Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI III

PRAKTIKUM VI : PENYAKIT BIPOLAR

Oleh,

Kelompok VI (Enam)/Kelas A2D


Ni Putu Intan Utami Danadyaksa Marhaeni 171200264
Putu Ayu Tania Ivana 171200265
Putu Baskara Yoga 171200266
Putu Sistha Purwaningrum 171200267
Putu Wika Wismantari 171200268
Trisna Permatayuni 171200269

Hari, Tanggal Praktikum : Kamis, 18 Juni 2020


Dosen Pengampu : Dhiancinantyan Windydaca Brata Putri., S.Farm.,
M.Farm., Apt

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
DENPASAR
2020
DAFTAR ISI
Daftar Isi.................................................................................................i
I. Tujuan Praktikum .................................................................................1
II. Dasar Teori .............................................................................................1
2.1 Definisi Bipolar .................................................................................1
2.2 Epidemiologi Bipolar.........................................................................2
2.3 Klasifikasi Bipolar.............................................................................2
2.4 Patofisiologis Bipolar.........................................................................3
2.5 Etiologi Bipolar..................................................................................6
2.6 Faktor Resiko Bipolar........................................................................7
2.7 Manifestasi Klinis Bipolar.................................................................8
2.8 Diagnosa Bipolar...............................................................................10
2.9 Tatalaksana Terapi Bipolar................................................................10
2.9.1 Tujuan Penatalaksanaan............................................................10
2.9.2 Terapi Farmakologi...................................................................11
2.9.3 Farmakologi Obat.....................................................................14
2.9.4 Terapi Non Farmakologi...........................................................16
III. Alat dan Bahan.......................................................................................17
IV. Kasus.......................................................................................................17
V. SOAP.......................................................................................................18
VI. Pembahasan............................................................................................25
VII. Kesimpulan.............................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA

i
PRAKTIKUM VI
PENYAKIT BIPOLAR

I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi dari penyakit bipolar
2. Mengetahui patofisiologi penyakit bipolar
3. Mengetahui klasifikasi penyakit bipolar
4. Mengetahui manifestasi klinis penyakit bipolar
5. Mengetahui tatalaksana farmakologi dan non-farmakologi penyakit bipolar.
6. Dapat menyelesaikan kasus terkait penyakit bipolar secara mandiri dengan
menggunakan metode SOAP

II. DASAR TEORI


2.1 Definisi Bipolar
Gangguan bipolar merupakan gangguan mood kronik yang ditandai dengan adanya
episode mania atau hipomania yang muncul secara bergantian atau bercampur dengan
episode depresi (Grande, et al., 2013). Episode mania berlangsung secara tiba-tiba dan
dalam jangka waktu 2 minggu sampai 4-5 bulan, sedangkan episode depresi cenderung
berlangsung lebih lama (rata-rata sekitar 6 bulan) namun tidak sampai satu tahun
kecuali pada orang usia lanjut (Depkes RI, 2012)
Gangguan bipolar yang dikenal sebagai manic-depresive illness adalah penyakit
medis yang mengancam jiwa karena adanya percobaan bunuh diri yang cukup tinggi
pada populasi bipolar, yaitu 10-15%. Gangguan bipolar adalah suatu penyakit jangka
panjang dan episodik dengan berbagai macam variasi perjalanan penyakit (Tohen and
Angst 2002).
Menurut PPDGJ III, gangguan afektif bipolar adalah suatu gangguan suasana
perasaan yang ditandai oleh adanya episode berulang (sekurang-kurangnya dua
episode) dimana afek pasien dan tingkat aktivitas jelas terganggu, pada waktu tertentu
terdiri dari peningkatan afek disertai penambahan energi dan aktivitas (mania atau
hipomania), dan pada waktu lain berupa penurunan afek disertai pengurangan energi
dan aktivitas (depresi).
2.2 Epidemiologi Bipolar
1
Gangguan bipolar (GB) merupakan gangguan jiwa berat yang prevalensinya cukup
tinggi yaitu 1%-2% dan merupakan penyebab disabilitas ke-6 di dunia. Menurut data
WHO (2016), 60 juta orang terkena bipolar. Sebuah survei komorbiditas nasional
melaporkan bahwa tingkat prevalensi seumur hidup dari episode manik adalah 1,6% ±
0,3% untuk pria dan 1,7% ± 0,3% untuk wanita di Amerika Serikat (sekitar 4 juta
orang). Gangguan bipolar I terjadi secara merata pada pria dan wanita, sedangkan
gangguan bipolar II lebih sering terjadi pada wanita. Dari 1,9 juta orang Amerika yang
memiliki gangguan bipolar I atau II, diperkirakan hanya 50% dari individu-individu ini
menerima semua jenis perawatan untuk penyakit mereka. Menurut data dari National
Comorbidity Survey Adolescent Supplement (NCS-A) prevalensi dari kelompok
remaja berusia 13-18 tahun, didapatkan sebanyak 2,9% remaja mengalami gangguan
bipolar, dan 2,6% diantaranya mengalami penurunan fungsi yang berat. Pada data ini
juga ditemukan prevalensi gangguan bipolar yang lebih tinggi pada remaja wanita
(3,3%) dibandingkan dengan remaja pria (2,6%). Prevalensi gangguan bipolar di
Indonesia belum tercatat dalam Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013.
Berdasarkan data tahun 2007 di Indonesia, prevalensi penderita GB jumlahnya
bervariasi, antara satu hingga empat persen dari populasi. Sementara, dari jenis GB,
umumnya hanya satu persen. Secara prevalensi, baik pria maupun wanita di Indonesia
memiliki perbandingan yang sama, yaitu satu persen. Sementara itu, prevalensi GB II
lebih tinggi 0,1 persen dari GB I yang berjumlah satu persen (Amir. 2010)

2.3 Klasifikasi Bipolar


Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV- text revised
(DSM IV-TR), gangguan bipolar dibagi menjadi empat jenis yaitu gangguan bipolar I,
gangguan bipolar II, gangguan siklotimia, dan gangguan bipolar yang tak dapat
dispesifikasikan.
a. Gangguan bipolar I : Ditandai oleh satu atau lebih episode manik atau campuran
yang biasanya disertai oleh episode-episode depresi mayor.
b. Gangguan bipolar II : Gambaran utama ditandai oleh terjadinya satu atau lebih
episode depresi mayor yang disertai oleh paling sedikit satu episode hipomanik.

2
c. Gangguan siklotimik : Ditandai paling sedikit dua tahun dari sejumlah periode
waktu gejala hipomanik yang tidak memenuhi kriteria episode manik dan
sejumlah periode gejala depresif yang tidak memenuhi kriteria depresif mayor.
d. Gangguan bipolar yang tidak terinci : Gangguan ini mencakup gambaran bipolar
yang tidak memenuhi kriteria di atas.
(James, 2013).

2.4 Patofisiologi Bipolar


Terdapat tiga jenis neurotransmitter yang berperan dalam terjadinya gangguan
mood yaitu norepinefrin, dopamin, dan serotonin. Neurotransmisi dopaminergik adalah
salah satu dari banyak neuorotransmisi yang berpengaruh dan berkaitan langsung pada
kejadian mood pasien dengan gangguan bipolar, dengan terjadinya penurunan dopamin
akan menyebabkan terjadinya episode depresi. Sedangkan, peningkatan dari dopamin
akan menyebabkan terjadinya episode mania. Mania dan depresi juga keduanya
dikaitkan dengan kadar serotonin rendah (Kaplan dan Sadock’s, 2015).

Gambar 1. Jalur serotonin dan dopamin dalam otak


a. Serotonin
Ketika neurotransmiter serotonin ini dilepaskan ke sinaps, maka saat itulah
pompa bekerja me-reuptake beberapa neurotransmiter sebelum mencapai
neuron postsinaptik. Gejala depresi pada riwayat keluarga yang memiliki
depresi disebabkan karena pengurangan triptofan, dimana triptofan merupakan
prekursor utama serotonin. Kelainan bipolar sangat sering dikaitkan dengan
berkurangnya sensitivitas reseptor serotonin (Kring et al., 2012). Penipisan

3
serotonin dapat memicu depresi, dan beberapa pasien dengan kecenderungan
bunuh diri memiliki concentration serebrospinal fluid (CSF) serotonin
metabolit rendah dan konsentrasi serotonin yang rendah dalam trombositnya
(Kaplan dan Sadock’s, 2015).
b. Dopamin
Penurunan dopamin akan menyebabkan terjadinya episode depresi pada
pasien dengan gangguan bipolar, sebaliknya peningkatan dari dopamin akan
menyebabkan terjadinya episode mania (Kaplan dan Sadock’s, 2015).
c. Norepinefrin
Dalam beberapa kasus kesehatan, bahwa pada orang depresi terjadi
pengurangan jumlah neurotransmiter tertentu (monoamina seperti
norepinefrin) (Kaplan dan Sadock’s, 2015).
Patofisiologi dari gangguan bipolar yaitu akibat disregulasi sirkuit neural yang di
pengaruhi oleh perubahan fungsional dan perubahan struktural. Hal tersebut dapat
terjadi akibat ketidakseimbangan volume otak. Pada studi pencitraan struktural
menunjukkan bahwa depresi berat dihubungkan dengan penurunan volume 5-10% di
hipokampus. Eksositosis, merupakan proses pengekskresian neurotransmiter ke celah
sinaptik. Di mana selaput vesikula menyatu dengan tombol presinaptik. Sinapsis adalah
titik persimpangan antara dua neuron. Di sela celah, neurotransmiter mengikat reseptor
membran: protein besar menempati di membran sel neuron pasca sinaptik.
Neurotransmiter ini melintasi celah sinaps yang mana merupakan ruang antara akson
satu neuron dan dendrit neuron berikutnya ke jalur saraf (Kring et al., 2012).
BDNF (Brain-Derived Neurotrophic Factor) memegang peranan penting dalam
mengatur pelepasan serotonin, glutamat, dan gamma-aminobutyric acid (GABA), serta
modulasi tidur. Sedangkan GDNF (Glial Cell Line-Derived Neurotrophic Factor)
adalah regulator penting dalam neuroplastisitas, pengeluaran sinyal MA (monoamine)
dan GABA, serta aktivasi mikroglia. Penurunan BDNF dan GDNF menghasilkan
mikroglia terus teraktivasi, terjadi penggangguan sistem pembuatan benang myelin,
serta apoptosis neuron. Mikroglia yang aktif menunjukkan peningkatan aktivitas enzim
indolamine 2,3-dioxygenase yang mengubah triptofan menjadi asam kuinolat.
Peningkatan metabolisme triptofan menjadi asam kuinolat mengganggu sinyal
serotonin akibat penipisan triptofan, sementara asam kuinolat yang dilepaskan
4
berkontribusi terhadap neurotoksisitas. Glutamat yang dilepaskan dari astroglia
mengakses reseptor N-methyld-aspartate (NMDA) di ekstra-sinaptik, hasilnya
menyebabkan penambahan penekanan sintesis BDNF dan aktivasi proapoptosis. Asam
kuinolat merupakan agonis NMDA yang selanjutnya dapat mempotensiasi eksitasi.
Selanjutnya, sitokin proinflamasi mengganggu sistem 5HT dan dopamin, selanjutnya
mengganggu sinyal monoamin (Kring et al., 2012).
Selain itu juga, Menurut penelitian Mann et al tahun 2014 pasien bipolar juga
mengalami penurunan kadar GABA pada CSF, penurunan ini menyebabkan
peningkatan kecemasan psikis dan depresi berat. GABA merupakan hasil dari sintesis
glutamat yang di katalis oleh GAD (Glutamat dekarboksilase) (Katzung etal, 2012).
Setelah terjadinya eksositosis, GABA akan berdifusi dari presinap menuju celah sinap
dan berikatan dengan reseptornya kemudian GABA akan direuptake menuju presinap
dan diuptake menuju glia oleh GAT-1/2/3, peningkatan uptake akan mengakibatkan
penurunan GABA pada celah sinap, efek dari penurunan GABA akan memicu
terjadinya gangguan bipolar dengan episode depresi (Ikawati, 2011).

Gambar 2. Mekanisme Patofisiologi GABA


Menurut Dipiro (2015), terdapat beberapa patofisiologi seseorang mengalami
bipolar yakni :
a. Kondisi medis, obat dan terapi yang menginduksi terjadinya mania.
b. Penyakit bipolar juga disebabkan oleh pengaruh lingkungan, genetik, neurologis
dan faktor psikologis (Dipiro et al., 2015).
Tabel 1. Kondisi medis, obat dan terapi yang menginduksi terjadinya mania
5
2.5 Etiologi Bipolar
Penyebab gangguan bipolar sampai saat ini belum dapat diketahui dengan pasti.
Banyak faktor yang mempengaruhi dalam gangguan bipolar antara lain:
a. Faktor Genetik
Data keluarga menunjukkan bahwa apabila dari salah satu orang tua memiliki
gangguan mood, seorang anak akan memiliki risiko antara 10 dan 25 persen
mewarisi gangguan mood. Jika kedua orang tua terkena bipolar, risiko ini
berpengaruh besar terhadap anaknya (Kaplan dan Sadock’s, 2015)

b. Faktor Biokimia

6
Terdapat tiga jenis neurotransmitter yang berperan dalam terjadinya gangguan
mood yaitu norepinefrin, dopamin, dan serotonin.
c. Faktor Psikososial
Peristiwa dalam kehidupan yang penuh tekanan akan menyebabkan perubahan
dalam biologi di otak maupun perubahan signal dalam saraf. Hubungan antara
kehidupan yang penuh stress dengan episode suasana hati telah dilaporkan pada
pasien dengan gangguan depresi mayor dan pasien dengan gangguan bipolar I.
d. Faktor Kognitif
Dalam teori kognitif, pikiran dan kepercayaan negatif dipandang sebagai
penyebab utama depresi. Pikiran pesimis dan self-critical bisa menyiksa orang
dengan depresi. Teori Aaron Beck dan teori keputusasaan keduanya
menekankan jenis pemikiran negatif ini. Teori ruminasi menekankan
kecenderungan untuk memikirkan suasana hati dan pikiran negatif (Kring et al.,
2012).
e. Faktor Hopelessness
Menurut teori ini pemicu depresi yang sangat buruk adalah keputusasaan yang
dapat diartikan dengan gejala penurunan kesedihan, motivasi, bunuh diri,
penurunan energi, retardasi psikomotor, gangguan tidur, konsentrasi yang
buruk, dan kognisi negatif (Kring et al., 2012). Teori ini menekankan bahwa
perbaikan depresi bergantung pada pembelajaran pasien yang dapat menguasai
kontrol dan lingkungan (Kaplan dan Sadock’s, 2015).

2.6 Faktor Resiko Bipolar


a. Riwayat Keluarga
Anak-anak dari orang tua dengan penyakit mental yang parah memiliki sekitar
sepertiga peluang mengembangkan penyakit mental yang parah pada masa
dewasa. Gejala mungkin pertama kali muncul selama masa remaja atau awal
dewasa (Smith, K. 2019)
b. Kondisi Stres Berat
Orang yang mengalami peristiwa traumatis berisiko lebih tinggi untuk
mengalami gangguan bipolar. Faktor masa kanak-kanak seperti pelecehan
seksual atau fisik, penelantaran, kematian orang tua, atau peristiwa traumatis
7
lainnya dapat meningkatkan risiko gangguan bipolar di kemudian hari.
Peristiwa yang sangat menegangkan seperti kehilangan pekerjaan, pindah ke
tempat baru, atau mengalami kematian dalam keluarga juga dapat memicu
episode manik atau depresi. Kurang tidur juga dapat meningkatkan risiko
episode manik (Smith, K. 2019).
c. Konsumsi Alkohol dan Penyalahgunaan Zat
Orang yang menyalahgunakan narkoba atau alkohol juga berisiko mengalami
gangguan bipolar. Penggunaan zat tidak menyebabkan gangguan, tetapi dapat
membuat episode mood menjadi lebih buruk atau mempercepat timbulnya
gejala. Terkadang obat-obatan juga dapat memicu timbulnya manik atau
episode depresi (Smith, K. 2019).
d. Jenis Kelamin
Wanita tiga kali lebih mungkin mengalami siklus episode mood yang cepat.
Mereka juga lebih mungkin mengalami episode gangguan depresi dan
campuran dibandingkan dengan pria (Smith, K. 2019).

2.7 Manifestasi Klinis Bipolar


Terdapat fluktuasi suasana hati yang berlanjut selama berbulan-bulan atau setelah
satu episode, bisa terjadi bertahun-tahun tanpa terulangnya jenis apapun (Dipiro et al.,
2015).
a. Major Depressive
Dalam periode >2 minggu mengalami penekanan suasana hati atau kehilangan
minat atau kesenangan dalam kegiatan normal terkait dengan setidaknya 5 dari
gejala berikut:
1. Suasana hati yang depresi yaitu sedih pada orang dewasa dan mudah
tersinggung pada anak-anak
2. Penurunan minat dan kesenangan dalam aktivitas normal
3. Nafsu makan menurun, penurunan berat badan
4. Insomnia atau hypersomnia
5. Keterbelakangan atau agitasi psikomotor
6. Berkurangnya energi atau kelelahan
7. Perasaan bersalah atau merasa tidak dihargai
8
8. Konsentrasi dan pengambilan keputusan yang terganggu
9. Pikiran atau usaha bunuh diri
b. Mania
Dalam periode > 1 minggu terjadi ketidaknormalan dan perubahan mood yang
persisten (ekspansif dan mudah marah) terkait dengan setidaknya tiga dari
gejala berikut ini:
1. Kepercayaan diri meningkat
2. Kebutuhan tidur yang berkurang
3. Peningkatan berbicara atau tekanan bicara
4. Balapan pikiran (penerbangan ide)
5. Distractible (perhatian buruk)
6. Peningkatan aktivitas (sosial, di tempat kerja atau seksual) atau peningkatan
aktivitas motorik atau agitasi
7. Keterlibatan berlebihan dalam kegiatan yang menyenangkan tetapi
memiliki resiko tinggi untuk konsekuensi serius.
c. Hipomania
Episode hipomania tidak ada kerusakan yang nyata dalam fungsi sosial atau
pekerjaan, tidak ada delusi, dan tidak ada halusinasi. Setidaknya selama 4 hari
terjadi peningkatan suasana hati abnormal dan persisten (ekspansif dan mudah
murah), berhubungan dengan 3 gejala berikut:
1. Kepercayaan diri meningkat
2. Kebutuhan tidur yang berkurang
3. Peningkatan berbicara atau tekanan bicara
4. Balapan pikiran (penerbangan ide)
5. Peningkatan aktivitas (sosial, di tempat kerja atau seksual) atau peningkatan
aktivitas motorik atau agitasi
6. Keterlibatan berlebihan dalam kegiatan yang menyenangkan tetapi
memiliki resiko tinggi untuk konsekuensi serius.

d. Campuran

9
Kriteria untuk episode depresi mayor dan episode manik terjadi hampir setiap
hari setidaknya selama 1 minggu.
e. Siklus Cepat
> 4 episode depresi atau manik utama (manik, campuran, atau hipomanik)
dalam 12 bulan

2.8 Diagnosa Bipolar


Untuk gangguan bipolar I, diperlukan setidaknya satu episode mania yang
berlangsung minimal selama satu minggu. Ciri yang membedakan gangguan bipolar II
dari gangguan bipolar I ialah adanya episode hipomania yang terjadi saat ini maupun
sebelumnya. Penderita gangguan bipolar II sering mengalami perasaan mudah iri yang
membedakan gangguan bipolar II dari gangguan bipolar I ialah adanya episode
hipomania yang terjadi saat ini maupun sebelumnya. marah dan sebelumnya tidak
memiliki episode mania secara penuh (American Psychiatric Association, 2013).
Siklotimia merupakan gangguan mood kronik yang berlangsung minimal 2 tahun
(1 tahun pada anak-anak) yang ditandai dengan adanya perubahan suasana hati meliputi
gejala hipomania yang tidak memenuhi kriteria episode hipomania dan gejala depresi
yang tidak memenuhi kriteria gejala depresi (American Psychiatric Association, 2013).
Dalam mengukur tingkat keparahan gejala mania dapat digunakan skala rating
seperti Clinical Global Impression Bipolar (CGI-BP) mania scale atau skala spesifik
seperti Mania Rating Scale (MRS) atau Young Mania Rating Scale (YMRS). Pada CGI,
tingkat keparahan dinilai berdasarkan indikator klinis dan non-klinis, sedangkan
MRS/YMRS berfokus pada gejala klinis (Lukasiewicz et al., 2013).

2.9 Tatalaksana Bipolar


1). Tujuan Penatalaksanaan
Tujuan tatalaksana terapi penyakit bipolar yaitu:
a. Mengurangi gejala bipolar
b. Mencegah episode berikutnya
c. Meningkatkan kepatuhan pasien pada pengobatan
d. Menghindari stressor yang dapat memicu kejadian episode
e. Mengembalikan fungsi-fungsi kehidupan menjadi normal
10
2). Terapi Farmakologi
Terapi untuk bipolar dibagi menjadi 2 yaitu terapi fase akut dan terapi
pemeliharaan. Pengobatan gangguan bipolar harus dilakukan secara individual
karena gambaran klinis, keparahan dan frekuensi terjadi yang bervariasi antar
pasien (Ikawati, 2011).
a. Fase Akut
1. Mania dan Episode Campuran
Pengobatan mania akut, atau hipomania, bisa digunakan dalam bentuk
tunggal atau dapat dilakukan kombinasi. Pasien dengan mania berat paling
baik diobati di rumah sakit dimana dosis harus tepat dan outcome yang akan
didapat, dalam beberapa hari atau minggu. Kepatuhan terhadap pengobatan
sering menjadi masalah karena pasien mania kebanyakan sangat membutuhkan
pengetahuan tentang penyakit mereka dan kebanyakan menolak untuk minum
obat (Kaplan dan Sadock’s, 2015).
Lini pertama untuk episode mania atau campuran (berat) adalah inisiasi
litium dengan antipsikotik, atau asam valproat dengan antipsikotik. Bagi
pasien yang tidak terlalu parah, monoterapi dengan lithium, valproate, atau
antipsikotik seperti olanzapine mungkin cukup. Pengobatan tambahan jangka
pendek yaitu benzodiazepin juga bisa membantu. Untuk episode campuran,
valproat lebih disukai daripada litium. Antipsikotik atipikal lebih disarankan
dari pada antipsikotik khas karena profil efek sampingnya yang lebih minimal
(APA, 2010).
2. Episode Depresi
Etiology dari depresi antara lain alkohol atau penggunaan obat. Mengobati
gejala depresi tersebut dapat dilakukan dengan cara pemberian nutrisi yang
baik dengan protein normal dan asupan asam lemak esensial, berolahraga,
tidur yang cukup, pengurangan stres, dan terapi psikososial (Dipiro et al.,
2015).
Pengobatan lini pertama untuk depresi bipolar adalah inisiasi litium atau
lamotrigin. Monoterapi antidepresan tidak dianjurkan. Sebagai alternatif,
terutama untuk pasien yang sakit parah, beberapa dokter akan melakukan
perawatan simultan dengan litium dan antidepresan. Sejumlah besar penelitian
11
membuktikan kemanjuran psikoterapi dalam pengobatan depresi unipolar.
Pada pasien dengan kemungkinan mengancam jiwa, bunuh diri, atau psikosis,
ECT juga merupakan alternatif yang dapat digunakan karena ECT bisa
dipergunakan kepada pasien depresi selama kehamilan (APA, 2010).
Secara umum kegunaan antidepresan merupakan standar pada penyakit
bipolar, penggunaan antidepresan kontroversial pada siklus cepat, mania, atau
hipomania. Dengan demikian, obat antidepresan sering dikombinasi oleh
stabilisator mood dalam pengobatan lini pertama untuk episode depresi bipolar
I. Kombinasi olanzapine dan fluoxetine terbukti efektif dalam mengobati
depresi bipolar akut selama 8 minggu tanpa mendorong beralih ke mania atau
hipomania (Kaplan & Sadock’s, 2015). Pasien yang memiliki kecenderungan
untuk bunuh diri diberikan diazepam atau lorazepam dengan dosis kecil atau
antipsikotik (seperti haloperidol atau risperidone) dapat digunakan secara oral
atau parenteral (Ahuja, 2011).
3. Siklus Cepat
Intervensi awal pada pasien yang mengalami rapid cycling adalah untuk
mengidentifikasi dan mengobati kondisi medis, seperti hipotiroidisme atau
penggunaan narkoba atau alkohol, yang dapat menyebabkan cycling (APA,
2010). Litium, karbamazepin, dan asam valproat dalam bentuk sendiri atau
kombinasi adalah agen yang paling banyak digunakan dalam pengobatan
jangka panjang pasien dengan gangguan bipolar (Kaplan dan Sadock’s, 2015).

12
Gambar 3. Algoritma Terapi Akut Gangguan Bipolar I dengan Episode Mood (Dipiro, 2008)

b. Terapi Pemeliharaan
Ada beberapa penelitian yang melibatkan pasien dengan gangguan bipolar II
telah dilakukan, pertimbangan perawatan pemeliharaan untuk bentuk penyakit ini
juga sangat diperlukan (APA, 2010). Lamotrigin merupakan antidepresan
profilaksis dan berpotensi menstabilkan suasana hati pada terapi pemeliharaan
(Kaplan dan Sadock’s, 2015). Setelah kesembuhan dari episode akut, pasien
mungkin tetap pada resiko tinggi untuk kambuh dalam jangka hingga 6 bulan.
Pengobatan tersebut adalah terapi pemeliharaan (Ikawati, 2011). Obat dengan
bukti empiris terbaik dapat mendukung penggunaannya dalam perawatan
pemeliharaan antara lain litium dan valproat. Alternatif yang lain dapat di gunakan
yaitu lamotrigin atau karbamazepin atau oxcarbazepine. Perawatan ECT juga dapat
dipertimbangkan untuk pasien yang episode akutnya merespons ECT (APA, 2010).
3). Farmakologi Obat

13
a. Antipsikotik
Antipsikotik generasi pertama dan kedua, seperti aripiprazole, asenapine,
haloperidol, olanzapine, quetiapine, risperidone, dan ziprasidone efektif sebagai
monoterapi atau terapi tambahan untuk lithium atau valproate untuk mania akut.
Mekanisme kerja dari antipsikotik yaitu memblokir reseptor DA2 dan yang lebih
baru antipsikotik atipikal dapat memblokir reseptor DA2 dan 5-HT2A digunakan
untuk mengurangi aktivitas DA dalam pengobatan mania dan campuran (Dipiro et
al., 2015).
Antipsikotik generasi pertama dan kedua efektif pada 70% pasien mania akut
yang terkait dengan agitasi, agresi, dan psikosis. Haloperidol decanoate,
fluphenazine decanoate, dan risperidone, aripiprazole, dan injeksi long-acting
olanzapine adalah pilihan monoterapi untuk terapi pemeliharaan gangguan bipolar
dengan ketidakpatuhan atau resistensi pengobatan (Dipiro et al., 2015).
Studi terkontrol dalam mania akut menunjukkan bahwa litium atau valproat
plus antipsikotik lebih efektif daripada agen-agen ini saja. Quetiapine dan
kombinasi fluoxetine / olanzapine efektif untuk depresi bipolar akut. Monoterapi
Clozapine memiliki efek menstabilkan suasana hati akut dan jangka panjang dalam
gangguan bipolar refrakter, termasuk campuran mania dan siklus cepat, tetapi
membutuhkan pemantauan sel darah putih secara teratur untuk agranulositosis.
Dosis awal antipsikotik yang lebih tinggi (misalnya, 20 mg / hari olanzapine)
diperlukan untuk mania akut. Setelah mania dikendalikan (biasanya 7–28 hari),
antipsikotik dapat secara bertahap dikurangi dan dihentikan (Dipiro et al., 2015).
b. Antikonvulsan
1). Carbamazepine
Mekanisme karbamazepine yaitu derivatif dibenzazepin, secara struktural
terkait dengan trisiklik antidepresan. Karbamazepin umumnya digunakan
untuk terapi akut dan perawatan. Hanya formulasi extended-release yang
disetujui FDA untuk gangguan bipolar di Amerika Serikat. Biasanya
disediakan untuk pasien refraktori lithium, siklus cepat, atau keadaan
campuran. Carbamazepin kurang efektif daripada lithium untuk terapi
pemeliharaan dan untuk depresi bipolar. Kombinasi carbamazepine dengan
lithium, valproate, dan antipsikotik sering digunakan untuk episode manik
14
pada pasien yang resisten terhadap pengobatan. Untuk pasien rawat inap dalam
episode manik akut, dosis dapat dimulai pada 400 hingga 600 mg / hari dalam
dosis terbagi dengan makanan dan ditingkatkan sebesar 200 mg / hari setiap 2
hingga 4 hari hingga 10 hingga 15 mg / kg / hari. Pasien rawat jalan harus
dititrasi lebih lambat untuk menghindari efek samping (Dipiro et al., 2015).
2). Oxcarbazepine
Merupakan Analog 10-keto dari carbamazepine, memblokir sodium yang
sensitif terhadap tegangan saluran, memodulasi arus kalsium yang diaktifkan
tegangan, dan meningkatkan konduktansi kalium. Uji coba awal menunjukkan
oxcarbazepine memiliki penstabil suasana hati efek yang mirip dengan
carbamazepine, dengan kelebihan efek samping yang lebih ringan, tidak ada
autoinduksi enzim hati, dan interaksi obat yang berpotensi lebih sedikit. Dosis
awal biasanya 150 hingga 300 mg dua kali sehari, dan dosis harian dapat
ditingkatkan 300 hingga 600 mg setiap 3 hingga 6 hari hingga 1.200 mg / hari
dalam dosis terbagi (dengan atau tanpa makanan) (Dipiro et al., 2015).
3). Lamotrigin
Lamotrigin efektif untuk pemeliharaan pengobatan gangguan bipolar I dan
II pada orang dewasa, memiliki efek antidepresan dan menstabilkan suasana
hati. Lamotrigin memiliki tingkat yang rendah untuk mengalihkan pasien ke
mania, meskipun kurang efektif untuk mania akut dibandingkan dengan
lithium dan valproate, mungkin bermanfaat untuk terapi pemeliharaan
gangguan bipolar I dan II yang resistan terhadap pengobatan, siklus cepat, dan
keadaan campuran. Tampaknya paling efektif untuk pencegahan depresi
bipolar. Efek samping yang umum termasuk sakit kepala, mual, pusing,
ataksia, diplopia, kantuk, tremor, ruam makulopapular (10% pasien), dan
pruritus. Untuk perawatan pemeliharaan gangguan bipolar, kisaran dosis
lamotrigin yang biasa adalah 50 hingga 300 mg / hari. Dosis target umumnya
adalah 200 mg / hari (100 mg / hari) kombinasi dengan valproate dan 400 mg /
hari dalam kombinasi dengan carbamazepine) (Dipiro et al., 2015).
4). Valproic Acid
Valproate Sodium dan Valproic Acid disetujui untuk episode manik atau
campuran akut, adalah penstabil suasana hati yang paling diresepkan di
15
Amerika Serikat. Ini sama efektifnya dengan lithium dan olanzapine untuk
mania murni, dan ini bisa lebih efektif daripada lithium untuk siklus cepat,
campuran, dan gangguan bipolar dengan penyalahgunaan zat. Ini mengurangi
frekuensi (atau mencegah) episode manik, depresi, dan campuran berulang.
Efek samping valproate terkait dosis yang paling sering adalah keluhan GI,
tremor halus, dan sedasi. Dosis awal adalah 250 hingga 500 mg dua kali
sehari, dosis pemuatan divalproex 20 hingga 30 mg / kg / hari dapat diberikan
selama 12 jam. Dosis harian disesuaikan 250 hingga 500 mg setiap 1 hingga 3
hari berdasarkan respons dan tolerabilitas. Dosis maksimum adalah 60 mg / kg
/ hari (Dipiro et al., 2015).
c. Litium
Lithium adalah agen lini pertama untuk mania akut, depresi bipolar akut, dan
perawatan pemeliharaan gangguan bipolar I dan II. Lithium cepat diserap, tidak
terikat protein atau dimetabolisme, dan diekskresikan tidak berubah dalam urin dan
cairan tubuh lainnya. Diperlukan 6 hingga 8 minggu untuk menunjukkan
kemanjuran antidepresan (Dipiro et al., 2015).
4). Terapi Non Farmakologi
a. Psikoterapi
Mengobati penyalahgunaan zat serta pemberian nutrisi yang baik dengan
protein normal dan asupan asam lemak esensial, berolahraga, tidur yang cukup,
pengurangan stres, dan terapi psikososial. Ini bisa dilakukan dengan
memberikan dukungan, edukasi, dan bimbingan kepada orang-orang dengan
gangguan bipolar dan keluarga penderita gangguan bipolar. Beberapa
perawatan psikoterapi yang digunakan untuk mengobati gangguan bipolar
meliputi (Dipiro et al., 2015):
- Terapi kognitif (CBT)
- Terapi keluarga
- Terapi psycotherapy interpersonal
b. Electroconvulsive Therapy
Bentuk perawatan psikologis yang berbeda telah terbukti membantu
mengurangi gejala depresi (Kring et al., 2012). Electroconvulsive therapy

16
(ECT) adalah perawatan yang aman dan efektif untuk penyakit mental berat
tertentu. Electroconvulsive Therapy (ECT) dapat memberikan bantuan bagi
orang dengan gangguan bipolar berat yang tidak dapat sembuh dengan
perawatan lainnya. Terkadang ECT digunakan untuk gejala bipolar saat kondisi
medis lainnya, termasuk kehamilan, yang terlalu berisiko minum obat. Pasien
gangguan bipolar harus mendiskusikan kemungkinan manfaat dan risiko ECT
dengan profesional kesehatan. Dikarenakan ECT dapat menyebabkan beberapa
efek samping jangka pendek, termasuk kebingungan, disorientasi, dan
penurunan memori hingga amnesia (Dipiro et al., 2015).

III. ALAT DAN BAHAN


3.1 Alat
1. Form SOAP
2. Form Medication Record
3. Catatan Minum Obat
4. Kalkulator Scientific
5. Laptop dan Koneksi Internet
3.2 Bahan
1. Text Book (Dipiro, Koda Kimble, DIH)
2. Data nilai normal laboratorium
3. Evidence terkait (Journal, Systematic Review, Meta Analysis

IV. KASUS
Nn. SH, 17 tahun yang merupakan anak bungsu dari 2 bersaudara. SH adalah anak
yang penurut dan tidak pernah membangkang perintah orang tuanya, sehingga orang
tuanya sangat menyukai SH. Berbeda hal dengan kakak SH yang sangat pembangkang dan
tidak menurut orang tua. SH mengalami insomnia sejak usia 13 tahun. Setiap malam ia
mengalami kesulitan untuk tidur dan akhirnya menggangu kegiatan belajar di sekolah.
Nilai SH mengalami penurunan, sehingga orang tuanya memutuskan melaksanakan home
scholling. Perilaku insomnia ini muncul pasca pertengkaran hebat di dalam keluarga,
dimana kakak SH terlibat masalah dengan polisi. Kondisi rumah sangat kacau, bapak dan
ibunya selalu bertengkar setiap harinya den berlangsung kurang lebih 3 bulan sejak itu,
17
menyebabkan SH tidak dapat memejamkan matanya walaupun mengantuk. SH sempat
mengalami depresi yang terus menerud meningkat, hingga akhirnya beberapa kali
melakukan percobaan bunuh diri. Beruntungnya masih dapat dicegah oleh ibunya.
Sejak itu, SH lebih sering menyendiri didalam kamar untuk menghindari
pertengkaran, dan SH lebih menyukai kondisi kamarnya serta dapat beriistirahat lebih
rilkes. SH juga dapat berkonsentrasi , mencari tahu dan menganalisa segala hal yang dia
senangi. SH tertarik dengan politik dan memiliki pemikiran tersendiri tentang politik. SH
percaya bahwa dirinya merupakan reinkarnasi seorang politikus terkenal sebelumnya. SH
juga senang menuliskan ide yang dimiliki dalam bentuk buku diary, paper note yang
ditempelkan di dinding kamar, dan computer. Akitvitas ini semakin meningkat saat, SH
merasakan gairah untuk melakukan sesuatu. Nenek kandung SH dari pihak bapak
memiliki depresi berat. Sebagai seorang farmasi klinis, tentukan rekomendasi terapi dan
assesment terapi yang anda usulkan untuk pasien ini

V. SOAP
PHARMACEUTICAL CARE
PATIENT PROFILE

Tn. / Ny. : SH
Usia : 17 tahun

Presenting Complain
SH mengalami insomnia sejak usia 13 tahun. Setiap malam ia mengalami kesulitan
untuk tidur dan akhirnya menggangu kegiatan belajar di sekolah. Perilaku insomnia ini
muncul pasca pertengkaran hebat di dalam keluarga, dimana kakak SH terlibat masalah
dengan polisi. Kondisi rumah sangat kacau, bapak dan ibunya selalu bertengkar setiap
harinya den berlangsung kurang lebih 3 bulan sejak itu, menyebabkan SH tidak dapat
memejamkan matanya walaupun mengantuk. SH sempat mengalami depresi yang terus
menerud meningkat, hingga akhirnya beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri.
Beruntungnya masih dapat dicegah oleh ibunya. SH tertarik dengan politik dan memiliki
pemikiran tersendiri tentang politik. SH percaya bahwa dirinya merupakan reinkarnasi
seorang politikus terkenal sebelumnya. SH juga senang menuliskan ide yang dimiliki dalam
18
bentuk buku diary, paper note yang ditempelkan di dinding kamar, dan computer. Akitvitas
ini semakin meningkat saat, SH merasakan gairah untuk melakukan sesuatu. Nenek kandung
SH dari pihak bapak memiliki depresi berat.

Diagnosa sementara : -
Diagnosa akhir :-

Relevant Past Medical History: -

Drug Allergies: -

Tanda-tanda vital: -

Tidak ada pemeriksaan laboratorium

FIR (Further Information Required)


No Further Information Required Alasan
.
1. Apakah pasien memiliki riwayat alergi Untuk mengetahui kondisi pasien dan
terhadap obat? dapat memberikan terapi yang tepat.
2. Untuk mengetahui terapi yang diterima
Apakah pasien memiliki riwayat
sebelumnya sehingga selanjutnya dapat
penggunaan obat sebelumnya?
menentukan terapi yang tepat
3. Untuk mengetahui lamanya durasi gejala
Berapa lamakah durasi pasien mengalami
sehingga dapat mengklasifikasikan
episode tersebut atau mengalami
gangguan bipolar yang dialami.
penurunan mood tersebut?
4. Untuk mengetahui lamanya durasi gejala
Apakah pasien mengalami distractible
sehingga dapat mengklasifikasikan
atau gangguan mood yang buruk?
gangguan bipolar yang dialami.
5. Untuk mengetahui lamanya durasi gejala
Apakah pasien mengalami gangguan
sehingga dapat mengklasifikasikan
fungsional dan fungsi sosial?

19
gangguan bipolar yang dialami.

Medication
No. Nama Obat Indikasi Dosis yang Dosis Terapi (literatur)
digunakan
1. Risperidone Hipomania 0,5 mg 2 x I Dosis awal 0,5 mg, 2
kemudian kali sehari. Dosis bisa
dapat dititrasi ditingkatkan secara
hingga 1 mg bertahap hingga 1-2 mg,
2 kali sehari.

PHARMACEUTICAL PROBLEM
Subjek
SH mengalami insomnia sejak usia 13 tahun. Setiap malam ia mengalami kesulitan untuk
tidur dan akhirnya menggangu kegiatan belajar di sekolah. Perilaku insomnia ini muncul
pasca pertengkaran hebat di dalam keluarga, dimana kakak SH terlibat masalah dengan polisi.
Kondisi rumah sangat kacau, bapak dan ibunya selalu bertengkar setiap harinya den
berlangsung kurang lebih 3 bulan sejak itu, menyebabkan SH tidak dapat memejamkan
matanya walaupun mengantuk. SH sempat mengalami depresi yang terus menerud
meningkat, hingga akhirnya beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri. Beruntungnya
masih dapat dicegah oleh ibunya. SH tertarik dengan politik dan memiliki pemikiran
tersendiri tentang politik. SH percaya bahwa dirinya merupakan reinkarnasi seorang politikus
terkenal sebelumnya. SH juga senang menuliskan ide yang dimiliki dalam bentuk buku diary,
paper note yang ditempelkan di dinding kamar, dan computer. Akitvitas ini semakin
meningkat saat, SH merasakan gairah untuk melakukan sesuatu. Nenek kandung SH dari
pihak bapak memiliki depresi berat.
Objective (signs)
Tidak ada tanda-tanda vital
Tidak ada pemeriksaan laboratorium

Assesment (with evidence)


Problem Treatment DRP Plan
Medik
20
Hipomania Belum diterapi M1.4 Ada indikasi Pada kasus ini, kami
yang tidak diterapi merekomendasikan pemberian
P1.5 Ada indikasi risperidone 0,5 mg 2 x I
tetapi obat tidak kemudian dapat dititrasi hingga
diresepkan 1 mg yang digunakan selama 12
minggu.
Plan (including primary care implications)
Problem Treatment Plan
Medik
Hipomania Belum diterapi Pada kasus ini, kami merekomendasikan pemberian
risperidone 0,5 mg 2 x I kemudian dapat dititrasi hingga 1
mg yang digunakan selama 12 minggu.
Evidence Based Medicine
Berdasarkan evidence based medicine yang berjudul
“Role Of Risperidone In Bipolar II: An Open 6-Month
Study” yang melakukan suatu penelitian pada empat
puluh empat pasien bipolar II DSM-IV dengan skor
YMRS di atas 7 dimasukkan dan ditindaklanjuti selama 6
bulan dengan membandingkan antara skala YMRS
sebelum diberikan terapi risperidone dan sesudah
diberikan terapi. Hasil dari penelitian tersebut
menunjukkan risperidone efektif dan ditoleransi dengan
baik pada gangguan bipolar II dengan episode hipomania
dimana terjadi penurunan skor YMRS yang signifikan
dari minggu pertama pengobatan, yang berlanjut sampai
titik akhir (P < 0,0001).
Selain itu, evidence lain yang mendukung pemilihan
obat risperidone yaitu evidence yang berjudul
“Comparison Of Risperidone And Olanzapine In Bipolar
And Schizoaffective Disorders” dalam jurnal tersebut
melakukan perbandingan efektivitas obat risperidone dan
olanzapine untuk kemanjuran, tolerabilitas, kebutuhan

21
akan perawatan tambahan atau kombinasi obat, dan biaya
perawatan pada pasien bipolar I dan II serta pasien
dengan gangguan schizoaffective. Hasil penelitian
tersebut yaitu olanzapine dan risperidone secara
signifikan memiliki efektivitas yang sama dan ditoleransi
baik untuk gangguan bipolar tetapi biaya pengobatan dan
penambahan regimen terapi lebih rendah pada pasien
yang diobati dengan risperidone. Oleh karena itu
disimpulkan bahwa risperidone lebih efektif digunakan
untuk menangani pasien dengan gangguan bipolar
dibandingkan dengan olanzapine hal tersebut dilihat dari
biaya terapi dan penambahan terapi yang lebih rendah.
Kami tidak merekomendasikan pemberian kombinasi
obat karena terapi kombinasi memiliki efektifitas yang
sama dengan monoterapi dan cenderung lebih tinggi
menimbulkan efek samping yang berat, “Role Of
Risperidone In Bipolar II: An Open 6-Month Study” pada
jurnal tersebut dilakukan perbandingan antara risperidone
monoterapi dengan kombinasi antara risperidone dan
mood stabilisator (litium, valproate atau carbamazepine),
dari hasil tersebut diperoleh bahwa tidak adanya
perbedaan yang signifikan antara kelompok risperidone
monoterapi dan kombinasi risperidone dengan mood
stabilisator (litium, valproate atau carbamazepine) dimana
keduanya dapat ditoleransi dengan baik pada pasien
bipolar II episode hipomania. Tetapi 3 orang pasien
menghentikan terapi akibat adanya efek samping pada
kelompok kombinasi risperidone dengan mood
stabilisator dan cenderung menimbulkan efek samping
seperti disartria, pusing dan takikardia.

Terapi Non Farmakologi


22
Selain pemberian terapi farmakologi, pasien juga dianjurkan mendapat terapi non farmakologi
sebagai pelengkap, terapi yang dapat diberikan sebagi berikut :
1. FFT (Family-Focused Therapy).
Pemilihan Family-Focused Therapy didukung juga pada jurnal berjudul “A
Randomized Study of Family-Focused Psychoeducation and Pharmacotherapy in the
Outpatient Management of Bipolar Disorder” pasien yang menjalani FFT memiliki relaps
yang lebih sedikit dan interval bertahan yang lebih lama dibandingkan pasien yang
menjalani farmakoterapi obat saja. Pasien yang menjalani FFT menunjukkan penurunan
gejala gangguan mood yang lebih besar dan kepatuhan pengobatan yang lebih baik
selama 2 tahun daripada pasien yang menjalani farmakoterapi obat saja. Pada jurnal ini
juga dikatakan menggabungkan psikoedukasi keluarga dengan farmakoterapi dapat
meningkatkan penyesuaian gejala setelah episode dan kepatuhan obat pada pasien bipolar.

Monitoring
1. Efektifitas :
Menurut “Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Ninth Edition” terdapat
beberapa hal yang harus dimonitoring untuk penanganan kasus bipolar yaitu:

- Mood episodes dimana pada kondisi hipomania harus dipantau secara ketat, karena
5% hingga 15% pasien dapat dengan cepat beralih ke episode manik. Cara
memonitoring dapat dilakukan dengan cara dokumentasi gejala pada daily mood
chart (documentasikan life stressors, tipe episode, lama waktu tiap episode dan
outcome terapi). Menurut evidence “Bipolar Disorder Recurrence Prevention Using
Self-Monitoring Daily Mood Charts: Case Reports From A 5 Year Period”
dinyatakan bahwa monitoring suasana hati dengan daily mood chart dapat
mempertahankan kondisi mental yang stabil selama lebih dari 5 tahun. Melalui
monitoring suasanya hati maka akan dapat mencegah perburukan hipomania menjadi
mania dan dari penelitian tersebut dinyatakan bahwa pasien yang menuliskan suasana
hatinya pada daily mood chart mengalami fluktuasi suasana hati menurun pada semua
pasien karena skor rata-rata mendekati nol dan koefisien nilai variasi menurun dari
waktu ke waktu.
- Kepatuhan pengobatan (tidak adanya dosis obat adalah alasan utama untuk tidak

23
merespons dan timbulnya kambuhnya episode)
- Monitoring kenaikan berat badan yang dapat dilakukan setiap 1 bulan karena menurut
jurnal yang berjudul “Strategies for Monitoring Outcomes in Patients With Bipolar
Disorder” kenaikan berat badan tampaknya menjadi jalur penting untuk diabetes pada
pasien dengan gangguan bipolar yang menggunakan antipsikotik generasi kedua,
dengan peningkatan nafsu makan, yang mengarah pada peningkatan berat badan dan
resistensi insulin, dan akhirnya diabetes. Selain itu terdapat beberapa hal lain yang
perlu dimonitoring dimana yang berhubungan dengan timbulnya suatu komplikasi
metabolik yaitu:

2. Efek samping obat :


a. Risperidone yaitu insomnia, gelisah, impotensi, sakit kepala, pusing, tubuh mudah
lelah, tremor dan inkontinensia urine.

VI. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, dilakukan praktikum farmakoterapi dengan menganalisa
kesesuaian terapi yang telah diberikan dengan kondisi medis pasien dimana kasus pada
praktikum kali ini terkait penyakit bipolar. Tujuan dari praktikum ini antara lain
mengetahui definisi dari penyakit bipolar, mengetahui patofisiologi penyakit bipolar,
mengetahui klasifikasi penyakit bipolar, mengetahui manifestasi klinis penyakit bipolar,
mengetahui tatalaksana farmakologi dan non-farmakologi penyakit bipolar dan dapat
menyelesaikan kasus terkait penyakit bipolar secara mandiri dengan menggunakan metode
SOAP
Kasus pada praktikum kali ini yang dianalisa yaitu kasus pasien Nn.SH dimana dalam
kasus ini terdiri dari 2 fenomena, yaitu kondisi yang terjadi dahulu dan kondisi pasien saat

24
ini. Analisa kasus yang digunakan pada praktikum kali ini yaitu dengan menggunakan
metode SOAP yakni Subjectif, Objectif, Assesment dan Plan yang disesuaikan dengan
kondisi pasien. Kasusnya yaitu Nn. SH, 17 tahun yang merupakan anak bungsu dari 2
bersaudara. SH adalah anak yang penurut dan tidak pernah membangkang perintah orang
tuanya, sehingga orang tuanya sangat menyukai SH. Berbeda hal dengan kakak SH yang
sangat pembangkang dan tidak menurut orang tua. SH mengalami insomnia sejak usia 13
tahun. Setiap malam ia mengalami kesulitan untuk tidur dan akhirnya menggangu kegiatan
belajar di sekolah. Nilai SH mengalami penurunan, sehingga orang tuanya memutuskan
melaksanakan home scholling. Perilaku insomnia ini muncul pasca pertengkaran hebat di
dalam keluarga, dimana kakak SH terlibat masalah dengan polisi. Kondisi rumah sangat
kacau, bapak dan ibunya selalu bertengkar setiap harinya den berlangsung kurang lebih 3
bulan sejak itu, menyebabkan SH tidak dapat memejamkan matanya walaupun mengantuk.
SH sempat mengalami depresi yang terus menerud meningkat, hingga akhirnya beberapa
kali melakukan percobaan bunuh diri. Beruntungnya masih dapat dicegah oleh ibunya.
Sejak itu, SH lebih sering menyendiri didalam kamar untuk menghindari
pertengkaran, dan SH lebih menyukai kondisi kamarnya serta dapat beriistirahat lebih
rilkes. SH juga dapat berkonsentrasi , mencari tahu dan menganalisa segala hal yang dia
senangi. SH tertarik dengan politik dan memiliki pemikiran tersendiri tentang politik. SH
percaya bahwa dirinya merupakan reinkarnasi seorang politikus terkenal sebelumnya. SH
juga senang menuliskan ide yang dimiliki dalam bentuk buku diary, paper note yang
ditempelkan di dinding kamar, dan computer. Akitvitas ini semakin meningkat saat, SH
merasakan gairah untuk melakukan sesuatu. Nenek kandung SH dari pihak bapak memiliki
depresi berat.
Pada kasus tersebut tidak dijelaskan terkait diagnosa serta klasifikasi dari gangguan
bipolar yang dialami. Oleh karena itu perlu ditanyakan FIR (Further Information Required)
yang dapat diajukan kepada keluarga pasien dengan tujuan untuk mendapatkan informasi
tambahan yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan klasifikasi dari jenis
gangguan bipolar yang dialami. FIR yang kami tanyakan kepada pasien antara lain:
1. Apakah pasien memiliki riwayat alergi terhadap obat? Untuk mengetahui kondisi
pasien dan dapat memberikan terapi yang tepat.
2. Apakah pasien memiliki riwayat penggunaan obat sebelumnya? Untuk mengetahui
terapi yang diterima sebelumnya sehingga selanjutnya dapat menentukan terapi yang
25
tepat
3. Berapa lamakah durasi pasien mengalami episode tersebut atau mengalami penurunan
mood tersebut? Untuk mengetahui lamanya durasi gejala sehingga dapat
mengklasifikasikan gangguan bipolar yang dialami.
4. Apakah pasien mengalami distractible atau gangguan mood yang buruk? Untuk
mengetahui lamanya durasi gejala sehingga dapat mengklasifikasikan gangguan bipolar
yang dialami.
5. Apakah pasien mengalami gangguan fungsional dan fungsi sosial? Untuk mengetahui
lamanya durasi gejala sehingga dapat mengklasifikasikan gangguan bipolar yang
dialami.
Kemudian dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dapat diketahui bahwa pasien
tidak memiliki riwayat alergi obat, sebelumnya tidak ada menggunakan obat, episode
gangguan mood terjadinya selama 4 hari, tidak adanya distractible, serta tidak ada
gangguan baik fungsional maupun fungsi sosial. Menurut “Pharmacotherapy A
Pathophysiologic Approach Ninth Edition” klasifikasi bipolar dibagi menjadi 2 yaitu
bipolar I dan bipolar II. Pada kasus ini pasien termasuk ke dalam Bipolar II episode
hipomania karena pasien mengalami episode hipomania dengan sebelumnya telah didahului
oleh depresi mayor.
Pasien diklasifikasikan ke dalam episode hipomania karena episode yang terjadi
selama 4 hari dengan tidak adanya distractible dan tidak adanya gangguan fungsional dan
fungsi sosial. Penentuan tersebut telah sesuai dengan parameter episode hipomania menurut
“Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Ninth Edition” yaitu

26
Hipomania adalah bentuk mania yang kurang parah, dan menurut definisi tidak
menyebabkan penurunan fungsi sosial atau pekerjaan yang nyata, dan tidak ada delusi atau
halusinasi yang hadir.
Penatalaksaan terapi dari gangguan bipolar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu terapi
farmakologi dan terapi psikososial intervensi. Tujuan dari terapi gangguan bipolar yaitu
mengurangi gejala bipolar, mencegah episode berikutnya, meningkatkan kepatuhan pasien
pada pengobatan, menghindari stressor yang dapat memicu kejadian episode serta
mengembalikan fungsi-fungsi kehidupan menjadi normal. Analisis kesesuaian terapi pasien
Nn. SH dengan berpedoman pada guidline dan evidence terkait dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1). Terapi Farmakologi
Kondisi dahulu Nn. SH mengalami Insomnia sejak usia 13 tahun, sehingga
menganggu kegiatan belajar di sekolah dan nilai menurun. Sempat depresi yang terus
menerus meningkat, hingga percobaan bunuh diri. Sedangkan pada kondisi Nn SH
sekarang, SH senang mencari tahu dan menganalisa segala hal yang dia senangi yaitu
politik bahkan percaya bahwa dirinya adalah reinkarnasi dari seorang politikus terkenal.
SH juga senang menuliskan ide yang dimiliki dalam bentuk buku diary, paper note yang
ditempelkan di dinding kamar, dan computer. Akitvitas ini semakin meningkat saat, SH
merasakan gairah untuk melakukan sesuatu. Berdasarkan FIR yang telah ditanyakan
episode perubahan suasanya hati tersebut telah berlangsung selama 4 hari, tidak adanya
distractible atau kondisi mood yang buruk dan tidak adanya suatu gangguan fungsional
dan tidak adanya gangguan fungsi sosial.
Berdasarkan atas kondisi serta gejala yang dirasakan pasien, Nn. SH diklasifikasikan
ke dalam Bipolar II episode hipomania dimana penentuan klasisifikasi tersebut
didasarkan atas guidline yang berjudul “Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach
Ninth Edition” Gangguan bipolar II yaitu gangguan suasana hati yang setidaknya terdiri
dari satu episode hipomanik yang sebelumnya di dahului oleh episode depresi mayor.
Pada kasus diatas diklasifikasikan mengalami Bipolar dengan episode hipomania, yang
mana menurut “Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Ninth Edition”
parameter episode hipomania yaitu:

27
Berdasarkan parameter tersebut adapun gejala yang dialami sesuai dengan episode
hipomania yaitu durasi episode penurunan suasana hati yang berlangsung selama 4 hari,
tidak adanya distractible dan tidak adanya gangguan fungsional dan fungsi sosial.
Hipomania adalah bentuk mania yang kurang parah, dan menurut definisi tidak
menyebabkan penurunan fungsi sosial atau pekerjaan yang nyata, dan tidak ada delusi
atau halusinasi yang hadir. Pasien dengan hipomania sering tidak mencari pengobatan
sampai mereka mengalami episode depresi, dengan demikian hipomania mungkin tidak
dikenali atau dilaporkan. Berdasarkan guidline “Management of Bipolar II Disorder”
baik valproate atau antipsikotik atipikal mungkin menjadi pilihan terbaik untuk
penanganan acute bipolar II dengan episode hipomania. Penggunaan kombinasi tidak
dianjurkan untuk kondisi hipomania karena merupakan episode yang lebih ringan
sehingga monoterapi lebih disukai untuk mencegah timbulnya efek samping.
Pada kasus ini, kami merekomendasikan pemberian risperidone 0,5 mg 2 x I
kemudian dapat dititrasi hingga 1 mg yang digunakan selama 12 minggu, kemudian
apabila kondisi episode hipomania telah stabil maka dapat dilakukan penurunan dosis
secara bertahap minimal selama 4 minggu kemudian dapat dihentikan.
Menurut evidence based medicine yang berjudul “Comparative Effectiveness Of
Monotherapy With Mood Stabilizers Versus Second Generation (Atypical) Antipsychotics
For The Treatment Of Bipolar Disorder In Children And Adolescents” yang melakukan
perbandingan antara second generation antisychotic dengan mood stabilisator, diperoleh
hasil yaitu dibandingkan dengan mood stabilisator, second generation antipsychotic
dikaitkan dengan waktu yang lebih lama untuk penghentian dan menerima terapi
28
tambahan dalam pengobatan gangguan bipolar mania, hipomania atau campuran pada
anak-anak dan remaja dengan p<0,05 (0,490 SGA vs 0,817 MS). Dari hasil jurnal
tersebut dapat diketahui bahwa pemberian second generation (atypical) antipsychotics
efektif diberikan pada pasien dengan gangguan bipolar. Penjabaran pasien, intervensi,
komparator dan outcome dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Pasien Intervensi Komparator Outcome
Subjek sebanyak Atypical Mood Stabilisator Dibandingkan dengan
7423 pada usia antipsychotics (lithium, sodium Mood stabilisator,
6-18 tahun (risperidone, divalproex/valproa Second Generation
dengan aripiprazole, te, carbamazepine, Antipsychotic dikaitkan
gangguan bipolar olanzapine, oxcarbazepine, dengan waktu yang lebih
episode mania, quetiapine, lamotrigine and lama untuk penghentian
hipomania atau clozapine and gabapentin) dan menerima terapi
campuran ziprasidone) tambahan dalam
pengobatan gangguan
bipolar pada anak-anak
dan remaja dengan
p<0,05(0,490 SGA vs
0,817 MS)

Berdasarkan evidence based medicine yang berjudul “Role Of Risperidone In


Bipolar II: An Open 6-Month Study” yang melakukan suatu penelitian pada empat puluh
empat pasien bipolar II DSM-IV dengan skor YMRS di atas 7 dimasukkan dan
ditindaklanjuti selama 6 bulan dengan membandingkan antara skala YMRS sebelum
diberikan terapi risperidone dan sesudah diberikan terapi. Hasil dari penelitian tersebut
menunjukkan risperidone efektif dan ditoleransi dengan baik pada gangguan bipolar II
dengan episode hipomania dimana terjadi penurunan skor YMRS yang signifikan dari
minggu pertama pengobatan, yang berlanjut sampai titik akhir (P < 0,0001).

29
Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat bahwa terapi dengan risperiodone mampu
menurunkan skor YMRS secara signifikan pada pasien dengan gangguan bipolar II
episode hipomania, dimana adanya penurunan dari baseline menjadi 1,7 (p<0,0001).
Selain itu juga terlihat perubahan skor CGI dimana 78% pasien mengalami perubahan
skor secara signifikan (p<0,0001). Penjabaran pasien, intervensi, komparator dan
outcome dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Pasien Intervensi Komparator Outcome


Subjek Sebelum Sesudah Risperidone efektif dan
sebanyak 44 diberikan diberikan terapi ditoleransi dengan baik pada
pada usia rata- terapi risperidone gangguan bipolar II dengan
rata 45 tahun risperidone episode hipomania dimana
dengan terjadi penurunan skor YMRS
gangguan yang signifikan dari minggu
bipolar II pertama pengobatan, yang
episode berlanjut sampai titik akhir (P <
hipomania 0,0001).
Selain itu, evidence lain yang mendukung pemilihan obat risperidone yaitu evidence
yang berjudul “Comparison Of Risperidone And Olanzapine In Bipolar And
Schizoaffective Disorders” dalam jurnal tersebut melakukan perbandingan efektivitas
obat risperidone dan olanzapine untuk kemanjuran, tolerabilitas, kebutuhan akan
perawatan tambahan atau kombinasi obat, dan biaya perawatan pada pasien bipolar I dan
II serta pasien dengan gangguan schizoaffective. Hasil penelitian tersebut yaitu
olanzapine dan risperidone secara signifikan memiliki efektivitas yang sama dan
30
ditoleransi baik untuk gangguan bipolar tetapi biaya pengobatan dan penambahan
regimen terapi lebih rendah pada pasien yang diobati dengan risperidone. Oleh karena
itu disimpulkan bahwa risperidone lebih efektif digunakan untuk menangani pasien
dengan gangguan bipolar dibandingkan dengan olanzapine hal tersebut dilihat dari biaya
terapi dan penambahan terapi yang lebih rendah. Penjabaran pasien, intervensi,
komparator dan outcome dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Pasien Intervensi Komparator Outcome
Subjek Risperidone Olanzapine 12 Olanzapine dan risperidone
sebanyak 36 3,7 mg/hari mg/hari secara signifikan memiliki
pasien rawat efektivitas yang sama dan
jalan dengan ditoleransi baik untuk
gangguan gangguan bipolar tetapi biaya
bipolar dan pengobatan dan penambahan
gangguan regimen terapi lebih rendah
schizoaffective pada pasien yang diobati
dengan risperidone.
Sehingga berdasarkan guidline dan evidence based medicine yang mendukung disini
kami merekomendasikan pemberian risperidone 0,5 mg 2 x I kemudian dapat dititrasi
hingga 1 mg yang digunakan selama 12 minggu, kemudian apabila kondisi episode
hipomania telah stabil maka dapat dilakukan penurunan dosis secara bertahap minimal
selama 4 minggu kemudian dapat dihentikan. Penentuan durasi penggunaan obat
tersebut di dukung oleh guidline yang berjudul “Management of Bipolar II Disorder”
untuk penanganan hipomania pengobatan jangka pendek dengan obat-obatan yang
memiliki profil keamanan yang baik, dapat ditoleransi dengan baik, dan onset aksi yang
relatif cepat seperti antipsikotik dapat diberikan untuk meminimalkan bahaya yang
berkembang hipomania menjadi mania dalam hari-hari berikutnya. Menurut “Treatment
Options For Bipolar Disorder” bahwa episode mania dapat lebih baik setelah pemberian
terapi yang berlangsung selama 3 bulan atau 12 minggu.
Disini kami hanya merekomendasikan penggunaan antipsikotik jangka pendek,
karena hipomania merupakan kondisi yang lebih ringan dari episode mania yang dapat
diobati hanya dengan jangka pendek, selain itu antipsikotik juga jika digunakan jangka

31
panjang dapat berisiko menimbulkan efek samping seperti obesitas, diabetes mellitus
tipe 2, hiperlipidemia, hiperprolaktinemia, penyakit jantung, dan tardive dyskinesia.
Kami tidak merekomendasikan pemberian kombinasi obat karena terapi kombinasi
memiliki efektifitas yang sama dengan monoterapi dan cenderung lebih tinggi
menimbulkan efek samping yang berat, hal ini didukung oleh eviodence yang berjudul
“Role Of Risperidone In Bipolar II: An Open 6-Month Study” dimana pada jurnal
tersebut dilakukan perbandingan antara risperidone monoterapi dengan kombinasi antara
risperidone dan mood stabilisator (litium, valproate atau carbamazepine), dari hasil
tersebut diperoleh bahwa tidak adanya perbedaan yang signifikan antara kelompok
risperidone monoterapi dan kombinasi risperidone dengan mood stabilisator (litium,
valproate atau carbamazepine) dimana keduanya dapat ditoleransi dengan baik pada
pasien bipolar II episode hipomania. Tetapi 3 orang pasien menghentikan terapi akibat
adanya efek samping pada kelompok kombinasi risperidone dengan mood stabilisator
dan cenderung menimbulkan efek samping seperti disartria, pusing dan takikardia.
Penjabaran pasien, intervensi, komparator dan outcome dapat dilihat pada tabel sebagai
berikut:
Pasien Intervensi Komparator Outcome
Subjek sebanyak 44 Risperidone Kombinasi Risperidone dan
pada usia rata-rata 2,8 mg/hari risperidone 2,8 kombinasi dengan mood
45 tahun dengan mg/hari dengan stabilisator sama-sama
gangguan bipolar II mood stabilisator efektif untuk gangguan
episode hipomania (litium, valproate bipolar II episode
atau hipomania, tetapi terapi
carbamazepine) kombinasi memiliki efek
samping yang lebih tinggi
dan penghentian obat
akibat efek samping.

2). Terapi Psikososial Intervensi


Intervensi psikososial telah diindikasikan sebagai bagian yang penting dalam
pengelolaan BD. Telah terbukti meningkatkan hasil simptomatik dan kualitas hidup
pasien dimana menurut guidelines yang berjudul “Management Of Bipolar Disorder In

32
Adults” intervensi psikososial harus dimasukkan ke dalam perawatan pasien pengobatan
farmakologis untuk gangguan bipolar (Kelas A) dan Keluarga harus dilibatkan dalam
penatalaksanaan gangguan bipolar (Kelas A). Menurut Colom F, et.al, 2005 Bukti untuk
penggunaan psikoedukasi dan family-focused terapi sebagai tambahan untuk pengobatan
pada orang dengan gangguan bipolar yang stabil, saat ini, cukup konklusif. Studi
terkontrol acak dari pencegahan kekambuhan menggunakan psikoedukasi melaporkan
kemanjuran mencegah mania dan hypomania, depresi dan episode campuran, dalam
mengurangi tingkat rehospitalisasi dan meningkatkan kepatuhan. Dari pemaparan
tersebut kami merekomendasikan pemberian terapi non farmakologi berupa FFT
(Family-Focused Therapy).
Hal ini juga didukung dari beberapa jurnal “A Randomized Controlled Trial of
Psychoeducation or Cognitive-Behavioral Therapy in Bipolar Disorder: A Canadian
Network for Mood and Anxiety Treatments (CANMAT) Study” Penelitian ini melihat
kemanjuran pada psikoedukasi dan CBT ke dalam ranah efektivitas. Hasil jurnal ini
menunjukkan bahwa CBT tidak menunjukkan manfaat signifikan atas psikoedukasi
kelompok. Psikoedukasi sebagai perawatan yang lebih efektif untuk gangguan bipolar.
Psikedukasi lebih murah untuk disediakan dan membutuhkan lebih sedikit pelatihan
dokter untuk menyarankan daya tarik komparatif. Penjabaran pasien, intervensi,
komparator serta outcome dari jurnal tersebut dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Patien Intervention Comerator Outcome


Subjek Psikoedukasi CBT menerima Terapi kognitif-perilaku
sebanyak 204 menerima 6 sesi 20 sesi individu tidak menunjukkan manfaat
berusia 18-64 individu selama selama 50 menit. klinis yang lebih besar secara
tahun usia dan 90 menit. CBT (n=95). signifikan (p<0,01) dalam
memiliki Psikoedukasi penurunan beban suasana
gangguan (n=109) hati dibandingkan dengan
bipolar, tipe I psikoedukasi dan
atau II psikoedukasi lebih murah
untuk disediakan dan
membutuhkan lebih sedikit
pelatihan klinisi untuk
diberikan.
33
Pada jurnal berjudul “Family-Focused Treatment Versus Individual Treatment for
Bipolar Disorder: Results of a Randomized Clinical Trial” dikatakan pasien dalam terapi
individu dan pasien menerima terapi FFT kurang mungkin dirawat di rumah sakit selama
masa studi 2 tahun. Pasien di perawatan FFT mengalami lebih sedikit gangguan mood
yang kambuh selama 2 tahun. Hasilnya menunjukkan perawatan FFT adalah terapi
tambahan yang berguna untuk farmakoterapi dalam mengurangi risiko kambuh dan
rawat inap sering dikaitkan dengan gangguan bipolar. Penjabaran pasien, intervensi,
komparator serta outcome dari jurnal tersebut dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Patien Intervention Comerator Outcome


Subjek Family-focused Individually Secara signifikan
sebanyak 53 psychoeducational focused pengobatan dengan FFT
usia 18-24 treatment psychoeducational memiliki kekambuhan
tahun dengan treatment lebih sedikit selama fase
tipe bipolar akut dan maintenance
manic yang dibandingkan dengan
baru dirawat di individu psiko-edukasi
rumah sakit treatment (46% vs 52%
p<0,05). Pasien yang
menerima FFT juga secara
signifikan memiliki
kemungkinan untuk masuk
rumah sakit lebih sedikit
dibandingkan dengan
individual psikoedukasi
treatment
Pemilihan Family-Focused Therapy didukung juga pada jurnal berjudul “A
Randomized Study of Family-Focused Psychoeducation and Pharmacotherapy in the
Outpatient Management of Bipolar Disorder” pasien yang menjalani FFT memiliki
relaps yang lebih sedikit dan interval bertahan yang lebih lama dibandingkan pasien
yang menjalani farmakoterapi obat saja. Pasien yang menjalani FFT menunjukkan

34
penurunan gejala gangguan mood yang lebih besar dan kepatuhan pengobatan yang lebih
baik selama 2 tahun daripada pasien yang menjalani farmakoterapi obat saja. Pada jurnal
ini juga dikatakan menggabungkan psikoedukasi keluarga dengan farmakoterapi dapat
meningkatkan penyesuaian gejala setelah episode dan kepatuhan obat pada pasien
bipolar. Penjabaran pasien, intervensi, komparator serta outcome dari jurnal tersebut
dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Patien Intervention Comerator Outcome
101 pasien usia FFT kombinasi Farmakoterapi Pasien yang
18-65 tahun dengan obat saja menambahkan FFT selain
dengan diagnosa farmakoterapi obat (n=70) obat memiliki lebih
bipolar episode (n=31) sedikit kekambuhan
mania, hipomania (35%) dibandingkan
atau campuran. pasien yang menjalani
terapi obat saja (54%).
Pasien yang menjalani
FFT menunjukkan
perbaikan gangguan mood
yang lebih besar dan
kepatuhan pengobatan
yang lebih baik selama 2
tahun dibandingkan
pasien yang hanya
menjalani terapi obat saja.

3). Monitoring
a. Efektifitas :
Menurut “Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Ninth Edition” terdapat
beberapa hal yang harus dimonitoring untuk penanganan kasus bipolar yaitu:
- Mood episodes dimana pada kondisi hipomania harus dipantau secara ketat,
karena 5% hingga 15% pasien dapat dengan cepat beralih ke episode manik.
Cara memonitoring dapat dilakukan dengan cara dokumentasi gejala pada daily
mood chart (documentasikan life stressors, tipe episode, lama waktu tiap

35
episode dan outcome terapi). Menurut evidence “Bipolar Disorder Recurrence
Prevention Using Self-Monitoring Daily Mood Charts: Case Reports From A 5
Year Period” dinyatakan bahwa monitoring suasana hati dengan daily mood
chart dapat mempertahankan kondisi mental yang stabil selama lebih dari 5
tahun. Melalui monitoring suasanya hati maka akan dapat mencegah perburukan
hipomania menjadi mania dan dari penelitian tersebut dinyatakan bahwa pasien
yang menuliskan suasana hatinya pada daily mood chart mengalami fluktuasi
suasana hati menurun pada semua pasien karena skor rata-rata mendekati nol
dan koefisien nilai variasi menurun dari waktu ke waktu.
- Kepatuhan pengobatan (tidak adanya dosis obat adalah alasan utama untuk tidak
merespons dan timbulnya kambuhnya episode)
- Monitoring kenaikan berat badan yang dapat dilakukan setiap 1 bulan karena
menurut jurnal yang berjudul “Strategies for Monitoring Outcomes in Patients
With Bipolar Disorder” kenaikan berat badan tampaknya menjadi jalur penting
untuk diabetes pada pasien dengan gangguan bipolar yang menggunakan
antipsikotik generasi kedua, dengan peningkatan nafsu makan, yang mengarah
pada peningkatan berat badan dan resistensi insulin, dan akhirnya diabetes.
Selain itu terdapat beberapa hal lain yang perlu dimonitoring dimana yang
berhubungan dengan timbulnya suatu komplikasi metabolik yaitu:

b. Efek samping obat :


36
- Risperidone yaitu insomnia, gelisah, impotensi, sakit kepala, pusing, tubuh
mudah lelah, tremor dan inkontinensia urine.

VII. KESIMPULAN
Dari pembahasan kasus pasien SH dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Gangguan bipolar merupakan gangguan mood kronik yang ditandai dengan
adanya episode mania atau hipomania yang muncul secara bergantian atau
bercampur dengan episode depresi.
2. Dalam patofisiologi gangguan bipolar terdapat tiga jenis neurotransmitter yang
berperan dalam terjadinya gangguan mood yaitu norepinefrin, dopamin, dan
serotonin. Neurotransmisi dopaminergik adalah salah satu dari banyak
neuorotransmisi yang berpengaruh dan berkaitan langsung pada kejadian mood
pasien dengan gangguan bipolar, dengan terjadinya penurunan dopamin akan
menyebabkan terjadinya episode depresi. Sedangkan, peningkatan dari dopamin
akan menyebabkan terjadinya episode mania.
3. Gangguan bipolar dibagi menjadi empat jenis yaitu gangguan bipolar I, gangguan
bipolar II, gangguan siklotimia, dan gangguan bipolar yang tak dapat
dispesifikasikan.
4. Manifestasi klinis dari gangguan bipolar adalah Major Depressive, Mania,
Hipomania, Campuran, dan Siklus Cepat
5. Tatalaksana dari gangguan bipolar ada 2 yaitu:
a. Terapi farmakologi
a) Fase Akut
1) Mania dan Episode Campuran, Lini pertama untuk episode mania
atau campuran (berat) adalah inisiasi litium dengan antipsikotik,
atau asam valproat dengan antipsikotik.
2) Episode Depresi, Pengobatan lini pertama untuk depresi bipolar
adalah inisiasi litium atau lamotrigin. Monoterapi antidepresan tidak
dianjurkan.
37
3) Siklus Cepat, Litium, karbamazepin, dan asam valproat dalam
bentuk sendiri atau kombinasi adalah agen yang paling banyak
digunakan dalam pengobatan jangka panjang pasien dengan
gangguan bipolar

b) Terapi Pemeliharaan
Obat dengan bukti empiris terbaik dapat mendukung penggunaannya
dalam perawatan pemeliharaan antara lain litium dan valproat. Alternatif
yang lain dapat di gunakan yaitu lamotrigin atau karbamazepin atau
oxcarbazepine.
b. Terapi non farmakologi
a) Psikoterapi (Terapi kognitif (CBT), Terapi keluarga dan Terapi
psycotherapy interpersonal)
b) Electroconvulsive Therapy
6. Penyelesaian kasus pasien SH:
a. Pada kasus pasien SH ini, kami merekomendasikan pemberian risperidone 0,5
mg 2 x I kemudian dapat dititrasi hingga 1 mg yang digunakan selama 12
minggu.
b. Untuk terapi non farmakologi kami merekomendasikan psikoterapi yaitu FFT
(Family-Focused Therapy).
c. Monitoring Mood episodes, Kepatuhan pengobatan dan Monitoring kenaikan
berat badan.

38
DAFTAR PUSTAKA
Ahuja, Niraj. 2011. A Short Text Book Psychiatry Seventh Edition. India: Jaypee Brothers
Medical Publishers (P) Ltd.
Amir N. 2010. Gangguan Mood Bipolar Kriteria Diagnostic Dan Tatalaksana Dengan Obat
Antipsikotika Atipik. Jakarta: Balai penerbit FKUI.
APA (American Psychiatric Association), 2010. Practice Guideline For The Treatment of
Patients with Bipolar Disorder Second Edition. United States: American Psychiatric
Publishing
APA (American Psychiatric Association), 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders Fifth Edition. United States: American Psychiatric Publishing
Chen et al. 2014. Comparative Effectiveness Of Monotherapy With Mood Stabilizers Versus
Second Generation (Atypical) Antipsychotics For The Treatment Of Bipolar
Disorder In Children And Adolescents. Pharmacoepidemiology And Drug Safety
2014; 23: 299-308
David J. Miklowitz, PhD; Elizabeth L. George, PhD; Jeffrey A. Richards, MA;Teresa L.
Simoneau, PhD; Richard L. Suddath, MD.et.al. 2003. A Randomized Study of
Family-Focused Psychoeducation and Pharmacotherapy in the Outpatient
Management of Bipolar Disorder. Department of Psychology, University of
Colorado
Departemen Kesehatan R.I. Direktorat Jendral Pelayanan Medik, 1993. Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Cetakan Pertama.
Jakarta. P: 118-120
Dipiro, J.T., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., et al. 2008. Pharmacotherapy Handbook,
Seventh Edition. New York: McGraw-Hill.
Dipiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V.2015. Pharmacotherapy
Handbook, Ninth Edit. Inggris: McGraw-Hill Education Companies.
Furukori and Nakamura 2017. Bipolar Disorder Recurrence Prevention Using Self-
Monitoring Daily Mood Charts: Case Reports From A 5 Year Period.
Neuropsychiatr Dis Treat. 2017; 13: 733–736.
Grande, I., et al. 2013. Patterns of Pharmacological Maintenance Treatment in A Community
Mental Health Services Bipolar Disorder Cohort Study (SIN-DEPRES).
International Journal of Neuropsychopharmacology, 16: 513-523.
Hotjar. 2019. Treatment Options For Bipolar Disorder. UK: NHS
Ikawati, Z. 2011. Farmakoterapi Penyakit Sistem Syaraf Pusat Cetakan Ketiga. Yogyakarta:
Bursa Ilmu page 85-102.
James J. Gasper , 2013. Mood Disorders Ii: Bipolar Disorders , Applied Therapeutics The
Clinical Use Of Drugs Tenth Editoin Hal ; 1983
Kaplan & Sadock, B.J. 2015. Buku Ajaran Psikiatri Klinis. Edisi II. Jakarta : EGC
Ketter. 2010. Strategies for Monitoring Outcomes in Patients With Bipolar Disorder. Prim
Care Companion J Clin Psychiatry. 2010; 12(Suppl 1): 10–16
Kring, A.M., Johnson, S.L., Davisonm, G.C., and Neale, J..M., 2012. Abnormal Psychology
Twelfth Edition. United States: John Wiley & Sons, Inc.
Lukasiewicz, M., et al. 2013. Young Mania Rating Scale: how to interpret the numbers?
Determination of a severity threshold and of the minimal clinically significant
difference in the EMBLEM cohort. International Journal of Methods in Psychiatrics
Research, 22(1): 46-58.
Margaret M. Rea, Martha C. Tompson, Family-Focused Treatment Versus Individual
Treatment for Bipolar Disorder: Results of a Randomized Clinical Trial. Journal of
Consulting and Clinical Psychology Copyright 2003 by the American Psychological
Association, Inc
Masand et al. 2000. Comparison Of Risperidone And Olanzapine In Bipolar And
Schizoaffective Disorders. Biol Psychiatri Journal 42;1-173
Putrajaya. 2018. Management Of Bipolar Disorder In Adults. Malaysia: Ministry of Health
Malaysia
Sagar V. Parikh, MD; Ari Zaretsky, MD; Serge Beaulieu, MD, PhD, et al. 2012. A
Randomized Controlled Trial of Psychoeducation or Cognitive-Behavioral Therapy
in Bipolar Disorder: A Canadian Network for Mood and Anxiety Treatments
(CANMAT) Study. J Clin Psychiatry. Copyright 2012 Physicians Postgraduate Press,
Inc
Smith, K. 2019. Bipolar Disorder Causes. USA: Remedy Health Media
Tohen M dan Angst J, 2002. Epidemiology of Bipolar Disorder. In MT Tsuang & Tohen M
(Eds.), Textbook in Psychiatric Epidemiology second edition (pp. 427-447). New
Jersey: John Wiley & Sons, Inc
Vieta et al. 2001. Role Of Risperidone In Bipolar II: An Open 6-Month Study. Journal of
Affective Disorders 67;213–219
Wong, M. 2011. Management of Bipolar II Disorder. Indian J Psychol Med Jan;33(1):18-28.

Anda mungkin juga menyukai