Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Teori

2.1.1 Definisi Ruptur Uteri

Ruptur Uteri adalah robekan atau diskontinuita dinding rahim akibat


dilampauinya daya regang miomentrium. Ruptur uteri adalah robeknya
dinding uterus pada saat kehamilan atau dalam persalinan dengan atau tanpa
robeknya perioneum visceral. Uterus yang ruptur dapat langsung terhubung
dengan rongga peritoneum (komplet) atau mungkin di pisahkan darinya oleh
peritoneum viseralis yang menutupi uterus atau oleh ligamentum latum
(inkomplet).
Kita perlu membedakan antara ruptur terlepasnya jaringan parut
seksio sesarea. Ruptur mengacu pada pemisahan insisi uterus lama di
seluruh panjangnya disertai ruptur selaput ketuban sehingga rongga uterus
dan rongga peritoneum dapat berhubungan. Dalam keadaan tersebut, seluruh
atau sebagian janin biasanya menonjol ke dalam rongga peritoneum. Selain
itu, dari tepi jaringan parut atau dari perluasan ke bagian uterus yang
sebelumnya normal, terjadi perdarahan bermakna. Sebaliknya, pada
dehiscene, selaput ketuban tidak mengalami ruptur dan janin tidak menonjol
ke dalam rongga peritoneum. Biasanya, terlepasnya uterus tidak mengenai
seluruh jaringan parut uterus, peritoneum diatasnya utuh, dan perdarahan
tidak ada atau minimal.
2.1.2 Etiologi

Trauma dan persalinan berlangsung spontan, tidak akan terus


berkontraksi Ruptur uteri dapat terjadi sebagai akibat cedera atau anomali
yang sudah ada sebelumnya, atau dapat menjadi komplikasi dalam
persalinan dengan uterus yang sebelumnya tanpa parut. Akhir-akhir ini,
penyebab ruptur uteri yang paling sering adalah terpisahnya jaringan parut
akibat seksio sesarea sebelumnya dan peristiwa ini kemungkinan semakin
sering terjadi bersamaan dengan timbulnya kecenderungan untuk
memperbolehkan partus percobaan pada persalinan dengan riwayat seksio
sesarea.
Faktor predisposisi lainnya yang sering ditemukan pada ruptur uteri
adalah riwayat operasi atau manipulasi yang mengakibatkan trauma seperti
kuretase atau perforasi. Stimulasi uterus secara berlebihan atau kurang tepat
dengan oksitosin, yaitu suatu penyebab yang sebelumnya lazim ditemukan,
tampak semakin berkurang. Umumnya, uterus yang sebelumnya tidak
pernah mengalami dengan kuat sehingga merusak dirinya sendiri.
1) Ruptur uteri spontan
Terjadi lebih sering para multipara (terutama pada grandemultipara)
dari pada primi para. Mungkin disebabkan dinding rahim pada
nulipara sudah lemah. Rupture juga sering terjadi pada orang yang
berumur. Penyebab yang penting ialah panggul sempit, letak lintang
hidrosefal, tumor yang menghalangi jalan lahir, dan presentasi dahi
atau muka. Rupture spontan biasanya terjadi dalam kala pengeluaran,
tetapi ada kalanya sudah terjadi dlam kehamila, misalnya pada
hidrosefal atau jika dinding rahim lemah rupture bisa terjadi karena
kuretase, sepsis pasca persalinan atau pasca abortus, atau pelepasan
plasenta secara manual.
2) Rupture uteri traumatika
Faktor trauma pada uterus meliputi kecelakaan dan tindakan.
Kecelakaan sebagai faktor trauma pada uterus berarti tidak
berhubungan dengan proses kehamilan dan persalinan misalnya
trauma pada abdomen. Tindakan berarti berhubungan dengan proses
kehamilan dan persalinan misalnya versi ekstraksi, ekstraksi forcep,
alat-alat embriotomi, manual plasenta, dan ekspresi atau dorongan
3) Ruptur uteri jaringan parut
Ruptur uteri demikian ini terdapat paling sering pada parut bekas
seksio sesarea, peristiwa ini jarang timbul pada uterus yang telah
dioperasi untuk mengangkat mioma (miomektomi) dan lebih jarang
lagi pada uterus dengan parut karena kerokan yang terlampau dalam.
Di antara parut-parut bekas seksio sesarea, parut yang terjadi sesudah
seksio sesarea klasik lebih sering menimbulkan ruptur uteri daripada
parut bekas seksio sesarea profunda. Perbandingannya ialah 4:1. Hal
ini disebabkan oleh karena luka pada segmen bawah uterus yang
menyerupai daerah uterus yang lebih tenang dalam masa nifas dapat
sembuh dengan lebih baik, sehingga parut lebih kuat. Ruptur uteri
pada bekas seksio bisa menimbulkan gejala-gejala seperti telah
diuraikan lebih dahulu, akan tetapi bisa juga terjadi tanpa banyak
menimbulkan gejala. Dalam hal yang terakhir ini tidak terjadi
robekan secara mendadak, melainkan lambat laun jaringan disekitar
bekas luka menipis untuk akhirnya terpisah sama sekali dan
terjadilah ruptur uteri. Disini biasanya peritoneum tidak ikut serta,
sehingga terdapat ruptur uteri inkompleta.
Pada peristiwa ini ada kemungkinan arteria besar terbuka dan timbul
perdarahan yang untuk sebagian berkumpul di ligamentum latum dan
untuk sebagian keluar. Biasanya janin masih tinggal dalam uterus
dan his kadang-kadang masih ada. Sementara itu penderita merasa
nyeri spontan atau nyeri pada perabaan tempat bekas luka. Jika
arteria besar luka, gejala-gejala perdarahan dengan anemia dan syok,
janin dalam uterus meninggal pula.
2.1.3 Faktor Risiko

1) Ruptur jaringan parut setelah seksio sesarea (insisi segmen bawah


dan segmen atas), histerotomi, miomektomi, jahitan rupture
sebelumnya. Dehisens pada jaringan parut merupakan kondisi yang
paling sering menyebabkan rupture.
2) Ruptur spontan terjadi akibat konstraksi uteri yang kuat. Ruptur
spontan ini kadang berhubungan dengan penggunaan oksitosin,
terutama pada wanita multipara atau persalinan macet.
3) Ruptur traumatis akibat penggunaan instrument, mis., pelahiran
dengan forsep rotasional yang tinggi, atau dari manipulasi (mis.,
versi podalik internal dan ekstraksi bokong pada kembar kedua), jika
terdapat jaringan parut sebelumnya.
4) Trauma dapat terjadi akibat kecelakaan.

2.1.4 Jenis

1) Tak Komplet

Kedalaman miometrium mungkin robek. Perimetrium tetap utuh dan


miometrium eksternal mungkin robek tetapi laserasi tidak meluas ke
badan uterus. Hal tersebut dapat menyebabkan hemoragi
intraperitoneal.

2) Komplet

Mengenai semua lapisan uterus. Terdapat hubungan langsung antara


anggota uteri dan abdomen dan janin mungkin dikeluarkan dari ut
erus ke rongga abdomen.
2.1.5 Patofisiologi

Pada umumnya uterus dibagi atas 2 bagian besar corpus uteri dans
servik uteri. Batas keduanya disebut ishmus uteri pada rahim yang tidak
hamil. Bila kehamilan sudah kira-kira kurang lebih dari 20 minggu,
dimana ukuran janin sudah lebih besar dari ukuran kavum uteri, maka
mulailan terbentuk SBR ishmus ini. Batas antara korpus yang kontraktil dan
SBR yang pasif disebut lingkaran dari bandl. Lingkaran bandl ini dianggap
fisiologi bila terdapat pada 2 sampai 3 jari diatas simpisis, bila meninggi,
kita harus waspada terhadap kemungkinan adanya rupture uteri mengancam
(RUM). Rupture uteri terutama disebabkan oleh peregangna yang luar biasa
dari uterus. Sedangkan uterus yang sudah cacat, mudah dimengerti, karena
adanya lokus minoris resisten. Pada waktu inpartu, korpus uteri mengadakan
kontraksi sedang SBR tetap pasif dan servik menjadi lunak (efacement dan
pembukaan). Bila oleh sesuatu sebab partus tidak dapat maju (obstruksi),
sedang korpus uteri berkontraksi terus dengan hebatnya (his kuat) maka
SBR yang pasif ini akan tertarik keatas, menjadi bertambah reggang dan
tipis. Lingkaran bandl ikut meninggi, sehingga sewaktu-waktu terjadi
robekan pada SBR tadi. Dalam hal terjadinya rupture uteri jangan dilupakan
peranan dari anchoring apparrtus untuk memfiksir uterus yaitu ligamentum
rotunda, ligamentum sacro uterina dan jaringan parametra.
2.1.6 Klasifikasi

1) Menurut waktu terjadinya:

 Ruptura uteri gravidarum


Terjadi waktu sedang hamil, sering berlokasi pada korpus.
 Ruptura uteri durante partum
Terjadi waktu melahirkan anak, lokasinya sering pada SBR. Jenis
inilah yang terbanyak.
2) Menurut lokasinya:
 Korpus uteri
Biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami
operasi, seperti seksio sesaria klasik (korporal) atau
miomektomi.
 Segmen bawah rahim (SBR)
Biasanya terjadi pada partus yang sulit dan lama (tidak maju). SBR tambah lama
tambah regang dan tipis dan akhirnya terjadilah ruptura uteri.
1. Serviks uteri
Biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsep atau versi dan
ekstraksi, sedang pembukaan belum lengkap.
2. Kolpoporeksis-kolporeksis
Robekan-robekan di antara serviks dan vagina.
Menurut robekanya peritoneum:
1. Kompleta
Robekan pada dinding uterus berikut peritoneumnya (perimetrium), sehingga
terdapat hubungan langsung antara rongga perut dan rongga uterus, dengan
bahaya peritonitis.
2. Inkompleta
Robekan otot rahim tetapi peritoneum tidak ikut robek. Perdarahan terjadi
subperitoneal dan bisa meluas sampai ke ligamentum latum.
Menurut etiologinya:
1. Ruptura uteri spontanea
Menurut etiologi dapat dibagi 2:
1) Karena dinding rahim yang lemah dan cacat, misalnya pada bekas seksio
sesarea, miomektomi, perforasi waktu kuretase, histerorafia, pelepasan
plasenta secara manual. Dapat juga pada graviditas pada kornu yang
rudimenter dan gravidatas interstitialis, kelainan kongenital dari uterus,
seperti hipoplasi uteri dan uterus bikornus, penyakit pada rahim, misalnya
mola destruens, adenominis dan lain-lain, atau pada gemeli dan hidramnion,
dimana dinding rahim tipis dan regang.
2) Karena peregangan yang luar biasa dari rahim, misalnya pada panggul
sempit atau kelainan bentuk panggul, janin besar seperti janin pesien D.M,
hidrops fetalis, postmaturitas dan grandemultipara. Juga dapat karena
kelainan konginetal dari janin: hidrosefalus, monstrum, torakofagus,
ansefalus dan shoulder dystocia; kelainan letak janin: letak lintang dan
presentasi rangkap; atau malposisi dari kepala: letak defleksi, letak tulang
ubun-ubun dan putar paksi salah. Selain itu karena adanya tumor pada jalan
lahir; rigrid cervix: conglumeratio cervicis, hanging cervix; retrofleksia uteri
gravida dengan sakulasi; grandemultipara dengan perut gantung (pendulum);
atau juga pimpinan partus yang salah.
2. Ruptura uteri violenta (traumatika), karena tindakan dan lain seperti:
1) Ekstraksi forsep
2) Versi dan ekstraksi
3) Embriotomi
4) Versi Braxton Hicks
5) Sindroma tolakan (pushing syndrome)
6) Manual plasenta
7) Kuretase
8) Ekspressi Kristeller atau Crede
9) Pemberian pitosin tanpa indikasi dan pengawasan
10) Trauma tumpul dan tajam dari luar.
Menurut gejala klinis:
1. Ruptura uteri imminens (membakat = mengancam); penting untuk diketahui.
2. Ruptura uteri (sebenarnya).

2.1.7 Diagnosis

Terlebih dahulu, dan ini yang penting, adalah mengenal betul gejala dari
ruptur uteri mengancam sebab dalam hal ini kita dapat bertindak secepatnya
supaya tidak terjadi ruptura uteri yang sebenarnya.

2.1.8 Penatalaksanaan

Tindakan pertama adalah mengatasi syok, memperbaiki keadaan umum


penderita dengan pemberian infus cairan dan transfusi darah, kardiotonika,
antibiotika, dan sebagainya. Bila keadaan umum mulai baik, tindakan
selanjutnya adalah melakukan laparotomi dengan tindakan jenis operasi:
1) Histerektomi, baik total maupun subtotal
2) Histerorafia, yaitu tepi luka dieksidir lalu dijahit sebaik-baiknya
3) Konservatif, hanya dengan tamponade dan pemberian antibiotika
yang cukup.

Tindakan mana yang akan dipilih, tergantung pada beberapa faktor, antara
lain:

1) Keadaan umum penderita (syok dan sangat anemis)


2) Jenis ruptur, inkompleta, atau kompleta
3) Jenis luka robekan: jelek, terlalu lebar, sudah lama, pinggir tidak rata,
dan sudah banyak nekrosis
4) Tempat luka, apakah pada serviks, korpus , atau segmen bawah rahim
5) Perdarahan dari luka: sedikit atau banyak
6) Umur dan jumlah anak hidup
7) Kemampuan dan keterampilan penolong.

Di R.S. Pirngadi Medan, karena umumnya penderita adalah kiriman dari


luar dan telah terjadi ruptura uteri yang hebat dan berlangsung lama serta
telah terlantar tindakan umumnya adalah histerektomi totalis dan subtotal.
Hanya pada satu dua kasus yang dilakukan histerorafi dimana ruptura terjadi
di rumah sakit. Menurut Krishna Menon (India) melakukan histerorafi dapat
diterima bila disertai pemberian antibiotika spektrum luas yang tepat dan
adekuat.

2.1.9 Komplikasi

1) Gawat janin

2) Syok hipovolemik

Terjadi kerena perdarahan yang hebat dan pasien tidak segera


mendapat infus cairan kristaloid yang banyak untuk selanjutnya
dalam waktu cepat digantikan dengan tranfusi darah.

3) Sepsis

Infeksi berat umumnya terjadi pada pasien kiriman dimana ruptur


uteri telah terjadi sebelum tiba di Rumah Sakit dan telah mengalami
berbagai manipulasi termasuk periksa dalam yang berulang. Jika dalam
keadaan yang demikian pasien tidak segera memperoleh terapi antibiotika
yang sesuai, hampir pasti pasien akan menderita peritonitis yang luas dan
menjadi sepsis pasca bedah.

4. Kecacatan dan morbiditas.


a. Histerektomi merupakan cacat permanen, yang pada kasus belum
punya anak hidup akan meninggalkan sisa trauma psikologis yang
berat dan mendalam.
b. Kematian maternal /perinatal yang menimpa sebuah keluarga
merupakan komplikasi sosial yang sulit mengatasinya.

2.1.10 Prognosis

Ruptura merupakan peristiwa yang sangat gawat bagi dan lebih-lebih


bagi anak, keadaan ini masih banyak dijumpai di negara-negara
berkembang.
Prognosa ibu tergantung dari beberapa faktor:
1) Diagnosa serta pertolongan yang cepat dan tepat
2) Keadaan umum penderita
3) Jenis ruptura dan apakah arteri uterina ikut putus
4) Cara terjadinya ruptur: ruptur uteri pada bekas parut lebih baik dari
yang traumatika.
5) Fasilitas tempat pertolongan, penyediaan cairan dan darah yang
cukup.
6) Keterampilan operator dan jenis anestesi

Angka kematian maternal karena ruptura uteri masih tinggi. Dari laporan
beberapa rumah sakit besar di Indonesia berkisar antara 30-50%. Sebab
kematian terutama karena perdarahan, infeksi (peritonitis, ileus paralitik),
trauma anestesi, dan syok postoperatif. Prognosa bagi janin lebih buruk lagi,
angka kematian anak sangat tinggi: Eastman 81,8%, Toha (Surabaya)
hampir 100% dan R.S. Pirngadi Medan 89-100%.

2.1.11 Gambar Kasus


BAB II

MANAJEMEN KEBIDANAN

PADA PASIEN DENGAN RUPTUR UTERI

I. PENGKAJIAN
Tanggal................jam...........
Tempat......
Pemeriksa......
a. Data Subyektif
1. Biodata
Diyatakan untuk mengetahui nama, alamat, umur, pekerjaan, pendidikan,agama
2. Keluhan Utama
Untuk mengetahui keluhan ibu saat datang, yang biasanya dirasakan oleh
ibu dengan ruptur uteri adalah:
 Ibu mengeluh seperti ada sesuatu yang putus di bagian bawah,
 Nyeri abdomen dapat tiba-tiba , tajam dan seperti disayat pisau.
 Apabila terjadi ruptur sewaktu persalinan, kontraksi uterus yang
intermiten, kuat dapat berhenti tiba-tiba. Pasien mengeluh nyeri uterus
yang menetap.
 Perdarahan per vaginam simptomatik karena perdarahan aktif dari
pembuluh darah yang robek.
 Nyeri bahu dapat berkaitan dengan perdarahan intraperitoneum.
3. Riwayat Kesehatan Yang Lalu
Perlu ditanyakan apakah Ibu pernah menderita penyakit yang mungkin
kambuh saat persalinan dan berpengaruh pada persalinannya.
Diabetes Melitus : diabetes mellitus menyebabkan makrosomia janin.
Akibatnya uterus terlalu teregang yang bisa
menyebabkan terjadinya ruptur ueri
Anemia : potensial menyebabkan HPP karena atonia uteri.
Mioma : berpotensial terjadi Ruptur uteri sikatrik, yaitu
ruptur uteri spontan yang terjadi pada bekas
sikatrik dinding uterus akibat operasi dinding
uterus.

Gemeli : apakah ibu memiliki riwayat kembar baik dari si

ibu sendiri ataupun dari suami. Karena kehamilan

kembar bisa juga menyebabkan ruptur uteri akibat

uterus terlalu diregang.

4. Riwayat Kehamilan Persalinan Dan Nifas Yang Lalu


a. Riwayat kehamilan yang Lalu
Ditanyak apakah kehamilan yang terdahulu pernah mengalami abortus yang
sampai dilakukan kuretase atau pernah mengalami trauma tajam ataupun
tumpul di daerah perut. Hal ini ditanyakan karena kurretase dan trauma di
daerah perut merupakan faktor predisposisi dari ruptur uteri.
b. Riwayat Persalinan yang Lalu
Ditanyakan apakah dulu persalian normal atau menggunakan alat
atau dengan operasi. Hal ini ditanyakan karena mungkin bisa terjadi
ruptur uteri akibat luka bekas operasi SC
5. Riwayat Kehamilan Sekarang
Ditanyakan ini kehamilan yang keberapa. Grandemultipara bisa menyebabkan
terjadinya ruptur uteri karena uterus yang sudah berkali-kali diregang akibat
kehamilan.

6. Riwayat persalinan Sekarang


Ditanya apakah sebelum ke bidan ibu ini melahirkan ke dukun. Karena ruptur
uteri biasanya terjadi akibat adanya dorongan atau intervensi yang tidak perlu
yang dilakukaan oleh dukun.
b. Data obyektif
1. Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : baik atau cukup. Pada kasusu ruptur uteri biasanya
pasien mengalami syok, tampak sakit dan
dehidrasi
Kesadaran : komposmentis, somnolen, apatis atau koma.
Nadi : normalnya 80 – 100x/menit. Pada kasus ruptur
uteri pasien mengalami takikardia (Nadi lebih dari
100x/mnt) yang merupakan indikasi kehilangan
darah akut, perdarahan ekstra dan intraabdomen.
Tekanan darah : normalnya 90/60 – 130/90 mmHg. Pada kasus
ruptur uteri pasien mengalami hipotensi (Tekanan
darah kurang dari 90/60mmHg) yang merupakan
indikasi kehilangan darah akut, perdarahan ekstra
dan intraabdominal
Pernafasan : normalnya 18 – 24x/menit. Pada pasien ruptur
uteri pernapasan menjadi cepat dan dangkal.
Pernafasan 24x/menit, indikasi bahwa pasien
mengalami syok.
Suhu : 36,5 – 370C. Pada kasus ruptur uteri suhu di bawah
36,50C, indikasi bahwa pasien menglami syok.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Mata : konjungtiva merah muda atau pucat. Pada kasus
ruptur uteri biasanya kinjungtiva berwarna pucat
Muka : apakah terdapat oedema pada muka, apakah muka
pucat. Pada kasus ruptur uteri biasanya muka
pasien pucat akibat kehilangan banyak darah.
Mulut : apakah mulut lembab, apakah kering. Pada kasus
ruptur uteri mulut pasien kering menandakan
adanya dehidrasi.
Abdomen : apakah terlihat lingkaran Bandle yang
mengindikasi adanya tanda dari ruptur uteri.
Genetalia : Keluar perdarahan pervaginam yang biasanya tak
begitu banyak, lebih-lebih kalau bagian terdepan
atau kepala sudah jauh turun, dan menyumbat jalan
lahir.
b. Palpasi
Abdomen : Teraba krepitasi pada kulit perut yang
menandakan adanya emfisema subkutan.
Bila kepala janin belum turun, akan mudah
dilepaskan dari pintu atas panggul.
Bila janin sudah keluar dari kavum uteri, jadi
berada di rongga perut maka teraba bagian-bagian
janin langsung di bawah kulit perut, dan di
sampingnya kadang-kadang teraba uterus sebagai
suatu bola keras sebesar kelapa.
Nyeri tekan pada perut, terutama pada tempat
yang robek.
c. Auskultasi
DJJ : normalnya 120 – 160 x/menit. Biasanya denyut
jantung janin sulit atau tidak terdengar lagi
beberapa menit setelah ruptura, apalagi kalau
plasenta juga ikut terlepas dan masuk ke rongga
perut.

II. Identifikasi Diagnosa dan Masalah


Diagnosa Aktual : G.....P.....Ab..... UK.... dengan Ruptur Uteri
Masalah Aktual : 1. Nyeri akibat luka bekas ruptur uteri.
2. Gangguan mobilisasi akibat ruptur uteri
Diagnosa Potensial : 1. Asfiksia pada janin
2. IUFD
3. Infertil
4. Sepsis
Masalah Potensial : 1. Trauma psikologis akibat kejadian ruptur uteri
2. Kecemasan tidak punya anak lagi, terlebih jika dilakukan
histerektomi.

III. IDENTIFIKASI TINDAKAN SEGERA

Kebutuhan segera: 1. Bebaskan jalan nafas dengan A-B-C

2. Pasang infus RL
3. Persiapan Rujukan

IV. INTERVENSI
a. Mandiri
1. Pemantauan pemberian oksigen
R : diberikan oksigen sebanyak 3lt/mnt. Agar suplai oksigen ke otak kembali
tercukupi.
E : TTV ibu dalam batas normal serta Ibu dapat diselamatkan.

2. Pemantauan tetesan infus RL


R : diberikan cairan infus RL 2 flash dalam 15 menit jika masih syok diberikan
sampai Tekanan Darah naik. Mengapa diberikan cairan RL karena RL
merupakan larutan isotonis yang paling mirip dengan cairan ekstraseluler. RL
dapat diberikan dengan aman dalam jumlah besar kepada pasien dengan kondisi
seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik, kombustio, dan sindroma syok.
E : TTV ibu dalam batas normal dan ibu dapat diselamatkan
3. Jelaskan hasil pemeriksaan kepada ibu atau keluarga
R : hasil pemeriksaan yang dijelaskan kepada ibu dan keluarga mengenai kondisi
ibu saat ini. Tujuannya agar ibu dan keluarga lebih mengerti kondisinya saat ini
dan agar ibu lebih kooperatif.
E : ibu dan keluarga mengerti keadaannya saat ini.
4. Berikan Informed consent dan Informed choice
R : untuk memberikan kebebasan kepada pasien dalam memilih tindakan yang
akan di berikan serta melindungi bidan dari gugatan pasien.
E : Ibu bersedia menandatangani Informed consent, setuju dan mendukung
tindakan bidan serta tidak akan mengugat bidan jika terjadi keadaan yang tidak
diinginkan.
5. Kateterisasi
R : dilakukan untuk mengetahui apakah ada hematuri yang menandakan adanya
robekan pada kandung kemih.
E : telah dilakukan kateterisasi dengan hasil hematuri +/-
b. Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan dokter untuk melakukan tes golongan Rhesus
R : dipersiapkan jika ibu membutuhkan tranfusi darah karena rhesus yang
berdeda menyebabkan aglutinasi pada darah.
E : telah dilakukakan pemeriksaan Rhesus dengan hasil +/-
2. Kolaborasi dengan dokter untuk tranfusi darah dan pemberian antibiotika
R : Tranfusi darah dan pemasangan infus dapat menggantikan cairan yang hilang
sehingga syok dapat diatasi. Sedangkan pemberian antibiotika dimaksudkan
untuk mengobati jika terjadi infeksi.
E : telah dilakukan tranfusi darah sebanyak 2 kantong sesuai dengan golongan
darah dan Rhesus ibu. Serta telah diberikan antibiotik sesuai dengan anjuran
dokter.
c. Rujukan
1. Laparotomi
R : laparotomi adalah tindakan yang terbaik. Janin dikeluarkan lebih dahulu
dengan atau tanpa pembukaan uterus (hal yang terakhir ini jika janin sudah tidak
di dalam uterus lagi), kemudian dilakukan histerektomi.
2. Histerektomi supravaginal
R : histerektomi supravaginal lebih mudah dilakukan dan waktu yang diperlukan
lebih pendek.
3. Histerektomi total
V. IMPLEMENTASI

1.    Kekurangan volume cairan b/d perdarahan pervaginam


Tujuan : Mencegah disfungsional bleeding dan memperbaiki volume cairan
Rencana tindakan :
a. Tidurkan pasien dengan posisi kaki lebih tinggi sedangkan badannya tetap terlentang
R/ Dengan kaki lebih tinggi akan meningkatkan venous return dan memungkinkan
darah keotak dan organ lain. Monitor tanda vital
R/ Perubahan tanda vital terjadi bila perdarahan semakin hebat
a. Monitor intake dan output setiap 5-10 menit
R/ Perubahan output merupakan tanda adanya gangguan fungsi ginjal
b.    Evaluasi kandung kencing
R/ Kandung kencing yang penuh menghalangi kontraksi uterus
e.   Lakukan masage uterus dengan satu tangan serta tangan lainnya diletakan diatas
simpisis.
R/ Massage uterus merangsang kontraksi uterus dan membantu pelepasan placenta,
satu tangan diatas simpisis mencegah terjadinya inversio uteri
f. Batasi pemeriksaan vagina dan rectum
R/ Trauma yang terjadi pada daerah vagina serta rektum meningkatkan terjadinya
perdarahan yang lebih hebat, bila terjadi laserasi pada serviks / perineum atau
terdapat hematom
Bila tekanan darah semakin turun, denyut nadi makin lemah, kecil dan cepat, pasien merasa
mengantuk, perdarahan semakin hebat, segera kolaborasi.
g. Berikan infus atau cairan intravena
R/ Cairan intravena dapat meningkatkan volume intravaskular
h.  Berikan uterotonika ( bila perdarahan karena atonia uteri )
R/ Uterotonika merangsang kontraksi uterus dan mengontrol perdarahan
i.    Berikan antibiotic
R/ Antibiotik mencegah infeksi yang mungkin terjadi karena perdarahan
j. Berikan transfusi whole blood ( bila perlu )
R/ Whole blood membantu menormalkan volume cairan tubuh.

2. Gangguan perfusi jaringan b/d perdarahan pervaginam


Tujuan: Tanda vital dan gas darah dalam batas normal
a.     Monitor tanda vital tiap 5-10 menit
R/ Perubahan perfusi jaringan menimbulkan perubahan pada tanda vital
b.    Catat perubahan warna kuku, mukosa bibir, gusi dan lidah, suhu kulit
R/ Dengan vasokontriksi dan hubungan keorgan vital, sirkulasi di jaingan perifer
berkurang sehingga menimbulkan cyanosis dan suhu kulit yang dingin
c.       Kaji ada / tidak adanya produksi ASI
R/ Perfusi yang jelek menghambat produksi prolaktin dimana diperlukan dalam
produksi ASI
d.      Tindakan kolaborasi :
      Monitor kadar gas darah dan PH ( perubahan kadar gas darah dan PH
merupakan tanda hipoksia jaringan )
      Berikan terapi oksigen ( Oksigen diperlukan untuk memaksimalkan transportasi
sirkulasi jaringan ).

3. Cemas/ketakutan berhubungan dengan perubahan keadaan atau ancaman


kematian
Tujuan : Klien dapat mengungkapkan secara verbal rasa cemasnya dan mengatakan
perasaan cemas berkurang atau hilang.
Rencana tindakan :
a. Kaji respon psikologis klien terhadap perdarahan paska persalinan
R/ Persepsi klien mempengaruhi intensitas cemasnya
b. Kaji respon fisiologis klien ( takikardia, takipnea, gemetar )
R/ Perubahan tanda vital menimbulkan perubahan pada respon fisiologisc.
Perlakukan pasien secara kalem, empati, serta sikap mendukung
R/ Memberikan dukungan emosi
d. Berikan informasi tentang perawatan dan pengobatan
R/ Informasi yang akurat dapat mengurangi cemas dan takut yang tidakdiketahui
e.  Bantu klien mengidentifikasi rasa cemasnya
R/ Ungkapan perasaan dapat mengurangi cemas
f.   Kaji mekanisme koping yang digunakan klien
R/ Cemas yang berkepanjangan dapat dicegah dengan mekanisme koping yang tepat.

4. Resiko infeksi sehubungan dengan perdarahan


Tujuan : Tidak terjadi infeksi (lokea tidak berbau dan TV dalam batas normal)
Rencana tindakan :
a.     Catat perubahan tanda vital
R/ Perubahan tanda vital ( suhu ) merupakan indikasi terjadinya infeksi
b.  Catat adanya tanda lemas, kedinginan, anoreksia, kontraksi uterus yang lembek, dan
nyeri panggul
R/ Tanda-tanda tersebut merupakan indikasi terjadinya bakterimia, shock yang tidak
terdeteksi
c.     Monitor involusi uterus dan pengeluaran lochea
R/ Infeksi uterus menghambat involusi dan terjadi pengeluaran lokea yang
berkepanjangan
d.   Perhatikan kemungkinan infeksi di tempat lain, misalnya infeksi saluran nafas, mastitis
dan saluran kencing
R/ Infeksi di tempat lain memperburuk keadaan
e. Berikan perawatan perineal,dan pertahankan agar pembalut
jangan sampai terlalu basah
R/ pembalut yang terlalu basah menyebabkan kulit iritasi dan
dapat menjadi media untuk pertumbuhan bakteri,peningkatan
resiko infeksi.
f.     Tindakan kolaborasi
• Berikan zat besi ( Anemi memperberat keadaan )
• Beri antibiotika ( Pemberian antibiotika yang tepat diperlukan untuk keadaan
infeksi ).

5. Resiko shock hipovolemik s/d perdarahan.


Tujuan: Tidak terjadi shock(tidak terjadi penurunan kesadaran
dan tanda-tanda dalam batas normal)
Rencana tindakan :
a.  Anjurkan pasien untuk banyak minum
R/ Peningkatan intake cairan dapat meningkatkan volume intravascular sehingga
dapat meningkatkan volume intravascular yang dapat meningkatkan perfusi jaringan.
b. Observasitanda-tandavital tiap 4 jam.
R/ Perubahan tanda-tanda vital dapat merupakan indikator terjadinya dehidrasi
secara dini.
c. Observasi terhadap tanda-tanda dehidrasi.
R/ Dehidrasi merupakan terjadinya shock bila dehidrasi tidak ditangani secara baik.
d. Observasi intake cairan dan output.
R/ Intake cairan yang adekuat dapat menyeimbangi pengeluaran cairan yang
berlebihan.
e. Kolaborasi dalam : - Pemberian cairan infus / transfusi
R/ Cairan intravena dapat meningkatkan volume intravaskular yang dapat
meningkatkan perfusi jaringan sehingga dapat mencegah terjadinya shock.
f. Pemberian koagulantia dan uterotonika.
R/ Koagulan membantu dalam proses pembekuan darah dan uterotonika merangsang
kontraksi uterus dan mengontrol perdarahan.

VI. EVALUASI
Semua tindakan yang dilakukan diharapkan memberikan hasil :
1. Tanda vital dalam batas normal :
a. Tekanan darah : 110/70-120/80 mmHg
b. Denyut nadi : 70-80 x/menit
c. Pernafasan : 20 – 24 x/menit
d. Suhu : 36 – 37 oc
2. Kadar Hb : Lebih atau sama dengan 10 g/dl
3. Gas darah dalam batas normal
4. Klien dan keluarganya mengekspresikan bahwa dia mengerti tentang komplikasi
dan pengobatan yang dilakukan
5. Klien dan keluarganya menunjukkan kemampuannya dalam mengungkapkan
perasaan psikologis dan emosinya
6. Klien dapat melakukan aktifitasnya sehari-hari
7. Klien tidak merasa nyeri
8. Klien dapat mengungkapkan secara verbal perasaan cemasnya

BAB III
TINJAUAN KASUS
DAFTAR PUSTAKA

AI rukiyah,yeyeh.dkk.2010. Asuhan kebidanan patologi kebidanan. Jakarta. TIM


Benson, Ralph dkk. 2009. Buku saku Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: EGC

Cunningham. 2009. Obstetri Williams Edisi 21. Jakarta : EGC

International Journal of Reproduction, Contraception, Obstetrics and Gynecology Kalewad


PS et al. Int J Reprod Contracept Obstet Gynecol. 2016 Sept;5(9):3098-3102
www.ijrcog.org

I Maryunani,Anik.dkk.2013. Asuhan kegawatdaruratan maternal dan neonatal. Jakarta :


TIM.
Manuaba. 2008. Gawat-Darurat Obstetri-Ginekologi dan Obstetri-Ginekologi Sosial untuk
Profesi Bidan. Jakarta: EGC
Prawirodihardjo, S . 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai