TINJAUAN PUSTAKA
Diabetes mellitus (DM) adalah kelompok penyakit metabolisme yang umum dimana
seseorang mempunyai kadar gula darah tinggi. Salah satu penyebabnya dikarenakan insulin
yang diproduksi dalam tubuh tidak mencukupi atau insulin tidak bisa digunakan dengan
efektif.1 Menurut definisi American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, diabetes
mellitus (DM) merupakan suatu kelompok metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan insulin, kerja insulin atau keduanya.2
Pada abad ke-21 ini, DM tipe 2 menjadi salah satu masalah utama dalam dunia
kesehatan. Menurut International Diabetes Federation (IDF) DM tipe 2 akan terus meningkat
mencapai 55% pada tahun 2035.2 Saat ini terdapat 351,7 juta orang pada usia bekerja (20-64
tahun) dengan terdiagnosis atau tidak terdiagnosis diabetes di tahun 2019. Jumlah ini
diperkirakan akan meningkat menjadi 417,3 juta pada tahun 2030 dan menjadi 486,1 juta
pada tahun 2045. Peningkatan terbesar akan terjadi di negara yang berpenghasilan rendah
serta menengah.3 Organisasi International Diabetes Federation (IDF) memperkirakan
sedikitnya terdapat 463 juta orang pada usia 20-79 tahun di dunia menderita diabetes pada
tahun 2019 atau setara dengan angka prevalensi sebesar 9,3% dari total penduduk pada usia
yang sama. Berdasarkan jenis kelamin, IDF memperkirakan prevalensi diabetes di tahun
2019 yaitu 9% pada perempuan dan 9.65% pada laki-laki. Prevalensi diabetes diperkirakan
meningkat seiring penambahan umur penduduk menjadi 19,9% atau 111,2 juta orang pada
umur 65-79 tahun. Angka diprediksi akan terus meningkat angka diprediksi terus meningkat
hingga mencapai 578 juta di tahun 2030 dan 700 juta di tahun 2045.4
Negara di wilayah Arab-Afrika Utara, dan Pasifik Barat menempati peringkat pertama
dank e-2 dengan prevalensi diabetes pada penduduk umur 20-79 tahun tertinggi diantara 7
regional di dunia, yaitu sebesar 12,2% dan 11,4%. Wilayah Asia Tenggara dimana Indonesia
berada, menempati peringkat ke-3 dengan prevalensi sebesar 11,3%. IDF juga
memproyeksikan jumlah penderita diabetes pada penduduk umur 20-79 tahun pada beberapa
negara di dunia yang telah mengidentifikasi 10 negara dengan jumlah penderita tertinggi.
Cina, India, dan Amerika Serikat menempati urutan tiga teratas dengan jumlah penderita
116,4 juta, 77 juta, dan 31 juta. Indonesia berada di peringkat ke-7 diantara 10 negara dengan
jumlah penderita terbanyak, yaitu sebesar 10,7 juta. Indonesia menjadi satu-satunya Negara
di Asia Tenggara pada daftar tersebut, sehingga dapat diperkirakan besarnya kontribusi
Indonesia terhadap prevalensi kasus diabetes di Asia Tenggara.4 Badan kesehatan WHO
memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM tipe 2 di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun
2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.
Hasil dari kehancuran sel beta pankreas, biasanya menyebabkan defisiensi insulin yang
absolut atau tubuh tidak mampu menghasilkan insulin. Penyebab dari diabetes mellitus ini
belum diketahui secara pasti.6,7
2.3.2 Diabetes Melitus Tipe 2 (DM tipe 2)
Hasil dari gangguan sekresi insulin yang progresif yang menjadi latar belakang terjadinya
resistensi insulin atau ketidakefektifan penggunaan insulin di dalam tubuh.6,7
Intoleransi glukosa yang timbul atau terdeteksi pada kehamilan pertama dan gangguan
toleransi glukosa setelah terminasi kehamilan.6,7
Diabetes tipe ini biasanya terjadi karena adanya gangguan genetik pada fungsi sel beta,
gangguan genetik pada kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas dan dipicu oleh obat atau
bahan kimia (seperti pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ).6,7
Pada penyakit ini terjadi kelainan katabolik dimana tidak ada insulin yang
bersirkulasi, glukagon plasma meningkat, dan sel beta pankreas gagal merespon semua
stimuli insulinogenik. Insulin eksogen dapat membalikkan kondisi katabolik, mencegah
ketosis, menurunkan hiperglukagonemia dan menurunkan gula darah. Tipe ini dibagi lagi
menjadi 2 subtipe, yaitu:6,8,9
a. Immune-mediated type 1 diabetes mellitus (type 1A)
Diabetes tipe 1 disebabkan oleh infeksi atau toksin lingkungan yang menyerang orang
dengan sistem imun yang secara genetis merupakan predisposisi untuk terjadinya suatu
respon autoimun yang kuat yang menyerang antigen sel β-pankreas. Faktor ekstrinsik yang
diduga mempengaruhi fungsi sel β-pankreas meliputi kerusakan yang disebabkan oleh
virus, seperti virus penyakit gondok (mumps) dan virus coxsackie B4, oleh agen kimia
yang bersifat toksik, atau oleh sitotoksin perusak dan antibodi yang dirilis oleh imunosit
yang disensitisasi. Gen yang berhubungan dengan lokus HLA berperan dalam 40% dari
risiko genetik tersebut. Gen lain yang berperan dalam 10% risiko genetik pada subtipe ini
telah ditemukan pada region polimorfik 5’ dari gen insulin. Region tersebut
mempengaruhi ekspresi gen insulin pada thymus dan menimbulkan deplesi insulin-specific
T lymphocytes. 16 region genetik lain yang berhubungan dengan penyakit ini juga telah
ditemukan namun peranannya masih belum jelas. Gen-gen HLA yang khusus diduga
meningkatkan kerentanan terhadap virus diabetogenik atau mungkin dikaitkan dengan
gen-gen yang merespon sistem imun tertentu yang menyebabkan terjadinya predisposisi
pada pasien sehingga terjadi respon autoimun terhadap sel-sel pulaunya (pulau-pulau
Langerhans) sendiri atau yang dikenal dengan istilah autoregresi.
Pada fase awal terjadi insulitis (infiltrasi limfositik pada pulau Langerhans), diikuti
oleh apoptosis sel beta. Kebanyakan pasien dengan DM tipe 1 memiliki antibodi terhadap
islet cells (ICA), insulin (IAA), glutamic acid decarboxylase (GAD65), dan tyrosine
phosphatases (IA-2 and IA2-). Deteksi antibodi tersebut telah digunakan untuk screening
adanya penyebab autoimun dari diabetes, terutama pada saudara kandung dari penderita,
dan orang dewasa dengan gambaran atipikal dari DM tipe 2. Kadar antibodi tersebut
menurun seiring dengan peningkatan durasi penyakit dan dengan terapi insulin. Beberapa
pasien dengan gejala DM tipe 1 yang lebih ringan pada awalnya memiliki sel beta dengan
fungsi yang cukup untuk menghindari ketosis, namun seiring dengan menurunnya massa
sel beta, ketergantungan akan insulin akan timbul. Bentuk yang lebih ringan ini disebut
sebagai latent autoimmune diabetes of adulthood (LADA).
Secara garis besar patogenesis hiperglikemia disebabkan oleh sebelas hal (egregious eleven)
yaitu:6,8,9
3. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas (free fatty acid (FFA))
dalam plasma. Peningkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan
mencetuskan resistensi insulin di hepar dan otot, sehingga mengganggu sekresi
insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoksisitas. Obat
yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidinedion.
4. Otot
Pada penyandang DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang
multipel di intramioselular, yang diakibatkan oleh gangguan fosforilasi tirosin,
sehingga terjadi gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis
glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah
metformin dan tiazolidinedion.
5. Hepar
Pada penyandang DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh hepar (hepatic
glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin,
yang menekan proses glukoneogenesis.
6. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obese
baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan
mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan
justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang
bekerja di jalur Ini adalah agonis GLP-1, amilin dan bromokriptin.
7. Kolon/Mikrobiota
Perubahan komposisi mikrobiota pada kolon berkontribusi dalam keadaan
hiperglikemia. Mikrobiota usus terbukti berhubungan dengan DM tipe 1, DM tipe 2,
dan obesitas sehingga menjelaskan bahwa hanya sebagian individu berat badan
berlebih akan berkembang DM. Probiotik dan prebiotic diperkirakan sebagai mediator
untuk menangani keadaan hiperglikemia.
8. Usus halus
Glukosa yang ditelan memicu respons insulin jauh lebih besar dibanding kalau
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek inkretin ini diperankan
oleh 2 hormon yaitu glucagon-like polypeptide-1 (GLP-1) dan glucose-dependent
insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide (GIP).
Pada penyandang DM tipe 2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap
hormon GIP. Hormon inkretin juga segera dipecah oleh keberadaan enzim DPP-4,
sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat
kinerja DPP-4 adalah DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga mempunyai peran
dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja enzim alfa glukosidase yang akan
memecah polisakarida menjadi monosakarida, dan kemudian diserap oleh usus
sehingga berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja
untuk menghambat kinerja enzim alfa glukosidase adalah acarbosa.
9. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam patogenesis DM tipe
2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari
glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran enzim sodium glucose co-
transporter (SGLT-2) pada bagian convulated tubulus proksimal, dan 10% sisanya
akan diabsorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga
akhirnya tidak ada glukosa dalam urin. Pada penyandang DM terjadi peningkatan
ekspresi gen SGLT-2, sehingga terjadi peningkatan reabsorbsi glukosa di dalam
tubulus ginjal dan mengakibatkan peningkatan kadar glukosa darah. Obat yang
menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat reabsorbsi kembali glukosa di
tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urin. Obat yang bekerja di
jalur ini adalah penghambar SGLT-2. Dapaglifozin, empaglifozin dan canaglifozin
adalah contoh obatnya.
10. Lambung
Penurunan produksi amilin pada diabetes merupakan konsekuensi kerusakan
sel beta pankreas. Penurunan kadar amilin menyebabkan percepatan pengosongan
lambung dan peningkatan absorpsi glukosa di usus halus, yang berhubungan dengan
peningkatan kadar glukosa postprandial.
2.6.2. Usia
Prevalensi DM meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Dalam decade terakhir
ini, usia terjadinya DM semakin muda terutama di negara-negara dimana telah terjadi
ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran energi.11 Penelitian terbaru menunjukkan
bahwa individu pada usia muda juga berisiko terkena diabetes melitus. Usia rata-rata
diagnosis yang ditemukan adalah pada usia 14 tahun kemungkinan besar dipicu oleh
resistensi insulin pubertas secara fisiologis tetapi yang memperberat adalah masalah
obesitas dan pola gaya hidup. Studi cross-sectional dan longitudinal menunjukkan
bahwa sensitivitas insulin menurun 25 – 30% sebagai transisi remaja dari prapubertas ke
pubertas.14
2.6.6. Obesitas
Obesitas adalah faktor risiko yang paling penting. Beberapa penelitian longitudinal
menunjukkan bahwa obesitas merupakan prediktor yang kuat untuk timbulnya DMT2.
Lebih lanjut, intervensi yang bertujuan mengurangi obesitas juga mengurangi insidensi
DMT2. Berbagi studi longitudinal juga menunjukkan bahwa ukuran lingkar pinggang
atau rasio pinggang pinggul yang mencermikan keadaan lemak visceral, merupakan
indikator yang lebih baik dibandingkan indeks massa tubuh sebagai factor risiko
prediabetes. Data tersebut memastikan bahwa distribusi lemak lebih penting disbanding
jumlah total lemak.11
2.6.8 8. Dislipidemia
Dislipidemia adalah gangguan profil lipid yang ditandai oleh penurunan kolesterol
HDL dan atau peningkatan kadar trigliserida. Dislipidemia menyebabkan meningkatnya
asam lemak bebas (free fatty acid) sehingga terjadi lipotoksisity sehingga terjadi
kerusakan sel beta yang ahkirnya mengakibatkan diabetes melitus. Dislipidemia pada
diabetisi lebih meningkatakan risiko timbulnya penyakit kardiovaskuler. Pemeriksaan
profil lipid perlu dilakukan pada saat diagnosis diabetes melitus ditegakkan, setidaknya
dilakukan setahun sekali dan bila perlu dapat dilakukan lebih sering.15
2.6.10. Merokok
Nikotin yang terdapat pada asap rokok memiliki pengaruh terhadap terjadinya
diabetes melitus tipe 2. Pengaruh nikotin terhadap insulin di antaranya menyebabkan
penurunan pelepasan insulin akibat aktivasi hormon katekolamin, pengaruh negatif pada
kerja insulin, gangguan pada sel β pankreas dan perkembangan ke arah resistensi insulin.
Mekanisme– mekanisme potensial lain akibat paparan rokok seperti paparan rokok pada
ibu hamil dan menyusui juga memiliki peran terjadinya perkembangan resistensi insulin.
Berhenti merokok pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang merokok adalah salah satu
cara untuk memperbaiki kontrol gula darah dan perkembangan penyakit.22
Kebiasaan merokok dapat meningkatkan radikal bebas yang dapat merusak sel beta di
pankreas di dalam tubuh. Kerusakan sel beta di pankreas ini dapat mengakibatkan
resistensi insulinMerokok telah terbukti dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi
glukosa darah dan dapat meningkatkan resistensi insulin. Seperti dikemukakan oleh
Frati dkk merokok secara akut dapat menyebabkan toleransi glukosa terganggu dan
menurunkan sensitivitas insulin. Nikotin yang terdapat dalam rokok dapat menyebar di
dalam darah akan mempengaruhi seluruh kerja organ tubuh. Darah yang teracuni oleh
nikotin akan menyebabkan sensitivitas insulin terganggu.23-24
2.6.12. Stress
Reaksi stres dapat bersifat positif maupun negatif. Reaksi stres yang bersifat positif
seperti melakukan latihan jasmani sewaktu berolahraga, atau memacu seseorang untuk
berusaha dengan lebih baik. Sedangkan reaksi negatif yang bersifat fisik seperti jantung
berdebar-debar, otot-otot tegang, sakit kepala, diare, gangguan makan. Reaksi stres yang
bersifat negatif berpengaruh terhadap kondisi kesehatan jasmani dan kejiwaan. Pada
orang dengan keadaan stres mempunyai risiko menderita diabetes lebih tinggi
dibandingkan orang yang tidak dalam keadaan stres. Hal ini terjadi jika orang yang
dengan keadaan stres memberikan reaksi negatif yaitu seseorang mengalami gangguan
secara emosional, makan yang tidak terkendali, jarang atau tidak berolahraga, dan tubuh
memproduksi hormon yang dapat menghambat kerja insulin yang dapat mengakibatkan
kadar gula darah meningkat.
Pada saat stres, tubuh akan meningkatkan produksi hormon epinephrine dan kortisol
supaya gula darah naik dan ada cadangan energi untuk melakukan aktivitas. Tetapi,
kadar gula terus terus dipicu tinggi karena stres yang berkepanjangan, akan
meningkatkan risiko untuk terjadinya diabetes. Para ahli dari Karolinska Institute
Swedia menemukan, pria yang memiliki tingkat stres psikologisnya tinggi tercatat
memiliki risiko dua kali lipat menderita diabetes tipe-2 dibandingkan mereka yang
tingkat stres psikologisnya rendah. Seperti yang dimuat dalam jurnal Diabetic Medicine,
pria dengan tingkat stres psikologisnya paling tinggi tercatat hingga 2,2 kali lipat
memiliki kemungkinan atau risiko mengidap diabetes daripada yang tingkatnya
rendah.26,27,28
2.6.13.Konsumsi Alkohol
Alkohol yang masuk ke dalam tubuh akan dipecah menjadi asetat yang dapat
menyebabkan proses pembakaran kalori dari lemak dan gula terhambat dan akhirnya
berat badan susah berkurang. Studi terkini menyebutkan kebiasaan minum alkohol
berhubungan dengan peningkatan ukuran lingkar pinggang, bahkan mengonsumsi
alkohol dalam jumlah sedikit sekalipun dapat memperlebar bagian perut. Alkohol juga
dapat mempengaruhi kelenjar endokrin dengan melepas epinefrin yang mengarah
kepada hiperglicemia transient dan hiperlipidemia sebagai konsumsi alkohol
kontraindikasi dengan diabetes.19,23
Risiko terjadinya diabetes melitus tipe 2 meningkat ketika konsumsi bir harian lebih
besar dari 80 g. Terutama, jumlah alkohol yang berat menunjukkan efek diabetogenik
langsung dengan kontribusinya terhadap asupan kalori berlebih dan obesitas, induksi
pankreatitis, gangguan metabolisme karbohidrat, glukosa dan gangguan fungsi hati,
yang mempengaruhi kadar glukosa darah, yang menyebabkan hipoglikemia. Pada pasien
diabetes melitus tipe 2, peningkatan resistensi insulin pada jaringan metabolisme utama,
seperti otot rangka, hati dan jaringan adiposa, ditambah dengan berkurangnya sekresi
insulin yang disebabkan oleh gangguan fungsi sel β di pankreas Respon terganggu
terhadap insulin dan β-cell dalam pengaturan resistensi insulin terkait alkohol, oleh
karena itu, sangat penting dalam mendefinisikan risiko dan perkembangan diabetes
melitus tipe 2.29
2.8.2. Medikamentosa
1. Insulin
Insulin tersedia dalam tiga bentuk: short acting, intermediate acting, atau long
acting, umumnya pasien IDDM memerlukan sedikitnya dosis 2 kali sehari, biasanya
diberikan sebelum makan pagi atau sebelum makan malam, dan biasanya diberikan
keduanya yaitu short dan intermediate acting insulin. Jadwal lainya tiga kali suntikan
sehari, short dan intermediate acting pada pagi hari, short acting sebelum makan malam,
dan intermediate acting pada waktu mau tidur. Insulin memerlukan tanggung jawab
penuh dari pasien atau keluarganya untuk memantau gula darah yang tepat dan
pemberian insulin, dan tindakan ini membawa resiko terbesar untuk terjadinya
hipoglikemia dan perkembangan obesitas.30,31,32
Kaki diabetik dengan ulkus merupakan komplikasi diabetes yang sering terjadi.
Ulkus kaki diabetik adalah luka kronik pada daerah di bawah pergelangan kaki, yang
meningkatkan morbiditas, mortalitas, dan mengurangi kualitas hidup pasien. Ulkus
kaki diabetik disebabkan oleh proses neuropati perifer, penyakit arteri perifer
(peripheral arterial disease), ataupun kombinasi keduanya.33,34
Pemeriksaan neuropati sensorik menggunakan monofilamen Semmes-Weinstein 10
g ditambah salah satu dari pemeriksaan garpu tala frekuensi 128 Hz, tes refleks tumit
dengan palu refleks, tes pinprick dengan jarum, atau tes ambang batas persepsi
getaran dengan biotensiometer.33,34
Kaki diabetes dapat dibagi menjadi berbagai kelompok, yaitu:34
Klasifikasi infeksi pada kaki diabetes dapat ditentukan tanpa pemeriksaan penunjang,
yaitu berdasarkan manifestasi klinis, yakni :6,33,34
Tabel 3. Derajat Infeksi pada Kaki Diabetes.6
Keadaan critical limb ischemia (CLI) adalah penyumbatan berat pada arteri di
daerah ekstremitas bawah, yang ditandai dengan berkurangnya aliran darah di daerah
tersebut. Keadaan ini lebih serius dari PAD, karena merupakan kondisi kronik yang
sangat parah pada kaki, sehingga pasien tetap mengeluh nyeri walaupun dalam
keadaan istirahat.
Gejala yang paling sering pada CLI adalah ischemic rest pain, yaitu nyeri yang
hebat pada tungkai bawah dan kaki ketika seseorang tidak bergerak atau luka yang
tidak membaik pada tungkai bawah atau kaki, akibat iskemia.
1. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan pulsasi nadi pada tungkai bawah atau
kaki.
2. Infeksi dapat terjadi berupa luka yang terbuka, infeksi kulit dan ulkus yang tidak
membaik, maupun gangren kering (dry gangrene) dan terlihat kulit yang berwarna
hitam pada tungkai bawah atau kaki.
3. Kriteria diagnosis CLI :
Nyeri istirahat kronik (Chronic rest pain)
Tissue loss :
a. Ulkus
b. Gangren
ABI 0,4
Ankle systolic pressure 0,5 mmHg
2.11 Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil “tahu” dan ini dapat terjadi setelah seseorang mengadakan
penginderaan terhadap suatu objek. Penginderaan tersebu dapat terjadi melalui penglihatan,
pendengaran, penciuman rasa, dan raba dengan sendiri.38
2.11.2.3 Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada
orang lain agar mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin
tinggi pendidikan seseorang maka makin mudah pula bagi mereka untuk
menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang
mereka miliki. Sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan
sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru dikenal.45,46
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan menjelaskan bahwa tingkat
pendidikan mempunyai pengaruh terhadap kesehatan. Orang yang memiliki
tingkat pendidikan tinggi biasanya memiliki pengetahuan tentang kesehatan
sehingga orang akan memiliki kesadaran dalam menjaga kesehatan.16,43 Sebuah
studi yang dilakukan di Medan, distribusi pengetahuan pencegahan diabetes melitus
berdasarkan pendidikan terakhir responden, pada kelompok dengan pengetahuan
baik sebagaian besar (64,19%) merupakan lulusan sarjana dibandingkan lulusan
SMA (13,58%), Diploma (18,52%) dan Pascasarajana (3,71%). Hal ini
mendukung teori yang menyebutkan bahwa masyarakat yang memiliki tingkat
pendidikan yang lebih tinggi pada umumnya mempunyai wawasan luas sehingga
lebih mudah menyerap dan menerima informasi. Namun bukan berarti
seseorang yang berpendidikan rendah mutlak berpengetahuan rendah pula,
mengingat bahwa peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari
pendidikan formal saja, akan tetapi dapat pula diperoleh dari pendidikan
non formal.47-50
Tingkat pendidikan seseorang berhubungan dengan kemampuannya untuk
memahami suatu informasi menjadi pengetahuan. Pada penelitian Kusnanto
mengenai tingkat pengetahuan DM mayoritas responden berlatarbelakang
pendidikan rendah yang dapat berpengaruh terhadap rendahnya pengetahuan
responden. Faktor pendidikan mendukung pengetahuan seseorang tentang sesuatu
hal, sebab dengan pendidikan seseorang dapat lebih mengetahui sesuatu hal
tersebut. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin mudah
orang tersebut menerima informasi, sehingga umumnya memiliki pemahaman yang
baik tentang pentingnya perilaku perawatan diri dan memiliki keterampilan
manajemen diri untuk menggunakan informasi peduli diabetes yang diperoleh
melalui berbagai media dibandingkan dengan tingkat pendidikan rendah.51-53
Status sosial ekonomi baik dinilai oleh pendapatan, pendidikan, atau pekerjaan
terkait dengan berbagai masalah kesehatan, termasuk di dalamnya bayi berat lahir
rendah, penyakit kardiovaskuler, hipertensi, arthritis, diabetes dan kanker. Status
sosial ekonomi yang rendah dikaitkan dengan tingkat kematian yang tinggi (Adler dan
Newman, 2002). World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa lebih
dari 347 juta orang di seluruh dunia mengidap diabetes. Jumlah ini kemungkinan akan
lebih dari dua kali lipat pada tahun 2030 tanpa intervensi. Hampir 80% kematian
diabetes terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah.
2.11.2.5 Usia
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, usia diartikan sebagai lama waktu
hidup sejak dilahirkan.54 Depkes RI (2009) mengkategorikan umur menjadi beberapa
yaitu masa balita (0-5 tahun), masa kanak-kanak (5-11 tahun), remaja awal (12-16
tahun), remaja akhir (17-25 tahun), dewasa awal (26-35 tahun), dewasa akhir (36-45
tahun) lansia awal (46-55 tahun), lansia akhir (56-65 tahun), dan manula (>65
tahun).55
Orang dengan rentang usia 36-45 tahun merupakan usia matang dengan
pertimbangan seseorang pada usia demikian akan memiliki pola tangkap dan daya
pikir yang baik sehingga pengetahuannya seharusnya lebih baik.. Semakin cukup
umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir
dan bekerja. Semakin bertambah usia, daya tangkap dan pola pikir akan semakin
berkembang, dengan begitu dipercaya bahwa pengetahuan yang diperoleh akan
semakin membaik Namun hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor lain seperti faktor
fisik dan psikologis yang menghambat proses pembelajaran seperti gangguan
penglihatan, gangguan pendengaran, dan lain-lain.
Menurut penelitian, kelompok dengan usia lansia akhir ke atas mempunyai
masalah untuk adaptasi terhadap perkembangan akses teknologi dibandingkan
kelompok usia remaja dan dewasa.52 Pada suatu penelitian yang dilakukan di RSUP
Dr. M Djamil Padang, didapatkan tidak ada hubungan bermakna pengetahuan tentang
DM antara usia responden dan pada kelompok lansia dengan sekelompok dewasa
setelah diberikan edukasi kesehatan self instructional module.56
2.11.3 Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang.38 Pengetahuan yang cukup dalam kognitif
mempunyai 4 tingkatan yaitu:
a. Tahu (Know)
Tahu dapat diartikan apabila seseorang bisa mengingat suatu materi yang pernah
dipelajari sebelumnya dan dapat menguraikannya, mengidentfikasi, menyatakan,
dan menyebutkannya kembali.
b. Memahami (Comprehention)
Memahami artinya suatu kemampuan seseorang untuk dapat menjelaskan secara
benar tentang obyek yang diketahui dan dimana dapat menginterpretasikannya
secara benar.
c. Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang pernah
dipelajari sebelumnya.
d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menyatakan materi atau suatu objek ke
dalam komponen-komponen tetapi masih di dalam struktur organisasi tersebut
dan masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis (Syntesis)
Sintesis yang dimaksud adalah menunjukkan pada suatu kemampuan untuk
melaksanakan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu keseluruhan
yang baru.
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek.38
2.11.4 Cara Pengukuran Pengetahuan
Pengukuran dibagi kedalam 3 kategori. Dimana tingkat pengetahuan seseorang
didasarkan pada nilai presentase sebagai berikut:57
a. Tingkat pengetahuan yang baik jika nilainya ≥ 75%.
b. Tingkat pengetahuan yang cukup jika nilainya 56%-74%.
c. Tingkat pengetahuan yang kurang jika nilainya <55%