Anda di halaman 1dari 16

Diagnosis

Pemeriksaan pada pasien cedera kepala meliputi pemeriksaan neurokognitif, EEG,

pemeriksaan biomarker dalam darah, CT scan dan MRI (terutama susceptibility-weighted

imaging dan diffusion-tensor imaging).

Foto Rontgen

Foto rontgen kepala tidak memiliki peran yang signifikan dalam mendiagnosis

kelainan intrakranial. Namun, pemeriksaan ini masih dapat digunakan untuk mendiagnosis

fraktur tulang tengkorak. Fraktur memberikan gambaran garis hitam bertepi tajam dan

biasanya berbentuk lurus).Fraktur yang muncul pada area meningea media dapat berkaitan

dengan hematoma epidural. Pada fraktur depresi, garis fraktur yang lusen dapat memberi

gambaran stelata atau semisirkular. Pada kondisi demikian, CT scan diindikasikan karena

mungkin terjadi cedera jaringan otak.

Computed Tomography (CT Scan)

CT scan tanpa kontras tetap menjadi pilihan pertama pemeriksaan pada cedera kepala.

Pemeriksaan ini bahkan lebih unggul dibandingkan MRI jika dilakukan dalam beberapa hari

setelah trauma. Pemeriksaan CT scan pada unit gawat darurat difokuskan untuk menentukan

efek massa dan perdarahan Efek massa dapat ditentukan oleh adanya pergeseran atau

kompresi struktur intrakranial dari posisi normalnya dengan menganalisis lokasi dan bentuk

ventrikel, sisterna basalis dan sulkus. Darah biasanya memberikan gambaran hiperdens dan

biasanya terdapat di sisterna basalis, fisura sylvii dan interhemisfer, ventrikel, ruang subdural

atau epidural, atau di parenkim otak (intraserebral). Pemeriksaan CT scan diindikasikan

untuk semua pasien cedera kepala sedang dan berat. Pada cedera kepala ringan, CT scan

dilakukan pada pasien dengan nilai GCS kurang dari 15 dalam 2 jam setelah kejadian, pasien

dengan kecurigaan fraktur kranium terbuka atau depresi, adanya tanda-tanda fraktur basis
cranii, muntah lebih dari 2 kali, atau usia di atas 65 tahun. CT scan dapat dipertimbangkan

pula pada pasien yang mengalami pingsan lebih dari 5 menit, amnesia sebelum kejadian lebih

dari 30 menit, dan mekanisme cedera yang berbahaya (seperti pejalan kaki tertabrak oleh

kendaraan bermotor, penumpang terlempar dari kendaraan bermotor, jatuh dari lebih dari 5

anak tangga).

Gambaran CT scan yang dapat ditemukan pada pasien dengan Fraktur basis cranii

yaitu berupa fraktur linier pada dasar tulang tengkorak. Pada pemeriksaan CT scan dapat

dicurigai terdapat fraktur basis cranii terutama bila terdapat udara dalam otak (traumatic

pneumocephalus), cairan di mastoid air cells, atau air–fluid level di sinus sfenoid.

Sylvani. Peran Neuroimaging dalam diagnosis Cedera Kepala. CDK-249. Vol. 44 (2)

pp. 97-102. 2013

Trauma kepala merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma dikaitkan

dengan kematian. Menurut Penelitian yang dilakukan oleh Natroma Trauma Project di

Islamic Republik of Iran bahwa, diantara semua jenis trauma tertinggi yang dilaporkan yaitu

sebanyak 78,7 % trauma kepala dan kematian paling banyak juga disebabkan oleh trauma

kepala. Angka kematian trauma kepala akibat terjatuh lebih tinggi pada laki – laki dibanding

perempuan yaitu sebanyak 26,9 per 100.000 dan 1,8 per 100.000. Bagi lansia pada usia 65

tahun keatas, kematian akibat trauma kepala mencatat 16.000 kematian dari 1,8 juta lansia di

Amerika yang mengalami trauma kepala akibat terjatuh. Di Indonesia saat ini, seiring dengan

kemajuan teknologi dan pembangunan, frekuensi terjadinya cedera kepala bukanya menurun

malah meningkat, Fenomena sekunder disebabkan gangguan sirkulasi dan edema yang dapat

menyebabkan kematian. Penatalaksanaan penurunan TIK dan manajemen perfusi serebral

salah satunya adalah mengatur posisi pasien dengan elevasi kepala 150- 300 untuk
meningkatkan venous drainage dari kepala dan elevasi kepala dapat menurunkan tekanan

darah sistemik mungkin dapat dikompromi oleh tekanan perfusi serebral

Efektifitas Elevasi Kepala 300 Dalam Meningkatkan Perfusi Serebral Pada Pasien Post

Trepanasi di Rumah Sakit Mitra Surabaya Nuh Huda 1137-1144

https://www2.aofoundation.org/wps/portal/!ut/p/c0/04_SB8K8xLLM9MSSzPy8xBz9CP0os3hng7BARydDR
wN3QwMDA08zTzdvvxBjI
wN_I_2CbEdFADiM_QM!/?segment=Cranium&bone=CMF&classification=93-
Skull%20base%2C%20Skull%20base%20fractures&teaserTitle=
&showPage=diagnosis&contentUrl=/srg/93/01-Diagnosis/skull_base-skull_base.jsp

Fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang tengkorak.

Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada duramater yang merekat erat pada dasar

tengkorak. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya rhinorrhea dan racon eyes sign

(Fraktur basis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan battle’s sign (fraktur kranii fossa

media)

Fraktur basis krani adalah fraktur linear pada basis kranium. Fraktur ini biasanya adalah

bagian dari fraktur yang mencembung dam diperpanjang sampai pada basis kranium,

meskipun hal ini bisa terjadi dengan sendirinya. Biasanya fraktu basis kranium terjadi karena

efek langsung atau karena adanya propagasi dari gelombang stres pada kranium yang

menghasilkan dampak yang jauh. Bisa juga hal ini memberikan dampak pada tulang wajah.

Basis kranium adalah fraktur pronasi pada lokasi anatomi seperti sinus sphenoidalis, foramen

magnum, os petrossus temporal bagian dalam dari sayap os sphenoid pada basis kranium.

Fossa kranium bagian medial dan foramina multipel adalah tulang paling rapuh serta

predosiposisi paling sering terjadinya fraktur.

Hubungan anatomi yang unik dari basis kranium ini memiliki peran yang penting

setelah terjadinya cedera. Duramater yang menempel kuat pada basis kranium membuatnya

rentan terjadinya laserasi dengan adanya fraktur pada tulang. Seperti fraktur pada ruang
subaraknoid yang berkontak langsung dengan sinus, struktur pada telinga tengah atau sel

mastoid yang akan menjadi jalan kebocoran CSS, infeksi (meningitis, abses) dan atau fistula

persisten. Fraktur basis kranium pada foramen transversum biasanya menyebabkan kerusakan

nervus kranial serta pembuluh darah.

2. anatomi basis kranium

Basis kranium dapat dibagi kedalam beberapa subtipe

1. Basis kranium anterior – berhubungan dengan sinus paranasal, plat kribriformis dan

atap bagian atas orbita

2. Basis kranium media – termasuk bagian besar dari tulang sphenoid dan tulang

temporal

3. Basis kranium posterior – termasuk klivus, kondilus bagian dari os petrossus tulang

temporal

3.Komplikasi

Facial palsy yang terjadi pada hari ke 2-3 pasca trauma adalah akibat sekunder untuk

neurapraxia dari nervus cranialis VII dan responsif terhadap steroid, dengan prognosis yang

baik. Onset facial palsy secara tiba tiba pada saat bersamaan terjadinya fraktur biasanya

akibat skunder dari transeksi nervus, dengan prognosis buruk. Nervus kranial lain mungkin

juga terlibat dalam fraktur basis cranii. Fraktur pada ujung petrossus os temporale mungkin

melibatkan ganglion gasserian. Cedera nervus cranialis VI yang terisolasi bukanlah akibat

langsung dari fraktur, tapi mungkin akibat sekunder karena terjadinya ketegangan pada

nervus. Fraktur os sphenoidalis dapat mempengaruhi nervus cranialis III, IV,dan VI dan juga

dapat mengganggu arteri karotis interna dan berpotensi menghasilkan pembentukan

pseudoaneurysma dan fistula caroticocavernous (jika melibatkan struktur vena). cedera


carotid diduga terdapat pada kasus kasus dimana fraktur berjalan melalui kanal karotid,

dalam hal ini, CT-angiografi dianjurkan

American College of Surgeon Committe on Trauma. Cedera kepala. Dalam: Advanced

Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia, penerjemah. Edisi 7. Komisi

trauma IKABI; 2004. 168-193.

7. Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L, Hartanto H,

Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah. Anatomi Klinik Untuk

Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC: 2006.740-59

8. Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon Learning System

LLC;2003.

9. Ishman SL, Friedland DR. Temporal bone fractures: traditional classification and clinical

relevance. Laryngoscope. Oct 2004;114(10):1734-41.

Insidien

Cedera pada susunan saraf pusat masih merupakan penyebab utama tingginya angka

morbiditas dan mortalitas pada usia muda di seluruh dunia. Pada tahun 1998 sebanyak

148.000 orang di Amerika meninggal akibat berbagai jenis cedera. Trauma kapitis

menyebabkan 50.000 kematian. Insiden rata-rata (gabungan jumlah masuk rumah sakit dan

tingkat mortalitas) adalah 95 kasus per 100.000 penduduk. Sebanyak 22% pasien trauma

kapitis meninggal akibat cederanya. Sekitar 10.000-20.000 kejadian cedera medulla spinalis

setiap tahunnya.
Lebih dari 60% dari kasus fraktur tulang tengkorak merupakan kasus fraktur linear

sederhana, yang merupakan jenis yang paling umum, terutama pada anak usia dibawah 5

tahun. Fraktur tulang temporal sebanyak 15-48% dari seluruh kejadian fraktur tulang

tengkorak, dan fraktur basis cranii sebesar 19-21%. Fraktur depresi antara lain frontoparietal

(75%), temporal (10%), occipital (5%), dan pada daerah-daerah lain (10%). Sebagian besar

fraktur depresi merupakan fraktur terbuka (75-90%). Insiden fraktur tulang tengkorak rata-

rata 1 dari 6.413 penduduk (0.02%), atau 42.409 orang setiap tahunnya. Sejauh ini fraktur

linear adalah jenis yang banyak, terutama pada anak usia dibawah 5 tahun di Amerika

Serikat.

Qureshi N H, Harsh G, Nosko M G, Talavera F, Wyler A R, Zamboni P. Skull fracture. On

emedicine health 2009. Available at http://emedicine.medscape.com/article/248108-

threatment last update 10 mei 2011

Tatalaksana

1. Kebocoran likuor serebrospinal setelah trauma yang disertai dengan meningitis.

2. Fraktur transversal os petrosus yang melibatkan otic capsule

3. Fraktur tulang temporal disertai kelumpuhan komplit otot – otot wajah

4. Pneumocephalus atau kebocoran LCS lebih dari lima hari

Rekomendasi terakhir

menyebutkan diharapkan operasi sudah dilaksanakan dalam waktu 5 hari semenjak LCS

fistula diisolasi. Pembedahan secepatnya direkomendasikan untuk mengurangi insiden infeksi


Subtotal petrosectomy yang terdiri dari eksenterasi total dari temporal bone air cell tracts dan

obliterasi dari tuba eustachian. Setelah struktur yang cedera diperbaiki atau dibebaskan

(nervus fasialis, arteri karotis atau otic capsule), kavitas yang terbentuk diobliterasi dengan

graft lemak endogen dan flaps otot temporal. Tindakan operasi untuk otorrhea meliputi

craniotomy fossa media atau fossa posterior, menelusuri tulang untuk melihat paparan dura

yang menutupi tulang petrosus. Diusahakan melakukan penutupan primer, namun bila tidak

fmemungkinkan dapat dilakukan graft fascia lata atau graft lemak atau otot untuk menutupi

defek. Tindakan operasi untuk Rhinorrhea disesuaikan dengan lokasi kebocoran yamg

diketahui dengan tindakan diagnostik radiologis.

Perawatan konservatif dilaksanakan bila tidak didapatkan kebocoran LCS yang persisten,

fraktur tulang temporal, kelumpuhan otot-otot wajah, kehilangan pendengaran, atau kebutaan.

Terapi konservatif meliputi pemberian antibiotik empirik intravenous selama 5 hari untuk

memberikan kesempatan penyembuhan robekan dura. Data terakhir menganjurkan pemberian

PNC 1-2 juta unit/hari pada kasus kebocoran LCS. Kultur nasal dan tenggorokan segera

diambil, dan antibiotik yang dipilih sesuai dengan kultur. Pasien dipertahankan dalam posisi

bed rest total dengan elevasi posisi the head of bed, untuk mengurangi aliran LCS. Bila

kebocoran cairan likuor tidak berkurang dalam waktu 72 jam dengan terapi konservatif,

pemasangan lumbar drain dilakukan untuk mengalirkan 150 ml LCS perhari selama 3-4 hari.

Diversi LCS dari kebocoran dura dapat membantu penutupan secara spontan.

Pedoman Tatalaksana Cedera Otak Edisi Kedua. Tim Neurotrauma. RSUD dr.Soetomo

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 2014. Surabaya.

Pemeriksaan Penunjang.
Walaupun, foto polos X-Ray dari kranium anterior-posterior, proyeksi lateral, basal,

dapat menyediakan gambaran secara luas pada fraktur, bagaimanapun CT scan modern

dengan jendela tulang, dengan potongan 1-1.5 mm dan potongan koronal memperbaiki

deteksi tampakan serta resolusi meskipun fraktur yang sangat kecil tanpa menaikkan paparan

radiasi. Kadang-kadang frakturnya dapat menyebabkan salah interpretasi. Positif palsu dapat

terjadi ketika sutura normal salah didiagnosis sebagai garis fraktur. Negatif palsu dapat

terjadi pada fraktur wyang tak kasat mata atau ketika teknik suboptimal dimanfaatkan.

Doagnosis banding paling sering pada fraktur ini adalah sutura normal, oleh karena itu hal ini

harus dibedakan dari keduanya. Hal ini bisa dibedakan dengan cara : sutura memiliki

ketebalan 2 mm, lebih terang dalam pewarnaan pada X-Ray dan dapat dijelaskan sesuai letak

anatomis.

CT Scan Heliks membantu fraktur kondilus oksipital dan rekonstruksi 3-D pada

fraktur tulang temporal dengan tambahan unutk membantu informasi mengenai fraktur basis

kranium.

Pada radiografik indirek dapat ditemukan (pada CT scan atau foto polos X-Ray) yang

mengarah pada fraktur basis kranium diantaranya pneumosefalus pada ketiadaan dari fraktur

terbuka dari kubah kranium dan air-fluid level dengan atau opakfikasi dari udara sinus

dengan cairan.

Pemeriksaan MRI sangat menunjang apabila terjadi cedera vaskular dan ketika terjadi

palsy pada nervus kranial ketika kompresi neural. Lebih dari itu, komplikasi awal serta

komplikasi lambat dari fraktur basis kranium adalah infeksi, kontusio otak serta herniasi yang

dapat dilihat pada CT Scan dan dengan MRI dapat membedakan antara keterlibatan otak dan

serta jaringan lunak sekitar. Cedera ligamen dapat terlihat jelas dengan penggunaan MRI.

a. Fraktur basis kranium anterior


Termasuk fraktur dinding posterior dari sinus frontalis, atap anterior dan

posterior selulae etmoidal, hubungan kribriformis etmoidal, dan atap orbital.

Gejala yang dapat muncul berupa adanya rinorea CSS, periorbital ekimosis

bilateral (Racoon eyes), anosmia dan kerusakan nervus optikus dan konten orbita

lainnya. Foramen etmoidalis anterior dan posterior terletak di bagian superior dari

tulang etmoidalis pada sutura frontoetmoid. Berdampaknya pada arteri disekitar

foramina ini dapat dilihat dengan adanya tampakan hematom orbital. Kanalis

optikus diposisikan jauh posterior dan hal ini biasanya terdistorsi dengan garis

fraktur. Bagaimanapun edema lokal atau fragmen bebas dari fraktur dapat

menyebabkan disturbansi vaskular dari nervus optikus, dapat mengarahkan

terjadinya buta temporer maupun permanen. Kebocoran cairan serebrospinal

sangat berhubungan erat dengan meningitis, abses dan fistula persisten, apalagi

dengan adanya fraktur kraniofasial (Le Fort II dan III)

Kebocoran Cairan Serebrospinal bisa dideteksi pertama kali dalam beberapa

hari sampai beberapa minggu setelah trauma, kebocoran cairan serebrospinal bisa

tersembunyi dalam perdarahan hidung dari fraktur fasial, dapat juga terjadi

perlambatan pembentukan hidrosefalus dengan ruptur araknoid pada daerah

fraktur. Tanda double ring dengan adanya bercak darah dari hidung yang mana

cairan serebrospinal bercampur dengan darah, dapat dilihat dari bantal

pasien.hubungan dengan terjadinya anosmia serta rasa asin pada mulut.

5.2 fraktur tulang temporal


Satu dari banyaknya fraktur basis kranium dikategorikan secara transversal

maupun longitudinal, tergantung pada axis dari fraktur serta hubungannya dengan

sambungan petrosus. Hampir 80-90% fraktur tulang temporal adalah longitudinal,

10-20% adalah transversa dan sisanya 8-10% adalah gabungan. Fraktur

longitudinal secara tipikal berparalel dengan kanalis auditori eksternal, berjalan

ke telinga tengah, anterior kapsul otik dan berparalel pada tulang petrosus

melewati foramen ovale.fraktur transversa berjalan perpendikular ke tulang

petrosus, dari batas foramen magnum menyilang hingga petrosus piramidalis,

jarang termasuk kanalis auditoris interna dan masuk kedalam foramen spinosum.

Fraktur longitudial dihasilkan lateral ke temporal atau parietal, sementara fraktur

transversal lebih berhubungan pada tulang frontal atau oksipital. Bagaimanapun,

resolusi CT scan, menunjukkan kebanyakan fraktur adalah fraktur campuran atau

disebut fraktur oblik.

Fraktur longitudinal tulang temporal menyebabkan darah dan otorea cairan

serebrospinal (disrupsi membran timpani), hemotimpanum, keluarnya tulang pada

meatus akustikus eksternus, ekimosis retromastoid (battle sign), tuli konduktif

isebabkan disrupsi pada rantai ossikular, dan 20-30% paralisis nervus fasial

biasanya terjadi ketika dissipasi pada ganglion genikulatum. Pada fraktur

transversa temporal, membran timpani dan meatus akustikus internus biasanya

terpisah membuat terjadinya hemotimpani dan ototrea cairan serebrospinal

kadang tidak muncul. Vertigo, tuli sensorineural berat dan nistagmus adalah

gejala yang sering munculkarena adanya disrupsi pada kanalis akutikus internus.

Hampir 50% pasien menunjukkan paralisis fasial dengan cedera pada ganglion

ginekulatum atau pada segmen superior timpani sampai ke jendela oval.


Dalam rangka secara klinis dibuat relevan dan terprediksi, klasifikasi lain

fraktur dibagi dalam “kapsul otik moderat” dan tipe “kapsul otik dengan

kekerasan".

Beberapa komplikasi tersering yaitu :

1. Kebocoran cairan serebro spinal dan fistula : terjadi pada 1/3 fraktur

temporal. Ketika fraktur merobek dura, kebocoran cairan serebro spinal

masuk keruang timpanosmastoid. Jika membran timpani terjadi disrupsi,

otorea akan terjadi. Jika membran intak, kebocoran cairan akan berjalan dari

tubulus eustachian kedalam nasofaring, mengarah menjadi rhinoreasebgaian

besar terjadi dalam waktu 2 minggu dari trauma.

2. Kehilangan pendengaran : 20-80% dari pasien dengan fraktur temporal

memperlihatkan dearajat kehilangan pendengaran. Pasien yang diketahui

atau dicurigai fraktur temporal harus dilakukan evaluasi pendengaran segera

secepat mungkin dengan klinis serta audiologis (Audiometri nada murni, tes

diskriminasi wicara).

3. Disfungsi vestibular : biasanya berjarak dari nyeri kepala tidak spesifik

menjadi vertigo episodik dengan nistagmus dari beberapa mingu mnejadi

beberapa bukan setelah cedera. Bagaimanapun trauma juga dapat

mengarahkan pasien menjadi vertigo posisi paroksismal jinak dan

pertumbuhan dari sakus endolimfatik harus segera ditatalaksana.

4. Cedera nervus fasdial : komplikasi terjadi 3% dari selirih cedera kepala dan

secara praktis seluruh kasus dari fasial palsy pada post trauma terjadi karena

adanya fraktur temporal, terjadi hampir > 90% berlokasi pada regio

perigenikulatum. Hal ini disebabkan hematoma pada saraf, disrupsi anatomi,

kontusio karena fragmen tulang. Pemeriksaan klinis dan pemeriksaan


elektrofisiologi dari elektroneuronografi (ENOG) harus dilakukan secara

reguler dan bergantung pada onset waktu terjadinya keelmahan wajah (baik

secara lambat maupun cepat) dengan kejadian cedera secara parsial atau

komplit.

5.3 fraktur tulang sphenoid

Hal ini termasuk pada bagian sphenoid (via sinus sphenoid dari sella turcica dan

diatas dari klivus. Fraktur dari sayap besar (melewati orbita, permukaan temporal serta basal),

fraktur dari sapa kecil (via planum dan anterior klinoid) dan fraktur melati prosesus pterigoid.

Berdasarkan seluruh fraktur tulang sphenoid, hal ini memiliki kelebihan dibanding seluruh

fraktur basis kranium termasuk basal anterior serta fraktur tulang temporal, fraktur ini

menghasilkan gambaran

1. Rhinorrhea cairan serebro spinal

2. Cedera pada nervus krania; III, IV, VI; sebabkan ophtalmoplegia

3. Cedera saraf optik

4. Cedera kiasma dan kelainan endokrin (pada fraktur sellar)

5. Cedera pada ICA : porsi supraklinoid yang berpotensial menyebabkan iskemik

serebral, terbentuknya psuedo anuerisma serta fistula karotikokavernosus. Cedera

pada karotod juga dapat terjadi pada garis fraktutr yang bersebrangan dengan kanal

karotikus. Angiografi CT harus dilakukan secara cepat, sehingga arteri karotikus

interna dapat didideteksi pada potongan tipis CT dengan begitu cedera karotis dapat

segera diatas dengan tatalaksana endvaskular.

5.6 Fraktur Klivus


Fraktur yang langka ini telah digambarkan terjadi karena kecelakaan sepeda motor

dengan kecepatan tinggi hal ini berdampak dengan energi tinggi yang dihasilkan.

Fraktur ini jarang didiagnosis dengan foto polos X-Ray. Fraktur longitudinal

berhubungan dengan cedera pada sistem vertebrobasilar dan trauma batang otak

atau keduanya. Nervus abdusen dapat terjadi cedera secara langsung pada fraktur

ini., fraktur transversa dapat mengenai kanal karitikus dan petrossus tulang

temporal. Meskipun jarang menyebabkan kematian, fraktur transversa

berhubungan dengan kebocoran cairan serebrospinal, cedera saraf kranial,

diabetes insipidus serta fistula karotikokavernos.

5.7 . fraktur oksipital kondilar

Fraktur ini dapat terjadi karena adanya trauma tumpul energi tinggi, hal ini dbagi

dalam tiga tipe:

Tipe 1 : kompresi axial sekunder menghasilkan pada kondilus oksipital

Tipe 2: dihasilkan dari tekanan pada oksipital, dimana fraktur kondilus terekstensi

lineear pada fraktur basis kranium.

Tipe 3 : avulsi dari fragmen kondilus selama rotasi, jenis fraktur yang tidak stabil

Tatalaksana

8.1 fraktur etmoid

Pada fraktur etmoid, penggunaan antibiotik telah dibuktikan tidak memiliki

efektitfas dalam merubah terjadinya meningitis post trauma dengan kebocoran

cairan serebrospinal pasca trauma dan tidak direkomendasikan lagi. Sebagian

besar kebocoran pasca trauma aka berhenti sepuluh hari pasca trauma.
Fungsi drainase lumbar bisa meningkatkan proses penyembuhan. Kebocoran

cairan serebro spinal secara persisten (lebih dari 10 hari), kebocoran rekuren,

meningitis serta pneumosephalus mengindikasikan intervensi bedah saraf.

Sisternografi CT atau MRI dapat melokalisasi terjadinya fistula. Biasanya

tatalasksana pada daerah subfrontal atau frontobasal dengan perbaikan intradura

atau extradura atau kombinasi keduanya. Perbaikan dengan endoskopi telah

dilakukan diberbagai tempat.

Cedera pada nervus optikus diikuti dengan fraktur basal anterior, menunjukkan

tidak ada perbaikan dengan pembedahan dekompresi vs metode non bedah

(tatalaksana steroid.) pembedahan dekompresi diindikasikan dengan keburukan

pada pandangan untuk perbaikan pandangan yang diikuti dengan trauma kepala

khususnya pada kasus hematom retrobulbar dan adanya gambaran CT/MRI pada

dislokasi fragmen tulang pada orbita.

8.2 fraktur temporal

Kebanyakan pasien ditatalaksana dengan konservatif. Kematian banyak terjadi

pada fraktur temporal berhubungan dengan trauma (seperti trauma kepala tertutup,

cedera thoraks atau abdomen) disebabkan trauma tumpul. Kematian dapat terjadi,

secara langka dari komplikasi fraktur yang terlambat seperti meningitis.

8.3 kebocoran cairan serebrospinal

Istirahat, elevasi kepala 30o, diet serat serta penggunaan acetozolamid digunakan

dalam penanganan pasien secara konservatif. Drainage lumbar subarachnoid

sangat membantu pada beberapa kelompok pasien. Antibiiotik profilaksis masih

kontroversial dan banyak peraturan pada beberapa institusi yang tidak


memperbolehkan penggunaan sampai adanya bukti bahwa terdapat infeksi. Terapi

pembedahan hanyak dilakukan pada fistula persisten (>2 minggu), pneumosefalus

persisten atau pembesaran serta meningitis. Pendekatan keseluruhan subtemporal

ekstradural atau intradural, dura bisa juga ditutup secara primer atau yang lebih

sering dilakukan yaitu penggantian dengan cangkok dura.

8.4 Pendengaran hilang

Tuli konduktif bisa terjadi pada saat cedera pada aurikula. Meatus akustikus

eksternus, membran timpani, atau rantai ossikula. Sekitar 80% pasien mengalamiu

perbaikan dengan sendirinya. Tuli konduktif yang melebihi 30 dB yang persisten

selama 3 bulan pada pasien dengan membran timpani intak memiliki sugestifitas

yang tinggi untuk disrupsi rantai ossikular dan harus dilakukan konsultasi bersama

otolaringiologis secepatnya untuk dilakukan rekonstruksi rantai osikular.

8.5 disfungsi vestibular

Elektronistagmografi atau MRI bisa menjadi penilai dari pasien dengan disfungsi

vestibular post trauma untuk mengidentifikasi adanya lesi sentral. Kebocoran dari

perilimfe ke dalam telinga dalam atau ke telinga tengah (fistula perilimfatik) bisa

menyebabkam hilangnya pendengaran dan disfungsi vestibular. Ekspolorasi

dengan pembedahan dan perbaikan fistula pada otot, lemak, material autolog dan

allograf akan diperlukan.

8.6 cedera nervus fasialis

Hampir 90% dengan onset keterlamabatam pada paralisis fasial atau seseorang

yang mengalami kelemahan separuh akan sembuh dnegan sendirinya. Tatalaksana


konservatif diindikasikan pada pasien yang diberikan terapi oral kortikosteroid

jangka pendek untuk mereduksi edema pada saraf dpada kanal fallopi. Intervensi

pembedahan dilakukan pada pasien

Anda mungkin juga menyukai