Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS

Asma Eksaserbasi Akut Derajat Berat

Disusun Oleh :

dr. Teguh Dwi Wicaksono

Pembimbing :

dr. Alfi Wahyudi, Sp.Rad, M.Sc

Pendamping :

dr. Yus Winarti


dr. Frida

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RSUD ZAINAL ABIDIN PAGAR ALAM
KABUPATEN WAY KANAN
TAHUN 2020

1
BAB I

PENDAHULUAN

Asma eksaserbasi akut (acute severe asma, flare up) merupakan suatu
keadaan klinis dimana didapatkan adanya peningkatan gejala asma yang progresif,
ditandai dengan sesak napas, batuk, mengi atau rasa terikat di dada yang semakin
berat disertai dengan adanya penurunan fungsi paru yang juga bersifat progresif.
Pada asma eksaserbasi akut seringkali pasien harus mengubah pengobatan yang
biasa digunakan sebelumnya. Asma eksaserbasi akut dapat terjadi pada pasien
yang sebelumnya telah diketahui menderita asma atau kadang-kadang dapat juga
terjadi untuk pertama kalinya.

Eksaserbasi biasanya terjadi akibat adanya respons terhadap paparan dari


luar (misalnya infeksi saluran napas atas akibat virus, paparan dengan serbuk sari
tanaman, polusi) atau akibat ketidakteraturan dalam menggunakan obat
pengontrol, dan pada sebagian kecil pasien datang dengan gejala eksaserbasi akut
tanpa adanya paparan dengan faktor risiko yang jelas). Asma eksaserbasi akut
dapat terjadi pada pada pasien asma yang sebelumnya terkontrol baik.

2
BAB II

STATUS PASIEN

I. Identitas Pasien
• Nama : Ny. N
• Umur : 36 tahun
• Jenis kelamin : Perempuan
• Alamat : Blambangan Umpu
• Tanggal lahir : 3 februari 1984
• Tanggal pemeriksaan : 24 februari 2020

II. Anamnesis (tanggal 24/2/2020)


 Keluhan Utama : os mengeluh sesak nafas 3 jam sebelum masuk rumah
sakit

 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke UGD RSUD ZAPA dirujuk dari klinik dengan
keluhan sesak nafas 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas
dirasakan hingga pasien gelisah dan hanya dapat berbicara sepatah kata
serta duduk membungkuk ke depan. Sebelumnya pasien sudah diberikan
nebulizer salbutamol satu kali di klinik akan tetapi tidak ada perbaikan.
Pasien mengatakan baru pertama kali ini mengalami keluhan sesak hebat
seperti ini. Pasien mengaku pernah sesak namun terakhir kali dirasakan
saat masa kanak kanan. Pasien juga mengaku sering batuk batuk dalam 1
tahun terakhir ketika malam hari. Tidak ada keluhan penurunan berat
badan yang dirasakan oleh pasien. Tidak ada riwayat trauma dada pada

3
pasien. Pasien menyangkal keluhan demam dan pengobatan batuk enam
bulan serta kebiasaan merokok. Pasien tidak memiliki alergi obat.

- Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak ada riwayat penyakit yang pernah diderita oleh pasien

- Riwayat penyakit Keluarga


Riwayat penyakit asma keluarga disangkal. riwayat atopi lainya tidak ada
data

- Riwayat pengobatan
Pasien sudah diberikan nebulizer salbutamol sebelum datang ke UGD
RSUD ZAPA

III. Pemeriksaan Fisik

Primary survey
A : Jalan nafas bebas
B : RR: 40 x/menit, bentuk dan gerak simetris, Tachypnea (+), Dyspnea (+)
C : HR: 120 x/menit, regular, isi cukup.
D : GCS 15, compos mentis, Suhu : 37 ºC, pupil bulat isokor

Secondary survey
 Keadaan umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Compos mentis
 Vital Sign
o Tekanan darah : 130/80 mmHg
o Suhu : 37° C
o Nadi : 120 x/menit
o Respirasi : 40 x/menit dengan saturasi oksigen : 88%
 BB: 65 Kg TB: 156 cm

4
Status Interna
 Kepala : normocephal
o Rambut : Hitam tidak mudah dicabut
o Bibir : Sianosis (+)
 Mata:
o Konjungtiva : Anemis -/-
o Sklera : Tidak ikterik
o Pupil : bulat, isokor
o Refleks cahaya: Langsung (+/+)
Tidak langsung (+/+)
o Palpebra : Udema (-/-)
 Hidung : Pernapasan cuping hidung (-)
 Telinga : Sekret -/-, serumen -/-,
Membran timpani intak +/+
Tenggorokan : Pharing : tidak hiperemis
Tonsil : T1-T1
 Leher
o Kelenjar tiroid : Tidak teraba membesar
o JVP : 5 + 2 cmH2O, tidak meninggi
o Trakea : Tidak deviasi
o KGB : Tidak ada pembesaran KGB
 Toraks depan
o Inspeksi : Penggunaan otot bantu nafas (+), retraksi dinding
dada (-) Bentuk dan gerak dada simetris, Tidak ada kelainan kulit
dan dinding dada baik emfisema subkutis, Napas cepat dan dangkal

o Palpasi : nyeri tekan (-) Fremitus taktil dan vokal simetris


kiri = kanan
o Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
o Auskultasi : Vesicular Breath Sound normal kiri = kanan
Ronkhi +/+, wheezing -/-
BJ : BJ I = BJ II reguler, murmur (-), gallop (-)

5
 Torak belakang
o Inspeksi : Bentuk dan gerak simetris, Tidak ada kelainan
kulit dan dinding dada baik emfisema subkutis. Tidak ada
pelebaran pembuluh darah vena
o Palpasi : Fremitus taktil dan vokal simetris kiri = kanan
o Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
o Auskultasi : Vesicular Breath Sound normal kiri = kanan
Ronkhi +/+, wheezing +/+
 Cor :
o Auskultasi : BJ I- II murni reguler, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen :
o Inspeksi : Perut tampak cembung simetris, simetris dinding
abdomen, gerakan peristaltik tidak terlihat,
o Auskultasi : Bising usus terdengar.
o Perkusi : Timpani di 4 kuadran, shifting dullness (-)
o Palpasi : Tidak terdapat nyeri tekan dan nyeri lepas pada ke
empat kuadran abdomen. Hepar tidak teraba, Lien tidak teraba
Palpasi ginjal dengan ballotemen (-)
 Ekstremitas :
o Ekstremitas superior : edema (-), sianosis (-/-) pucat (+) CRT < 2s
o Ekstremitas inferior : edema (-), sianosis (-/-) pucat (+) CRT < 2s

Hasil Laboratorium (24/2/2020)


Hb : 15,4 gr/dl
Leukosit : 11000 mm3
Eritrosit : 5,1 mm3
Ht : 44 %
Trombosit : 256.000 mm3
SGOT : 38 U/L
SGPT : 24 U/L
Ureum : 11 mg/dl
Creatinin : 0,5 mg/dl

6
Rontgen Thorak PA

IV. Resume
Pasien datang dengan rujukan dari klinik dengan keluhan sesak 3 jam
sebelum masuk rumah sakit. Sesak dirasakan hingga membuat pasien gelisah
dan hanya dapat berbicara sepatah kata serta duduk membugkuk kedepan.
Sesak pernah dirasakan saat masa kanak namun tidak pernah yang sehebat
ini. Pasien mengaku sering batuk batuk pada malam hari, keluhan demam dan
pengobatan paru 6 bulan serta kebiasaan meorokok disangkal.
Pasien sadar compos mentis dengan keadaan umum gelisah. Tekanan
darah dan suhu tubuh normal namun laju nafas 40 kali/menit saturasi oksigen
88% dan laju nadi 120 kali/menit. Pada pemeriksaan fisik ditemukan sianosis
pada bibir dan pucat pada ujung ekstremitas serta penggunaan otot bantu
nafas, wheezing dan ronki ditemukan di kedua lapang paru, pada pemeriksaan
labolatorium dan radiologi dalam batas normal.

7
V. Diagnosis Kerja
Asma Eksaserbasi derajat berat
Diagnosis Banding : PPOK eksaserbasi Akut
Tuberkulosis Paru
Pneumonia
Emem Paru Akut
Efusi Pleura
Pneumothorak
Hemothorak

VI. Terapi
Penanganan awal : Oksigen 6 L/menit
Nebulizer salbutamol dan ipratopium bromide
Injeksi dexametasone 5mg iv
Observasi 15-20 menit
Hasil observasi : RR : 28 kali/menit, Nadi : 108
kali/menit, Spo2 99%, wheezing
-/+ Ronki -/+
Nebulizer Budesonide lalu observasi 15-20 menit
Hasil observasi : RR : 24 kali/menit, Nadi : 102
kali/menit, Spo2 99%, wheezing
-/- Ronki -/-

Penangan lanjutan : Injeksi dexametasone 5mg / 24 jam


Cetirizine tablet 10mg / 24 jam
Nebulizer salbutamol / 12 jam
Nebulizer Budesonide / 12 jam

VII. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

8
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Asma Eksaserbasi Akut


Asma eksaserbasi akut (acute severe asma, flare up) merupakan suatu
keadaan klinis dimana didapatkan adanya peningkatan gejala asma yang progresif,
ditandai dengan sesak napas, batuk, mengi atau rasa terikat di dada yang semakin
berat disertai dengan adanya penurunan fungsi paru yang juga bersifat progresif.
Pada asma eksaserbasi akut seringkali pasien harus mengubah pengobatan yang
biasa digunakan sebelumnya. Asma eksaserbasi akut dapat terjadi pada pasien
yang sebelumnya telah diketahui menderita asma atau kadang-kadang dapat juga
terjadi untuk pertama kalinya.1,2

B. Etiologi Asma Eksaserbasi Akut


Eksaserbasi biasanya terjadi akibat adanya respons terhadap paparan dari
luar (misalnya infeksi saluran napas atas akibat virus, paparan dengan serbuk sari
tanaman, polusi) atau akibat ketidakteraturan dalam menggunakan obat
pengontrol, dan pada sebagian kecil pasien datang dengan gejala eksaserbasi akut
tanpa adanya paparan dengan faktor risiko yang jelas). Asma eksaserbasi akut
dapat terjadi pada pada pasien asma yang sebelumnya terkontrol baik. Faktor
risiko yang berkaitan dengan kematian akibat asma eksaserbasi akut adalah :

 Riwayat serangan asma yang hampir fatal sebelumnya yang


memerlukan tindakan intubasi dan dukungan ventilator mekanik.
 Riwayat perawatan atau kunjungan ke emergensi karena serangan
asma dalam tahun terakhir,
 Menggunakan atau menghentikan obat kortikosteroid oral.

9
 Menggunakan beta 2-agonis kerja singkat yang berlebihan, khususnya
salbutamol yang lebih dari satu canister dalam setiap bulannya.
 Riwayat gangguan psikiatri atau gangguan psikosomatik.
 Ketidaktaatan dalam menggunakan obat-obat asma sebelumnya.
 Pasien asma dengan riwayat alergi makanan.1,2,3

C. Patogenesis Asma Bronkial


Sampai saat ini patogenesis asma belum diketahui dengan pasti, namun
berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa dasar gejala asma adalah inflamasi
dan respon saluran napas yang berlebihan. Asma saat ini dipandang sebagai
penyakit inflamasi saluran napas. Inflamasi ditandai dengan adanya kalor (panas
karena vasodilatasi) dan rubor (kemerahan karena vasodilatasi), tumor (eksudasi
plasma dan edema), dolor (rasa sakit karena rangsangan sensoris), dan functio
laesa (fungsi yang terganggu). Akhir-akhir ini syarat terjadinya radang harus
disertai satu syarat lagi yaitu infiltrasi sel-sel radang. Ternyata keenam syarat tadi
dijumpai pada asma tanpa membedakan penyebabnya baik yang alergik maupun
non-alergik.4

Seperti telah dikemukakan di atas baik asma alergik maupun non-alergik


dijumpai adanya inflamasi dan hiperreaktivitas saluran napas. Oleh karena itu
paling tidak dikenal 2 jalur untuk mencapai kedua keadaan tersebut. Jalur
imunologis yang terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom. Pada jalur
IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting
Cells = sel penyaji antigen), untuk selanjutnya hasil olahan allergen akan
dikomunikasikan kepada sel Th (T penolong). Sel T penolong inilah yang akan
memberikan instruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma
membentuk IgE, serta sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel epitel,
eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan mediator-
mediator inflamasi. Mediator-mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin
(PG), leukotrin (LT), platelet activating factor (PAF), bradikinin, tromboksan
(TX) dan lain-lain akan mempengaruhi organ sasaran sehingga menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding vaskular, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel

10
radang, sekresi mukus dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan
hiperreaktivitas saluran napas (HSN). 4

D. Patofisiologi Asma Bronkial


Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot
bronkus, sumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi
bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas
menyempit pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat
terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi
peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF) dan pasien akan
bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan
hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas
berjalan lancar. Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu
napas. Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara
obyektif dengan VEP1 (Volume Ekspirasi Paksa detik pertama) atau APE (Arus
Puncak Ekspirasi) sedangkan penurunan KVP (Kapasitas Vital Paru)
menggambarkan derajat hiperinflasi paru. Penyempitan saluran napas dapat terjadi
baik pada saluran napas yang besar, sedang maupun kecil. Gejala mengi
menandakan ada penyempitan di saluran napas besar, sedangkan pada saluran
napas yang kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan dibanding mengi. 4

Penyempitan saluran napas ternyata tidak merata di seluruh bagian paru.


Ada daerah-daerah yang kurang mendapat ventilasi, sehingga darah kapiler yang
melalui daerah tersebut mengalami hipoksemia. Penurunan PaO2 mungkin
merupakan kelainan pada asma sub-klinis. Untuk mengatasi kekurangan oksigen,
tubuh melakukan hiperventilasi, agar kebutuhan oksigen terpenuhi. Tetapi
akibatnya pengeluaran CO2 menjadi berlebihan sehingga PaCO2 menurun yang
kemudian menimbulkan alkalosis respiratorik. Pada serangan asma yang lebih
berat lagi banyak saluran napas dan alveolus tertutup oleh mukus sehingga tidak
memungkinkan lagi terjadinya pertukaran gas. Hal ini menyebabkan hipoksemia
dan kerja otot-otot pernapasan bertambah berat serta terjadi peningkatan produksi
CO2. Peningkatan produksi CO2 yang disertai dengan penurunan ventilasi
alveolus menyebabkan retensi CO2 (hiperkapnia) dan terjadi asidosis respiratorik

11
atau gagal napas. Hipoksemia yang berlangsung lama menyebabkan asidosis
metabolik dan konstriksi pembuluh darah paru yang kemudian menyebabkan
shunting yaitu peredaran darah tanpa melalui unit pertukaran gas yang baik, yang
akibatnya memperburuk hiperkapnia. Dengan demikian penyempitan saluran
napas pada asma akan menimbulkan hal-hal sebagai berikut : 1). Gangguan
ventilasi berupa hipoventilasi. 2). Ketidakseimbangan ventilasi perfusi di mana
distribusi ventilasi tidak setara dengan sirkulasi darah paru. 3). Gangguan difusi
gas di tingkat alveoli. Ketiga faktor tersebut akan mengakibatkan : hipoksemia,
hiperkapnia, asidosis respiratorik pada tahap yang sangat lanjut. 4

E. DIAGNOSIS
Pada pasien yang mengalami eksaserbasi akut akan didapatkan adanya
perburukan gejala klinis asma disertai dengan penurunan fungsi paru, ditandai
dengan penurunan peak expiratory flow (PEF) atau penurunan forced expiratory
volume in 1 second (FEV1). Dalam keadaan eksaserbasi pengukuran kedua
parameter tersebut akan memberikan petunjuk yang lebih baik mengenai beratnya
eksaserbasi dibandingkan dengan gejala klinis saja. Namun demikian adanya
peningkatan frekwensi gejala asma merupakan parameter yang lebih sensitif
untuk menentukan onset eksaserbasi dibandingkan dengan pengukuran PEF.
Sebagian kecil pasien mengalami penurunan fungsi paru yang signifikan tanpa
adanya perubahan dari gejala asmanya. Keadaan ini umumnya dialami oleh pasien
dengan riwayat serangan asma yang hampir fatal sebelumnya dan umumnya
dialami oleh kaum pria. Asma eksaserbasi akut berpotensi menyebabkan
kegawatan dan dalam tatalaksananya memerlukan pengkajian yang cermat dan
pengawasan yang ketat. Pasien dengan eksaserbasi asma yang berat disarankan
untuk segera berobat ke fasilitas kesehatan terdekat untuk mendapatkan
pengobatan yang adekuat.1,2

F. Tatalaksana
Tatalaksana asma eksaserbasi akut mencakup beberapa hal penting yaitu
melakukan pengkajian beratnya asma, melakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisis, melakukan pengukuran fungsi paru secara obyektif dan memberikan
pengobatan untuk asma eksaserbasinya itu sendiri.1

12
1. Pengkajian beratnya eksaserbasi asma.
Anamnesis singkat dan terarah serta pemeriksaan fisis yang berkaitan harus
dilakukan secara bersamaan dengan pemberian terapi awal, dan semua data data
penting kemudian dicatat. Jika pasien memperlihatkan gejala dan tanda serangan
asma yang berat atau mengancam nyawa, pengobatan dengan -2 agonis kerja
singkat, pemberian oksigen dan kortikosteroid sistemik harus segera dimulai,
sementara pasien dipersiapkan untuk dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas
kesehatan yang lebih lengkap. Sebaliknya pasien dengan eksaserbasi yang ringan
sampai sedang dapat ditangani di fasilitas kesehatan primer yang memiliki
peralatan dan tenaga medis yang memadai. 1,2

2. Melakukan anamsesis yang terarah.


Anamnesis dilakukan untuk mengetahui hal-hal penting berikut yaitu :
o Menentukan onset dan penyebab dari eksaserbasi (bila memungkinkan).
o Menentukan beratnya serangan asma.
o Ada tidaknya gejala anafilaksis.
o Ada tidaknya faktor risiko kematian yang berkaitan dengan eksaserbasi
asma.
o Obat-obat pelega dan pengontrol yang digunakan belakangan ini,termasuk
dosis dan devices yang digunakan, keteraturan penggunaan obat, ada
tidaknya perubahan dosis dan respons terhadap terapi yang digunakan
selama ini.

3. Pemeriksaan fisis.
Saat melakukan pemeriksaan fisis harus dikaji hal-hal berikut :
- Tanda eksaserbasi akut yang berat, meliputi tanda-tanda vital, ada tidaknya
penggunaan otot-otot pernapasan tambahan, mengi dan kemampuan untuk
mengucapkan suatu kalimat.
- Ada tidaknya faktor pemberat (komplikasi) lain, misalnya reaksi anafilaksis,
pneumotoraks dan pneumonia.

13
- Kemungkinan adanya penyebab sesak yang lain misalnya gagal jantung,
emboli paru dan aspirasi benda asing.

4. Pengukuran parameter obyektif


Pengukuran parameter obyektif untuk menilai beratnya eksaserbasi asma
dilakukan dengan :
- Pengukuran pulse oximetry (saturasi O2 < 90 % memberikan
petunjuk perlunya terapi yang agresif).
- Peak Expiratory Flow pada pasien > 5 tahun.

5. Terapi medika mentosa.


Terapi awal yang utama mencakup pemberian  2-agonis kerja singkat secara
berulang-ulang, pemberian kortikosteroid sistemik dini dan pemberian oksigen
secara terkontrol. Tujuan terapi adalah untuk dengan cepat mengatasi obstruksi
dan hipoksemia dengan mengacu pada reaksi inflamasi yang mendasari
patofisiologinya serta juga untuk mencegah kekambuhan.1,2,3
Inhalasi beta2-agonis kerja singkat. Untuk eksaserbasi asma yang 2-agonis
kerja singkat diberikan secararingan sampai sedang, inhalasi berulang-ulang
yaitu 4-10 semprot setiap 20 menit dalam 1 jam pertama. Terapi inhalasi ini
umumnya cukup efektif dan efisien untuk mengatasi 2-agonisobstruksi saluran
napas dengan cepat. Setelah 1 jam pertama dosis kerja singkat berikutnya
bervariasi antara 4-10 semprot yang diberikan tiap 3-4 jam, hingga 6-10 semprot
yang diberikan tiap 1-2 jam. Tidak diperlukan 2-agonis kerja singkat jika
didapatkan adanya responslagi penambahan terhadap terapi awal, yang ditandai
dengan peningkatan PEF > 60-80% 2-agonis kerja singkat melaluipredicted
untuk selama 3-4 jam. Pemberian pressurized Metered-Dose Inhaler (pMDI)
yang dilengkapi spacer dengan ukuran sesuai atau melalui Dry Powder Inhaler
(DPI) akan memberikan perbaikan yang sama pada fungsi paru seperti pada
nebulisasi. Cara pemberikan yang paling cost-effective adalah melalui pMDI yang
dilengkapi dengan spacer asalkan pasien dapat menggunakan alat-alat tersebut.
1,2,3

14
Terapi Oksigen terkontrol. Terapi oksigen harus dititrasi dengan bantuan
pulse oximetry (bila tersedia) untuk mempertahankan saturasi oksigen 93-95%.
Pemberian oksigen secara terkontrol atau secara titrasi akan memberikan hasil
yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian oksigen 100% (high-flow
oxygen therapy). Walaupun tidak tersedia oximetry, pemberian oksigen tidak
boleh ditunda dan pasien harus dimonitor untuk mengetahui adanya perburukan
gejala, penurunan kesadaran dan adanya kelelahan.1,2
Kortikosteroid sistemik. Kortikosteroid sistemik harus segera diberikan
khususnya bila didapatkan perburukan pasien atau bila pasien telah meningkatkan
dosis obat-obat pengontrol dan pelega sebelum timbulnya perburukan gejala.
Dosis yang dianjurkan pada orang dewasa adalah 1 mg prednisolon/kgBB/hari
atau ekuivalennya hingga maksimum 50 mg/hari. Kortikosteroid oral harus
diberikan selama 5-7 hari.1
Obat-obat pelega. Pasien yang sebelumnya telah menggunakan obatobat
pelega disarankan untuk menaikan dosisnya untuk selama 2-4 minggu berikutnya.
Jika pasien sebelumnya tidak menggunakan obat-obat pengontrol, harus selalu
disarankan untuk menggunakan terapi steroid inhalasi secara teratur, karena
pasien berisiko untuk mengalami eksaserbasi kembali berikutnya.1,2
Antibiotik. Dari penelitian yang ada, tidak disarankan pemberian antibiotik
pada asma eksaserbasi akut bila tidak ada bukti adanya tandatanda infeksi.
Adanya infeksi pada asma eksaserbasi akut dapat diketahui dari adanya demam,
sputum purulen dan adanya infiltrat pada foto toraks akibat adanya pneumonia.
Terapi kortikosteroid agresif harus diberikan sebelum mempertimbangkan
pemberian antibiotik.1

15
16
BAB IV

ANALISIS KASUS

4.1 Dasar Diagnosis

Pada kasus ini, diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik, sementara pemeriksaan penunjang dilakukan untuk
mengeliminasi diagnosis banding. Berdasarkan GINA 2019 diagnosis asma
eksasebasi akut ditegakkan melalui penilaian awal dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Pada pasien ini didapatkan keluhan sesak 3 jam sebelum
masuk rumah sakit. Keluhan disertai keadaan umum gelisah, berbicara
sepatah kata dan bernafas dengan duduk membungkuk, terdapat riwayat
sering sesak pada masa kanak-kanak. Pada pemeriksaan fisik didapatkan laju
nafas 40 x/menit dengan saturasi oksigen 88% dan laju nadi 120 x/menit.
Pada pemeriksaan fisik thorak didaptkan penggunaan otot bantu pernafasan
dan suara paru ronki dan wheezing pada kedua lapang paru. Berdasarkan
GINA 2019 dari penilaiam tersebut cukup untuk mendiagnosa bahwa pasien
mengalami asma eksaserbasi akut derajat berat.
Pada pemeriksaan penujang didapatkan semua dalam batas normal.
Dimana pemeriksaan penunjang ini menyingkirkan diagnosis banding pada
pasien. PPOK eksaserbasi akut, TB Paru, Pneumonia, Edem Paru akut, efusi
pleura, hemotorak dan pneumotorak dari hasil laboraturium dan radiologi
yang normal.

4.2 Dasar Tatalaksana

Pada kasus ini tatalaksana diberikan berdasarkan guideline GINA 2019


tentang penatalaksanaan awal asma eksaserbasi akut derajat berat, yaitu
pemberian oksigen, nebulizer salbutamol dan ipratopium bromide, dan pemberian

17
kortikosteroid sistemik. Setelah eksaserbasi teratasi pasien diberikan terapi
pengontrol dengan kortikosteroid sistemik dan nebulizer serta SABA jika terjadi
eksaserbasi kembali.

18
REFERAT
FOTO THORAX

Foto thorax atau sering disebut chest x-ray (CXR) adalah suatu proyeksi
radiografi dari thorax untuk mendiagnosis kondisi-kondisi yang
mempengaruhi thorax, isi dan struktur-struktur di dekatnya. Foto thorax
menggunakan radiasi terionisasi dalam bentuk x-ray. Dosis radiasi yang
digunakan pada orang dewasa untuk membentuk radiografi adalah sekitar 0.06
mSv.5
Foto thorax digunakan untuk mendiagnosis banyak kondisi yang
melibatkan dinding thorax, tulang thorax dan struktur yang berada di dalam
kavitas thorax termasuk paru-paru, jantung dan saluran-saluran yang besar.
Pneumonia dan gagal jantung kongestif sering terdiagnosis oleh foto thorax.
CXR sering digunakan untuk skrining penyakit paru yang terkait dengan
pekerjaan di industri-industri seperti pertambangan dimana para pekerja
terpapar oleh debu. 5
Secara umum kegunaan foto thorax/ CXR adalah:
- Untuk melihat abnormalitas congenital (jantung, vaskuler)
- Untuk melihat adanya trauma (pneumothorax, hematothorax)
- Untuk melihat adanya infeksi (umumnya tuberculosis/TB)
- Untuk memeriksa keadaan jantung
- Untuk memeriksa keadaan paru

Indikasi pemeriksaan foto thorax antara lain :


1. Infeksi traktus respirasi bawah (TBC Paru, Bronkitis, Pneumonia)
2. Batuk kronis / berdarah

19
3. Trauma dada
4. Tumor
5. Nyeri dada
6. Metastase neoplasma
7. Penyakit paru kerja
8. Aspirasi benda asing
9. Persiapan pasien pre-operasi
10. Pemeriksaan berkala (follow up) yang objektif 5

A. Pemilihan Proyeksi Pada Posisi Foto Thorax


1. Posisi PA (Postero Anterior)

Pada posisi ini film diletakkan di depan dada, siku ditarik kedepan supaya
scapula tidak menutupi parenkim paru. 5
2. Posisi AP (Antero Posterior)

20
Dilakukan pada anak-anak atau pada pasien yang tidak koorperatif. Film
diletakkan dibawah punggung, biasanya scapula menutupi parenkim paru.
Jantung juga terlihat lebih besar daripada posisi PA. 5

3. Posisi lateral dextra & sinistra

Posisi ini hendaknya dibuat setelah posisi PA diperiksa. Buatlah proyektil


lateral kiri kecuali semua tanda dan gejala klinis terdapat di sebelah kanan, maka
dibuat proyeksi lateral kanan, berarti sebelah kanan terletak pada film. Foto juga
dibuat dalam posisi berdiri. 5

4. Posisi lateral decubitus

21
Foto ini hanya dibuat pada keadaan tertentu, yaitu bila klinis diduga ada cairan
bebas dalam cavum pleura, tetapi tidak terlihat pada posisi PA atau lateral.
Penderita terbaring pada satu sisi (kanan atau kiri). Film diletakkan di punggung
penderita dan diberikan sinar dari depan arah horizontal. 5
5. Posisi apical (lordotik)

Foto ini dibuat pada foto PA bila menunjukkan kemungkinan adanya kelainan
pada daerah kedua apex paru. Proyeksi tambahan ini hendaknya hanya dibuat
setelah foto rutin diperiksa dan bila ada kesulitan menginterpretasikan suatu lesi
di apex. 5
6. Foto Oblique Iga

22
Hanya dibuat bila pada PA menunjukkan kemungkinan adanya kelainan
pada daerah apeks kedua paru. Proyeksi tambahan ini hendaknya hanya dibuat
setelah foto rutin diperiksa dan bila ada kesulitan dalam menginterpretasikan
suatu lesi di apeks paru. 5
7. Posisi ekspirasi
Adalah foto thorax PA atau AP yang diambil pada saat penderita dalam
ekspirasi penuh. Hanya dibuat bila foto rutin gagal menunjukkan adanya
pneumothorax yang diduga secara klinis atau suatu benda asing yang terinhalasi. 5

B. Kriteria Kelayakan Foto


Foto thorax harus memenuhi beberapa criteria tertentu sebelum dinyatakan
layak baca. Di antara lain5 :
1. Faktor Kondisi
Yaitu faktor yang menentukan kualitas sinar-X selama di kamar rontgen
(tempat expose). Faktor kondisi meliputi hal-hal berikut yang biasa dinyatakan
dengan menyebut satuannya.
 Waktu / lama exposure milliseconds (ms)
 Arus listrik tabung mili Ampere (mA)
 Tegangan tabung kilovolt (kV)
Ketiga hal di atas akan menentukan kondisi foto apakah
 Cukup / normal
 Kurang bila foto thorax terlihat putih (samar-samar)
 Lebih bila foto thorax terlihat sangat hitam

Dalam membuat foto thorax ada dua kondisi yang dapat sengaja dibuat,
tergantung bagian mana yang ingin diperiksa yaitu :
1. Kondisi pulmo (kondisi cukup) foto dengan kV rendah
Inilah kondisi standard pada foto thorax, sehingga gambaran parenkim dan
corakan paru dapat terlihat. Cara mengetahui apakah suatu foto rontgen pulmo
kondisinya cukup atau tidak :
 Melihat lusensi udara (hitam) yang terdapat di luar tubuh
 Memperhatikan vertebrae thorakalis :

23
- Pada proyeksi PA kondisi cukup : tampak VTh I-IV
- Pada proyeksi PA kondisi kurang : hanya tampak VTh I
2. Kondisi kosta (kondisi keras / tulang) foto dengan kV tinggi
Cara mengetahui apakah suatu pulmo kondisinya keras atau tidak :
 Pada foto kondisi keras, infiltrate pada paru tidak terlihat lagi. Cara
mengetahuinya adalah dengan membandingkan densitas paru dengan
jaringan lunak. Pada kondisi keras densitas keduanya tampak sama.
 Memperhatikan vertebra thorakalis
- Proyeksi PA kondisi keras : tampak VTh V-VI
- Proyeksi PA kondisi tulang : yang tampak VTh I-XII selain itu
densitas jaringan lunak dan kosta terlihat mirip

2. Inspirasi Cukup
Foto thorax harus dibuat dalam keadaan inspirasi cukup. Cara
mengetahuinya adalah5 :
a. Foto dengan inspirasi cukup :
 Diafragma setinggi VTh X (dalam keadaan expirasi diafragma setinggi
VTh VII-VIII)
 Kosta VI anterior memotong dome diafragma
b. Foto dengan inpirasi kurang :
 Ukuran jantung dan mediastinum meningkat sehingga dapat
menyebabkan salah interpretasi
 Corakan bronkovesikuler meningkat sehingga dapat terjadi salah
interpretasi
3. Posisi Sesuai
Seperti telah diterangkan di atas, posisi standard paling banyak dipakai
adalah PA dan lateral. Foto thorax biasanya diambil dalam posisi erect.
Cara membedakan foto thorax posisi AP dan PA adalah5 :
 Pada foto AP scapula terletak dalam bayangan thorax sementara
padafoto PA scapula terletak di luar bayangan thorax
 Pada foto AP clavicula terlihat lebih tegak dibandingkan foto PA
 Pada foto PA jantung biasanya terlihat lebih jelas

24
 Pada foto AP gambaran vertebrae biasanya terlihat lebih jelas
 Untuk foto PA label terletak sebelah kiri foto sementara pada foto AP
label terletak di sebelah kanan foto
Cara membedakan foto posisi erect dengan supine :
Erect
 Di bawah hemidiafragma sinistra terdapat gambaran udara dalam fundus
gaster akibat aerofagia. Udara ini samar-samar karena bercampur dengan
makanan. Jarak antara udara gaster dengan permukaan diafragma adalah 1
cm atau kurang. Udara di fundus gaster ini disebut Magenblase.
 Terdapat gas di flexura lienalis akibat bakteri komensal yang hidup di
tempat itu. Warna lebih gelap.
Supine
 Udara magenblase bergerak ke bawah (corpus gaster) sehingga jarak udara
magenblase dengan diafragma kurang lebih 3 cm. Jadi pada posisi supine
udara magenblase jarang terlihat.

4. Simetris
Jarak antara sendi sternoklavikularis dekstra dan sinistra terhadap garis
median adalah sama. Jika jarak antara foto kanan dan kiri berbeda maka foto
tidak simetris. 5

5. Foto thorax tidak boleh terpotong.

C. Interpretasi Foto Thorax


Cara sistematis membaca foto thorax antara lain5 :
 Cek apakah sentrasi foto sudah benar dan foto dibuat saat penderita
inspirasi penuh. Foto yang dibuat pada waktu ekspirasi bisa menimbulkan
keraguan karena bisa menyerupai suatu penyakit misalnya kongesti paru,
kardiomegali, atau mediastinum melebar. Kesampingkan bayangan yang
terjadi karena rambut, pakaian, atau lesi kulit.

25
 Cek apakah eksposure sudah benar (bila sudah diperoleh densitas yang
benar, maka jari yang diletakkan di belakang “daerah hitam” pada foto
tepat dapat terlihat). Foto yang pucat karena “underexposed” harus
diinterpretasikan dengan hati-hati, gambaran paru dapat memberi kesan
ada edema paru atau konsolidasi. Foto yang hitam karena “underexposed”
bisa memberikan kesan emfisema.
 Cek apakah tulang-tulang (iga, clavicula, scapula, dll) normal.
 Cek jaringan lunak yaitu kulit , subcutan fat, musculi seperti pectoralis
mayor, trapezius, dan sternocleidomastoideus. Pada wanita terlihat mamae
serta nipple.
 Cek apakah posisi diafragma normal : diafragma kanan biasanya 2,5 cm
lebih tinggi dibanding kiri. Normalnya pertengahan costae VI depan
memotong pada pertengahan hemidiafragma kanan.
 Cek sinus costophrenicus baik pada foto PA maupun lateral.
 Cek mediastinum superior apakah melebar, ataukah ada massa abnormal,
dan carilah trakea.
 Cek adakah kelainan pada jantung dan pembuluh darah besar. Lebar
jantung pada orang dewasa (posisi berdiri) harus kurang dari separuh lebar
dada. Atau dapat ditentukan melalui CTR (Cardio Thoracalis Ratio).
 Cek hilus dan bronkovaskular pattern. Hilus adalah bagian tengah pada
paru dimana tempat masuknya pembuluh darah, bronkus, syaraf dan
pembuluh limfe. Hilus kiri normal lebih tinggi daripada hilus kanan.

o Syarat Foto Thorax Normal


1. Posisi penderita simetris
Hal ini dapat dievaluasi dengan melihat apakah proyeksi tulang korpus
vertebra toracal terletak di tengah sendi sternoclaviculer kanan dan kiri.
2. kondisi sinar x sesuai.
jumlah sinar dan kualitas sinar cukup
3. Film meliputi seluruh kavum thorax, mulai dari puncak cavum thorax sampai
sinus phrenicocostalis kanan dan kiri dapat terlihat pada film tersebut.

26
o Kelainan Foto Thorax
Berikut ini kelainan radiologi thorax :
1. Kesalahan teknis saat pengambilan foto sehingga mirip suatu penyakit.
- Sendi sternoclavicula sama jauhnya dari garis tengah
- Diafragma letak tinggi,
- Corakan meningkat pada kedua lobus bawah,
- diameter jantung bertambah.

2. Pada jantung : Cardiomegali

Setelah dibuat garis-garis seperti di atas selanjutnya kita hitung


menggunakan rumus perbandingan :
CTR= A+B/C x 100%

27
Ketentuan :
Jika nilai perbandingan di atas nilai 50% dapat dikatakan telah
terjadi pembesaran jantung (cardiomegali).
- Apex cordis tergeser ke bawah kiri pada pembesaran ventrikel kiri
- Apex cordis terangkat lepas dari diafragma pada pembesaran ventrikel
kanan

3. Pada Mediastinum : Massa Mediastinum

4. Pada Pulmo :
a. Oedema Paru

- Bayangan dengan garis tidak tegas


- Terdapat suatu bronkogram udara

28
- Tanda “Silhouette” yaitu hilangnya visualisasi bentuk
diafragma atau mediastinum berdekatan

b. Pemadatan Paru, Misalnya Tbc Paru, Pneumonia

TB Paru

Pneumonia
- Terlihat pemadatan bercak-bercak dengan bayangan tidak
jelas
- Terlihat adanya kavitas (pembentukan abses)

29
c. Kolaps Paru / Atelektasis

Tampak perselubungan homogen pada lapangan paru sebelah kiri yang


menutupi batas kiri jantung, diafragma, dan sinus disertai dengan shift
midline ke kiri.
- Terdapat bayangan lobus yang kolaps
- Ditemukan tanda “Silhouette”
- Pergeseran struktur untuk mengisi ruangan yang normalnya
ditempati lobus kolaps
- Pada kolaps keseluruhan paru tampak opaque dan ada pergeseran
hebat pada mediastinum dan trakea

d. Massa paru, misal : abses paru, kista hydatid


- Ditemukan lesi uang logam (coin lesion) / nodulus
- Terdapat bayangan sferis

30
e. Bayangan kecil tersebar luas
- Bayangan cincin 1 cm bersifat diagnostic bagi bronkiektasis
- Kalsifikasi paru yang kecil tersebar luas dapat timbul setelah infeksi
paru oleh TB
- Area pemadatan kecil berbatas tidak jelas menunjukkan adanya
bronkiolitis

f. Bayangan garis
- Biasanya tidak lebih tebal dari garis pensil, yang terpenting adalah garis
septal, dapat terlihat pada limfangitis Ca.

31
g. Sarkoidosis
- Terlihat limfadenopati hilus dan paratrachealis
- Bayangan retikulonodularis pada paru.

h. Fibrosis paru
- Bayangan kabur pada basis paru yang menyebabkan kurang jelasnya
garis bentuk pembuluh darah,kemudian terlihat nodulus berbatas tak
jelas dengan garis penghubung.
- Volume paru menurun, sering jelas, dan translusensi sirkular terlihat
memberikan pola yang dikenal sebagai “paru sarang tawon”, kemudian
jantung dan arteria pulmonalis membesar karena semakin parahnya
hipertensi pulmonalis.

i. Neoplasma

32
- Bayangan bulat dengan tepi tak beraturan berlobulasi dan tepi
infiltrasi
- Terdapat kavitas dengan massa

5. Pada Pleura :
a. Efusi Pleura

- Terlihat cairan mengelilingi paru, lebih tinggi di lateral daripada


medial, juga dapat berjalan ke dalam fissure terutama ke ujung
bawah fissure oblique
b. Fibrosis Pleura

- Penampilannya serupa dengan cairan pleura, tetapi selalu lebih


kecil daripada bayangan asli. Sudut costophrenicus tetap
terobliterasi.

33
c. Pneumothorax

- Garis pleura yang membentuk tepi paru yang terpisah dari dinding
dada, mediastinum, atau diafragma oleh udara
- Tidak ada bayangan pembuluh darah di luar garis ini

d. Hematothorax

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Global strategy for asthma management and prevention. Management of


worsening asthma and exacerbations. Global initiative for asthma, 2019;
72-85.

2. Chestnut MS, Prendergast TJ. Obstructive lung diseases : Asthma and


Chronic Obstructive Pulmonary Diseases (COPD). In : Hammer GD,
McPhee SJ, editors. Pathophysiology of Disease. An Introduction to
Clinical Medicine. Toronto : Mc Graw Hill Education; 2014.p.228-32.

3. Usmani OS, Barnes PJ. Asthma : Clinical Presentation and Management.


In: Elias JK, Fishman JA, Kotloff RM, Pack AL, Senior RM, editors.
Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders. Toronto: McGraw Hill
Education; 2015.p.712-3.

4. Sundaru H, Sukanto. Ilmu Penyakit Dalam UI: Asma Bronkial. 2016. Hal :
247-252. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

5. Sjahriar, Rasad . 2005. Radiologi Diagnostik. Edisi ke-2. Jakarta: Balai


Penerbit FKUI.

35

Anda mungkin juga menyukai