Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes mellitus (DM) adalah kelompok penyakit metabolisme yang umum dimana
seseorang mempunyai kadar gula darah tinggi. Salah satu penyebabnya dikarenakan insulin
yang diproduksi dalam tubuh tidak mencukupi atau insulin tidak bisa digunakan dengan
efektif.1 Menurut definisi American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, diabetes
mellitus (DM) merupakan suatu kelompok metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan insulin, kerja insulin atau keduanya.2

2.2 Epidemiologi Diabetes Melitus

Pada abad ke-21 ini, DM tipe 2 menjadi salah satu masalah utama dalam dunia
kesehatan. Menurut International Diabetes Federation (IDF) DM tipe 2 akan terus meningkat
mencapai 55% pada tahun 2035.2 Saat ini terdapat 351,7 juta orang pada usia bekerja (20-64
tahun) dengan terdiagnosis atau tidak terdiagnosis diabetes di tahun 2019. Jumlah ini
diperkirakan akan meningkat menjadi 417,3 juta pada tahun 2030 dan menjadi 486,1 juta
pada tahun 2045. Peningkatan terbesar akan terjadi di negara yang berpenghasilan rendah
serta menengah.3 Organisasi International Diabetes Federation (IDF) memperkirakan
sedikitnya terdapat 463 juta orang pada usia 20-79 tahun di dunia menderita diabetes pada
tahun 2019 atau setara dengan angka prevalensi sebesar 9,3% dari total penduduk pada usia
yang sama. Berdasarkan jenis kelamin, IDF memperkirakan prevalensi diabetes di tahun
2019 yaitu 9% pada perempuan dan 9.65% pada laki-laki. Prevalensi diabetes diperkirakan
meningkat seiring penambahan umur penduduk menjadi 19,9% atau 111,2 juta orang pada
umur 65-79 tahun. Angka diprediksi akan terus meningkat angka diprediksi terus meningkat
hingga mencapai 578 juta di tahun 2030 dan 700 juta di tahun 2045.4

Negara di wilayah Arab-Afrika Utara, dan Pasifik Barat menempati peringkat pertama
dank e-2 dengan prevalensi diabetes pada penduduk umur 20-79 tahun tertinggi diantara 7
regional di dunia, yaitu sebesar 12,2% dan 11,4%. Wilayah Asia Tenggara dimana Indonesia
berada, menempati peringkat ke-3 dengan prevalensi sebesar 11,3%. IDF juga
memproyeksikan jumlah penderita diabetes pada penduduk umur 20-79 tahun pada beberapa
negara di dunia yang telah mengidentifikasi 10 negara dengan jumlah penderita tertinggi.
Cina, India, dan Amerika Serikat menempati urutan tiga teratas dengan jumlah penderita
116,4 juta, 77 juta, dan 31 juta. Indonesia berada di peringkat ke-7 diantara 10 negara dengan
jumlah penderita terbanyak, yaitu sebesar 10,7 juta. Indonesia menjadi satu-satunya Negara
di Asia Tenggara pada daftar tersebut, sehingga dapat diperkirakan besarnya kontribusi
Indonesia terhadap prevalensi kasus diabetes di Asia Tenggara.4 Badan kesehatan WHO
memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM tipe 2 di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun
2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.

Hampir semua provinsi menunjukkan peningkatan prevalensi pada tahun 2013-2018.


DKI Jakarta menempati prevalensi tertinggi sebesar 3,1% pada tahun 2018. Angka tersebut
lebih tinggi dibanding dengan tahun 2013 (2,1%). 4 Di Provinsi Jakarta, Kotamadya Jakarta
Barat merupakan salah satu kota dengan angka prevalensi DM yang tinggi, yaitu 1,9%.5

Gambar 1. Prevalensi Diabetes Melitus pada Riskesdas tahun 2018

2.3 Klasifikasi Diabetes Melitus

2.3.1 Diabetes Melitus Tipe 1 (DM tipe 1)

Hasil dari kehancuran sel beta pankreas, biasanya menyebabkan defisiensi insulin yang
absolut atau tubuh tidak mampu menghasilkan insulin. Penyebab dari diabetes mellitus ini
belum diketahui secara pasti.6,7
2.3.2 Diabetes Melitus Tipe 2 (DM tipe 2)

Hasil dari gangguan sekresi insulin yang progresif yang menjadi latar belakang terjadinya
resistensi insulin atau ketidakefektifan penggunaan insulin di dalam tubuh.6,7

2.3.3 Diabetes Melitus Gestasional

Intoleransi glukosa yang timbul atau terdeteksi pada kehamilan pertama dan gangguan
toleransi glukosa setelah terminasi kehamilan.6,7

2.3.4 Diabetes Tipe Spesifik Lain

Diabetes tipe ini biasanya terjadi karena adanya gangguan genetik pada fungsi sel beta,
gangguan genetik pada kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas dan dipicu oleh obat atau
bahan kimia (seperti pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ).6,7

2.4 Patogenesis Diabetes Melitus

2.4.1 Patogenesis DM Tipe 1

DM tipe 1 disebut juga sebagai insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM) atau


juvenile diabetes. Dalam kasus ini diperlukan insulin pengganti untuk menjaga kadar gula
darah normal. Kasus ini bisa terjadi pada usia berapa saja namun paling sering terjadi pada
anak-anak dan dewasa muda dengan puncak insiden sebelum usia sekolah dan pubertas. DM
tipe 1 paling sering dimediasi oleh proses autoimun (± 90% kasus), atau oleh penyebab
idiopatik (± 10% kasus) yang menyebabkan destruksi sel-sel beta pankreas. Kecepatan
destruksi sel beta tersebut bervariasi pada masing-masing penderita. Penderita DM tipe 1
memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami ketoasidosis.6,8,9

Pada penyakit ini terjadi kelainan katabolik dimana tidak ada insulin yang
bersirkulasi, glukagon plasma meningkat, dan sel beta pankreas gagal merespon semua
stimuli insulinogenik. Insulin eksogen dapat membalikkan kondisi katabolik, mencegah
ketosis, menurunkan hiperglukagonemia dan menurunkan gula darah. Tipe ini dibagi lagi
menjadi 2 subtipe, yaitu:6,8,9
a. Immune-mediated type 1 diabetes mellitus (type 1A)
Diabetes tipe 1 disebabkan oleh infeksi atau toksin lingkungan yang menyerang orang
dengan sistem imun yang secara genetis merupakan predisposisi untuk terjadinya suatu
respon autoimun yang kuat yang menyerang antigen sel β-pankreas. Faktor ekstrinsik yang
diduga mempengaruhi fungsi sel β-pankreas meliputi kerusakan yang disebabkan oleh
virus, seperti virus penyakit gondok (mumps) dan virus coxsackie B4, oleh agen kimia
yang bersifat toksik, atau oleh sitotoksin perusak dan antibodi yang dirilis oleh imunosit
yang disensitisasi. Gen yang berhubungan dengan lokus HLA berperan dalam 40% dari
risiko genetik tersebut. Gen lain yang berperan dalam 10% risiko genetik pada subtipe ini
telah ditemukan pada region polimorfik 5’ dari gen insulin. Region tersebut
mempengaruhi ekspresi gen insulin pada thymus dan menimbulkan deplesi insulin-specific
T lymphocytes. 16 region genetik lain yang berhubungan dengan penyakit ini juga telah
ditemukan namun peranannya masih belum jelas. Gen-gen HLA yang khusus diduga
meningkatkan kerentanan terhadap virus diabetogenik atau mungkin dikaitkan dengan
gen-gen yang merespon sistem imun tertentu yang menyebabkan terjadinya predisposisi
pada pasien sehingga terjadi respon autoimun terhadap sel-sel pulaunya (pulau-pulau
Langerhans) sendiri atau yang dikenal dengan istilah autoregresi.

Pada fase awal terjadi insulitis (infiltrasi limfositik pada pulau Langerhans), diikuti
oleh apoptosis sel beta. Kebanyakan pasien dengan DM tipe 1 memiliki antibodi terhadap
islet cells (ICA), insulin (IAA), glutamic acid decarboxylase (GAD65), dan tyrosine
phosphatases (IA-2 and IA2-). Deteksi antibodi tersebut telah digunakan untuk screening
adanya penyebab autoimun dari diabetes, terutama pada saudara kandung dari penderita,
dan orang dewasa dengan gambaran atipikal dari DM tipe 2. Kadar antibodi tersebut
menurun seiring dengan peningkatan durasi penyakit dan dengan terapi insulin. Beberapa
pasien dengan gejala DM tipe 1 yang lebih ringan pada awalnya memiliki sel beta dengan
fungsi yang cukup untuk menghindari ketosis, namun seiring dengan menurunnya massa
sel beta, ketergantungan akan insulin akan timbul. Bentuk yang lebih ringan ini disebut
sebagai latent autoimmune diabetes of adulthood (LADA).

b. Idiopathic type 1 diabetes mellitus (type 1B)


Pada kurang dari 10% kasus, tidak ditemukan adanya autoimunitas terhadap sel beta
pankreas yang dapat menjelaskan timbulnya insulinopenia dan ketoasidosis. Grup ini
merupakan minoritas yang kebanyakan berasal dari Asia atau Afrika. Belakangan
terdapat penelitian yang menemukan bahwa sekitar 4% dari orang Afrika Barat yang
menderita diabetes dengan kerentanan terhadap ketosis mengalami mutasi homozigot dari
gen PAX-4 (Arg133trp) yang berperan dalam perkembangan pancreatic islets.
Diabetes tipe 1 merupakan bentuk diabetes parah yang berhubungan dengan
terjadinya ketosis apabila tidak diobati. Diabetes ini muncul ketika pankreas sebagai
pabrik insulin tidak dapat atau kurang mampu memproduksi insulin. Akibatnya, insulin
tubuh kurang atau tidak ada sama sekali. Penurunan jumlah insulin menyebabkan
gangguan jalur metabolik antaranya penurunan glikolisis (pemecahan glukosa menjadi air
dan karbondioksida), peningkatan glikogenesis (pemecahan glikogen menjadi glukosa),
terjadinya glukoneogenesis. Glukoneogenesis merupakan proses pembuatan glukosa dari
asam amino, laktat, dan gliserol yang dilakukan counterregulatory hormone (glukagon,
epinefrin, dan kortisol). Tanpa insulin, sintesis dan pengambilan protein, trigliserida,
asam lemak, dan gliserol dalam sel akan terganggu. Seharusnya terjadi lipogenesis namun
yang terjadi adalah lipolisis yang menghasilkan keton bodies. Glukosa menjadi
menumpuk dalam peredaran darah karena tidak dapat diangkut ke dalam sel. Kadar
glukosa lebih dari 180mg/dl, ginjal tidak dapat mereabsorbsi glukosa dari glomelurus
sehingga timbul glikosuria. Glukosa menarik air dan menyebabkan osmotik diuretik dan
menyebabkan poliuria. Poliuria menyebabkan hilangnya elektrolit lewat urine, terutama
natrium, klorida, kalium, dan fosfat merangsang rasa haus dan peningkatan asupan air
(polidipsi). Sel tubuh kekurangan bahan bakar (cell starvation) pasien merasa lapar dan
peningkatan asupan makanan (polifagia).
Biasanya, diabetes tipe ini sering terjadi pada anak dan remaja tetapi kadang-kadang
juga terjadi pada orang dewasa, khususnya yang non obesitas dan mereka yang berusia
lanjut ketika hiperglikemia tampak pertama kali. Keadaan tersebut merupakan suatu
gangguan katabolisme yang disebabkan karena hampir tidak terdapat insulin dalam
sirkulasi, glukagon plasma meningkat dan sel-sel B pankreas gagal merespon semua
stimulus insulinogenik. Oleh karena itu, diperlukan pemberian insulin eksogen untuk
memperbaiki katabolisme, mencegah ketosis, dan menurunkan hiperglukagonemia dan
peningkatan kadar glukosa darah.

2.4.2 Patogenesis DM Tipe 2


Resistensi insulin pada sel otot dan hati, serta kegagalan sel beta pankreas telah
dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe 2. Hasil penelitian terbaru
telah diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat dari yang
diperkirakan sebelumnya. Organ lain yang juga terlibat pada DM tipe 2 adalah jaringan
lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi inkretin), sel alfa pankreas
(hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin),
yang ikut berperan menyebabkan gangguan toleransi glukosa. Saat ini sudah ditemukan
tiga jalur patogenesis baru dari ominous octet yang memperantarai terjadinya
hiperglikemia pada DM tipe 2. Sebelas organ penting dalam gangguan toleransi glukosa
ini (egregious eleven) perlu dipahami karena dasar patofisiologi ini memberikan konsep:

a. Pengobatan harus ditujukan untuk memperbaiki gangguan patogenesis, bukan


hanya untuk menurunkan HbA1c saja
b. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasarkan pada kinerja obat sesuai
dengan patofisiologi DM tipe 2.
c. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau memperlambat
progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada penyandang gangguan
toleransi glukosa.
Schwartz pada tahun 2016 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, hepar, dan sel beta
pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penyandang DM tipe 2 tetapi
terdapat delapan organ lain yang berperan, disebut sebagai the egregious eleven

Gambar 2. Organ yang Terlibat dalam Patogenesis DM. 6

Secara garis besar patogenesis hiperglikemia disebabkan oleh sebelas hal (egregious eleven)
yaitu:6,8,9

1. Kegagalan sel beta pancreas


Pada saat diagnosis DM tipe 2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat
berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea,
meglitinid, agonis glucagon-like peptide (GLP-1) dan penghambat dipeptidil
peptidase-4 (DPP-4).
2. Disfungsi sel alfa pancreas
Sel alfa pankreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia
dan sudah diketahui sejak 1970. Sel alfa berfungsi pada sintesis glukagon yang dalam
keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini
menyebabkan produksi glukosa hati (hepatic glucose production) dalam keadaan
basal meningkat secara bermakna dibanding individu yang normal. Obat yang
menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi agonis
GLP-1, penghambat DPP-4 dan amilin.

3. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas (free fatty acid (FFA))
dalam plasma. Peningkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan
mencetuskan resistensi insulin di hepar dan otot, sehingga mengganggu sekresi
insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoksisitas. Obat
yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidinedion.

4. Otot
Pada penyandang DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang
multipel di intramioselular, yang diakibatkan oleh gangguan fosforilasi tirosin,
sehingga terjadi gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis
glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah
metformin dan tiazolidinedion.
5. Hepar
Pada penyandang DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh hepar (hepatic
glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin,
yang menekan proses glukoneogenesis.
6. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obese
baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan
mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan
justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang
bekerja di jalur Ini adalah agonis GLP-1, amilin dan bromokriptin.

7. Kolon/Mikrobiota
Perubahan komposisi mikrobiota pada kolon berkontribusi dalam keadaan
hiperglikemia. Mikrobiota usus terbukti berhubungan dengan DM tipe 1, DM tipe 2,
dan obesitas sehingga menjelaskan bahwa hanya sebagian individu berat badan
berlebih akan berkembang DM. Probiotik dan prebiotic diperkirakan sebagai mediator
untuk menangani keadaan hiperglikemia.

8. Usus halus
Glukosa yang ditelan memicu respons insulin jauh lebih besar dibanding kalau
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek inkretin ini diperankan
oleh 2 hormon yaitu glucagon-like polypeptide-1 (GLP-1) dan glucose-dependent
insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide (GIP).
Pada penyandang DM tipe 2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap
hormon GIP. Hormon inkretin juga segera dipecah oleh keberadaan enzim DPP-4,
sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat
kinerja DPP-4 adalah DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga mempunyai peran
dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja enzim alfa glukosidase yang akan
memecah polisakarida menjadi monosakarida, dan kemudian diserap oleh usus
sehingga berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja
untuk menghambat kinerja enzim alfa glukosidase adalah acarbosa.

9. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam patogenesis DM tipe
2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari
glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran enzim sodium glucose co-
transporter (SGLT-2) pada bagian convulated tubulus proksimal, dan 10% sisanya
akan diabsorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga
akhirnya tidak ada glukosa dalam urin. Pada penyandang DM terjadi peningkatan
ekspresi gen SGLT-2, sehingga terjadi peningkatan reabsorbsi glukosa di dalam
tubulus ginjal dan mengakibatkan peningkatan kadar glukosa darah. Obat yang
menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat reabsorbsi kembali glukosa di
tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urin. Obat yang bekerja di
jalur ini adalah penghambar SGLT-2. Dapaglifozin, empaglifozin dan canaglifozin
adalah contoh obatnya.

10. Lambung
Penurunan produksi amilin pada diabetes merupakan konsekuensi kerusakan
sel beta pankreas. Penurunan kadar amilin menyebabkan percepatan pengosongan
lambung dan peningkatan absorpsi glukosa di usus halus, yang berhubungan dengan
peningkatan kadar glukosa postprandial.

11. Sistem Imun


Terdapat bukti bahwa sitokin menginduksi respons fase akut (disebut sebagai
inflamasi derajat rendah, merupakan bagian dari aktivasi sistem imun bawaan/innate)
yang berhubungan kuat dengan patogenesis DM tipe 2 dan berkaitan dengan
komplikasi seperti dislipidemia dan aterosklerosis. Inflamasi sistemik derajat rendah
berperan dalam induksi stres pada endoplasma akibat peningkatan kebutuhan
metabolisme untuk insulin. DM tipe 2 ditandai dengan resistensi insulin perifer dan
penurunan produksi insulin, disertai dengan inflamasi kronik derajat rendah pada
jaringan perifer seperti adiposa, hepar dan otot.
Beberapa dekade terakhir, terbukti bahwa adanya hubungan antara obesitas
dan resistensi insulin terhadap inflamasi. Hal tersebut menggambarkan peran penting
inflamasi terhadap patogenesis DM tipe 2, yang dianggap sebagai kelainan imun
(immune disorder). Kelainan metabolik lain yang berkaitan dengan inflamasi juga
banyak terjadi pada DM tipe 2.
2.5 Manifestasi Klinik Diabetes Melitus
2.5.1 Gejala Khas
a. Poliuria (sering buang air kecil)
Kadar glukosa darah yang tinggi akan menyebabkan banyak kencing. Kencing yang
disertai dan dalam jumlah yang banyak akan mengganggu penderita, terutama pada
malam hari.10
b. Poliphagia (cepat lapar)
Kalori dari makanan yang dimakan, setelah dimetabolismekan menjadi glukosa di
dalam darah tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan. Hal ini menyebabkan penderita
selalu merasa lapar. 10

c. Polydipsia (sering haus)


Rasa haus dapat timbul pada penderita DM karena banyaknya cairan yang keluar
melalui kencing penderita melakukan banyak minum untuk menghilangkan rasa
hausnya. 10
d. Berat badan menurun dan rasa lemah
Penurunan berat badan dan rasa lemah muncul karena glukosa dalam darah tidak
dapat masuk ke dalam sel, sehingga sel kekurangan bahan bakar untuk menghasilkan
tenaga. Hal ini menyebabkan sumber tenaga diambil dari cadangan lain yaitu sel
lemak dan otot. Akibatnya penderita menjadi kehilangan sel lemak dan otot sehingga
menjadi kurus. 10
2.5.2 Gejala Lain
a. Gatal/bisul
Gatal-gatal biasanya terjadi di daerah kemaluan atau daerah lipatan kulit seperti
ketiak dan di bawah payudara. Sering dikeluhkan timbulnya bisul dan luka yang
lama sembuhnya. 10
b. Mata kabur
Penyakit diabetes penderita sering mengalami gangguan penglihatan. Hal ini
mendorong penderita untuk mengganti kacamatanya erulang kali agar tetap dapat
melihat dengan baik. 10
c. Kesemutan
Penderita mengeluh rasa sakit atau kesemutan pada kaki. Gejala ini sering
dikeluhkan pada waktu malam hari, sehingga mengganggu tidur. 10

2.6 Faktor Risiko Diabetes Melitus


2.6.1. Genetik
Sampai sekarang, gen yang berhubungan dengan risiko terjadinya DM belum dapat
diidentifikasi secara pasti. Adanya perbedaan yang nyata kejadian DM antara etnik yang
berbeda meskipun hidup dilingkungan yang sama menunjukkan adanya kontribusi gen
yang bermakna dalam terjadinya DM.11 Gen penyebab diabetes melitus akan dibawa
oleh anak jika orang tuanya menderita diabetes melitus. Beberapa penelitian dilakukan
bahwa orang yang memiliki riwayat diabetes melitus lebih berisiko. Risiko akan
meningat dua sampai enam kali lipat jika orang tua atau saudara kandung mengalami
penyakit ini. Sekitar 50% pasien diabetes melitus tipe 1 mempunyai orang tua yang juga
menderita diabetes melitus, dan lebih dari sepertiga pasien mempunyai saudara yang
juga menderita diabetes, sehingga faktor genetik berperan penting.12,13

2.6.2. Usia
Prevalensi DM meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Dalam decade terakhir
ini, usia terjadinya DM semakin muda terutama di negara-negara dimana telah terjadi
ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran energi.11 Penelitian terbaru menunjukkan
bahwa individu pada usia muda juga berisiko terkena diabetes melitus. Usia rata-rata
diagnosis yang ditemukan adalah pada usia 14 tahun kemungkinan besar dipicu oleh
resistensi insulin pubertas secara fisiologis tetapi yang memperberat adalah masalah
obesitas dan pola gaya hidup. Studi cross-sectional dan longitudinal menunjukkan
bahwa sensitivitas insulin menurun 25 – 30% sebagai transisi remaja dari prapubertas ke
pubertas.14

2.6.3. Riwayat keluarga dengan diabetes miletus


Risiko seorang anak mendapat diabetes melitus adalah 15% bila salah satu orang
tuanya menderita diabetes melitus dan kemungkinan 75% bila kedua orang tua
menderita diabetes melitus. Risiko mendapatkan diabetes melitus dari ibu lebih besar
10-30% daripada ayah dengan diabetes melitus. Hal ini dikarenakan penurunan gen
sewaktu dalam kandungan lebih besar dari ibu. Pada umumnya jika seseorang menderita
diabetes miletus maka saudara kandungnya mempunyai risiko sebesar 10%.15,16

2.6.4. Diabetes Gestational


Pada Diabetes Gestational, toleransi glukosa biasanya kembali normal setelah
melahirkan, akan tetapi wanita tersebut memiliki risiko untuk menderita DM
dikemudian hari.11 Pada wanita yang sedang hamil terjadi ketidakseimbangan hormonal,
progesteron tinggi, sehingga meningkatkan sistem kerja tubuh untuk merasang sel-sel
berkembang (termasuk pada janin), tubuh akan memberikan sinyal lapar dan pada
puncaknya menyebabkan sistem metabolisme tubuh tidak bisa menerima langsung
asupan kalori dan menggunakannya secara total sehingga terjadi peningkatan kadar gula
darah saat kehamilan. Toleransi glukosa biasannya kembali normal setelah melahirkan,
akan tetapi wanita tersebut dapat memiliki risiko diabetes melitus di kemudian hari.17

2.6.5. Riwayat lahir dengan berat badan lahir rendah


Seseorang dikatakan memiliki riwayat lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR)
apabila seseorang ketika lahir dengan berat badan <2500 gram. Seseorang yang lahir
dengan BBLR dimungkinkan memiliki kerusakan pankreas sehingga kemampuan
pankreas untuk memproduksi insulin akan terganggu.16,18

2.6.6. Obesitas
Obesitas adalah faktor risiko yang paling penting. Beberapa penelitian longitudinal
menunjukkan bahwa obesitas merupakan prediktor yang kuat untuk timbulnya DMT2.
Lebih lanjut, intervensi yang bertujuan mengurangi obesitas juga mengurangi insidensi
DMT2. Berbagi studi longitudinal juga menunjukkan bahwa ukuran lingkar pinggang
atau rasio pinggang pinggul yang mencermikan keadaan lemak visceral, merupakan
indikator yang lebih baik dibandingkan indeks massa tubuh sebagai factor risiko
prediabetes. Data tersebut memastikan bahwa distribusi lemak lebih penting disbanding
jumlah total lemak.11

2.6.7 Aktivitas Jasmani


Dalam decade akhir ini,berkurangnya intensitas aktivitas jasmani diberbagai populasi
memberikan kontribusi yang besar terhadap peningkatan obesitas di dunia. Berbagai
penelitian potong lintang maupun longitudinal menunjukkan bahwa kurangnya aktivitas
fisik merupakan predictor bebas terjadinya DMT2 pada pria/ wanita. 11 Perilaku high
sedentary time seperti menonton televisi dikaitkan dengan aktivitas fisikal yang tidak
aktif yang sering kali ditemukan pada individu dengan IMT yang tinggi sekali gus
menjadi faktor risiko terjadinya diabetes melitus. WHO merekomendasikan untuk
melakukan aktivitas fisik sedang selama 30 menit/hari dalam satu minggu atau 20
menit/hari selama 5 hari dalam satu minggu dengan intensitas berat.16.,19-21

2.6.8 8. Dislipidemia
Dislipidemia adalah gangguan profil lipid yang ditandai oleh penurunan kolesterol
HDL dan atau peningkatan kadar trigliserida. Dislipidemia menyebabkan meningkatnya
asam lemak bebas (free fatty acid) sehingga terjadi lipotoksisity sehingga terjadi
kerusakan sel beta yang ahkirnya mengakibatkan diabetes melitus. Dislipidemia pada
diabetisi lebih meningkatakan risiko timbulnya penyakit kardiovaskuler. Pemeriksaan
profil lipid perlu dilakukan pada saat diagnosis diabetes melitus ditegakkan, setidaknya
dilakukan setahun sekali dan bila perlu dapat dilakukan lebih sering.15

2.6.9. 9. Diet tidak seimbang


Konsumsi makanan yang tidak seimbang, tinggi gula dan rendah serat akan
menyebabkan insulin resisten sehingga terjadi hyperinsulinemia, terjadi mekanisme
kompensasi tubuh agar glukosa darah normal, tetapi tidak dapat diatasi sehingga terjadi
gangguan toleransi glukosa yang mengakibatkan kerusakan sel beta dan terjadilah
diabetes melitus. Gizi seimbang yang dianjurkan dengan komposisi energi yang
dihasilkan yaitu karbohidra t= 45-65%, protein = 10-20% dan lemak = 20-25%.15
Diet pemakanan yang dikaitkan dengan risiko terjadinya diabetes melitus seperti daging
olahan, produk gandum utuh, pola makan sehat, minuman manis dan diet zat besi.
Peningkatan konsumsi daging olahan dan minuman manis dikaitkan dengan faktor gaya
hidup tidak sehat lainnya seperti ketidakaktifan fisik dan peningkatan BMI. Hubungan
antara diet zat besi dan diabetes dapat dijelaskan dengan fakta bahwa daging merah
adalah sumber utama zat besi.19
Konsumsi produk gandum utuh yang tinggi merupakan salah satu faktor protektif
diabetes melitus. Produk gandum utuh memiliki konsentrasi serat yang tinggi yang
menunda pengosongan lambung, sehingga memperlambat pelepasan glukosa ke dalam
sirkulasi darah. Hal ini menyebabkan respons insulin postpandrial berkurang dan dapat
meningkatkan sensitivitas insulin.19

2.6.10. Merokok
Nikotin yang terdapat pada asap rokok memiliki pengaruh terhadap terjadinya
diabetes melitus tipe 2. Pengaruh nikotin terhadap insulin di antaranya menyebabkan
penurunan pelepasan insulin akibat aktivasi hormon katekolamin, pengaruh negatif pada
kerja insulin, gangguan pada sel β pankreas dan perkembangan ke arah resistensi insulin.
Mekanisme– mekanisme potensial lain akibat paparan rokok seperti paparan rokok pada
ibu hamil dan menyusui juga memiliki peran terjadinya perkembangan resistensi insulin.
Berhenti merokok pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang merokok adalah salah satu
cara untuk memperbaiki kontrol gula darah dan perkembangan penyakit.22
Kebiasaan merokok dapat meningkatkan radikal bebas yang dapat merusak sel beta di
pankreas di dalam tubuh. Kerusakan sel beta di pankreas ini dapat mengakibatkan
resistensi insulinMerokok telah terbukti dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi
glukosa darah dan dapat meningkatkan resistensi insulin. Seperti dikemukakan oleh
Frati dkk merokok secara akut dapat menyebabkan toleransi glukosa terganggu dan
menurunkan sensitivitas insulin. Nikotin yang terdapat dalam rokok dapat menyebar di
dalam darah akan mempengaruhi seluruh kerja organ tubuh. Darah yang teracuni oleh
nikotin akan menyebabkan sensitivitas insulin terganggu.23-24

2.6.11. Pola Tidur


Seseorang yang tidur kurang dari enam jam semalam tidak bisa mengatur kadar gula
darah secara efisien, sehingga meningkatkan risiko diabetes dan penyakit jantung.
Kurang tidur akan meningkatkan kerja hormon adrenalin dan dapat meningkatkan
jumlah glukosa darah. Tidur dengan durasi singkat meningkatkan hormon perangsang
nafsu makan ghrelin sampai 28% sehingga berefek pada perilaku makan. Kurang tidur
merangsang dapat merangsang hormon dalam darah yang memicu rasa lapar. Rasa lapar
ini membuat seseorang mengalami menyantap makanan berkalori tinggi yang membuat
kadar gula darah naik. 25

2.6.12. Stress
Reaksi stres dapat bersifat positif maupun negatif. Reaksi stres yang bersifat positif
seperti melakukan latihan jasmani sewaktu berolahraga, atau memacu seseorang untuk
berusaha dengan lebih baik. Sedangkan reaksi negatif yang bersifat fisik seperti jantung
berdebar-debar, otot-otot tegang, sakit kepala, diare, gangguan makan. Reaksi stres yang
bersifat negatif berpengaruh terhadap kondisi kesehatan jasmani dan kejiwaan. Pada
orang dengan keadaan stres mempunyai risiko menderita diabetes lebih tinggi
dibandingkan orang yang tidak dalam keadaan stres. Hal ini terjadi jika orang yang
dengan keadaan stres memberikan reaksi negatif yaitu seseorang mengalami gangguan
secara emosional, makan yang tidak terkendali, jarang atau tidak berolahraga, dan tubuh
memproduksi hormon yang dapat menghambat kerja insulin yang dapat mengakibatkan
kadar gula darah meningkat.
Pada saat stres, tubuh akan meningkatkan produksi hormon epinephrine dan kortisol
supaya gula darah naik dan ada cadangan energi untuk melakukan aktivitas. Tetapi,
kadar gula terus terus dipicu tinggi karena stres yang berkepanjangan, akan
meningkatkan risiko untuk terjadinya diabetes. Para ahli dari Karolinska Institute
Swedia menemukan, pria yang memiliki tingkat stres psikologisnya tinggi tercatat
memiliki risiko dua kali lipat menderita diabetes tipe-2 dibandingkan mereka yang
tingkat stres psikologisnya rendah. Seperti yang dimuat dalam jurnal Diabetic Medicine,
pria dengan tingkat stres psikologisnya paling tinggi tercatat hingga 2,2 kali lipat
memiliki kemungkinan atau risiko mengidap diabetes daripada yang tingkatnya
rendah.26,27,28

2.6.13.Konsumsi Alkohol
Alkohol yang masuk ke dalam tubuh akan dipecah menjadi asetat yang dapat
menyebabkan proses pembakaran kalori dari lemak dan gula terhambat dan akhirnya
berat badan susah berkurang. Studi terkini menyebutkan kebiasaan minum alkohol
berhubungan dengan peningkatan ukuran lingkar pinggang, bahkan mengonsumsi
alkohol dalam jumlah sedikit sekalipun dapat memperlebar bagian perut. Alkohol juga
dapat mempengaruhi kelenjar endokrin dengan melepas epinefrin yang mengarah
kepada hiperglicemia transient dan hiperlipidemia sebagai konsumsi alkohol
kontraindikasi dengan diabetes.19,23
Risiko terjadinya diabetes melitus tipe 2 meningkat ketika konsumsi bir harian lebih
besar dari 80 g. Terutama, jumlah alkohol yang berat menunjukkan efek diabetogenik
langsung dengan kontribusinya terhadap asupan kalori berlebih dan obesitas, induksi
pankreatitis, gangguan metabolisme karbohidrat, glukosa dan gangguan fungsi hati,
yang mempengaruhi kadar glukosa darah, yang menyebabkan hipoglikemia. Pada pasien
diabetes melitus tipe 2, peningkatan resistensi insulin pada jaringan metabolisme utama,
seperti otot rangka, hati dan jaringan adiposa, ditambah dengan berkurangnya sekresi
insulin yang disebabkan oleh gangguan fungsi sel β di pankreas Respon terganggu
terhadap insulin dan β-cell dalam pengaturan resistensi insulin terkait alkohol, oleh
karena itu, sangat penting dalam mendefinisikan risiko dan perkembangan diabetes
melitus tipe 2.29

2.7 Diagnosis Diabetes Melitus


Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan
glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan
bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkanatas dasar adanya glukosuria
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu
dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:6
 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan
yang tidakdapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM digolongkan
ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi toleransi glukosa terganggu (TGT) dan
glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
 Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasilpemeriksaan glukosa plasma
puasa antara 100 -125mg/dL dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam
<140 mg/dL;
 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaanglukosa plasma 2 -jam
setelah TTGO antara 140 -199mg/dL danglukosa plasma puasa<100 mg/dL;
 Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
 Diagnosis prediabetes dapatjuga ditegakkan berdasarkanhasil pemeriksaan
HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

Pemeriksaan penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus Tipe 2


(DM tipe 2) dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan gejala
klasik DM (B) yaitu:6
1. Kelompok dengan berat badan lebih Indeks Massa Tubuh(IMT) 2 23 kg/m]
yang disertai dengan satu atau lebih factor risiko sebagai berikut:
a. Aktivitas fisik yang kurang.
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga)
c. Kelompok ras/etis tertentu.
d. Perempuanyang memilikiriwayat melahirkan bayi dengan BBL>4 kg atau
mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional (DMG).
e. Hipertensi (TD 140/90 mmHgatau sedang mendapat terapiuntuk
hipertensi).
f. HDL<35mg/dLdan atau trigliserida>250mg/dL.
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.
2. Usia >45tahun tanpa faktor risiko di atas.
Catatan:
Kelompok risiko tingi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal
sebaikya di ulang setiap tahun (E) kecuali pada kelompok prediabetes
pemeriksaan diulang tiap 1 tahun (8).
Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas
pemeriksaan TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler diperbolehkan untuk patokan diagnosis
DM.6
2.8 Penatalaksanaan Diabetes Melitus
2.8.1 NonMedikaMentosa
Tujuan penatalaksanan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang
diabetes Tujuan penatalaksanan meliputi:
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas hidup, dan
mengurangi risiko komplikasiakut
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan
darah, berat badan, dan profl lipid, melalui pengelaan pasien secara komprehensif.6
Penatalaksanaan umum meliputi anamnesis mengenai riwayat penyakit, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium, dan penapisan komplikasi. Penatalaksanaan khusus
dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat yaitu terapi nutrisi medis dan aktivitas
fisik bersamaan dengan intervensi radiologis dengan obat anti hiperglikemia oral atau
suntikan. Obat anti hiperglikemia oral dapat diberikan tunggal atau kombinasi.30
Terapi nutrisi medis (TNM) merupakan bagian penting dalam tatalaksana diabetes.
Penyandang DM perlu diedukasi mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis,
dan jumlah kalori, terutama pada mereka yang menggunakan obat yang meningkatkan
sekresi insulin atau insulin itu sendiri. Komposisi karbohidrat adalah 45-65% dari
kebutuhan total sehari dan dianjurkan karbohidrat berserat tinggi. Konsumsi lemak
dengan komposisi 20-25% dengan kriteria lemak jenuh tidak lebih dari 7% dari total
lemak, lemak tidak jenuh ganda kurang dari 10%, dan selebihnya dari lemak tidak jenuh
tunggal. Konsumsi kolesterol per hari kurang dari 200 mg. Konsumsi protein 10-20%
dari total kalori per hari. Pasien dengan nefropati diabetik hanya boleh mengonsumsi 0,8
g/kgbb/hari atau 10% dari kebutuhan energi total dimana 65% di antaranya bernilai
biologik tinggi, kecuali pada pasien nefropati diabetik yang menjalani hemodialisis
asupan protein menjadi 1-1,2gram/kgbb/hari. Asupan natrium sama dengan orang
normal yaitu <2300 mg/hari. Asupan serat 20-35 gram perhari yang berasal dari
berbagai sumber makanan.23
Aktivitas fisik yang dianjurkan adalah 3-5 kali seminggu dengan 30-45 menit dengan
total 150 menit per minggu. Jeda antar latihan tidak lebih dari dua hari berturut-turut.
Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan kadar glukosa terlebih dahulu. Apabila
<100mg/dL, dianjurkan untuk makan terlebih dahulu, dan apabila >250mg/dL,
sebaiknya olahraga ditunda terlebih dahulu. Latihan jasmani selain meningkatkan
kebugaran juga meningkatkan sensitivitas insulin. Latihan yang dianjurkan adalah
latihan aerobik dengan intensitas sedang (50-70% denyut nadi maksimal) seperti jalan
cepat, joging, atau berenang. Denyut jantung maksimal dihitung dengan 220 dikurangi
umur pasien.25

2.8.2. Medikamentosa

1. Insulin

Insulin tersedia dalam tiga bentuk: short acting, intermediate acting, atau long
acting, umumnya pasien IDDM memerlukan sedikitnya dosis 2 kali sehari, biasanya
diberikan sebelum makan pagi atau sebelum makan malam, dan biasanya diberikan
keduanya yaitu short dan intermediate acting insulin. Jadwal lainya tiga kali suntikan
sehari, short dan intermediate acting pada pagi hari, short acting sebelum makan malam,
dan intermediate acting pada waktu mau tidur. Insulin memerlukan tanggung jawab
penuh dari pasien atau keluarganya untuk memantau gula darah yang tepat dan
pemberian insulin, dan tindakan ini membawa resiko terbesar untuk terjadinya
hipoglikemia dan perkembangan obesitas.30,31,32

2. OHO (Obat Hipoglikemik Oral)


Obat hipoglisemik oral hanya digunakan untuk mengobati beberapa individu
dengan Diabetes Melitus tipe 2. Obat-obat ini menstimulasi pelepasan insulin dari sel
beta pankreas atau pengambilan glukosa oleh jaringan perifer.30,31,32

2.9 Pencegahan Diabetes Melitus


Pencegahan diabetes mellitus baik pada tipe 1 dan tipe 2 pada dasarnya sama tetapi dm
tipe 1 lebih kearah genetik dan terjadi pada masa anak – anak sehingga pencegahan lebih
di fokuskan terhadap diabetes tipe2. Pencegahan diabetes dapat di bagi 3 pencegahan
primer, sekunder, tersier.33
1. Pencegahan primer

Pencegahan primer adalah upaya yang di tujukanpada kelompok yang memiliki


faktor resiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi berpotensi untuk mendapat
DM dan kelompok intoleransi glukosa. Pencegahan primer dilakukan dengan
tindakan penyuluhan dan pengelolaan yang ditujukan pada kelompok masyarakat
yang memiliki resiko tinggi dan intoleransi glukosa.34,35

Materi penyuluhan meliputi:


a. Program penurunan berat badan
 Diet sehat
 Jumlah asupan kalori ditujukan untuk mencapai berat badan ideal
 Komposisi diet sehat mengandung sedikit lemak jenuh dan tinggi serat larut
b. Latihan jasmani
c. Menghentikan kebiasaan merokok
d. Pada kelompok dengan resiko tinggi di perlukan intervensi farmakologi
2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya untuk mencegah atau menghambat
timbulnya penyulit pada pasien yang terdiagnosa DM. Tindakan pencegahan sekunder
dilakukan dengan pengendalian kadar glukosa sesuai dengan target terapi serta
pengendalian faktor risiko penyulit yang lain dengan pemberian obat yang optimal.
Melakukan deteksi dini adanya penyulit merupakan bagian dari pencegahan sekunder.
Tindakan ini dilakukan sejak awal pengelolaan penyakit DM. program penyuluhan
memegang peran penting untuk meningkatan kepatuhan pasien dalam menjalani
program pengobatan sehingga mencapai target terapi yang di harapkan. Penyuluhan
sebaiknya dilakukan sejak pada pertemuan pertama.33,35
3. Pencegahan tersier
Pencegahan tersier di tujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah
mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut serta
meningkatkan kualitas hidup. Upaya rehabilitasi medis pada pasien dilakukan sedini
mungkin, sebelum kecacatan menjadi menetap. Pada upaya pencegahan tersier tetap
dilakukan penyuluhan kepada pasien dan keluarga. Materi penyuluhan termasuk
upaya rehabilitasi medik yang dapat dilakukan untuk mencapai kualitas hidup yang
maksimal dan optimal.33,35
Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan komprehensif dan
terintergrasi antar displin yang terkait, terutama di rumah sakit rujukan. Kerjasama
yang baik antar para ahli di berbagai displin sangat di perlukan dalam menunjang
keberhasilan pencegahan tersier.33,34

2.10 Komplikasi Diabetes Melitus


2.10.1 Kaki Diabetes
Setiap pasien dengan diabetes perlu dilakukan pemeriksaan komprehensif kaki
minimal setiap satu tahun meliputi inspeksi, perabaan pulsasi arteri dorsalis pedis dan
tibialis posterior, dan pemeriksaan neuropati sensorik.33
Deteksi dini kelainan kaki pada penyandang diabetes dapat dilakukan dengan
penilaian karakteristik:33
• Kulit kaku yang kering, bersisik, dan retak-retak serta kaku
• Rambut kaki yang menipis
• Kelainan bentuk dan warna kuku (kuku yang menebal, rapuh, ingrowing nail).
• Kalus (mata ikan) terutama di bagian telapak kaki.
• Perubahan bentuk jari-jari dan telapak kaki dan tulang-tulang kaki yang menonjol.
• Bekas luka atau riwayat amputasi jari-jari
• Kaki baal, kesemutan, atau tidak terasa nyeri.
• Kaki yang terasa dingin
• Perubahan warna kulit kaki (kemerahan, kebiruan, atau kehitaman).

Kaki diabetik dengan ulkus merupakan komplikasi diabetes yang sering terjadi.
Ulkus kaki diabetik adalah luka kronik pada daerah di bawah pergelangan kaki, yang
meningkatkan morbiditas, mortalitas, dan mengurangi kualitas hidup pasien. Ulkus
kaki diabetik disebabkan oleh proses neuropati perifer, penyakit arteri perifer
(peripheral arterial disease), ataupun kombinasi keduanya.33,34
Pemeriksaan neuropati sensorik menggunakan monofilamen Semmes-Weinstein 10
g ditambah salah satu dari pemeriksaan garpu tala frekuensi 128 Hz, tes refleks tumit
dengan palu refleks, tes pinprick dengan jarum, atau tes ambang batas persepsi
getaran dengan biotensiometer.33,34
Kaki diabetes dapat dibagi menjadi berbagai kelompok, yaitu:34

1. Kaki diabetes tanpa ulkus


Penyandang kaki diabetes tanpa ulkus perlu mendapatkan edukasi untuk
mencegah munculnya masalah-masalah kaki diabetes lebih lanjut. Beberapa poin
edukasi tersebut antara lain adalah:
 Hindari berjalan tanpa alas kaki di dalam ataupun luar ruangan
 Hindari penggunaan sepatu tanpa kaus kaki.
 Tidak disarankan penggunaan zat kimia ataupun plasters untuk membuang kalus.
 Inspeksi dan palpasi harian perlu dilakukan pada bagian dalam sepatu. Jangan
menggunakan sepatu ketat atau dengan tepi tajam.
 Penggunaan minyak dan krim pelembab dapat diberikan pada kulit kering, tetapi
tidak pada sela-sela jari kaki.
 Penggantian kaus kaki setiap hari.
 Hindari penggunaan kaus kaki yang ketat atau setinggi lutut.
 Kuku kaki dipotong tegak lurus.
 Kalus dan kulit yang menonjol harus dipotong di layanan kesehatan,
 Kewaspadaan pasien untuk memastikan kaki diperiksa secara teratur oleh
penyedia layanan kesehatan.
 Memberitahukan penyedia layanan kesehatan apabil terdapat luka pada kaki.

2. Kaki diabetes dengan ulkus


Infeksi pada kaki diabetes merupakan komplikasi yang sering terjadi dan dapat
memperberat perjalanan penyakit. Klasifikasi kaki diabetes dengan ulkus dapat
dilakukan dengan menggunakan kereteria Wagner atau PEDIS.6,30
Tabel 1. Klasifikasi Kaki Diabete dengan Ulkus (Wagner).6

Tabel 2. Klasifikasi PEDIS pada Ulkus Diabetik. 6

Pengawasan perbaikan luka dengan infeksi dapat dilakukan dengan penilaian


karakteristik ulkus yaitu ukuran, kedalaman, penampakan, dan lokasi. Ukuran luka
dapat dinilai dengan teknik planimetri.34

Klasifikasi infeksi pada kaki diabetes dapat ditentukan tanpa pemeriksaan penunjang,
yaitu berdasarkan manifestasi klinis, yakni :6,33,34
Tabel 3. Derajat Infeksi pada Kaki Diabetes.6

Penatalaksanaan kaki diabetik dengan ulkus harus dilakukan sesegera mungkin.


Komponen penting dalam manajemen kaki diabetik dengan ulkus adalah:33,35
 Kendali metabolik (metabolic control):
Pengendalian keadaan metabolik sebaik mungkin seperti pengendalian kadar
glukosa darah, lipid, albumin, hemoglobin dan sebagainya.
 Kendali vaskular (vascular control):
Perbaikan asupan vaskular (dengan operasi atau angioplasti), biasanya
dibutuhkan pada keadaan ulkus iskemik.
 Kendali infeksi (infection control):
Pengobatan infeksi harus diberikan secara agresif jika terlihat tanda-tanda
klinis infeksi. Kolonisasi pertumbuhan organisme pada hasil usap, namun
tidak disertai tanda-tanda klinis, bukan merupakan infeksi.
 Kendali luka (wound control):
Pembuangan jaringan terinfeksi dan nekrosis secara teratur. Perawatan lokal
pada luka, termasuk kontrol infeksi, dengan konsep TIME:

 Tissue debridement (membersihkan luka dari jaringan mati)


 Inflammation and Infection Control (kontrol inflamasi dan infeksi)
 Moisture Balance (menjaga keseimbangan kelembaban)
 Epithelial edge advancement (mendekatkan tepi epitel)
 Kendali tekanan (pressure control):
Mengurangi tekanan karena tekanan yang berulang dapat menyebabkan ulkus,
sehingga harus dihindari. Hal itu sangat penting dilakukan pada ulkus
neuropatik. Pembuangan kalus dan memakai sepatu dengan ukuran yang
sesuai diperlukan untuk mengurangi tekanan.
 Penyuluhan (education control):
Penyuluhan yang baik. Seluruh pasien dengan diabetes perlu diberikan edukasi
mengenai perawatan kaki secara mandiri.

2.10.2 Diabetes dengan Penyakit Pembuluh Darah Perifer (Peripheral Arterial


Disease/ PAD)

Penyakit pembuluh darah perifer merupakan penyakit penyempitan


pembuluh darah perifer terutama pada kaki, yang sebagian besar disebabkan
oleh proses aterosklerosis. Faktor-faktor risiko utama terjadinya PAD antara
lain: usia, jenis kelamin laki-laki, merokok, dislipidemia, hipertensi, diabetes
melitus.35
Gejala PAD pada kaki antara lain:35
 Klaudikasio intermiten (claudicatio intermitent), yaitu nyeri yang terjadi pada
saat latihan fisik dan hilang pada saat istirahat.
 Penyembuhan luka di kaki yang lama.
 Suhu kaki menurun.
 Jumlah bulu pada kaki menurun.
 Pulsasi kaki menurun (arteri femoralis, arteri popliteal, arteri tibialis posterior
dan arteri dorsalis pedis).
Diagnosis PAD ditegakkan dengan pemeriksaan ankle brachial index
(ABI), yaitu rasio tekanan darah sistolik antara arteri dorsalis pedis/tibialis
posterior dengan tekanan sistolik tertinggi antara arteri brachialis kiri dan
kanan. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan handheld
ultrasound.Penilaian hasil ABI adalah:
Penilaian Hasil Pemeriksaan Ankle Brachial Index
Tabel 4. Skor ABI.6

Pasien dengan PAD sebaiknya dievaluasi mengenai riwayat klaudikasio dan


pemeriksaan pulsasi pedis. Perlu dipertimbangkan pemeriksaan ABI karena banyak
pasien PAD adalah asimtomatik. Pemeriksaan PAD dapat dilakukan di pusat dengan
sarana memadai untuk pemeriksaan USG doppler dupleks dan angiografi.36,37
Terapi pada pasien dengan PAD selain dengan menggunakan medikamentosa,
juga dapat dilakukan tindakan revaskularisasi. Tindakan revaskularisasi adalah suatu
tindakan untuk membuka pembuluh darah arteri yang tersumbat, dengan melalui
intervensi endovaskular atau teknik bedah terbuka (bypass surgery). Pasien PAD
dengan infeksi umumnya memiliki prognosis buruk sehingga perlu dilakukan terapi
infeksi sebelum dilakukan tindakan revaskularisasi.34,35

2.10.3. 3.Critical limb ischemia (CLI)

Keadaan critical limb ischemia (CLI) adalah penyumbatan berat pada arteri di
daerah ekstremitas bawah, yang ditandai dengan berkurangnya aliran darah di daerah
tersebut. Keadaan ini lebih serius dari PAD, karena merupakan kondisi kronik yang
sangat parah pada kaki, sehingga pasien tetap mengeluh nyeri walaupun dalam
keadaan istirahat.

Gejala yang paling sering pada CLI adalah ischemic rest pain, yaitu nyeri yang
hebat pada tungkai bawah dan kaki ketika seseorang tidak bergerak atau luka yang
tidak membaik pada tungkai bawah atau kaki, akibat iskemia.

1. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan pulsasi nadi pada tungkai bawah atau
kaki.
2. Infeksi dapat terjadi berupa luka yang terbuka, infeksi kulit dan ulkus yang tidak
membaik, maupun gangren kering (dry gangrene) dan terlihat kulit yang berwarna
hitam pada tungkai bawah atau kaki.
3. Kriteria diagnosis CLI :
 Nyeri istirahat kronik (Chronic rest pain)
 Tissue loss :
a. Ulkus
b. Gangren
 ABI 0,4
 Ankle systolic pressure 0,5 mmHg

Pasien dengan diagnosis CLI direkomendasikan untuk mendapatkan tindakan


revaskularisasi segera untuk mempertahankan jaringan yang terkena. Pada pasien CLI
dengan infeksi kaki, perlu pemberian antibiotik terlebih dahulu untuk penanganan
infeksi sebelum melakukan revaskularisasi.

2.10.4. 4. Acute limb ischemia (ALI)

1. ALI merupakan suatu keadaan kegawatdaruratan pada ekstremitas, yang


terjadi secara mendadak.
2. Keadaan ALI dapat disebabkan oleh adanya trombus atau emboli yang
menyumbat peredaran darah di esktremitas.
3. Onset ALI adalah kurang dari 2 minggu.
4. Terdapat istilah “6 P” yang didefinisikan sebagai gejala dan tanda klinis
kondisi membahayakan esktremitas terkait :34,35
 Pain
 Pulselessness
 Pallor
 Paresthesia
 Paralysis
 Polar (suhu)

2.10.5. Diabetes dengan Nefropati Diabetik

1. Nefropati diabetik merupakan penyebab paling utama dari Gagal Ginjal


Stadium Akhir.
2. Sekitar 20 – 40% penyandang diabetes akan mengalami nefropati diabetik.
3. Didapatkannya albuminuria persisten pada kisaran 30 – 299 mg/24 jam
merupakan tanda dini nefropati diabetik pada DM tipe 2
4. Pasien yang disertai dengan albuminuria persisten pada kadar 30 – 299 mg/24
jam dan berubah menjadi albuminuria persisten pada kadar ≥ 300 mg/24 jam
sering berlanjut menjadi gagal ginjal kronik stadium akhir
5. Diagnosis nefropati diabetik ditegakkan jika didapatkan kadar albumin > 30
mg dalam urin 24 jam pada 2 dari 3 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 – 6
bulan, tanpa penyebab albuminuria lainnya.
6. Klasifikasi nefropati diabetik tidak lagi menggunakan
istilah‘mikroalbuminuria’ dan ‘makroalbuminuria’ tetapi albuminuria saja.
Nefropati diabetik dibagi atas albuminuria persisten pada level 30 – 299
mg/24 jam dan albuminuria persisten pada level ≥ 300mg/24 jam.

2.10.6. Diabetes dengan Retinopati Diabetik


1. Retinopati diabetes adalah komplikasi mikrovaskular yang paling umum dan
paling berpotensi sebagai penyebab kebutaan.
2. Komplikasi mata pada penyandang diabetes lebih sering terjadi, seperti
kelainan kornea, glaukoma, neovas-kularisasi iris dan katarak.
3. Gejala retinopati diabetes antara lain floaters, pandangan kabur, distorsi, dan
kehilangan ketajaman visual progresif (progressive visual acuity loss).
4. Tanda-tanda retinopati diabetes antara lain pembentukan mikroaneurisma,
perdarahan berbentuk api (flame shaped hemorrhages), edema retina dan
eksudat, cotton-wool spot, venous loops dan venous beading, kelainan
mikrovaskular intraretina dan makular edema.
5. Metode pemeriksaan pada retinopati diabetes menggunakan imaging study,
antara lain angiografi fluoresen, optical coherence tomography scanning dan
ultrasonografi B-scan.
6. Penyandang DM tipe memerlukan pemeriksaan mata komprehensif oleh
spesialis mata segera setelah diagnosis ditegakkan.

Retinopati diabetes dapat dibagi atas 2 jenis, yaitu:35

1. Retinopati diabetes nonproliferatif


 Ringan: diindikasikan dengan setidaknya terdapat 1 mikroaneurisma
 Sedang: adanya perdarahan, mikroaneurisma, dan eksudat
 Berat: dikarakterkan dengan perdarahan dan mikroaneurisma pada 4
kuadran, dengan venous beading setidaknya pada 2 kuadran serta kelainan
mikrovaskular intraretinal setidaknya pada 1 kuadran (4-2-1).
2. Retinopati diabetes proliferative
Terdapat gambaran neovaskularisasi, perdarahan preretina, perdarahan dalam
vitreous, proliferasi jaringan fibrovaskular, traction retinal detachments, dan
makular edema.

2.11 Pengetahuan

2.11.1 Definisi Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil “tahu” dan ini dapat terjadi setelah seseorang mengadakan
penginderaan terhadap suatu objek. Penginderaan tersebu dapat terjadi melalui penglihatan,
pendengaran, penciuman rasa, dan raba dengan sendiri.38

Pengetahuan dapat berkembang menjadi ilmu apabila memenuhi beberapa kriteria


sebagai berikut:39

a. Mempunyai objek kajian.


b. Metode pendekatan.
c. Disusun secara sistematis.
d. Bersifat universal (mendapat pengakuan secara umum).

2.11.2 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Pengetahuan tentang Faktor Risiko


Diabetes Melitus
2.11.2.1 Jenis Kelamin
Jenis kelamin pada karakteristik biologis yang mendefinisikan manusia sebagai
wanita atau pria. Konsep jenis kelamin juga mencakup harapan yang dimiliki tentang
karakteristik, bakat, dan kemungkinan perilaku perempuan dan laki-laki (feminitas dan
maskulinitas). Jenis kelamin menggambarkan perbedaan biologis antara pria dan
wanita, yang bersifat universal dan ditentukan saat lahir.34 Terdapat perbedaan
pencarian informasi menggunakan internet antar gender. Pada laki-laki lebih banyak
menggunakan internet untuk memperoleh informasi seperti membaca berita, olahraga,
dan cuaca. Sedangkan perempuan lebih banyak menggunakannya untuk email dan
memperoleh informasi kesehatan dan agama. Hal ini juga menunjukkan minat
membaca akan suatu topik, mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang dibidang
tertentu.40
Selain itu, tingkat pengetahuan pada perempuan lebih tinggi juga mungkin
disebabkan karena masyarakat berjenis kelamin perempuan lebih memiliki banyak
waktu luang untuk membaca atau berdiskusi dengan lingkungannya mengenai sesuatu
hal. Menurut penelitian tentang pengetahuan masyarakat tentang risiko penyakit
diabetes melitus di Malang, 90% perempuan bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT)
sehingga media informasi dari perempuan lebih banyak seperti menonton televisi dan
aktivitasnya dalam bidang sosial lebih banyak sehingga proses diskusi dan pertukaran
informasi dan pikiran lebih banyak daripada laki-laki.36 Menurut satu penelitian di
Pakistan, 64,6% laki-laki yang mengetahui bahwa olahraga secara teratur dapat
membantu pasien diabetes melitus mengawal kadar gula darah dibandingkan 50,4%
pada wanita.41
Menurut penelitian Ackerman mengenai pengetahuan umum masyarakat
menyatakan bahwa nilai rata-rata pengetahuan umum pada laki-laki itu lebih tinggi
dibanding dengan perempuan. Hal ini dikarenakan laki-laki cenderung memperoleh
pengetahuan faktual yang lebih besar daripada perempuan. Laki-laki mungkin memiliki
motivasi yang lebih besar untuk mendapatkan pengetahuan faktual karena keinginan
untuk memahami bagaimana berbagai hal di dunia beroperasi. Wanita mungkin
menganggap ini kurang menarik karena mereka mungkin lebih termotivasi untuk
mempelajari dan memahami orang yang memiliki hubungan dengan mereka. Selain itu,
wanita juga kurang mampu berfikir abstrak karena dia puas dengan apa adanya, tanpa
rasa ingin tahu.42

2.11.2.2 Sumber Informasi


Diabetes mellitus (DM) adalah sindroma gangguan metabolisme dan ditandai
dengan hiperglikemia yang disebabkan oleh defisiensi absolut atau relatif dari sekresi
insulin dan atau gangguan kerja insulin. Diabetes mellitus merupakan penyakit
seumur hidup dan tidak dapat disembuhkan, tetapi dengan perilaku yang sehat, kadar
glukosa darah dapat dikendalikan sehingga selalu sama dengan kadar glukosa orang
normal atau dalam batas normal. Kadar glukosa yang tidak terkendali pada penderita
DM mengakibatkan berbagai komplikasi. Komplikasi diabetes mellitus dapat muncul
secara akut atau timbul secara mendadak seperti reaksi hipoglikemia dan koma
diabetik.33
Pengetahuan memegang peranan penting dalam penentuan perilaku yang utuh
karena pengetahuan akan membentuk kepercayaan yang selanjutnya dalam
mempersepsikan kenyataan, memberikan dasar dalam pengambilan keputusan dan
menentukan perilaku terhadap suatu objek.43
Gaya hidup penting bagi penderita DM karena gaya hidup merupakan salah
satu bentuk aplikasi dari pemahaman tentang penyakit dan cara mengendalikan
penyakitnya untuk mencegah komplikasi dan mencegah kekambuhan luka berulang
bagi penderita yang pernah mengalami luka gangren. Pengetahuan pasien diabetes
mellitus dapat diartikan sebagai hasil tahu dari pasien mengenai penyakitnya,
memahami penyakitnya, cara pencegahan, pengobatan dan komplikasinya.28
Telah banyak metode dan media yang digunakan dalam dunia pendidikan agar
pesan yang ingin disampaikan tercapai dan terjadinya peningkatan pengetahuan bagi
pasien diabetes melitus. Metode yang telah banyak digunakan seperti metode kuliah
dengan melakukan penyuluhan pada pasien atau keluarga, seminar dan edukasi secara
lisan menggunakan leaflet dan poster. Modul merupakan salah satu media yang
mempunyai keunggulan seperti mudah untuk disimpan dan bisa digunakan berulang
kali, tidak melibatkan banyak orang dan memudahkan masyarakat untuk mengingat
kembali isi pesan yang terdapat di modul. Penggunaan self instructional module
sederhana dan mudah dipahami, sesuai dalam penceghan komplikasi diabetes
melitus.44
Penelitian yang dilakukan oleh Thomas tentang efectiveness of self
instructional module on the knowledge regarding diabetic diet among diabetic patients
in hospitals of Karad city hasilnya menunjukkan bahwa self instructional module
efektif untuk meningkatkan pengetahuan pasien diabetes melitus. Salah satu tujuan
dari edukasi adalah untuk meningkatkan pengetahuan yang akan menyebabkan
terjadinya perubahan sikap dan gaya hidup sehingga meningkatkan kepatuhan yang
mempengaruhi kualitas hidup.33
Edukasi yang sering dilakukan pada pasien diabetes adalah secara lisan, pasien
diabetes melitus memerlukan edukasi tentang pemeriksaan teratur, komplikasi
diabetes terutama pemeriksaan, Media dibutuhkan dalam edukasi kesehatan agar
mengarahkan indera ke suatu obyek dalam penyampaian informasi kesehatan. Jenis
media yang terdapat saat ini pada rumah sakit adalah poster yang jumlahnya terbatas.
Dari hasil wawancara tersebut diketahui bahwa belum ada penggunaan metode
edukasi kesehatan dengan menggunakan modul yang bisa dimanfaatkan pasien secara
mandiri untuk meningkatkan pengetahuan.43

2.11.2.3 Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada
orang lain agar mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin
tinggi pendidikan seseorang maka makin mudah pula bagi mereka untuk
menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang
mereka miliki. Sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan
sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru dikenal.45,46
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan menjelaskan bahwa tingkat
pendidikan mempunyai pengaruh terhadap kesehatan. Orang yang memiliki
tingkat pendidikan tinggi biasanya memiliki pengetahuan tentang kesehatan
sehingga orang akan memiliki kesadaran dalam menjaga kesehatan.16,43 Sebuah
studi yang dilakukan di Medan, distribusi pengetahuan pencegahan diabetes melitus
berdasarkan pendidikan terakhir responden, pada kelompok dengan pengetahuan
baik sebagaian besar (64,19%) merupakan lulusan sarjana dibandingkan lulusan
SMA (13,58%), Diploma (18,52%) dan Pascasarajana (3,71%). Hal ini
mendukung teori yang menyebutkan bahwa masyarakat yang memiliki tingkat
pendidikan yang lebih tinggi pada umumnya mempunyai wawasan luas sehingga
lebih mudah menyerap dan menerima informasi. Namun bukan berarti
seseorang yang berpendidikan rendah mutlak berpengetahuan rendah pula,
mengingat bahwa peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari
pendidikan formal saja, akan tetapi dapat pula diperoleh dari pendidikan
non formal.47-50
Tingkat pendidikan seseorang berhubungan dengan kemampuannya untuk
memahami suatu informasi menjadi pengetahuan. Pada penelitian Kusnanto
mengenai tingkat pengetahuan DM mayoritas responden berlatarbelakang
pendidikan rendah yang dapat berpengaruh terhadap rendahnya pengetahuan
responden. Faktor pendidikan mendukung pengetahuan seseorang tentang sesuatu
hal, sebab dengan pendidikan seseorang dapat lebih mengetahui sesuatu hal
tersebut. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin mudah
orang tersebut menerima informasi, sehingga umumnya memiliki pemahaman yang
baik tentang pentingnya perilaku perawatan diri dan memiliki keterampilan
manajemen diri untuk menggunakan informasi peduli diabetes yang diperoleh
melalui berbagai media dibandingkan dengan tingkat pendidikan rendah.51-53

2.11.2.4 Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi baik dinilai oleh pendapatan, pendidikan, atau pekerjaan
terkait dengan berbagai masalah kesehatan, termasuk di dalamnya bayi berat lahir
rendah, penyakit kardiovaskuler, hipertensi, arthritis, diabetes dan kanker. Status
sosial ekonomi yang rendah dikaitkan dengan tingkat kematian yang tinggi (Adler dan
Newman, 2002). World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa lebih
dari 347 juta orang di seluruh dunia mengidap diabetes. Jumlah ini kemungkinan akan
lebih dari dua kali lipat pada tahun 2030 tanpa intervensi. Hampir 80% kematian
diabetes terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Berdasarkan penelitian ditemukan bahwa status sosial ekonomi, (pendapatan,


pekerjaan, pendidikan) berpengaruh terhadap kejadian penyakit Diabetes Melitus
(Khrishnan et al., 2016). Penelitian dari Saydah dan Lochner ditemukan bahwa orang
dengan tingkat pendidikan kurang dari Sekolah Menengah Atas mempunyai kematian
dua kali lipat akibat diabetes setelah dikontrol dengan umur, jenis kelamin, etnis, dan
IMT (Saydah dan Lochner, 2017). Penelitian dari Grant yang berjudul Gender-
Specific Epidemiology of Diabetes di Adelaide, Australia mendapatkan hasil bahwa
mereka yang memiliki status pekerjaan tidak bekerja beresiko terkena Diabetes
Melitus baik pada pria maupun wanita (Grant et al., 2019).

Data dari rekam medik menunjukkan bahwa Diabetes Melitus tipe 2


merupakan peringkat pertama dari 10 penyakit menonjol di RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado sepanjang Tahun 2013. Badan Layanan Umum Rumah Sakit Prof.
Dr. R.D. Kandou Manado merupakan Rumah Sakit Umum Pusat yang ada di Provinsi
Sulawesi Utara. Persentase jumlah kasus Diabetes Melitus sepanjang Tahun 2013
antara 49%-68% dari total 10 penyakit terbanyak.

2.11.2.5 Usia
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, usia diartikan sebagai lama waktu
hidup sejak dilahirkan.54 Depkes RI (2009) mengkategorikan umur menjadi beberapa
yaitu masa balita (0-5 tahun), masa kanak-kanak (5-11 tahun), remaja awal (12-16
tahun), remaja akhir (17-25 tahun), dewasa awal (26-35 tahun), dewasa akhir (36-45
tahun) lansia awal (46-55 tahun), lansia akhir (56-65 tahun), dan manula (>65
tahun).55
Orang dengan rentang usia 36-45 tahun merupakan usia matang dengan
pertimbangan seseorang pada usia demikian akan memiliki pola tangkap dan daya
pikir yang baik sehingga pengetahuannya seharusnya lebih baik.. Semakin cukup
umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir
dan bekerja. Semakin bertambah usia, daya tangkap dan pola pikir akan semakin
berkembang, dengan begitu dipercaya bahwa pengetahuan yang diperoleh akan
semakin membaik Namun hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor lain seperti faktor
fisik dan psikologis yang menghambat proses pembelajaran seperti gangguan
penglihatan, gangguan pendengaran, dan lain-lain.
Menurut penelitian, kelompok dengan usia lansia akhir ke atas mempunyai
masalah untuk adaptasi terhadap perkembangan akses teknologi dibandingkan
kelompok usia remaja dan dewasa.52 Pada suatu penelitian yang dilakukan di RSUP
Dr. M Djamil Padang, didapatkan tidak ada hubungan bermakna pengetahuan tentang
DM antara usia responden dan pada kelompok lansia dengan sekelompok dewasa
setelah diberikan edukasi kesehatan self instructional module.56
2.11.3 Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang.38 Pengetahuan yang cukup dalam kognitif
mempunyai 4 tingkatan yaitu:
a. Tahu (Know)
Tahu dapat diartikan apabila seseorang bisa mengingat suatu materi yang pernah
dipelajari sebelumnya dan dapat menguraikannya, mengidentfikasi, menyatakan,
dan menyebutkannya kembali.
b. Memahami (Comprehention)
Memahami artinya suatu kemampuan seseorang untuk dapat menjelaskan secara
benar tentang obyek yang diketahui dan dimana dapat menginterpretasikannya
secara benar.
c. Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang pernah
dipelajari sebelumnya.
d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menyatakan materi atau suatu objek ke
dalam komponen-komponen tetapi masih di dalam struktur organisasi tersebut
dan masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis (Syntesis)
Sintesis yang dimaksud adalah menunjukkan pada suatu kemampuan untuk
melaksanakan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu keseluruhan
yang baru.
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek.38
2.11.4 Cara Pengukuran Pengetahuan
Pengukuran dibagi kedalam 3 kategori. Dimana tingkat pengetahuan seseorang
didasarkan pada nilai presentase sebagai berikut:57
a. Tingkat pengetahuan yang baik jika nilainya ≥ 75%.
b. Tingkat pengetahuan yang cukup jika nilainya 56%-74%.
c. Tingkat pengetahuan yang kurang jika nilainya <55%

Anda mungkin juga menyukai