Anda di halaman 1dari 15

PAPER

“PHITHISIS BULBI’’
Paper ini dibuat Sebagai Salah Satu Persyaratan Mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior SMF Mata
Di Rumah Sakit Umum Haji Medan

Pembimbing :

dr. Ayu Nur Qomariyati, Sp.M

Disusun Oleh :

REVILA AULIA

102119086

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF MATA


RUMAH SAKIT HAJI MEDAN SUMATERA UTARA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BATAM
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb Puji dan syukur saya panjatkan ke Hadirat Allah


SWT Yang Maha Esa karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya. Tak lupa
pula Salawat beserta Salam kita panjatkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang
telah membawa kita dari alam Jahiliah ke alam penuh ilmu pengetahuan seperti
sekarang ini. Sehingga penulis dapat menyusun Paper dengan judul “Phthisis Bulbi”
sebagai salah satu syarat untuk memenuhi Kepaniteraan Klinik Senior Mata Dalam
Program studi Kedokteran Universitas Batam tepat pada waktunya.

Penulis makalah ingin mengucapkan terimakasih kepada dr. Ayu Nur


Qomariyati, Sp.M selaku dokter pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk
membantu dan memberikan pengarahan serta bimbingan kepada penulis, sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan benar.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan ini.


Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang
bersifat membangun. Semoga karya tulis ini dapat menambah ilmu pengetahuan dan
bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Medan, Juli 2020

(Revila Aulia)
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ptisis bulbi merupakan suatu keadaan dimana bola mata mengecil, tidak bisa
melihat, atau keadaan tidak berfungsinya mata. Ptisis bulbi terjadi sebagai suatu
kondisi atau keadaan akhir (end-stage) dari penyakit mata yang berat ditandai dengan
perlunakan dari bola mata dengan atropi dan disorganisasi dari struktur bola mata.
Ptisis bulbi dapat disebabkan oleh faktor kongenital atau didapat seperti trauma,
tumor, “painful blind eye” yang menyebabkan cacat secara estetik yang secara
signifikan mempengaruhi kondisi fisik seseorang.

Ptisis bulbi diawali dengan perubahan struktur intraokuler, karena trauma atau
peradangan yang menyebar dari segmen anterior hingga ke posterior. Atropi dapat
ditemui pada traktus uvea dan retina, yang pada awalnya belum disertai kerutnya
bulbus okuli. Tetapi pada keadaan lanjut didapatkan atropi dari bulbus okuli, disertai
hipotoni. Gambaran klinis ptisis bulbi dapat dijumpai adanya perubahan dari bentuk
bola mata yang normalnya berbentuk kuboid (buah pear) mengecil tertarik kearah
otot rektus sehingga bulbus okuli menjadi lunak. Retina dan choroid bisa terlepas,
menyebabkan sclera menjadi lebih tebal.

Sebuah penelitian mengenai prevalensi ptisis bulbi tahun 2012 di London,


dari 333 subyek penelitian, 8,3% mengalami gangguan penglihatan berat berupa
kehilangan penglihatan. Dari jumlah tersebut, 19% didiagnosis dengan ptisis bulbi.
78% masih memiliki respon terhadap cahaya dengan proyeksi positif, 15% lainnya
dengan proyeksi negatif dan 6% lainnya hanya dapat melihat lambaian tangan. Dari
segi usia, onset kejadian ptsis bulbi beragam dan dapat terjadi pada usia berapa saja
(17-97 tahun) dengan perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 1,3 : 1 2.
Prevalensi ptisis bulbi ada mata yang di eviserasi berkisar 11,2% hingga 18,7%
dengan rata-rata 13,7%.
Terapi yang bisa diberikan pada kondisi ini adalah terapi yang bersifat
suportif dan paliatif karena kondisi ini bersifat permanen dan tidak akan ada
perbaikan. mata merupakan organ yang terbentuk paling pertama di daerah wajah.
Penyebab kehilangan fungsi atau tidak kelainan bentuk dan anatomi dari mata dapat
disebabkan karena defek kongenital, trauma yang berat, tumor, painfull blind eye,
simpatetik oftalmia, dsb. Keadaan tersebut dapat menyebabkan kelainan fisik, stress
emosional dan psikologis yang bermakna pada pasien. Sebagian pasien mengalami
stres yang signifikan akibat disabilitas fungsi karena kehilangan kemampuan melihat
dan reaksi sosial akibat kelainan yang nampak pada wajah pasien. Terapi penggantian
bola mata yang rusak sebisanya diberikan secepat mungkin untuk perbaikan fisik dan
psikologis pasien serta kehidupan social.
BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. DEFINISI

Phthisis bulbi merupakan suatu keadaan dimana bola mata mengecil, tidak
bisa melihat, atau keadaan tidak berfungsinya mata. Kondisi ini merupakan kondisi
akhir (end-stage) dari penyakit pada mata yang tidak dapat diperbaiki lagi.
Istilah ptisis pertama kali digunakan oleh Galen yang berasal dari bahasa
yunani ”phthien” atau ”phthinein” yang berarti penyusutan atau pengurangan.Selama
lebih kurang 200 tahun gambaran klinis ptisis telah mengalami banyak perubahan
berdasarkan penyebab dan perubahan strukturnya, di mana batasan yang jelas dari
atrofi okuli masih sulit dan masih menjadi perdebatan. Hogan dan Zimmerman
merupakan orang pertama yang mengatakan bahwa istilah atrofi dan ptisis bulbi
merupakan stadium akhir pada proses degenerasi dan kerusakan yang berat dari mata.
Keluhan subyektif tergantung pada etiologi dan beratnya ptisis bulbi, tanda
dan gejala klinis yang khas adalah hipotensi okular kronis (5 mmHg), terjadi
penyusutan pada bola mata, pseudoenophthalmos, fibrosis jaringan intraokular,
kehilangan penglihatan, dan episode berulang dari iritasi intraokular dan
nyeri.kerusakan awal untuk struktur intraokular baik dari penetrasi trauma atau
peradangan pada akhirnya dapat menyebabkan atrofi luas dan disorganisasi mata.

B. EPIDEMIOLOGI

Informasi mengenai insidensi phitisis bulbi masih terbatas. Prevalensi phitisis


bulbi pada mata yang dienukleasi terdokumentasikan dengan baik, berkisar 11,2%
hingga 18,7% dengan rata-rata 13,7%. Peningkatan pada jumlah enukleasi untuk
phitisis bulbi selama dua dekade terakhir, phitisis bulbi melibatkan pasien lanjut usia,
biasanya usia 65-85 tahun. Anak-anak dan dewasa (≤ 20 tahun) sangat jarang terjadi
(3,7-6,4%), terutama diakibatkan oleh trauma ocular dan malformasi congenital.
Mata kanan dan kiri sama jumlah kejadiannya,dua puncak usia yaitu pada 35 dan 75
tahun ditemukan 69 kasus phitisis bulbi dengan riwayat trauma.
C. ETIOLOGI

Phithisis bulbi merupakan stadium akhir dari sejumlah penyakit ocular dengan
penyebab yang bervariasi. Faktor resiko yang penting dan berperan dalam
terjadinya ptisis bulbi adalah :
1. Kelainan kongenital anatomi bola mata sejak lahir seperti mikropthalmia,
anopthalmia.
2. Kegagalan prosedur pembedahan seperti operasi katarak, glaukoma dan
retina.
3. Trauma pada mata seperti penetrasi benda tajam, trauma tumpul, trauma
kimia dan trauma suhu.
4. Infeksi dan inflamasi seperti keratitis, uveitis dan endoftalmitis.
5. Keganasan intraokular seperti melanoma koroidal, retinoblastoma.

D. PATOFISIOLOGI

Hipotonia atau penurunan tekanan intraokular pada bola mata merupakan


mekanisme yang paling umum yang terjadi pada ptisis bulbi. Akuos humor dihasilkan
oleh sel epitel non pigmen dari korpus siliaris. Cairan ini tidak mengandung protein
(protein-free fluid) yang menopang nutrisi struktur internal bola mata seperti lensa
dan kornea. Tidak terdapatnya protein pada cairan ini disebabkan karena adanya
blood-aquos barrier yang dibentuk oleh hubungan yang erat antara sel-sel epitel non
pigmen dari korpus siliar sehingga tidak memungkinkan protein yang memiliki berat
molekul besar untuk lewat pada saat proses pembentukan akuos humor terjadi.

Jumlah dan kualitas dan kejernihan dari cairan ini harus tetap sehingga
tekanan intraocular normal dan fungsi penglihatan tidak terganggu. Korpus siliaris
dan blood-aquos barrier harus dalam keadaan baik dan optimal untuk tujuan tersebut.
Insufsiensi atau kekurangan cairan ini dapat terjadi kerusakan corpus siliaris karena
tindakan pembedahan, trauma, robekan siliokoroidal, peningkatan pengeluaran akuos
humor melalui uveoskleral atau disfungsi dari korpus siliar karena infeksi dan
inflamasi berat. Semua kondisi ini dapat menyebabkan hipotoni pada bola mata.
Hipotoni pada bola mata dapat bersifat reversibel atau sementara, namun pada
kondisi hipotoni yang kronik dan progresif akan menyebabkan kerusakan pada
struktur dalam mata berupa kekeruhan pada lensa, atropi atau penyusutan
korneosklera, dan atropi neuronal yang akan menjadi permanen. Keadaan ini yang
disebut dengan ptisis bulbi; keadaan dimana bola mata mengalami penyusutan dan
kehilangan fungsi penglihatan yang sifatnya permanen.
Tekanan intraokular 6 mmHg tergolong dalam hipotoni namun gangguan
penglihatan yang berat terjadi jika tekanan intraokular kurang dari 5 mmHg. Hipotoni
sementara merupakan kondisi self-limiting atau akan membaik sendiri, namun jika
disertai dengan kerusakan blood-aquos barrier, inflamasi hebat, edema dan infeksi
maka hipotoni intraokular akan menetap. Mekanisme terjadinya ptisis bulbi daat
digambarkan sebagai berikut :
E. KLASIFIKASI

Ptisis bulbi adalah atropi bulbi atau shrunken eye. Atropi bulbi sendiri terdiri dari 3
jenis :
1. Atropi bulbi tanpa penyusutan
Ukuran dan bentuk dari bola mata normal, namun pada pemeriksaan dalam
mata ditemukan kelainan seperti katarak, ablatio retina, sinekia dan atau membran
siklitik.
2. Atropi bulbi dengan penyusutan
Bola mata lebih kecil dengan tekanan bola mata yang rendah (hipotoni),
bagian bilik mata depan yang datar (flat), edema kornea dengan vaskularisasi,
fibrosis dan keruh.
3. Atropi bulbi dengan disorganisasi struktur dalam mata (ptisis bulbi)
2/3 bagian dari bola mata memiliki ukuran yang normal dengan penebalan
sklera, disorganisasi struktur bagian dalam mata, kalsifikasi kornea, lensa dan
retina. Dapat ditemukan pendarahan spontan, inflamasi dan pembentukan tulang
baru pada jaringan uvea karena kalsifikasi. Kondisi ini merupakan resiko
terjandinya keganasan pada mata dan pada bagian mata ini, fungsi penglihatannya
menurun.

F. GEJALA DAN TANDA

1. Penyusutan dan kehilangan bentuk bola mata


2. Skar pada kornea
3. Bengkak pada kornea
4. Dapat menjadi katarak
5. Tekanan bola mata turun mendekati nol

G. PENEGAKAN DIAGNOSIS

1. Anamnesis
Ptisis bulbi merupakan kondisi akhir atau end stage dari berbagai gangguan
mata. Penting untuk menanyakan pasien mengenai berbagai keadaan yang
termaksud dalam faktor resiko, misalnya riwayat trauma sebelumnya, sejak
kapan mengalami gangguan penglihatan, ada tidaknya tanda-tanda infeksi seperti
mata merah, berair, nyeri periorbita atau nyeri kepala yang hebat, silau, sulit
membuka mata, riwayat penyakit sistemik dan metabolik seperti diabetes
mellitus, sakit jantung, riwayat operasi atau pembedahan mata sebelumnya,
penggunaan obat-obatan,dll.

2. Pemeriksaan Mata
Pemeriksaan pada mata dimulai dari inspeksi untuk melihat simetris atau tidak
antara kedua bola mata, ukuran mata, tanda infeksi atau trauma, sikatrik,dsb.
Pemeriksaan dengan palpasi juga penting untuk mendeteksi tekanan bola mata
jika pemeriksaan tonometri tidak dapat dilakukan, deteksi nyeri tekan pada
palpasi dan membandingkan mata kanan dan kiri. Pemeriksaan tajam penglihatan
(visus) dapat dilakukan kecuali pada pasien dengan riwayat operasi eviserasi atau
enukleasi sebelumnya. Pemeriksaan kamera anterior untuk melihat ada tidaknya
hipopion, pemeriksaan lensa dan segmen posterior juga dapat dilakukan jika
masih memungkinkan. Pada kondisi dimana penyusutan korneosklera sudah
sangat jelas dengan kekeruhan kornea tidak diperlukan pemeriksaan diatas lagi.

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan curiga ptisis
bulbi adalah USG, CT scan orbita, MRI orbita. Pemeriksaan darah lengkap, gula
darah dan pemeriksaan lainnya yang dapat membantu mendeteksi penyakit lain
sebagai penyebab dasar juga dapat dilakukan.

Gambar. Ptisis bulbi pada mata kanan


Gambar. CT scan orbita tampak penyusutan pada mata kanan

H. PENATALAKSANAAN
Tidak ada cara untuk mengembalikan visus pada kasus phithisis bulbi dan jika
tidak ada keluhan ataupun tidak menimbulkan gangguan pada pasien tidak diperlukan
terapi. Jika ada keluhan nyeri atau adanya iritasi selama penyusutan bola mata
dilakukan eye removal (enukleasi).
1. ENUKLEASI
Enukleasi bulbi merupakan tindakan pembedahan mengeluarkan bola mata
dengan melepas dan memotong jaringan yang mengikatnya didalam rongga
orbita. Jaringan yang dipotong adalah seluruh otot penggerak mata, sebagian
nervus optikus anterior dan melepaskan konjungtiva dari bola mata dengan usaha
untuk mempertahankan conjungtiva tersebut, kapsula tenon, serta otot
ekstraokular. Enukleasi bulbi biasanya dilakukan pada keganasan intraocular,
mata yang dapat menimbulkan oftalmia simpatika, mata yang tidak berfungsi dan
memberikan keluhan rasa sakit, endophtalmitis supuratif dan phitihisis. Biasanaya
pasien setelah enukleasi bulbi di beri mata palsu atau protesa, setelah pemasangan
protesa pasien harus control selama satu tahun.
2. EVISERASI
Eviserasi adalah salah satu prosedur bedah dalam rekonstruksi orbita
dimana rekonstruksi ini dilakukan untuk tujuan terapeutik dan kosmetik.
Eviserasi melibatkan pengeluaran isi bola mata (lensa, uvea, retina, vitreus,
dan kadang kornea) dengan meninggalkan sklera, otot luar mata, dan saraf
optik yang utuh, biasanya diikuti dengan penempatan implan orbital untuk
menggantikan volume okulus yang hilang.
Eviserasi telah mendapatkan popularitas dalam beberapa dekade
terakhir. Sebagian besar didasarkan pada persepsi bahwa pengeluaran isi bola
matamemberikan hasil yang fungsional dan kosmetik yang lebih unggul
dibandingkan dengan beberapa prosedur bedah rekonstuksi orbita yang lain.
Beberapa teknik modifikasi eviserasi telah dipaparkan dalam dekade terakhir,
masing-masing menunjukkan hasil yang lebih baik.
Salah satu indikasi yang paling umum untuk melakukan eviserasi
adalah trauma penetrasi okulus. Di samping keuntungan kosmetik dan
beberapa keuntungan lain yang diberikannya, terdapat beberapa pertentangan
apakah eviserasi merupakan tindakan terbaik untuk trauma penetrasi okulus.
Eviserasi bersama dengan sejumlah prosedur bedah intraokulus lainnya, telah
diteliti sebagai penyebab potensial terjadinya simpatetik oftalmia (SO).
Pemilihan eviserasi sebagai tindakan bedah didasarkan pada indikasi
eviserasi, dan kebutuhan kosmetik dari si penderita. Indikasi dilakukan
eviserasi meliputi faktor lokal dan sistemik. Pada kasus infeksi berat pada
bola mata dan jaringan intraokulus, trauma dengan ruptur  bola mata yang
hebat, eviserasi dapat dilakukan.

Indikasi dilakukannya eviserasi adalah sebagai berikut :


Trauma penetrasi bola mata. Trauma penetrasi merupakan salah satu
indikasi paling umum dilakukannya eviserasi. Eviserasi pada trauma penetrasi
bolamata hanya bisa dilakukan jika sebagian besar sklera masih utuh dan isi
intraokulus masih bisa diidentifikasi.
1. Nyeri, mata buta. Eviserasi memungkinkan untuk dilakukan pada mata
yang buta dan nyeri, di mana nyeri yang timbul sudah tidak berespon lagi
dengan pengobatan dan kebutaan tidak bisa dihindari lagi.
2. Endoftalmitis. Dari semua indikasi eviserasi, endoftalmitis merupakan
indikasi tersering. Pengeluaran isi bola mata ini, diharapkan infeksi
dalam bola mata dapat teratasi. Eviserasi jika dibandingkan dengan
prosedur bedah rekonstruksi mata lainnya (contoh enukleasi), dipercaya
dapat menurunkan konsekuensi terjadinya bakterial meningitis.
I. PROGNOSIS

Hampir semua ptisis bulbi menjadi buta permanen, nyeri dan secara kosmetik
sulit diterima oleh pasien. Komplikasi yang bisa terjadi berupa ulkus kornea dan
perforasi, pendarahan mata spontan, inflamasi okular dan periokular (panopthalmitis)
dan jika disebabkan keganasan maka dapat terjadi transformasi keganasan.
Komplikasi lain yang cukup jarang terjadi adalah simpatetik oftalmika yaitu suatu
keadaan uveitis granulomatosa di mata lainnya (yang sehat) akibat mata yang satunya
mengalamai kerusakan akibat trauma tembus atau setelah pembedahan yang merusak
korpus siliar.
BAB III

KESIMPULAN

Phthisis bulbi merupakan penyakit stadium akhir mata yang diakibatkan oleh
penyembuhan luka akibat berbagai penyebab seperti trauma parah, peradangan,
tumor nekrosis, dan / atau penyakit vaskular. Ini menyebabkan kehilangan
penglihatan dan terus menjadi penyebab penting kebutaan. Diagnosis klinis dari
phthisis bulbi, yang ditandai dengan atrofi, penyusutan, dan disorganisasi globe,
merupakan situasi yang membuat frustasi karena pendekatan terapeutik terbatas
pada pilihan pengobatan simptomatik atau kosmetik. Prosedur profilaksis dan
kunjungan tindak lanjut yang dekat diperlukan pada pasien dengan risiko tinggi
untuk pengembangan phthisis bulbi.
Daftar Pustaka

Brajesh P, Nivedita M, et al. Rehabilitation of Phitis Bulbi: A Case


Report.Opthalmology session dalam Journal of Clinical and Diagnosis Research.
Vol.5. 2012;Hal:1679-80. Brajesh P, Nivedita M, et al. Rehabilitation of Phitis
Bulbi: A Case Report. Opthalmology session dalam Journal of Clinical and
Diagnosis Research. Vol.5. 2012;Hal:1679-80
Coleman DJ. Evaluation of Ciliary Body Detachment in Hypotony. Retina. 1995; 15:
312–18.
Dutton, Jonathan J.M.D, Ph.D, Thomas G. Waldrop, M.S.M.I, Atlas Of Oculoplastic
And Orbital Surgery, University of North Carolina Cha~ Hilt North
Carolina,Philadelphia, USA, Market Street, 2001
JAMA Ophthalmology, Claes H.Dohlman, MD, PhD
Sagita R. Trauma Tumpul Okuli dengan Ptisis Bulbi. Fakultas Kedokteran
Universitas Riau. Sumatera. 2006;Hal:14-6.
Tan L, Isa H, et al. Prevalence and Cause of Phtisis Bulbi In Uveitis Clinic. Acta
Opthalmologica Journal. London. 2012;Hal:1.
Turalba A. Blindness and Painfull Eye of Phtisis Bulbi. Digital Journal
Online.http://www.djo.harvard.edu/print.php?url=/physicians/kr/944&print=1
Tyers A.G, Collin J.R.O, Colour Atlas of Ophthalmic Plastic Surgery,
London,UK,2001 ,hal:244-246

Anda mungkin juga menyukai