Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

Persepsi, Atribusi, dan Kognisi Sosial


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Sosial
Dosen Pengampu : Dr. Evy Clara, M.Si.

Disusun Oleh :

1. Diva Salsabilla Dayanti (1406620067)


2. Ilham Mubarok (1406620013)
3. Noorlia Apriantini (1406620020)
4. Veronica Maria (1406620015)

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

FAKULTAS ILMU SOSIAL

SOSIOLOGI B

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan ridho-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah tentang Persepsi, Atribusi, dan Kognisi Sosial pada mata kuliah
Psikologi Sosial.

Kami mengucapkan terima kasih kepada segenap anggota kelompok, teman-teman, orang tua,
dan Ibu Evy Clara selaku dosen pengampu pada Mata Kuliah Psikologi Sosial atas
bimbingannya dalam proses penulisan dan penyusunan makalah ini.

Semoga makalah tentang Persepsi, Atribusi, dan Kognisi Sosial ini dapat menginspirasi,
menambah wawasan baru bagi pembaca, serta memperkuat pengetahuan yang kami miliki terkait
dengan psikologi.

Jakarta, 3 Desember 2021

Penyusun
Kelompok 1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Persepsi merupakan proses aktif memilah, menata dan menafsirkan orang, obyek,
kejadian, situasi dan aktivitas (Wood, 1997: 47). Manusia memilah hanya hal ihwal
tertentu dalam hidup mereka, lalu menata dan menafsirkannya secara selektif. Persepsi
membentuk bagaimana manusia memahami orang lain dan dunianya sekaligus berbagai
pilihan yang diambil dalam hidup mereka. Contohnya, bila seseorang beranggapan
(perceive) orang lain sebagai bermusuhan atau menentangnya, maka ia bisa berinteraksi
secara defensif atau meminimalkan komunikasi. Dengan sendirinya, persepsi memotivasi
seseorang untuk bersikap dan bertindak dalam sebagian besar aktivitas hidupnya.

Sementara itu, persepsi dan motivasi tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling
mempengaruhi. Persepsi membentuk pandangan seseorang terhadap orang lain, dunia dan
segala isinya. Pada gilirannya, pandangan personal ini memotivasi seseorang untuk
berpendirian dan bertindak tertentu. Ihwal Public Relations (PR) misalnya, telah
menciptakan semacam polarisasi tertentu di lingkungan civitas akademik. Meskipun
duduk dan menimba ilmu tentang PR di bangku yang sama, pandangan mereka terhadap
PR akan berbeda-beda. Persepsi terdiri dari tiga proses yang saling berkaitan, yakni
seleksi, organisasi dan interpretasi (Wood, 1997: 48). Ketiga proses ini bercampur jadi
satu. Manusia menata persepsi bahkan seperti mereka memilah apa yang dirasakan
sekaligus menafsirkan dengan cara tertentu. Tiap proses mempengaruhi dua proses
lainnya. Apa yang dicantumkan mengenai orang, dunia dan segala isinya mempengaruhi
bagaimana seseorang menafsirkan semua itu.

Interpretasi terhadap suatu situasi mengarahkan seseorang untuk secara selektif


mencantumkan aspek-aspek setting tertentu, bukan yang lain. Seleksi adalah proses
memilah-milah hal-ihwal apa saja yang dirasa penting dan berkaitan langsung dengan
sesuatu yang tengah dipersepsi. Membaca buku teks Public Relations misalnya, tidak
semua isi buku dibaca, karena seseorang hanya perlu berfokus pada informasi penting
yang menjadi substansi buku teks. Organisasi adalah proses menata persepsi dengan cara
yang bermakna, bukan secara acak. Konstruktivisme adalah suatu teori yang menyatakan
bahwa kita menata dan menafsirkan pengalaman dengan menerapkan strukturstruktur
kognitif yang disebut schemata. Manusia mengandalkan empat schemata untuk
memahami fenomena: prototype, konstruk pribadi, stereotype dan script. Prototype
adalah struktur pengetahuan yang mendefinisikan contohcontoh yang paling jelas atau
paling mewakili dari sejumlah kategori (Fehr dalam Wood, 1997: 50). Prototype adalah
suatu ideal bagi kategori.

Prototype tentang PR, tim kerja yang hebat, guru besar, pahlawan dan sejenisnya.
Manusia memakai prototype untuk menempatkan orang lain dalam klasifikasi - PRO
adalah profesi prestisius, PRO harus menguasai bahasa asing dan terampil dalam
fotografi dan ceremony, PRO harus cakap dalam berinteraksi dengan klien dan prototype
sejenis lainnya. Konstruk pribadi adalah titik tonggak mental yang memungkinkan
seseorang mengukur orang lain dan situasi sepanjang dimensi-dimensi bipolar penilaian
(Kelly dalam Wood, 1997: 51). Contohnya, cerdas-bodoh, baik hatijahat, terampil-
ceroboh, supel-terkucil dan berbakat-tidak berbakat. Seberapa cerdas, baik hati, terampil,
supel dan berbakat seorang PRO. Konstruk pribadi memungkinkan seseorang membuat
penilaian lebih rinci mengenai kualitas fenomena tertentu yang kita rasakan. Konstruk-
konstruk yang diterapkan membentuk persepsi spesifik mengenai sesuatu, seperti
terhadap PRO.

Stereotype adalah generalisasi prediktif mengenai orang dan situasi. Sesuai


kategori yang dilekatkan pada seseorang atau sesuatu dan bagaimana kategori mengukur
konstruk-konstruk pribadi yang diterapkan, manusia memprediksi apa yang akan
dilakukan. Stereotype bisa tepat bisa pula meleset. Stereotype bersifat selektif dan
subyektif. Script adalah rentetan aktivitas yang mendefinisikan tindakan apa yang
diharapkan dari kita dan orang lain dalam suatu situasi spesifik. Script mengarahkan
kebanyakan aktivitas harian manusia. Script untuk salam dan basa-basi seperti selamat
pagi, apa kabar, sampai jumpa besok, sering dipakai. Interpretasi adalah proses subyektif
menciptakan penjelasan-penjelasan bagi apa yang seseorang amati dan alami. Interpretasi
terdiri dari atribusi dan bias pribadi.
Atribusi adalah penjelasan-penjelasan mengenai mengapa segala sesuatunya
terjadi dan mengapa orang-orang bertindak tertentu (Heider, dan Kelley dalam Wood,
1997: 54). Atribusi memiliki tiga dimensi, fokus internaleksternal yang mempertalikan
apa yang seseorang lakukan entah dengan faktor-faktor internal ataupun eksternal.
Dimensi kedua ialah stabilitas yang menjelaskan tindakan-tindakan sebagai hasil faktor-
faktor stabil yang tak berubah atau kejadian-kejadian sesaat. Dimensi kontrol
mempertalikan tanggung jawab akan tindakan-tindakan entah dengan orang ataupun
faktorfaktor di luar kontrol pribadi mereka. Manusia cenderung membentuk atribusi-
atribusi tertentu yang melayani kepentingan pribadi mereka (Hamachek, dan Sypher
dalam Wood, 1997: 54). Manusia cenderung membuat atribusi-atribusi internal dan stabil
bagi tindakan dan keberhasilan positif mereka. Mereka bisa mengklaim bahwa hasil-hasil
bagus hadir karena kontrol pribadi mereka. Inilah bias pribadi. Jadi, persepsi seseorang
mengenai orang lain atau suatu fenomena lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor fisiologis,
harapan, kemampuan kognitif dan faktor-faktor budaya.

Perbedaan persepsi lebih ditentukan oleh kemampuan inderawi dan fisiologi.


Keadaan fisiologis (lelah, stress, sakit, sehat, bahagia dan sejenisnya) juga berpengaruh
terhadap persepsi. Selain itu, faktor usia juga berdampak pada persepsi. Sementara,
harapan dimengerti sebagai visualisasi positif, yang merupakan teknik yang digunakan
untuk membentuk gambaran mental mengenai diri sendiri dan menerapkannya dalam
situasi yang tepat. Kemampuan kognitif adalah ketrampilan pribadi yang melekat pada
diri seseorang dalam proses interaksi sosial. Kemampuan kognitif meliputi kompleksitas
kognitif dan keterfokusan pribadi. Kompleksitas kognitif merujuk pada jumlah konstruk
yang digunakan, seberapa abstrak konstrukkonstruk itu dan bagaimana konstruk-konstruk
itu berinteraksi membentuk persepsi. Keterfokusan pribadi (person centeredness) adalah
kemampuan merasakan orang lain sebagai individu yang unik, mirip empati.
Keanggotaan seseorang dalam suatu kebudayaan mempengaruhi persepsi. Budaya terdiri
dari keyakinan, nilai pemahaman, praktek dan cara menafsirkan pengalaman yang dibagi
bersama sejumlah orang (Klopf dalam Wood, 1997: 63).

Pandangan seseorang terhadap orang lain lebih ditentukan oleh bagaimana


konstruksi sosial membentuk kepribadiannya. Misalnya, orang Jawa lebih beradab
dibandingkan orang-orang di luar Jawa merujuk pada tradisi pewayangan yang
dilestarikan secara turun-temurun. Jadi, persepsi seseorang mengenai PR ditentukan oleh
faktor-faktor yang sudah dijelaskan di atas. Ke depan, persepsi PR yang tepat atau keliru
kelak akan berdampak pada minat menjadi PRO. Jika seseorang memandang PRO
menuntut kemampuan bahasa asing yang bagus, keahlian fotografi dan ceremony,
ketrampilan beradaptasi dengan perubahan yang serba cepat dan berinteraksi dengan
orang lain dari budaya yang berbeda dan persyaratan lain yang dianggap sulit, sedang
dirinya merasa tidak memiliki itu semua, maka dengan sendirinya minat untuk menjadi
PRO akan kecil.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan permasalahan dalam makalah ini terdiri atas:

a. Bagaimana penjelasan perbedaan antara persepsi diri dan persepsi sosial?


b. Bagaimana penjelasan mengenai apa itu atribusi sosial?
c. Bagaimana penjelasan mengenai apa itu kognisi sosial?
d. Apa keterkaitan antara persepsi, atribusi, dan kognisi dalam psikologi sosial?

1.3 Tujuan

a. Menjelaskan perbedaan antara persepsi diri dan persepsi sosial


b. Menjelaskan mengenai definisi dan contoh atribusi sosial
c. Menjelaskan mengenai definisi dan contoh kognisi sosial
d. Mendeskripsikan keterkaitan antara persepsi, atribusi, dan kognisi dalam
psikologi sosial
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Persepsi Diri dan Persepsi Sosial

Persepsi Diri

Teori mengenai persepsi diri pertama kali dikemukakan oleh Daryl J. Bem dari Stanford
University, Amerika Serikat pada tahun 1967. Ia menyatakan bahwa Persepsi diri adalah suatu
kemampuan yang dimiliki individu untuk mengenal, mengidentifikasi dan menyatakan sikap,
emosi dan berbagai keadaan lain dalam dirinya sendiri. Dipengaruhi dari pola asuh atau persepsi
orang tua sendiri bisa positif dan negative. Mengevaluasi diri dengan kepribadiannya (harga diri
tinggi atau rendah). Bisa dari kegagalan. Teori ini juga menyatakan bahwa sikap menentukan
perilaku. Persepsi diri dapat muncul dari pengamatan terhadap tingkah laku diri sendiri dan juga
pengamatan terhadap orang lain atau lingkungan sekitarnya.

Persepsi Sosial
Secara umum, pengertian Persepsi Sosial dapat diartikan proses perolehan, dan
pengaturan informasi melalui inderawi dari orang lain mengenai orang lain/seseorang. Menurut
Baron & Bryne (2007), Persepsi sosial adalah proses yang dialami seseorang untuk mengetahui
dan memahami orang-orang lain.
Ruang Lingkup Persepsi Sosial biasanya persepsi sosial lebih ditekankan pada sisi mikro,
yaitu Terarah kepada penyimpulan individual yang berkaitan dengan karakteristiknya sendiri
atau karakteristik individu lain. Sedang lebih khusus lagi, dengan Persepsi Sosial kita berusaha:
(1) mengetahui;
(2) membaca;
(3) menyesuaikan tindakan.
Terdapat juga elemen dalam persepsi sosial yang merupakan petunjuk tidak langsung
ketika seseorang menilai orang lain. Elemen tersebut terdiri dari 3 poin, diantaranya :
1. Pribadi, proses persepsi sosial berdasarkan penilaian pribadi yang dilakukan dengan
cepat ketika melihat penampilan fisik seseorang. Contohnya terhadap jenis kelamin, ras,
latar belakang etnik dsb.
2. Situasi, seseorang memiliki konsep awal tentang situasi berdasarkan pengalaman. Hal ini
berarti, semakin kaya pengalaman hidup seseorang semakin bijak pula persepsi sosial
yang akan dibentuknya dari situasi.
3. Perilaku, membutuhkan bukti-bukti yang dapat diamati untuk mengidentifikasikan
aktivitas seseorang. Orang mengandalkan perilaku nonverbal untuk menguatkan
penilaiannya, namun sering kali hasilnya kurang akurat. Karena terlalu banyak perhatian
yang ditujukan pada kata-kata, ekspresi wajah, isyarat bahasa tubuh dan perubahan
intonasi.
Jika melihat dari bagaimana proses persepsi sosial itu terjadi. Persepsi sosial itu terjadi
ketika seseorang menangkap stimulus sosial, baik melalui penginderaan maupun komunikasi
nonverbal (ekspresi wajah, kontak mata, postur tubuh, gerakan atau sentuhan. Selain itu, juga
terdapat pengaruh persepsi sosial terhadap perilaku sosial. Persepsi sosial dapat dijadikan
kerangka berpikir untuk mempermudah dan mengatur hubungan antar individu. Adanya
kesalahan persepsi dapat menimbulkan masalah, dikarenakan terlalu sempitnya sudut pandang
individu dalam menilai orang lain, antara lain :
1. Stereotip, yaitu generalisasi tentang karakteristik umum suatu kelompok individu, misal :
perempuan dianggap memiliki sifat emosional, lamban dan cerewet.
2. Gema (halo effect), kesimpulan tentang kesan umum individu terhadap ciri-ciri umum
orang lain pada satu peristiwa yang secara logis juga berlaku pada peristiwa lain, misal :
hasil tes kecerdasan (IQ) dianggap sebagai representasi keberhasilan pada semua aspek
kehidupan.
Pada dasarnya terdapat perbedaan yang mendasar antara persepsi diri dan persepsi sosial.
Yang mana sebenarnya secara prinsip, proses persepsi sosial dan persepsi diri tidak ada
perbedaan. Terutama dalam hubungannya dengan proses fisiologis dalam otak. Yang
menunjukkan perbedaan mendasar pada persepsi diri dan persepsi sosial ialah Ketika melakukan
proses persepsi diri, maka seseorang bertindak sebagai aktor sekaligus pelaku. Ini berbeda
dengan persepsi sosial yang membedakan aktor dan pelaku.

2.2 Kognisi sosial

Kognisi social adalah tata cara di mana kita menginterpretasi, menganalisa, mengingat,
dan menggunakan informasi tentang dunia sosial. Kognisi social dapat terjadi secara otomatis.
Contonya, saat kita melihat seseorang dari suatu ras tertentu (Cina, misalnya), kita seringkali
secara otomatis langsung berasumsi bahwa orang tersebut memiliki crri/sifat tertentu. Kapasitas
kognitif kita juga terbatas. Selain itu, terdapat suatu hubungan antara kognisi dan afeksi
(bagaimana kita berpikir dan bagaimana kita merasa).
A. Skema

Komponen dasar kognisi sosial adalah skema (schema). Skema adalah sruktur mental yang
membantu kita mengorganisasi informasi social, dan menuntun pemrosesannya. Skema berkisar
pada suatu subyek atau tema tertentu.. dalam otak kita, skema itu seperti scenario, yang memiliki
alur. Skema di otak kita terbenuk berdasarkan pengalaman yang pernah kita alami sendiri atau
diceritakan oleh orang lain. Contohnya, skema kita tentang McD membuat kita tau bagaimana
cara untuk makan di McD sehingga begitu kita datang ke McD kita langsung ke kasir untuk
memesan makanan. Skema yang kita miliki akan mempengaruhi sikap kita pada sesuatu.

Skema menimbulkan efek yang kuat terhadap 3 proses dasar: perhatian atau atensi (attention),
pengkodean (encoding), dan mengingat kembali (retrieval). Skema terbukti berpengaruh
terhadap semua aspek dasar kognisi social (Wyer & Srull, 1994). Dalam hubungannya dengan
atensi, skema seringkali berperan sebagai penyaring: informasi yang konsisten dengan skema
lebih diperhatikan dan lebih mungkin untuk masuk ke dalam kesadaran kita. Informasi yang
tidak cocok dengan skema kita seringkali diabaikan (Fiske, 1993), kecuali iinformasi itu sangat
ekstrem. Pengkodean—informasi apa yang dimasukkan ke dalam ingatan—informasi yang
menjadi focus atensi lebih mungkin untuk disimoan dalam ingatan jangka panjang. Mengingat
kembali informasi (retrieval)—informasi apa yang paling siap untuuk diingat—secara umum,
orang melaporkan informasi yang konsisten dengan skema mereka, namun kenyataannya,
informasi yang tidak konsisten dengan skema juga dapat secara kuat muncul dalam ingatan.

Skema juga memiliki kelemahan (segi negative). Skema mempengaruhi apa yang kita
perhatikan, apa yang masuk dalam ingatan kita, dan apa yang kita ingat, sehingga terjadi distorsi
pada pemahaman kita terhadap dunia social. Skema memainkan peran penting dalam
pembentukan prasangka, dalam pembentukan satu komponen dasar pada stereotip tentang
kelompok-kelompok social tertentu. Skema seringkali sulit diubah—skema memiliki efek
bertahan (perseverance effect), tidak berubah nahkan ketika menghadapi informasi yang
kontradiktif. Kadangkala skjema bisa memberikan efek pemenuhan harapan diri (self-fulfilling)
yaitu skema membuat dunia social yang kita alami menjadi konsisten dengan skema yang kita
miliki. Contoh efek bertahan, ketika kita gagal kita berusaha menghibur diri sendiri dengan
berkata, “kamu hebat kok, ini karena pertandingan yang tidak adil”, dsb. contoh ramalan yang
mewujudkan dirinya sendiri (self-fulfilling prophecy)—ramalan yang membuat ramalan itu
sendiri benar-benar terjadi, skema guru untuk siswa yang minoritas yang menyebabkan guru
memperlakukan siswa minoritas itu secara berbeda (kurang positif) sehingga menyebabkan
prestasi siswa minoritas ini menurun. Stereotip tidak hanya memiliki pengaruh—nsmun bisa
melalui efek pemaastian dirinya, stereotip juga membentuk realitas social.

B. Heuristic

Kejenuhan informasi (information overloaded) adalah suatu keadaan di mana pengolahan


informasi kita telah berada di luar kapasitas kemampuan yang sesungguhnya sehingga menuntut
system kognitif yang lebih besar daripada yang bisa diolah. Berbagai strategi untuk melebarkan
kapasitas kognitif harus memenuhi 2 persyaratan, yaitu: harus menyediakan cara yang cepat dan
sederhana untuk dapat mengolah informasi social dalam jumlah yang banyak, dan harus dapat
digunakan—harus berhasil. Namun, yang paling berguna adalah Heuristic yaitu aturan sederhana
untuk membuat keputusan kompleks atau untuk menarik kesimpulan secara cepat dan seakan
tanpa usaha yang berarti. Heuristic ada 2 macam:

1. Heuristic keterwakilan (heuristic representativeness) yaitu sebuah strategi untuk


membuat penilaian berdasarkan pada sejauh mana stimuli atau peristiwa tersebut
mempunyai kemiripan dengan stimuli atau kategori yang lain. Contoh: kita
mengenal Ratna sebagai pribadi yang teratur, lramah, rapi, memiliki perpustakaan
di rumahnya dan sedikit pemalu. Namun kita tidak mengetahui pekerjaannya.
Mungkin kita langsung menilainya sebagai pustakawan. Dengan kata lain, kita
menilai berdasarkan: semakin mirip seseorang dengan ciri-ciri khas orang-orang
dari suatu kelompok, semakin mungkin ia merupakan bagian dari kelompok
tersebut.
2. Heuristic ketersediaan (availability heuristic) yaitu sebuah strategi untuk membuat
keputusan berdasarkan seberapa mudah suatu informasi yang spesifik dapat
dimunculkan dalam benak kita. Heuristic ini dapat mengarahkan kita untuk
melebih-lebihkan kemungkinan munculnya peristiwa dramatis, namun jarang,
karena peristiwa itu mudah masuk ke pikiran kita. Contoh: banyak orang merasa
lebih takut tewas dalam kecelakaan pesawat daripada kecelakaan di darat. Hal ini
karena fakta bahwa kecelakaan pesawat jauh lebih dramatis dan menyedot lebih
banyak perhatian media. Akibatnya, kecelakaan pesawat lebih mudah terpikir
sehingga berpengaruh lebih kuat dalam penilaian individu. Heuristic ini
berhubungan dengan proses pemaparan awal (priming)—meningkatnya
ketersediaan informasi sebagai hasil dari sering hadirnya rangsangan atau
peristiwa-peristiwa khusus. Pemaparan awal bisa muncul bahkan ketika individu
tidak sadar akan adanya rangsangan yang telah dipaparkan sebelumnya—disebut
juga pemaparan awal otomatis.

Cara lainnya adalah dengan pemrosesan otomatis (automatic processing) yang terjadi ketika,
setelah berpengalaman melakukan suatu tugas atau mengolah suatu onformasi tertentu yang
seakan tanpa perlu usaha yang besar, secara otomatis dan tidak disadari. Contohnya: saat
pertama kali belajar sepeda, kita memerlukan perhatian khusus dalam mengendarainya. Seiring
dengan berkembangnya keahlian bersepeda kita, kita dapat melakukan tugas-tugas lain seperti
berbicara sambil bersepeda. Begitu teraktivasi, skema dapat menimbulkan efek perilaku yang
otomatis.

C. Sumber-Sumber Yang Berpotensi Menimbulkan Kesalahan Dalam Kognisi Sosial

1. Bias negativitas, yaitu kecenderungan memberikan perhatian lebih pada informasi yang
negative. Dibandingkan dengan informasi positif, satu saja informasi negative akan
memiliki pengaruh yang lebih kuat. Contoh: kita diberitahu bahwa dosen yang akan
mengajar nanti adalah orang yang pintar, masih muda, ramah, baik hati, cantik, namun
diduga terlibat skandal seks. Bias negative menyebabkan kita justru terpaku pada hal
yang negative dan mengabaikan hal-hal positif.
2. Bias optimistic, yaitu suatu predisposisi untuk mengharapkan agar segala sesuatu dapat
berakhir baik. Kebanyakan orang percaya bahwa mereka memiliki kemungkinan yang
lebih besar dari orang lain untuk mengalami peristiwa negative dan kemungkinan lebih
kecil untuk mengalami peristiwa negative. Contoh: pemerintah seringkali mengumumkan
rencana yang terlalu optimis mengenai penyelesaian proyek-proyek besar—jalan,
bandara baru, dsb. hal ini mencerminkan kesalahan perencanaan. Namun, ketika individu
memperkirakan akan menerima umpan balik atau informasi yang mungkin negative dan
memiliki konsekuensi penting, tampaknya ia justru sudah bersiap menghadapi hal yang
buruk (brancing of loss) dan menunjukkan kebalikan dari pola optimistic: mereka
menjadi pesimis.
3. Kerugian yang mungkin terjadi akibat terlalu banyak berpikir. Terkadang terlalu banyak
berpikir dapat menyeret kita ke dalam kesulitan kognoitif yang serius. Mencoba berpikir
sistematis dan rasional mengenai hal-hal penting adalah penting.
4. Pemikiran konterfaktual, yaitu memikirkan sesuatu yang berlawanan dari keadaan
sekarang. Efek dari memikirkan “apa yang akan terjadi seandainya…”. Contoh: ketika
selamat dari kecelakaan pesawat, Andi justru memikirkan, “bagaimana bila saya tidak
langsung terjun tadi, saya sudah mati pastinya, lalu bagaimana nasib keluarga saya
sepeninggalan saya?”, dsb. pemikiran konterfaktual dapat secara kuat berpengaruh
terhadap afeksi kita. Inaction inertia—kelambanan apatis—muncul ketika individu
memutuskan untuk tidak melakukan sesuatu sehingga kehilangan kesempatan untuk
mendapatkan hasil yang positif.Pemikiran magis, yaitu berpikir dengan melibatkan
5. asumsi yang tidak didasari alasan yang rasional. Contoh: supaya ujian lulu, Raju berdoa
banyak-banyak dan memakai banyak cincin.
6. Pemikiran magis, yaitu berpikir dengan melibatkan asumsi yang tidak didasari alasan
yang rasional. Contoh: supaya ujian lulu, Raju berdoa banyak-banyak dan memakai
banyak cincin.
7. Menekan pikiran, yaitu usaha untuk mencegah pikiran-pikiran tertentu memasuki alam
kesadaran. Proses ini melibatkan 2 komponen, yaitu: proses pemantauan yang otomatis
yang mencari tanda-tanda adanya pemikiran yang tidak diinginkan yang memaksa untul
muncul kea lam kesadaran. Ketika pikiran tersebut terdeteksi, proses kedua terjadi, yaitu
mencegah agar pikiran tersebut tetap berada di luar kesadaran tanpa mengganggu pikiran
yang lain. Contoh:anti yang ikut program diet menekan pikirannya akan makanan-
makanan manis.

D. Afeksi dan Kognisi

Perasaan kita dan suasana hati memiliki pengaruuh yang kuat terhadap beberapa aspek
kognisi, dan kognisi juga berperan kuat pada perasaan dan suasana hati kita. Suasana hati saat ini
dapat secara kuat mempengaruhi reaksi kita terhadap rangsang yang baru pertama kali kita
temui. Contoh: ketika kiota sedang bergembira dan berkenalan dengan orang baru, penilaian kita
terhadap orang tersebut pastinya lebih baik dibanding saat kita berkenalan dengannya ketika kita
bersedih. Pengaruh afek lainnya adalah pengaruh pada ingatan. Ingatan yang bergantung pada
suasana hati (mood-dependent memory) yaitu apa yang kita ingat saat berada dalam suasana hati
tertentu, sebagian besar ditentukan oleh apa yang kita pelajari sebelumnya ketika kita berada
dalam suasana hati tersebut. Pengaruh kedua dikenal dengan efek kesesuaian suasana hati
(mood-congruence effects) yaitu kecenderungan untuk menyimpan atau mengingat informasi
positif ketika berada dalam suasana hati positif dan informasi negattif ketika berada dalam
suasana hati yang negative. Suasana hati saat ini juga berpengaruh pada komponen kognisi lain
yaitu kreativitas. Informasi yang emosional (emotional contamination) yaitu suatu proses di
mana penilaian, emosi atau perilaku kita dipengaruhi oleh pemrosesan mental yang tidak disadari
dan tidak terkontrol (Wilson & Brekke, 1994).

Kognisi juga dapat mempengaruhi afeksi yang dijelaskan oleh teori emosional dua factor
(two-factor theory of emotion) (Schachter, 1964) yang menjelakan bahwa kita sering tidak
mengetahui perasaan atau sikap kita sendiri. Sehingga, kita menyimpulkannya dari lingkungan—
dari situasi di mana kita mengalami reaksi-reaksio internal ini. Contohnya: ketika kita
mengalami perasaan tertentu atas kehadiran seseorang yang menarik, kita menyimpulkan bahwa
kita sedang jatuh cinta. Selain itu, kognisi bisa mempengaruhi emosi melalui aktivitas skema
yang di dalamnya terdapat komponen afektif yang kuat. Skema atau stereotip yang teraktivasi
dengan kuat dapat sangat berpengaruh pada perasaan atau suasana hati kita saat ini. Selain itu,
Pikiran bisa mempengaruhi afeksi melibatkan usaha kita dalam mengatur emosi kita.

2.3 Atribusi Sosial

Atribusi sosial adalah proses menyimpulkan penyebab peristiwa atau perilaku. Dalam
kehidupan nyata, atribusi merupakan sesuatu yang kita semua lakukan setiap hari, biasanya tanpa
kesadaran akan proses dan bias yang mendasari yang mengarah pada kesimpulan kita. Menurut
Baron (2004), atribusi sosial adalah upaya kita untuk memahami penyebab dibalik perilaku
orang lain, dan dalam beberapa kasus, juga penyebab dibalik perilaku sendiri.
1. Teori Atribusi Sosial

a. Common Sense Psychology

Dari buku The Psychology of Interpersonal Relations (1958), Fritz Heider mencoba
mengeksplorasi sifat hubungan interpersonal, dan menganut konsep apa yang disebutnya “akal
sehat” atau “psikologi naif”. Dalam teorinya, ia percaya bahwa orang mengamati, menganalisis,
dan menjelaskan perilaku seseorang dengan eksplanasi atau penjelasan tertentu.

Meskipun orang memiliki berbagai jenis penjelasan untuk perilaku tertentu dari
seseorang, Heider mengelompokkan penjelasan menjadi dua kategori; Atribusi internal (pribadi)
dan eksternal (situasional). Ketika atribusi internal dibuat, penyebab perilaku seseorang berkaitan
dengan karakteristik individu seperti kemampuan, kepribadian, suasana hati, upaya, sikap, atau
disposisi.

Akan tetapi, ketika atribusi eksternal dibuat, penyebab perilaku perilaku seseorang
berkaitan dengan situasi di mana perilaku itu dilihat seperti tugas, orang lain, atau keberuntungan
(bahwa individu yang menghasilkan perilaku melakukannya karena lingkungan sekitar). Kedua
tipe ini menghasilkan persepsi yang sangat berbeda tentang individu yang terlibat dalam suatu
perilaku.

b. Inferensi Koresponden Jones & Davis

Jones dan Davis (1965) berpikir bahwa orang menaruh perhatian khusus pada perilaku
yang disengaja (sebagai lawan perilaku yang tidak disengaja atau tidak terpikirkan). Teori Jones
dan Davis membantu kita memahami proses membuat atribusi internal.

Mereka mengatakan bahwa kita cenderung melakukan hal itu ketika kita melihat
korespondensi antara motif dan perilaku. Misalnya, ketika kita melihat korespondensi antara
seseorang yang bersikap ramah dan menjadi orang yang ramah.

Atribusi disposisional (internal) memberi kita informasi, sehingga kita dapat membuat
prediksi tentang perilaku seseorang di masa mendatang. Teori inferensi koresponden
menggambarkan kondisi di mana kita membuat atribut disposisi untuk perilaku yang kita anggap
disengaja.
Davis menggunakan istilah inferensi koresponden untuk merujuk pada suatu peristiwa
ketika seorang pengamat menyimpulkan bahwa perilaku seseorang cocok atau sesuai dengan
kepribadian mereka.

c. Model Kovariasi Kelley

Model kovariasi Kelley (1967) adalah teori atribusi yang paling terkenal. Dia
mengembangkan model logis untuk menilai apakah tindakan tertentu harus dikaitkan dengan
beberapa karakteristik (disposisi) orang tersebut atau lingkungan (situasional).

Istilah kovarisasi berarti bahwa seseorang memiliki informasi dari banyak pengamatan,
pada waktu dan situasi yang berbeda, dan dapat merasakan kovarisasi efek yang diamati dan
penyebabnya. Menurut Kelley, terdapat tiga hal yang harus diperhatikan untuk menetapkan
apakah suatu perilaku beratribusi disposisional (internal) atau situasional (eksternal), yaitu :

1. Konsensus, artinya suatu perilaku yang cenderung dilakukan oleh semua orang dalam
situasi yang sama. Semakin banyak orang yang melakukan, semakin tinggi konsensus,
sebaliknya semakin sedikit yang melakukanya, makin rendah konsensus.
2. Konsistensi, atinya pelaku yang bersangkutan cenderung berperilaku yang sama dalam
situasi yang sama. Konsisten tinggi jika pelaku melakukan perilaku yang sama,
sebaliknya konsistensi rendah jika pelaku tidak melakukan perilaku yang sama dalam
situasi yang sama tersebut.
3. Distingsi atau kekhususan, artinya pelaku yang bersangkutan cenderung berperilaku sama
dalam situasi yang berbeda-beda. Distingsi tinggi jika “ya”, distingsi rendah jika “tidak”.

d. Model Tiga Dimensi

Bernard Weiner mengusulkan bahwa individu memiliki respons afektif awal terhadap
konsekuensi potensial dari motif intrinsik atau ekstrinsik aktor, yang pada gilirannya
mempengaruhi perilaku di masa depan.

Artinya, persepsi atau atribusi seseorang sendiri mengapa mereka berhasil atau gagal
pada suatu kegiatan menentukan jumlah upaya orang tersebut akan terlibat dalam kegiatan di
masa depan. Weiner menyarankan bahwa individu melakukan pencarian atribusi mereka dan
secara kognitif mengevaluasi sifat kasual pada perilaku yang mereka alami.

Ketika atribusi menyebabkan pengaruh positif dan ekspektasi tinggi akan kesuksesan di
masa depan, atribusi seperti itu harus menghasilkan kemauan yang lebih besar untuk melakukan
tugas-tugas pencapaian serupa di masa depan daripada atribusi yang menghasilkan pengaruh
negatif dan harapan yang rendah terhadap kesuksesan di masa depan.

Akhirnya, penilaian afektif dan kognitif mempengaruhi perilaku masa depan ketika individu
menghadapi situasi yang sama. Atribusi pencapaian Weiner memiliki tiga kategori:

1. Teori stabilitas (stabil dan tidak stabil)


2. Locus of control (internal dan eksternal)
3. Controllability atau kausalitas (dikontrol atau tidak terkontrol)
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan dan Saran

Proses persepsi dimulai dari alat-alat indera kita seperti indera penglihatan, peraba,
pencium, pengecap, dan pendengar. Penginderaan ini akan menyampaikan pesan ke dalam otak
dan dirasakan oleh reseptor inderawi seperti mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit, dari hal ini
otak akan memproses rangsangan dan merekamnya di dalam otak. Persepsi dapat disimpulkan
menjadi proses internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan, dan menafsirkan
rangsangan dari lingkungan kita dan proses tersebut mempengaruhi kita.

Motivasi merupakan keadaan dari dalam diri individu atau organisme yang mendorong
perilaku ke arah tujuan. Jadi dapat dikemukakan bahwa motivasi mempunyai tiga aspek yaitu:
keadaan terdorong dalam diri organisme, yaitu kesiapan bergerak karena kebutuhan seperti
kebutuhan jasmani; karena keadaan lingkungan; atau karena keadaan mental seperti berfikir atau
ingatan. Profesi PRO adalah pekerjaan di berbagai dunia kerja, baik di bidang usaha (bisnis),
bidang pendidikan, perbankan, dan sebagainya yang memerlukan keahlian khusus sesuai di
bidang PR. Dengan kata lain profesi PRO adalah orang atau tenaga yang bertugas dan
berwenang dalam bidang kehumasan pada suatu lembaga.

Minat mahasiswa menjadi PRO adalah suatu rasa lebih suka dan rasa keterikatan pada
aktivitas PR dan keinginan menjadi PRO, tanpa ada yang menyuruh. Minat pada dasarnya adalah
penerimaan akan suatu hubungan 42 antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Semakin kuat
atau dekat hubungan tersebut, semakin besar minat
DAFTAR PUSTAKA

http://etheses.uin-malang.ac.id/1838/5/09410034_Bab_2.pdf

https://jurnal.lp2msasbabel.ac.id/index.php/sci/article/download/560/54/

https://www.slideshare.net/dwiaayyu/persepsi-sosial-47375615

DosenSosiologi. Pengertian Atribusi Sosial, Teori, Jenis, dan Contohnya. Diakses pada
Desember 3, 2021, dari https://dosensosiologi.com/atribusi-sosial/

Anda mungkin juga menyukai