan manusia karena arketipe mengandung
kebijaksanaan dan pengertian.
Shadow, diartikan oleh Jung sebagai dark side atau sisi gelap dan diri manusia. Bila
persona bekerja sama dengan ego dibidang kesadaran dan berperan dalam
menyesuaikan
ketidaksadaran,

diri

dengan

dunia

ketidaksesuaian,

luar,

dan

maka

bagian

shadow

inferior

mewakili

dalam

psike.

kejahatan,
Shadow

mengandung dua aspek primer: satu berhubungan dengan ketidaksadaran personal


dan yang lain dengan ketidaksadaran kolektif. Dalam hubungannya dengan
ketidaksadaran personal, shadow mengandung pengalaman-pengalaman di mana
individu menolak prinsip-prinsip moral dan estetika. Jung percaya, terkadang shadow
bekerja sama dengan insting seksual (Freudian) dan kehendak untuk berkuasa
(Adlerian).
Dalam

hubungannya

dengan

ketidaksadaran

kolektif,

shadow

mengandung

personifikasi universal dan kejahatan dalam psike manusia. Jung menegaskan, kita
tidak pernah secara tuntas mengetahui sisi gelap kepribadian ini karena kita tidak
pernah berhadapan dengan bentuk kejahatan secara absolut dalam kepribadian. Akan
tetapi, dalam hal ini shadow eksis dalam kepribadian semua orang dan muncul dalam
bentuk bermacam-macam, seperti perasaan ingin merusak diri sendiri, keinginan untuk
menghancurkan orang lain atau alam.
Adalah benar bahwa, pada dasarnya manusia tidak dapat mengontrol impulsimpuls tersebut. Jung percaya bahwa perasaan yang direpresikan ini bekerja secara
independen dalam ketidaksadaran, yang bekerja sama dengan impuls-impuls yang
lain. Akibatnya, ia menjadi satu kekuatan kompleks yang bisa meledak secara cukup
kuat dalam kesadaran dan karena itu melemahkan ego. Misalnya seorang eksekutif
yang dihormati bisa menjadi sangat kasar terhadap koleganya dalam pentemuan

penting.

Argumentasinya

dipertanggungjawabkan,

dan

bisa

menjadi

mungkin

tidak

sangat

irasional,

berhubungan

tidak

degan

dapat

isu

yang

dipertimbangkan. Atau, dalam ruang lingkup yang lebih besar, pengusaha dan atau
pejabat bisa membuat policy yang merusak lingkungan hidup atau merugikan rakyat.
Shadow juga mengandung sisi positif disamping sisi negatif yang telah diulas di
atas. Beberapa contoh segi positif, misalnya seorang pembunuh bisa mengampuni
korbanya karena korbannya tersebut mengingatkannya pada seseorang yang pernah
dicintainya. Atau seorang wanita yang mementingkan dirinya sendiri (selfish)
menghabiskan waktu dan uangnya untuk kegiatan karikatif, karena dia tidak
memperhitungkan jumlah pengeluaran akibat tindakannya itu. Secara urnum segi
positif dan shadow terkadang terjadi ketika seseorang merasa tidak bertanggung jawab
sepenuhnya, spontan, dan kreatif.
Anima dan Animus, seperti halnya Freud, Jung merasa bahwa semua pria dan
wanita memiliki elemen seksual yang berlawanan dengannya. Setiap pria memiliki sifat
feminim, seperti halnya setiap wanita meimliki kualitas maskulin tanpa disadari.
Konsep ini didasarkan atas kenyataan bahwa terdapat variasi hormon antara pria dan
wanita. Arketipe feininin dalam pria oleh Jung disebut anima, arketipe maskulin dalam
wanita disebut animus.
Anima dan animus dapat bekerja secara konstruktif dan destruktif. Jung mengatakan
anima dapat berfungsi positif dalam pria, inisalnya mengingatkan perasan yang terlalu
superior. Fungsi ini bekerja negatif dalam tindakan pria yang kewanita-wanitaan.
Animus dalam kwanita memiliki manifestasi positif ketika menciptakan argumentasi
logis dan rasional. Sisi negatif Animus dapat dilihat ketika wanita berperilaku seperti
pria tulen, seperti ketika wanita atau feminis berperilaku maskulin.
Jung mengatakan bahwa anima dan animus merupakan fenomena universal,
mendeskripsikan

stereotipe

seksual

dalam

kebudayaan.

Arketipe

maskulin

mengandung karakteristik yang diasosiasikan secara tradisional dengan peran pria,


seperti logis rasional, kuat, argumentatif, lebih intensif secara sosial, dan lain-lain.
Arketipe feminin dan perilakunya sangat dekat dengan asosiasi tentang atribut tertentu,
seperti emosional, sensitif, intuitif, tidak rasional, lemah, dan sebagainya. Disini tampak
bahwa analisis Jung tentang karakteristik negatif animus dan kelemahan anima
mengandung bias patriakal seperti yang telah kita lihat dalam teori Freud tentang penis
envy.
Arketipe ini mungkin pula muncul dalam mimpi dan fantasi, atau sering kali pula
diproyeksikan dalam objek yang real. Akan tetapi proyeksi ini bisa menimbulkan

dampak negatif. Misalnya, anima dalam pria dapat diproyeksikan kepada kekasihnya.
Mungkin dia melihat kekasihnya sebagai ibu universal yang sensitif dan selalu
melindunginya.
Self, potensi arketipal dan diri manusia adalah self. Ia dikonsepsikan sebagai
cetak biru energi yang memiliki kemampuan untuk merealisasikan, atau yang disebut
Jung sebagai jalan individuasi. Individuasi merupakan proses dimana seseorang
menjadi dirinya sendiri yang unik. Dalam melakukannya, dia tidak menjadi selfish dan
jauh dari egoisme dan individualisme.
Gerakan menuju realisasi diri (self realization) merupakan satu proses yang
sangat sulit. Jung percaya bahwa proses itu tidak dapat dicapai dalam usia muda
karena membutuhkan waktu dan usaha untuk memecahkan banyak konflik yang saling
bertentangan dalam psike. Ia baru dapat dicapai minimal pada usia setengah baya.
Dalam harmoni, ego menjadi satelit self, seperti bumi berputar mengelilingi matahari.
Kesadaran tidak menempatkan kembali ketidaksadaran dalam psyche. Sebaliknya
principle of opposite yang bekerja, saling menyeimbangkan antara kesadaran dan
ketidaksadaran, antara ego dan shadow. Dengan demikian, sesuatu yang negatif
tidak

ditekan,

melainkan

diterima

dan

diakui

secara

jujur

keberadaannya.

Keseimbangan ini merupakan ciri realisasi diri.


Dalam pengertian itu, self dikonsepsikan sebagai kekuatan pemersatu yang
memiliki fungsi transenden yang mengadakan keseimbangan pada berbagai sistem
kepribadian. Dengan kata lain, individu mengeksplorasi aspek ketidaksadaran dan
psike individualnya. Perhatian Jung yang besar terhadap simbol merupakan usahanya
untuk menemukan cara self mulai mengekspresikan dan membedakan sistem religius,
prikologis, seni, dan filsafat sepanjang sejarah. Representasi yang terpenting dan self
adalah mandala, atau lingkaran magis (magiccircle), yaitu simbol yang ditemukan
dalam tulisan dan seni pada seluruh kebudayaan.
PROSES PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN
Jung mengatakan bahwa pertumbuhan pribadi merupakan suatu dinamika dan proses
evolusi yang terjadi sepanjang hidup. Individu secara kontinyu berkembang dan belajar
ketrampilan baru serta bergerak menuju realisasi diri. Jung tidak menerima pandangan
Freud bahwa kepribadian individu relatif berhenti dengan berakhirnya masa kecil. Jung
menolak pula konsepsi Freud bahwa kejadian masa lalu menentukan perilaku
seseorang. Bagi Jung, perilaku individu ditentukan bukan hanya oleh pengalaman
masa lalu, melainkan juga oleh tujuan masa depan. Individu dianggap sebagai

seseorang yang secara kontinyu merencanakan masa depannya. Akan tetapi,


walaupun individu dapat mengalami progresivitas menuju dan pribadi dengan
mengembangkan fungsi-fungsi psikologis yang berbeda, ia juga dapat mengalami
kemunduran.
Gerakan menuju aktualisasi diri ini seringkali merupakan proses yang sulit dan
menyakitkan. Itu secara kontinyu merupakan usaha individu untuk memahami
pengalamannya dan mengembangkan sikap-sikap yang sehat. Seseorang akan sering
merasakan krisis dan Jung percaya bahwa banyak pengalaman individu yang
mengalami krisis pada pertengahan usia. Resolusi pada krisis ini menolong seseorang
untuk bergerak menuju persepsi yang tepat dan penuh pemahaman tentang dirinya. Di
bawah kondisi ini, seseorang mengalami individuasi, yaitu ketika seseorang mampu
menjadi manusia yang meng-ada. Kemudian, dia mampu menerima kekuatankekuatan yang saling berlawanan dalam psike melalui transendensi.
Proses gerakan menuju aktualisasi diri tidak terjadi secara otomatis. Jika
seseorang tumbuh dalam kondisi lingkungan yang tidak sehat atau mengancam,
perkembangannya mungkin mengalami gangguan. Akan tetapi, mungkin juga individu
merepresikan kekuatan-kekuatan jahat dalam kepribadian yang dapat meledak tanpa
merusak fungsi kepribadian. Di bawah kondisi ini, seseorang menderita neurotik atau
psikotik. Jung menganggap bahwa psikotik atau neurotik merupakan akibat dan
perkembangan saW sisi dan merepresikan kekuatan-kekuatan lain. Inisalnya peinikiran
yang direpresikan oleh tipe perasaan yang bersifat introversi akan menimbulkan
gangguan neurotik. Akibat dari neurotik adalah neurasthenia, suatu kerusakan yang
dicirikan oleh keletihan dan tanpa gairah,
Jung melihat psikosis sebagai lanjutan dan neurosis yang terjadi ketika represi
dimana

kekuatan

ketidaksadaran

melebihi

kesadaran.

Dalam

pandangannya

kesadaran merupakan fenomena sekunder yang berasal dari ketidaksadaran.


Karenanya kesadaran adalah entitas yang rentan dan dapat dirusak oleh kekuatan
dalam ketidaksadaran. Dalam kasus ini, individu menjadi collapses dan kehilangan
kontrol ego.
Pemikinan Jung yang telah kita bahas bukan merupakan satu-satunya
kebenaran dari jawaban untuk menjelaskan kepribadian. Namun sebagai landasan
konseptual Jung memberikan pemahaman tidak semata-mata dari sisi individu
manusia secara independen, namun memberikan analisis berdasarkan konteks sosial
dan budaya. Terlepas dari kekurang lengkapan ini sekarang kita akan melihat

perspektif seorang Jalaluddin Rakhmat dalam mencandra aspek psikologis yang terjadi
ketika komunikasi interpersonal.
Keempat, objek relatif tetap, manusia berubah-ubah. Papan tulis yang Anda lihat
minggu yang lalu tidak berbeda dengan papan tulis yang kita Lihat hari ini. Mungkin
tulisan pada papan tulis itu sudah berubah, mungkin sobekan kayu disudut sudah
hilang, tetapi secara keseluruhan papan tulis itu tidak berubah. Manusia selalu
berubah. Anda hari ini bukan Anda hari kemarin,bukan Anda esok hari. Kemarin Anda
ceria, karena baru menerima kredit mahasiswa Indonesia. Hari ini sedih, karena
sepeda motor Anda ditabrak becak. Esok Anda gembira lagi, karena ujian anda lulus.
Anda di fakultas, bukan anda dirumah, bukan Anda di masjid. Perubahan ini, kalau
tidak membingungkan kita, akan memberikan informasi yang salah tentang orang lain.
Persepsi interpersonal menjadi lebih mudah salah.
PROSES PEMBENTUKAN KESAN
Dalam komunikasi interpersonal sesungguhnya selalu tercipta pembentukan kesan
baik ketika komunikasi itu tengah terjadi maupun setelah proses komunikasi itu selesai
dilakukan. Terciptanya kesan muncul dari

beberapa konsep dasar seperti

Stereotyping, Implicit Personality Theory, dan Atribusi.


Stereotyping
Menurut psikologi kognitif, pengalaman-pengalaman baru akan dimasukkan pada laci
kategori yang ada dalam memori kita, berdasarkan kesamaannya dengan pengalaman
masa lalu. Bersama itu, semua sifat yang ada pada kategori pengalaman itu dikenakan
pada pengalaman baru. Dengan cara seperti ini, orang memperoleh informasi
tambahan dengan segera, sehingga membantu dalam mengambil keputusan yang
cepat atau dalam meramalkan peristiwa. Katakanlah, Anda berjumpa dengan orang
asing yang bernama Manfred. Segera Anda kategorikan dia sebagai orang Barat. Anda
segera membentuk kesan bahwa ia orang yang tepat waktu, berbicara terus terang,
memiliki ketrampilan teknologis dan . menganut free sex. Kesan-kesan ini muncul,
karena begitulah penjelasan tentang sifat orang Barat dalam gudang memori Anda.
Stereotyping ini mungkin yang menjelaskan terjadinya primacy effect dan halo effect
yang sudah kita jelaskan di muka. Primacy effect secara sederhana menunjukkan
bahwa kesan pertama amat menentukan; karena kesan itulah yang menentukan
kategori. Begitu pula, halo efect. Persona stimuli yang sudah kita senangi telah

mempunyai kategoni tertentu yang positif, dan pada kategori itu sudah disimpan
semua sifat yang positif, dan pada kategori itu sudah disimpan semua sifat yang baik.
Implicit Personality Theory
Memberikan kategori berarti membuat konsep. Konsep makanan mengelompokkan
donat, pisang, nasi dan biskuit dalam kategori yang sama. Konsep bersahabat
meliputi konsep-konsep ramah, suka menolong, toleran, tidak mencemooh, dan
sebagainya. Di sini kita tidak akan mencemooh kita. Setiap orang mempunyai konsepsi
ter-sendiri tentang sifat-sifat apa berkaitan dengan sifat-sifat apa. Konsepsi ini
merupakan teori yang dipergunakan orang ketika membentuk kesan tentang orang
lain. Teori ini tidak pernah dinyatakan, karena itu disebut implicit personality theory.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita semua psikolog, amatir, lengkap dengan berbagai
teori kepribadian. Suatu hari anda menemukan pembantu Anda sedang sembahyang,
Anda menduga ia pasti jujur, saleh, bermoral tinggi. Teori Anda belum tentu benar,
sebab ada pengunjung mesjid atau gereja yang tidak saleh dan tidak bermoral.
Atribusi
Atribusi adalah proses menyimpulkan motif, maksud dan karakteristik orang lain
dengan melihat pada perilakunya yang tampak. Atribusi boleh juga ditujukan pada diri
sendiri (self atribution), tetapi di sini kita hanya membicarakan atribusi pada orang lain.
Atribusi merupakan masalah yang cukup populer pada dasawarsa terakhir di kalangan
psikolog sosial, dan agak menggeser fokus pembentukan dan perubahan sikap.
Secara garis besar ada dua macam atribusi: atribusi kausalitas dan atribusi kejujuran.
Bila kita melihat perilaku orang lain, kita mencoba memahami apa yang menyebabkan
ia berperilaku seperti itu. Fritz Heider (1958) adalah yang pertama menelaah atribusi
kausalitas. Menurut Heider, bila kita mengamati perilaku sosial, pertama-tama kita
menentukan dahulu apa yang menyebabkannya; faktor situasional atau personal;
dalam teori atribusi lazim disebut kausalitas eksternal dan kausalitas internal.
Bagaimana kita mengetahui bahwa perilaku orang lain disebabkan faktor internal, dan
bukan faktor eksternal ? Menurut Jones dan Nisbett, kita dapat memahami motif
personal stimuli dengan memperhatikan dua hal. Pertama, kita memfokuskan
perhatian pada perilaku yang hanya memungkinkan satu atau sedikit penyebab.
Kedua, kita memusatkan perhatian pada perilaku yang menyimpang dari pola perilaku
yang biasa.

Marilah kita jelaskan hal ini dengan contoh (Golstin, 1980: 140). Dalam suatu
ruangan kelas, kita dapat menduga berbagai perilaku mahasiswa: menghadap ke
depan dan menulis catatan kuliah: rnenghadap ke depan tetapi mengobrol dengan
rekan yang duduk di sebelah; menghadap ke depan sambil membaca koran;
menghadap ke depan sambil tidur; atau mebelakang. Semua perilaku itu mempunyai
kemungkinan terjadi yang berbeda-beda. Menghadap ke depan dan menulis catatan
kuliah adalah yang paling mungkin terjadi. Ini yang paling sulit untuk dijelaskan, karena
berbagai penyebab dapat diduga; mungkin ia ingin belajar, ingin lulus ujian, takut
beasiswanya dicabut, malu pada dosen, atau sekadar tunduk pada norma-norma
sosial. Dua yang pertama adalah penyebab internal, tiga terakhir penyebab eksternal.
Dengan begitu, perilaku ini sukar diketahui motifnya yang sebenarnya. Ambillah
mahasiswa yang membelakang. ini menyimpang dari pola perilaku yang biasa. Kita
akan segera menyimpulkan perilaku itu terjadi karena motif perorangan. Mahasiswa itu
benci pada dosen, ingin menunjukkan keberaniannya (sekadar jual tampang), atau
ingin menghindari tatapan dosen. Apa pun sebabnya, yang jelas ini menunjukkan
kausalitas internal. Penelitian Jones dan Davis dapat disimpulkan, bahwa kita
menentukan kausalitas perilaku dengan melihat konteksnya.
Beberapa peneliti lain menghubungkan proses atribusi dengan status persona
stimuli. Kausalitas internal ternyata lebih banyak dianggap menyumbang karena
pengaruh persuasi. Jones dan kawan-kawannya memperkuat hipotesis ini. Pujian dan
orang berstatus tinggi dianggap penghargaan, dan persona stimulinya dianggap jujur;
pujian dan orang berstatus rendah dianggap menjilat karena ada udang di balik batu.
Yang lebih terkenal sebenarna adalah teori atribusi dari Harold Kelle (1972, 1973).
Menurut Kelley, kita menyimpulkan kausalitas internal atau eksternal dengan
memperhatikan tiga hal: konsensus, - apakah orang lain bertindak sama seperti
penanggap; konsistensi - apakah penanggap bertindak sama pada situasi lain; dan
kekhasan (distintiveness) - apakah orang itu bertindak yang sama pada situasi lain,
atau hanya pada situasi ini saja. Menurut teori Kelley, bila ketiga hal itu tinggi, orang
akan melakukan atribusi kausalitas eksternal. Misalkan, Rudi bertengkar dengan
seorang dosen, begitu pula mahasiswa yang lain (konsensus tinggi); Rudi pernah juga
bertengkar dengan dosen itu sebelumnya (kekhasan tinggi). Anda akan menyimpulkan
Rudi marah karena ulah dosen, bukan karena watak Rudi.
Sekarang, bagaimana kita dapat menyimpulkan bahwa personal stimuli jujur
atau munafik (atribusi kejujuran - attribution of honesty)? Menurut Robert A. Baron dan
Donn Byrne (1979:70- 71), kita akan memperhatikan dua hal: (I) sejauh mana

pernyataan orang itu menyimpang dari pendapat yang populer dan diterima orang, (2)
sejauh mana orang itu memperoleh keuntungan dan kita dengan pernyataannya itu.
Makin besar jarak antara pendapat persona stimuli dengan pendapat umum,
makin percaya kita bahwa ia jujur (Eisinger dan Mills, 1968: Jones et al., 1971). Ada
cerita tentang Raja Thailand yang menunggang kerbau kotor. Biasanya ia
mengendarai gajah putih, dan rakyat harus bersuara dengan satu irama, Maha Agung
Baginda Raja yang mengendarai gajah putih, Kali ini pun, walaupun Raja
menunggang kerbau kotor, orang masih menyebutkan irama yang sama, Maha Agung
Baginda Raja yang mengendarai gajah putih. Kecuali di empat penjuru angin, empat
pemuda mengeluarkan pernyataan, Raja menunggang kerbau kotor. Mereka
ditangkap, dibawa ke istana. Raja mengangkatnya menjadi menteri (Aneh, mestinya
dipenjarakan, bukan?). Sabda raja, Kalian orang jujur. Aku membutuhkan orang
seperti kalian. Itu berarti sukar menduga kejujuran pada orang yang meneriakkan
irama yang sedang populer.
Kita kurang mempercayai kejujuran orang yang mengeluarkan pernyataan yang
menguntungkan dirinya.

Kita tidak

yakin

pada

omongan salesman

tentang

dagangannya, sebab ia memang mencari keuntungan. Kita yakin kawan kita jujur bila
ia menyatakan pendapat yang sebetulnya akan merugikan dia.
PROSES PENGELOLAAN KESAN
Kita telah membicarakan bagaimana kecermatan persepsi interpersonal dimudahkan
oleh petunjuk-petunjuk verbal non verbal, dan dipersulit oleh faktor-faktor personal
penanggap. Kesulitan persepsi juga timbul karena persona stimuli berusaha
menampilkan kesan tertentu untuk menimbulkan kesan tertentu pada diri penanggap.
Erving Golfman menyebut proses ini pengelolaan kesan (impression management).
Kita sudah mengetahui bahwa orang lain menilai kita berdasarkan petunjukpetunjuk yang kita berikan; dan penilaian itu mereka memperlakukan kita. Bila mereka
menilai kita berstatus rendah, kita tidak mendapatkan pelayanan istimewa. Bila kita
dianggap bodoh, mereka akan mengatur kita. Untuk itu, kita secara sengaja
menampilkan diri kita (self - presentation) seperti yang kita kehendaki.
Peralatan lengkap yang kita gunakan untuk menampilkan diri kita ini disebut
front. Front terdiri dari panggung (setting), penampilan (appearance), dan gaya
bertingkah laku (manner). Panggung adalah rangkaian peralatan ruang dan benda
yang kita gunakan. Ruang tamu berikut perabotan, hiasan dinding, lampu, karpet, dan
lemari, kita atur untuk memberikan kesan bahwa kita bukan petit bourgeouis, tetapi

betul-betul mewakili kelompok elit. Penampilan berarti menggunakan petunjuk


artifaktual. Kita memasang dasi, memakai kemeja Pierre de cardin, menenteng tas
President, dan menyemprotkan minyak wangi dan Guy de La Roche. Mudah-mudahan
dengan itu calon mertua kita menilai kita sebagai manusia yang sudah mapan.
Gaya bertingkah laku menunjukkan cara kita berjalan, duduk berbicara,
memandang, dan sebagainya. Pejabat baru yang ingin menumbuhkan kharisma
berusaha mengurangi humornya, berbicara teratur dengan tempo yang agak lambat,
berjalan tegap dan memandang orang dengan tajam. Seorang ibu, isteri orang kaya
baru, yang mencampur bahasa Indonesianya dengan beberapa kata bahasa Belanda
(yang diperolehnya pada kursus kilat), mengisap rokok dengan isapan panjang, dan
menyimpan paha kirinya diatas paha kanan, seraya menggerak-gerakkan telapak
kakinya, sedang menggunakan manner untuk memberi kesan tertentu.
PERSEPSI INTERPERSONAL DALAM KOMUNIKASI INTERPERSONAL
Perilaku manusia dalam komunikasi interpersonal amat bergantung pada persepsi
interpersonal. Bila Anda diberitahu bahwa dosen Anda yang baru itu galak dan tidak
senang dikritik, Anda akan berhati-hati dalam mengajukan pertanyaan. Bila Anda
mempersepsi kawan Anda sebagai orang cerdas, bijak, dan senang membantu, Anda
akan banyak meminta nasehat kepadanya.
Eksperimen Kelly, tokoh atribusi, tentang sikap dan keinginan berdiskusi para
mahasiswa ekonomi di Massachusets Institute of Technology membuktikan hipotesis di
atas. Setelah diberikan gambaran tentang kepribadian seorang dosen baru, maka
gambaran positif akan menghasilkan keinginan berdiskusi lebih banyak dari para
mahasiswanya, demikian juga sebaliknya.
Pada kenyataanya persepsi orang seringkali tidak cermat. Bila kedua belah
pihak menanggapi yang lain secara tidak cermat, terjadilah kegagalan komunikasi
(communication breakdowns). Anda menduga isteri anda tidak setia, dan isteri anda
menduga Anda sudah bosan padanya. komunikasi diantara Anda berdua akan
mengalami kegagalan, karena Anda berdua menafsirkan pernyataan orang lain
dengan kerangka tadi. Katakanlah, anda pulang terlambat dari kantor. Isteri Anda
kelihatan menyambut Anda dengan gembira. Ia mengungkapkan betapa senangnya
setelah melihat Anda pulang. Karena persepsi di atas, Anda menganggap ucapan istri
Anda hanya kamuflase dan ketidaksetiaannya. Dengan suara keras, Anda menanggapi
istri Anda, Ah bilang saja, kamu tidak senang aku pulang cepat. Istri Anda pasti
terkejut dan menduga Anda mencari gara-gara untuk menceraikannya.

Kegagalan komunikasi ini dapat diperbaiki bila orang menyadari bahwa


persepsinya mungkin salah. Komunikasi interpesonal kita akan menjadi lebih baik bila
kita besifat subyektif dan cenderung keliru. Kita jarang meneliti kembali persepsi kita.
Akibat lain dan persepsi kita yang tidak cermat ialah mendistorsi pesan yang tidak
sesuai dengan persepsi kita. Persepsi kita tentang orang lain cenderung stabil,
sedangkan persona stimuli adalah manusia yang selalu berubah. Adanya kesenjangan
antara persepsi dengan realita sebenarnya mengakibatkan bukan saja perhatian
selektif, tetapi juga penafsiran pesan yang keliru.
Persepsi interpersonal juga akan mempengaruhi komunikate. Bila saya
menduga Susan orang yang lincah, hangat, dan bersahabat, Susan akan berperilaku
seperti itu terhadap saya. Komunikasinya dengan saya menjadi lebih bebas, lebih
berani, dan lebih terbuka. Pada bagian terdahulu, kita telah menceritakan bagaimana
ekspektasi guru mempengaruhi prestasi murid. Bila orang berperilaku sesuai dengan
persepsi orang lain terhadap dirinya, terjadilah apa yang disebut self-fufilling prophecy
(nubuat yang dipenuhi sendiri). Dalam bagian terdahulu kita melihat bagaimana kita
menanggapi perilaku orang lain- menerangkan sifat-sifatnya, mengambil kesimpulan
tentang penyebab perilakunya, dan menentukan apakah petunjuk-petunjuknya yang
tampak itu orisinil atau hanya kepuraan semata (Masih ingat dengan impression
management dan Erving Goffman ?). Ternyata kita tidak hanya menanggapi orang
lain; kita juga mempersepsi diri kita. Diri kita bukan lagi persona penanggap, tetapi
persona stimuli sekaligus.
Bagaimana bisa terjadi, kita menjadi subyek dan obyek persepsi sekaligus ?
Menurut Charles Horton Cooley, kita melakukannya dengan membayangkan diri kita
sebagai orang lain; dalam benak kita. Cooley menyebut gejala ini looking-glass self
(diri cermin); seakan-akan kita menaruh cermin di depan kita. Pertama, kita
membayangkan bagaimana kita tampak pada orang lain; kita melihat sekilas diri kita
seperti dalam cermin. Misalnya kita merasa wajah kita jelek. Kedua, kita
membayangkan bagaimana orang lain menilai penampilan kita. Kita pikir mereka
menganggap kita tidak menarik. Ketiga, kita mengalami perasaan bangga atau
kecewa; orang mungkin merasa sedih atau malu.
Dengan mengamati diri kita, sampailah kita pada gambaran dan penilaian diri
kita, ini disebut konsep diri. Walaupun konsep diri merupakan tema utama psikologi
Humanistik yang muncul belakangan ini, pembicaraan tentang konsep diri dapat
dilacak sampai William James. James membedakan antara The I diri yang sadar dan
aktif, dan The Me diri yang menjadi objek renungan kita. Pada psikologi Sosial yakni

psikologi sosial yang berorientasi pada sosiologi - konsep diri dikembangkan oleh
Charles Horton Cooley (1864-1929), George Herbert Mead (1863-1931), dan
memuncak pada aliran interaksi simbolis, yang tokoh terkemukanya adalah Herbert
Blumer. Di kalangan Psikologi Sosial yakni psikologi sosial yang berorientasi pada
psikologi - konsep diri tenggelam ketika behaviorisme berkuasa. Pada tahun 1943,
Gordon E. Ailport menghidupkan kembali konsep diri. Pada teori motivasi Abraham
Maslow (1967, 1970) dan Carl Rogers (1970) konsep diri muncul sebagai tema utama
Psikologi Humanistik.

Anda mungkin juga menyukai