Anda di halaman 1dari 19

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut data dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2015,
angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi yaitu sebesar 305 per 100.000
kelahiran hidup dan angka kematian neonatus di Indonesia yaitu 32 per 100.000
kelahiran hidup. Salah satu penyebab mortalitas ibu dan neonatus adalah ketuban
pecah dini (KPD).1 Insiden KPD berkisar antara 5-10% pada kehamilan aterm atau
cukup bulan, sedangkan pada kehamilan preterm terjadi pada 1% kehamilan. Pada
kehamilan aterm 90% terjadi kelahiran dalam 24 jam setelah ketuban pecah. Pada
usia kehamilan 28-34 minggu 50% terjadi persalinan dalam 24 jam dan pada usia
kehamilan kurang dari 26 minggu pesalinan terjadi dalam 1 minggu. 2,3
Berdasarkan hasil studi pendahuluan dengan menggunakan data sekunder
rekam medis RSUD Tugurejo Semarang yang dilakukan oleh peneliti pada kasus
komplikasi persalinan menyebutkan bahwa data jumlah kasus komplikasi
persalinan pada periode Januari-Desember 2016 jumlah keseluruhannya yaitu
2.178 ibu yang melahirkan, diantaranya terdapat 834 kejadian komplikasi
persalinan (38,2%). Dari 834 kasus komplikasi persalinan ini terdiri dari persalinan
ketuban pecah dini (KPD) ada 360 kasus (43,1%), PEB ada 208 kasus (24,9%),
Perdarahan Postpartum ada 81 kasus (9,71%), Prematuritas (preterm) ada 54
kasus (6,47%), Pendarahan Anterpartum ada 31 kasus (3,71%),
Malposisi/malpresentasi ada 41 kasus (4,91%), dan lain-lain 55 kasus (6,59%),
sehingga dapat disimpulkan bahwa kejadian KPD masih tinggi.4
Menurut WHO tahun 2014 sebagian besar kematian ibu terjadi di negara
berkembang karena kurang mendapat akses pelayanan kesehatan, kekurangan
fasilitas, terlambatnya pertolongan persalinan disertai keadaaan sosial ekonomi
dan pendidikan masyarakat yang masih tergolong rendah sehingga perlu
penanganan yang tepat pada kejadian KPD, apabila tidak ditangani dengan baik
dapat menimbulkan kompilkasi yang dapat membahayakan baik ibu dan janin. 3
Selain itu Ketuban Pecah Dini pada Standar Kompetensi Dokter Indonesia
(SKDI) berada pada level kompetensi 3A, yaitu lulusan dokter mampu membuat
diagnosis klinik, memberi terapi pendahuluan pada keadaan bukan gawat darurat,
menentuka rujukan yang tepat bagi penanganan pasien selanjutnya dan mampu
menindaklanjuti setelah kembali dari rujukan. Oleh karena itu pemahaman dan

1
penatalaksanaan yang tepat mengenai Ketuban Pecah Dini dapat mengurangi
angka kematian ibu dan bayi dan dapat menjadi pedoman tatalaksana dan merujuk
untuk dokter umum.
Oleh karena itu pemahaman dan penatalaksanaan yang tepat mengenai
Ketuban Pecah Dini dapat mengurangi angka kematian ibu dan bayi dan dapat
menjadi pedoman tatalaksana dan merujuk untuk dokter umum.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mampu memahami Ketuban Pecah Dini
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Mampu mengetahui definisi Ketuban Pecah Dini
b. Mampu mengetahui epidemiologi Ketuban Pecah Dini
c. Mampu mengetahui faktor risiko Ketuban Pecah Dini
d. Mampu mengetahui mekanisme Ketuban Pecah Dini
e. Mampu mengetahui diagnosis Ketuban Pecah Dini
f. Mampu mengetahui komplikasi Ketuban Pecah Dini
g. Mampu mengetahui tatalaksana Ketuban Pecah Dini

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai pecahnya selaput
ketuban sebelum terdapat tanda-tanda persalinan. Ketuban pecah dini dapat
terjadi pada atau setelah usia gestasi 37 minggu dan disebut KPD aterm atau
premature rupture of membranes (PROM) dan sebelum usia gestasi 37 minggu
atau KPD preterm atau preterm premature rupture of membranes (PPROM).
Sebagian ketuban pecah dini terjadi pada kehamilan aterm lebih dari 37 minggu
sedangkan kurang dari 36 minggu tidak terlalu banyak.3,5

2.2. Epidemiologi
Menurut WHO 2014, KPD atau insiden PROM berkisar antara 5-10%
dari semua kelahiran. KPD preterm terjadi 1% dari semua kehamilan. WHO
mengatakan 70% kasus KPD terjadi pada kehamilan aterm, sementara 30%
kasus KPD merupakan penyebab kelahiran prematur. Di luar negeri, insiden
KPD antara 6%-12%, sedangkan di Indonesia berkisar 4,5%- 6% dari seluruh
kehamilan.2,3
Pada suatu penelitian yang dilakukan di Swedia, kejadian KPD paling
banyak terjadi pada usia gestasi 34-46 minggu. Sedangkan pada penelitian di
Cina, kejadian KPD ditemui pada sebanyak 4.000.000 persalinan setiap
tahunnya.4
Berdasarkan hasil studi pendahuluan dengan menggunakan data
sekunder rekam medis RSUD Tugurejo Semarang yang dilakukan oleh peneliti
pada kasus komplikasi persalinan menyebutkan bahwa data jumlah kasus
komplikasi persalinan pada periode Januari-Desember 2016 jumlah
keseluruhannya yaitu 2.178 ibu yang melahirkan, diantaranya terdapat 834
kejadian komplikasi persalinan (38,2%).4
Dalam suatu penelitian tahun 2015 yang dilakukan di RSUP Prof. dr. R.
Kandou Manado dilaporkan bahwa dari 3.810 persalinan di rumah sakit
tersebut terdapat 1,54% atau 59 kasus KPD. Sebanyak 72% kasus KPD terjadi
pada usia kehamilan lebih dari 37 minggu, dengan sebagian besar ibu berada
pada rentang usia 20-24 tahun.7

3
2.3. Faktor Risiko
Berbagai faktor risiko berhubungan dengan KPD, antara lain:
1. Usia
Karakteristik pada ibu berdasarkan usia sangat berpengaruh terhadap
kesiapan ibu selama kehamilan maupun menghadapi persalinan. Usia untuk
reproduksi optimal bagi seorang ibu adalah antara umur 20-35 tahun. Di
bawah atau di atas usia tersebut akan meningkatkan risiko kehamilan dan
persalinan. Usia seseorang sedemikian besarnya akan mempengaruhi
sistem reproduksi, karena organ-organ reproduksinya sudah mulai
berkurang kemampuannya dan keelastisannya dalam menerima
kehamilan.8,9
2. Sosial ekonomi (Pendapatan)
Pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas
kesehatan di suatu keluarga. Pendapatan biasanya berupa uang yang
mempengaruhi seseorang dalam memenuhi kehidupan hidupnya.
Pendapatan yang meningkat tidak merupakan kondisi yang menunjang bagi
terlaksananya status kesehatan seseorang. Rendahnya pendapatan
merupakan rintangan yang menyebabkan seseorang tidak mampu
memenuhi fasilitas kesehatan sesuai kebutuhan.10,9
3. Paritas
Paritas adalah banyaknya anak yang dilahirkan oleh ibu dari anak
pertama sampai dengan anak terakhir. Adapun pembagian paritas yaitu
primipara, multipara, dan grande multipara. Primipara adalah seorang
wanita yang baru pertama kali melahirkan dimana janin mancapai usia
kehamilan 28 minggu atau lebih. Multipara adalah seorang wanita yang
telah mengalami kehamilan dengan usia kehamilan minimal 28 minggu dan
telah melahirkan buah kehamilanya 2 kali atau lebih. Sedangkan grande
multipara adalah seorang wanita yang telah mengalami hamil dengan usia
kehamilan minimal 28 minggu dan telah melahirkan buah kehamilannya
lebih dari 5 kali. Wanita yang telah melahirkan beberapa kali dan pernah
mengalami KPD pada kehamilan sebelumnya serta jarak kelahiran yang
terlampau dekat diyakini lebih berisiko akan mengalami KPD pada
kehamilan berikutnya.11,9,12
4. Anemia

4
Anemia pada kehamilan adalah anemia karena kekurangan zat
besi. Jika persediaan zat besi minimal, maka setiap kehamilan akan
mengurangi persediaan zat besi tubuh dan akhirnya menimbulkan anemia.
Pada kehamilan relatif terjadi anemia karena darah ibu hamil mengalami
hemodelusi atau pengenceran dengan peningkatan volume 30% sampai
40% yang puncaknya pada kehamilan 32 sampai 34 minggu. Pada ibu
hamil yang mengalami anemia biasanya ditemukan ciri-ciri lemas, pucat,
cepat lelah, mata berkunang-kunang. Pemeriksaan darah dilakukan
minimal dua kali selama kehamilan yaitu pada trimester pertama dan
trimester ke-3.
Dampak anemia pada janin antara lain abortus, terjadi kematian
intrauterin, prematuritas, berat badan lahir rendah, cacat bawaan dan
mudah infeksi. Pada ibu, saat kehamilan dapat mengakibatkan abortus,
persalinan prematuritas, ancaman dekompensasi kordis dan KPD. Pada
saat persalinan dapat mengakibatkan gangguan his, retensio plasenta dan
perdarahan post partum karena atonia uteri. Anemia berdasarkan hasil
pemeriksaan dapat digolongkan menjadi (1) HB > 11 gr %, tidak anemia,
(2) 9-10 gr % anemia sedang, (3) < 8 gr % anemia berat.8,9
5. Perilaku Merokok
Kebiasaan merokok atau lingkungan dengan rokok yang intensitas
tinggi dapat berpengaruh pada kondisi ibu hamil. Rokok mengandung lebih
dari 2.500 zat kimia yang teridentifikasi termasuk karbon monoksida,
amonia, aseton, sianida hidrogen, dan lain-lain. Merokok pada masa
kehamilan dapat menyebabkan gangguan-gangguan seperti kehamilan
ektopik, ketuban pecah dini, dan risiko lahir mati yang lebih tinggi.13
6. Riwayat KPD
Pengalaman yang pernah dialami oleh ibu bersalin dengan
kejadian KPD dapat berpengaruh besar pada ibu jika menghadapi kondisi
kehamilan. Riwayat KPD sebelumnya berisiko 2-4 kali mengalami KPD
kembali. Patogenesis terjadinya KPD secara singkat ialah akibat penurunan
kandungan kolagen dalam membran sehingga memicu terjadinya KPD dan
ketuban pecah preterm. Wanita yang pernah mengalami KPD pada
kehamilan atau menjelang persalinan maka pada kehamilan berikutnya
akan lebih berisiko dari pada wanita yang tidak pernah mengalami KPD

5
sebelumnya karena komposisi membran yang menjadi rapuh dan
kandungan kolagen yang semakin menurun pada kehamilan berikutnya.12
7. Serviks yang inkompeten
Inkompetensia serviks adalah istilah untuk menyebut kelainan
pada otot leher rahim (serviks) yang terlalu lunak dan lemah, sehingga
sedikit membuka ditengah-tengah kehamilan karena tidak mampu
menahan desakan janin yang semakin besar. Inkompetensia serviks adalah
serviks dengan suatu kelainan anatomi yang nyata, disebabkan laserasi
sebelumnya melalui ostium uteri atau merupakan suatu kelainan kongenital
pada serviks yang memungkinkan terjadinya dilatasi berlebihan tanpa
perasaan nyeri dan mules dalam masa kehamilan trimester kedua atau
awal trimester ketiga yang diikuti dengan penonjolan dan robekan selaput
janin serta keluarnya hasil konsepsi.9
8. Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan
Dapat menyebabkan terjadinya KPD, misalnya:
- Trauma
Berupa hubungan seksual, pemeriksaan dalam, amniosintesis.9
- Gemelli
Kehamilan kembar adalah suatu kehamilan dua janin atau lebih. Pada
kehamilan gemelli terjadi distensi uterus yang berlebihan, sehingga
menimbulkan adanya ketegangan rahim secara berlebihan. Hal ini
terjadi karena jumlahnya berlebih, isi rahim yang lebih besar dan
kantung (selaput ketuban) relatif kecil sedangkan dibagian bawah tidak
ada yang menahan sehingga mengakibatkan selaput ketuban tipis dan
mudah pecah.9,14

2.4 Patofisiologi
Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh
kontraksi uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena
pada daerah tertentu terjadi perubahan biokimia. Mendekati waktu persalinan,
keseimbangan antara MMP dan TIMP-1 mengarah pada degradasi proteolitik
dari matriks ekstraselular dan membran janin. Aktivitas degradasi proteolitik ini
meningkat menjelang persalinan yang menyebabkan selaput ketuban inferior
rapuh.2

6
Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada trimester
ketiga selaput ketuban mudah pecah. Melemahnya kekuatan selaput ketuban
ada hubungannya dengan pembesaran uterus, kontraksi rahim, dan gerakan
janin. Pada trimester terakhir terjadi perubahan biokimia pada selaput ketuban.
Pecahnya ketuban pada kehamilan aterm merupakan hal fisiologis. 2 Ketuban
pecah dini pada kehamilan premature terjadi setelah terdapat aktivasi dari
multifaktorial dan berbagai mekanisme. Faktor klinis dipertimbangkan sebagai
pencetus dari ketuban pecah dini. Faktor ini termasuk infeksi traktus reproduksi
pada wanita (Bakterial vaginosis, Trikomoniasis, Gonorrhea, Chlamydia, dan
korioamnionitis subklinis), faktor-faktor perilaku (merokok, status nutrisi, dan
koitus), komplikasi obstetri (kehamilan multipel, polihidramnion, inkompetensi
servik, perdarahan dalam kehamilan, dan trauma antenatal). Sinyal biokimia
dari fetus termasuk sinyal apoptosis dan sinyal endokrin dari fetus, juga
merupakan implikasi dalam inisiasi dari terjadinya ketuban pecah dini
Perubahan struktur, jumlah sel, dan katabolisme kolagen menyebabkan
aktivitas kolagen berubah dan menyebabkan selaput ketuban pecah. Degradasi
kolagen dimediasi oleh matriks metalloproteinase (MMP) yang dihambat oleh
inhibitor jaringan spesifik dan inhibitor protease. Beberapa penelitian
menemukan adanya sebuah area yang disebut dengan “high morphological
change” pada selaput ketuban di daerah sekitar serviks. Daerah ini merupakan
2 - 10% dari keseluruhan permukaan selaput ketuban. Area ini ditandai dengan
adanya peningkatan MMP-9, peningkatan peningkatan aktivitas dari petanda
protein apoptosis yaitu cleaved-caspase-3, cleaved-caspase-9, dan penurunan
Bcl-2. Didapatkan hasil laju apoptosis ditemukan lebih tinggi pada amnion dari
pasien dengan ketuban pecah dini dibandingkan pasien tanpa ketuban pecah
dini, dan laju apoptosis ditemukan paling tinggi pada daerah sekitar serviks
dibandingkan dengan daerah fundus.15

7
 Faktor Infeksi
Infeksi merupakan penyebab tersering dari persalinan preterm dan
ketuban pecah dini, di mana bakteri dapat menyebar ke uterus dan cairan
amnion sehingga memicu terjadinya inflamasi. Infeksi menginduksi respon
inflamasi ibu dan janin (korioamnionitis histologis), meningkatkan produksi
dan pelepasan sitokin inflamasi (IL-1, IL-6, IL-8, TNF-α). Sitokin terlibat
dalam induksi enzim siklooksigenase II yang berfungsi mengubah asam
arakhidonat menjadi prostaglandin yang memicu untuk pematangan serviks
dan kontraktilitas yang dimediasi oleh prostaglandin serta terjadi
pembentukan dan peningkatan aktivitas MMP-1 dan MMP-3 dan substansi
bioaktif lainnya untuk mendegradasi matriks ekstraseluler.15
Selain itu, aktivasi dari sitokin menyebabkan peningkatan apoptosis
plasenta dan selaput korioamnion dengan glikoprotein pada Fas Ligand
(Fas-L). Apoptosis dari sel otot polos servik berperan dalam pembukaan
servik dan sel epitel amnion dalam sel selaput janin dan menyebabkan
pecahnya selaput ketuban.15
Komponen yang lain sebagai respon adanya infeksi adalah produksi dari
glukokortikoid. Pada kebanyakan jaringan aksi antiinflamasi dari
glukokortikoid dimediasi oleh karena penekanan produksi dari
prostaglandin. Pada jaringan amnion, glukokortikoid memproduksi

8
prostaglandin. Hal ini menunjukkan bahwa produksi glukokortikoid sebagai
respon terhadap stress dari infeksi mikroba yang dapat menyebabkan
pecahnya selaput ketuban.15

 Faktor apoptosis
Apoptosis berlangsung dua tahap yaitu tahap inisiasi, di mana terjadi
pengaktifan caspase secara katalisis dan tahap eksekusi di mana caspase
bekerja aktif menyebabkan kematian sel. Inisiasi apoptosis berasal dari dua
jalur yaitu jalur intrinsik (mitokondria) dan ekstrinsik. Kedua jalur ini, akhirnya
bertujuan untuk mengaktifkan caspase. Jalur ini diinduksi oleh stimulus yang
berbeda dan melibatkan protein yang berbeda.
Proses apoptosis yang terjadi pada robekan selaput ketuban pada
kehamilan dengan ketuban pecah dini dapat melalui aktivasi caspase
dependent dan independent. Ketuban pecah dini preterm disebabkan
terutama oleh infeksi pada traktus genitalia yang telah lama dianggap
sebagai pencetus KPD dapat berupa infeksi bakteri (ekstraseluler) melalui
jalur caspase dependent dan infeksi bakteri obligat intraseluler melalui jalur
caspase independent. Faktor infeksi intraseluler terutama merupakan
pencetus percepatan mekanisme apoptosis selaput ketuban melalui jalur
independen lewat peningkatan ekspresi protein Bax dan berlanjut dengan
mengaktifkan protein propoptosis AIF dan endonuclease G, sedangkan
faktor infeksi ekstraseluler melalui jalur caspase dependent baik intrinsik
maupun ekstrinsik dengan parameter caspase-3.

9
Jalur ekstrinsik (ekstraseluler) diinisiasi melalui stimulasi dari reseptor
kematian (death receptor pathway) sedangkan jalur intrinsik diinisiasi
melalui pelepasan faktor signal dari mitokondria dalam sel (mitochondrial
pathway).15

2.5 Diagnosis
Diagnosis ketuban pecah dini di awali dengan adanya riwayat kebocoran
cairan vagina, baik yang mengalir secara terus-menerus atau memancar. Dari
anamnesis perlu diketahui waktu dan kuantitas dari cairan yang keluar, usia
gestasi dan taksiran persalinan, riwayat ketuban pecah dini sebelumnya dan
faktor risikonya.16,17
Pemeriksaan vaginal toucher jangan terlalu sering dilakukan karena hal
ini akan meningkatkan risiko infeksi neonatus. Pemeriksaan fisik yang
dilakukan dengan menggunakan spekulum dilubrikasi terlebih dahulu dengan
lubrikan yang dilarutkan dengan cairan steril dan sebaiknya tidak menyentuh
serviks atau istilahnya pemeriksaan spekulum steril. Pemeriksaan spekulum
steril digunakan untuk menilai adanya servisitis, prolapse tali pusat atau
prolapse bagian terendah janin, menilai dilatasi dan pendataran serviks,
mendapatkan sampel dan mendiagnosis KPD secara visual. Pada pemeriksaan
spekulum steril, ketuban pecah didiagnosis jika terdapat cairan amnion yang
berkumpul di forniks posterior atau adanya cairan bening yang mengalir dari
serviks.16,17
Jika cairan amnion jelas terlihat mengalir dari serviks, tidak diperlukan
lagi pemeriksaan lainnya untuk mengkonfirmasi diagnosis. Jika diagnosis tidak
dapat dikonfirmasi, lakukan tes pH dengan indikator nitrazine, pH cairan amnion
biasanya 7,1 – 7,3 sedangkan sekret vagina 4,5 – 6. PH diatas 6,5 konsisten
dengan membrane yang pecah. Hasil tes positif palsu dapat terjadi dengan
darah, air mani, atau vaginosis bakteri yang hidup berdampingan, sedangkan
tes negatif palsu dapat terjadi jika cairan amnion yang didapat hanya sedikit.
Tes lain yang dapat dilakukan adalah arborisasi atau pakis cairan vagina.
Cairan amnion mengkristal untuk membentuk pola seperti daun pakis. 16,17
Pemeriksaan diagnostik penunjang yang dapat dilakukan adalah USG.
Pemeriksaan USG dapat berguna untuk melengkapi diagnosis untuk menilai
indeks cairan amnion. Jika didapatkan volume cairan amnion atau indeks cairan
amnion yang berkurang tanpa adanya abnormalitas ginjal janin dan tidak

10
adanya pertumbuhan janin terhambat, maka kecurigaan akan ketuban pecah
sangatlah besar, walaupun normalnya volume cairan ketuban tidak
menyingkirkan diagnosis. Selain itu, USG dapat digunakan untuk menilai
taksiran berat janin, usia gestasi dan presentasi janin, dan kelainan kongenital
janin. Pada beberapa kasus, diperlukan tes laboratorium untuk menyingkirkan
kemungkinan lain keluarnya cairan/ duh dari vagina/ perineum.17
2.6 Tatalaksana
1. Konservatif
Pasien dirawat di rumah sakit, kemudian diberikan antibiotik (ampisilin 4
x 500 mg atau eritromisin bila tidak tahan ampisilin dan metronidazole 2 x
500 mg selama 7 hari). Jika usia kehamilan < 32-34 minggu, dirawat selama
air ketuban keluar atau sampai air ketuban tidak keluar lagi. Jika usia
kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi, tes busa negatif
beri deksametason, observasi tanda-tanda infeksi dan kesejahteraan janin,
lalu terminasi pada kehamilan 37 minggu. Jika usia kehamilan 32-37
minggu, sudah inpartu, tidak ada infeksi, berikan tokolitik (salbutamol),
deksametason dan induksi sesudah 24 jam. Jika usia kehamilan 32-37
minggu, ada infeksi, beri antibiotic dan lakukan induksi, nilai tanda-tanda
infeksi ( suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intrauterine). Pada usia
kehamilan 32-37 minggu berikan steroid untuk memicu pematangan paru
janin, dan bila memungkinkan periksa kadar lesitin dan spongiomielin tiap
minggu. Dosis betametason 12 mg sehari dosis tunggal selama 2 hari,
deksametason IM 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali.2
2. Aktif
Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin. Bila gagal seksio
sesarea. Dapat pula diberikan misoprostol 25 mcg – 50 mcg intravaginal tiap
6 jam maksimal 4 kali. Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotic dosis
tinggi dan persalinan diakhiri.2
 Bila skor pelvik < 5, lakukan pematangan serviks, kemudian induksi.
Jika tidak berhasil. Akhiri persalinan dengan seksio sesarea.
 Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan.

Berikut ini adalah tabel skema penatalaksanaan ketuban pecah dini


rekomedasi dari American College of Obstetricians and Gynecologist tahun
2013.

11
Pemberian antibiotik

POGI tahun 2016 menyarankan pemberian antibiotik profilaksis pada


kejadian KPD preterm. Hasil tinjauan penelitian disimpulkan bahwa
administrasi antibiotik mengurangi morbiditas maternal dan neonatal
dengan menunda kelahiran yang akan memberi cukup waktu untuk
profilaksis dengan kortikosteroid prenatal. Pemberian co-amoxiclav pada
prenatal dapat menyebabkan neonatal necrotizing enterocolitis sehingga
antibiotik ini tidak disarankan. Pemberian eritromisin atau penisilin adalah
pilhan terbaik. Pemberian antibiotic dapat dipertimbangkan bila KPD
memanjang > 24 jam dan sebaiknya dalam perawatan sampai berada
dalam fase aktif.17

Antibiotik yang dapat digunakan pada KPD > 24 jam adalah


Benzilpenisilin dengan dosis 1,2 gram IV setiap 4 jam atau klindamisin (bila
sensitive penisilin) dengan dosis 600 mg IV setiap 8 jam. Berikut ini tabel
obat yang digunakan pada KPD :17

Magnesium MAGNESIUM SULFAT IV :


Untuk efek neuroproteksi pada Bolus 6 gram selama 40 menit
PPROM < 31 minggu bila dilanjutkan infus 2 gram/jam untuk
persalinan diperkirakan dalam dosis pemeliharaan sampai
waktu 24 jam persalinan atau 12 jam terapi.
Kortikosteroid BETAMETHASONE :
Untuk menurunkan risiko 12 mg IM setiap 24 jam di kali 2
sindrom distress pernapasan dosis
Jika bethametasone tidak tersedia,
gunakan deksamethasone 6 mg IM
setiap 12 jam.
Antibiotik AMPICILIN
Untuk memperlama masa laten 2 gram IV setiap 6 jam dan

12
ERYTROMYCIN
250 mg IV setiap 6 jam selama 48
jam, dikali 4 dosis diikuti dengan
AMOXICILLIN
250 mg PO setiap 8 jam selama 5
hari dan
ERYTHROMYCIN
333 mg PO setiap 8 jam selama 5
hari, jika alergi ringan dengan
penisilin, dapat digunakan :
CEFAZOLINE
1 gram IV setiap 8 jam selama 48
jam dan
ERYTHROMYCIN
250 mg IV setiap 6 jam selama 48
jam diikuti dengan :
CEPHALEXIN
500 mg PO setiap 6 jam selama 5
hari dan
ERYTHROMYCIN
333 mg PO setiap 8 jam selama 5
hari
Jika alergi berat penisilin dapat
diberikan
VANCOMYCIN
1 gram IV setiap 12 jam selama 48
jam dan
ERYTHROMYCIN
250 mg IV setiap 6 jam selama 48
jam diikuti dengan
CLINDAMYCIN
300 mg PO setiap 8 jam selama 5
hari.

POGI tahun 2016 merekomendasikan penatalaksanaan KPD sesuai


dengan literature yang ada dan terkini serta level of evidence masing-
masing pernyataan, sebagai berikut :17
1. Diagnosis KPD spontan paling baik didapatkan dari anamnesis dan
pemeriksaan spekulum steril
2. Pemeriksaan USG berguna pada beberapa kasus untuk
mengkonfirmasi KPD
3. Ibu hamil harus dipantau tanda-tanda klinis dari korioamnionitis
4. Uji darah ibu, CRP, swab vagina setiap minggu tidak perlu dilakukan
karena sensitivitas dalam mendeteksi infeksi intrauterine yang sangat
rendah

13
5. Kardiotokografi berguna untuk dilakukan karena takikardia fetal adalah
salah satu definisi korioamnionitis. Skor profil biofisik dan velosimetri
Doppler dapat dilakukan namun ibu hamil harus diinformasikan bahwa
uji tersebut memiliki keterbatasan dalam memprediksi infeksi fetus.
6. Amniosintesis tidak memiliki cukup bukti untuk memperbaiki outcome
sebagai cara diagnosis infeksi intrauterine
7. Eritomisin perlu diberikan 10 hari pasca diagnosis KPD preterm
8. Kortikosteroid antenatal harus diberikan pada wanita dengan KPD
preterm
9. Tokolitik pada KPD preterm tidak direkomendasikan karena
penatalaksanaan ini tidak secara signifikan memperbaiki outcome
perinatal.
10. Persalinan harus dipikirkan pada usia gestasi 34 minggu. Ketika
manajemen ekspektatif mungkin di atas usia gestasi ini, ibu harus tetap
diinformasikan bahwa ada risiko korioamnionitis yang menigkat dan
risiko masalah respirasi neonates hypoplasia pulmoner.
11. Amnioinfus selama persalinan tidak direkomendasikan pada wanita
dengan KPD karena tidak ada cukup bukti. Amnioinfus juga tidak
terbukti mencegah hypoplasia pulmoner.
12. Tidak ada bukti yang cukup bahwa fibrin sealants adalah tatalaksana
rutin dari oligohidramnion trimester kedua karena KPD preterm.

2.7 Komplikasi
Komplikasi yang timbul bergantung pada usia kehamilan.
 Komplikasi Ibu
Komplikasi pada ibu yang terjadi biasanya berupa infeksi intrauterin.
Infeksi tersebut dapat berupa endometritis, maupun korioamnionitis yang
berujung pada sepsis.17
 Komplikasi Janin
1. Persalinan prematur
Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan.
Periode laten tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90%
terjadi dalam 24 jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28-
34 minggu 50% persalinan dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari
26 minggu persalinan terjadi dalam 1 minggu.2

14
2. Infeksi
Janin mendapat perlindungan dan isolasi terhadap
mikroorganisme sekitarnya. Hal ini terjadi karena adanya mekanisme
pertahanan yang dapat melindungi fetus dan plasenta dari infeksi yaitu
“ascending infection” yang berupa selaput ketuban utuh. Pecahnya
selaput ketuban menyebabkan hancurnya barrier sebagai pelindung
janin dari lingkungan luar yang menyebabkan mikroorganisme dari
vagina menyebar ke uterus dan cairan amnion sehingga menyebabkan
amnionitis dan infeksi pada janin akibat aspirasi cairan amnion yang
sudah terinfeksi. Infeksi pada janin dapat terjadi pneumonia, omfalitis
dan septikemia.2,18
3. Hipoksia dan Asfiksia
Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan
tali pusat hingga terjadi asfiksia atau hipoksia. Semakin sedikit air
ketuban, janin semakin gawat.2
4. Sindrom Deformitas Janin
Ketuban pecah dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan
pertumbuhan janin terhambat. Dengan pecahnya ketuban terjadi
oligohidramnion sehingga menyebabkan uterus menkompresi muka dan
anggota badan janin, serta hipoplasi pulmonal.2

2.8 Prognosis

15
Angka mortalitas ibu belum diketahui secara pasti, dengan penggunaan
antibiotik spektrum luas dapat memperbaiki keadaan sepsis pada ibu.

2.9 Algoritma Manajemen Ketuban Pecah Dini


Algorita manajemen ketuban pecah dini berdasarkan POGI 2016.17

16
BAB III
KESIMPULAN

Ketuban pecah dini adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum


terjadinya proses persalinan, dapat terjadi pada kehamilan preterm sebelum
kehamilan 37 minggu maupun kehamilan aterm. Ketuban pecah dini (KPD)
merupakan masalah penting dalam obstetrik berkaitan dengan tingginya mrtalitas ibu
dan fetus. Menurut Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI tahun 2014,
penyebab kematian ibu secara nasional adalah perdarahan, pre-eklamsi/eklamsi, dan
infeksi. Ketuban pecah dini merupakan salah satu penyebab terjadinya infeksi.
Penyebabnya masih belum diketahui secara pasti tetapi terdapat beberapa
faktor yang berhubungan erat dengan KPD, namun faktor-faktor mana yang lebih
berperan sulit diketahui. Faktor risiko tersebut antara lain infeksi, inkompetensia
serviks, tekanan intra uterin yang tinggi atau meningkat secara berlebihan

17
(overdistensi uterus), misalnya (trauma, hidramnion, gemelli) dan merokok.
Pada umumnya diagnosis KPD sudah bisa terdiagnosis dengan anamnesa yaitu
keluarnya cairan dari vagina dan pemeriksaan inspekulo.
Berbagai komplikasi dapat terjadi baik terhadap ibu maupun janin, antara lain
adalah persalinan preterm jika
terjadi pada usia kehamilan preterm, oligohidramnion, infeksi maternal (infeksi intra
partum (korioamnionitis) ascendens dari vagina ke intrauterin, korioamnionitis (demam
>380C, takikardi, leukositosis, nyeri uterus, cairan vagina berbau busuk atau
bernanah, DJJ meningkat), endometritis), penekanan tali pusat (prolapsus), gawat
janin dan kematian janin akibat hipoksia dan deformitas janin.
Prinsip utama penatalaksanaan KPD adalah untuk mencegah mortalitas dan
morbiditas perinatal pada ibu dan bayi yang dapat meningkat karena infeksi atau
akibat kelahiran preterm pada kehamilan dibawah 37 minggu. Prinsipnya
penatalaksanaan ini diawali dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan beberapa
pemeriksaan penunjang yang mencurigai tanda-tanda KPD. Setelah mendapatkan
diagnosis pasti, dokter kemudian melakukan penatalaksanaan berdasarkan usia
gestasi. Hal ini berkaitan dengan proses kematangan organ janin, dan bagaimana
morbiditas dan mortalitas apabila dilakukan persalinan maupun tokolisis. Terdapat dua
manajemen dalam penatalaksanaan KPD, yaitu manajemen aktif dan ekspektatif.
Manajemen ekspektatif adalah penanganan dengan pendekatan tanpa intervensi,
sementara manajemen aktif melibatkan klinisi untuk lebih aktif mengintervensi
persalinan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia


Tahun. 2017. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia;2018

2. Wikjosastro, H.,dkk. (editor). Ketuban Pecah Dini. Ilmu Kebidanan. Edisi


Keempat. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2009. p.678 –
681.
3. WHO. Levels and Trend Maternal Mortality Rate. Geneva; 2014:125-126.
4. Rohmawati N, Fibriana AI. Ketuban Pecah Dini di Rumah Sakit Umum Daerah

18
Ungaran. HIGEIA. 2018;2(1):23-32
5. Manuaba. Buku ajar patologi obstetri untuk mahasiswa kebidanan. Jakarta:
EGC;2009.
6. Liu J, Feng Z, Wu J. The Incidence Rate of Premature Rupture of Membranes
and its Influence on Fetal-neonatal Health: A Report From Mainland China.
Journal of Tropical Pediatrics. 2009;56(1):36-42.
7. Lowing J, Lengkong R, Mewengkang M. Gambaran Ketuban Pecah Dini di
RSUP Prof. dr. R.Kandou Manado. J e-Clinic. 2015;3(3):741-744.
8. Depkes. Pusat kesehatan masyarakat. Jakarta: ECG;2005
9. Morgan, Geri. Obstetri Genekologi Praktik. Edisi II. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran, EGC;2005
10. BPS, Semarang. Survey Sosial Ekonomi Nasional. Semarang:BPS;2005
11. Wiknjosastro, H. Ilmu Kebidanan, Edisi 3. Jakarta:YBPSP;2007
12. Helen. V. Buku ajar asuhan kebidanan. Volume II, Edisi IV. Jakarta:EGC;2008
13. Sinclair. Buku Saku kebidanan. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta: EGC;2010
14. Saifudin A. Buku Acuan pelayanan kesehatan Maternal Neonatal. Jakarta:
YBPSP;2009
15. Sinta. Ekspresi Caspase dan Apoptosis Inducing Factor Positif Serta B-Cell
Lymphoma Protein-2 Yang Rendah Pada Sel Epitel Amnion, Sebagai Faktor
Resiko Pada Mekanisme Terjadinya Ketuban Pecah Dini. Bali : Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana. Di unduh dari
:https://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/e0f02fd5
ec702026d242263abdaa4a36.pdf
16. Cunningham cs. Williams Obstetrics 24th edition. New York : Mc Graw Hill
Education; 2014. p. 448-449, 846-849
17. Wibowo N, Irwinda R, Frisdiantiny E, dkk. 2016. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Ketuban Pecah Dini. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi
Indonesia Himpunan Kedokteran Feto Maternal : 13-15
18. Killbride HW, Thibeault DW. Neonatal Complications Of Preterm Premature
Rupture Of Membranes: Pathophysiology and Management. Clinics In
Perinatology. 2001;28(4):761-785.

19

Anda mungkin juga menyukai