Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN & ASKEP GAWAT DARURAT

APENDISITIS AKUT

Pembimbing : Ns. Zulmah Astuti.,M.Kep

Disusun Oleh :

Olivia zahwa anggriani

201102411089

PRODI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS


ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR

2023
A. Definisi
Apendisitis akut adalah suatu peradangan akut apendiks vermiformis atau
yang biasa dikenal di masyarakat dengan peradangan usus buntu dan merupakan
salah satu masalah kegawatdaruratan bedah yang umum didapatkan di
masyarakat.(Nurnadhirah Mirantika,Danial, 2021)
Apendisitis berasal dari kata latian yaitu appendix dan -it is yang berarti
inflamasi pada appendix.Apendisitis merupakan peradangan pada appendix
vermiformis. Secara anatomis, appendix digambarkan sebagai bagian yang
sempit dan panjang dengan ukuran rata-rata 1-9 inci.(Dela & Mayasari, 2022)
Kesimpulan: Apendisitis akut adalah kondisi peradangan akut pada
Apendiks vermiformis, yang lebih dikenal sebagai usus buntu. Penyakit ini
merupakan masalah kegawatdaruratan bedah umum yang membutuhkan
penanganan segera. Apendisitis berasal dari kata Latin yang berarti respom
pertahanan tubuh,yang merujuk pada peradangan pada usus buntu vermiformis
yang memiliki bentuk sempit dan panjang. Anatomisnya, usus buntu memiliki
ukuran rata-rata 1-9 inci.

B. Etiologi
Penyebab terjadinya penyakit apendisitis akut yaitu adalah obstruksi
lumen appendiks karena hyperplasia limfatik yang mengakibatkan peningkatan
tekanan intraluminal sehingga terjadi edema, ulcerasi, peradangan dan infeksi
bakteri, (Henfa dkk., 2023; Widiyanto, 2021).
Apendisitis akut terjadi juga karena proses radang bakteri yang
disebabkan oleh beberapa faktor seperti:
• Hyperplasia jaringan limfe,
• Fekalith,
• Tumor apendiks,
• Cacing askaris yang menyumbat
• Erosi mukosa apendiks karena parasitseperti E.Histolytica
(Sagala & Naziyah, 2023)
Salaha satu hasil peneliti juga menunjukkan bahwa, apendisitis juga
dapat terjadi akibat peran kebiasaan makan-makanan rendah serat akan
berpengaruh pada konstipasi terhadap timbulnya appendisitis. Konstipasi akan
terjadi kenaikan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan
fungsional appendik dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora dikolon, yang
akan mempengaruhi salah satu penyakit perkembangan appendisitis akut
(Malhotra dan Bawa, 2020). (I Made Naris Pujawan Ni Kadek Ayu Maya
Damayanti1, Wayan Riantana & Mahardika, 2023)

C. Klasifikasi
Appendicitis menurut Nurafif dan Kusuma (2013) terbagi menjadi 3 yaitu :
1. Apendisitis akut
• Apendisitis akut dengan abses peritoneal
• Apendisitis akut dengan peritonitis generalisata, yaitu pendisitis akut
dengan peritonitis generalisata (diffusa) setelah ruptur atau perforasi.
• Apendisitis akut dengan peritonitis lokalisata, yaitu apendisitis akut
dengan peritonitis lokal dengan atau tanpa ruptur atau perforasi.
• Apendisitis akut lainnya dan tidak dapat ditentukan, yaitu pendisitis akut
tanpa disebutkan adanya peritonitis generalisata atau lokalisata.
2. Apendisitis kronis dan rekurens
Apendisitis juga dapat diklasifikasikan menjadi apendisitis komplikata
dan apendisitis non-komplikata. Pembagian ini berdasarkan ada atau tidaknya
komplikasi seperti gangren, perforasi, atau abses disekitar apendiks.
Berdasarkan tingkat keparahannya pada saat dilakukan operasi,
apendisitis dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu apendisitis
sederhana dan kompleks. Sekitar 25-30 persen dari semua apendisitis akut
dianggap kompleks. Pada klasifikasi ini, apendisitis flegmonosa atau
supuratif dikategorikan ke dalam apendisitis sederhana, sedangkan apendisitis
gangren, apendisitis perforasi, dan pembentukan abses periapendiks dianggap
sebagai apendisitis kompleks.
Berdasarkan luas infeksinya, apendisitis akut dengan peritonitis dapat
dibagi menjadi peritonitis lokalisata dan peritonitis generalisata dimana
peritonitis sekunder generalisata adalah salah satu kegawatdaruratan bedah
yang paling umum. Jika apendisitis tidak segera diobati akan menimbulkan
komplikasi yang membahayakan yaitu terjadi apendisitis perforasi.
Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah gangren yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis
umum. Pada kondisi ini, dinding apendiks pada daerah perforasi dikelilingi
oleh jaringan nekrotik.
Apendisitis perforasi biasanya disertai dengan adanya demam tinggi
(rata-rata 38,3o C) dan nyeri yang hebat dibandingkan dengan apendisitis
akut. Rentan waktu apendisitis akut menjadi apendisitis perforasi yaitu 12
jam. Mayoritas pasien apendisitis perforasi ditemukan pada anak di bawah
usia 10 tahun dan juga orang tua yang berusia lebih dari 50 tahun. Pada
penelitian tersebut dikatakan bahwa kesalahan mendiagnosis pada anak yang
menderita apendisitis meningkatkan presentase menjadi perforasi mencapai
73,1. Kejadian perforasi pada usia lebih dari 60 tahun dilaporkan sekitar 60%.
Penelitian yang dilakukan oleh Omari et al, pada tahun 2013,
membuktikan sekitar 41% pasien yang menderita apendisitis yang berusia
lebih dari 60 tahun mengalami perforasi. Pasien yang menderita apendisitis
akut mempunyai angka kematian hanya 1,5% dan jika sudah menjadi
perforasi, angka kematian meningkat menjadi 20%-35%.(Bintang, 2020)
D. Tanda Dan Gejala
Tanda dan gejala yang terjadi pada pasien yang menderita penyakit apendisitis
yaitu:
1. Nyeri ulu hati berpindah ke perut kanan bawah
2. Nyeri perut yang persisten
3. Mual
4. Muntah
5. Konstipasi
6. Penurunan nafsu makan
7. Demam
8. Nyeri tumpul di daerah epigastrium (perut tengah atas)

Tanda dan gejala diatas merupakan tanda dan gejala umum pada penyakit
apendisiti namun perlu diketahui bahwa tanda dan gejala tersebut tidak spesifik
dan memiliki banyak diagnosis banding yang harus disingkirkan, sedangkan
komplikasi yang dihadapi pun tidak sembarangan. Pemeriksaan yang dilakukan
haruslah kompleks untuk mendapatkan menghasilkan akurasi dengan diagnosis
yang baik.(Bintang, 2020)

E. Patofisiologi
Patofisiologi dari apendisitis dimulai dari terinflamasi dan mengalami edema
sebagai akibat terlipat atau tersumbat, kemungkinan disebabkan oleh fekalit
(massa keras dari feses), tumor, atau benda asing. Menurut bagian bedah staf
pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (2012), patofisiologi
apendisitis mula-mula disebabkan oleh sumbatan lumen. Obstruksi lumen
apendiks disebabkan oleh penyempitan lumen akibat hiperplasia jaringan
limfoid submukosa.(Sagala & Naziyah, 2023)
Pada tahap awal apendisitis, mukosa dari apendiks mengalami inflamasi
(peradangan). Inflamasi kemudian meluas ke lapisan submukosa, muskularis,
dan serosa hingga peritoneum. Eksudat fibrinopurulen menyebar mengenai
bagian dari peritoneum yang berdekatan seperti usus, atau dinding abdomen,
menyebabkan terjadinya peritonitis lokalisata. Pada tahap ini, kelenjar mukosa
apendiks yang mengalami nekrotik masuk kedalam lumen yang menyebabkan
lumen semakin meregang dan dipenuhi nanah. Tekanan tersebut akan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema dan ulserasi mukosa.
Akhirnya ujung dari arteri yang menyuplai darah ke apendiks mengalami
trombosis, akibatnya terjadi nekrosis atau gangren pada apendiks. Apendiks akan
mengkontaminasi peritoneum sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan
bawah. Pada saat itu, terjadi apendiksitis akut fokal yang ditandai dengan nyeri
epigastrium. Bila sekresi mukus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan
menembus dinding sehingga peradangan yang timbul meluas dan mengenai
peritonium yang dapat menimbulkan nyeri pada abdomen kanan bawah yang
disebut apendiksitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang
diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua
proses tersebut berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat
apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat menjadi abses atau
menghilang.
Pada anak anak, omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang,
menyebabkan dinding lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan
tubuh yang masih kurang memudahkan untuk terjadi perforasi, sedangkan pada
orang tua mudah terjadi karena ada gangguan pembuluh darah.(Bintang, 2020)
F. Pathway

G. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan oleh tenanga medis pada penyakit
apendisitis yaitu:
a) USG/ultrasonograph
b) Pemeriksaan leukosit
c) Pemeriksaan laboratorium darah lengkap
d) Pencitraan
e) Presentase neutrophil
f) Konsentrasi protein C-reaktif
g) Pemeriksaan sel darah putih
h) Pemeriksaan radiologi
i) Alvarado score ataupun Apendicitis Inflamatory Score untuk membantu
penegakan diagnosis akut (Mariati et al., 2022)
H. Penatalaksanaan medis
Tindakan apendektomi melalui laparotomi terbuka pada insisi kuadran kanan
bawah minimal atau melalui laparoskopi merupakan pengobatan standar dari
apendisitis akut. Apendektomi laparoskopi memberikan hasil rendahnya insiden
infeksi luka, komplikasi postoperative lebih sedikit, waktu rawat lebih singkat,
dan pasien lebih cepat Kembali beraktivitas dibandingkan dengan laparotomi
terbuka baik pada dewas maupun anak-anak.
Penundaan pembedahan di rumah sakit yang singkat hingga 24 jam aman pada
apendisitis akut tanpa komplikasi dan tidak meningkatkan angka komplikasi
dan/atau perforasi pada orang dewasa. Menunda apendektomi untuk apendisitis
akut tanpa komplikasi hingga 24 jam setelah masuk tampaknya tidak menjadi
faktor risiko untuk apendisitis rumit, tidak terkait dengan peningkatan risiko
perforasi atau hasil yang merugikan, infeksi tempat operasi pascaoperasi, atau
morbiditas.
Apendektomi dini adalah penatalaksanaan terbaik pada apendisitis yang rumit.
Sebaiknya tidak menunda apendektomi untuk pasien anak dengan apendisitis
akut tanpa komplikasi yang membutuhkan pembedahan lebih dari 24 jam sejak
masuk. Apendektomi dini dalam 8 jam harus dilakukan pada kasus apendisitis
yang rumit. Laparoskopi usus buntu menunjukkan keuntungan yang relevan
dibandingkan dengan usus buntu terbuka pada pasien obesitas dewasa, pasien
yang lebih tua, dan pasien dengan komorbiditas.
Apendisitis yang rumit harus direncanakan untuk terapi antibiotik rata-rata
selama 4 hari. Komplikasi luka, termasuk infeksi, harus dikelola dengan
pembukaan luka yang memadai dan irigasi, diikuti dengan balutan. Namun,
terapi antibiotik sangat penting dalam penatalaksanaan pasien yang sudah
mengalami komplikasi pembentukan abses dan dengan keterlibatan fasia dalam.
(Dela & Mayasari, 2022)
I. Penatalaksanaan non farmakologi
Penatalaksanaan apendisitis akut dapat berupa nonoperatif management yaitu
dengan manajemen nyeri dan antibiotik maupun tindakan operatif berupa
laparotomi terbuka atau apendektomi laparoskop.
Apendisitis dianggap sebagai penyakit progresif yang dimulai sebagai
peradangan akut karena penyumbatan pada usus buntu yang bisa nekrosis dan
perforasi, jika tidak segera ditangani (Brunicardi et.al., 2015).
Pengobatan nonoperatif untuk apendisitis nonperforasi akut telah terbukti
bekerja dengan baik dalam jangka pendek. Meskipun apendektomi dan
laparoskopi dianggap sebagai prosedur berisiko rendah dan efektif. Risiko
operasi terkait dengan anestesi umum dan komplikasi bedah seperti perdarahan,
infeksi di tempat bedah, cedera pada struktur di sekitarnya, ileus, obstruksi usus.
Keuntungan dari strategi pengobatan nonoperatif adalah menghindari
komplikasi yang berkaitan dengan operasi dan anestesi. Diagnosis dan
pengobatan yang cepat memiliki potensi untuk mengurangi kejadian, morbiditas,
dan biaya pada penyakit apendisitis ((Maitha, 2020 danBrunicardi et.al., 2015).
Terapi yang diberikan pada pasien apendisitis akut dapat berupa antara lain infus
RL 20 tpm, Injeksi Amoxan 800 mg/8jam, Sucralfat syrup 3 x C1, Injeksi
Ketorolac/8 jam.(Safita & Juono Prabowo, 2023)

Konsep Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian
Data subjektif / Ds:
Yang dilakukan adalah mengkaji keluhan utama,riwayat kejadian,mekanisme
cedera(apakah termasuk trauma tumpul atau trauma tajam,kaji riwayat nyeri
dengan PQRST, kaji usaha untuk mengurangi keluhan yang dirasakan
(pengobatan sebelumnya),kaji pula riwayat penyakit dahulu,pengobatan yang
sedang dijalani,alergi,status imunisasi, dan mekanisme koping dalam
menghadapi kejadian trauma
Data objektif / Do:
Kaji keadaan umum pasien,tingkat kesadaran,ttv cara berjalan, aroma pada tubuh
pasien,tingkat ketidak nyamanan.inspeksi adanya distensi abdomen.
1. Identitas klien:
Identitas klien merupakan data pribadi klien yang
meliputi: nama,umur,pekerjaan,status,alamat,pendidikan,pekerjaan
2. Identitas penanggung jawab
Identitas penanggung jawab adalah orang/keluarga yang bertanggung jawab
yang membawa pasien datang ke rumah sakit/UGD,data pribadi meliputi:
nama,umur,pekerjaan,status,alamat,pendidikan,pekerjaan a.
Keluhan utama
Bagaiaman keadaan atau kondisi yang dikeluhkan pasien saat ini
b. Riwayat penyakit sekarang
Apa mekanisme yang dialami pasien apakah trauma abdomen tumpul
atau trauma tajam
c. Riwayat penyakit dahulu
Penyakit yang pernah dialami oleh pasien atau tidak memiliki penyakit
tertentu

B. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dimana tenagag kesehatan (perawat/dokter) melakukan
pemeriksaan mulau dari keadaan yang umum, kesadaran ttv dan dari atas kepala
sampai ke ujung kaki/ seluruh tubuh.
1. Pengkajian primery A:
Airway /Jalan napas
Penilaian jalan napas dilakukan bersamaan dengan menstabilkan
leher.Tahan kepala dan leher pada posisi netral dengan tetap
mempertahankan leher dengan menggunakan servical collar dan
meletakkan pasien pada long spine board. Dengarkan suara sponta yang
menandakan pergerakan udara melalui pita suara,jika tidak ada suara buka
jalan napas pasien menggunakan chin-lift atau manufer modified
jawthurst.yang perlu diperhatikan pada airway yaitu:  Pastikan patensi
airway pasien
• Pastikan tidak ada obstruksi pada jalan napas pasien
• Pastikan tidak ada suara napas tambahan pada pasien
B: Breathing / Jalan napas
Munculnya masalah pernapasan pada pasien trauma terjaid karena
kegagalan pertukaran udara,perfusi atau sebagian akibat dari kondisi serius
pada status neurologis pasien.Untuk menilai pernapasan yang perlu
diperhatikan yaitu:
• Perhatikan adanya retraksi otot pernapasan dan gerakan dinding dada
• Perhatikan iraman nafas pasien
• Perhatikan apakah pasien mengalami napas cuping hidung
• Perhatikan apakah pasien mengalami sesak napas atau tidak
• Periksa frekuensi napas pasien  Periksa pola napas pasien
• Auskultasi suara napas pasien

Circulation / sirkulasi
Penilaian primer mengenai sirkulasi pasien trauma,mencakup:
• Periksa frekuensi denyut nadi dan denyut jantung pasien
• Periksa tekanan darah pasien
• Periksa vena leher dan warna kulit (adanya sianosis)
Disability / status kesadaran
Yang perlu dilakukan pada saat melakukan pengkajian disability yaitu;
• Periksa tingkat kesadaran pasien
• Periksa reflex pupil pasien
• Periksa GCS pasien
Exposure
Pengkajian ini dilakukan dengan memeriksa tubuh pasien apakah terdapat
luka dan tentukan lokasi, luas dan kedalaman luka pasien.
2. Pengkajian sekunder F:
Five Intervention

• Monitoring SaO2  Monitoring EGK


• Pemasangan NGT
• Kateter Urine
• Pemeriksaan La

G: Give Comfort Sequence “OPQRSTUV”

1. Onset: tentukan kapan terjadinya ketidaknyamanan dimulai? Akut atau


bertahap?
2. Predisposition/problem: tanyakan apa yang memperburuk nyeri atau
ketidaknyamanan, apakah nyeri menetap?
3. Quality: tanyakan bagaimana jenis nyerinya.Biarkan pasien menjelaskan
sendiri apa yang dirasakan
4. Region/Range: apakah nyeri berjalan/menjalar ke bagian tubuh yang lain?
5. Severity: gunakan perangkan penilaian nyeri (sesuai untuk pasien) untuk
pengukuran keparahan nyeri yang konsisten. Gunakan skala nyeri yang
sama untku menilai kembali keparahan nyeri dan apakaj nyeri
berkurangatau memburuk
6. Treament: berapa lama nyeri berlangsung, dan apakah hilang timbul atau
terus menurus
7. Understanding: bagaimana persepsi nyeri pasien? Apakah pernah
merasakan nyeri sebelumnya? Jika iya, apa masalahnya?
8. Values: tujuan dan harapan untuk nyeri yang diderita pasien
Pengkajian Sekunder H(1) SAMPLE
• S: Sign
• A: Allergy
• M: Medication
• P: Pas illness/pregnancy
• L: Last meal/last oral intake
• E: Event/environment relate to injury
Pengkajian Sekunder H(2)Sample
1. HEAD TO TOE: merupakan tindakan atau pengkajian fisik yang
dilkakukan oleh perawat secara detail mulai dari kepala sampai kaki yang
perlu diperhatikan warna rambut,kuku bersih atau tidak, contoh seperti:
Kepala, Leher, Dada, Abdomen, Pelvis, Perineum, Ekstremitas (Ikhada
Ulya, Bintari Ratih K, Dewi Kartika Wati N, 2017)
C. Analisa data
Data yang mendukung untuk menegakkan suatu diagnosa/masalah keperawatan
yang dialami oleh pasien, data tersebut harus sesuai dengan data pasien yang
meliputi Ds dan Do
D. Masalah keperawatan
a. Nyeri akut
b. Hipertermi
c. Risiko infeksi

E. Intervensi keperawatan
No. SDKI SLKI SIKI
1 Nyeri Akut b.d Setelah dilakukan intervensi Manajemen Nyeri (I.08238)
keperawatan selama … x 24
Agen Observasi
jam, maka tingkat nyeri
Pencedera menurun, dengan kriteria 1.1 Identifikasi lokasi, karakteristik,
hasil: durasi, frekuensi, kualitas,
Fisik
(D.0077) 1. Keluhan nyeri menurun intensitas nyeri
2. Meringis menurun 1.2 Identifikasi skala nyeri
3. Sikap protektif menurun
4. Gelisah menurun 1.3 Idenfitikasi respon nyeri non verbal
5. Kesulitan tidur menurun 1.4 Identifikasi pengaruh nyeri pada
kualitas hidup
1.5 Monitor efek samping penggunaan
analgetik
Teraupetik
1.6 Berikan Teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi nyeri (mis:
TENS, hypnosis, akupresur, terapi
music, biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi, Teknik imajinasi
terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)
1.7 Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis: suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
1.8 Fasilitasi istirahat dan tidur

Kolaborasi
1.9 Kolaborasi pemberian analgetik,
jika perlu
2 Hipertermi Setelah dilakukan intervensi Manajemen hipertermia (I.15506)
b.d Proses keperawatan selama … x 24
Observasi
penyakit jam, maka termoregulasi
membaik, dengan kriteria 2.1 Identifikasi penyebab hipertermia
(D.0130)
hasil: (mis: dehidrasi, terpapar lingkungan
1. Suhu tubuh membaik panas, penggunaan inkubator)
2.2 Monitor suhu tubuh
2.3 Monitor kadar elektrolit
2.4 Monitor haluaran urin
2.5 Monitor komplikasi akibat
hipertermia
Terapeutik
2.6 Sediakan lingkungan yang dingin
2.7 Longgarkan atau lepaskan pakaian
2.8 Basahi dan kipasi permukaan
tubuh
2.9 Berikan cairan oral
2.10 Ganti linen setiap hari atau lebih
sering jika mengalami
hyperhidrosis (keringat berlebih)
2.11 Lakukan pendinginan eksternal
(mis: selimut hipotermia atau
kompres dingin pada dahi, leher,
dada, abdomen, aksila)
2.12 Hindari pemberian antipiretik atau
aspirin
2.13 Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
2.14 Anjurkan tirah baring

Kolaborasi
2.15 Kolaborasi pemberian cairan dan
elektrolit intravena, jika perlu
3 Risiko infeksi Setelah dilakukan intervensi Pencegahan Infeksi (I.14539)
keperawatan selama … x 24 Observasi
b.d efek
jam, maka tingkat infeksi
prosedur menurun, dengan kriteria 3.1 Monitor tanda dan gejala infeksi
hasil: lokal dan sistemik
infasif
(D.0142) 1. Demam menurun Terapeutik
2. Kemerahan menurun 3.2 Batasi jumlah pengunjung
3. Nyeri menurun
4. Bengkak menurun 3.3 Berikan perawatan kulit pada area
edema
3.4 Cuci tangan sebelum dan sesudah
kontak dengan pasien dan
lingkungan pasien
3.5 Pertahankan teknik aseptik pada
pasien berisiko tinggi
Edukasi
3.6 Menjelaskan tanda dan gejala
infeksi
3.7 Ajarkan cara mencuci tangan dengan
benar
3.8 Ajarkan etika batuk
3.9 Ajarkan cara memeriksa kondisi luka
atau luka operasi
3.10 Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi
3.11 Anjurkan meningkatkan asupan
cairan

Kolaborasi
3.12 Kolaborasi pemberian imunisasi,
jika perlu

F. Implementasi
Implementasi/pelaksanaan keperawatan adalah realisasi tindakan untuk
mencapai tujuan yang telah di tetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan juga
meliputi pengumpulan data berkelanjutan, mengobservasi respon klien selama
dan sesudah pelaksanaan tindakan, serta menilai data yang baru.
G. Evaluasi
Evaluasi dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam menilai tindakan
keperawatan yang telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan
klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan.

DAFTAR PUSTAKA

Bintang, A. A. (2020). Karakteristik Apendisitis Pada Pasien Di Rumah Sakit Umum


Haji Medan Pada Januari 2017 - Desember 2019. Umsu Repository.
Dela, H. H., & Mayasari, D. (2022). Aspek Klinis dan Tatalaksana Apendisitis Akut.
Jurnal Kedokteran Universitas Lampung, 5.
I Made Naris Pujawan Ni Kadek Ayu Maya Damayanti1, Wayan Riantana, I. G. D., &
Mahardika, K. (2023). Karakteristik Apendisitis Akut. Jurnal Ilmiah Permas:
Jurnal Ilmiah STIKES Kendal.
Ikhada Ulya, Bintari Ratih K, Dewi Kartika Wati N, R. S. D. (2017). Keperawatan
Gawat Darurat Pada Kasus Trauma (T. Utami (ed.)). Novieta Indra Sallama.
Mariati, H., Julyani, Ks., Rasfayanah, Rahmawati, Syamsu, R. F., Ardiyanto, &
Sa’diyah, H. (2022). Gambaran Faktor-Faktor Mempengaruhi Pasien Appendisitis
Terhadap Pemeriksaan USG di RS. Ibnu Sina Tahun 2016-2018. Fakumi Medikal
Jurnal, 2.
Nurnadhirah Mirantika,*, Danial, B. S. (2021). Relationship between Age, Duration of
Abdominal Pain, Leukocyte Value, and Neutrophil Lymphocyte Ratio with the
Incidence of Acute Appendicitis Perforation at RSUD Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda. Jurnal Sains Dan Kesehatan, 3.
https://doi.org/https://doi.org/10.25026/jsk.v3i4.467
PPNI, D. (2017a). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
PPNI, D. (2017b). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
PPNI, D. (2017c). Standar Luaran Keperawatan Indonesia.
Safita, N., & Juono Prabowo. (2023). Antibiotics Treatment for Acute Appendicitis.
Contimuing Medical Education.
Sagala, W. T., & Naziyah. (2023). Analisis Intervensi Keperawatan Sebagai
Chloramphenicol Zalf Sebagai Primary Dressing Pada Fase Proliferasi Luka Pada
Pasien Nn.D Dan Ny. F Dengan Diagnosis Medis Post Op Appendicitis Di Rs Uki
Jakarta Timur. Kreativitas Pengabdian Kepada Masyarakat, 6.
https://doi.org/https://doi.org/10.33024/jkpm.v6i4.8894

Anda mungkin juga menyukai