Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Apendisitis
1. Definisi
Apendisitis adalah inflamasi pada appendiks vermiformis (DynaMed, 2013).
Menurut definisi lain, apendisitis adalah inflamasi bagian dalam dari apendiks
vermiformis yang menyebar ke bagian-bagian lainnya (Craig, 2013).
Menurut Minkes (2013) apendisitis akut adalah inflamasi dan infeksi akut dari
apendiks vermiformis, yang secara sederhana sering disebut sebagai apendiks.
Apendiks adalah suatu struktur yang buntu, berasal dari sekum. Apendiks dapat
terlibat dalam berbagai proses infeksi, inflamasi, atau proses kronis yang dapat
menyebabkan dilakukan apendektomi. Kata “apendisitis” dan “apendisitis akut”
digunakan secara bergantian dengan maksud yang sama (Minkes, 2013).
Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena struktur
yangterpuntir, appendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul
danmultiplikasi (Chang, 2010). Apendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang
dapat terjadi tanpa penyebab yang jelas, setelah obstruksi apendiks oleh feses atau
akibat terpuntirnya apendiks atau pembuluh darahnya (Corwin, 2009).

Gambar 1. Anatomi Appendiks

2. Etiologi
Penyebab pasti apendisitis akut hingga saat ini belum diketahui. Jumlah
asupan makanan berserat, obstruksi lumen, dan faktor genetik diduga berperan
dalam proses terjadinya penyakit. Sejumlah penyakit infeksi dan parasit diketahui
melibatkan apendiks dan kadang-kadang dapat menyebabkan inflamasi apendiks
(Smallman-Raynor, 2010).
Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada
factor prediposisi yaitu:
a. Faktor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini
terjadi karena:
1. Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.
2. Adanya faekolit dalam lumen appendiks
3. Adanya benda asing seperti biji-bijian
4. Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.
b. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan
Streptococcus.
c. Laki-laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15-30
tahun(remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan
limpoid padamasa tersebut.
d. Tergantung pada bentuk apendiks:
1. Appendik yang terlalu panjang
2. Massa appendiks yang pendek
3. Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks
4. Kelainan katup di pangkal appendiks (Nuzulul, 2009)

3. Klasifikasi
Klasifikasi Apendisitis ada 2 :
1. Apendisitis akut, dibagi atas:
a. Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan
timbul striktur lokal.
b. Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah.
2. Apendisitis kronis, dibagi atas:
a. Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul striktur
lokal.
b. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu appendiks miring, biasanya ditemukan
pada usia tua.

4. Manifestasi Klinik

1. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam ringan,
mual, muntah dan hilangnya nafsu makan.
2. Nyeri tekan local pada titik McBurney bila dilakukan tekanan.
3. Nyeri tekan lepas dijumpai.
4. Terdapat konstipasi atau diare.
5. Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar di belakang sekum.
6. Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rektal.
7. Nyeri kemih, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih atau ureter.
8. Pemeriksaan rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung pelvis.
9. Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang secara
paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan.
10. Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai abdomen
terjadi akibat ileus paralitik.
11. Pada pasien lansia tanda dan gejala appendiks sangat bervariasi. Pasien
mungkin tidak mengalami gejala sampai terjadi ruptur appendiks
5. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis
akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.Obstruksi tersebut menyebabkan
mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan.
Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan penekanan tekanan intralumen.
Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah
terjadi terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila
sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat
sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan
apendisitis supuratif akut
Pada pasien post operasi abdomen yang memiliki penurunan kemampuan
penyembuhan luka, maka akan beresiko mengalami burst abdomen. Pasien burst
abdomen biasanya akan ditemukan peningkatan tekanan intra abdomen sehingga
dapat mengganggu ekspansi paru dan suplai oksigen menurun sehingga
menyebabkan terjadinya sesak napas. Distensi abdomen juga sering ditemukan
pada pasien burst abdomen sehingga dapat menyebabkan penurunan nafsu makan
dan terjadi anoreksia. Luka insisi pada pasien burst abdomen dapat menyebabkan
diskontinuitas jaringan sehingga menimbulkan nyeri pada daerah sekitar luka. dan
memiliki resiko tinggi terjadi infeksi (Medical Journal, 2011)

Gambar 2. Appendiks
6. Pathway

Fekalit (Massa keras feses) ,


adanya benda asing, tumor
IDIOPATIK
appendiks
(belum diketahui
penyebab pasti)

Obstruksi lumen Pre Op

Suplay aliran darah menurun


Mukosa terkikis

 Perforasi Peradangan pada appendiks distensi abdomen


 Abses
 Peritonitis
Menekan gaster

(Pembedahan operasi)
Ansietas
Appendiktomy Pembatasan intake cairan Peningkatan prod HCL

Insisi bedah mual, muntah Post Op

Resiko deficit nutrisi


Terputusnya Resiko infeksi
kontinuitas jaringan

Nyeri Gangguan pola


tidur
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-
18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP
ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen
protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses
inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein. Angka
sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
b. Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography
Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang
pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada
pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan
perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran
sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan
spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat
akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-
100% dan 96-97%.
c. Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan
infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
d. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa
peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.
e. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa
adanya kemungkinan kehamilan.
f. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan
Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk
kemungkinan karsinoma colon.
g. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti Apendisitis,
tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan Apendisitis dengan
obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.

Gambar 3. Ultrasonografi

8. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita Apendisitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operasi.
a. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian
antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita Apendisitis
perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta
pemberian antibiotik sistemik.
b. Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis maka tindakan yang
dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan
appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan
perforasi. Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).
c. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya komplikasi
yang lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen. Komplikasi utama adalah
infeksi luka dan abses intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi
maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca
appendektomi diperlukan perawatan intensif dan pemberian antibiotik dengan
lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi intra-abdomen.
d. Penatalaksanaan keperawatan
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang pernah dialami dalam hal
appendiktomi tidak ada tata laksana keperawatan khusus yang diberikan pada
pasien apendisitis.adapun tindakan non medis yang diberikan adalah persiapan
pasien untuk apendiktomi diantaranya perawat memastikan kepada dokter
bahwa tes darah,cek urin, rontgen, dan puasa sudah dilaksanakan.
Kemudian tindakan keperawatan yang dapat diberikan post-op adalah
perawatan luka jahitan dan mobilisasi pasien secara teratur untuk mencegah
decubitus

9. Komplikasi
Komplikasi apendisitis antara lain (Craig, 2013 dan Minkes, 2013):
a. Komplikasi utama adalah perforasi appediks yang dapat berkembang menjadi
peritonitis atau abses apendiks
b. Tromboflebitis supuratif
c. Abses subfrenikus
d. Obstruksi intestinal
e. Sepsis
f. Syok
g. Perlengketan paska operasi
h. Infeksi luka operasi
Angka kejadian luka operasi pada apendisitis sederhana tidak berbeda secara
signifikan dibandingkan dengan apendisitis perforasi (Bahar, 2010).
a. Obstruksi usus
b. Abses intra abdomen/ pelvis
10. Konsep Keperawatan

1. Pengkajian
a. Pengumpulan data
1. Identifikasi klien
a. Keluhan utama
Klien akan mendapatkan nyeri di sekitar epigastrium menjalar ke
perut kanan bawah. Timbul keluhan Nyeri perut kanan bawah
mungkin beberapa jam kemudian setelah nyeri di pusat atau di
epigastrium dirasakan dalam beberapa waktu lalu.
b. Riwayat penyakit sekarang
Sifat keluhan nyeri dirasakan terus-menerus, dapat hilang atau
timbul nyeri dalam waktu yang lama. Keluhan yang menyertai
biasanya klien mengeluh rasa mual dan muntah, panas.
c. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat nyeri abdomen tidak terlokalisir, riwayat penyakit
askariasis, kebiasaan mengkonsumsi diet rendah serat,
konstipasi.
d. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat neoplasma pada keluarga, pola makan dan diet keluarga,
riwayat penyakit DM, penyakit jantung.
b. Pemeriksaan Fisik
a) Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan
memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut
tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada
penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah
bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler.
b) Palpasi
Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda
peritonitis lokal yaitu:
a. Nyeri tekan di Mc. Burney
b. Nyeri lepas
c. Defans muscular lokal. Defans muscular menunjukkan adanya
rangsangan peritoneum parietal.
d. Pada appendiks letak retroperitoneal, defans muscular mungkin
tidak ada, yang ada nyeri pinggang.
c) Auskultasi
Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus
paralitik pada peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.
Psoas sign Nyeri pada saat paha kanan pasien diekstensikan. Pasien
dimiringkan kekiri. Pemeriksa meluruskan paha kanan pasien, pada
saat itu ada hambatan pada pinggul / pangkal paha kanan.
Tes Obturator Nyeri pada rotasi kedalam secara pasif saat paha
pasien difleksikan. Pemeriksa menggerakkan tungkai bawah kelateral,
pada saat itu ada tahanan pada sisi samping dari lutut (tanda bintang),
menghasilkan rotasi femur kedalam.

d) Aktivitas
Gejala : Malaise
e) Sirkulasi
Tanda: Tachicardia
f) Eliminasi
Gejala : Konstipasi pada awitan awal, diare (kadang-kadang)
Tanda : Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan
penurunan/ tidak ada bising usus
g) Makanan/ cairan
Gejala : Anoreksia, mual/muntah
h) Nyeri/ kenyamanan
Gejala: Nyeri abdomen sekitar epigastrum dan umbilikus, yang
meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc Burney (setelah jarak
antara umbilikus dan tulang ileum kanan). Nyeri ini merupakan gejala
klasik appendisitis. Mula-mula nyeri dirasakan samar-samar dan
tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium atau
sekitar umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri berpindah dan menetap
di abdomen kanan bawah (titik Mc Burney). Bila terjadi perangsangan
peritonium biasanya penderita akan mengeluh nyeri di perut pada saat
berjalan atau batuk.
Tanda : Perilaku berhati-hati, berbaring ke samping atau telentang
dengan lutut ditekuk, meningkatnya nyeri pada kuadran kanan bawah
karena posisi ekstensi kaki kanan/ posisi duduk tegak.
i) Keamanan
Tanda : demam (biasanya rendah). Demam terjadi bila sudah ada
komplikasi, bila belum ada komplikasi biasanya tubuh belum panas.
Suhu biasanya berkisar 37,5º-38,5º C
j) Pernafasan
Tanda : takipnea/ pernafasan dangkal
k) Penyuluhan/ pembelajaran
Gejala : Riwayat kondisi lain yang berhubungan dengan nyeri
abdomen contoh pielitis akut, batu uretra, dapat terjadi pada berbagai
usia.
11. Diagnosa
1. Nyeri
2. Resiko infeksi
3. Resiko deficit nutrisi

12. Intervensi Keperawatan


1. Nyeri b.d distensi jaringan usus oleh inflamasi, adanya insisi bedah
Kriteria hasil:
- Persepsi subyektif tentang nyeri menurun
- Tampak rileks
- Pasien dapat istirahat dengan cukup
Intervensi:
a. Kaji nyeri. Catat lokasi, karakteristik nyeri
b. Pertahankan istirahat dengan posisi semi fowler
c. Dorong untuk ambulasi dini
d. Ajarkan tehnik untuk pernafasan diafragmatik lambat untuk membantu
melepaskan otot yang tegang
e. Hindari tekanan area popliteal
f. Berikan antiemetik, analgetik sesuai program
2. Resiko infeksi b.d tidak adekuatnya pertahanan utama, perforasi,peritonitis
sekunder terhadap proses inflamasi
Tujuan : tidak terjadi infeksi
Kriteria:
- Penyembuhan luka berjalan baik
- Tidak ada tanda infeksi seperti eritema, demam, drainase purulent
- Tekanan darah >90/60 mmHg
- Nadi < 100x/menit dengan pola dan kedalaman normal
- Abdomen lunak, tidak ada distensi
- Bising usus 5-34 x/menit
Intervensi:
a. Kaji dan catat kualitas, lokasi dan durasi nyeri. Waspadai nyeri yang menjadi
hebat
b. Awasi dan catat tanda vital terhadap peningkatan suhu, nadi, adanya
pernapasan cepat dan dangkal
c. Kaji abdomen terhadap kekakuan dan distensi, penurunan bising usus
d. Lakukan perawatan luka dengan tehnik aseptic
e. Lihat insisi dan balutan. Catat karakteristik drainase luka/drain, eriitema
f. Kolaborasi: antibiotic

3. Resiko deficit nutrisi b.d inflamasi peritoneum dengan cairan asing, muntah
praoperasi, pembatasan pasca operasi
Kriteria hasil:
- Membran mukosa lembab
- Turgor kulit baik
- Haluaran urin adekuat: 1 cc/kg BB/jam
- Tanda vital stabil
Intervensi:
a. Awasi tekanan darah dan tanda vial
b. Kaji turgor kulit, membran mukosa, capilary refill
c. Monitor masukan dan haluaran . Catat warna urin/konsentrasi
d. Auskultasi bising usus. Catat kelancara flatus
e. Berikan perawatan mulut sering
f. Berikan sejumlah kecil minuman jernih bila pemasukan peroral dimulai dan
lanjutkan dengan diet sesuai toleransi
g. Berikan cairan IV dan Elektrolit

A. Burst Abdomen
1. Definisi
Laparatomi merupakan suatu proses insisi bedah ke dalam rongga abdomen
yang dilakukan dengan berbagai indikasi seperti trauma abdomen, penanganan
obstetric (Sectio Saesaria) infeksi pada rongga abdomen, perdarahan saluran cerna,
sumbatan pada usus halus dan usus besar serta masa pada abdomen tindakan
laparatomi dapat menimbulkan berbagai komplikasi pasca bedah antara lain gangguan
perfusi jaringan, infeksi pada luka yang menyebabkan buruknya integritas kulit serta
terjadinya burst abdomen (Afzal, 2009).
Burst abdomen juga dikenal sebagai abdominal wound dehiscence atau luka
operasi terbuka, didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai terbukanya
sebagian atau seluruh luka operasi yang disertai protusi atau keluarnya isi rongga
abdomen. Keadaan ini sebagai akibat kegagalan proses penyembuhan luka operasi.
Wound dehiscence merupakan komplikasi pertama dari pembedahan abdominal.
Insidensinya sekitar 0,2% sampai dengan 0,6% dengan angka mortalitas cukup tinggi,
mencapai 10% sampai dengan 40%, disebabkan penyembuhan luka operasi yang
inadekuat.
Terjadinya wound dehiscence dengan berbagai kondisi seperti anemia,
hipoalbumin, malnutrisi, keganasan, obesitas dan diabetes, usia lanjut, prosedur
pembedahan spesifik seperti pembedahan spesifik seperti pembedahan pada kolon
atau laparatomi emergency. Wound dehiscence dapat juga terjadi karena perawatan
luka yang tidak adekuat serta faktor mekanik seperti batuk batuk yang berlebihan,
ileus obstruktif dan hematom serta tekhnik operasi yang kurang baik (Afzal, 2008).
Burst abdomen atau abdominal wound dehiscence adalah terbukanya tepi-tepi
luka sehingga menyebabkan evirasi atau pengeluaran isi organ-organ dalam seperti
usus, hal ini merupakan salah satu komplikasi post operasi dari penutupan luka di
dalam perut. (Saktya, 2011).
Burst abdomen atau abdominal wound dehiscence adalah terbukanya tepi-tepi
luka sehingga menyebabkan evirasi atau pengeluaran isi organ-organ dalam seperti
usus, hal ini merupakan salah satu komplikasi post operasi dari penutupan luka di
dalam perut.

2. Klasifikasi
Berdasarkan waktu terjadinya dehisensi luka operasi dapat dibagi menjadi dua :
a. Dehisensi luka operasi dini : terjadi kurang dari 3 hari paska operasi yang
biasanya disebabkan oleh teknik atau cara penutupan dinding perut yang tidak
baik.
b. Dehisensi luka operasi lambat : terjadi kurang lebih antara 7 hari sampai 12 hari
paska operasi. Pada keadaan ini biasanya dihubungkan dengan usia, adanya
infeksi, status gizi dan faktor lainnya
3. Etiologi
Faktor penyebab dehisensi luka operasi berdasarkan mekanisme terjadinya dibedakan
atas tiga yaitu:
a. Faktor mekanik : adanya makanan dapat menyebabkan akibat jahitan jaringan
semakin meregang dan mempengaruhi penyembuhan luka operasi. Faktor
mekanik tersebut antara lain batuk batuk yang berlebihan, ileus obstruktif dan
hematom serta tekhnik operasi yang kurang.
b. Faktor metabolic : hipoalbuminemia, diabetes mellitus, anemia, gangguan
keseimbangan elektrolit serta defesiensi vitamin dapat mempengaruhi proses
penyembuhan luka.
c. Faktor infeksi : Semua faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi luka operasi
akan meningkatkan terjadinya dehisensi luka operasi. Secara klinis biasanya
terjadi pada hari ke 6 sampai dengan 9 pasca operasi dengan gejala suhu badan
yang meningkat disertai tanda peradangan disertai luka.
Menurut National Nosocomial Infection Survelance System, luka operasi
dibedakan menjadi luka bersih, bersih terkontaminasi, terkontaminasi dan kotor.
Infeksi luka jahitan yang terjadi dini ditandai dengan peningkatan temperature
dan terjadinya selulitis dalam waktu 48 jam setelah penjahitan. Dehisensi luka
operasi akan segera terjadi jika infeksi tidak diatasi. Infeksi dini seringkali
disebabkan oleh streptococcus B haemolyticus. Sedangkan pada infeksi lanjut
seringkali tidak disertai peningkatan temperatur dan pembentukan pus, dan
terutama disebabkan oleh Stafilococcus aureus (Afzal, 2008).
Terjadinya burst abdomen dipengaruhi oleh banyak faktor. Berdasarkan beberapa
penelitian yang telah dilakukan faktor resiko akan dibedakan menjadi tiga bagian
yaitu faktor pre-operative, operative, dan post-operative.
a. Pre operasi
Faktor pre-operative ini biasanya berhubungan dengan keadaan pasien
sebelum operasi dan karakteristik pasien.
Faktor pre-operative ini biasanya berhubungan dengan keadaan pasien
sebelum operasi dan karakteristik pasien.
1. Jenis kelamin
Kejadian pada pria dan wanita didapatkan perbedaan yang
sedikit meningkat pada pria yang mana berbanding 3:1. Hal ini dapat
dipicu karena faktor merokok, pada pria sering mengalami batuk
persisten sehingga dapat meningkatkan tekanan intraabdomen dan
lebih beresiko terjadi burst abdomen.
2. Umur
Kejadian burst abdomen meningkat dengan bertambahnya
umur. Burst abdomen pada pasien yang berumur <45 tahun sebesar
1,3%, sedangkan pada pasien >45 tahun sebesar 5,4%. (Schwartz et al,
Principles Of Surgery)
Burst abdomen sering terjadi pada usia >60 tahun. Hal ini dikarenakan
sejalan dengan bertambahnya umur, organ dan jaringan tubuh
mengalami proses degenerasi dan otot dinding rongga perut melemah.
(Lotfy, 2009)
Hal ini mungkin dikarenakan hal-hal sebagai berikut:
a. Faktor penentu sebelum terjadinya burst abdomen yang sering
ditemukan yaitu batuk kronis, konstipasi kronis dan dysuria.
b. Adanya anemia, hypoproteinaemia, dan beberapa kekurangan
vitamin dalam kelompok usia ini.
c. Komplikasi pasca operasi seperti mengejan, batuk, dan muntah
berulang.
3. Anemia
Hemoglobin menyumbang oksigen untuk regenerasi jaringan
granulasi dan penurunan tingkat hemoglobin mempengaruhi
penyembuhan luka. (Lotfy, 2009). Pada beberapa studi dikemukakan
bahwa rendahnya kadar hemoglobin (<10mg mg/dl) merupakan salah
satu faktor resiko terjadinya burst abdomen.
4. Hipoproteinemia
Hypoproteinemia adalah salah satu faktor yang penting dalam
penundaan penyembuhan, seseorang yang memiliki tingkat protein
serum di bawah 6 g / dl memiliki resiko burst abdomen. (Saktya, 2011)
5. Defisiensi vitamin C
VitaminC sangat penting untuk memperoleh kekuatan dalam
penyembuhan luka. Kekurangan vitamin C dapat mengganggu
penyembuhan dan merupakan predisposisi kegagalan luka.
Kekurangan vitamin C terkait dengan delapan kali lipat peningkatan
dalam insiden wound dehiscence.
6. Kortikosteroid
Steroid memiliki peranan dalam menghambat proses inflamasi,
fungsi makrofag, proliferasi kapiler, dan fibroblast. Selain itu juga
kortikosteroid dapat menurunkan sistem imun sehingga jika terjadi
suatu infeksi, proses penyembuhan luka terhambat.
7. Merokok
Kebiasaan merokok sejak muda menyebabkan batuk-batuk
yang persisten, batuk yang kuat dapat menyebabkan peningkatan
tekanan intra abdomen.
8. Hypoalbuminaemia (serum albumin < 3 mg%)
Keadaan hipoalbuminemia ini akan mengurangi sintesa
komponen sulfas mukopolisarida dan kolagen yang merupakan bahan
dasar penyembuhan luka. Defisiensi tersebut akan mempengaruhi
proses fibroblasi dan kolagenisasi yang merupakan proses awal
penyembuhan luka. Hal ini akan memperlambat proses penyembuhan
luka.
Hypo-albuminaemia dapat digunakan sebagai penanda
malnutrisi. Hypoproteinemia merupakan salah satu faktor terpenting
dalam proses penyembuhan. Untuk perbaikan jaringan, sejumlah besar
asam amino diperlukan. Asam amino membantu dalam pembentukan
RNA dan DNA. Kekurangan ini mengarah ke jaringan selular miskin,
yang menyebabkan kekuatan luka hilang.
9. Operasi yang bersifat emergensi
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan dengan
terjadinya burst abdomen. Hal ini mungkin lebih disebabkan karena
keadaan hemodinamik pasien yang tidak stabil dibandingkan dengan
persiapan operasi yang terencana (elektif).
10. Diabetes (GDP > 140 mg/dl atau GDA> 200 mg/dl)
Pada orang dengan diabetes, proses penyembuhan luka
berlangsung lama. (Lotfy, 2009). DM berkaitan dengan gangguan
metabolisme pada jaringan ikat hal tersebut tentu saja amat sangat
berpengaruh terhadap daya tahan tubuh sehingga akan mengganggu
proses penyembuhan luka operasi. Sehingga pengendalian DM yang
baik dibutuhkan untuk menghindari DM sebagai faktor resiko.
b. Operasi
1. Tipe insisi
Midline incision memiliki insiden terjadinya burst abdomen
lebih besar dari pada transverse incision. Midline incision tidak
anatomis karena incisi ini memotong serabut aponeurotik, sedangkan
pada transverse incision memotong diantara serabut. Kontraksi pada
dinding abdomen akan memberikan tekanan untuk membantu
penutupan luka. Pada midline incision, kontraksi ini dapat
menyebabkan adanya luka baru pada lateral jahitan, sedangkan pada
transverse incision, jahitan akan merapat. Midline incision banyak
digunakan karena dengan teknik ini lapangan pandang saat operasi
menjadi lebih luas untuk melakukan explorasi.
Tipe insisi midline

Tipe insisi transversal


2. Jahitan luka
Berdasarkan hasil penelitian teknik continuous Z memiliki
faktor resiko terjadinya burst abdomen lebih besar yaitu sebesar 14,8%
sedangkan pada teknik interrupted X hanya sebesar 2,17%.
c. Post operasi
1. Peningkatan tekanan intra-abdominal
Peningkatan tekanan ini dapat disebabkan oleh batuk, muntah,
ileus, dan retensi urine. Setelah beberapa operasi intra abdomen,
kejadian ileus tidak dapat dielakkan. Tekanan intra abdomen yang
tinggi mungkin disebabkan pada pasien dengan penyakit paru
obstruktif kronik yang biasanya mereka menggunakan otot-otot
abdomen sebagai otot tambahan untuk respirasi. Sebagai tambahan,
batuk yang terjadi mendadak dapat meningkatkan tekanan intra
abdomen. Beberapa factor yang berperan dalam peningkatan tekanan
abdomen seperti obstruksi usus post opersi, obesitas, dan cirrhosis
dengan adanya ascites. Tekanan intraabdominal yang tinggi akan
menekan otot-otot dinding abdomen sehingga akan teregang.
Regangan otot dinding abdomen inilah yang akan menyebabkan
berkurangnya kekuatan jahitan bahkan pada kasus yang berat akan
menyebabkan putusnya benang pada jahitan luka operasi dan
keluarnya jaringan dalam rongga abdomen.
Hal yang menyebabkan peningkatan tekanan intra abdomen
diantaranya:
a. Mengangkat beban berat
b. Batuk dan bersin yang kuat
c. Mengejan akibat konstipasi
2. Infeksi pada luka
Produk infeksi yang dihasilkan dapat menghambat proses
penyembuhan luka. Gagalnya penyatuan fasia karena adanya nekrosis
dipercaya dapat menyebabkan burst abdomen. Selain itu terjadinya
burst abdomen atau wound dehiscence dapat disebabkan oleh
beberapa factor sistemik dan local yang berpengaruh terhadap
timbulnya luka komplikasi ini.
a. Faktor Sistemik
Burst abdomen jarang diderita pada pasien dibawah usia 30
tahun tetapi pada pasien diatas usia 60 tahun dengan operasi
laparotomi hanya didapatkan sebanyak 5 %. Burst abdomen
banyak dijumpai pada pasien dengan Diabetes mellitus, uremia,
immunosuppresion, jaundice, sepsis, hipoalbuminemia, pasien
dengan obesitas, riwayat keganasan, maupun pasien dengan
penggunaan obat-obatan kortikosteroid.
b. Faktor Lokal
Ketiga factor local yang penting untuk terjadinya burst
abdomen diantaranya adalah: penutupan luka yang tidak adekuat,
peningkatan tekanan intraabdomen, dan gangguan pada proses
penyembuhan luka. Burst abdomen lebih sering terjadi karena
kombinasi ketiga factor tersebut dibandingkan bila hanya muncul
salah satu saja. Jenis incise pada saat operasi seperti incise
transversal maupun longitudinal sampai saat ini tidak berpengaruh
terhadap insiden dari burst abdomen.
3. Penutupan jahitan dari Luka Operasi
Penutupan yang adekuat dari luka operasi merupakan salah
factor yang penting dalam hal penyembuhan luka operasi. Lapisan
fasial memberikan kekuatan pada saat penutupandan ketika fascia
terbuka atau rusak (disrupts) luka akan terbuka dan menjadi rusak.
Keakuratan penutupan pada lapisan anatomi sangat penting untuk
penutupan luka yang adekuat. Banyak luka-luka menjadi rusak
(burst/dehiscence) disebabkan karena terputusnya jahitan sampai
kedalam fascia.
Untuk pencegahan masalah ini meliputi bentuk irisan operasi
yang bagus dan bersih, devitalisasi dari fascia yang sangat diperhatikan
selama operasi, penempatan dan penautan jahitan yang tepat, dan
pemilihan material jahitan yang sesuai. Jahitan ditempatkan 2-3 cm
dari tepi luka dan kira-kira sepanjang 1 cm.
Luka dehiscence sering disebabkan karena jahitan bekas
operasi yang terlalu melekat dan rapat pada tepi fascia. Pada pasien
dengan factor resiko terjadinya luka dehiscence, para ahli bedah harus
melakukan penutupan yang kedua pada operasi pertama, dan
melakukan perawatan ekstra untuk mencegah terjadinya luka
dehiscence.
Bahan untuk jahitan sintetik yang modern seperti asam
polyglycolic, polypropylene, dan yang lain, digunakan untuk
penjahitan pada penutupan fascia yang superior. Pada luka yang
mengalami infeksi, benang dari bahan polypropylene lebih resisten
terhadap degradasi dari pada benang asam polyglycolic serta rata-rata
yang rendah terhadap terjadinya luka yang rusak. Komplikasi luka
menurun dengan adanya obliterasi pada daerah “dead space”. Ostomies
dan drain setelah operasi ditempatkan diluar dari incise operasi untuk
menurunkan kejadian luka infeksi dan terbuka.
4. Gangguan pada Penyembuhan Luka
Infeksi merupakan factor yang berhubungan pada separuh lebih
terjadinya luka karena rusak. Adanya drain, seroma, dan luka hematom
juga sebagai tanda adanya penyembuhan luka yang terlambat.
Normalnya, “healing ridge” ( penebalan kira-kira 0,5 cm dari masing-
masing sisi jahitan) tampak pada akhir dari minggu pertama setelah
operasi. Jika muncul jenis luka seperti ini maka secara klinis
penyembuhan luka berjalan dengan baik dan adekuat, dan ini biasanya
tidak muncul pada luka yang rusak.

Tabel Faktor Penyebab Luka dehiscence Post operative


Jahitan dipasang kurang tepat Terlalu berdekatan
Ditarik dan diikat terlalu kencang
Tehnik operasi kurang baik Tidak mencapai lapisan fascia
Jaringan nonvital ditinggalkan
Tekanan intra abdomen meninggi Dilatasi usus/ileus paralitik
Asites
Batuk
Muntah
Banyak mengejan
Hematoma di luka dengan atau
tanpa infeksi
Infeksi luka
Penyakit Metabolic
Hipoalbuminemia dan atau gizi
buruk
Sirosis hepatis
Karsinomatosis
Uremia
Diabetes mellitus

5. Terapi radiasi
Riwayat pemakaian terapi radiasi mengganggu sintesis protein
normal, mitosis, migrasi dari faktor peradangan, dan pematangan
kolagen.

4. Manifestasi Klinis
Dehisensi luka seringkali terjadi tanpa gejala khas, biasanya penderita sering
merasa ada jaringan dari dalam rongga abdomen yang bergerak keluar disertai
keluarnya cairan serous berwarna merah muda dari luka operasi (85% kasus). Pada
pemeriksaan didapatkan luka operasi yang terbuka. Terdapat pula tanda tanda infeksi
umum seperti adanya rasa nyeri, edema dan hiperemesis pada daerah sekitar luka
operasi, dapat pula terjadi pus atau nanah yang keluar dari luka operasi.
Biasanya dehisensi luka operasi didahului oleh infeksi yang secara klinis terjadi
pada hari keempat hingga Sembilan pascaoperasi. Penderita datang dengan klinis
febris, hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan jumlah leukosit yang sangat tinggi
dan pemeriksaan jaringan disekitar luka operasi didapatkan reaksi radang berupa
kemerahan, hangat, pembengkakan, nyeri, fluktasi dan pus (Afzal, 2008).
Keadaan umum pasien juga menurun ditandai dengan wajah tampak anemis dan
pasien tampak sangat kesakitan. Luka yang terjadi pada dinding abdomen menjadi
jelek dan kelihatan rusak. Dalam satu hari keadaan ini akan diikuti oleh penonjolan
usus dari luka kulit yang menganga pada operasi kulit (incisional hernia). Gejala
intraperitoneal sepsis merupakan salah satu tanda adanya burst abdomen.
a. Nyeri setelah beberapa hari operasi
b. Keluar cairan merah pada bekas jahitan atau bahkan keluar nanah
c. Luka jahitan menjadi lembek dan merah (hiperemi)
d. Perut distended (membesar dan tegang) yang menandai adanya infeksi di daerah
tersebut
e. Keadaan umum pasien juga menurun ditandai dengan wajah tampak anemis dan
pasien tampak sangat kesakitan.

5. Patofisiologi
Burst Abdomen bisa disebabkan oleh faktor pre operasi, operasi dan post operasi.
Pada faktor pre operasi, hal-hal yang berpengaruh dalam factor pre operasi ini adalah
usia,kebiasaan merokok, penyakit diabetes mellitus, dan malnutrisi. Pada umur tua
otot dinding rongga perut melemah. Sejalan dengan bertambahnya umur, organ dan
jaringan tubuh mengalami proses degenerasi. Kejadian tertinggi burst abdomen sering
terjadi pada umur > 50-65 tahun. Selain itu adanya anemia, hypoproteinaemia, dan
beberapa kekurangan vitamin bisa menyebabkan terjadinya burst abdomen.
Hemoglobin menyumbang oksigen untuk regenerasi jaringan granulasi dan
penurunan tingkat hemoglobin mempengaruhi penyembuhan luka. Kebiasaan
merokok sejak muda menyebabkan batuk-batuk yang persisten, batuk yang kuat dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intra abdomen.
Penyakit-penyakit tersebut tentu saja amat sangat berpengaruh terhadap daya
tahan tubuh sehingga akan mengganggu proses penyembuhan luka operasi.
Hypoproteinemia adalah salah satu faktor yang penting dalam penundaan
penyembuhan, seseorang yang memiliki tingkat protein serum di bawah 6 g / dl.
Untuk perbaikan jaringan, sejumlah besar asam amino diperlukan. Vitamin C sangat
penting untuk memperoleh kekuatan dalam penyembuhan luka. Kekurangan vitamin
C dapat mengganggu penyembuhan dan merupakan predisposisi kegagalan luka.
Kekurangan vitamin C terkait dengan delapan kali lipat peningkatan dalam insiden
wound dehiscence. Seng adalah co-faktor untuk berbagai proses enzimatik dan
mitosis (Saktya, 2011).
Untuk factor operasi, tergantung pada tipe insisi, penutupan sayatan, penutupan
peritoneum, dan jahitan bahan. Kontraksi dari dinding abdomen menyebabkan
tekanan tinggi di daerah lateral pada saat penutupan. Pada insisi midline, ini
memungkinkan menyebabkan bahan jahitan dipotong dengan pemisahan lemak
transversal. Dan sebaliknya, pada insisi transversal, lemak dilawankan dengan
kontraksi. Otot perut rektus segmental memiliki suplai darah dan saraf. Jika irisan
sedikit lebih lateral, medial bagian dari otot perut rektus mendapat denervated dan
akhirnya berhenti tumbuh. Ini menciptakan titik lemah di dinding dan pecah perut.
Faktor post operasi terdiri dari peningkatan dari intra-abdominal pressure yang
menyebabkan suatu kelemahan mungkin disebabkan dinding abdominal yang tipis
atau tidak cukup kuatnya pada daerah tersebut, dimana kondisi itu ada sejak atau
terjadi dari proses perkembangan yang cukup lama, pembedahan abdominal dan
kegemukan. Dapat dipicu juga jika mengangkat beban berat, batuk dan bersin yang
kuat, mengejan akibat konstipasi. Terapi radiasi dapat mengganggu sintesis protein
normal, mitosis, migrasi dari faktor peradangan, dan pematangan kolagen.
Antineoplastic agents menghambat penyembuhan luka dan luka penundaan perolehan
dalam kekuatan Tarik.
Pada pasien post operasi abdomen yang memiliki penurunan kemampuan
penyembuhan luka, maka akan beresiko mengalami burst abdomen. Pasien burst
abdomen biasanya akan ditemukan peningkatan tekanan intra abdomen sehingga
dapat mengganggu ekspansi paru dan suplai oksigen menurun sehingga menyebabkan
terjadinya sesak napas. Distensi abdomen juga sering ditemukan pada pasien burst
abdomen sehingga dapat menyebabkan penurunan nafsu makan dan terjadi anoreksia.
Luka insisi pada pasien burst abdomen dapat menyebabkan diskontinuitas jaringan
sehingga menimbulkan nyeri pada daerah sekitar luka. dan memiliki resiko tinggi
terjadi infeksi (Medical Journal, 2011).

6. Pemeriksaan Diagnostik
1. Laboratorium
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui resiko yang dapat memperparah
penyakit. Pemeriksaan laboratorium ini meliputi pemeriksaan darah lengkap dan
kimia darah.
2. Sinar X abdomen
Sinar X abdomen menunjukkan abnormalnya tinggi kadar gas dalam usus atau
obstruksi usus.
3. CT scan atau MRI
Untuk mendiagnosa kelainan-kelainan yang terdapat dalam tubuh manusia, juga
sebagai evaluasi terhadap tindakan atau operasi maupun terapi yang akan
dilakukan terhadap pasien.
4. Tes Darah lengkap
Hemoglobin, serum protein, gula darah, serum kreatinin, dan urea. Hitung darah
lengkap dan serum elektrolit dapat menunjukkan hemokonsentrasi (peningkatan
hematokrit), peningkatan sel darah putih, dan ketidakseimbangan elektrolit.

7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan burst abdomen dipengaruhi oleh keadaan umum pasien dimana
dapat dibagi menjadi dua, yaitu terapi non-operatif dan operatif.
1. Terapi non-operatif
Terapi ini dilakukan bila keadaan umum pasien stabil dan tidak disertai
adanya eviserasi. Perawatan luka yang dilanjutkan dengan penutupan secara
steril perlu dilakukan. Pasien dianjurkan tidak turun dari tempat tidur dan
menutup luka dengan handuk yang dibasahi dengan cairan steril. Abdominal
binder dapat digunakan untuk membantu proses penutupan luka. Diharapkan
luka dapat menutup kembali, atau jika keadaan pasien sudah membaik, maka
dapat direncanakan operasi. Jika pasien datang dengan burst abdomen dan
eviserasi :
a. Inform Consent
b. Puasa dilakukan 4 jam sebelum pembedahan, pemasangan NGT
dekompresi.
c. Pasang infus, bericairan standard N4 dengan tetesan sesuai kebutuhan.
d. Antibiotik pra bedah diberikan secara rutin.
e. Dilakukan rawat luka pada abdomen dengan teknik steril selama dua hari
sekali.
f. Perlu diperhatikan juga tentang nutrisi pasien. Pemberian nutrisi tinggi
protein dan serat pada pasien dengan burst abdomen membantu
penyembuhan dan fungsi saluran cerna pasien.
2. Terapi operatif
Tindakan yang harus segera dilakukan oleh ahli bedah bila menjumpai
adanya burst abdomen adalah dengan memperbaiki kembali luka operasi yang
ditimbulkan segera dengan terlebih dahulu mengevaluasi struktur di dalamnya.
dibilas dengan cairan isotonis ringer lactate yang mengandung antibiotic dan
kemudian dilakukan penutupan kembali dinding abdomen.
Antibiotik profilaksis harus diberikan sebelum operasi. Tindakan repair ini
harus dilakukan dalam keadaan steril (diatas meja operasi) dan dengan anastesi
general. Lepas dahulu jahitan yang telah dilakukan operasi pada bagian yang
mengalami burst, kemudian explore bagian terdalam dari luka yang rusak
dengan jari yang menggunakan sarung tangan steril sampai bagian jahitan yang
terbuka kemudian evaluasi apa yang terjadi apakah terdapat sumber infeksi.
Kemudian dilakukan pencucian luka secara mekanik dengan cairan
isotonis yang mengandung antibiotic yang berlimpah, setelah itu
dilakukanperbaikan jahitan dengan memberikan jahitan ekstra untuk mencegah
timbulnya luka dehiscence berulang.
3. Operasi Pembedahan
Penjahitan dilakukan dengan tehnik yang sesuai dan teliti dengan
menggunakan jarum dan benang yang sesuai (monofilamen nilon atau
poligycolic acid), setelah repair jahitan selesai luka ditutup dengan kassa basah
steril dan diberi antibiotik, kemudian ditutup kembali sehingga tidak
terkontaminasi dengan dunia luar.
a. Operasi pembedahan, dilakukan untuk menutup lubang dan memperkuat
bagian yang lemah, otot perut dirapatkan menutupi lubang yang ada.
b. Kebanyakan untuk pasien akut atau baru saja terjadi luka disarankan untuk
operasi kembali.
c. Kebanyakan teknik yang utama adalah segera menjahit kembali pada
tempat jahitan semula yang mengalami perobekan.
d. Pemberian antibiotic preoperative spektum meluas.
e. Bebaskan lipatan peritonim dan usus untuk jarak yang pendek pada
permukaan yang dalam dari luka pada kedua sisi.
f. Masukkan jahitan luka yang dalam.
g. Kemudian proses akir dari dinding abdomen, yakinlah untuk mengambil
potongan yang dalam dari jari, memakai materi jahitan yang banyak dan
hindari tegangan yang berlebihan pada luka.
h. Tutup kulit dengan agak longgar dan mempertimbangkan pemakaian
pengering luka dangkal. Jika terjadi infesi luka yang buruk , jangan biarkan
luka terbuka dan bungkuslah.
a. Penumpukan Jahitan
Ada beberapa teknik penumpukan jahitan, tetapi pada prinsipnya adalah :
1. Memakai jahitan luka yang padat dan tidak menyerap.
2. Luas potongan paling tidak 3cm dari tepi luka dan interval stikjahitan
3cm atau kurang.
3. Salah satu dari eksternal (menggabungkan semua lapisan peritonium
melewati kulit) atau (semua lapisan kecuali kulit) mungkin digunakan.
4. Penumpukan jahitan luka internal dapat menghindari pembentukan
bekas luka yang tidak sedap dipandang akan tetapi luka itu tidak dapat
dipindahkan pada waktu berikutnya(meningkatkan resiko infeksi)
5. Jangan mengikat terlalu kuat
6. Penumpukan jahitan luka eksternal biasanya dibiarkan selama paling
tidak tiga minggu.
Pada sebagian kecil pasien bisa mendapat penatalaksanaannya yang
tepat.Teknik yang tidak aman atau terkadang tidak mungkin untuk menutup
dinding perut dengan benar.
Beberapa kondisi yang mungkin bisa menjadi faktor pencetus pada
dinding perut yang tidak dapat menutup, meliputi:
1. Trauma abdomen mayor
2. Sepsis abdomen yang kasar
3. Retro peritoneal hematom.
4. Kehilangan jaringan pada dinding perut.
Penderita setelah operasi biasanya masih mengeluh soal lain. Setelah
operasi ia merasakan bagian yang dioperasi seperti tertarik dan nyeri. Untuk
mengatasi keluhan tadi, kini tersedia jala sintetis yang dikenal dengan mesh.
Penggunaannya menguntungkan bagi penderita pascaoperasi, karena otot
perutnya tidak lagi ditarik, sehingga penderita tidak akan merasa nyeri.
Usaha untuk menutup dinding perut mungkin dapat menyebabkan
elevasi dari tekanan intra abdominal dan syndrome ruang abdomen
berikutnya. Pada kasus kasus tertetu (exs.jika penyebabnya memungkinkan
untuk diselesaikan dengan cepat) mungkin bisa menutup abdomen untuk
sementara waktu dengan membungkus luka dan mengambil tindakan lebih
lanjut dalam waktu 24-48 jam. Penutupan “mesh” pada insisi abdomen
biasanya menunjukan:
a. Kerusakannya adalah penutupan dari satu atau dua lapisan pada lubang.
b. Lubang adalah jahitan luka pada tempat dari jahitan luka yang
menembus lapisan tebal dinding abdomen.
Perubahan balutan dan granulasi benuk jaringan berikutnya, akhirnya
berpengaruh pada permukaan yang bisa dibungkus dengan pemindahan
robekan kulit (transparansi kulit).
4. Upaya Pencegahan
Faktor resiko burst abdomen masih bisa dikurangi melalui penanganan
pasien secara terpadu sejak sebelum operasi sampai setelah operasi. Untuk
mencegah terjadinya burst abdomen diantaranya adalah:
a. Tehnik penjahitan yang tepat dan benar
Penjahitan yang dilakukan pada luka operasi sebaiknya menggunakan
jarum, benang, dan tehnik jahitan yang benar. Jahitan yang dibuat jangan
terlalu berdekatan dan jangan terlalu kencang sehingga mengakibatkan luka
yang ditimbulkan tidak sembuh dengan sempurna.
b. Teknik operasi yang baik
Salah satu sebab terjadinya burst abdomen karena tehnik operasi yang
kurang baik diantaranya tehnik operasi yang tidak mencapai lapisan fascia
atau salah satunya dengan meninggalkan jaringan yang sudah tidak vital
dalam rongga abdomen, hal ini cenderung untuk terjadinya infeksi. Oleh
karena itu untuk mencegah terjadinya burst abdomen sebaiknya operator
benar-benar memahami operasi yang akan dilakukan dan bertindak sebaik
mungkin.
c. Mencegah peningkatan intraabdomen
Peningkatan dari tekanan abdomen menghambat dari penyembuhan
luka bahkan mengakibatkan luka yang terjadi mengalami kerusakan
sehingga dapat terbuka kembali. Adapun hal-hal yang dapat mengakibatkan
peningkatan tekanan intraabdomen adalah: batuk, muntah, banyak
mengejan, asites, dan dilatasi usus atau adanya ileus paralitik. Oleh karena
itu untuk mengontrol adanya peningkatan intraabdomen selain
menganjurkan kepada pasien untuk tidak melakukan hal diatas, maka
dengan melakukan follow up setiap hari kepada pasien post operativ dari
bising ususnya dan dengan pemasangan nasogastric tube untuk
dekompresi.
d. Mencegah terjadinya infeksi
Infeksi sangat banyak penyebabnya oleh karena itu pada luka post
laparotomy harus dilakukan rawat luka se aseptis mungkin dengan
menggunakan peralatan yang steril. Selain itu juga diikuti dengan
pemberian antibiotika profilaksis.
e. Mengobati penyakit penyerta dari pasien
Selain hal-hal seperti diatas terjadinya burst abdomen dapat dipicu
karena penyakit penyerta dari pasien diantaranya: hipoalbuminemia,
malnutrisi, anemia, joundice, penyakit keganasan, diabetes mellitus,
sehingga dapat menghambat proses penyembuhan luka. Oleh karena itu
penyakit penyerta tersebut juga harus diperhatikan dan diregulasi dengan
baik.
8. Prognosis
Menurut Sander (2012), angka mortalitas pasien dengan burst abdomen rata-rata
18,1%, dengan range 9,4% – 43,8%. Apabila terpisahnya jahitan luka pada abdomen
secara partial atau komplit salah satu atau seluruh lapisan dinding abdomen pada luka
post operatif tidak segera ditangani maka pasien tersebut memiliki kemungkinan
mortalitas 30%.
9. Komplikasi
a. Perdarahan
b. Infeksi luka Operasi
Infeksi Luka Operasi ( ILO )/Infeksi Tempat Pembedahan (ITP)/Surgical Site
Infection (SSI) adalah infeksi pada luka operasi atau organ/ruang yang terjadi
dalam 30 hari paska operasi atau dalam kurun 1 tahun apabila terdapat implant.
Sumber bakteri pada ILO dapat berasal dari pasien, dokter dan tim, lingkungan,
dan termasuk juga instrumentasi.
Menurut The National Nosocomial Surveillence Infection (NNSI), kriteria
jenis-jenis SSI ada tiga sebagai berikut :
1. Superficial Incision SSI ( ITP Superfisial )
Merupakan infeksi yang terjadi pada kurun waktu 30 hari paska
operasi dan infeksi tersebut hanya melibatkan kulit dan jaringan
subkutan pada tempat insisi dengan setidaknya ditemukan salah satu
tanda sebagai berikut :
a.Terdapat cairan purulen
b. Ditemukan kuman dari cairan atau tanda dari jaringan
superfisial
c. Terdapat minimal satu dari tanda-tanda inflammasi
d. Dinyatakan oleh ahli bedah atau dokter yang merawat
2. Deep Insicional SSI ( ITP Dalam )
Merupakan infeksi yang terjadi dalam kurun waktu 30 hari paska
operasi jika tidak menggunakan implan atau dalam kurun waktu 1
tahun jika terdapat implan dan infeksi tersebut memang tampak
berhubungan dengan operasi dan melibatkan jaringan yang lebih dalam
( contoh, jaringan otot atau fasia ) pada tempat insisi dengan
setidaknya terdapat salah satu tanda :
a.Keluar cairan purulen dari tempat insisi.
b. Dehidensi dari fasia atau dibebaskan oleh ahli bedah karena ada
tanda inflammasi.
c.Ditemukannya adanya abses pada reoperasi, PA atau radiologis.
d. Dinyatakan infeksi oleh ahli bedah atau dokter yang merawat
3. Organ/ Space SSI ( ITP organ dalam )
Merupakan infeksi yang terjadi dalam kurun waktu 30 hari paska
operasi jika tidak menggunakan implan atau dalam kurun waktu 1
tahun jika terdapat implan dan infeksi tersebut memang tampak
berhubungan dengan operasi dan melibatkan suatu bagian anotomi
tertentu (contoh, organ atau ruang) pada tempat insisi yang dibuka atau
dimanipulasi pada saat operasi dengan setidaknya terdapat salah satu
tanda :
a.Keluar cairan purulen dari drain organ dalam
b. Didapat isolasi bakteri dari organ dalam
c.Ditemukan abses
d. Dinyatakan infeksi oleh ahli bedah atau dokter.
e.Peritonitis (infeksi ke seluruh dinding usus)
Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh
infeksi pada selaput rongga perut (peritoneum). Peritoneum adalah
selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan dinding
perut sebelah dalam. Cedera pada kandung empedu, ureter,
kandung kemih atau usus selama pembedahan dapat memindahkan
bakteri ke dalam perut. Kebocoran juga dapat terjadi selama
pembedahan untuk menyambungkan bagian usus.
f. Kelemahan fasia/dinding perut yang progresif
g. Kebocoran usus
h. Trauma abdomen mayor
i. Sepsis abdomen yang kasar
j. Retro peritoneal hematom
k. Kehilangan jaringan pada dinding perut.

DAFTAR PUSTAKA

Afzal S, Bashir M. 2008. Determinants of Wound Dehiscence in Abdominal


Surgery in Public Sector Hospital. Department of Community
Medicine, King Edward Medical University Lahore . Annals 14:3
CraigS.Appendicitis.Medscapereference.http://emedicine.medscape.com/
article/773895. Updated November 25, 2013. Accessed December 2,
2013
Deng Y, David C, Chang, et al. Seasonal and day of the weak variations of
perforated appendicitis in US children. Pediatr Surg Int. 2010;26:691-
696.
Depkes RI.2008.Kasus Appendicitis di Indonesia.diakses dari :
http://www.artikelkedokteran.com/arsip/kasus-apendisitis-di-indonesia-
pada-tahun-2008.html http://darkcurez.blogspot.com/2011/01/makalah-
apendisitis.html
Jurnal : Airlangga, Saktya. 2011. Asuhan keperawatan pada burst abdomen.
Diakses pada 26 April 2016
Lotfy, Wael. 2009. BURST ABDOMEN: IS IT A PREVENTABLE
COMPLICATION?. Vol 28, No 3. www.ess-eg.org/ ../339.pdf. Diakses
tanggal 20 Aprilsumber:
Minkes RK. Pediatric appendicitis. Medscape reference.
http://emedicine.medscape.com/article/926795. Updated April 25, 2013.
Accessed December 2, 2013
Smallman-Raynor MR, Cliff AD, Ord JK. Common scute childhood
infections and appendicitis: a historical study of statistical association in
27 English public boarding schools, 1930-1934. Epidemiol and
Infection. 2010;138(8):1155-1165.

Anda mungkin juga menyukai