Anda di halaman 1dari 14

4.

1 Persepsi Interpersonal
Pada Bab 3, kita telah membicarakan dalil-dalil umum persepsi. Kita menyebutkan faktor-faktor personal
dan situasional yang mempenga-ruhi persepsi. Ternyata persepsi kita bukan sekadar rekaman peristiwa atau
objek. Komputer hanya mengolah input yang dimasukkan pada waktu punching. Bila pada kolom 12 ditulis
tujuh, komputer ti-dak akan mengubahnya menjadi delapan. Tidak begitu persepsi ma-nusia. Seperti
dijelaskan pada Bab 3, pengaruh kebutuhan, kesiapan mental, suasana emosional, dan latar belakang
budaya, menentukan interpretasi kita pada sensasi. Bila objek atau peristiwa di dunia luar itu kita sebut
distal stimuli, dan persepsi kita tentang stimulus itu kita sebut percept,"1 maka percept tidak selalu sama
dengan distal stimulus. Proses subjektif yang secara aktif menafsirkan stimulus, disebut Fritz Heider
sebagai constructive process. Proses ini meliputi faktor biologis dan sosiopsikologis individu pelaku
persepsi.
Pada tahun 1950-an, di kalangan psikolog sosial timbul aliran baru (disebut New Look) yang meneliti
pengaruh faktor-faktor sosial seperti pengaruh interpersonal, nilai-nilai kultural, dan harapan-harapan
yang dipelajari secara sosialpada persepsi individu, bukan saja terhadap objek-objek mati, tetapi juga
pada objek-objek sosial. Lahirlah istilah persepsi sosial yang didefinisikan sebagai "the role of socially
generated influences on the basic processes of perception" (McDavid dan harari, 1968: 173). Akhir tahun
1950-an dan awal tahun 1960-an fokus penelitian tidak lagi pada faktor-faktor sosial yang memenga-ruhi
persepsi, tetapi pada objek-objek dan peristiwa-peristiwa sosial. Mereka tidak lagi meneliti bagaimana
tanggapan Anda pada titik, balok, atau pohon beringin; mereka mempelajari bagaimana tanggapan Anda
pada istri Anda, bos Anda di kantor, atau teman Anda di fakultas, bagaimana Anda mengambil kesimpulan
tentang karakteris-tik orang lain atau bagaimana Anda menjelaskan mengapa tokoh TV itu bunuh diri.
Persepsi sosial, kini memeroleh konotasi baru sebagai proses memersepsi objek-objek dan peristiwaperistiwa sosial. Untuk tidak mengaburkan istilah dan untuk menggarisbawahi manusia (dan

bukan benda) sebagai objek persepsi, di sini kita menggunakan istilah persepsi interpersonal. Persepsi pada
objek selain manusia, kita sebut saja persepsi objek.
Manakah yang lebih cermat, persepsi objek atau persepsi interpersonal? Mana yang lebih besar
kemungkinan salahnya? Mana yang lebih sulit? Kumpulkan sepuluh orang mahasiswa di ruangan kelas,
suruh mereka mengamati papan tulis di muka, mintakan persepsi mereka tentang papan tulis itu. Besar
dugaan kita, persepsi mereka tidak begitu berbeda. Sekarang hadirkan di muka mereka Eva Arnaz, suruh
mereka mengamatinya (mana tahan!), dan mintakan mereka memberikan komentar tentang Eva
terangkan sifat-sifatnya. Besar dugaan kita, persepsi mereka akan sangat beragam. Mengapa?
Ada empat perbedaan antara persepsi objek dengan persepsi interpersonal. Pertama, pada persepsi objek,
stimulus ditangkap oleh alat indera kita melalui benda-benda fisik: gelombang, cahaya, gelom-bang suara,
temperatur, dan sebagainya; pada persepsi interpersonal, stimulus mungkin sampai kepada kita melalui
lambang-lambang verbal atau grafts yang disampaikan pihak ketiga. Sebelum berjumpa dengan Eva Arnaz,
kita pernah melihatnya di layar film atau televisi, mendengar tentang dia dari surat kabar, majalah, atau
desas-desus. Adanya pihak ketiga yang menjadi mediasi stimulasi, mengurangi ke-cermatan persepsi kita.
Kedua, bila kita menanggapi objek, kita hanya menanggapi sifat-sifat batiniah objek itu. Ketika kita melihat
papan tulis, kita tidak pernah mempersoalkan bagaimana perasaannya ketika kita amati. Pada persepsi
interpersonal, kita mencoba memahami apa yang tidak tam-pak oleh alat indera kita. Kita tidak hanya
melihat perilakunya, kita juga melihat mengapa ia berperilaku seperti itu. Kita mencoba memahami bukan
saja tindakan, tetapi juga motif tindakan itu. Dengar demikian, stimulus kita menjadi sangat kompleks. Kita
tidak akar mampu "menangkap" seluruh sifat orang lain dan berbagai dimens perilakunya. Kita cenderung
memilih stimulus tertentu saja. Ini jela: membuat persepsi interpersonal lebih sulit, ketimbang persepsi
objek Ketiga, ketika kita memersepsi objek, objek tidak bereaksi kepad; kita; kita pun tidak memberikan
reaksi emosional padanya. Perasaai Anda dingin saja ketika Anda memandang papan tulis; tetapi, sedir gin
itu jugakah ketika Anda memandang Eva Arnaz? Apakah Eva jug akan diam saja, ketika Anda
memandangnya tidak berkedip? Dalai persepsi interpersonal, faktor-faktor personal Anda, dan karakteristi
orang yang ditanggapi, serta hubungan Anda dengan orang tersebu menyebabkan persepsi interpersonal
sangat cenderung untuk kelin Lagi pula, kita sukar menemukan kriteria yang dapat menentuka persepsi
siapa yang keliru: persepsi Anda atau persepsi saya.
Keempat, objek relatif tetap, manusia berubah-ubah. Papan tu-lis yang Anda lihat minggu lalu tidak
berbeda dengan papan tulis yang kita lihat hari ini. Mungkin tulisan pada papan tulis itu sudah berubah,

mungkin sobekan kayu di sudut sudah hilang, tetapi secara keseluruhan papan tulis itu tidak berubah.
Manusia selalu berubah. Anda hari ini bukan Anda yang kemarin, bukan Anda esok hari. Ke-marin Anda
ceria, karena baru menerima kredit mahasiswa Indonesia. Hari ini sedih, karena sepeda motor Anda
ditabrak becak. Esok Anda gembira lagi, karena ujian Anda lulus. Anda di fakultas, bukan Anda di rumah,
bukan Anda di masjid. Perubahan ini kalau tidak membi-ngungkan kita, akan memberikan informasi yang
salah tentang orang lain. Persepsi interpersonal menjadi mudah salah.
Anehnya, betapapun sulitnya kita mempersepsi orang lain, kita toh berhasil juga memahami orang lain.
Buktinya, kita masih dapat bergaul dengan mereka, masih dapat berkomunikasi dengan mereka, dan masih
dapat menduga perilaku mereka. Dari mana kita mem-eroleh petunjuk tentang orang lain? Apa yang
menyebabkan kesimpu-lan kita bahwa X bersifat Y? Kita sebenarnya adalah Sherlock Holmes setiap hari.
Kita menduga karakteristik orang lain dari petunjuk-pe-tunjuk eksternal (external cues) yang dapat diamati.
Petunjuk-petunjuk itu adalah deskripsi verbal dari pihak ketiga, petunjuk proksemik, kinesik, wajah,
paralinguistik, dan artifaktual. Selain yang pertama, yang lainnya boleh disebut sebagai petunjuk nonverbal
(nonverbal cues). Semuanya, kita sebut faktor-faktor situasional.
4.1.1 Pengaruh Faktor-Faktor Situasional pada Persepsi Interpersonal
Deskripsi Verbal
Pada Bab 3, kita menceritakan eksperimen Solomon E. Asch tentang bagaimana rangkaian kata sifat
menentukan persepsi orang. Bila saya kisahkan pada Anda bahwa calon istri Anda cerdas, rajin, lincah, kriks, kepala batu, dan dengki, Anda akan membayangkan dia sebagai rang yang "bahagia", "humoris", dan
"mudah bergaul". Akan tetapi,
iiia rangkaian itu dibalik, dimulai dari dengki, kepala batu, dan seter-snya, kesan Anda tentang dia
berubah. Menurut Solomon E. Asch, kata yang disebut pertama akan mengarahkan penilaian selanjutnya.
"tata "kritis" pada rangkaian pertama mempunyai konotasi positif;
:pda rangkaian kedua, negatif. Pengaruh kata pertama ini kemudian fcrkenal sebagai primacy effect.
Pada eksperimen yang lain, Asch membagikan daftar A dan B di awah ini kepada dua kelompok.
Daftar Stimuli A
Daftar Stimuli B
cerdas
cerdas
terampil
terampil
rajin
rajin
hangat
dingin
teguh
teguh
praktis
praktis
waspada
waspada
Kedua daftar ini sama, kecuali yang keempat. Tanggapan terhadap A positif; orang yang memiliki sifat-sifat
itu dianggap murah hati, baha-gia, dan berkelakuan baik. Tanggapan terhadap B negatif; orang yang
mempunyai sifat-sifat B dianggap pelit, tidak bahagia, dan kurang popular. Kata-kata hangat-dingin telah
mewarnai seluruh kesan kita. Kata-kata ini merupakan central organizing trait. Menurut teori ini, ada katakata tertentu yang mengarahkan seluruh penilaian kita tentang orang lain.
Walaupun teori Asch ini menarik untuk melukiskan bagaimana cara orang menyampaikan berita tentang
orang lain memengaruhi persepsi kita tentang orang itu, dalam kenyataan kita jarang melaku-kannya.
Jarang kita melukiskan orang dengan menyebut rangkaian kata sifat. Kita biasanya mulai pada central trait,
menjelaskan sifat itu secara terperinci, baru melanjutkan pada sifat-sifat yang lain (Shaver, 1977:107).
Petunjuk Proksemik
Proksemik, kinesik, paralinguistik, dan sistem komunikasi artifaktu-al akan dibicarakan secara terinci pada
Bab 6: Psikologi Pesan, teru-tama pada bagian Pesan Nonverbal. Proksemik adalah studi tentang
penggunaan jarak dalam menyampaikan pesan; istilah ini dilahirkan oleh antropolog interkultural, Edward
T. Hall. Hall membagi jarak ke dalam empat corak: jarak publik, jarak sosial, jarak personal, dan jarak
akrab. Kita akan kembali lagi membicarakan hal ini pada Bab 7. Untuk sementara, cukuplah di sini
dikatakan bahwa jarak yang dibuat in-dividu dalam hubungannya dengan orang lain menunjukkan tingkat
keakraban di antara mereka. Bayangkan jarak yang Anda buat ketika berbicara dengan profesor Anda, dan
bandingkan jarak itu dengan jarak yang Anda buat (kalau ada) antara Anda dengan orang yang paling akrab

dengan Anda. Betulkah kita pun mempersepsi orang lain dengan melihat jaraknya dengan kita? Bagaimana
penanggap meny-impulkan sesuatu dari jarak interpersonal?
Pertama, seperti Edward T. Hall, kita juga menyimpulkan keakraban seseorang dengan orang lain dari jarak
mereka, seperti yang
kita amati. Bila kawan kita selalu membuat jarak lebar dengan istrinya, kita menduga mereka bukan
pasangan yang bahagia. Bila, pada saat yang sama, ia kelihatan sering duduk berdekatan dengan wanita
lain, kita menyimpulkan hubungannya dengan wanita itu lebih daripada sahabat sekantor, Walaupun kawan
kita berusaha meyakinkan kita akan kecintaan pada istrinya, kita telah mempercayai percept yang kita
peroleh secara proksemik, yakni dengan memerhatikan jarak.
Kedua, erat kaitannya dengan yang pertama, kita menanggapi sifat-sifat orang lain dari cara orang itu
membuat jarak dengan kita. Misalnya, Anda berkunjung ke kantor Bapak Hebat. Ia mempersilakan Anda
duduk pada kursi yang tersedia, sementara Pak Hebat duduk auh dari Anda, bahkan dihalangi oleh meja
lebar. Anda akan menang-japi Bapak Hebat sebagai orang yang tidak begitu terbuka. Anda akan berhatihati berbicara dengan dia. Akan tetapi, bila ia turun dari kursinya, menarik tangan Anda dan mengajak
duduk berdekatan rada sofa, Anda menafsirkannya sebagai orang yang akrab, ramah, dan terbuka.
Ketiga, cara orang mengatur ruang memengaruhi persepsi kita rentang orang itu. Profesor yang selalu
membuka pintu kantornya le-: a r-lebar akan ditanggapi lebih terbuka daripada profesor yang selalu engunci kantornya. Orang yang memilih duduk di muka akan kita unggapi sebagai orang yang berstatus
tihggi, dan orang yang rnemilih ..duk di kursi paling belakang akan kita anggap sebagai orang yang
-enghindari partisipasi, tidak berani atau mungkin berjiwa rendah -ati.
Jadi, kita menganggap orang lain berdasarkan jarak yang dibuat ?rang itu dengan orang lain, atau jarak
yang dibuat orang itu dengan :a. Kita juga dapat menetapkan persepsi kita dengan melihat cara-' ya orang
mengatur ruang.
Petunjuk Kinestikik (Kinesic Cues)
atu hari Anda menerima tamu yang ingin berbicara dengan Anda.
Anda melihat tamu itu masuk dengan membungkuk, berjalan tertatih
^rih, kemudian duduk dengan tidak berani menatap Anda, Bicaranya
xrpatah-patah; kedua telapak tangannya saling meremas dan diletakn di atas kedua paha yang dirapatkan benar. Bagaimana pendapat
Anda tentang tamu itu? Orang besarkah atau orang kecil? Takut pada
Anda atau bend? Percaya diri atau rendah diri? Anda sudah pasti
ivmpunyai persepsi khusus tentang orang itu. Persepsi yang didasarpada gerakan orang itu, merupakan petunjuk kinesik.
Beberapa penelitian telah membuktikan persepsi yang cermat tentang sifat-sifat orang dari pengamatan
petunjuk kinesik. Suatu eksperimen yang menggunakan gambar gambar kerangka (stick figures) dengan
berbagai gerak, diperlihatkan pada subjek eksperimen. Persepsi mer-eka tentang perasaan, sifat, dan sikap
gambar itu hampir seragam. Ek-man menyuruh subjek memasangkan foto gerakan tubuh orang yang
diwawancara dengan rekaman wawancaranya (dalam bentuk tulisan). Subjek ternyata dapat melakukannya
dengan kecermatan yang sukar diduga sebagai hanya kebetulan saja (Secord dan Backman, 1964: 62).
Begitu pentingnya petunjuk kinesik, sehingga bila petunjuk petunjuk lain (seperti ucapan) bertentangan
dengan petunjuk kinesik, orang memercayai yang terakhir. Mengapa? Karena petunjuk kinesik adalah yang
paling sukar untuk dikendalikan secara sadar oleh orang yang menjadi stimulus (selanjutnya disebut
persona stimulus -orang yang dipersepsi; lawan dari persona penanggap).
Petunjuk Wajah
Seperti petunjuk kinesik, petunjuk wajah pun menimbulkan persepsi yang dapat diandalkan. Cicero, tokoh
retorika Romawi, berkata, "Wajah adalah cerminan jiwa." Shakespeare, penyair Inggris, menu-lis dalam
Macbeth, "Your face ... is a hook where men may read strange matters." Kata kata sastra ini telah diteliti
para psikolog sosial. Ekman (1975) merancang serangkaian foto yang mengungkapkan berbagai emosi.
Foto-foto itu kemudian diperlihatkan kepada subjek-subjek berbagai bangsa (Amerika Serikat, Brazil,
Chili, Argentina, Jepang). Seperti terlihat pada Gambar 7, persepsi subjek menunjukkan tingkat konsensus
yang tinggi. Senyum ditanggapi sebagai ungkapan baha-gia; mata melotot sebagai kemarahan; dan
seterusnya.

Penelitian Ekman dikritik karena ada kem ungkinan keseragaman persepsi wajah ini disebabkan kontak
kultural bangsa-bangsa terse-but. Kontak ini berlangsung melalui televisi, film, majalah, atau surat kabar.
Ekman dan kawan kawannya melakukan penelitian lagi pada kelompok-kelompok Irian yang terasing.
Mereka tidalc mengalami kontak budaya. Seperti pada Gambar 7, respons mereka pun hampir sama.
Percent Agreement in Judging the Photos
Amerika
Brasil
Cili Argentina
Jepang Irian
Takut

85%

67%

68%

54%

Muak

92%

97%

92%

92%

Bahagia

Marah

97%

67%

95%

90%

55%

94%

66%

90%

98%

90%

54%

44%

100%

90%

82%

50%

Diantara berbagai petunjuk nonverbal, petunjuk facial adalah yang penting dalam mengenali perasaan
persona stimuli. Ahli ko--irikasi nonverbal, Dale G. Leathers (1976: 21), menulis:
Walaupun petunjuk/aria/ dapat mengungkapkan emosi, tidak semua orang memersepsi emosi itu dengan
cermat. Ada yang sangat sensitif pada wajah, dan ada yang tidak. Sekarang, para ahli psikologi sosial sudah
menemukan ukuran kecermatan persepsi wajah itu dengan tes yang disebut FMST -facial meaning
sensitivity test (tes kepekaan makna wajah). Dengan tes ini, kepekaan kita menangkap emosi pada wajah
orang lain dapat dinilai skornya. Kita tidak menguraikan tes ini di sini; pembaca dapat mempelajarinya
pada Leathers (1976).
Petunjuk Paralinguistik
Yang dimaksud dengan paralinguistik ialah bagaimana cara orang mengucapkan lambang lambang verbal.
Jadi, jika petunjuk verbal menunjukkan apa yang diucapkan, petunjuk paralinguistik mencer-minkan
bagaimana mengucapkannya. Ini meliputi tinggi-rendahnya suara, tempo bicara, gaya verbal (dialek), dan
interaksi (peri)aku keti-ka melakukan komunikasi atau obrolan). Suara keras akan dipersepsi marah atau
menunjukkan hal yang sangat penting. Tempo bicara yang lambat, ragu ragu, dan tersendat sendat, akan
dipahami sebagai ung-kapan rendah diri atau ... kebodohan.
Dialek yang digunakan menentukan persepsi juga. Bayangkarv reaksi Anda pada aksen Batak, kawan
Anda. Dari dialeknya, kita menentukan persepsi kita tentang dia. Mungkin segala sifat orang Batak (yang
digeneralisasi) akan diterapkan pada kawan Anda, Perilakunya dalam berbicara dengan orang lain seperti
interupsi, memonopoli pembicaraan, mengangguk angguk memberikan petunjuk paralinguistik tentang
karakteristik persona stimuli.

Bila perilaku komunikasi (cara berbicara) dapat memberi petunjuk tentang kepribadian persona stimuli,
suara mengungkapkan keadaan emosional. Anak kecil pun sudah mengetahui bahwa suara yang lembut
berarti kasih sayang; suara meninggi dan keras, kemara-han; suara memanjang dan kecil, penyesalan.
Petunjuk Artifaktual
Petunjuk artifaktual meliputi segala macam penampilan (appearance) sejak potongan tubuh, kosmetik yang
dipakai, baju, tas, pangkat, badge, dan atribut-atribut lainnya. Tentang potongan tubuh, Shakespeare pernah
menulis dalam Julius Caesar.
Betulkah orang kurus tukang berpikir dan berbahaya? Itu hanya persepsi Shakespeare. Seperti Shakespeare,
kita pun cenderung memben-^k kesan tentang orang lain dari bentuk tubuhnya.
Anda mungkin pernah berjumpa dengan seseorang, lalu Anda I it orang itu cerdas, periang, atau seksi. Atau
tiba tiba Anda merasa bmci pada orang itu, tanpa menyadari sebab sebabnya. Ini kemung-trian besar terjadi
karena reaksi Anda terhadap penampilannya, wajah terjadi lewat bawah sadar Anda. Umumnya, kita
mempunyai p gambaran kaku, yang tidak berubah ubah, serta tidak r tentang penampilan tertentu.
Apalagi kalau stereotip ini di-perkokoh dengan pengalaman-pengalaman masa lalu.
Karen Dion, Ellen Berscheid, dan Elaine Walster (1972: 285-290)meneliti pengaruh stereotip ini: Apakah
penampilan menarik atau tidak menarik menimbulkan asumsi-asumsi tertentu? Apakah orang-orang cantik
cenderung dianggap erperilaku baik atas dasar kemungkinan sukses dalam hidupnya? Mereka
memperlihatkan tiga buah fott kepada para mahasiswa undergraduate. Foto yang pertama menunjuk
kan orang yang cantik; kedua, rata rata; dan ketiga, berwajah jelek mahasiswa diharuskan memberikan
penilaian tentang kepribadian orang dalam foto itu dengan mengisi angket ukuran kepribadian. Kemu dian
mereka harus memperkirakan kemungkinan perkawinanny; fan keberhasilan dalam kariernya.
Subjek-subjek eksperimen terbukti menilai orang cantik lebih bahagia dalam pernikahannya, dan lebih
rvgkin berhasil memeroleh pekerjaan yang baik, ketimbang rekarinnya yang berwajah jelek. Bila kita
mengetahui bahwa seseorang tidak memiliki satu sifat (misalnya, cantik atau jelek), kita beranggapan
bahwa ia memiliki sifat-sifat tertentu (misalnya, periang atau penyedih)diri disebut halo effect. Bila kita
sudah menyenangi seseorang, maka kita cenderung melihat sifat sifat baik pada orang itu; dan sebaliknya.
Sampai di sini, kita melihat bagaimana deskripsi verbal oran bin, petunjuk petunjuk proksemik, kinesik,
wajah paralinguistik, dar irtifaktual mengarahkan persepsi kita tentang persona stimuli. Peril uga dengan
tergesa gesa kita tambahkan di sini, bahwa petunjuk ?al bukan tidak berperan. Yang dimaksud dengan
petunjuk ver-ialah isi komunikasi persona stimuli, bukan cara. Misalnya, orang menggunakan pilihan kata
kata yang tepat, mengorganisasikar secara sistematis, mengungkapkan pikiran yang dalam dar iprehensif,
akan menimbulkan kesan bahwa orang itu cerdas dar dajar.
Secara keseluruhan, kita menangkap kesan tentang persona luli dari petunjuk-petunjuk verbal dan
nonverbal. Apakah persep-cermat atau tidak? Mengapa seorang persona stimuli menim-kesan yang
berlainan bagi orang orang vang berbeda? Di sini,
berperan faktor-faktor personal dari penanggap stimulus {stimulus per-ceiver), dari kita yang melakukan
persepsi.
4.1.2 Pengaruh Faktor-Faktor Personal pada Persepsi Interpersonal
Secara umum, faktor faktor personal yang memengaruhi persepsi telah dibicarakan pada Bab 3. Ini masih
berlaku untuk persepsi interpersonal. Di sini, perhatian kita akan dipusatkan pada faktor-faktor personal
yang secara langsung memengaruhi kecermatan persepsi, bukan proses persepsi itu sendiri. Bila ada ciriciri khusus penanggap yang cermat, tentu kita tertarik untuk meningkatkan kemampuan persepsi kita.
Persepsi interpersonal besar pengaruhnya, bukan saja pada komunikasi interpersonal, tetapi juga pada
hubungan interpersonal. Oleh karena itu, kecermatan persepsi interpersonal akan sangat ber-guna untuk
meningkatkan kualitas komunikasi interpersonal kita.

Pengalaman
Di muka, kita telah membicarakan Facial Meaning Sensitivity Test alat ukur untuk menguji kepekaan
Anda dalam menafsirkan ungkapan wajah persona stimuli. Dale G. Leathers telah menggunakan FMST
untuk melatih para mahasiswa, pengusaha, dan kelompok eksekutif dalam meningkatkan kemampuan
menyandi (encode) dan menyandi balik (decode) petunjuk wajah; dua istilah komunikasi ini berarti mener-

jemahkan dan mengungkapkan petunjuk wajah. Latihannya temyata efektif. Yang sudah dilatih dengan
FMST menjadi lebih cermat dalam melakukan persepsi. Hal ini menunjukkan pengaiaman memengaruhi
kecermatan persepsi. Pengaiaman tidak selalu lewat proses belajar formal. Pengaiaman kita bertambah juga
melalui rangkaian peristiwa yang pemah kita hadapi. Inilah yang menyebabkan seorang ibu segera melihat
hal yang tidak beres pada wajah anaknya atau pada petunjuk kinesik lainnya. Ibu lebih berpengalaman
memersepsi anaknya dari-pada bapaknya. Ini juga sebabnya mengapa Anda lebih sukar berdus-ta di depan
orang yang paling dekat dengan Anda (kecuali bila Anda pendusta profesional).
Motivasi
Di muka sudah disebutkan tentang proses konstruktif yang mewarnai persepsi interpersonal. Proses
konstruktif sangat banyak melibatkan unsur-unsur motivasi. Seperti dijelaskan di muka juga, upaya untuk
mendeteksi pengaruh motivasi sosial terhadap persepsi telah menjadi tanda aliran New Look pada tahun
1950 an. Allport (1955) telah meng-himpun berbagai penelitian New Look dan mengritiknya. Di antara
motivasi yang pernah diteliti, antara lain motif biologis, ganjaran dt hukuman, karakteristik kepribadian,
dan perasaan terancam karer persona stimuli.
Yang terakhir ini disebut perceptual defence (pembelaan perse] tual). Bila Anda dihadapkan kepada stimuli
yang mengancam Anda. Anda akan bereaksi begitu rupa sehingga mungkin tidak akan mempelari bahwa
stimulus itu ada. Di sini, berlaku dalil komunikasi -Anda hanya mendengar apa yang mau Anda dengar, dan
Anda tida akan mendengar apa yang tidak ingin Anda dengar.
Motif personal lainnya yang memengaruhi persepsi interpe 5onal adalah kebutuhan untuk mempercayai
dunia yang adil {need i bdieve in a just world, Lerner, 1965, 1970, 1971, 1974, 1975). Menun Melvin
Lerner, kita perlu memercayai bahwa dunia ini diatur secai adil setiap orang tnemeroleh apa yang layak
diperolehnya. Oran ii^anjar dan dihukum karena perbuatannya. Bila kita melihat oran sukses, kita
cenderung menanggapinya sebagai orang yang memilil karakteristik baik. Kepada orang yang gagal, kita
limpahkan segal dosa. Orang yang celaka, kita salahkan karena tidak hati hati; oran iskin karena malas
dan tidak berjiwa wiraswasta. Jelas, motif duni adil ini sering mendistorsi persepsi kita.
Kepribadian
Dalam psikoanalisis, dikenal proyeksi, sebagai salah satu cara perta hanan ego. Proyeksi adalah
mengeksternalisasikan pengalaman sub iektif secara tidak sadar. Orang melemparkan perasaan bersalahny.
a orang lain. Mating teriak maling adalah contoh tipikal dai eksi. Pejabat mewah yang getol menganjurkan
hidup sederhan, dan mengecam kemewahan; koruptor kakap yang aktif memberanta psi; oom senang "yang
mengritik dekadensi moral di kalangai muda"; dan berbagai perilaku kontradiktif adalah contoh-contohnya.
Pada persepsi interpersonal, orang mengenakan pada oranj sifat-sifat yang ada pada dirinya, yang tidak
disenanginya. Su jelas, orang yang banyak melakukan proyeksi akan tidak cermat menanggapi persona
stimuli, bahkan mengaburkan gambaran sebena ra. Sebaliknya, orang yang menerima dirinya apa adanya,
oran^ tidak dibebani perasaan bersalah, cenderung menafsirkan oranjj lebih cermat (Norman, 1953;
Omwake, 1954; Baker dan Block Begitu pula, orang yang tenang, mudah bergaul dan ramah rung
memberikan penilaian positif pada orang lain. Ini disebu-i/ effect (Bosson dan Maslow, 1957).
Pada tahun 1950 an, sekeiompok peneliti di Universitas Californis i Berkeley melakukan penelitian intensif
tentang kepribadian otoritei authoritarian personality (Adorno, Frenkel Brunswile, Levinson
dan Sanford.,1950). Kepribadian otoriter adalah sindrom kepribadian yang ditandai oleh ketegaran
berpegang pada nilai nilai konvensional, hasrat berkuasa yang tinggi, kekakuan dalam hubungan
interpersonal, kecenderungan melemparkan tanggung jawab pada sesuatu di luar dirinya, dan
memproyeksikan sebab-sebab dari peristiwa yang tidak menyenangkan pada kekuatan di luar dirinya.
Theodore Newcomb (1961) membuktikan dengan penelitiannya, bahwa orang-orang non otoriter
cenderung lebih cermat menilai orang lain, lebih mampu meli-hat nuansa dalam perilaku orang lain;
sebaliknya orang-orang otoriter cenderung memproyeksikan kelemahan dirinya kepada orang lain, dan
menilai orang lain dalam kategori-kategori yang sempit (hitam-putih, jelek-baik, ekstrem tidak ekstrem,
Pancasilais tidak Pancasilais).
Bila petunjuk petunjuk verbal dan nonverbal membantu kita melakukan persepsi yang cermat, beberapa
faktor personal ternyata mempersulitnya. Persepsi interpersonal menjadi lebih sulit lagi, kare-na persona
stimuli bukanlah benda mati yang tidak sadar. Manusia secara sadar berusaha menampilkan dirinya kepada
orang lain sebaik mungkin. Inilah yang disebut Erving Goffman sebagai self presentation (penyajian diri).
Sebelum membicarakan hal ini, marilah kita menengok sebentar bagaimana proses persepsi interpersonal

itu berlangsung. Proses ini kita sebut sebagai proses pembentukan kesan (impression formation).
4.1.3 Proses Pembentukan Kesan
Stereotyping
Robert Rosenthal dan Leonore Jacobson (1968) ingin meneliti penga-ruh ekspektasi guru terhadap prestasi
murid. Apakah murid yang di-duga cerdas akan lebih berhasil? Mereka meneliti murid-murid SD. Tes
kecerdasan diberikan kepada para murid. Kemudian, nama nama siswa diduga akan membuat prestasi
intelektual yang menonjol dis-ampaikan kepada para guru (sebetulnya, nama-nama itu dicomot secara
random saja; tidak ada perbedaan berarti di antara mereka). Ternyata, anak-anak yang diharapkan cerdas
menunjukkan prestasi akademis yang jauh menonjol daripada orang lain. Para peneliri menjelaskan:
Mungkin guru memberikan perhatian yang lebih besar kepada mereka, lebih mendorong dan membantu;
mungkin mereka mengomunikasikan secara verbal atau nonverbal persepsi mereka kepada murid-murid
tersebut; mungkin persepsi guru itu tertangkap oleh murid-murid itu dan memperbaiki konsep dirinya.
Kita melihat peristiwa ini dari sisi lain. Ketika guru menghadapi murid-muridnya yang bermacam-macam,
ia akan mengelompokkan mereka pada konsep-konsep tertentu: cerdas, bodoh, cantik, jelek, ra-pn. atau
malas. Penggunaan konsep ini menyederhanakan begitu ban-stimulus yang diterimanya. Namun, begitu
anak-anak itu diberi egori cerdas, persepsi guru terhadapnya akan konsisten. Semua siat anak cerdas akan
dikenakan kepada mereka. Inilah yang disebut stereotyping.
Menurut psikologi kognitif, pengalaman-pengalaman baru akan nasukkan pada "laci" kategori yang ada
dalam memori kita, berdasarkan kesamaannya dengan pengalaman masa lalu. Bersama itu, semua sifat
yang ada pada kategori pengalaman itu dikenakan pada pengalaman baru. Dengan cara seperti ini, orang
memeroleh informasi tambahan dengan segera, sehingga membantu dalam mengambil keputusan yang
cepat atau dalam meramalkan peristiwa. Katakanlah, anda berjumpa dengan orang asing yang bemama
Manfred. Segera Anda kategorikan dia sebagai orang Barat. Anda segera membentuk esan bahwa ia orang
yang tepat waktu, berbicara terus terang, memiliki ketrrampilan teknologis dan ... menganut free sex.
Kesan-kesan ini muncul, karena begitulah penjelasan tentang sifat orang Barat dalam gudang memori
Anda.
Stereotyping ini mungkin yang menjelaskan terjadinya primacy
| dan halo effect yang sudah kita jelaskan di muka. Primacy effect
secara sederhana menunjukkan bahwa kesan pertama amat menentukan
karena kesan itulah yang menentukan kategori. Begitu, pula,
halo effect. Persona stimuli yang sudah kita senangi telah mempunyai
kategori tertentu yang positif, dan pada kategori itu sudah disimpan
semua sifat yang baik.
Implicit Personlity Theory
Memberikan kategori berarti membuat konsep. Konsep "makanan mengelompokkan donat, pisang, nasi,
dan biskuit dalam kategor yang sama. Konsep "bersahabat" meliputi konsep-konsep ramah, suka menolong,
toleran, tidak mencemooh, dan sebagainya. Di sini, kita mempunyai asumsi bahwa orang ramah pasti suka
menolong, toleran, dan tidak akan meneemoohkan kita. Setiap orang mempunyai kon-sepsi tersendiri
tentang sifat-sifat apa, berkaitan dengan sifat-sifat apa. Konsepsi ini merupakan teori yang dipergunakan
orang ketika mem-bentuk kesan tentang orang lain. Teori ini tidak pernah dinyatakan, karena itu disebut
implicit personality theory. Dalam kehidupan sehari-hari, kita semua psikolog amatir, lengkap dengan
berbagai teori ke-pribadian, Suatu hari Anda menemukan pembantu Anda sedang sem-bahyang, Anda
menduga ia pasti jujur, saleh, bermoral tinggi. Teori Anda belum tentu benar, sebab ada pengunjung masjid
atau gereja yang tidak saleh dan tidak bermoral.
Atribusi
Atribusi adalah proses menyimpulkan motif, maksud, dan karakteris-tik orang lain dengan melihat pada
perilakunya yang tampak (Baron dan Byrne, 1979: 56). Atribusi boleh juga ditujukan pada diri sendiri (self
attribution), tetapi di sini kita hanya membicarakan atribusi pada orang lain. Atribusi merupakan masalah
yang cukup popular pada dasawarsa terakhir di kalangan psikologi sosial, dan agak menggeser fokus
pembentukan dan perubahan sikap. Secara garis besar ada dua macam atribusi: atribusi kausalitas dan
atribusi kejujuran.
Bila kita melihat perilaku orang lain, kita mencoba memahami apa yang menyebabkan ia berperilaku

seperti itu. Fritz Heider (1958) adalah yang pertama menelaah atribusi kausalitas. Menurut Heider, bila kita
mengamati perilaku sosial, pertama-tama kita menentukan dahulu apa yang menyebabkannya: faktor
situasional atau personal; dalam teori atribusi lazim disebut kausalitas eksternal dan kausalitas internal
(Jones dan Nisbett, 1972). Apakah mahasiswa yang drop out itu gagal karena kemalasan dan kurang
motivasi atau karena sistem pen-didikan yang salah dan dosen yang tidak bermutu? Apakah orang itu
rniskin karena malas, bodoh, dan kurang inisiatif atau karena struktur ekonomi yang menindas? Apakah
penduduk sekitar Gunung Galung-gung mendapat bencana karena dosa-dosa yang mereka lakukan atau
karena kehendak Allah? Pada pertanyaan-pertanyaan ini, kita mem-persoalkan kausalitas internal dan
eksternal.
Bagaimana kita mengetahui bahwa perilaku orang lain disebab-kan faktor internal, dan bukan faktor
eksternal? Menurut Jones d Nisbett, kita dapat memahami motif persona stimuli dengan memft'-hatikan dua
hal. Pertama, kita memfokuskan perhatian pada perilaku yang hanya memungkinkan satu atau sedikit
penyebab. Kedua kita
memusatkan perhatian pada perilaku yang menyimpang dari pola perilaku yang biasa.
Marilah kita jelaskan hal ini dengan contoh (Goldstein, 1980:140). Dalam suatu ruangan kelas, kita dapat
menduga berbagai perilaku inahasiswa: menghadap ke depan dan menulis catatan kuliah; meng-r-adap ke
depan tetapi mengobrol dengan rekan yang duduk di se-belah; menghadap ke depan sambil membaca
koran; menghadap ke -epan sambil tidur; atau membelakang. Semua perilaku itu mempu-ii kemungkinan
terjadi yang berbeda-beda. Menghadap ke depan dan menulis catatan kuliah adalah yang paling mungkin
terjadi. Ini vang paling sulit untuk dijelaskan, karena berbagai penyebab dapat iiduga; mungkin ia ingin
belajar, ingin lulus ujian, takut beasiswanya iicabut, malu pada dosen, atau sekadar tunduk pada normanorma sosial. Dua yang pertama adalah penyebab internal, tiga terakhir pe-)ab eksternal. Dengan begitu,
perilaku ini sukar diketahui motif Tang sebenarnya.
Ambillah mahasiswa yang membelakang. Ini menyimpang dari rola perilaku yang biasa. Kita akan segera
menyimpulkan perilaku ini terjadi karena motif perorangan. Mahasiswa itu benci pada dosen, xigin
menunjukkan keberaniannya (sekadar jual tampang), atau ingin r^enghindari tatapan dosen. Apa pun
sebabnya, yang jelas ini menun- kausalitas internal. Penelitian Jones dan Davis dapat disimpul- bahwa kita
dapat menentukan kausalitas perilaku dengan meli-bat konteksnya.
Beberapa peneliti lain menghubungkan proses atribusi dengan s persona stimuli. Thibault dan Riecken
(1955) melakukan eks-^erimen dengan menyuruh dua kelompok mahasiswa meyakinkan *cara persuasif
dua orang konfederat* (kawan peneliti yang me-mar) tentang donor darah. Kelompok pertama meyakinkan
se-wang yang diberi tahu sebagai dosen bergelar doktor; kelompok . a, seorang veteran mahasiswa tingkat
pertama. Kedua konfederat berhasil mengikuti anjuran. Subjek-subjek eksperimen kemudian menjelaskan
apakah konfederat itu mengikuti anjuran karena i yang dilakukan, atau karena karakteristik orang itu (ia
me-.Z ingin menyumbang darah). Kausalitas internal ternyata lebih yak dikenakan pada konfederat
berstatus tinggi. Yang berstatus dianggap menyumbang karena pengaruh persuasi. Jones dan an kawannya
memperkuat hipotesis ini. Pujian dari orang bersta-tinggi dianggap penghargaan, dan persona stimulinya
dianggap r: pujian dari orang berstatus rendah dianggap menjilat karena ada ; di balik batu.
4.1.4 Proses Pengelolaan Kesan (Impression Management)
Kita telah membicarakan bagaimana kecermatan persepsi interpersonal dimudahkan oleh petunjukpetunjuk verbal dan nonverbal, dan dipersulit oleh faktor-faktor personal pada penanggap. Kesulitan persepsi juga timbul karena persona stimuli berusaha menampilkan petunjuk petunjuk tertentu untuk
menimbulkan kesan tertentu pada diri penanggap. Erving Goffman menyebut proses ini pengelolaan kesan
impression management).
Kita sudah mengetahui orang lain menilai kita berdasarkan p rrunjuk-petunjuk yang kita berikan; dan dari
penilaian itu mereka memperlakukan kita. Bila mereka menilai kita berstatus rendah, kita tidak
mendapatkan pelayanan istimewa. Bila kita dianggap bodoh, rr.ereka akan mengatur kita. Untuk itu, kita
secara sengaja menampilkan diri kita (self presentation) seperti yang kita hendaki.
Peralatan lengkap yang kita gunakan untuk menampilkan diri
iisebut front. Front terdiri atas panggung (setting), penampilan (appearance), dan gaya bertingkah laku
(manner).
4.1.5 Pengaruh Persepsi Interpersonal pada Komunikasi Interpersonal
Sudah jelas bahwa perilaku kita dalam komunikasi interpersonal amat bergantung pada persepsi
interpersonal. Bila Anda diberitahu bahwa dosen Anda yang baru itu galak dan tidak senang dikritik, Anda
akan berhati-hati dalam mengajukan pertanyaan. Bila Anda menganggap tetangga Anda sombong dan

feodal, Anda akan menghindari ber-cakap-cakap dengan dia. Lalu, bila Anda memersepsi kawan Anda sebagai orang cerdas, bijak, dan senang membantu, Anda akan banyak meminta nasihat kepadanya.
Kelley, tokoh atribusi, pernah melakukan eksperimen pada ma-hasiswa ekonomi di Massachusets Institute
of Technology. Mereka di-beri tahu bahwa dosennya berasal dari luar kota, dan unruk kepentin-gan fakultas
mereka diminta menilai dosen itu. Kepada satu kelompok disampaikan biografi ringkas tentang dosen itu
seperti ini:
Orang yang mengenalnya, menilainya sebagai orang yang hangat, rajin, kritis, praktis, dan teguh pendirian.
Kepada kelompok lain, biografi itu menyatakan:
Orang yang mengenalnya, menganggapnya sebagai orang yang agak dingin, rajin, kritis, praktis, dan teguh
pendirian.
Selain menduga bahwa dosen yang dilukiskan hangat menyampaikan kuliah dengan baik, bersifat ramah
dan menyenangkan, pada kelompok pertama, 56 persen mahasiswa terlibat dalam diskusi. Pada kelompok
kedua, yang diberi tahu bahwa dosen itu agak dingin, hanya 32 persen mahasiswa yang terlibat dalam
diskusi.
Pada kenyataannya, seperti telah diuraikan di muka, persepsi orang seringkali tidak cermat. Bila kedua
belah pihak menanggapi yang lain secara tidak cermat, terjadilah kegagalan komunikasi (communication
breakdowns). Anda menduga istri Anda tidak setia, dan is-tri Anda menduga Anda sudah bosan padanya.
Komunikasi di antara Anda berdua akan mengalami kegagalan, karena Anda berdua menaf-sirkan
pernyataan orang lain dengan kerangka tadi. Katakanlah, Anda pulang terlambat dari kantor. Istri Anda
kelihatan menyambut Anda dengan gembira. la mengungkapkan betapa senangnya Anda pulang setelah
cemas menunggu. Karena persepsi di atas, Anda menganggap
suara keras, Anda menanggapi istri Anda, "Ah bilang sat dak senang aku pulang cepat." Istri Anda pasti
terkejir 1 Anda mencari gara-gara untuk menceraikannya. Anda bayangkan apa yang terjadi selanjutnya.
Kegagalan komunikasi ini dapat diperbaiki bila orang menyadari bahwa persepsinya mungkin salah.
Komunikasi interpersonal kita akan menjadi lebih baik bila kita mengetahui bahwa persepsi kita
bersifats subjektif dan cenderung keliru. Seorang psikiater ppernah mewawancarai pasiennya seperti ini:
pasien
: Suami saya baik sekali. Bila kami bertengkar dan ia salah, ia cepat cepat mengakui
kesalahannya dan meminta maaf.
Psikiater
: Bagaimana kalau Nyonya yang salah,
pasien
: Saya salah? Itu tidak mungkin terjadi, Dokter.
pasien ini memang sakit jiwa. Namun, betapa sering kita pun menirunya. Kita jarang meneliti kembali
persepsi kita. Akibat lain dari persepsi kita yang tidak cermat ialah mendistorsi pesan yang tidak sesuai
dengan persepsi kita. Persepsi kita tentang orang lain cenderung stabil, sedangkan persona stimuli adalah
manusia yang selalu berubah.
Adanya kesenjangan antara persepsi dengan realitas sebenarnya mengakibatkan bukan saja perhatian
selektif, tetapi juga penafsiran pesan yang keliru.
Persepsi interpersonal juga akan memengaruhi komunikate. Bila
menduga Susan orang yang lincah, hangat, dan bersahabat, Susan akan berperilaku seperti itu terhadap
saya. Komunikasinya dengan saya menjadi lebih bebas, lebih berani; dan lebih terbuka. Pada
bagian terdahulu, kita telah menceritakan bagaimana ekspektasi guru memengaruhi prestasi murid. Bila
orang berperilaku sesuai dengan perseppsi orang lain, terhadap dirinya, terjadilah apa yang disebut self
fulfilling prophecy {ramalan yang dipenuhi sendiri).
4.3 Atraksi Interpersonal
Dean C. Barlund, ahli komunikasi interpersonal menulis, "Mengetahui garis-garis atraksi dan
penghindaran dalam sistem sosial artinya rampu meramalkan dari mana pesan akan muncul, kepada siapa
pesan itu akan mengalir, dan lebih-lebih lagi bagaimana pesan akan menerima." (Barlund, 1968: 71)
Dengan bahasa sederhana, ini berarti, iengan mengetahui siapa tertarik kepada siapa atau siapa menghindari
siapa, kita dapat meramalkan arus komunikasi interpersonal yang akan terjadi. Makin tertarik kita kepada
seseorang, makin besar kecenderungan kita berkomunikasi dengan dia. Kesukaan pada srang lain, sikap
positif dan daya tarik seseorang, kita sebut sebagai itraksi interpersonal (Atraksi berasal dari bahasa Latin
attrahere ad.; menuju'; trahere; 'menarik'). Karena pentingnya peranan atraksi interpersonal, kita ingin
membicarakan faktor-faktor yang menyebabkan mengapa persona stimuli menarik kita. Sebagaimana

sering kita bicarakan dalam bagian-bagian lain, di sini pun faktor personal dan situasional menentukan
siapa tertarik pada siapa. Yang menyebabkan saya tertarik kepada Anda boleh jadi sifat-sifat yang Anda
miliki (misalnya, Anda cantik), atau suasana emosional saya (misalnya, saya sedang kesepian). Sebenarnya
kedua. faktor ini dalam kenyataan sering tumpang tindih, sehingga pembagian di bawah ini hanyalah untuk
memudahkan penjelasan saja.
4.3.1 Faktor Faktor Personal yang Memengaruhi Atraksi Interpersonal
Kesamaan Karakteristik Personal
Katakanlah Anda berjumpa dengan seorang kenalan baru. Percakapan Anda berlangsung mulai dari
masalah-masalah demografis (di mana tinggal, pekerjaan apa) sampai masalah-masalah politik. Anda
mengatakan bahwa pembangunan kita cukup berhasil dengan menyajik-rukti-bukti yang relevan. Kawan
Anda berpendapat pembangunan gagal, dan membuktikannya pula dengan data. Percakapan lebih at
menunjukkan banyaknya perbedaan antara Anda dengan dia sikap, kepercayaan, dan kesenangan. Besar
dugaan saya, Anda tidak akan menyukai kenalan baru ini. Sebaliknya, bila dari obrolan itu diketahui Anda
dan kawan Anda sama-sama senang tenis, sama-sama menyenangi Rhoma Irama, dan sama-sama lulusan
Unpad, Anda ber-dua akan saling menyukai.
Orang orang yang memiliki kesamaan dalam nilai nilai, sikap, keyakinan, tingkat sosioekonomis, agama,
ideologis, cenderung saling menyukai. Reader dan English mengukur kepribadian subjek-subjeknya dengan
rangkaian tes kepribadian. Diketemukan, mereka yang bersahabat menunjukkan korelasi yang erat dalam
kepribadiannya. Penelitian tentang pengaruh kesamaan ini banyak dilakukan dengan berbagai kerangka
teori.
Menurut teori Cognitive Consistency dari Fritz Heider, manusia selalu berusaha mencapai konsistensi
dalam sikap dan perilakunya (Ingat lagi model manusia sebagai pencari konsistensi kognitif, hala-man 43).
Kata Heider, ". . . kita cenderung menyukai orang, kita in-gin mereka memilih sikap yang sama dengan
kita, dan jika kita menyukai orang, kita ingin mereka memilih sikap yang sama dengan kita." Kita ingin
memiliki sikap yang sama dengan orang yang kita sukai, supaya seluruh unsur kognitif kita konsisten. Anda
resah ka-lau orang yang Anda sukai menyukai apa yang Anda benci. Theodore Newcomb (1956; 1961;
1963) menelaah perkembangan persahabatan di antara mahasiswa yang tinggal di asrama kampus selama
periode 16 minggu. Dengan mengetahui tingkat kesamaan sikap, Newcomb berhasil meramalkan siapa
yang akan tertarik kepada siapa.
Don Byrne (1971) menunjukkan hubungan linear antara atraksi dengan kesamaan, dengan menggunakan
teori peneguhan dari Be-haviorisme. Persepsi tentang adanya kesamaan mendatangkan gan-jaran, dan
perbedaan tidak mengenakkan. Kesamaan sikap orang lain dengan kita memperteguh kemampuan kita
dalam menafsirkan reali-tas sosial. Kita benar. Kita mendapat dukungan. Kita menyukai orang yang
mendukung kita. 'An agreeable person/ kata Disraeli, "is a person who agrees with me." (Dikutip lagi dari
Tubbs dan Moss, 1974: 93).
Asas kesamaan ini pada kenyataan bukanlah satu-satunya deter-minan atraksi. Atraksi interpersonal
akhirnya merupakan gabungan dari efek keseluruhan interaksi di antara individu. Walaupun begitu, bagi
komunikator, lebih tepat untuk memulai komunikasi dengan mencari kesamaan di antara semua peserta
komunikasi.
Tekanan Emosional (stress)
Bila orang berada dalam keadaan yang mencemaskannya atau harus
memikul tekanan emosional, ia akan menginginkan kehadiran orang lain. Stanley Schachter (1959)
membuktikan pemyataan di atas dengan sebuah eksperimen. Ia mengumpulkan dua kelompok mahasiswi.
Kepada kelompok pertama diberitahukan bahwa mereka akan menjadi subjek eksperimen yang meneliri
efek kejutan listrik yang sangat me-nyakitkan. Kepada kelompok kedua diberitahukan bahwa mereka hanya
akan mendapat kejutan ringan saja. Schachter menemukan di antara subjek pada kelompok pertama
(kelompok yang tingkat ke-cemasannya tinggi), 63 persen ingin menunggu bersama orang lain.
Dan di antara subjek pada kelompok kedua hanya 33 persen yang erlukan sahabat. Schachter
menyimpulkan bahwa situasi penimpul cemas {anxiety producing situations) meningkatkan kebutuhan
akan kasih sayang. Orang-orang yang pernah mengalami penderitaan bersama-sama akan membentuk
kelompok yang bersolidaritas tinggi. Ada orang menafsirkan penetitian ini lebih lanjut. Kalau anak-anak

Anda ingin rukun, Anda harus menjadi orang tua yang kejam (?).
Harga Diri yang Rendah
Elaine Walster membayar beberapa orang mahasiswi untuk mer Nerta dalam penelitian tentang
kepribadian. Sesuai dengan rancangan penelitian, sebelum eksperimen dimulai, subjek "secara kebetulan"
(sebetulnya tidak) berjumpa dengan seorang mahasiswa y rrmaksud menemui peneliti. Terjadilah
percakapan sambil menunggu kedatangan peneliti. Si mahasiswa menunjukkan minat yang
Besar pada mahasiswi itu. Mereka mengobrol selama 15 menit, dan sang perjaka berusaha untuk mengajak
berkencan. Setelah itu, subject diberi tes kepribadian. Sebagian subjek diberi penilaian yang positif
(misalnya, kepribadian dewasa, orisinal, dan sensitif), setengahnya lagi diberi penilaian negatif (misainya,
belum dewasa, antisosial tidak rnemiliki bakat kepemimpinan). Maksud Walster, sebagian diti kan harga
dirinya, sebagian lagi direndahkan. Kemudian, mereka diminta memberikan penilaian sejujur-jujurnya pada
lima orang, termasuk laki-laki yang mengajak mengobrol. Ternyata, mahasiswi yang direndahkan harga
dirinya cenderung lebih menyenangi laki-laki itu. kesimpulan Walster, bila harga diri direndahkan, hasrat
afliasi (bergabung dengan orang lain) bertambah, dan ia makin respontif untuk menerima kasih-sayang
orang Iain. Dengan perkataan lain, orang yang rendah diri cenderung mudah mencintai orang lain (Tubbs
dan Moss, 1974).

Isolasi sosial
manusia adalah makhluk sosial itu sudah diketahui orang bany; usia mungkin tahan hidup terasing
beberapa waktu, tetapi tid waktu yang lama. Isolasi sosial adalah pengalaman yang tidak enak. Beberapa
orang peneliti telah menunjukkan bahwa tingkat isolasi sosial amat besar pengaruhnya terhadap kesukaan
kita pada orang lain. Bagi orang yang terisolasi narapidana, petugas di rimba, atau penghuni pulau terpencil
kehadiran manusia merupakan kebahagian. Karena manusia cenderung menyukai orang yang mendatan
kebahagiaan, maka dalam konteks isolasi sosial, kecenderungannya untuk menyenangi orang lain
bertambah.
Gain loss Theory. Elliott Aronson (1972) mengembangkan Gain-loss theory (teori untung-ragi) untuk
menjelaskan atraksi interpersonal. Menurut teori ini, pertambahan perilaku yang menyenangkan dari orang
lain akan berdampak positif pada diri kita. Bila Anda disu-kai orang, Anda mendapat ganjaran dalam
interaksi sosial. Menurut Aronson, orang yang kesukaannya kepada kita bertambah akan le-bih kita senangi
daripada orang yang kesukaannya kepada kita tidak berubah. Misalkan, saya mengatakan kepada Anda,
"Dulu saya tidak menduga Anda cerdas. Kini, setelah saya mengetahui Anda, saya bertambah kagum
kepada Anda. Menurut Gain loss theory, Anda akan menyenangi orang itu lebih dalam daripada orang yang
kecintaannya kepada kita tidak berubah rata saja.
4.3.2 Faktor-Faktor Situasional yang Memengaruhi Atraksi Interpersonal
Daya Tarik Fisik (Physical Attractiveness)
Kita telah menceritakan penelitian Dion, Berscheid, dan Walster (1972) tentang penilaian orang pada
wajah-wajah yang cantik. Mereka cend-erung dinilai akan lebih berhasil dalam hidupnya, dan dianggap
me-miliki sifat-sifat yang baik. Walaupun apa yang disebut cantik belum disepakati, kata sebagian orang
relatif, ada orang-orang yang disepak-ati banyak orang sebagai cantik atau tampan. Agak sukar, misalnya,
untuk menemukan orang yang menganggap jelek pada Lidya Kandau, Sherley Malinton, Meriam Bellina,
Robby Sugara, atau Roy Marten.
Beberapa penelitian telah mengungkapkan bahwa daya tarik fisik sering menjadi penyebab utama atraksi
personal. Kita senang pada orang-orang yang tampan atau cantik. Mereka, pada gilirannya, sangat mudah
memeroleh simpati dan perhatian orang. Di sini kita ceritakan sedikit penelitian Harold Sigall dan Elliott
Aronson. Mereka menyuruh seorang wanita mewawancarai beberapa orang mahasiswa. Pada kelompok
yang satu, ia muncul sebagai wanita cantik (karena memang ia cantik). Pada kelompok yang lain, ia
menampak-kan diri sebagai wanita jelek (dengan make up yang berhasil). Setelah wawancara, subjek diberi
penilaian tentang dirinya ada yang baik. ada yang jelek. Menarik sekali, ketika ia tampak sebagai wanita
cantik penilaian baik yang diberikannya menyebabkan subjek-subjek sangat menyenanginya, dan penilaian

jelek membuat mereka membencinya. Ini tidak terjadi ketika wanita itu tampak jelek. Aronson menyimpulkan, 'We are more affected by attractive people than by physically unattractii. people, and unless we are
specifically abused by them, we tend to like them bi :-ter" (1972: 218). Berbahagialah orang-orang yang
cantik, karena mereka akan disenangi orang!
Beberapa penelitian lain mengungkapkan bahwa karangan orang yang dipandang cantik dinilai lebih baik
daripada karangan se-rupa yang dibuat oleh orang yang dipandang jelek (Landy dan Sigall, 1974). Orang
cantik atau tampan juga lebih efektif dalam mempenga-ruhi pendapat orang lain (Harai, Naccari, dan
Fatoullah, 1974), dan biasanya diperlakukan lebih sopan (Sroufe, Choikin, Cook & Freeman, 1977). Jadi,
tidak salahlah kalau pengusaha menggunakan wanita-wanita cantik bukan saja untuk promosi dan iklan,
tetapi juga untuk menjadi petugas hubungan masyarakat.
Ganjaran (Reward)
Kita menyenangi orang yang memberikan ganjaran kepada kita. Gan-aran itu berupa bantuan, dorongan
moral, pujian, atau hal-hal yan^ ~erringkatkan harga diri kita. Kita akan menyukai orang yang me ,;kai kita;
kita akan menyenangi orang yang memuji kita. Menuru :eori pertukaran sosial (social exchange theory),
interaksi sosia! adalal: ^macam transaksi dagang. Kita akan melanjutkan interaksi bila lab; lebih banyak
dari biaya. Atraksi, dengan demikian, timbul pada in leraksi yang banyak mendatangkan laba. Bila
pergaulan saya dengai Anda sangat menyenangkan, sangat menguntungkan dari segi psikol :-eis atau
ekonomis, kita akan saling menyenangi. (Lihat, Thibault dan Kelley, 1959; Homans, 1974; Lott dan Lott,
1974).
familiaity
-familiarity artinya sering kita lihat atau sudah kita kenal dengan baik. prinsip familiarity dicerminkan
dalam peribahasa Indonesia, "Kalau- tak kenal, maka tak sayang" (lebih jelas lagi dalam bahasa Jawe
witing tresno jalaran soko kulino"). Jika kita sering berjumpa dengan seseorang asal tidak ada hal-hal lain
kita akan menyukainya. Robert B.Zajonic (1968) memperiihatkan foto-foto wajah pada subjek-subjek
eksperimennya. Ia menemukan makin sering subjek melihat wajah tertentu , ia makin menyukainya.
Penelitian ini kemudian melahirka hipotesis "mere exposure" (terpaan saja). Hipotesis ini dipakai sebagai
landasan ilmiah akan pentingnya repetisi pesan dalam memengaruhi pendapat dan sikap.
Kedekatan (Proximity)
Erat kaitannya dengan familiarity adalah kedekatan. Orang cenderung menenangi mereka yang tempat
tinggalnya berdekatan. Persahabatan lebih mudah tumbuh di antara tetangga yang berdekatan Whyte,
1956), atau di antara mahasiswa yang duduk berdampinga (Byrne dan Bueffier, 1955). Mungkin
dipertanyakan apakah karena saling menyukai orang berdekatan, atau karena berdekatan orang saling
menyukai. Keduanya benar.
Bahwa orang yang berdekatan tempatnya saling menyukai, sering dianggap hal yang biasa. Dari segi
psikologis, ini hal yang luar biasa bagaimana tempat yang kelihatannya netral mampu mempengaruhi
tatanan psikologis manusia. Ini berarti, kita juga dapat mema-nipulasikan tempat atau desain arsitektural
untuk menciptakan persa-habatan dan simpati. Barangkali pembauran akan diperlancar dengan
mendekatkan rumah-rumah orang nonpribumi dengan rumah-rumah orang pribumi (Maaf, saya tidak
menemukan istilah lain).

Tabel 2. Efek Atraksi

Interpersonal pada keputusan Interpersonal

Corak Keputusan
Interpersonal

Efek atraksi

Peneliti

Memilih anggota
lebih cenderung dipilih walaupun Castor e dan DeNinno
kelompok kawan bekerja ada orang lain yang lebih tepat
(1976)
Memperkerjakan asisten lebih cenderung dipekerja-kan
Griffitt dan Jackson
peneliti
dan disarankan dapat . upah lebih (1970)
besar
Menilai suami istri yang lebih cenderung dinilai sebagai
ingin meng-adopsi bay: orang tua adoptif yang tepat

Aves dan Byrne


(1976)

Menyetujui pinjaman
dari bank

Sung (1975)

lebih cenderung disetujui

Menilai terdakwa dalam lebih cenderung dinilai tak


pengadilan
bersalah, dan jika salah, divonis
lebih ringan

Griffitt dan Jackson


(1973)

Menentukan kualifilebih cenderung dianggap kasi


konselor psikologi- simpatik, penuh pengertian,
(pembimbing)
dan efektif

Good dan Good


(1972)

Menilai prestasi kerja

lebih cenderung dinilai telah


bekerja baik

Smith, meadow dan


Sisk (1970)

Memberi ganjaran dan


hukuman pa da petatar
yang melaku-kan tugas
tertentu.

lebih kecil kemungkinan


dihukum karena berbuat salah

Banks (1976)

kemampuan (Competence)
Kita cenderung menyenangi orang-orang yang memiliki kemampuan lebih tinggi daripada kita, atau lebih
berhasil dalam kehidupannya. pemain-pemain bulu tangkis dipuja orang ketika mereka berhasil
mengalahkan lawannya, dan dicaci-maki ketika mereka gagal. Orang-rang yang sukses dalam bidang apa
pun profesional atau non-profesional umumnya mendapat simpati orang banyak. Walaupun demikian,
seperti faktor-faktor atraksi lainnya, ada beberapa situasi ketika kemampuan tidak menimbulkan atraksi
interpersonal. (Aronson 1972: 212) menemukan dalam penelitian yang dilakukannya, bahwa orang yang
paling disenangi adalah orang yang memiliki kemampuan tinggi, tetapi menunjukkan beberapa kelemahan.
la menciptakan empat kondisi eksperimental:
(1) orang yang memiliki kemampuan tinggi, dan berbuat salah;
(2) berkemampuan tinggi tapi tidak berbuat salah;
(3) orang yang memiliki kemampuan rata-rata dan berbuat salah;
(4) orang yang berkemampuan rata-rata dan tidak berbuat salah.
Orang yang pertama dinilai paling menarik, dan orang ketiga dinilai paling tidak menarik. Orang yang
sempurna tanpa kesalahan adalah yang kedua dalam hal daya tarik. Dan orang biasa yang tidak berbuat
salah, menduduki urutan ketiga. Jadi, jika Anda cerdas, tampan, dan serba bisa, usahakanlah supaya Anda
jangan terlalu sempurna, tunjukan kelemahan Anda. Sebab, kalau-Anda sempurna betul, Anda
bukan "man" lagi, tapi "superman".
4.3.3 Pengaruh Atraksi Interpersonal pada komunikasi interpersonal
Penafsiran pesan dan Penilaian
sudah diketahui bahwa pendapat dan penilaian kita tentang orang lain tidak semata-mata berdasarkan
pertimbangan rasional. Kita juga mahkluk emosional. Oleh karena itu, ketika kita menyenangi seseorang
, kita juga cenderung melihat segala hal yang berkaitan dengan secara positif. Sebaliknya, jika kita

membencinya, kita cenderung melihat karakteristiknya secara negarif (Masih ingatkah Anda pada halo
effect ?)
Efektivitas Komunikasi
Komunikasi interpersonal dinyatakan efektif bila pertemuan komunikasi merupakan hal yang
menyenangkan bagi komunikan. Bila Anda berkumpul dalam satu kelompok yang memiliki kesamaan
dengan Anda, Anda akan menyenangi mereka. Komunikasi pun berlangsung lebih santai, gembira, dan
terbuka. Berkumpul dengan orang-orang yang Anda benci akan membuat Anda tegang, resah, dan tidak
enak. Anda akan menutup diri dan menghindari komunikasi. Anda ingin segera mengakhiri komunikasi
Anda.
Bila keadaan seperti ini, yang sudah dibuktikan oleh Wolosin (1975), kita perluas pada situasi komunikasi
lainnya, kita dapat me-nyatakan bahwa komunikasi akan lebih efektif bila para komunikan saling
menyukai. Dalam pendidikan, atraksi interpersonal telah diteli-ti pengaruhnya terhadap prestasi akademis.
Lott dan Lort (1966) menemukan bahwa murid-murid belajar bahasa Spanyol lebih cepat bila bekerja sama
dengan orang-orang yang mereka senangi. Nelson dan Meadow (1971) membuktikan dengan eksperimen
bahwa pasangan mahasiswa yang mempunyai sikap yang sama membuat prestasi yang baik dalam
mengerjakan tugas-tugas mekanis dibandingkan dengan pasangan yang mempunyai sikap yang berlainan.
Baron dan Byrne (1978: 234) menyimpulkan, "... not only are students happier when learning in an
atmosphere of friendship, they also learn more'."
Kita dapat memperluas kenyataan ini pada periklanan, pidato (public speaking), komunikasi kelompok,
penataran, lokakarya, seminar, wawancara, dan kegiatan-kegiatan komunikasi lainnya.

Anda mungkin juga menyukai