Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

KEGAWATAN PADA NEONATUS

Disusun untuk Memunuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan


Anak Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto

Moderator:
Brigadir Jenderal TNI Dr. dr. Yenny Purnama, Sp.A (K)., M.Kes., M.A.R.S., M.H

Pembimbing:
Kolonel CKM (K) dr. Martaviani Budiastuti, Sp.A, M.Kes

Disusun Oleh:
Alifianisa Fazriani
2220221064

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO
FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA
PERIODE 14 AGUSTUS S.D 20 OKTOBER 2023
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
KEGAWATAN PADA NEONATUS

Disusun dan diajukan untuk memenuhipersyaratan tugas Kepaniteraan Klinik


Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSPAD Gatot Soebroto Jakarta

Disusun Oleh:

Alifianisa Fazriani
2220221064

Jakarta, Agustus 2023


Telah dibimbing dan disahkan oleh,

Pembimbing Moderator

Kolonel CKM (K) dr. Martaviani Brigadir Jenderal TNI Dr. dr. Yenny
Budiastuti, Sp.A, M.Kes Purnama, Sp.A (K)., M.Kes., M.A.R.S.,
M.H

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan yang maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan
referat ini guna memenuhi persyaratan kepaniteraan Klinik bagian Ilmu Kesehatan
Anak di RSPAD Gatot Soebroto.

Penulisan referat ini bertujuan membantu pemahaman dan proses


pembelajaran penulis dan rekan koas Kepaniteraan Klinik di Ilmu Kesehatan Anak.
Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Brigadir Jenderal TNI Dr. dr.
Yenny Purnama, Sp.A (K)., M.Kes., M.A.R.S., M.H selaku moderator dan Kolonel
CKM (K) dr. Martaviani Budiastuti, Sp.A, M.Kes selaku pembimbing referat.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih terdapat


kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun agar dapat menjadi lebih baik di kemudian hari. Penulis juga berharap
semoga tujuan dari penulisan ini dapat tercapai dan referat ini dapat bermanfaat
bagi pembaca.

Jakarta, Agustus 2023

Penulis

iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................ iii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................2
II.1 Neonatus ............................................................................................2
II.1.1 Pengertian Neonatus ...................................................................2
II.1.2 Klasifikasi Neonatus...................................................................2
II.2 Kegawatan Neonatus .......................................................................2
II.3 Kondisi Kegawatan Neonatus .........................................................3
II.3.1 Asfiksia.......................................................................................3
II.3.2 Hipotermia ..................................................................................8
II.3.3 Gawat Napas.............................................................................10
II.3.4 Kejang ......................................................................................13
II.3.5 Hiperbilirubinemia ...................................................................17
II.3.6 Hipoglikemi ..............................................................................19
BAB III PENUTUP ....................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................23

iv
BAB I
PENDAHULUAN
Neonatus atau bayi baru lahir (BBL) adalah bayi dengan usia 0-28 hari.1 Di
dalam Rahim, kebutuhan nutrisi dan oksigen dipenuhi sepenuhnya oleh ibu melalui
mekanisme uteroplasental. Begitu lahir seorang bayi harus mampu melakukan
adaptasi agar bisa bertahan hidup. Kemampuan adaptasi ini sangat bergantung pada
maturitas organ, kondisi janin, dan faktor lingkungan. Proses adaptasi yang tidak
berjalan semestinya dapat mengakibatkan keadaan gawat darurat neonatus yang
dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan.1
Berdasarkan data dari World Health Organization, terdapat sebanyak 2.4
juta neonatus yang meninggal pada bulan pertama kehidupan selama tahun 2020.
Angka mortalitas dari neonatus tersebut mengalami peningkatan sebanyak 40% dari
tahun 19902. Kondisi tersering yang mendasari kegawatan neonatus sehingga
menyebabkan kematian adalah kelahiran prematur dan komplikasi terkait
persalinan2. Berdasarkan data Kementrian Kesehatan tahun 2017, angka mortalitas
neonatus sebanyak 15 kematian per 1000 kehidupan3. Namun, berdasarkan World
Health Organization tahun 2020, terdapat angka mortalitas neonatus yang menurun
pada tahun 2018 menjadi 13 kematian per 1000 kehidupan3.
Berdasarkan angka kematian neonatus, maka Indonesia dalam usaha
menurunkan angka kematian neonatus dapat mempersiapkan tindakan untuk
menatalaksanakan neonatus yang mengalami kegawatan neonatus melalui
resusitasi dan menyediakan pemberian edukasi mengenai kondisi kegawatan
neonatus yang dapat terjadi pada keluarga di Indonesia4.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Neonatus
II.1.1 Pengertian Neonatus
Neonatus atau bayi baru lahir (BBL) adalah bayi dengan usia 0-28 hari. Di
dalam Rahim, kebutuhan nutrisi dan oksigen dipenuhi sepenuhnya oleh ibu melalui
mekanisme uteroplasental. Begitu lahir seorang bayi harus mampu melakukan
adaptasi agar bisa bertahan hidup. Kemampuan adaptasi ini sangat bergantung pada
maturitas organ, kondisi janin, dan faktor lingkungan. Proses adaptasi yang tidak
berjalan semestinya dapat mengakibatkan keadaan gawat darurat neonatus yang
dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan1.
II.1.2 Klasifikasi Neonatus
Neonatus dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, yaitu:
1) Berdasarkan masa Gestasinya1
a. Neonatus kurang bulan (preterm infant): umur kehamilan kurang dari
37 minggu.
b. Neonatus cukup bulan (term infant): umur kehamilan 37 – 42 minggu.
c. Neonatus lebih bulan (post term): umur kehamilan lebih dari 42 minggu.
2) Berdasarkan berat badan lahir1
a. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR): berat lahir kurang dari 2500 gram.
b. Berat Badan Lahir Cukup: berat lahir antara 2500 – 4000 gram.
c. Berat Badan Lahir Lebih: berat lahir lebih dari 4000 gram.
3) Berdasarkan berat lahir terhadap masa gestasi1
a. Neonatus cukup/kurang/lebih bulan (NCB/NKB/NLB)
b. Sesuai/kecil.besar untuk masa kehamilan (SMK/KMK/BMK)

II.2 Kegawatan Neonatus


Kegawatan neonatus dapat dianggap sebagai gangguan atau anomali yang
berpotensi mengancam jiwa yang terjadi selama 28 hari pertama setelah kelahiran1.
Pada masa ini terjadi pematangan organ hampir pada semua sistem. Beberapa tanda

2
yang perlu diperhatikan dalam mengenali kegawatan pada neonatus diantaranya
adalah bayi tidak mau menyusu atau memuntahkan semua yang diminum, terdapat
kejang, tampak lemah, jika bayi bernapas kurang dari 30 kali per menit atau lebih
dari 60 kali per menit, bayi menangis atau merintih terus menerus, muntah-muntah,
diare, tinja bayi saat buang air besar berwarna pucat, tali pusat yang kemerahan
sampai dinding perut, berbau, atau bernanah, adanya peningkatan suhu dengan suhu
aksila > 37.5°C maupun penurunan suhu dengan suhu aksila < 36°C, terdapat nanah
berlebihan pada mata, dan kulit terlihat kuning.4

II.3 Kondisi Kegawatan Neonatus


II.3.1 Asfiksia
Asfiksia adalah suatu keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernafas
secara spontan dan teratur yang ditandai dengan hipoksimia dan asidosis.1 Asfiksia
dapat mengakibatkan gejala sisa sistemik dan neurologis yang parah karena
penurunan aliran darah dan/atau oksigen ke janin atau bayi selama periode
peripartum.5 Kondisi terganggunya pertukaran gas darah dapat menyebabkan
hipoksemia progresif dan hiperkapnia.5 Jika hipoksemia cukup parah, jaringan dan
organ vital seperti otot, hati, jantung, dan akhirnya otak akan mengalami
kekurangan oksigen. Glikolisis anaerobik dan asidosis laktat akan terjadi.5 Asfiksia
dapat terjadi selama kehamilan, pada proses persalinan, atau sesaat segera setelah
lahir.6 Janin sangat bergantung pada pertukaran plasenta untuk oksigen, asupan
nutrisi, dan pembuangan produk sisa sehingga gangguan pada aliran darah
umbilical maupun plasental hamper selalu akan menyebabkan asfiksia.1
Asfiksia dapat terjadi karena gangguan hemodinamik ibu seperti embolus
cairan ketuban, kondisi rahim seperti ruptur uteri, atau solusio plasenta, simpul atau
kompresi tali pusat, dan infeksi.5 Asfiksia dapat terjadi sebelum kelahiran atau
dapat terjadi segera setelah kelahiran pada pasien yang memerlukan resusitasi.
Mayoritas kasus asfiksia perinatal terjadi pada masa intrapartum, meskipun 20%
terjadi pada masa antepartum dan kasus lainnya terjadi pada periode awal
pascakelahiran. Asfiksia perinatal dapat terjadi karena kejadian pada ibu seperti
perdarahan, emboli cairan ketuban, kolaps hemodinamik, kejadian solusio plasenta
akut, kejadian ruptur uterus ruptur, tali pusat tegang, prolaps/avulsi tali pusat, dan
3
infeksi intrapartum.5
Angka kejadian asfiksia pada masing-masing negara sangat beragam. WHO
melaporkan insidens asfiksia bervariasi antara 2 - 27 per 1000 kelahiran, tergantung
pada lokasi, periode, dan kriteria definisi asfiksia yang digunakan. Asfiksia
dilaporkan terjadi pada 1-4 per 1000 kelahiran hidup di negara maju dan 4 - 9 per
1000 kelahiran hidup di negara berkembang. Keadaan ini diperkirakan
menyebabkan 21% kematian bayi, terutama di negara berkembang.6
Gangguan pertukaran gas pada asfiksia terjadi akibat adanya gangguan
ketika transisi dari sirkulasi dari fetal berubah menjadi neonatus. Ketika masih di
dalam kandungan, fetus tidak akan menggunakan paru-paru sebagai organ
pertukaran gas, melainkan pertukaran gas akan terjadi di plasenta. Pada plasenta
akan disalurkan darah yang mengandung oksigen melalui vena umbilikalis dan
akan bergabung dengan inferior vena cava. Darah yang mengandung oksigen dan
yang mengandung karbon dioksida tidak akan tercampur dikarenakan terdapat
ductus venosus. Selanjutnya, darah yang mengandung oksigen akan masuk ke
ventrikel kanan dan akan masuk menuju ventrikel kiri melalui foramen ovale.
Selanjutnya darah yang mengandung oksigen akan dikeluarkan menuju sirkulasi
sistemik melalui ductus arteriosus.7

Gambar 1. Mekanisme Transisi Sirkulasi Fetus menjadi Neonatus

4
Ketika fetus menjadi neonatus, maka akan terjadi transisi pertukaran gas
yang dimulai saat penjepitan tali pusat. Ketika tali pusat dijepitkan, maka akan
terjadi pengembangan paru dan terjadi left-to-right shunt yang menyebabkan
foramen ovale dan ductus arteriosus tertutup.7
Pada asfiksia terjadi keterlambatan pertukaran gas melalui paru-paru
sehingga menyebabkan penurunan sirkulasi darah yang mengandung oksigen ke
otak.6 Saat keadaan hipoksia akut, darah cenderung mengalir ke organ vital seperti
batang otak dan jantung, dibandingkan ke serebrum, pleksus koroid, substansia
alba, kelenjar adrenal, kulit, jaringan muskuloskeletal, organ-organ rongga toraks
dan abdomen lainnya seperti paru, hati, ginjal, dan traktus gastrointestinal.6
Perubahan dan redistribusi aliran darah tersebut disebabkan oleh penurunan
resistensi vaskular pembuluh darah otak dan jantung serta peningkatan resistensi
vaskular perifer.6 Hipoksia yang tidak mengalami perbaikan akan berlanjut ke
kondisi hipoksik-iskemik pada organ vital Proses hipoksik-iskemik otak dibagi
menjadi fase primer (primary energy failure) dan sekunder (secondary energy
failure).6
Pada fase primer, kadar oksigen rendah memicu proses glikolisis anaerob
yang menghasilkan produk seperti asam laktat dan piruvat, menimbulkan
penurunan pH darah (asidosis metabolik). Hal ini menyebabkan penurunan ATP
sehingga terjadi akumulasi natrium-kalium intrasel dan pelepasan neurotrasmiter
eksitatorik akibat gangguan sistem pompa Na-K-ATP-ase dan glial-ATP-ase.
Akumulasi natrium intrasel berkembang menjadi edema sitotoksik yang
memperburuk distribusi oksigen dan glukosa, sedangkan interaksi glutamat dengan
reseptor mengakumulasi kalsium intrasel, mengaktivasi fosfolipase, nitrit oksida
(NO), dan enzim degradatif hingga berakhir dengan kematian sel. Fase primer ini
berakhir dengan kematian neuron primer atau resolusi fungsi otak (periode laten).6
Reperfusi yang terjadi setelah fase primer akan mengembalikan sebagian
fungsi metabolisme, namun apabila cedera otak pada fase primer cukup berat,
kerusakan neuron akan kembali tejadi setelah 6 – 48 jam (fase sekunder). Fase
sekunder ditandai dengan penurunan ATP, aktivasi kaskade neurotoksik, dan
pelepasan radikal bebas tanpa disertai asidosis akibat disfungsi mitokondria. Selain
itu, cedera hipoksik-iskemik otak juga memicu produksi sitokin proinflamasi yang
5
semakin memperburuk cedera jaringan. Keseluruhan proses ini memicu terjadinya
apoptosis sel (secondary energy failure). Beberapa studi memperlihatkan bahwa sel
otak akan mengalami fase regenerasi setelah fase sekunder berakhir.6
Asfiksia menyebabkan gangguan sistemik ke berbagai organ tubuh. 62%
gangguan terjadi pada sistem saraf pusat, 16% kelainan sistemik tanpa gangguan
neurologik dan sekitar 20% kasus tidak memperlihatkan kelainan. Gangguan fungsi
susunan saraf pusat akibat asfiksia hampir selalu disertai dengan gangguan fungsi
beberapa organ lain (multiple organ failure). Gangguan sistemik secara berurutan
dari yang terbanyak, yaitu melibatkan sistem hepatik, respirasi, ginjal,
kardiovaskular. Kelainan susunan saraf pusat tanpa disertai gangguan fungsi organ
lain umumnya tidak disebabkan oleh asfiksia perinatal.6
Asfiksia merupakan suatu proses berkesinambungan yang dapat dicegah
progresivitasnya, dimulai dari pengenalan faktor risiko asfiksia, tata laksana dini
dengan resusitasi - pascaresusitasi di kamar bersalin dan ruang perawatan, serta
pencegahan komplikasi lanjut dengan terapi hipotermia.6
Resusitasi neonatus merupakan suatu alur tindakan yang berkesinambungan,
diawali dengan melakukan evaluasi, mengambil keputusan, dan melakukan
tindakan resusitasi. Sekitar 10% dari 120 juta kelahiran bayi memerlukan bantuan
untuk memulai napas dan hanya 1% bayi membutuhkan resusitasi lebih lanjut.
Resusitasi dilakukan apabila bayi tidak bernapas secara spontan dan adekuat saat
lahir dengan menilai komponen klinis bayi.
Nilai APGAR merupakan metode cepat untuk mengevaluasi neonatus segera
setelah lahir dan sebagai respons terhadap resusitasi namun tidak digunakan untuk
menentukan kebutuhan, langkah, dan waktu resusitasi pada bayi baru lahir.Elemen
skor Apgar meliputi warna, detak jantung, refleks, tonus otot, dan pernapasan. Skor
Apgar dirancang untuk menilai tanda-tanda gangguan hemodinamik seperti
sianosis, hipoperfusi, bradikardia, hipotonia, depresi pernapasan, atau apnea. Skor
APGAR dinilai pada menit ke-1 dan pada menit ke-5. Apabila skor pada menit ke-
5 kurang dari 7, maka penilaian terhadap bayi harus dilanjutkan dan diulang setiap
5 menit sampai menit ke20.
Skor Apgar dapat bervariasi tergantung usia kehamilan, berat badan lahir,
pengobatan ibu, penggunaan obat atau anestesi, dan kelainan bawaan. Beberapa
6
komponen skor juga bersifat subjektif dan rentan terhadap variabilitas antar penilai.
Oleh karena itu, skor APGAR terbatas karena memberikan informasi yang agak
subyektif tentang fisiologi bayi pada suatu waktu. Hal ini berguna dalam mengukur
respon terhadap resusitasi namun tidak boleh digunakan untuk memperkirakan
hasil, terutama dalam 1 menit karena hal ini tidak memiliki signifikansi klinis
jangka panjang. Skor APGAR saja tidak boleh ditafsirkan sebagai bukti asfiksia.
Resusitasi harus selalu diutamakan daripada menghitung skor klinis.
Tabel 1. Nilai APGAR

Langkah resusitasi neonatus meliputi beberapa tahap, yaitu penilaian dan


langkah awal resusitasi, bantuan ventilasi, tindakan kompresi dada (sambil
melanjutkan ventilasi), pemberian obat-obatan (sambil melanjutkan ventilasi dan
kompresi dada).

7
Gambar 2. Alur Resusitasi Neonatus
II.3.2 Hipotermia
Hipotermia neonatal adalah penurunan progresif suhu aksila bayi baru lahir
kurang dari 36,5°C. Suhu normal bayi adalah antara 36,5-37,5°C. Hipotermia ini
dikategorikan menjadi hipotermia ringan dengan suhu 36°C–36,4°C, hipotermia
sedang dengan suhu 32°C–35,9°C, dan hipotermia berat dengan suhu kurang dari
32°C. Neonatus rentan terhadap kehilangan panas dengan cepat dan mengakibatkan
hipotermia karena rasio luas permukaan terhadap massa tubuh yang besar,
penurunan lemak subkutan, kulit yang belum matang, kadar air tubuh yang tinggi,
mekanisme metabolisme yang kurang berkembang, dan perubahan aliran darah
8
kulit. Neonatus yang hipotermia memiliki risiko lebih tinggi mengalami
hipoglikemia, sindrom gangguan pernapasan, penyakit kuning, dan asidosis
metabolik.
Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Yitayew YA, et.al terdapat
beberapa factor yang memiliki hubungan signifikan terhadap kejadian hipotermia.
Bayi prematur, tidak adanya kontak kulit dengan ibu, persalinan di malam hari, dan
resusitasi bayi baru lahir memiliki hubungan yang signifikan dengan hipotermia
bayi baru lahir.
Usia kehamilan diketahui memiliki hubungan yang signifikan dengan
kejadian hipotermia. Kemungkinan terjadinya hipotermia neonatal 2.6 kali lebih
tinggi pada bayi prematus dibandingkan bayi cukup bulan. Hal tersebut dapat terjadi
karena neonatus premature memiliki luas permukaan tubuh lebih besar
dibandingkan masa tubuh, simpanan lemak subkutan minimal, status klinis buruk,
kulit yang belum matur, dan kapasitas yang terbatas untuk menghasilkan panas dari
simpanan lemak.
Neonatus yang tidak melakukan kontak kulit dalam waktu 1 jam setelah
melahirkan mempunyai kemungkinan 3,1 kali lebih tinggi mengalami hipotermia
dibandingkan dengan bayi yang melakukan kontak kulit ke kulit. Kontak kulit-ke-
kulit memungkinkan bayi baru lahir untuk mencapai dan mempertahankan kontrol
suhu, peningkatan suhu yang lebih baik, dan morbiditas yang lebih rendah.
Waktu persalinan adalah variabel lain yang menunjukkan hubungan
signifikan dengan hipotermia neonatal. Neonatus yang dilahirkan pada malam hari
memiliki kemungkinan 2 kali lebih besar untuk mengalami hipotermia
dibandingkan neonatus yang dilahirkan pada siang hari. Hal ini disebabkan adanya
perbedaan suhu pada siang dan malam hari. Ketika tidak ada pemberian kehangatan
tambahan pada malam yang dingin, bayi baru lahir berisiko mengalami hipotermia.
Pencegahan dan penatalaksanaan pada neonatus yang mengalami
hipotermia adalah dengan menjaga suhu ruang persalinan pada suhu 25 hingga
28°C dan ketika neonatus dilahirkan, segera dikeringkan dan dibalut dengan kain
hangat serta melakukan kontak kulit dengan ibu. Pada neonatus yang lahir
prematur, dapat menjaga suhu ruang persalinan dan operasi pada suhu 23 sampai
25°C. Untuk neonatus yang melewati resusitasi, maka harus diletakkan pada
9
inkubator tanpa dibalut kain apa pun untuk mencegah pelepasan panas16.
II.3.3 Gawat Napas
Gawat napas pada neonatus dapat ditandai dengan adanya peningkatan
usaha bernapas dan diikuti dengan takipnea dengan frekuensi napas di atas 60
hingga 80 kali per menit, retraksi dinding dada dengan menggunakan ototaksesori
pernapasan, napas cuping hidung yang tampak berupa kembang kempis lubang
hidung ketika inspirasi, terdengar neonatus merintih (grunting), dantampak sianosis
serta tampak gangguan pada perfusi perifer17,18. Penilaian gawat napas pada
neonatus dapat dilakukan dengan menggunakan Downe score. Apabila didapatkan
total Downe score di bawah 4, maka menandakan adanya gawat napas ringan dan
pertimbangan penggunaan CPAP. Jika ditemukan total Downe score di antara 4
hingga 5, maka menandakan adanya gawat napas sedang dan pertimbangan
penggunaan CPAP. Dan apabila ditemukan total Downe score adalah 6 dan di atas
6, maka menandakan adanya gawat napas berat dan pertimbangan penggunaan
intubasi19.
Tabel 2. Downe Score

II.3.3.1 Respiratory Distress Syndrome/ Hyaline Membrane Disease


Respiratory Distress Syndrome (RDS) atau Hyaline Membrane Disease
(HMD) merupakan suatu kegawatan napas pada neonatus yang terjadi akibat paru-
paru yang belum matur dan surfaktan yang mengalami defisiensi21. Ketika terjadi
defisiensi surfaktan, maka akan menyebabkan tegangan permukaanalveolus tidak
menurun sehingga dapat menyebabkan alveolus mengalami kolaps17,22.
10
Patofisiologi terjadinya Respiratory Distress Syndrome dapat diketahui dengan
melihat hukum LaPlace.
Hukum LaPlace menjelaskan mengenai hubungan antara tekanan yang
mengarah ke dalam alveolus (P) dengan tegangan permukaan (T), dan radiusalveolus
(R). Dengan meningkatkan tegangan permukaan (T) yang dapat menyebabkan
alveolus mengalami kolaps, maka dibutuhkan tekanan yang mengarah ke dalam
alveolus (P) yang lebih tinggi untuk mempertahankan alveolus agar tidak kolaps.
Dengan surfaktan yang mengalami defisiensi, maka dapat menyebabkan gangguan
pertukaran gas akibat alveolus yang kolaps. Ketika alveolus mengalami kolaps
berulang kali, maka dapat menyebabkan adanyakerusakan pada epitel respirasi dan
memicu adanya respons inflamasi. Respons inflamasi yang terjadi dapat
menyebabkan peningkatan cairan yang mengandung protein tinggi masuk dari
ekstra vaskular ke dalam alveolus sehingga menyebabkan gangguan aktivasi
surfaktan lebih lanjut. Selain itu, juga terdapat stres oksidatif yang berasal dari
distensi berlebih alveolus sebagai upaya neonatus mengembangkan paru-parunya
ketika lahir. Dengan adanya tekanan oksigen yangtinggi dan proses inflamasi yang
terjadi di dalam paru-paru, maka akan menyebabkan adanya hipoksemia17.
II.3.3.2 Transient Tachypneu of the Newborn (TTN)
Transient Tachypneu of the Newborn (TTN) merupakan jenis gawatnapas
pada neonatus akibat adanya cairan pada paru-paru yang ada pada saat dalam
kandungan menetap hingga saat sesudah persalinan23. Kondisi tersebut
menyebabkan gangguan pada pertukaran gas dan berujung kepada gawat napas
dengan gejala klinis khas berupa takipneu23. Penyakit ini bersifat sementara dan
dapat sembuh dalam tiga hingga empat hari24. Transient Tachypneu of the Newborn
dapat terjadi pada neonatus yang memiliki faktor risiko berupa perinatal asfiksia,
jenis kelamin laki-laki, usia kehamilan kurang bulan, elective C-section,maternal
asma, maternal diabetes mellitus, penggunaan steroid selama antenatal yang
kurang, dan makrosomia23,25.
Patofisiologi terjadinya Transient Tachypneu of the Newborn disebabkan
keterlibatan aktivasi saluran absorpsi Na+ akibat peningkatan hormon
glukokortikoid dan hormon tiroid serta aktivasi saluran epitel Na+ (ENaC) akibat
produksi fetal epinefrin. Kedua saluran tersebut akan menyebabkan adanya
11
perubahan proses dari sekresi cairan paru menjadi absorpsi cairan paru. Saluran
epitel Na+ (ENaC) akan memfasilitasi pergerakan pasif dari sodium sehingga
menyebabkan adanya mekanisme reabsorbsi dari cairan paru fetus yang seharusnya
di sekresikan25.
Diagnosis Transient Tachypneu of the Newborn dapat ditegakkan setelah
semua penyakit gawat napas telah dieliminasi. Gejala klinis yang timbul pada
Transient Tachypneu of the Newborn berupa adanya takipneu antara 60 – 80kali/
menit, merintih (grunting), napas cuping hidung (nasal flaring), retraksi, sianosis,
dan dapat disertai bentuk dada barrel-shaped chest akibat hiperinflasi dari paru25.
Penatalaksanaan untuk Transient Tachypneu of the Newborn denganfaktor
risiko mengalami TTN tinggi adalah dengan melakukan persalinan pada rumah
sakit yang menyediakan fasilitas NICU lengkap. Neonatus dengan TTN akan
masuk ke ruang perawatan intensif dengan pemantauan khusus pada respiratory
support. Terapi yang dapat diberikan pada neonatus dengan TTN salah satunya
dengan terapi diuresis untuk memicu pengeluaran cairan paru. Namun penggunaan
terapi diuresis tidak memiliki hasil perbedaan yang signifikanantara neonatus yang
diberikan furosemide dan yang diberikan placebo. Penatalaksanaan pada neonatus
dengan TTN akan dipertimbangkan pemberiannya atas dasar gejala klinis yang
tampak dan penemuan radiologi. Apabila neonatus ditemukan masih menunjukkan
gejala gawat napas tanpa perbaikan 2 jam setelah lahir, maka akan segera dilakukan
pemeriksaan radiografidada. Apabila neonatus ditemukan mengalami perburukkan
maka akan segera dikirimkan menuju unit perawatan intensif yang lebih tinggi
dengan monitor mempertahankan oxyhemoglobin25.
II.3.3.3 Meconium Aspiration Syndrome (MAS)
Mekonium merupakan feses awal dari neonatus yang baru lahir. Neonatus
dapat mengeluarkan mekonium selama persalinan dan menyebabkan tercampurnya
meconium pada cairan amnion (meconium-stained amniotic fluid)26,27. Meconium
Aspiration Syndrome merupakan gangguan pernapasan yang terjadi akibat adanya
aspirasi dari mekonium ketika neonatus melakukan gasping atau ketika napas
pertama27. Meconium Aspiration Syndrome (MAS) dikategorikan menjadi 3
kelompok, yaitu Meconium Aspiration Syndrome ringan, Meconium Aspiration
Syndrome sedang, dan Meconium Aspiration Syndrome berat. Meconium
12
Aspiration Syndrome ringan merupakan keadaan dimana neonatus membutuhkan
oksigen kurang dari 40% dalam kurun waktu kurang dari 48 jam. Meconium
Aspiration Syndrome sedang merupakan keadaan dimana neonatus membutuhkan
oksigen lebih dari 40% dalam kurun waktu lebih dari 48jam tanpa kebocoran udara.
Meconium Aspiration Syndrome berat merupakan keadaan dimana dibutuhkan
ventilasi lebih dari 48 jam dan sering berasosiasi dengan persistent pulmonary
hypertension of newborn (PPHN)27.
Meconium aspiration syndrome terjadi akibat adanya pergerakan
mekonium yang terjadi pada 20 hingga 34 minggu. Pergerakan mekonium ini
menyebabkan adanya defekasi saat minggu ke-20 dan 34 gestasi. Pergerakan
mekonium ini dicurigai karena adanya keterlibatan dari hipoksia. Mekanisme
selanjutnya yang menyebabkan penyakit ini adalah, saat pertama kali neonatus
bernapas setelah dilahirkan, maka akan menyebabkan cairan amnion bergerak
masuk dan keluar dari paru-paru. Apabila mekonium tercampur dengan cairan
amnion, maka akan menyebabkan neonatus memiliki risiko mengalami aspirasi dari
mekonium tersebut. Mekonium yang teraspirasi juga dapat menyebabkan obstruksi
jalan napas apabila mekonium memiliki konsistensi tebal dengan diameter jalan
napas neonatus yang kecil. Aspirasi dari mekonium juga dapat menyebabkan
adanya inflamasi dan inaktivasi surfaktan sehingga akan menyebabkan gawat napas
pada neonatus26.
Penatalaksanaan Meconium aspiration syndrome dapat berupa terapioksigen
berupa suplementasi oksigen dengan target saturasi oksigen > 90% untukmencegah
adanya jaringan yang mengalami hipoksia. Selain itu, dapat diberikan nitrit oksida
sebagai vasodilator26.

II.3.4 Kejang
Kejang adalah depolarisasi berlebihan sel-sel neuron otak, yang
mengakibatkan perubahan yang bersifat paroksismal fungsi neuron (perilaku,
fungsi motorik dan otonom) dengan atau tanpa perubahan kesadaran. Kejang pada
neonatus dibatasi waktu yaitu kejang yang terjadi pada 28 hari pertama kehidupan.
Kejang pada neonatus sering ditemukan dan merupakan satu-satunya gejala
disfungsi susunan saraf pusat pada neonatus, sulit dideteksi, sukar diberantas serta
13
berkaitan erat dengan mortalitas dan morbiditas seperti epilepsi, palsi serebral dan
keterlambatan perkembangan di kemudian hari. Deteksi dini, mencari etiologi dan
memberikan tata laksana yang adekuat sangat penting pada kejang neonatus.
Kejang pada neonatus berbeda dari kejang pada bayi, anak maupun orang
dewasa demikian pula manifestasi kejang pada bayi prematur berbeda
dibandingkan bayi cukup bulan. Kejang neonatus lebih bersifat fragmenter, kurang
terorganisasi dan hampir tidak pernah bersifat kejang umum tonik klonik. Kejang
pada bayi prematur lebih tidak terorganisasi dibandingkan dengan bayi cukup
bulan, berkaitan dengan perkembangan neuroanatomi dan neurofisiologi pada masa
perinatal. Organisasi korteks serebri pada neonatus belum sempurna, selain itu
pembentukan dendrit, akson, sinaptogenesis dan proses mielinisasi dalam sistem
eferen korteks belum selesai. Imaturitas anatomi tersebut mengakibatkan kejang
yang terjadi tidak dapat menyebar ke bagian otak yang lain sehingga tidak
menyebabkan kejang umum. Daerah subkorteks seperti sistem limbik berkembang
lebih dahulu dibandingkan daerah korteks dan bagian ini sudah terhubung dengan
diensefalon dan batang otak sehingga kejang pada neonatus lebih banyak
bermanifestasi gerakan-gerakan oral-buccal-lingual movements seperti menghisap.
mengunyah, drooling, gerakan bola mata dan apnea.
Kejang pada neonatus dapat disebabkan oleh banyak hal, yaitu kondisi
ensefalopati hipoksik-iskemik, perdarahan intracranial, malformasi serebral,
meningitis, gangguan metabolic, maternal drug withdrawl, sindrom epilepsy
neonatal, infeksi kongenital.
Kejang pada neonatus harus dibedakan dari aktifitas normal pada bayi
prematur, bayi cukup bulan dan gerakan abnormal lain yang bukan kejang. Gerakan
abnormal yang sulit dibedakan dengan kejang adalah jitteriness. Penyebab
jitteriness tersering adalah ensefalopati hipoksik-iskemik, hipoglikemia, dan
hipokalsemia. Dari hasil manifestasi klinis yang tampak, dapat ditentukan juga tipe
kejang pada neonatusapakah tipe kejang subtle, klonik, tonik, atau mioklonik29.
Riwayat kehamilan, persalinan dan riwayat kejang dalam keluarga sangat
diperlukan untuk mencari faktor risiko dan etiologi, setelah itu dilakukan
pemeriksaan penunjang. Pendekatan diagnosis sebaiknya dilakukan secara
bertahap. Langkah pertama adalah pemeriksaan darah lengkap, gula darah,
14
elektrolit, analisis cairan serebrospinal (CSS), EEG dan pencitraan. Tujuannya
adalah untuk mencari etiologi, memberikan tata laksana yang tepat serta untuk
menentukan prognosis. Pemeriksaan ultrasonografi kepala sering merupakan
pilihan pertama karena dapat dilakukan bed-side sambil menunggu kondisi
neonatus stabil untuk pemeriksaan CT atau MRI. Pemeriksaan CT sangat
bermanfaat untuk mendeteksi perdarahan intrakranial akut atau kalsifikasi,
sedangkan MRI untuk mengetahui gambaran kerusakan otak yang disebabkan oleh
HIE dan melihat disgenesis serebral. Langkah berikutnya menyingkirkan infeksi
dengan pemeriksaan kultur darah dan CSS, serta pemeriksaan PCR dan kultur HSV
jika secara klinis dicurigai ensefalitis HSV. Jika penyebab struktural atau infeksi
dapat disingkirkan, pikirkan kemungkinan inborn error of metabolism. Asidosis
metabolik yang menetap menunjukkan adanya asidemia organik, pemeriksaan
amonia diperlukan untuk mendeteksi abnormalitas siklus urea, laktat untuk
ensefalopati mitokondria. Pemeriksaan lain yang diperlukan adalah asam amino
serum dan asam organik urin. Riwayat keluarga penting untuk mengetahui ada
tidaknya sindrom epilepsi tertentu.
Tabel 3. Klasifikasi Kejang Neonatus
Tipe Manifestasi Klinik Kelainan
Kejang gambaran EEG
Subtle  Oral-buccal-lingual movements (mouthing, Bervariasi
chewing, sucking, smiling)
 Gerak bola mata (staring, blinking, eye
deviation, eye opening)
 Stereotypic pedaling, swimming, stepping
 Gangguan otonom (perubahan tekanan darah,
denyut jantung, pucat, hipersalivasi, apnea)
Klonik  Rhytmic, slow jerking, kadang sulit dibedakan Sering ditemukan
dengan jitteriness
 Fokal, multifokal, umum (jarang)
 Fokal : wajah,ekstremitas satu sisi, leher dan
tubuh di satu sisi
 Multifokal: melibatkan beberapa bagian tubuh

15
Tonik  Sustained posturing tungkai dan atau batang Fokal : sering
tubuh atau mata, sering disertai apnea, muka ditemukan
kemerahan atau sianosis. Umum : jarang
 Posisi asimetri dari tubuh dan leher ditemukan
 Fokal (jarang) atau umum
Mioklonik  Rapid, isolated jerks Bervariasi
 Ekstremitas dan tubuh
 Umum,multifokal atau fokal

Prinsip utama dalam tata laksana kejang neonatus adalah mepertahankan


ventilasi dan perfusi yang adekuat, mencari dan memberikan tata laksana terhadap
etiologi kejang sesegera mungkin, dan tata laksana kejang dengan
mempertimbangkan manfaat pemberantasan kejang dengan efek samping yang
mungkin timbul dari pemberian obat antikonvulsan.
Pemberian antikonvulsan harus mempertimbangkan beberapa hal yaitu tipe
kejang, patofisiologi, lama dan beratnya kejang, perjalanan penyakit, etiologi
kejang, efek kejang dan obat antikonvulsan terhadap neonatus. Klinisi sering
memulai antikonvulsan tanpa melihat gambaran EEG, pada keadaan ini klinisi
harus menentukan terlebih dahulu kejang bersifat epileptik atau non epileptik,
setelah itu ditentukan lama dan beratnya kejang. Evans dkk. merekomendasikan
pemberian obat antikonvulsan pada kejang yang bersifat lama (lebih dari 3 menit)
atau berulang (lebih dari 3 kali perjam), terutama jika mengganggu ventilasi dan
tekanan darah. Jika pada fase akut pemberian fenobarbital sampai 40 mg/kg BB
belum dapat memberantas kejang, dapat dilanjutkan dengan pemberian fenitoin
inisial. Jika tidak terdapat respon dengan kombinasi fenobarbital dan fenitoin, dapat
ditambahkan lorazepam. Lorazepam seperti diazepam mempunyai onset yang cepat
(kurang dari 5 menit). Kelebihan lorazepam dibandingkan diazepam adalah masa
kerja yang lebih panjang (sampai 24 jam), efek depresi pernapasan dan hipotensi
yang ditimbulkan lebih ringan. Obat fenobarbital, fenitoin, lorazepam, dan
diazepam adalah obat lini pertama, jika dengan obat-obat tersebut kejang belum
teratasi, penyebab kejang harus dicari dan diobati termasuk gangguan metabolik.

16
Gambar 3. Alorgaritma Tatalaksana Kejang

II.3.5 Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia merupakan suatu kondisi yang terjadi akibat kadar
bilirubin total yang meningkat dan akan memiliki manifestasi berupa ikterik pada
kulit, sklera, dan membrane mukosa31. Hiperbilirubinemia dapat terjadi akibat
adanya faktor risiko salah satunya berupa kelainan hemolitik32. Hiperbilirubinemia
dapat dialami oleh neonatus dengan usia cukup bulan sebanyak 60% dan neonatus
kurang bulan sebanyak 80%33. Secara fisiologis akan terjadi peningkatan produksi
bilirubin akibat proses hemolisis34. Bilirubin tidak terkonjugasi akan mengalami
peningkatan >2 mg/dL dan akan meningkat hingga 6 sampai 8 mg/dL pada usia 3
hari34. Kondisi ini merupakan kondisi fisiologis dan akan hilang setelah neonatus

17
mencapai usia 7 hari32. Namun, padaneonatus kurang bulan (< 35 minggu), maka
akan terjadi peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi hingga mencapai 10 sampai
12 mg/dL pada usia 5 hari34. Apabila kadar bilirubin tidak menurun, maka akan
terjadi hiperbilirubinemia patologis35.
Hiperbilirubinemia dapat terjadi akibat peningkatan bilirubin tidak
terkonjugasi. Peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi dapat diakibatkan oleh
hemolisis yang berlebih pada neonatus. Kondisi ini dapat ditemukan pada neonatus
dengan inkompatibilitas golongan darah ABO atau inkompabilitas resus dengan
ibunya. Penyebab peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi selanjutnya adalah
breast feeding jaundice yang biasanya timbul pada minggu pertama kelahiran dan
akan mencapai puncak pada minggu kedua dan akan hilang ketika neonatus
mencapai usia dua minggu. Kondisi tersebut dikarenakanterjadi inhibisi pada enzim
UGT oleh prenanediol dan beta-glucuronidase yang terkandung dalam ASI31.
Hiperbilirubinemia juga dapat terjadi akibat peningkatan bilirubin
terkonjugasi. Peningkatan bilirubin terkonjugasi dapat disebabkan oleh kerusakan
pada saluran empedu yang dapat ditemukan pada penyakit atresia bilier. Atresia
bilier dapat terjadi pada intra-hepatik dan ekstra-hepatik ductus biliaris. Selain itu,
peningkatan bilirubin terkonjugasi juga dapat ditemukan akibat keterlibatan infeksi
seperti pada infeksi Cytomegalovirus (CMV)31.Pemeriksaan hiperbilirubinemia
dilakukan sejak neonatus lahir. Pemeriksaan dapat dilakukan secara visual untuk
menilai apakah tampak ikterikpada tubuh neonatus. Teknik pemeriksaan ini adalah
dengan menekan bagian dahi, midsternum, atau di lutut/ pergelangan kaki untuk
dapat melihat warna kulit dan jaringan subkutan. Apabila neonatus mengalami
hiperbilirubinemia, maka akan terjadi penyebaran ikterik yang awalnya terlihat
pada bagian muka dan menyebar secara kaudal ke arah badan dan ekstremitas.
Penatalaksanaan hiperbilirubinemia adalah foto terapi sebagai terapi utama.
Panjang gelombang yang digunakan untuk foto terapi adalah 460 – 490nm dalam
spektrum biru. Terapi sinar intensif dalam mempercepat proses penurunanbilirubin
sehingga terjadi pengurangan tindakan transfusi dan menurunkan risikomengalami
keracunan bilirubin32. Selain itu dapat dilakukan exchange transfusion yang saat ini
berperan sebagai terapi lini dua untuk hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi berat.
Terapi transfusi ini dilakukan apabila neonatus tidak merespons terhadap
18
fototerapi31.

II.3.6 Hipoglikemi
Hipoglikemia merupakan gangguan metabolik tersering yang terjadi pada
periode neonatus. Neonatus yang sehat dapat mengalami hipoglikemia transisional
sebagai langkah adaptasi dengan lingkungan ekstrauterin. Pada kondisi tersebut,
akan terjadi penurunan konsentrasi gula darah hingga mencapai20 sampai 25 mg/dL
pada usia dua jam dan akan kembali normal pada 72 sampai 96 jam kemudian.
Hipoglikemia pada awal kelahiran terjadi sejak penjepitan talipusat, yang mana tali
pusat memiliki fungsi sebagai penyalur glukosa dan metabolit lainnya kepada
neonatus ketika masih dalam kandungan. Ketika penyalur glukosa terhenti, maka
akan terjadi penurunan konsentrasi gula darah. Kondisi tersebut biasanya akan
berlangsung asimptomatik dan sebentar36.
Namun, apabila terjadi penurunan konsentrasi gula darah yang menetap,
maka akan terjadi kegawatan pada neonatus37. Ketika ada penurunan konsentrasi
gula darah yang berat akan dapat menyebabkan letargi, kejang, iritabilitas, hingga
kerusakan jaringan otak. Apabila tidak di tatalaksana segera, maka akan
menyebabkan defisit perkembangan saraf (neurodevelopmental deficit). Terjadinya
hipoglikemia berkepanjangan dapat disebabkan oleh kurangnya asupan glukosa,
gangguan mekanisme produksi glukosa, peningkatan kebutuhan penggunaan
glukosa akibat peningkatan produksi insulin atau peningkatan produksi insulin, atau
kerusakan mekanisme counter-regulator akibat kerusakan adrenal36.
Hipoglikemia dapat terjadi pada neonatus dengan berat badan lahir kurang
dan kurang bulan. Kondisi tersebut akibat terjadi penurunan penyimpanan glukosa
dan jaringan adiposa namun memiliki kebutuhan glukosa yang tinggi akibat ukuran
otak neonatus. Selain itu juga dikarenakan enzim yang berkontribusi dalam
gluconeogenesis sangat rendah sehingga tidak dapat menghasilkan glukosa
endogen. Selanjutnya, hipoglikemia dapat terjadi apabila ibu neonatus memiliki
riwayat diabetes. Kondisi tersebut dikarenakan ketika masih di dalam kandungan,
neonatus akan menyesuaikan konsentrasi glukosa dengan maternal sehingga terjadi
peningkatan produksi insulin pada fetus. Kadarinsulin yang tinggi akan menetap
hingga neonatus36.
19
Hipoglikemia dapat ditegakkan dengan melihat manifestasi klinis.
Manifestasi klinis pada neonatus yang mengalami hipoglikemia dapat berupa
tampak berkeringat, tampak lemah, sulit untuk diberikan nutrisi akibat tidak bisa
menghisap dengan baik, tremor, hipotermia, kejang, tampak sianosis, hingga
mengalami takipneu atau apneu. Selain itu, dapat dilihat dan dinilai apakah
neonatus tampak besar yang disesuaikan dengan usia kehamilan. Lalu, dapat dinilai
mengenai adakah stres perinatal seperti perinatal hipoksia/ iskemia, adanya pre-
eclampsia maternal, atau adanya meconium aspiration syndrome, polisitemia, dan
hipotermia. Dapat dinilai juga apakah neonatus adalah cukup bulan atau tidak.
Apakah terdapat riwayat diabetes pada Ibu atau keluarga. Serta dapat ditanyakan
apakah adanya gangguan kongenital dalam keluarga36.
Penatalaksanaan hipoglikemia pada neonatus yang pertama adalah inisiasi
awal untuk menyusui dalam satu jam pertama kelahiran diikuti dengan evaluasi
kadar glukosa tiap 30 menit setelah selesai menyusui. Target glukosa sebelum
pemberian nutrisi rutin adalah > 45 mg/dL. Selain pemberian ASI, tatalaksana
hipoglikemia menetap dapat diberikan dextrose gel 200mg/kg,kortikosteroid dan
glucagon. Target peningkatan konsentrasi glukosa pada neonatus dengan
hipoglikemia tanpa kecurigaan adanya gangguan kongenital dalam 48 jam
kehidupan adalah > 50 mg/dL dan dilanjutkan hingga > 60 mg/dL. Namun jika
hipoglikemia tetap persisten, dapat diberikan endogen glukosa untuk
mempertahankan kadar glukosa > 70 mg/dL36.

20
Gambar 4. Alogaritma Tatalaksana Hipoglikemi

21
BAB III PENUTUP

Neonatus dapat mengalami kondisi kegawatan yang beragam dan dapat


membahayakan kehidupan neonatus. Indonesia sebagai negara berkembang akan
semakin meningkatkan perawatan untuk mencegah peningkatan angka mortalitas
neonatus melalui mempersiapkan tenaga kesehatan untuk dapat melakukan
tindakan resusitasi neonatus dan melakukan edukasi bagi keluarga mengenai
pentingnya melakukan perawatan selama antenatal hingga postnatal.

22
DAFTAR PUSTAKA
1. Pius Kamsu Moyo G, Sobguemezing D, Tetinou Adjifack H. Neonatal Emergencies
in Full-term Infants: A Seasonal Description in a Paediatric Referral Hospital of
Yaoundé, Cameroon. American Journal of Pediatrics. 2020;6(2):87.
2. WHO. Newborn Mortality. 2022.
3. Rumiati F, Adisasmita AC. Determinants Of Neonatal Mortality Based On The 2017
Indonesian Demographic And Health Survey (IDHS). The Indonesian Journal of
Public Health. 2021 Nov 30;16(3):363.
4. Deviany PE, Setel PW, Kalter HD, Anggondowati T, Martini M, Nandiaty F, et al.
Neonatal mortality in two districts in Indonesia: Findings from Neonatal Verbal and
Social Autopsy (VASA). PLoS One. 2022 Mar 14;17(3):e0265032.
5. Elsevier. Textbook of Paediatric Emergency Medicine. 3rd ed. Cameron P, Browne
GJ, Mitra B, Dalziel S, Craig S, editors. Elsevier; 2018.
6. Kosim MS. Gawat Darurat Neonatus pada Persalinan Preterm. Sari Pediatri.2016 Dec
5;7(4):225.
7. Indrayani, Moudy Emma Unaria Djami. Asuhan Persalinan dan Bayi Baru Lahir.
2013.
8. Gillam-Krakauer M, Gowen Jr CW. Birth Asphyxia. 2023.
9. WHO. Perinatal asphyxia.
10. Chakkarapani AA, Roehr CC, Hooper SB, te Pas AB, Gupta S. Transitionalcirculation
and hemodynamic monitoring in newborn infants. Pediatr Res. 2023 Jan 2;
11. Mota-Rojas D, Villanueva-García D, Solimano A, Muns R, Ibarra-Ríos D, Mota-
Reyes A. Pathophysiology of Perinatal Asphyxia in Humans andAnimal Models.
Biomedicines. 2022 Feb 1;10(2):347.
12. Simon L V., Hashmi MF, Bragg BN. APGAR Score. 2023.
13. Alebachew Bayih W, Assefa N, Dheresa M, Minuye B, Demis S. Neonatal
hypothermia and associated factors within six hours of delivery in eastern part of
Ethiopia: a cross-sectional study. BMC Pediatr. 2019 Dec 24;19(1):252.
14. Nyandiko WM, Kiptoon P, Lubuya FA. Neonatal hypothermia and adherence to
World Health Organisation thermal care guidelines among newborns at Moi Teaching
and Referral Hospital, Kenya. PLoS One. 2021 Mar 23;16(3):e0248838.
15. Yitayew YA, Aitaye EB, Lechissa HW, Gebeyehu LO. Neonatal Hypothermia and
Associated Factors among Newborns Admitted in the Neonatal Intensive Care Unit
of Dessie Referral Hospital, Amhara Region, Northeast Ethiopia. Int J Pediatr. 2020
Sep 16;2020:1–8.
16. American Academy of Pediatrics. Textbook of Neonatal Resuscitation.Weiner GM,
Zaichkin J, editors. American Academy of PediatricsItasca, IL;2021.
17. Yadav S, Lee B, Kamity R. Neonatal Respiratory Distress Syndrome. 2023.
18. Cochran CL, Soni PP. Neonatal Emergencies. In: Clinical Pathways in Emergency
Medicine. New Delhi: Springer India; 2016. p. 201–21.
19. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/214/2019 Tentang Pedoman Nasional
23
Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Asfiksia. 2019.
20. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pelatihan Pelayanan Obstetri Neonatal
Emergensi Dasar. 2005.
21. Sweet DG, Carnielli VP, Greisen G, Hallman M, Klebermass-Schrehof K, Ozek E,
et al. European Consensus Guidelines on the Management ofRespiratory Distress
Syndrome: 2022 Update. Neonatology. 2023;120(1):3–23.
22. El-Malah HEDGM, Hany S, Mahmoud MK, Ali AM. Lung ultrasonography in
evaluation of neonatal respiratory distress syndrome. The Egyptian Journal of
Radiology and Nuclear Medicine. 2015 Jun;46(2):469–74.
23. Jha K, Nassar GN, Makker K. Transient Tachypnea of the Newborn. 2023.
24. Chavan S, Malwade SD, Kumari S, Garud BP, Agarkhedkar S. Incidence, Clinical
Features, and Outcomes of Transient Tachypnea of the Newborn ata Tertiary Care
Center in Western India. Cureus. 2022 Apr 7;
25. Alhassen Z, Vali P, Guglani L, Lakshminrusimha S, Ryan RM. Recent Advances in
Pathophysiology and Management of Transient Tachypnea of Newborn. Journal of
Perinatology. 2021 Jan 4;41(1):6–16.
26. Sayad E, Silva-Carmona M. Meconium Aspiration. 2023.
27. Swarnam K, Soraisham AS, Sivanandan S. Advances in the Management ofMeconium
Aspiration Syndrome. Int J Pediatr. 2012;2012:1–7.
28. Nair B, Sharma J, Chaudhary S. Clinicoetiological profile of neonatalseizure in a
newborn care unit of a tertiary care teaching hospital in NorthernIndia. J Clin Neonatol.
2020;9(1):27.
29. Handryastuti S. Kejang pada Neonatus, Permasalahan dalam Diagnosis dan Tata
laksana. Sari Pediatri. 2016 Nov 30;9(2):112.
30. Krawiec C, Muzio MR. Neonatal Seizure. 2023.
31. Ansong-Assoku B, Shah SD, Adnan M, Ankola PA. Neonatal Jaundice. 2023.
32. Rohsiswatmo R, Amandito R. Hiperbilirubinemia pada neonatus >35 minggu di
Indonesia; pemeriksaan dan tatalaksana terkini. Sari Pediatri. 2018 Oct 19;20(2):115.
33. Zhang M, Tang J, He Y, Li W, Chen Z, Xiong T, et al. Systematic review ofglobal
clinical practice guidelines for neonatal hyperbilirubinemia. BMJ Open. 2021
Jan;11(1):e040182.
34. Lubis BM, Rasyidah R, Syofiani B, Sianturi P, Azlin E, Tjipta GD. Rasio Bilirubin
Albumin pada Neonatus dengan Hiperbilirubinemia. Sari Pediatri. 2016 Nov
16;14(5):292.
35. LIU Y, SUN X, WANG Y, XING C, LI L, ZHOU S. Evaluation ofAssociated Markers
of Neonatal Pathological Jaundice Due to Bacterial Infection. Iran J Public Health.
2021 Feb 14;
36. Abramowski A, Ward R, Hamdan AH. Neonatal Hypoglycemia. 2023.
37. De Angelis LC, Brigati G, Polleri G, Malova M, Parodi A, Minghetti D, et al. Neonatal
Hypoglycemia and Brain Vulnerability. Front Endocrinol (Lausanne). 2021 Mar
16;12.

24

Anda mungkin juga menyukai