A. Defenisi
Asma adalah suatu keadaan diaman saluran napas mengalami penyempitan karena
hiperaktivitas terhadap reaksi ransangan tertentu yag menyebabkan peradangan,
penyempitan ini bersifat berulang tapi reversible. Dan diantar episode penyempitan
bronchus tersebut terhadap keadaan ventilasi yang lebih normal (Sylvia A.Price dalan
Nurarif 2015).
Asma Bronkial adalah penyakit pernafasan obstruktif yang ditandai oleh spame
akut otot polos bronkiolus. Hal ini menyebabkan obsktrusi aliran udara dan penurunan
ventilasi alveolus ( Huddak & Gallo, 1997 ).
B. Klasifikasi
Klasifikasi asma Menurut Global Initiative for Asthma (GINA)
C. Etiologi
1. Faktor Ekstrinsik (asma imunologik / asma alergi)
a. Reaksi antigen-antibodi
b. Inhalasi alergen (debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu binatang)
2. Faktor Intrinsik (asma non imunologi / asma non alergi)
a. Infeksi : parainfluenza virus, pneumonia, mycoplasmal
b. Fisik : cuaca dingin, perubahan temperature
c. Iritan : kimia
d. Polusi udara : CO, asap rokok, parfum
e. Emosional : takut, cemas dan tegang
f. Aktivitas yang berlebihan juga dapat menjadi faktor pencetus.
(Suriadi, 2001 : 7)
D. Patofisiologi
Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas yang
akan mempermudah terjadinya obstruksi jalan napas. Kerusakan epitel saluran napas,
gangguan saraf otonom, dan adanya perubahan pada otot polos bronkus juga diduga
berperan pada proses hipereaktivitas saluran napas. Peningkatan reaktivitas saluran nafas
terjadi karena adanya inflamasi kronik yang khas dan melibatkan dinding saluran nafas,
sehingga aliran udara menjadi sangat terbatas tetapi dapat kembali secara spontan atau
setelah pengobatan. Hipereaktivitas tersebut terjadi sebagai respon terhadap berbagai
macam rangsang.
Dikenal dua jalur untuk bisa mencapai keadaan tersebut. Jalur imunologis yang
terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom. Pada jalur yang didominasi oleh IgE,
masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells),
kemudian hasil olahan alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th ( T penolong )
terutama Th2 . Sel T penolong inilah yang akan memberikan intruksi melalui interleukin
atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk IgE, sel-sel radang lain seperti mastosit,
makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan
mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrien (LT), platelet activating
factor (PAF), bradikinin, tromboksin (TX), dan lain-lain. Sel-sel ini bekerja dengan
mempengaruhi organ sasaran yang dapat menginduksi kontraksi otot polos saluran
pernapasan sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskular, edema
saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, hipersekresi mukus, keluarnya plasma protein
melalui mikrovaskuler bronkus dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan
hipereaktivitas saluran napas. Faktor lainnya yang dapat menginduksi pelepasan mediator
adalah obat-obatan, latihan, udara dingin, dan stress.
Selain merangsang sel inflamasi, terdapat keterlibatan sistem saraf otonom pada
jalur non-alergik dengan hasil akhir berupa inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas.
Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus
dan mungkin juga epitel saluran napas. Reflek bronkus terjadi karena adanya peregangan
nervus vagus, sedangkan pelepasan mediator inflamasi oleh sel mast dan makrofag akan
membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam
submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Keterlibatan sel mast tidak
ditemukan pada beberapa keadaan seperti pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap,
kabut dan SO2. Reflek saraf memegang peranan pada reaksi asma yang tidak melibatkan sel
mast. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya
neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan calcitonin Gene-Related Peptide
(CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokontriksi, edema
bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.
E. Manifestasi Klinis
Biasanya pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis,
tapi pada saat serangan penderita tampak bernafas cepat dan dalam, gelisah, duduk dengan
menyangga ke depan, serta tanpa otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras.
Gejala klasik dari asma bronkial ini adalah sesak nafas, mengi (whezing), batuk,
dan pada sebagian penderita ada yang merasa nyeri di dada. Gejala-gejala tersebut tidak
selalu dijumpai bersamaan.
Pada serangan asma yang lebih berat , gejala-gejala yang timbul makin banyak,
antara lain : silent chest, sianosis, gangguan kesadaran, hyperinflasi dada, tachicardi dan
pernafasan cepat dangkal . Serangan asma seringkali terjadi pada malam hari.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan
menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah
dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila
terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
a. Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
b. Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan
semakin bertambah.
c. Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru
d. Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
e. Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka
dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.
2. Pemeriksaan fungsi paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama
serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
3. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling cepat dan
sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator.
Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pamberian bronkodilator
aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC
sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol
bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk
menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek
pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya
menunjukkan obstruksi.
4. Penatalaksanaan
Prinsip umum pengobatan asma bronchial adalah :
a. Menghilangkan obstruksi jalan nafas dengan segara.
b. Mengenal dan menghindari fakto-faktor yang dapat mencetuskan serangan asma
c. Memberikan penerangan kepada penderita ataupun keluarganya mengenai penyakit
asma, baik pengobatannya maupun tentang perjalanan penyakitnya sehingga penderita
mengerti tujuan penngobatan yang diberikan dan bekerjasama dengan dokter atau
perawat yang merawatnnya.
Pengobatan pada asma bronkhial terbagi 2, yaitu:
a. Pengobatan non farmakologik:
- Memberikan penyuluhan
- Menghindari faktor pencetus
- Pemberian cairan
- Fisiotherapy
- Beri O2 bila perlu.
b. Pengobatan farmakologik :
Bronkodilator : obat yang melebarkan saluran nafas. Terbagi dalam 2 golongan :
- Simpatomimetik/ andrenergik (Adrenalin dan efedrin)
Nama obat : Orsiprenalin (Alupent) ,Fenoterol (berotec) ,terbutalin (bricasma)
Obat-obat golongan simpatomimetik tersedia dalam bentuk tablet, sirup, suntikan
dan semprotan. Yang berupa semprotan: MDI (Metered dose inhaler). Ada juga
yang berbentuk bubuk halus yang dihirup (Ventolin Diskhaler dan Bricasma
Turbuhaler).
- Teofilin
- Ketolifen
- kromalin
5. Komplikasi
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah :
a. Status asmatikus
b. Atelektasis
c. Hipoksemia
d. Pneumothoraks
e. Emfisema
f. Deformitas thoraks
g. Gagal nafas
KONSEP DASAR KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas : identitas adalah tanda pengenal bagi klien, identitas dibagi menjadi 2 yaitu
identitas pribadi dan identitas sosial. Identitas pribadi yaitu identitas yang melekat pada
pribadi pasien ( termasuk ciri-cirinya) misalnya Nama,Tanggal Lahir/Umur,Jenis
Kelamin,Alamat, Status Perkawinan dan lain-lain termasuk No.RM yang diberikan
kepadanya dan nama orang tua.Sedangkan identitas sosial meliputi identitas yang
menjelaskan tentang sosial,ekonomi dan budaya pasien misalnya, agama,
pendidikan,pekerjaan,identitas orang tua,identitas penanggung jawab pembayaran dan
lain-lain.
2. Riwayat Sakit dan Kesehatan :
a. Keluhan Utama : Keluhan utama merupakan keluhan yang paling dirasakan dan
yang paling sering mengganggu pasien pada saat itu. Keluhan utama pasien
dijadikan sebagai acuan dalam menggali informasi lebih dalam, melakukan
pemeriksaan, dan pemberian tindakan.
b. Riwayat Keluhan Utama : Riwayat penyakit sekarang merupakan rincian dari
keluhan utama yang berisi tentang riwayat perjalanan pasien selama mengalami
keluhan secara lengkap.
c. Riwayat Penyakit Terdahulu : Merupakan riwayat penyakit fisik maupun psikologik
yang pernah diderita pasien sebelumnya. Seperti diabetes mellitus, hipertensi,
trauma, dan lain-lain. Hal ini perlu diketahui karna bisa saja penyakit yang diderita
sekarang ada hubungannya dengan penyakit yang pernah diderita sebelumnya serta
sebagai bahan pertimbangan dalam pemilihan tindakan yang akan dilakukan. Dan
dalam kasus ini didapatkan hasilnya negatif.
3. Observasi dan Pemeriksaan Fisik (ROS : Review Of System).
a. B1 Breathing (Sistem Pernafasan)
Hal-hal yang perlu dikaji adalah
- Pola napas : Dinilai kecepatan, irama, dan kualitas.Bunyi napas:
- Bunyi napas normal; Vesikuler, broncho vesikuler
- Bunyi nafas abnormal : Stridor (Mengorok, biasanya diakibatakan karena lidah
jatuh kebelakang), Ronchi (dapat terjadi akibat penumpukan secret pada jalan
nafas), Wheezing (dapat terjadi akibat penyempitan jalan nafas )
- Penurunan atau hilangnya bunyi napas dapat menunjukan adanya atelektasis,
pnemotorak atau fibrosis pada pleura.
- Bentuk dada : Perubahan diameter anterior – posterior (AP) menunjukan adanya
COPD, pigeon chest (Bentuk dada ini terjadi ketika ada pergeseran yang
menyebabkan “lengkungan keluar” pada sternum dan tulang iga,pada keadaan
ini juga terjadi peningkatan diameter anteroposterior), Barrel chest (bentuk dada
seperti dada burung), funnel chest (lengkungan kedalam pada sternum dan iga)
- Ekspansi dada : Dinilai penuh / tidak penuh, dan kesimetrisannya.
- Ketidaksimetrisan mungkin menunjukan adanya atelektasis, lesi pada paru,
obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga, pnemotoraks, atau penempatan
endotrakeal dan tube trakeostomi yang kurang tepat.
- Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai : Retraksi dari otot-otot
interkostal, substrernal, pernapasan abdomen, dan respirasi paradoks (retraksi
abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi jika otot-otot interkostal
tidak mampu menggerakan dinding dada.
- Sputum yang keluar harus dinilai warnanya, jumlah dan konsistensinya. Mukoid
sputum biasa terjadi pada bronkitis kronik dan astma bronkiale; sputum yang
purulen (kuning hijau) biasa terjadi pada pnemonia, brokhiektasis, brokhitis
akut; sputum yang mengandung darah dapat menunjukan adanya edema paru,
TBC, dan kanker paru.
- Alat bantu pernafasan: Endotrakeal tube, ventilator selang O2
b. B2 Blood (Sistem Karduovaskuler)
- Irama jantung : Frekuensi ..x/m, reguler atau irregular
- Distensi Vena Jugularis
- Tekanan Darah : Hipotensi dapat terjadi akibat dari penggunaan ventilator
- Bunyi jantung : Dihasilkan oleh aktifitas katup jantung
S1 : Terdengar saat kontraksi jantung / sistol ventrikel. Terjadi akibat
penutupan katup mitral dan tricuspid
S2 : Terdengar saat akhir kotraksi ventrikel. Terjadi akibat penutupan katup
pulmonal dan katup aorta
S3 : Dikenal dengan ventrikuler gallop, manandakan adanya dilatasi
ventrikel.
- Murmur : terdengar akibat adanya arus turbulansi darah. Biasanya terdengar
pada pasien gangguan katup atau CHF.
- Pengisian kapiler : normal kurang dari 3 detik
- Nadi perifer : ada / tidak dan kualitasnya harus diperiksa. Aritmia dapat terjadi
akibat adanya hipoksia miokardial
- Edema : Dikaji lokasi dan derajatnya.
c. B3 Brain (Persyarafan)
- Tingkat kesadaran
Penurunan tingkat kesadaran pada pasien dengan respirator dapat terjadi akibat
penurunan PCO2 yang menyebabkan vasokontriksi cerebral. Akibatnya akan
menurunkan sirkulasi cerebral.Untuk menilai tingkat kesadaran dapat digunakan
suatu skala pengkuran yang disebut dengan Glasgow Coma Scale (GCS). GCS
memungkinkan untuk menilai secara obyektif respon pasien terhadap
lingkungan. Komponen yang dinilai adalah : Respon terbaik buka mata, respon
motorik, dan respon verbal. Nilai kesadaran pasien adalah jumlah nilai-nilai dari
ketiga komponen tersebut. Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan
respon seseorang terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran
dibedakan menjadi :
Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya,
dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.
Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan
sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak,
berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila
dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu
memberi jawaban verbal.
Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada
respon terhadap nyeri.
Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap
rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah,
mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).
Perubahan tingkat kesadaran dapat diakibatkan dari berbagai faktor, termasuk
perubahan dalam lingkungan kimia otak seperti keracunan, kekurangan oksigen
karena berkurangnya aliran darah ke otak, dan tekanan berlebihan di dalam rongga
tulang kepala. Adanya defisit tingkat kesadaran memberi kesan adanya hemiparese
serebral atau sistem aktivitas reticular mengalami injuri. Penurunan tingkat kesadaran
berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas (kecacatan) dan mortalitas
(kematian). Jadi sangat penting dalam mengukur status neurologikal dan medis
pasien. Tingkat kesadaran ini bisa dijadikan salah satu bagian dari vital sign. GCS
(Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran
pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai respon pasien
terhadap rangsangan yang diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
Heru Sundaru(2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta.