Oleh,
i
PRAKTIKUM VI
PENYAKIT BIPOLAR
I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi dari penyakit bipolar
2. Mengetahui patofisiologi penyakit bipolar
3. Mengetahui klasifikasi penyakit bipolar
4. Mengetahui manifestasi klinis penyakit bipolar
5. Mengetahui tatalaksana farmakologi dan non-farmakologi penyakit bipolar.
6. Dapat menyelesaikan kasus terkait penyakit bipolar secara mandiri dengan
menggunakan metode SOAP
2
c. Gangguan siklotimik : Ditandai paling sedikit dua tahun dari sejumlah periode
waktu gejala hipomanik yang tidak memenuhi kriteria episode manik dan
sejumlah periode gejala depresif yang tidak memenuhi kriteria depresif mayor.
d. Gangguan bipolar yang tidak terinci : Gangguan ini mencakup gambaran bipolar
yang tidak memenuhi kriteria di atas.
(James, 2013).
3
serotonin dapat memicu depresi, dan beberapa pasien dengan kecenderungan
bunuh diri memiliki concentration serebrospinal fluid (CSF) serotonin
metabolit rendah dan konsentrasi serotonin yang rendah dalam trombositnya
(Kaplan dan Sadock’s, 2015).
b. Dopamin
Penurunan dopamin akan menyebabkan terjadinya episode depresi pada
pasien dengan gangguan bipolar, sebaliknya peningkatan dari dopamin akan
menyebabkan terjadinya episode mania (Kaplan dan Sadock’s, 2015).
c. Norepinefrin
Dalam beberapa kasus kesehatan, bahwa pada orang depresi terjadi
pengurangan jumlah neurotransmiter tertentu (monoamina seperti
norepinefrin) (Kaplan dan Sadock’s, 2015).
Patofisiologi dari gangguan bipolar yaitu akibat disregulasi sirkuit neural yang di
pengaruhi oleh perubahan fungsional dan perubahan struktural. Hal tersebut dapat
terjadi akibat ketidakseimbangan volume otak. Pada studi pencitraan struktural
menunjukkan bahwa depresi berat dihubungkan dengan penurunan volume 5-10% di
hipokampus. Eksositosis, merupakan proses pengekskresian neurotransmiter ke celah
sinaptik. Di mana selaput vesikula menyatu dengan tombol presinaptik. Sinapsis adalah
titik persimpangan antara dua neuron. Di sela celah, neurotransmiter mengikat reseptor
membran: protein besar menempati di membran sel neuron pasca sinaptik.
Neurotransmiter ini melintasi celah sinaps yang mana merupakan ruang antara akson
satu neuron dan dendrit neuron berikutnya ke jalur saraf (Kring et al., 2012).
BDNF (Brain-Derived Neurotrophic Factor) memegang peranan penting dalam
mengatur pelepasan serotonin, glutamat, dan gamma-aminobutyric acid (GABA), serta
modulasi tidur. Sedangkan GDNF (Glial Cell Line-Derived Neurotrophic Factor)
adalah regulator penting dalam neuroplastisitas, pengeluaran sinyal MA (monoamine)
dan GABA, serta aktivasi mikroglia. Penurunan BDNF dan GDNF menghasilkan
mikroglia terus teraktivasi, terjadi penggangguan sistem pembuatan benang myelin,
serta apoptosis neuron. Mikroglia yang aktif menunjukkan peningkatan aktivitas enzim
indolamine 2,3-dioxygenase yang mengubah triptofan menjadi asam kuinolat.
Peningkatan metabolisme triptofan menjadi asam kuinolat mengganggu sinyal
serotonin akibat penipisan triptofan, sementara asam kuinolat yang dilepaskan
4
berkontribusi terhadap neurotoksisitas. Glutamat yang dilepaskan dari astroglia
mengakses reseptor N-methyld-aspartate (NMDA) di ekstra-sinaptik, hasilnya
menyebabkan penambahan penekanan sintesis BDNF dan aktivasi proapoptosis. Asam
kuinolat merupakan agonis NMDA yang selanjutnya dapat mempotensiasi eksitasi.
Selanjutnya, sitokin proinflamasi mengganggu sistem 5HT dan dopamin, selanjutnya
mengganggu sinyal monoamin (Kring et al., 2012).
Selain itu juga, Menurut penelitian Mann et al tahun 2014 pasien bipolar juga
mengalami penurunan kadar GABA pada CSF, penurunan ini menyebabkan
peningkatan kecemasan psikis dan depresi berat. GABA merupakan hasil dari sintesis
glutamat yang di katalis oleh GAD (Glutamat dekarboksilase) (Katzung etal, 2012).
Setelah terjadinya eksositosis, GABA akan berdifusi dari presinap menuju celah sinap
dan berikatan dengan reseptornya kemudian GABA akan direuptake menuju presinap
dan diuptake menuju glia oleh GAT-1/2/3, peningkatan uptake akan mengakibatkan
penurunan GABA pada celah sinap, efek dari penurunan GABA akan memicu
terjadinya gangguan bipolar dengan episode depresi (Ikawati, 2011).
b. Faktor Biokimia
6
Terdapat tiga jenis neurotransmitter yang berperan dalam terjadinya gangguan
mood yaitu norepinefrin, dopamin, dan serotonin.
c. Faktor Psikososial
Peristiwa dalam kehidupan yang penuh tekanan akan menyebabkan perubahan
dalam biologi di otak maupun perubahan signal dalam saraf. Hubungan antara
kehidupan yang penuh stress dengan episode suasana hati telah dilaporkan pada
pasien dengan gangguan depresi mayor dan pasien dengan gangguan bipolar I.
d. Faktor Kognitif
Dalam teori kognitif, pikiran dan kepercayaan negatif dipandang sebagai
penyebab utama depresi. Pikiran pesimis dan self-critical bisa menyiksa orang
dengan depresi. Teori Aaron Beck dan teori keputusasaan keduanya
menekankan jenis pemikiran negatif ini. Teori ruminasi menekankan
kecenderungan untuk memikirkan suasana hati dan pikiran negatif (Kring et al.,
2012).
e. Faktor Hopelessness
Menurut teori ini pemicu depresi yang sangat buruk adalah keputusasaan yang
dapat diartikan dengan gejala penurunan kesedihan, motivasi, bunuh diri,
penurunan energi, retardasi psikomotor, gangguan tidur, konsentrasi yang
buruk, dan kognisi negatif (Kring et al., 2012). Teori ini menekankan bahwa
perbaikan depresi bergantung pada pembelajaran pasien yang dapat menguasai
kontrol dan lingkungan (Kaplan dan Sadock’s, 2015).
d. Campuran
9
Kriteria untuk episode depresi mayor dan episode manik terjadi hampir setiap
hari setidaknya selama 1 minggu.
e. Siklus Cepat
> 4 episode depresi atau manik utama (manik, campuran, atau hipomanik)
dalam 12 bulan
12
Gambar 3. Algoritma Terapi Akut Gangguan Bipolar I dengan Episode Mood (Dipiro, 2008)
b. Terapi Pemeliharaan
Ada beberapa penelitian yang melibatkan pasien dengan gangguan bipolar II
telah dilakukan, pertimbangan perawatan pemeliharaan untuk bentuk penyakit ini
juga sangat diperlukan (APA, 2010). Lamotrigin merupakan antidepresan
profilaksis dan berpotensi menstabilkan suasana hati pada terapi pemeliharaan
(Kaplan dan Sadock’s, 2015). Setelah kesembuhan dari episode akut, pasien
mungkin tetap pada resiko tinggi untuk kambuh dalam jangka hingga 6 bulan.
Pengobatan tersebut adalah terapi pemeliharaan (Ikawati, 2011). Obat dengan
bukti empiris terbaik dapat mendukung penggunaannya dalam perawatan
pemeliharaan antara lain litium dan valproat. Alternatif yang lain dapat di gunakan
yaitu lamotrigin atau karbamazepin atau oxcarbazepine. Perawatan ECT juga dapat
dipertimbangkan untuk pasien yang episode akutnya merespons ECT (APA, 2010).
3). Farmakologi Obat
13
a. Antipsikotik
Antipsikotik generasi pertama dan kedua, seperti aripiprazole, asenapine,
haloperidol, olanzapine, quetiapine, risperidone, dan ziprasidone efektif sebagai
monoterapi atau terapi tambahan untuk lithium atau valproate untuk mania akut.
Mekanisme kerja dari antipsikotik yaitu memblokir reseptor DA2 dan yang lebih
baru antipsikotik atipikal dapat memblokir reseptor DA2 dan 5-HT2A digunakan
untuk mengurangi aktivitas DA dalam pengobatan mania dan campuran (Dipiro et
al., 2015).
Antipsikotik generasi pertama dan kedua efektif pada 70% pasien mania akut
yang terkait dengan agitasi, agresi, dan psikosis. Haloperidol decanoate,
fluphenazine decanoate, dan risperidone, aripiprazole, dan injeksi long-acting
olanzapine adalah pilihan monoterapi untuk terapi pemeliharaan gangguan bipolar
dengan ketidakpatuhan atau resistensi pengobatan (Dipiro et al., 2015).
Studi terkontrol dalam mania akut menunjukkan bahwa litium atau valproat
plus antipsikotik lebih efektif daripada agen-agen ini saja. Quetiapine dan
kombinasi fluoxetine / olanzapine efektif untuk depresi bipolar akut. Monoterapi
Clozapine memiliki efek menstabilkan suasana hati akut dan jangka panjang dalam
gangguan bipolar refrakter, termasuk campuran mania dan siklus cepat, tetapi
membutuhkan pemantauan sel darah putih secara teratur untuk agranulositosis.
Dosis awal antipsikotik yang lebih tinggi (misalnya, 20 mg / hari olanzapine)
diperlukan untuk mania akut. Setelah mania dikendalikan (biasanya 7–28 hari),
antipsikotik dapat secara bertahap dikurangi dan dihentikan (Dipiro et al., 2015).
b. Antikonvulsan
1). Carbamazepine
Mekanisme karbamazepine yaitu derivatif dibenzazepin, secara struktural
terkait dengan trisiklik antidepresan. Karbamazepin umumnya digunakan
untuk terapi akut dan perawatan. Hanya formulasi extended-release yang
disetujui FDA untuk gangguan bipolar di Amerika Serikat. Biasanya
disediakan untuk pasien refraktori lithium, siklus cepat, atau keadaan
campuran. Carbamazepin kurang efektif daripada lithium untuk terapi
pemeliharaan dan untuk depresi bipolar. Kombinasi carbamazepine dengan
lithium, valproate, dan antipsikotik sering digunakan untuk episode manik
14
pada pasien yang resisten terhadap pengobatan. Untuk pasien rawat inap dalam
episode manik akut, dosis dapat dimulai pada 400 hingga 600 mg / hari dalam
dosis terbagi dengan makanan dan ditingkatkan sebesar 200 mg / hari setiap 2
hingga 4 hari hingga 10 hingga 15 mg / kg / hari. Pasien rawat jalan harus
dititrasi lebih lambat untuk menghindari efek samping (Dipiro et al., 2015).
2). Oxcarbazepine
Merupakan Analog 10-keto dari carbamazepine, memblokir sodium yang
sensitif terhadap tegangan saluran, memodulasi arus kalsium yang diaktifkan
tegangan, dan meningkatkan konduktansi kalium. Uji coba awal menunjukkan
oxcarbazepine memiliki penstabil suasana hati efek yang mirip dengan
carbamazepine, dengan kelebihan efek samping yang lebih ringan, tidak ada
autoinduksi enzim hati, dan interaksi obat yang berpotensi lebih sedikit. Dosis
awal biasanya 150 hingga 300 mg dua kali sehari, dan dosis harian dapat
ditingkatkan 300 hingga 600 mg setiap 3 hingga 6 hari hingga 1.200 mg / hari
dalam dosis terbagi (dengan atau tanpa makanan) (Dipiro et al., 2015).
3). Lamotrigin
Lamotrigin efektif untuk pemeliharaan pengobatan gangguan bipolar I dan
II pada orang dewasa, memiliki efek antidepresan dan menstabilkan suasana
hati. Lamotrigin memiliki tingkat yang rendah untuk mengalihkan pasien ke
mania, meskipun kurang efektif untuk mania akut dibandingkan dengan
lithium dan valproate, mungkin bermanfaat untuk terapi pemeliharaan
gangguan bipolar I dan II yang resistan terhadap pengobatan, siklus cepat, dan
keadaan campuran. Tampaknya paling efektif untuk pencegahan depresi
bipolar. Efek samping yang umum termasuk sakit kepala, mual, pusing,
ataksia, diplopia, kantuk, tremor, ruam makulopapular (10% pasien), dan
pruritus. Untuk perawatan pemeliharaan gangguan bipolar, kisaran dosis
lamotrigin yang biasa adalah 50 hingga 300 mg / hari. Dosis target umumnya
adalah 200 mg / hari (100 mg / hari) kombinasi dengan valproate dan 400 mg /
hari dalam kombinasi dengan carbamazepine) (Dipiro et al., 2015).
4). Valproic Acid
Valproate Sodium dan Valproic Acid disetujui untuk episode manik atau
campuran akut, adalah penstabil suasana hati yang paling diresepkan di
15
Amerika Serikat. Ini sama efektifnya dengan lithium dan olanzapine untuk
mania murni, dan ini bisa lebih efektif daripada lithium untuk siklus cepat,
campuran, dan gangguan bipolar dengan penyalahgunaan zat. Ini mengurangi
frekuensi (atau mencegah) episode manik, depresi, dan campuran berulang.
Efek samping valproate terkait dosis yang paling sering adalah keluhan GI,
tremor halus, dan sedasi. Dosis awal adalah 250 hingga 500 mg dua kali
sehari, dosis pemuatan divalproex 20 hingga 30 mg / kg / hari dapat diberikan
selama 12 jam. Dosis harian disesuaikan 250 hingga 500 mg setiap 1 hingga 3
hari berdasarkan respons dan tolerabilitas. Dosis maksimum adalah 60 mg / kg
/ hari (Dipiro et al., 2015).
c. Litium
Lithium adalah agen lini pertama untuk mania akut, depresi bipolar akut, dan
perawatan pemeliharaan gangguan bipolar I dan II. Lithium cepat diserap, tidak
terikat protein atau dimetabolisme, dan diekskresikan tidak berubah dalam urin dan
cairan tubuh lainnya. Diperlukan 6 hingga 8 minggu untuk menunjukkan
kemanjuran antidepresan (Dipiro et al., 2015).
4). Terapi Non Farmakologi
a. Psikoterapi
Mengobati penyalahgunaan zat serta pemberian nutrisi yang baik dengan
protein normal dan asupan asam lemak esensial, berolahraga, tidur yang cukup,
pengurangan stres, dan terapi psikososial. Ini bisa dilakukan dengan
memberikan dukungan, edukasi, dan bimbingan kepada orang-orang dengan
gangguan bipolar dan keluarga penderita gangguan bipolar. Beberapa
perawatan psikoterapi yang digunakan untuk mengobati gangguan bipolar
meliputi (Dipiro et al., 2015):
- Terapi kognitif (CBT)
- Terapi keluarga
- Terapi psycotherapy interpersonal
b. Electroconvulsive Therapy
Bentuk perawatan psikologis yang berbeda telah terbukti membantu
mengurangi gejala depresi (Kring et al., 2012). Electroconvulsive therapy
16
(ECT) adalah perawatan yang aman dan efektif untuk penyakit mental berat
tertentu. Electroconvulsive Therapy (ECT) dapat memberikan bantuan bagi
orang dengan gangguan bipolar berat yang tidak dapat sembuh dengan
perawatan lainnya. Terkadang ECT digunakan untuk gejala bipolar saat kondisi
medis lainnya, termasuk kehamilan, yang terlalu berisiko minum obat. Pasien
gangguan bipolar harus mendiskusikan kemungkinan manfaat dan risiko ECT
dengan profesional kesehatan. Dikarenakan ECT dapat menyebabkan beberapa
efek samping jangka pendek, termasuk kebingungan, disorientasi, dan
penurunan memori hingga amnesia (Dipiro et al., 2015).
IV. KASUS
Nn. SH, 17 tahun yang merupakan anak bungsu dari 2 bersaudara. SH adalah anak
yang penurut dan tidak pernah membangkang perintah orang tuanya, sehingga orang
tuanya sangat menyukai SH. Berbeda hal dengan kakak SH yang sangat pembangkang dan
tidak menurut orang tua. SH mengalami insomnia sejak usia 13 tahun. Setiap malam ia
mengalami kesulitan untuk tidur dan akhirnya menggangu kegiatan belajar di sekolah.
Nilai SH mengalami penurunan, sehingga orang tuanya memutuskan melaksanakan home
scholling. Perilaku insomnia ini muncul pasca pertengkaran hebat di dalam keluarga,
dimana kakak SH terlibat masalah dengan polisi. Kondisi rumah sangat kacau, bapak dan
ibunya selalu bertengkar setiap harinya den berlangsung kurang lebih 3 bulan sejak itu,
17
menyebabkan SH tidak dapat memejamkan matanya walaupun mengantuk. SH sempat
mengalami depresi yang terus menerud meningkat, hingga akhirnya beberapa kali
melakukan percobaan bunuh diri. Beruntungnya masih dapat dicegah oleh ibunya.
Sejak itu, SH lebih sering menyendiri didalam kamar untuk menghindari
pertengkaran, dan SH lebih menyukai kondisi kamarnya serta dapat beriistirahat lebih
rilkes. SH juga dapat berkonsentrasi , mencari tahu dan menganalisa segala hal yang dia
senangi. SH tertarik dengan politik dan memiliki pemikiran tersendiri tentang politik. SH
percaya bahwa dirinya merupakan reinkarnasi seorang politikus terkenal sebelumnya. SH
juga senang menuliskan ide yang dimiliki dalam bentuk buku diary, paper note yang
ditempelkan di dinding kamar, dan computer. Akitvitas ini semakin meningkat saat, SH
merasakan gairah untuk melakukan sesuatu. Nenek kandung SH dari pihak bapak
memiliki depresi berat. Sebagai seorang farmasi klinis, tentukan rekomendasi terapi dan
assesment terapi yang anda usulkan untuk pasien ini
V. SOAP
PHARMACEUTICAL CARE
PATIENT PROFILE
Tn. / Ny. : SH
Usia : 17 tahun
Presenting Complain
SH mengalami insomnia sejak usia 13 tahun. Setiap malam ia mengalami kesulitan
untuk tidur dan akhirnya menggangu kegiatan belajar di sekolah. Perilaku insomnia ini
muncul pasca pertengkaran hebat di dalam keluarga, dimana kakak SH terlibat masalah
dengan polisi. Kondisi rumah sangat kacau, bapak dan ibunya selalu bertengkar setiap
harinya den berlangsung kurang lebih 3 bulan sejak itu, menyebabkan SH tidak dapat
memejamkan matanya walaupun mengantuk. SH sempat mengalami depresi yang terus
menerud meningkat, hingga akhirnya beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri.
Beruntungnya masih dapat dicegah oleh ibunya. SH tertarik dengan politik dan memiliki
pemikiran tersendiri tentang politik. SH percaya bahwa dirinya merupakan reinkarnasi
seorang politikus terkenal sebelumnya. SH juga senang menuliskan ide yang dimiliki dalam
18
bentuk buku diary, paper note yang ditempelkan di dinding kamar, dan computer. Akitvitas
ini semakin meningkat saat, SH merasakan gairah untuk melakukan sesuatu. Nenek kandung
SH dari pihak bapak memiliki depresi berat.
Diagnosa sementara : -
Diagnosa akhir :-
Drug Allergies: -
Tanda-tanda vital: -
19
gangguan bipolar yang dialami.
Medication
No. Nama Obat Indikasi Dosis yang Dosis Terapi (literatur)
digunakan
1. Risperidone Hipomania 0,5 mg 2 x I Dosis awal 0,5 mg, 2
kemudian kali sehari. Dosis bisa
dapat dititrasi ditingkatkan secara
hingga 1 mg bertahap hingga 1-2 mg,
2 kali sehari.
PHARMACEUTICAL PROBLEM
Subjek
SH mengalami insomnia sejak usia 13 tahun. Setiap malam ia mengalami kesulitan untuk
tidur dan akhirnya menggangu kegiatan belajar di sekolah. Perilaku insomnia ini muncul
pasca pertengkaran hebat di dalam keluarga, dimana kakak SH terlibat masalah dengan polisi.
Kondisi rumah sangat kacau, bapak dan ibunya selalu bertengkar setiap harinya den
berlangsung kurang lebih 3 bulan sejak itu, menyebabkan SH tidak dapat memejamkan
matanya walaupun mengantuk. SH sempat mengalami depresi yang terus menerud
meningkat, hingga akhirnya beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri. Beruntungnya
masih dapat dicegah oleh ibunya. SH tertarik dengan politik dan memiliki pemikiran
tersendiri tentang politik. SH percaya bahwa dirinya merupakan reinkarnasi seorang politikus
terkenal sebelumnya. SH juga senang menuliskan ide yang dimiliki dalam bentuk buku diary,
paper note yang ditempelkan di dinding kamar, dan computer. Akitvitas ini semakin
meningkat saat, SH merasakan gairah untuk melakukan sesuatu. Nenek kandung SH dari
pihak bapak memiliki depresi berat.
Objective (signs)
Tidak ada tanda-tanda vital
Tidak ada pemeriksaan laboratorium
21
akan perawatan tambahan atau kombinasi obat, dan biaya
perawatan pada pasien bipolar I dan II serta pasien
dengan gangguan schizoaffective. Hasil penelitian
tersebut yaitu olanzapine dan risperidone secara
signifikan memiliki efektivitas yang sama dan ditoleransi
baik untuk gangguan bipolar tetapi biaya pengobatan dan
penambahan regimen terapi lebih rendah pada pasien
yang diobati dengan risperidone. Oleh karena itu
disimpulkan bahwa risperidone lebih efektif digunakan
untuk menangani pasien dengan gangguan bipolar
dibandingkan dengan olanzapine hal tersebut dilihat dari
biaya terapi dan penambahan terapi yang lebih rendah.
Kami tidak merekomendasikan pemberian kombinasi
obat karena terapi kombinasi memiliki efektifitas yang
sama dengan monoterapi dan cenderung lebih tinggi
menimbulkan efek samping yang berat, “Role Of
Risperidone In Bipolar II: An Open 6-Month Study” pada
jurnal tersebut dilakukan perbandingan antara risperidone
monoterapi dengan kombinasi antara risperidone dan
mood stabilisator (litium, valproate atau carbamazepine),
dari hasil tersebut diperoleh bahwa tidak adanya
perbedaan yang signifikan antara kelompok risperidone
monoterapi dan kombinasi risperidone dengan mood
stabilisator (litium, valproate atau carbamazepine) dimana
keduanya dapat ditoleransi dengan baik pada pasien
bipolar II episode hipomania. Tetapi 3 orang pasien
menghentikan terapi akibat adanya efek samping pada
kelompok kombinasi risperidone dengan mood
stabilisator dan cenderung menimbulkan efek samping
seperti disartria, pusing dan takikardia.
Monitoring
1. Efektifitas :
Menurut “Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Ninth Edition” terdapat
beberapa hal yang harus dimonitoring untuk penanganan kasus bipolar yaitu:
- Mood episodes dimana pada kondisi hipomania harus dipantau secara ketat, karena
5% hingga 15% pasien dapat dengan cepat beralih ke episode manik. Cara
memonitoring dapat dilakukan dengan cara dokumentasi gejala pada daily mood
chart (documentasikan life stressors, tipe episode, lama waktu tiap episode dan
outcome terapi). Menurut evidence “Bipolar Disorder Recurrence Prevention Using
Self-Monitoring Daily Mood Charts: Case Reports From A 5 Year Period”
dinyatakan bahwa monitoring suasana hati dengan daily mood chart dapat
mempertahankan kondisi mental yang stabil selama lebih dari 5 tahun. Melalui
monitoring suasanya hati maka akan dapat mencegah perburukan hipomania menjadi
mania dan dari penelitian tersebut dinyatakan bahwa pasien yang menuliskan suasana
hatinya pada daily mood chart mengalami fluktuasi suasana hati menurun pada semua
pasien karena skor rata-rata mendekati nol dan koefisien nilai variasi menurun dari
waktu ke waktu.
- Kepatuhan pengobatan (tidak adanya dosis obat adalah alasan utama untuk tidak
23
merespons dan timbulnya kambuhnya episode)
- Monitoring kenaikan berat badan yang dapat dilakukan setiap 1 bulan karena menurut
jurnal yang berjudul “Strategies for Monitoring Outcomes in Patients With Bipolar
Disorder” kenaikan berat badan tampaknya menjadi jalur penting untuk diabetes pada
pasien dengan gangguan bipolar yang menggunakan antipsikotik generasi kedua,
dengan peningkatan nafsu makan, yang mengarah pada peningkatan berat badan dan
resistensi insulin, dan akhirnya diabetes. Selain itu terdapat beberapa hal lain yang
perlu dimonitoring dimana yang berhubungan dengan timbulnya suatu komplikasi
metabolik yaitu:
VI. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, dilakukan praktikum farmakoterapi dengan menganalisa
kesesuaian terapi yang telah diberikan dengan kondisi medis pasien dimana kasus pada
praktikum kali ini terkait penyakit bipolar. Tujuan dari praktikum ini antara lain
mengetahui definisi dari penyakit bipolar, mengetahui patofisiologi penyakit bipolar,
mengetahui klasifikasi penyakit bipolar, mengetahui manifestasi klinis penyakit bipolar,
mengetahui tatalaksana farmakologi dan non-farmakologi penyakit bipolar dan dapat
menyelesaikan kasus terkait penyakit bipolar secara mandiri dengan menggunakan metode
SOAP
Kasus pada praktikum kali ini yang dianalisa yaitu kasus pasien Nn.SH dimana dalam
kasus ini terdiri dari 2 fenomena, yaitu kondisi yang terjadi dahulu dan kondisi pasien saat
24
ini. Analisa kasus yang digunakan pada praktikum kali ini yaitu dengan menggunakan
metode SOAP yakni Subjectif, Objectif, Assesment dan Plan yang disesuaikan dengan
kondisi pasien. Kasusnya yaitu Nn. SH, 17 tahun yang merupakan anak bungsu dari 2
bersaudara. SH adalah anak yang penurut dan tidak pernah membangkang perintah orang
tuanya, sehingga orang tuanya sangat menyukai SH. Berbeda hal dengan kakak SH yang
sangat pembangkang dan tidak menurut orang tua. SH mengalami insomnia sejak usia 13
tahun. Setiap malam ia mengalami kesulitan untuk tidur dan akhirnya menggangu kegiatan
belajar di sekolah. Nilai SH mengalami penurunan, sehingga orang tuanya memutuskan
melaksanakan home scholling. Perilaku insomnia ini muncul pasca pertengkaran hebat di
dalam keluarga, dimana kakak SH terlibat masalah dengan polisi. Kondisi rumah sangat
kacau, bapak dan ibunya selalu bertengkar setiap harinya den berlangsung kurang lebih 3
bulan sejak itu, menyebabkan SH tidak dapat memejamkan matanya walaupun mengantuk.
SH sempat mengalami depresi yang terus menerud meningkat, hingga akhirnya beberapa
kali melakukan percobaan bunuh diri. Beruntungnya masih dapat dicegah oleh ibunya.
Sejak itu, SH lebih sering menyendiri didalam kamar untuk menghindari
pertengkaran, dan SH lebih menyukai kondisi kamarnya serta dapat beriistirahat lebih
rilkes. SH juga dapat berkonsentrasi , mencari tahu dan menganalisa segala hal yang dia
senangi. SH tertarik dengan politik dan memiliki pemikiran tersendiri tentang politik. SH
percaya bahwa dirinya merupakan reinkarnasi seorang politikus terkenal sebelumnya. SH
juga senang menuliskan ide yang dimiliki dalam bentuk buku diary, paper note yang
ditempelkan di dinding kamar, dan computer. Akitvitas ini semakin meningkat saat, SH
merasakan gairah untuk melakukan sesuatu. Nenek kandung SH dari pihak bapak memiliki
depresi berat.
Pada kasus tersebut tidak dijelaskan terkait diagnosa serta klasifikasi dari gangguan
bipolar yang dialami. Oleh karena itu perlu ditanyakan FIR (Further Information Required)
yang dapat diajukan kepada keluarga pasien dengan tujuan untuk mendapatkan informasi
tambahan yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan klasifikasi dari jenis
gangguan bipolar yang dialami. FIR yang kami tanyakan kepada pasien antara lain:
1. Apakah pasien memiliki riwayat alergi terhadap obat? Untuk mengetahui kondisi
pasien dan dapat memberikan terapi yang tepat.
2. Apakah pasien memiliki riwayat penggunaan obat sebelumnya? Untuk mengetahui
terapi yang diterima sebelumnya sehingga selanjutnya dapat menentukan terapi yang
25
tepat
3. Berapa lamakah durasi pasien mengalami episode tersebut atau mengalami penurunan
mood tersebut? Untuk mengetahui lamanya durasi gejala sehingga dapat
mengklasifikasikan gangguan bipolar yang dialami.
4. Apakah pasien mengalami distractible atau gangguan mood yang buruk? Untuk
mengetahui lamanya durasi gejala sehingga dapat mengklasifikasikan gangguan bipolar
yang dialami.
5. Apakah pasien mengalami gangguan fungsional dan fungsi sosial? Untuk mengetahui
lamanya durasi gejala sehingga dapat mengklasifikasikan gangguan bipolar yang
dialami.
Kemudian dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dapat diketahui bahwa pasien
tidak memiliki riwayat alergi obat, sebelumnya tidak ada menggunakan obat, episode
gangguan mood terjadinya selama 4 hari, tidak adanya distractible, serta tidak ada
gangguan baik fungsional maupun fungsi sosial. Menurut “Pharmacotherapy A
Pathophysiologic Approach Ninth Edition” klasifikasi bipolar dibagi menjadi 2 yaitu
bipolar I dan bipolar II. Pada kasus ini pasien termasuk ke dalam Bipolar II episode
hipomania karena pasien mengalami episode hipomania dengan sebelumnya telah didahului
oleh depresi mayor.
Pasien diklasifikasikan ke dalam episode hipomania karena episode yang terjadi
selama 4 hari dengan tidak adanya distractible dan tidak adanya gangguan fungsional dan
fungsi sosial. Penentuan tersebut telah sesuai dengan parameter episode hipomania menurut
“Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Ninth Edition” yaitu
26
Hipomania adalah bentuk mania yang kurang parah, dan menurut definisi tidak
menyebabkan penurunan fungsi sosial atau pekerjaan yang nyata, dan tidak ada delusi atau
halusinasi yang hadir.
Penatalaksaan terapi dari gangguan bipolar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu terapi
farmakologi dan terapi psikososial intervensi. Tujuan dari terapi gangguan bipolar yaitu
mengurangi gejala bipolar, mencegah episode berikutnya, meningkatkan kepatuhan pasien
pada pengobatan, menghindari stressor yang dapat memicu kejadian episode serta
mengembalikan fungsi-fungsi kehidupan menjadi normal. Analisis kesesuaian terapi pasien
Nn. SH dengan berpedoman pada guidline dan evidence terkait dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1). Terapi Farmakologi
Kondisi dahulu Nn. SH mengalami Insomnia sejak usia 13 tahun, sehingga
menganggu kegiatan belajar di sekolah dan nilai menurun. Sempat depresi yang terus
menerus meningkat, hingga percobaan bunuh diri. Sedangkan pada kondisi Nn SH
sekarang, SH senang mencari tahu dan menganalisa segala hal yang dia senangi yaitu
politik bahkan percaya bahwa dirinya adalah reinkarnasi dari seorang politikus terkenal.
SH juga senang menuliskan ide yang dimiliki dalam bentuk buku diary, paper note yang
ditempelkan di dinding kamar, dan computer. Akitvitas ini semakin meningkat saat, SH
merasakan gairah untuk melakukan sesuatu. Berdasarkan FIR yang telah ditanyakan
episode perubahan suasanya hati tersebut telah berlangsung selama 4 hari, tidak adanya
distractible atau kondisi mood yang buruk dan tidak adanya suatu gangguan fungsional
dan tidak adanya gangguan fungsi sosial.
Berdasarkan atas kondisi serta gejala yang dirasakan pasien, Nn. SH diklasifikasikan
ke dalam Bipolar II episode hipomania dimana penentuan klasisifikasi tersebut
didasarkan atas guidline yang berjudul “Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach
Ninth Edition” Gangguan bipolar II yaitu gangguan suasana hati yang setidaknya terdiri
dari satu episode hipomanik yang sebelumnya di dahului oleh episode depresi mayor.
Pada kasus diatas diklasifikasikan mengalami Bipolar dengan episode hipomania, yang
mana menurut “Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Ninth Edition”
parameter episode hipomania yaitu:
27
Berdasarkan parameter tersebut adapun gejala yang dialami sesuai dengan episode
hipomania yaitu durasi episode penurunan suasana hati yang berlangsung selama 4 hari,
tidak adanya distractible dan tidak adanya gangguan fungsional dan fungsi sosial.
Hipomania adalah bentuk mania yang kurang parah, dan menurut definisi tidak
menyebabkan penurunan fungsi sosial atau pekerjaan yang nyata, dan tidak ada delusi
atau halusinasi yang hadir. Pasien dengan hipomania sering tidak mencari pengobatan
sampai mereka mengalami episode depresi, dengan demikian hipomania mungkin tidak
dikenali atau dilaporkan. Berdasarkan guidline “Management of Bipolar II Disorder”
baik valproate atau antipsikotik atipikal mungkin menjadi pilihan terbaik untuk
penanganan acute bipolar II dengan episode hipomania. Penggunaan kombinasi tidak
dianjurkan untuk kondisi hipomania karena merupakan episode yang lebih ringan
sehingga monoterapi lebih disukai untuk mencegah timbulnya efek samping.
Pada kasus ini, kami merekomendasikan pemberian risperidone 0,5 mg 2 x I
kemudian dapat dititrasi hingga 1 mg yang digunakan selama 12 minggu, kemudian
apabila kondisi episode hipomania telah stabil maka dapat dilakukan penurunan dosis
secara bertahap minimal selama 4 minggu kemudian dapat dihentikan.
Menurut evidence based medicine yang berjudul “Comparative Effectiveness Of
Monotherapy With Mood Stabilizers Versus Second Generation (Atypical) Antipsychotics
For The Treatment Of Bipolar Disorder In Children And Adolescents” yang melakukan
perbandingan antara second generation antisychotic dengan mood stabilisator, diperoleh
hasil yaitu dibandingkan dengan mood stabilisator, second generation antipsychotic
dikaitkan dengan waktu yang lebih lama untuk penghentian dan menerima terapi
28
tambahan dalam pengobatan gangguan bipolar mania, hipomania atau campuran pada
anak-anak dan remaja dengan p<0,05 (0,490 SGA vs 0,817 MS). Dari hasil jurnal
tersebut dapat diketahui bahwa pemberian second generation (atypical) antipsychotics
efektif diberikan pada pasien dengan gangguan bipolar. Penjabaran pasien, intervensi,
komparator dan outcome dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Pasien Intervensi Komparator Outcome
Subjek sebanyak Atypical Mood Stabilisator Dibandingkan dengan
7423 pada usia antipsychotics (lithium, sodium Mood stabilisator,
6-18 tahun (risperidone, divalproex/valproa Second Generation
dengan aripiprazole, te, carbamazepine, Antipsychotic dikaitkan
gangguan bipolar olanzapine, oxcarbazepine, dengan waktu yang lebih
episode mania, quetiapine, lamotrigine and lama untuk penghentian
hipomania atau clozapine and gabapentin) dan menerima terapi
campuran ziprasidone) tambahan dalam
pengobatan gangguan
bipolar pada anak-anak
dan remaja dengan
p<0,05(0,490 SGA vs
0,817 MS)
29
Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat bahwa terapi dengan risperiodone mampu
menurunkan skor YMRS secara signifikan pada pasien dengan gangguan bipolar II
episode hipomania, dimana adanya penurunan dari baseline menjadi 1,7 (p<0,0001).
Selain itu juga terlihat perubahan skor CGI dimana 78% pasien mengalami perubahan
skor secara signifikan (p<0,0001). Penjabaran pasien, intervensi, komparator dan
outcome dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
31
panjang dapat berisiko menimbulkan efek samping seperti obesitas, diabetes mellitus
tipe 2, hiperlipidemia, hiperprolaktinemia, penyakit jantung, dan tardive dyskinesia.
Kami tidak merekomendasikan pemberian kombinasi obat karena terapi kombinasi
memiliki efektifitas yang sama dengan monoterapi dan cenderung lebih tinggi
menimbulkan efek samping yang berat, hal ini didukung oleh eviodence yang berjudul
“Role Of Risperidone In Bipolar II: An Open 6-Month Study” dimana pada jurnal
tersebut dilakukan perbandingan antara risperidone monoterapi dengan kombinasi antara
risperidone dan mood stabilisator (litium, valproate atau carbamazepine), dari hasil
tersebut diperoleh bahwa tidak adanya perbedaan yang signifikan antara kelompok
risperidone monoterapi dan kombinasi risperidone dengan mood stabilisator (litium,
valproate atau carbamazepine) dimana keduanya dapat ditoleransi dengan baik pada
pasien bipolar II episode hipomania. Tetapi 3 orang pasien menghentikan terapi akibat
adanya efek samping pada kelompok kombinasi risperidone dengan mood stabilisator
dan cenderung menimbulkan efek samping seperti disartria, pusing dan takikardia.
Penjabaran pasien, intervensi, komparator dan outcome dapat dilihat pada tabel sebagai
berikut:
Pasien Intervensi Komparator Outcome
Subjek sebanyak 44 Risperidone Kombinasi Risperidone dan
pada usia rata-rata 2,8 mg/hari risperidone 2,8 kombinasi dengan mood
45 tahun dengan mg/hari dengan stabilisator sama-sama
gangguan bipolar II mood stabilisator efektif untuk gangguan
episode hipomania (litium, valproate bipolar II episode
atau hipomania, tetapi terapi
carbamazepine) kombinasi memiliki efek
samping yang lebih tinggi
dan penghentian obat
akibat efek samping.
32
Adults” intervensi psikososial harus dimasukkan ke dalam perawatan pasien pengobatan
farmakologis untuk gangguan bipolar (Kelas A) dan Keluarga harus dilibatkan dalam
penatalaksanaan gangguan bipolar (Kelas A). Menurut Colom F, et.al, 2005 Bukti untuk
penggunaan psikoedukasi dan family-focused terapi sebagai tambahan untuk pengobatan
pada orang dengan gangguan bipolar yang stabil, saat ini, cukup konklusif. Studi
terkontrol acak dari pencegahan kekambuhan menggunakan psikoedukasi melaporkan
kemanjuran mencegah mania dan hypomania, depresi dan episode campuran, dalam
mengurangi tingkat rehospitalisasi dan meningkatkan kepatuhan. Dari pemaparan
tersebut kami merekomendasikan pemberian terapi non farmakologi berupa FFT
(Family-Focused Therapy).
Hal ini juga didukung dari beberapa jurnal “A Randomized Controlled Trial of
Psychoeducation or Cognitive-Behavioral Therapy in Bipolar Disorder: A Canadian
Network for Mood and Anxiety Treatments (CANMAT) Study” Penelitian ini melihat
kemanjuran pada psikoedukasi dan CBT ke dalam ranah efektivitas. Hasil jurnal ini
menunjukkan bahwa CBT tidak menunjukkan manfaat signifikan atas psikoedukasi
kelompok. Psikoedukasi sebagai perawatan yang lebih efektif untuk gangguan bipolar.
Psikedukasi lebih murah untuk disediakan dan membutuhkan lebih sedikit pelatihan
dokter untuk menyarankan daya tarik komparatif. Penjabaran pasien, intervensi,
komparator serta outcome dari jurnal tersebut dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
34
penurunan gejala gangguan mood yang lebih besar dan kepatuhan pengobatan yang lebih
baik selama 2 tahun daripada pasien yang menjalani farmakoterapi obat saja. Pada jurnal
ini juga dikatakan menggabungkan psikoedukasi keluarga dengan farmakoterapi dapat
meningkatkan penyesuaian gejala setelah episode dan kepatuhan obat pada pasien
bipolar. Penjabaran pasien, intervensi, komparator serta outcome dari jurnal tersebut
dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Patien Intervention Comerator Outcome
101 pasien usia FFT kombinasi Farmakoterapi Pasien yang
18-65 tahun dengan obat saja menambahkan FFT selain
dengan diagnosa farmakoterapi obat (n=70) obat memiliki lebih
bipolar episode (n=31) sedikit kekambuhan
mania, hipomania (35%) dibandingkan
atau campuran. pasien yang menjalani
terapi obat saja (54%).
Pasien yang menjalani
FFT menunjukkan
perbaikan gangguan mood
yang lebih besar dan
kepatuhan pengobatan
yang lebih baik selama 2
tahun dibandingkan
pasien yang hanya
menjalani terapi obat saja.
3). Monitoring
a. Efektifitas :
Menurut “Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Ninth Edition” terdapat
beberapa hal yang harus dimonitoring untuk penanganan kasus bipolar yaitu:
- Mood episodes dimana pada kondisi hipomania harus dipantau secara ketat,
karena 5% hingga 15% pasien dapat dengan cepat beralih ke episode manik.
Cara memonitoring dapat dilakukan dengan cara dokumentasi gejala pada daily
mood chart (documentasikan life stressors, tipe episode, lama waktu tiap
35
episode dan outcome terapi). Menurut evidence “Bipolar Disorder Recurrence
Prevention Using Self-Monitoring Daily Mood Charts: Case Reports From A 5
Year Period” dinyatakan bahwa monitoring suasana hati dengan daily mood
chart dapat mempertahankan kondisi mental yang stabil selama lebih dari 5
tahun. Melalui monitoring suasanya hati maka akan dapat mencegah perburukan
hipomania menjadi mania dan dari penelitian tersebut dinyatakan bahwa pasien
yang menuliskan suasana hatinya pada daily mood chart mengalami fluktuasi
suasana hati menurun pada semua pasien karena skor rata-rata mendekati nol
dan koefisien nilai variasi menurun dari waktu ke waktu.
- Kepatuhan pengobatan (tidak adanya dosis obat adalah alasan utama untuk tidak
merespons dan timbulnya kambuhnya episode)
- Monitoring kenaikan berat badan yang dapat dilakukan setiap 1 bulan karena
menurut jurnal yang berjudul “Strategies for Monitoring Outcomes in Patients
With Bipolar Disorder” kenaikan berat badan tampaknya menjadi jalur penting
untuk diabetes pada pasien dengan gangguan bipolar yang menggunakan
antipsikotik generasi kedua, dengan peningkatan nafsu makan, yang mengarah
pada peningkatan berat badan dan resistensi insulin, dan akhirnya diabetes.
Selain itu terdapat beberapa hal lain yang perlu dimonitoring dimana yang
berhubungan dengan timbulnya suatu komplikasi metabolik yaitu:
VII. KESIMPULAN
Dari pembahasan kasus pasien SH dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Gangguan bipolar merupakan gangguan mood kronik yang ditandai dengan
adanya episode mania atau hipomania yang muncul secara bergantian atau
bercampur dengan episode depresi.
2. Dalam patofisiologi gangguan bipolar terdapat tiga jenis neurotransmitter yang
berperan dalam terjadinya gangguan mood yaitu norepinefrin, dopamin, dan
serotonin. Neurotransmisi dopaminergik adalah salah satu dari banyak
neuorotransmisi yang berpengaruh dan berkaitan langsung pada kejadian mood
pasien dengan gangguan bipolar, dengan terjadinya penurunan dopamin akan
menyebabkan terjadinya episode depresi. Sedangkan, peningkatan dari dopamin
akan menyebabkan terjadinya episode mania.
3. Gangguan bipolar dibagi menjadi empat jenis yaitu gangguan bipolar I, gangguan
bipolar II, gangguan siklotimia, dan gangguan bipolar yang tak dapat
dispesifikasikan.
4. Manifestasi klinis dari gangguan bipolar adalah Major Depressive, Mania,
Hipomania, Campuran, dan Siklus Cepat
5. Tatalaksana dari gangguan bipolar ada 2 yaitu:
a. Terapi farmakologi
a) Fase Akut
1) Mania dan Episode Campuran, Lini pertama untuk episode mania
atau campuran (berat) adalah inisiasi litium dengan antipsikotik,
atau asam valproat dengan antipsikotik.
2) Episode Depresi, Pengobatan lini pertama untuk depresi bipolar
adalah inisiasi litium atau lamotrigin. Monoterapi antidepresan tidak
dianjurkan.
37
3) Siklus Cepat, Litium, karbamazepin, dan asam valproat dalam
bentuk sendiri atau kombinasi adalah agen yang paling banyak
digunakan dalam pengobatan jangka panjang pasien dengan
gangguan bipolar
b) Terapi Pemeliharaan
Obat dengan bukti empiris terbaik dapat mendukung penggunaannya
dalam perawatan pemeliharaan antara lain litium dan valproat. Alternatif
yang lain dapat di gunakan yaitu lamotrigin atau karbamazepin atau
oxcarbazepine.
b. Terapi non farmakologi
a) Psikoterapi (Terapi kognitif (CBT), Terapi keluarga dan Terapi
psycotherapy interpersonal)
b) Electroconvulsive Therapy
6. Penyelesaian kasus pasien SH:
a. Pada kasus pasien SH ini, kami merekomendasikan pemberian risperidone 0,5
mg 2 x I kemudian dapat dititrasi hingga 1 mg yang digunakan selama 12
minggu.
b. Untuk terapi non farmakologi kami merekomendasikan psikoterapi yaitu FFT
(Family-Focused Therapy).
c. Monitoring Mood episodes, Kepatuhan pengobatan dan Monitoring kenaikan
berat badan.
38
DAFTAR PUSTAKA
Ahuja, Niraj. 2011. A Short Text Book Psychiatry Seventh Edition. India: Jaypee Brothers
Medical Publishers (P) Ltd.
Amir N. 2010. Gangguan Mood Bipolar Kriteria Diagnostic Dan Tatalaksana Dengan Obat
Antipsikotika Atipik. Jakarta: Balai penerbit FKUI.
APA (American Psychiatric Association), 2010. Practice Guideline For The Treatment of
Patients with Bipolar Disorder Second Edition. United States: American Psychiatric
Publishing
APA (American Psychiatric Association), 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders Fifth Edition. United States: American Psychiatric Publishing
Chen et al. 2014. Comparative Effectiveness Of Monotherapy With Mood Stabilizers Versus
Second Generation (Atypical) Antipsychotics For The Treatment Of Bipolar
Disorder In Children And Adolescents. Pharmacoepidemiology And Drug Safety
2014; 23: 299-308
David J. Miklowitz, PhD; Elizabeth L. George, PhD; Jeffrey A. Richards, MA;Teresa L.
Simoneau, PhD; Richard L. Suddath, MD.et.al. 2003. A Randomized Study of
Family-Focused Psychoeducation and Pharmacotherapy in the Outpatient
Management of Bipolar Disorder. Department of Psychology, University of
Colorado
Departemen Kesehatan R.I. Direktorat Jendral Pelayanan Medik, 1993. Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Cetakan Pertama.
Jakarta. P: 118-120
Dipiro, J.T., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., et al. 2008. Pharmacotherapy Handbook,
Seventh Edition. New York: McGraw-Hill.
Dipiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V.2015. Pharmacotherapy
Handbook, Ninth Edit. Inggris: McGraw-Hill Education Companies.
Furukori and Nakamura 2017. Bipolar Disorder Recurrence Prevention Using Self-
Monitoring Daily Mood Charts: Case Reports From A 5 Year Period.
Neuropsychiatr Dis Treat. 2017; 13: 733–736.
Grande, I., et al. 2013. Patterns of Pharmacological Maintenance Treatment in A Community
Mental Health Services Bipolar Disorder Cohort Study (SIN-DEPRES).
International Journal of Neuropsychopharmacology, 16: 513-523.
Hotjar. 2019. Treatment Options For Bipolar Disorder. UK: NHS
Ikawati, Z. 2011. Farmakoterapi Penyakit Sistem Syaraf Pusat Cetakan Ketiga. Yogyakarta:
Bursa Ilmu page 85-102.
James J. Gasper , 2013. Mood Disorders Ii: Bipolar Disorders , Applied Therapeutics The
Clinical Use Of Drugs Tenth Editoin Hal ; 1983
Kaplan & Sadock, B.J. 2015. Buku Ajaran Psikiatri Klinis. Edisi II. Jakarta : EGC
Ketter. 2010. Strategies for Monitoring Outcomes in Patients With Bipolar Disorder. Prim
Care Companion J Clin Psychiatry. 2010; 12(Suppl 1): 10–16
Kring, A.M., Johnson, S.L., Davisonm, G.C., and Neale, J..M., 2012. Abnormal Psychology
Twelfth Edition. United States: John Wiley & Sons, Inc.
Lukasiewicz, M., et al. 2013. Young Mania Rating Scale: how to interpret the numbers?
Determination of a severity threshold and of the minimal clinically significant
difference in the EMBLEM cohort. International Journal of Methods in Psychiatrics
Research, 22(1): 46-58.
Margaret M. Rea, Martha C. Tompson, Family-Focused Treatment Versus Individual
Treatment for Bipolar Disorder: Results of a Randomized Clinical Trial. Journal of
Consulting and Clinical Psychology Copyright 2003 by the American Psychological
Association, Inc
Masand et al. 2000. Comparison Of Risperidone And Olanzapine In Bipolar And
Schizoaffective Disorders. Biol Psychiatri Journal 42;1-173
Putrajaya. 2018. Management Of Bipolar Disorder In Adults. Malaysia: Ministry of Health
Malaysia
Sagar V. Parikh, MD; Ari Zaretsky, MD; Serge Beaulieu, MD, PhD, et al. 2012. A
Randomized Controlled Trial of Psychoeducation or Cognitive-Behavioral Therapy
in Bipolar Disorder: A Canadian Network for Mood and Anxiety Treatments
(CANMAT) Study. J Clin Psychiatry. Copyright 2012 Physicians Postgraduate Press,
Inc
Smith, K. 2019. Bipolar Disorder Causes. USA: Remedy Health Media
Tohen M dan Angst J, 2002. Epidemiology of Bipolar Disorder. In MT Tsuang & Tohen M
(Eds.), Textbook in Psychiatric Epidemiology second edition (pp. 427-447). New
Jersey: John Wiley & Sons, Inc
Vieta et al. 2001. Role Of Risperidone In Bipolar II: An Open 6-Month Study. Journal of
Affective Disorders 67;213–219
Wong, M. 2011. Management of Bipolar II Disorder. Indian J Psychol Med Jan;33(1):18-28.