Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN KASUS

Kejang Demam pada Anak Usia 2 Tahun

Pembimbing:
dr. Nurifah, SpA

Penulis:
Shafira Imaniari (1102015221)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK. I R. SAID SUKANTO
PERIODE 8 APRIL 2019 – 22 JUNI 2019
Kejang Demam pada Anak Usia 2 Tahun
Shafira Imaniari1, Nurifah2

1
Fakultas Kedokteran Universitas YARSI Jakarta
2
Bagian Anak RS Bhayangkara Tk. I R. Said Sukanto Jakarta

ABSTRAK
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun
yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38℃, dengan metode pengukuran suhu apa pun)
yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial. Prevalensi kejang demam di Asia meningkat dua
kali lipat bila dibandingkan di Eropa dan di Amerika. Kejang demam memiliki prevalensi 2% -5%
pada anak-anak di Eropa Barat dan Amerika Serikat, dan puncak usia onset adalah 18 bulan. Kejang
demam dibagi menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Untuk
menegakkan diagnosis, pada anamnesis dokter menanyakan apakah kejang terjadi sebelum atau
sesudah demam, durasi kejang, tipe kejang, adanya kejang berulang, dan apakah pasien sadar di
antara kedua bangkitan kejang. Terdapat beberapa langkah pengobatan kejang demam. Prognosis
kejang demam pada umumnya sangat baik.

ABSTRACT
Febrile seizure is a seizure that occurs in children aged 6 months to 5 years who experience an
increase in body temperature (temperatures above 38 ℃, with any temperature measurement
method) that is not caused by intracranial processes. The prevalence of febrile seizure in Asia has
doubled when compared to Europe and in America. Febrile seizure has a prevalence of 2% -5% in
children in Western Europe and the United States, and the peak age of onset is 18 months. Fever
seizure is divided into two, those are simple febrile seizures and complex febrile seizures. To
diagnosed febrile seizure, the doctor asks if the seizure occurs before or after a fever, the duration
of the seizure, the type of seizure, the presence of recurrent seizure, and whether the patient is
conscious between the seizures. There are several steps to treating febrile seizures. The prognosis
for febrile seizures is generally very good.

1
Pendahuluan
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6
bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38℃,
dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses
intrakranial dengan keterangan: (1) Kejang terjadi karena kenaikan suhu tubuh,
bukan karena gangguan elektrolit atau metabolik lainnya, (2) Bila ada riwayat
kejang tanpa demam sebelumnya maka tidak disebut sebagai kejang demam, (3)
Anak berumur antara 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang demam, namun
jarang sekali, (4) Bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam
rekomendasi ini melainkan termasuk dalam kejang neonatus.1
Prevalensi kejang demam di Asia meningkat dua kali lipat bila dibandingkan
di Eropa dan di Amerika.2 Kejang demam memiliki prevalensi 2% -5% pada anak-
anak di Eropa Barat dan Amerika Serikat, dan puncak usia onset adalah 18 bulan.
Anak-anak berusia 12-30 bulan mewakili 50% dari semua anak dengan kejang
demam, sedangkan proporsi anak-anak yang mengalami episode kejang demam
pertama setelah usia empat tahun rendah (6%-15%).3
Kejang demam dibagi menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana (simple
febrile seizure) dan kejang demam kompleks (complex febrile seizure). Kejang
demam sederhana berlangsung kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti
sendiri, berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang demam
sederhana tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana
merupakan 80% di antara seluruh kejang demam. Kejang demam kompleks adalah
kejang lama lebih dari 15 menit, kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang
umum didahului kejang parsial, berulang atau lebih dari sekali dalam 24 jam.
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang
berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang
lama terjadi pada 8% kejang demam. Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi,
atau kejang umum yang didahului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2
kali atau lebih dalam 1 hari, di antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang
berulang terjadi pada 16% di antara anak yang mengalami kejang demam.1 Setelah

2
kejang demam pertama, 33% anak akan mengalami satu kali kejang berulang, dan
9% anak mengalami kejang berulang 3 kali atau lebih.4
Peningkatan temperatur dalam otak berpengaruh terhadap perubahan letupan
aktivitas neuronal. Perubahan temperatur tersebut menghasilkan sitokin yang
merupakan pirogen endogen, jumlah sitokin akan meningkat seiring kejadian
demam dan respons inflamasi akut. Respons terhadap demam biasanya
dihubungkan dengan interleukin-1 (IL-1) yang merupakan pirogen endogen atau
lipopolisakarida (LPS) dinding bakteri gram negatif sebagai pirogen eksogen. LPS
menstimulus makrofag yang akan memproduksi pro- dan anti-inflamasi sitokin
tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), IL-6, interleukin-1 receptor antagonist (IL-
1ra), dan prostaglandin E2 (PGE2). Reaksi sitokin ini mungkin melalui sel
endotelial circumventricular akan menstimulus enzim cyclooxygenase-2 (COX-2)
yang akan mengkatalis konversi asam arakidonat menjadi PGE2 yang kemudian
menstimulus pusat termoregulasi di hipotalamus, sehingga terjadi kenaikan suhu
tubuh. Demam juga akan meningkatkan sintesis sitokin di hipokampus. Pirogen
endogen, yakni interleukin 1ß, akan meningkatkan eksitabilitas neuronal
(glutamatergic) dan menghambat GABA-ergic, peningkatan eksitabilitas neuronal
ini yang menimbulkan kejang.5
Untuk menegakkan diagnosis, pada anamnesis dokter menanyakan apakah
kejang terjadi sebelum atau sesudah demam, durasi kejang, tipe kejang, adanya
kejang berulang, dan apakah pasien sadar di antara kedua bangkitan kejang. Pada
pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan tanda rangsang meningeal untuk
menyingkirkan diagnosis.
Pada pemeriksaan penunjang, pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan
secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi
sumber infeksi penyebab demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan
atas indikasi misalnya darah perifer, elektrolit, dan gula darah.1, 5
Pungsi lumbal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan
meningitis. Berdasarkan bukti-bukti terbaru, saat ini pemeriksaan pungsi lumbal
tidak dilakukan secara rutin pada anak berusia <12 bulan yang mengalami kejang
demam sederhana dengan keadaan umum baik. Indikasi pungsi lumbal: (1)

3
Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal, (2) Terdapat kecurigaan adanya
infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis, (3) Dipertimbangkan
pada anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya telah mendapat
antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut dapat mengaburkan tanda dan gejala
meningitis.1
Pemeriksaan elektroensefalografi (electroencephalography/EEG) tidak
direkomendasikan untuk kejang demam, kecuali apabila bangkitan bersifat fokal
untuk menentukan adanya fokus kejang di otak yang membutuhkan evaluasi lebih
lanjut.1
Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala) tidak rutin dilakukan
pada anak dengan kejang demam sederhana. Pemeriksaan tersebut dilakukan bila
terdapat indikasi, seperti kelainan neurologis fokal yang menetap, misalnya
hemiparesis atau paresis nervus kranialis.1
Pada umumnya kejang demam berlangsung singkat sekitar 4 menit. Obat yang
dapat diberikan oleh orangtua di rumah (prehospital) ketika pasien kejang demam
adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau
diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg
untuk berat badan lebih dari 12 kg.1
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang
lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah
2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di
rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,2-0,5 mg/kg
diberikan perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5
menit, dengan dosis maksimal 10 mg.1
Jika kejang masih berlanjut, curiga kejang mengarah ke epileptikus. Bila
kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari indikasi terapi
antikonvulsan profilaksis.1
Penggunaan antipiretik tidak terbukti mengurangi risiko terjadinya kejang
demam. Meskipun demikian, dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa
antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15
mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.

4
Obat antikonvulsan intermiten diberikan hanya pada saat demam. Profilaksis
intermiten diberikan pada kejang demam dengan salah satu faktor risiko: (1)
Kelainan neurologis berat, misalnya serebral palsi, (2) Berulang 4 kali atau lebih
dalam setahun, (3) Usia <6 bulan, (4) Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang
dari 39℃, (5) Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh
meningkat dengan cepat.1
Obat antikonvulsan intermiten yang diberikan adalah diazepam oral 0,3
mg/kg/kali per oral atau rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan
10 mg untuk berat badan >12 kg), sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis maksimum
diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam pertama
demam. Perlu diinformasikan pada orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan
dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.1
Obat antikonvulsan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam
jangka pendek. Indikasi pengobatan rumat: (1) Kejang fokal, (2) Kejang lama >15
menit, (3) Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya serebral palsi, hidrosefalus, hemiparesis.1
Pemberian antikonvulsan untuk pengobatan rumat setiap hari efektif
menurunkan risiko berulangnya kejang. Jenis antikonvulsan yang diberikan untuk
pengobatan rumat adalah fenobarbital atau asam valproat. Namun pemakaian
fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan
belajar. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Dosis asam valproate adalah 15-
40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis dan fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2
dosis.1
Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah: (1) Riwayat kejang demam
atau epilepsi dalam keluarga, (2) Usia kurang dari 12 bulan, (3) Suhu tubuh kurang
dari 39℃ saat kejang, (4) Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan
terjadinya kejang, (5) Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam
kompleks. Bila seluruh faktor tersebut ada, kemungkinan berulangnya kejang
demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan
berulangnya kejang demam hanya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang
demam paling besar pada tahun pertama.1

5
Faktor risiko menjadi epilepsi di kemudian hari adalah: (1) Terdapat kelainan
neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama, (2)
Kejang demam kompleks, (3) Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara
kandung, (4) Kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih dalam
satu tahun.1
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi
sampai 4-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut akan meningkatkan
kemungkinan epilepsi menjadi 10-49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat
dicegah dengan pemberian obat rumatan pada kejang demam.1
Prognosis kejang demam pada umumnya sangat baik. Perkembangan mental
dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal.
Kelainan neurologis dapat terjadi pada kasus kejang lama atau kejang berulang,
baik umum maupun fokal.1

Kasus
Anak laki-laki RF, 2 tahun, dibawa ke IGD Rumah Sakit Bhayangkara TK. I
R. Said Sukanto pada tanggal 12 April 2019 dini hari dengan keluhan demam 1 hari
sebelum masuk ke rumah sakit. Keluhan disertai mual, muntah, batuk dan pilek.
Orangtua An. RF mengatakan pasien tidak mau makan dan minum dan BAB dan
BAK dalam batas normal.
Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara dan saat ini tinggal bersama
orangtuanya di rumah milik pribadi. Kakak An. RF saat ini berusia 4 tahun dan
dalam keadaan kondisi sehat. Saat hamil pasien, ibu pasien mengaku kehamilannya
38 minggu, selama hamil tidak mengalami keluhan atau penyulit. Ibu pasien
melahirkan pasien pervaginam dengan berat lahir 3500 gram dan panjang badan 50
cm. Perkembangan pasien sesuai dengan anak seusianya. Imunisasi yang sudah
dijalani pasien menurut ibu pasien sesuai usia.
Pada pemeriksaan fisik tanggal 12 April 2019 dini hari didapatkan pasien
dalam kondisi tampak sedikit lemas dengan kesan status gizi baik. Berat badan 11
kg dengan tinggi 85 cm. Kesadaran pasien baik. Tanda vital didapatkan kenaikan

6
suhu yaitu 38,9℃, pernafasan 24 kali/menit dan nadi 108 kali/menit. Pada
pemeriksaan status generalis ditemukan faring hiperemis dan tonsil T2.
Pada pemeriksaan toraks, terlihat pergerakan kedua hemitoraks simetris. Suara
nafas kedua hemitoraks normal. Terdapat rhonki pada kedua hemitoraks namun
tidak terdapat wheezing. Pemeriksaan cor, bunyi jantung I dan II regular, tidak
terdengar murmur maupun gallop. Lain-lain dalam batas normal.
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan saat pasien di IGD
ditegakkan diagnosis dengan: Febris Hari Ke-3 et causa suspect Dengue High
Fever dd Demam Tifoid Dehidrasi Sedang.
Pasien mendapatkan terapi berupa IVFD RL loading 240 cc, RL 1100 cc/24
jam, Paracetamol 4x1 cth syrup, Domperidone 3x1 cth syrup, Cefotaxime 3x500
mg drip.
Hasil follow up hari ke-1 pada tanggal 12 April 2019 terdapat pada tabel
berikut:
12 April 2019
Pasien datang ke IGD pada tanggal 12 April 2019 dengan demam 1 hari yang lalu
dan kejang +1 menit tonik klonik. Diberikan diazepam per rektal.
- Demam (+)
- Kejang (+) 2x
- Riwayat kejang (-)
S
- Riwayat kejang dalam keluarga (-)
- Batuk (+) berdahak
- Pilek (+)
- Suhu: 38,9℃
- Nadi: 108 kali/menit
- Frekuensi pernafasan: 24 kali/menit
O
Pemeriksaan Fisik:
- Mata: Conjunctiva Anemis -/-
- Hidung: nasal discharge -/-

7
- Mulut: kering, faring hiperemis (+), coated tongue (-), tonsil T2
- Dada: retraksi dada
- Paru: vesicular +/+, rhonki +/+, wheezing -/-
- Abdomen: bising usus (+) normal, nyeri tekan (-)
- Anggota gerak: akral hangat, turgor baik, CRT <2 sec

Pemeriksaan Penunjang:
H2TL 12 April 2019
- Hemoglobin: 11 g/dl
- Leukosit: 27.300/µl
- Hematokrit: 32%
- Trombosit: 378.000/µl
Kejang demam kompleks
A Sepsis
Bronkopneumonia
- IVFD RL 18 tpm
- Paracetamol 4x1 cth
- Cefotaxim 3x500 mg drip
- Dexamethason 3x2 ½ gram IV
- Ambroxol 3x1 cth
P
- Salbutamol 0,6 mg
- Cetirizin ¼ tab
3x1 bungkus
- Cravit ¼ tab
- Triamsinolon ¼ tab
- Inhalasi Ventolin ½+ NaCl 0,9%/8 jam

Pada hasil pemeriksaan rontgen toraks ditemukan adanya bronkopneumonia


dextra.
Hasil follow up hari ke-4 pada tanggal 15 April 2019 terdapat pada tabel
berikut:

8
15 April 2019
S - Demam menurun
- Kejang (-)
- Sesak (-)
- Mual (-)
O - Suhu: 36,8℃
- Nadi: 80 kali/menit
- Frekuensi nafas: 20 kali/menit

Pemeriksaan Fisik:
- Mata: Conjunctiva Anemis -/-
- Hidung: nasal discharge -/-
- Mulut: lembab, faring hiperemis (+)
- Dada: normal simetris
- Paru: vesicular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
- Abdomen: bising usus (+) normal, nyeri tekan (-)
- Anggota gerak: akral hangat, turgor baik, CRT <2 sec

Pemeriksaan Penunjang:
H2TL 14 April 2019
- Hemoglobin: 11,1 g/dl
- Leukosit 4.100/µl
- Hematokrit: 34%
- Trombosit: 417.000/µl
A Kejang demam kompleks
Sepsis
Bronkopneumonia
P - IVFD RL 18 tpm
- Paracetamol 4x1 cth
- Cefotaxime 3x500 mg drip

9
- Ambroxol 3x1 cth
- Salbutamol 0,6 mg
- Cetirizin ¼ tab
3x1 bungkus
- Cravit ¼ tab
- Triamsinolon ¼ tab
- Inhalasi Ventolin ½ + NaCl 0,9%/8 jam

Pada tanggal 15 April 2019, pasien dibolehkan pulang oleh dokter dengan
rencana kontrol di poli anak tanggal 18 April 2019. Pada saat kontrol di poli anak
tanggal 18 April 2019, pasien dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan EEG.

Pembahasan
Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien anak laki-laki berusia 2 tahun.
Kejang demam terjadi pada anak berusia 6 bulan sampai 5 tahun. Keluhan yang
ditemukan pada pasien An. RF, yaitu demam, batuk, pilek, dan pasien mengalami
kejang +1 menit, tonik klonik dan berulang dalam waktu 24 jam. Berdasarkan
sumber pada bagian sebelumnya, kejang demam yang dialami oleh pasien adalah
kejang demam kompleks karena adanya kejang berulang dalam waktu 24 jam. Ibu
pasien mengatakan bahwa suhu pasien yang terukur saat kejang adalah 38,5℃ di
mana kejang demam terjadi apabila terdapat kenaikan suhu tubuh di atas 38℃ yang
diukur dengan metode pengukuran suhu apa pun. Ibu pasien juga mengatakan
bahwa An. RF mengalami kejang berulang dalam sehari di mana dikatakan dari
sumber pada bagian sebelumnya bahwa salah satu faktor risiko berulangnya kejang
demam adalah suhu tubuh kurang dari 39℃ saat kejang. Pada pemeriksaan fisik
pasien ditemukan adanya bunyi rhonki di kedua lapang paru pasien. Pada perawatan
hari pertama ditemukanya adanya penurunan hemoglobin, leukositosis dan
penurunan hematokrit. Selama terjadi infeksi akan terjadi mekanisme yang
membuat peningkatan jumlah leukosit untuk penanggulangan infeksi. Maka dari itu
peningkatan jumlah leukosit menjadi salah satu indikasi terjadinya infeksi. Pada
hasil pemeriksaan rontgen toraks ditemukan adanya bronkopneumonia dextra.

10
Terjadinya kejang demam pada pasien diduga karena adanya infeksi pada paru-paru
pasien, bukan karena infeksi intrakranial.
Penanganan pertama yang diberikan kepada pasien ketika pasien mengalami
kejang demam saat di Rumah Sakit Bhayangkara TK. I R. Sukanto adalah diazepam
5 mg per rektal. Penanganan pertama yang diberikan pada pasien kejang demam
adalah diazepam per rektal dengan dosis yang disesuaikan dengan berat badan
pasien. Pemberian diazepam dihentikan karena pasien sudah tidak kejang. Setelah
itu diberikan obat untuk mengobati gejala infeksinya.
Pada kejang demam kompleks, pemeriksaan difokuskan untuk mencari etiologi
demam. Semua kejang demam kompleks membutuhkan observasi lebih lanjut di
rumah sakit. EEG dan CT scan mungkin diperlukan.5

Simpulan
Kejang demam pada pasien merupakan kejang demam kompleks karena
adanya kejang berulang dalam 24 jam. Salah satu faktor risiko kejang demam
menjadi epilepsi di kemudian hari adalah kejang demam kompleks. Pada pasien
dilakukan pemeriksaan EEG untuk menentukan adanya fokus kejang di otak yang
membutuhkan evaluasi lebih lanjut. Prognosis kejang demam pada umumnya
sangat baik.

Daftar Pustaka
1. Sofyan Ismael, Hardiono D. Pusponegoro, Dwi Putro Widodo, Irawan
Mangunatmadja, Setyo Handryastuti. 2016. Rekomendasi Penatalaksanaan
Kejang Demam. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2. Fuadi, Tjipta Bahtera, Noor Wijayahadi. 2010. Faktor Risiko Bangkitan
Kejang Demam pada Anak. Sari Pediatri, 12(3): 142-149.
3. Daniela Laino, Elisabetta Mencaroni, Susanna Esposito. 2018. Management of
Pediatric Febrile Seizure. International Journal of Environmental Research
and Public Health.

11
4. Attila Dewanti, Joanne Angelica Widjaja, Anna Tjandrajani, Amril A Burhany.
2012. Kejang Demam dan Faktor yang Mempengaruhi Rekurensi. Sari
Pediatri, 14(1): 57-61.
5. Arief, Rifqi Fadly. 2015. Penatalaksanaan Kejang Demam. CMK-232, 42(9):
658-661.

12
Lampiran

Gambar 1. CDC Chart


𝐵𝐵 𝐵𝐵 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙 11 𝑘𝑔
(%) = × 100% = 13 𝑘𝑔 × 100% = 84,61% (gizi baik)
𝑈 𝐵𝐵 𝑖𝑑𝑒𝑎𝑙 𝑠𝑒𝑠𝑢𝑎𝑖 𝑢𝑚𝑢𝑟

13
𝑇𝐵 𝑇𝐵 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙 85 𝑘𝑔
(%) = × 100% = 87 𝑘𝑔 × 100% = 97,70% (gizi baik)
𝑈 𝑇𝐵 𝑖𝑑𝑒𝑎𝑙 𝑠𝑒𝑠𝑢𝑎𝑖 𝑢𝑚𝑢𝑟

𝐵𝐵 𝐵𝐵 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙 11 𝑘𝑔
(%) = × 100% = 12 𝑘𝑔 × 100% = 91,7% (gizi
𝑇𝐵 𝐵𝐵 𝑖𝑑𝑒𝑎𝑙 𝑠𝑒𝑠𝑢𝑎𝑖 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑇𝐵 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙

normal)

Gambar 2. Hasil pemeriksaan H2TL An. RF tanggal 12 April 2019

14
Gambar 3. Hasil pemeriksaan rontgen toraks 12 April 2019

15
Gambar 4. Kesan hasil pemeriksaan rontgen toraks

16

Anda mungkin juga menyukai