Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Penyakit sistemik lupus eritematasus (SLE) tampaknya terjadi akibat terganggunya
regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan auto antibodi yang berlebihan, limfadenopati
terjadi pada 50% dari seluruh pasien SLE pada waktu tertentu selama perjalanan penyakit
tersebut. Sistemik lupus eritematosus (SLE) merupakan salah satu penyakit autoimun yang
disebabkan oleh disregulasi sistim imunitas dan secara garis besar dipengaruhi oleh 3 faktor
yaitu endokrin-metabolik, lingkungan dan genetik.Gangguan renal juga terdapat pada sekitar
52% penderita SLE. Pada sebagian pasien, gangguan awal pada kulit dapat menjadi prekursor
untuk terjadinya gangguan yang bersifat lebih sistemik.

1.2. RUMUSAN MASALAH


1. Apa defenisi sistemik lupus eritmatasus?
2. Apa etiologi dari sistemik lupus eritmatasus?
3. Bagaimana patofisiologi sistemik lupus eritmatasus?
4. Apa saja manifestasi klinik sistemik lupus eritmatasus?
5. Bagaimana pemeriksaan diagnostik untuk sistemik lupus eritmatasus?
6. Bagaimana penatalaksanaan untuk sistemik lupus eritmatasus?
7. Bagaimana konsep keperawatan sistemik lupus eritmatasus?

1.3. TUJUAN
1. Untuk mengetahui defenisi sistemik lupus eritmatasus
2. Untuk mengetahui etiologi dari sistemik lupus eritmatasus
3. Untuk mengetahui  patofisiologi sistemik lupus eritmatasus
4. Untuk mengetahui  manifestasi klinik sistemik lupus eritmatasus
5. Untuk mengetahui  pemeriksaan diagnostik untuk sistemik lupus eritmatasus
6. Untuk mengetahui  penatalaksanaan untuk sistemik lupus eritmatasus
7. Untuk mengetahui  konsep keperawatan sistemik lupus eritmatasus

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Suatu penyakit autoimun jaringan ikat yang mengenai seluruh sistem tubuh dan
menimbulkan berbagai macam gejala yang bersifat kronis yang terjadi umumnya pada wanita
usia 15 sampai 40 tahun.
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multi sistem yang disebabkan oleh
banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi
sistem imun berupa peningkatan sistem  imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan   
(Albar, 2003).
Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein
intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003)
melalui mekanisme pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).

2.2 Penyebab
Tidak diketahui, walaupun efek genetic dapat dipicu oleh obat-obat tertentu seperti
prokainamid, hidralazin, isoniazid, metildopa, anti kejang dan beberapa antibiotik.
Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi
penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative)
yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi
daripada saudara kembar  non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak
gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA DR3, komponen
komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s,
C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar,
2003) .
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah
struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah
tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat
tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan
asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan
kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh.  Hal ini direspon sebagai benda asing

2
oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang
benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang
mengandung asam amino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B
sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente, 2002). Selain itu infeksi virus dan bakteri juga
menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan
antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan memicu terjadinya
SLE   (Herfindal et al., 2000).

2.3 Patofisiologi
Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B,
peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hipergamaglobulinemia, produksi
autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun (Mok dan Lau, 2003). Aktivasi sel T dan sel B
disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti bahan-
bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam
yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau
berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs
menjadi peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T akan
teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk membentuk
autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan
bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4  (Epstein, 1998).
Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel Th1 berfungsi
mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan membantu sel B
untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang
diproduksi oleh sel Th2 yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu cell-mediated
immunity.
Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya  produksi IL-2 dan
hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu meningkatkan
ekspresi sel T  (Mok dan Lau, 2003).
Abnormalitas dan disregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa gangguan
fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan
limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T. Peningkatan sel B yang teraktivasi

3
menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas self-
antigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun
(Silvia and Isenberg, 2001). Hal ini juga meningkatkan heat shock protein 90  (hsp 90) pada sel
B dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan akan
menyebabkan terjadinya respon imun. Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+
(supresor/sitotoksik) dan CD4+ (inducer/helper). SLE ditandai dengan peningkatan sel B
terutama berhubungan dengan  subset CD4+ dan CD45R+. CD4+ membantu menginduksi
terjadinya  supresi  dengan menyediakan signal bagi CD8+ (Isenberg and Horsfall, 1998).
Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut sehingga signal
yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B
yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T ini yang umum disebut double negative (CD4-
CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi (Mok and Lau, 2003). Ciri khas
autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu jaringan tertentu dan merupakan
komponen integral dari semua jenis sel sehingga menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ
secara luas (Albar, 2003) melalui 3 mekanisme yaitu pertama kompleks imun (misalnya DNA-
anti DNA) terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan komplemen yang menyebabkan
kerusakan jaringan. Kedua, autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang
terjebak di dalam jaringan, komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan.
Mekanisme yang terakhir adalah autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan
aktivasi komplemen yang berperan dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke dalam sel dan
berikatan dengan inti sel dan menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui
mekanismenya terhadap kerusakan jaringan (Epstein, 1998).
Cedera jaringan, inflamasi, dan mekrosis akibat infasi oleh kompleks imun pada :
1. System caardiovaskuler : Demam, penurunan berat badan, kelainan jantung
(perikarditis, miokarditis, endokarditis, aterosklerosis
dini), vaskulitis (khususnya pada jari-jari), kemungkinan
menyebkan lesi infark, ulkus tungkai nekrotik.

2. Kulit dan membrane mukosa : kemerahan;area kebotakan yang berbentuk bundar dan
Ulkus membrane mukosa yang tidak nyeri, lesi kulit
terutama bintik-bintik eritematosa pada area yang

4
terpancar cahaya(kemerahan kalsik yang berbentuk kupu-
kupu pada hidung dan pip yang timbul pada kurang dari
setengah jumlah keseluruhan pasien) kemerahan yang
berbentuk kapula dan bersisik.
3. System pulmonal :Mengenai pleura efusipleura, pneumonitis, hipertensi
pulmonal
4. Saraf :kejang,kebingungan.

2.4 Komplikasi pada kehamilan


Semua kehamilan dengan lupus diperlakukan sebagai resiko tinggi. Sekitar 75%
kehamilan mencapai masa kelahiran, walaupun 25% diantaranya prematur, 25% sisanya
mengalami keguguran. Resiko keguguran lebih tinggi pada wanita dengan antibodi
antifosfolipid, penyakit ginjal aktif  atau hipertensi, atau kombinasi lainnya. Selama kehamilan
antibodi antifosfolipid dapat melintasi plasenta dan menyebabkan trombositopenia pada janin,
namun biasanya bayi tetap dapat lahir dengan aman. Risiko bayi dengan lupus neonatus yang
lain, sekitar 3% kehamilan SLE,  dan biasanya membaik dalam 6 bulan. Jarang terjadi kelainan
jantung, namun hal ini dapat diobati. 
Pada suatu penelitian sekitar 6-15% wanita mengalami flare selama kehamilan. Sebagian
besar terjadi pada trimester pertama dan kedua, dan dua bulan setelah persalinan. Wanita yang
telah mengalami remisi selama 6 bulan beresiko rendah untuk mengalami flare. Terdapat
peningkatan resiko perdarahan setelah persalinan, yang diakibatkan baik oleh obat anti-SLE
maupun oleh SLE itu sendiri.  Preeklampsia terjadi pada 20% wanita hamil dengan SLE. 
Kehamilan dapat menyebabkan eksaserbasi SLE. Tinjauan pustaka terhadap aktivitas
penyakit dan mortalitas morbiditas wanita hamil dengan SLE menyimpulkan bahwa  terdapat
eksaserbasi aktivitas penyakit pada 50% kehamilan, yang terjadi selama kehamilan atau
pospartum.
Pasien dengan lupus nefritis yang ingin hamil, haruslah dipertimbangkan. Disamping
keadaan janin,  perlu pula dipertimbangkan terjadinya eksaserbasi dengan (mungkin permanen)
gejala ikutan berupa kerusakan organ (yang mungkin akan mempengaruhi keselamatan
maternal). Penelitian terbaru menyebutkan bahwa wanita hamil dengan lupus nefritis
berhubungan dengan meningkatnya kematian maternal dan nefritis eksaserbasi pospartum.

5
Hipertensi, proteinuria,  dan insufisiensi ginjal  yang baru terjadi pada wanita hamil
dengan lupus dapat  menggambarkan terjadinya lupus nefritis aktif atau pembentukan
preeklampsia. Membedakan antara  permulaan SLE dan preeklampsia adalah sulit.  Penelitian
Buyon dkk menemukan bahwa  kadar C4 lebih rendah pada kehamilan dengan preeklampsia
dibandingkan kehamilan normal, dan pada ibu dengan SLE mempunyai kadar C 3 dan C4 yang
lebih rendah secara nyata dibandingkan kehamilan normal. Menurunnya kadar C3 dan C4 pada
kehamilan dengan SLE menggambarkan terjadinya flare penyakit tersebut. Satu pasien dengan
SLE yang  mengalami preeklampsia tidak memiliki  perubahan pada kadar komplemennya.
Penemuan ini menyebutkan bahwa  pengujian terhadap kadar komplemen mungkin berguna
untuk membedakan kejadian preeklampsia dengan flare penyakit pada pasien SLE. Insiden
preeklampsia meningkat pada pasien SLE. 
Terdapat hubungan yang jelas antara lupus antikoagulan dengan antibodi antikardiolipin 
dengan vaskulopathy desidua, infark plasenta, pertumbuhan janin terhambat, preeklampsia dini,
dan kematian janin berulang. Pada wanita tersebut, seperti halnya penderita lupus, juga memiliki 
insiden tinggi terhadap trombosis arteri dan vena, serta hipertensi paru. (Khamashta dkk, 1997;
Silver dkk, 1994) 
Penelitian  secara histologi dan imunofluoresens terhadap 10 plasenta SLE oleh
Ambrousky menemukan adanya nekrosis desidua vaskulopathy pada 5 dari 10 plasenta yang
diteliti. Hanly dkk, meneliti 11 pasien SLE, dan menemukan  bahwa plasenta tersebut lebih kecil
dan lebih ringan  dibandingkan plasenta normal dan dengan ibu diabetes. Kurangnya berat
plasenta berhubungan dengan SLE aktif, lupus antikoagulan, trombositopenia dan
hipokomplemenemia, tapi tidak berhubungan dengan berkurangnya berat lahir. Infark plasenta,
seperti yang ditemukan pada pasien  dengan sindrom  antibodi fosfolipid, sangat jelas
berhubungan dengan  pertumbuhan janin mungkin menyebabkan kematian janin, tapi
prematuritas dan bayi kecil masa kehamilan (KMK) secara umum sering terjadi pada ibu SLE. 
Menurut Chamley (1997), trombosit  dapat dirusak langsung oleh antibodi antifosfolipid,
atau secara tidak langsung melalui ikatannya dengan b 2-glikoprotein I, yang menyebabkan 
trombosit mudah beragregasi. Menurut Rand dkk (1997a, 1997b, 1998) fosfolipid pada sel
endotel atau membran sinsitiotrofoblas mungkin dirusak secara langsung oleh antibodi
antifosfolipid atau secara tidak langsung melalui ikatannya dengan b2-glikoprotein I atau annexin
V. Hal ini mencegah sel membran  untuk melindungi sinsitiotrofoblas dan endotel sehingga 

6
membran basal terbuka.  Telah diketahui bahwa kerusakan trombosit  mengikuti  terbukanya
membran basal endotel dan sinsitiotrofoblas sehingga terjadi pembentukan trombus. Terdapat
mekanisme lain yang diajukan oleh Piero dkk (1999) yang melaporkan bahwa antibodi
antifosfolipid menurunkan produksi vasodilator prostaglandin E2 oleh desidua. Telah
digambarkan pula terjadinya penurunan aktivitas fibrinolitik akibat penghambatan prekalikrein
oleh lupus antikoagulan (Sanfelippo dan Dryna, 1981). Terdapat pula laporan lain mengenai
penurunan aktivitas protein C atau S  disertai sedikit peningkatan aktivitas prothrombin
(Ogunyemi dkk, 2001; Zangari dkk, 1997). Amengual dkk (1998) memberikan bukti bahwa
trombosis dengan sindrom antifosfolopid disebabkan oleh aktivasi jalur faktor jaringan.

Diantara komplikasi pada kehamilan:


1. Kematian janin
2. Hambatan pertumbuhan intra uteri
3. Pelahiran premature
4. Preeklampsi
5. Perburukan gangguan fungsi ginjal yang telah ada sebelumnya
6. Trombosit
7. Hipertensi pulmonal

2.5 Tanda dan gejala

Ada 11 ciri-ciri penyakit lupus (11 Kriteria Lupus / SLE). Jika seseorang memiliki minimal 4
dari gejala berikut, maka ia positif lupus ( lupus eritematosus sistemik ) :
1. Butterfly Rash – Ruam dengan gambaran seperti sayap kupu-kupu, yaitu mengenai kedua
pipi dengan hidung sebagai tengahnya (badan) penyebab penyakit lupus malar rash khas
pada penyakit lupus
2. Discoid Rash – Ruam yang cukup “klasik” berbentuk cakram tampak merah lebih jelas
dibagian tepi, dan biasanya timbul pada wajah, kulit kepala, dan leher. Ruam ini sering
meninggalkan bekas luka. Discoid Rash dapat berdiri sendiri pada penyakit lupus discoid.
3. Photosensitivity – Ruam-ruam diatas akan timbul atau semakin parah setelah terkena
sinar matahari

7
4. Oral ulcers – timbulnya sariawan terus menerus atau hilang timbul, baik di lidah ataupun
di bagian mana saja dari rongga mulut.
5. Arthritis (Radang sendi) – Perdangan pada sendi yang menimbulkan rasa nyeri,
memerah, bahkan sampai bengkak.
6. Serositis – Ini adalah suatu radang pada lapisan paru-paru dikenali sebagai Pleuritis
(Radang selaput paru), dan dapat juga mengenai lapisan jantung, dikenal sebagai
Pericarditis (peradangan pada selaput jantung) sehingga menimbulkan gejala nyeri dada
yang tajam terutama ketika batuk dan tarik napas dalam, terkadang juga bisa
menimbulkan nafas pendek.
7. Gangguan pada ginjal – Gangguan ginjal pada penyakit lupus ditandai dengan
ditemukannya Protein dalam air kencing (proteinuria) atau endapan (sediments) yang
ditemukan juga dalam urin (ini dapat dilihat di bawah mikroskop).
8. Gangguan neurologis dan Psychosis – lupus dapat mengganggu kerja otak dan sistem
saraf sehingga dapat menimbulkan sakit kepala, kebingungan, gangguan penglihatan
seperti halusinasi, bahkan kejang. – berlaku pada keadaan tidak adanya obat-obatan yang
diketahui menyebabkan keadaan ini-
9. Kelainan dalam Darah – Hemolytic Anemia (anemia karena pecahnya sel darah merah),
Low White Blood Cell counts (sel darah putih rendah) atau Low Platelet counts (platelet
atau trombosit rendah).
10. Immunologic Disorders – gangguan imunitas ditandai dengan sel LE Positif, Anti-DNA:
antibodi DNA asli dalam titer normal, Anti-Sm: kehadiran antibodi terhadap antigen
nuklir Sm, tes serologi positif palsu untuk sifilis diketahui positif selama minimal 6 bulan
dan dikonfirmasi oleh Treponema pallidum imobilisasi atau tes penyerapan antibodi
treponema fluoresen
11. Positif ANA (Antinuclear Antibodi) – Titer antibodi antinuklear abnormal dengan
imunofluoresensi atau uji setara pada setiap titik waktu.

8
2.6 Penatalaksanaan
a.Penatalaksanaan LES Secara Umum
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam
penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis. Hal ini dapat
dicapai dengan penyuluhan langsung kepada penderita atau dengan membentuk kelompok
penderita yang bertemu secara berkala untuk membicarakan masalah penyakitnya. Pada
umumnya, penderita LES mengalami fotosensitifitas sehingga penderita harus selalu diingatkan
untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar matahari. Selain itu, penderita LES juga harus
menghindari rokok.
Karena infeksi sering terjadi pada penderita LES, penderita harus selalu diingatkan bila
mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada penderita yang memperoleh
kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat sitotoksik, penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup
jantung, ulkus di kulit dan mukosa. Profilaksis antibiotika harus dipertimbangkan pada penderita
LES yang akan menjalani prosedur genitourinarius, cabut gigi dan prosedur invasif lainnya.1
Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita LES, terutama penderita dengan nefritis,
atau penderita yang mendapat obat-obat yang merupakan kontraindikasi untuk kehamilan,
misalnya antimalaria atau siklofosfamid. Kehamilan juga dapat mencetuskan eksaserbasi akut
LES dan memiliki risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu, pengawasan aktifitas penyakit
harus lebih ketat selama kehamilan.
Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah penderita
tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang agresif. Pada umumnya,
penderita LES yang tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan organ,
dapat diterapi secara konservatif. Bila penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-
organ mayor, maka dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis
tinggi dan imunosupresan lainnya

b. Mencegah dan mengatasi lupus eritematosus sistemik


1. Jangan merokok. Merokok meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan
dapat memperburuk efek lupus pada jantung dan pembuluh darah Anda

9
2. Makan makanan yang sehat. Diet sehat seperti buah-buahan, sayuran dan biji-
bijian. Kadang-kadang Anda harus membatasi makanan Anda, terutama jika
Anda memiliki tekanan darah tinggi, kerusakan ginjal atau masalah pencernaan

3. Berolahraga secara tatur. Latihan dapat membantu Anda pulih dari bintil merah,
mengurangi risiko serangan jantung, membantu melawan depresi dan
mempromosikan kesejahteraan umum

4. Hindarilah paparan sinar matahari. Karena sinar ultraviolet dapat memicu bintil
merah, mengenakan pakaian pelindung (seperti topi, baju lengan panjang dan
celana panjang) dan menggunakan tabir surya dengan faktor perlindungan
matahari (SPF) minimal 55 setiap kali Anda pergi ke luar

5. Istirahatlah yang cukup. Orang dengan lupus sering mengalami kelelahan


berkepanjangan yang berbeda dari kelelahan normal dan belum tentu hilang
dengan istirahat. Untuk itu, akan sulit untuk mengetahui apakah Anda perlu untuk
beristirahat atau tidak. Perbanyak istirahat di malam hari dan lakukan tidur siang
atau istirahat pada siang hari jika diperlukan

2.7 Tipe-tipe Lupus

1. Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus/SLE)


SLE dapat menyerang jaringan serta organ tubuh mana saja dengan tingkat gejala
yang ringan sampai parah. Gejala SLE juga dapat datang dengan tiba-tiba atau
berkembang secara perlahan-lahan dan dapat bertahan lama atau bersifat lebih
sementara sebelum akhirnya kambuh lagi.

Gejala-gejala ringan SLE, terutama rasa nyeri dan lelah berkepanjangan, dapat
menghambat rutinitas kehidupan. Karena itu para penderita SLE bisa merasa
tertekan, depresi, dan cemas meski hanya mengalami gejala ringan.

10
2. Lupus eritematosus diskoid (discoid lupus erythematosus/DLE)

Jenis lupus yang hanya menyerang kulit disebut lupus eritematosus diskoid
(discoid lupus erythematosus/DLE). Meski umumnya berdampak pada kulit saja,
jenis lupus ini juga dapat menyerang jaringan serta organ tubuh yang lain.

DLE biasanya dapat dikendalikan dengan menghindari paparan sinar matahari


langsung dan obat-obatan. Gejala DLE di antaranya:

 Rambut rontok.
 Pitak permanen.
 Ruam merah dan bulat seperti sisik pada kulit yang terkadang akan
menebal dan menjadi bekas luka.
3. Lupus akibat penggunaan obat
Efek samping obat pasti berbeda-beda pada tiap orang. Terdapat lebih dari 100
jenis obat yang dapat menyebabkan efek samping yang mirip dengan gejala lupus
pada orang-orang tertentu.

Gejala lupus akibat obat umumnya akan hilang jika Anda berhenti mengonsumsi
obat tersebut sehingga Anda tidak perlu menjalani pengobatan khusus. Tetapi
jangan lupa untuk selalu berkonsultasi kepada dokter sebelum Anda memutuskan
untuk berhenti mengonsumsi obat dengan resep dokter.

2.8 Gambar

11
BAB III

PENUTUP

3.1.KESIMPULAN
Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan salah satu penyakit autoimun yang
disebabkan oleh disregulasi sistim imunitas. SLE dapat menyerang berbagai sistem organ dan
keparahannya berkisar dari sangat ringan sampai berat. Etiologi belum dipastikan, secara garis
besar dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu endokrin-metabolik, lingkungan dan genetik. Pencetus
fungsi imun abnormal mengakibatkan pembentukan antibodi yang ditujukan terhadap berbagai
komponen tubuh. Tidak ada suatu tes laboratorium tunggal yang dapat memastikan diagnosis
SLE. Masalah yang paling sering dirasakan pasien adalah keletihan, gangguan integritas kulit,
gangguan citra tubuh dan kurang pengetahuan untuk mengambil keputusan mengenai
penatalaksanaan mandiri.

12
3.2. SARAN
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunanya, besar harapan kami kepada para
pembaca untuk bisa memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun agar makalah ini
menjadi lebih sempurna.

13
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & suddarth. Keperawatan medikal bedah. Edisi 8. Jakarta: EGC, 2001
Robbins & cotran. Buku saku dasar patologis penyakit. Edisi 7. Jakarta: EGC,2008
Isselbacher, dkk. Prinsip- prinsip ilmu penyakit. Edisi. 13. Jakarta: EGC, 2000
Marilyn E. Doenges. Rencana asuhan keperawatan. Edisi. 3. Jakarta: EGC, 1999

14

Anda mungkin juga menyukai