Anda di halaman 1dari 28

Clinical Science Session

TUBO OVARIAN ABSCESS

Oleh :

Nidianti Nerissa
1210313043

Pembimbing :

dr. Erman Ramli, Sp.OG

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUD AHMAD MUCHTAR BUKITTINGGI
2017

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat

dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Clinical Science Session (CSS) yang

berjudul “Tubo Ovarian Absecess”. Clinical Science Session ini disusun untuk

memenuhi salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik di bagian Obstetri

dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

Terima kasih penulis ucapkan kepada pembimbing yang telah memberikan

arahan dan petunjuk, dan semua pihak yang telah membantu dalam penulisan CSS

ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa CSS ini masih memiliki banyak

kekurangan. Untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan. Akhir kata, semoga

CSS ini dapat bermanfaat untuk kita semua.

Bukittinggi, 5 November 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
Sampul Depan i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii

BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Batasan Masalah 2
1.3.Tujuan Penulisan 2
1.4 Manfaat Penulisan 2
1.5 Metode Pnelitian 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi 4
2.2 Epedemiologi 4
2.3 Etilogi dan Faktor Resiko 5

2.4 Patogenesis 7
2.5 Diagnosis 9
2.6 Tatalaksana 13
2.7 Komplikasi 21
2.8 Prognosis 21
BAB 3. KESIMPULAN 22
DAFTAR PUSTAKA 23

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

PID (Pelvic inflammatory disease). merupakan suatu infeksi polimikrobial

pada wanita dengan ciri adanya suatu inflamasi pada traktus genitalia atas termasuk

endometritis, salpingitis, dan peritonitis pelvis serta dapat mengarah pada

pembentukan suatu TOA (tubo-ovarian abscess). Spektrum penyakit ini biasanya

disebabkan oleh penyakit menular seksual (PMS) seperti C. trachomatis dan N.

Gonorrhoeae walaupun banyak literatur menyatakan 25% - 50% kasus gagal untuk

mengisolasi kedua patogen tersebut1.

TOA (tubo-ovarian abscess) merupakan salah satu komplikasi akut dari

PID (Pelvic inflammatory disease). Abses ini pada umumnya terjadi pada wanita

usia produktif dan biasanya merupakan kelanjutan dari infeksi saluran genital

bagian bawah. TOA berhubungan erat dengan PID (Pelvic inflammatory disease).

PID disebabkan oleh mikroorganisme yang menghuni endoserviks kemudian naik

ke endometrium dan tuba fallopi. TOA merupakan end-stage process dari PID akut.

TOA terjadi sekitar 18-34% pada pasien dengan PID dan 22% dengan salpingitis

di Nairobi, Kenya.

Abses ini dapat terjadi pada pasien yang post histerektomi supraservikal.

TOA dapat juga terjadi pada pasien yang sebelumnya mengalami servitis dan

parametritis. TOA umumnya disebabkan oleh mikroorganisme umum yang

menjadi penyebab STD (sexually transmitted diseases), berhubungan seks dengan

partner yang memiliki agen infeksius ini merupakan faktor risiko yang sangat

1
penting dalam terjadinya TOA. Selain itu, operasi ginekologi, kanker organ genital

(genital malignancy), IVF treatment, dan apendisitis yang mengalami perforasi

juga diketahui menjadi penyebab TOA.

Diagnosis TOA sering sulit ditegakkan dan sulit dibedakan dengan

peradangan pelvis oleh sebab-sebab yang lain, sehingga dibutuhkan anamnesa,

pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang yang tepat untuk dapat

menegakkan diagnosis pasti dan memberikan terapi yang tepat pula. Dan bila tidak

ditangani dengan baik, komplikasinya dapat menyebabkan kematian, kemandulan

dan kehamilan ektopik yang merupakan masalah medik, sosial dan ekonomi.

1.2. Batasan Masalah

Clinical science session ini membahas mengenai definisi, etiologi,

patogenesis, diagnosis, tatalaksana, komplikasi dan prognosis dari abses tubo

ovarium.

1.3. Tujuan Penulisan

Mengetahui definisi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, dan

penatalaksanaan dari abses tubo ovarium.

1.4. Manfaat Penulisan

Menambah pengetahuan penulis tentang abses tubo ovarium serta menjadi

tambahan ilmu bagi rekan-rekan dokter muda yang membaca.

2
1.5. Metode Penulisan

Penulisan clinical science session ini menggunakan tinjauan pustaka dengan

merujuk pada berbagai kepustakaan dan literatur.

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

TOA (tubo-ovarian abscess) adalah suatu massa inflamatorik yang

melibatkan tuba falopii, ovarium dan juga struktur disekitarnya1. TOA merupakan

suatu proses akhir dari Pelvis Inflammatory Disease (PID) akut. TOA terdiagnosis

ketika pasien dengan PID memiliki suatu massa pelvis yang terpalpasi pada saat

dilakukannya pemeriksaan bimanual2.

2.2 Epidemiologi

TOA dilaporkan sebagai komplikasi Pelvis Inflammatory Disease (PID)

pada lebih dari sepertiga kasus. Perkiraan insiden tahunan abses pelvis oleh karena

berbagai penyebab di Amerika Serikat adalah 100.000 kasus. abses tubo ovarial

umumnya terjadi pada wanita umur 20 hingga 40 tahun. Lebih tua daripada puncak

prevalensi PID. Walaupun dipercayai sebelumnya, riwayat PID tampak tidak lebih

sering pada pasien dengan TOA. Paritas pada pasien dengan TOA sangat berbeda,

namun studi epidemiologi menunjukkan 25-50% terjadi pada nullipara.

Insiden dari kejadian abses tubo ovarium diperkirakan meningkat sebagai

akibat dari peningkatan insiden penyakit menular seksual dan sekuele yang

mengiringinya. Abses tubo ovarium biasanya terjadi pada wanita yang aktif secara

seksual yaitu pada usia antara 20 – 40 tahun3. Abses tuba ovarium merupakan suatu

komplikasi dari penyakit radang panggul pada 15% kasus4, sedangkan literatur lain

menyebutkan angka kejadian TOA mencapai 30% kasus5. Mortalitas akibat abses

4
tuba ovarium menurun secara signifikan dalam 50 tahun terakhir, walau demikian

morbiditas yang ditimbulkan masih signifikan secara klinis4.

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko

TOA biasanya disebabkan oleh bakteri aerob dan anaerob, seperti

Escherichia coli, Hemolytic streptococci and Gonococci, Bacteroides species dan

Peptococcus. Pada beberapa kasus, Hemophilus influenzae, Salmonella,

actinomyces, dan Staphylococcus aureus juga dilaporkan menjadi penyebab TOA.

Sekitar 92% penyebab TOA adalah Streptococci

Pada penelitian terdahulu disebutkan bahwa abses tuboovarial umumnya

disebabkan oleh Neisseria gonorrhoe yang menjadi penyebab PID. Sebagai contoh,

16 dari 53 pasien dengan TOA (31 %) memiliki gonokokus yang didapat dari

endoservik tetapi hanya dua ( 4 %) memiliki organisme yang didapat dari abses.

Sekarang didapatkan bahwa Mikrobiologi dari abses tuboovarial umumnya adalah

polimikroba campuran yakni flora anaerob dan aerob. Organisme anaerob biasanya

terdapat pada abses daerah pelvis dan adneksa pada 63-100% kasus. Dalam

penelitian terbaru landers dan Sweet melaporkan bahwa flora terbanyak pada

aspirasi abses tuboovarial adalah Escherisia coli ( 37%), B. Fragilis (22%),

Bacteroides (26%), peptococus (11%), dan peptostreptococcus ( 18%).

Organisme yang ditemukan pada TOA juga ditemukan pada PID. Spesies

streptokokus, escherecia coli dan organisme enterik gram negatif lain juga sering

ditemukan. Kuman anaerob yang sering dijumpai adalah bakterioides dan

prevotela, porphyromonas serta peptostreptokokus. Gonokokus jarang ditemukan

pada TOA walaupun sering dijumpai pada PID.

5
Faktor yang menyebabkan virulensi bakteri misalnya Bacteroides adalah

kapsul polisakaridanya dan enzim yang dihasilkan oleh bakteri. Diantara enzim

yang dihasilkan antara lain Kollagenase dan hialuronidase, dan heparinase yang

menyebabkan pembekuan pada pembuluh darah kecil dan menyebabkan

berkurangnya aliran darah pada jaringan yang terinfeksi. Superoksida dismutase

juga dapat menyebabkan kuman patogen dapat bertahan pada kondisi aerob.

Dikatakan bahwa nekrosis tuba fallopi dan kerusakan epitel terjadi

dikarenakan bakteri patogen menciptakan lingkungan yang diperlukan untuk invasi

anaerob dan pertumbuhan. Terdapat salfingitis yang melibatkan ovarium dan ada

juga yang tidak. Proses inflamasi ini dapat terjadi spontan atau merupakan respon

dari terapi. Hasilnya dapat terjadi kelainan anatomis yang disertai dengan

perlengketan ke organ sekitar. Keterlibatan ovarium biasanya terjadi di tempat

terjadinya ovulasi yang sering menjadi tempat masuk infeksi yang luas dan

pembentukan abses. Apabila eksudat purulen itu ditekan maka akan menyebabkan

ruptur dari abses yang dapat disertai oleh peritonitis berat serta tindakan laparotomi.

Perlengketan yang lambat dari abses akan menyebabkan abses cul de sac. Biasanya

abses ini muncul ketika penggunaan IUD, atau munculnya infeksi granulomatous

(TBC, aktinomikosis).

6
Gambar 2.1 Organ Reproduksi Internal Wanita

Faktor risiko dari TOA sama dengan faktor risiko pada PID, yaitu3 :

a. Pasangan seksual multipel

b. Riwayat PRP sebelumnya

c. Penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim

Sama halnya dengan PID, TOA juga merupakan suatu infeksi polimikrobial

dimana terdapat organisme anaerob, aerob dan fakultatif. Organisme-organisme

yang paling sering terisolasi diantaranya E. coli, Bacteriodes fragilis,

Peptostreptococcus, dan Peptococcus. ATO yang terjadi pada wanita dengan

penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim biasanya disebabkan oleh Actinomyces

israelii6.

2.4 Patogenesis

Suatu TOA merupakan pengumpulan pus yang dibatasi oleh perlengketan

dari tuba falopii, ovarium dan organ-organ sekitarnya. Patogenesis langsung dari

7
TOA sulit ditentukan karena adanya derajat yang bervariasi dari kerusakan tuba

yang terjadi. Seperti yang sudah dijelaskan, TOA merupakan suatu infeksi

polimikrobial yang seringnya disebabkan oleh infeksi ascending dari vagina oleh

organisme yang ditransmisikan secara seksual, terutama N. Gonorrhea dan C.

trachomatis yang memasuki tuba falopii, melakukan penetrasi dan merusak sel-sel

epitelial yang menghasilkan suatu eksudat purulen5.

Organisme primer awalnya akan menyebabkan kerusakan epitel yang

mengakibatkan nekrosis jaringan, desiliasi mukosa dan produksi pus. Bakteri

penginfeksi akan menghasilkan berbagai faktor inflamatorik termasuk endotoksin,

eksotoksin, enzim lisosomal dan antigen permukaan yang merangsang suatu respon

inflamasi pada pasien. Respon inflamasi tersebut juga termasuk lepasnya substansi-

substansi inflamatorik seperti interleukin, bradikinin dan aktivator plasminogen.

Kaskade tersebut akan memperhebat reaksi host yang mengarah pada edema

jaringan, iskemia dan nekrosis dari dinding tuba. Seketika pus keluar dari ujung

fimbriae, inflamasi yang terjadi menyebar pada ovarium dan struktur lainnya seperti

omentum, kandung kemih, usus besar dan uterus. Organ-organ tersebut akan saling

berlekatan menyebabkan pengurungan pus dan pembentukan kavitas abses5.

Lingkungan yang mengalami peradangan tersebut akan menyebabkan

perkembangan suatu infeksi polimikrobial. Walaupun N. Gonorrhea dan C.

trachomatis diperkirakan sebagai patogen utama dalam perkembangan PRP dan

ATO, organisme-organisme tersebut jarang didapatkan pada kultur5.

8
2.5 Diagnosis

2.5.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Gejala klasik dari TOA biasanya adalah nyeri abdomen, adanya massa di

pelvis pada saat pemeriksaan, demam dan leukositosis. Landers dan Sweet (1983)

menemukan bahwa 35% wanita dengan TOA afebris dan 23% memiliki jumlah

leukosit normal. Sekitar 50% mengeluhkan demam, 28% dengan vaginal

discharge, 26% mengeluhkan mual dan 21% memiliki keluhan perdarahan per

vaginam7.

Kriteria Disease Control and Prevention (CDC) dalam mendiagnosa adanya


penyakit radang panggul adalah sebagai berikut :

 Kriteria minimal (1 atau lebih):


o Nyeri perut bawah
o Nyeri pada adneksa
o Nyeri goyang portio

Kriteria tambahan: pasien penderita radang panggul yang dicurigai


TOA harus memiliki 1 atau lebih kriteria berikut:

o Demam > 38,4 C


o leukorrhea
o Leukositosis Peningkatan LED > 64 mm/jam
o Peningkatan c-protein > 20 mg/L
o Pemeriksaan laboratorium terbukti adanya infeksi pada serviks
misalnya oleh Chlamidia trachomatis dan Neisseria gonorrhoe

TOA harus dicurigai pada semua pasien suspek PID. Nyeri abdomen dan

pelvis merupakan gejala khas yang terdapat pada lebih dari 90 % pasien dengan

TOA. Demam dan lekositosis ditemukan pada sekitar 60 - 80 % pasien tersebut.

Oleh karena itu, tidak adanya demam dan atau lekositosis tidak dapat

9
menyingkirkan diagnosis TOA. Penelitian di Israel membandingkan 42 pasien

dengan TOA terhadap 121 pasien dengan PID dan menemukan bahwa wanita lebih

tua dari 42 tahun dengan masa adneksa yang teraba dan mereka dengan angka

sedimentasi > 50 mm/hr secara signifikan memiliki TOA. temperatur rata-rata dan

durasi nyeri tidak dapat memprediksi TOA

Pemeriksaan fisik lengkap termasuk pemeriksaan pelvis harus dilakukan.

Inspekulo dan pemeriksaan bimanual harus dapat menilai konsistensi, ukuran dan

mobilitas dari uterus dan kedua adneksa. Discharge yang mukopurulen dan adanya

nyeri goyang serviks indikatif untuk suatu PID, dan bersamaan dengan nyeri pada

uterus atau adneksa harus meningkatkan kecurigaan terhadap adanya TOA7.

2.5.2 Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium

Pasien dengan TOA tidak memiliki data laboratorium yang spesifik. Salah

satu cara untuk membedakan PID dengan TOA adalah mendeteksi suatu massa

inflamatorik di adneksa, dan hal tersebut mungkin sulit ditentukan hanya dengan

pemeriksaan fisik dan data laboratorium saja9. Peningkatan jumlah leukosit secara

signifikan telah dilaporkan pada 66% - 80% pasien dengan TOA. Walaupun

demikian tidak semua TOA berhubungan dengan pireksia dan leukositosis,

sehingga tanpa adanya tanda tersebut tidak dapat menyingkirkan suatu

kemungkinan TOA5.

Nilai laboratorium tambahan yang mungkin berguna yaitu laju endap darah

dan protein reaktif C, keduanya merupakan indikator inflamasi non-spesifik dan

10
memiliki nilai yang terbatas dalam menilai tingkat keparahan dari respon inflamasi

akut5.

b. Pencitraan

Beberapa modalitas pencitraan untuk diagnosis dari TOA yaitu foto polos

yang menunjukkan gambaran non-spesifik, mungkin memperlihatkan bukti adanya

suatu massa dengan densitas suatu jaringan lunak. Pemeriksaan ultrasound

transabdominal ataupun transvaginal merupakan modalitas pencitraan inisial

sebagai pilihan, seringnya menunjukkan gambaran suatu kompleks multilokular

atau massa adneksa dengan debris, septasi dengan dinding tebal ireguler, internal

echo10.

Pencitraan lebih canggih seperti CT Scan, USG atau MRI dapat dilakukan,

terutama untuk menentukan luasnya penyakit. Tampak massa pelvis yang

mengandung fluid-fluid level dengan dinding yang tebal. Pada pemeriksaan MRI

akan tampak massa pelvis yang dipenuhi cairan dengan gambaran hipointens,

penggunaan MRI masih belum dikaji lebih lanjut terkait perannya dalam diagnosis

TOA5,10.

Ultrasonografi

TOA tampak oleh USG berupa gambaran homogen, kadang simetris, kistik,
dinding tipis, berbatas tegas, berdampingan. Gambaran udara mungkin terlihat,
bersepta pada TOA multilokulasi. Pemeriksaan USG juga dapat sangat membantu
untuk mengikuti perkembangan pasien dan mendeteksi kemajuan pengobatan,
ruptur abses, dan lain sebagainya.

Gambar 2.2. Gambar USG transvaginal pada wanita 24 tahun dengan PID dan
TOA. A. Tampak Free Fluid (FF)dan Uterus (U), B. Tambak tuba fallopi (T) yang
berdilatasi ( piosalfing) Chan et al, 2003

11
CT Scan

CT scan paling baik digunakan sebagai pemeriksaan tambahan USG pada


kasus-kasus abses tuboovarian. Beberapa gambaran CT dapat menerangkan
diagnosis TOA. Meskipun tidak spesifik, penemuan paling sering adalah berupa
massa berdinding tebal, dengan cairan pada lokasi adneksa.

Gambar 2.3 . Gambaran CT Scan PID/ TOA

2.5.3 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari TOA diantaranya adalah10:

 Malignansi di daerah pelvis

 Abses pada apendisitis

 Endometriosis pelvis

 Hematoma pada pelvis

 Kista

 Hidrosalping

12
2.6 Tatalaksana

Tidak ada algoritma terapi yang baku untuk pasien dengan diagnosis ATO,

sehingga klinisi dapat melakukan terapi agresif dan pembedahan definitif

sedangkan lainnya memberikan suatu terapi konserfatif dengan antibiotik5.

2.6.1 Terapi Antibiotik

Sefalosporin generasi kedua merupakan pilihan yang baik untuk terapi

polimikrobial dari ATO5. Regimen yang terdiri dari klindamisin, metronidazole dan

cefoxitin harus dipertimbangkan pada pasien dengan ATO karena menunjukkan

penetrasi dinding abses yang baik dan aktivitsnya dalam kavitas abses6.

Berdasarkan panduan dari CDC mengenai terapi untuk PRP yaitu8:

a. Terapi Parenteral

 Cefotetan 2 g i.v. tiap 12 jam + doksisiklin 100 mg p.o./i.v. tiap 12 jam

 Cefoxitin 2 g i.v. tiap 6 jam + doksisiklin 100 mg p.o. atau i.v. tiap 12 jam

 Klindamisin 900 mg i.v. tiap 8 jam + gentamisin dosis inisial 2 mg/kgBB

i.v. atau i.m. diikuti dosis rumatan 1,5 mg/kgBB tiap 8 jam (dapat digantikan

dosis tunggal 3-5 mg/kgBB)

b. Terapi Intramuskular atau Oral

Penggantian terapi oral biasanya diinisiasi dalam 24-48 jam setelah

perbaikan klinis.

 Ceftriaxone 250 mg i.m. sebagai dosis tunggal + doksisiklin 100 mg p.o.

2x1 untuk 14 hari

 Cefoxitin 2 g i.m. dosis tunggal dan probenecid 1 g p.o. dosis tunggal +

doksisiklin 100 mg p.o. 2x1 untuk 14 hari

13
 Sefalosporin generasi ketiga lainnya seperti ceftizoxime atau cefotaxime

ditambah doksisiklin 100 mg p.o. 2x1 untuk 14 hari

Ketika terdapat ATO, klindamisin 450 mg p.o. 4x1 atau metronidazole 500

mg 2x1 harus diberikan lengkap setidaknya 14 hari pada terapi dengan doksisiklin

untuk memberikan perlawanan bakteri anaerob dibandingkan hanya doksisiklin.

2.6.2 Pembedahan

Jika terapi medis saja gagal atau ditemukan abses besar, prosedur drainase

perlu dikerjakan. Oleh karena kebanyakan wanita dengan TOA adalah wanita usia

reproduksi, tujuan utama penanganannya adalah sebisa mungkin secara konservatif

jika dipertimbangkan drainase perkutan versus pembedahan. Keberhasilan prosedur

drainase umumnya didefinisikan sebagai kesembuhan dari infeksi akut tanpa

diperlukan laparatomi.

Gambar 2.4 TOA yang mengalami ruptur

14
1. Drainase transvaginal

Drainase TOA menggunakan arahan USG atau laparaskopi merupakan

kemajuan besar dalam terapi keadaan ini. Penelitian telah dikerjakan dengan arahan

USG menggunakan pendekatan transvaginal atau perkutan. Pendekatan

transvaginal memberikan jalur langsung dari vagina ke dalam kavum douglas atau

regio adneksa dimana abses biasanya terlokalisasi.

Penelitian retrospektif penggunaan aspirasi dengan arahan USG

transvaginal dari tahun 1986 hingga 2003 melaporkan keberhasilan pengobatan

pada 282 wanita (93 %). Total 302 partisipan juga diterapi dengan antibiotika

intravena termasuk metronidazol ditambah doksisiklin atau cefuroksim. Ukuran

abses berkisar antara 3 hingga 15 cm. Hasil penelitian sangat signifikan walaupun

sekitar sepertiga pasien membutuhkan lebih dari satu aspirasi untuk drainase yang

adekuat, hanya 20 pasien (7 %) yang membutuhkan operasi. Ukuran abses atau

adanya multilokularitas tidak mempengaruhi angka kesuksesan dari aspirasi

transvagina. Toleransi pasien terhadap prosedur sangat baik.

Aspirasi dengan arahan USG memiliki efektifitas tinggi, terlebih jika

dilakukan segera setelah diagnosis saat cairan abses sedikit kental. Mereka juga

menyarankan bahwa pada wanita pasca menopause yang memiliki TOA, perlu

dilakukan pemeriksaan yang teliti untuk divertikulitis atau keganasan yang

mungkin menyertai.

Pemasangan kateter atau prosedur drainase tunggal melalui USG telah

diteliti pada penelitian lain. Drainase jangka lama dan atau irigasi kavitas abses

dengan peletakan kateter tinggal tidak lebih bermanfaat daripada prosedur drainase

sederhana. Jika studi yang telah ada tentang drainase TOA tidak menyetujui

15
pemasangan drain, kecenderungan saat ini pada terapi medis telah membatasi

penggunaan drainase tinggal.

2. Drainase transglutea

Drainase perkutaneus yang dipandu dengan menggunakan USG atau

dengan CT scan biasanya digunakan untuk abses pelvik unilokuler dan

keberhasilan dengan teknik ini dilaporkan mencapai 75-89%. Keuntungan yang

dapat diperoleh dari teknik drainase ini antara lain menurunkan morbiditas dan

lama perawatan dan pembiayaan di rumah sakit. Kesulitan dari teknik ini yakni

akses pencapaian lokasi abses yang terdapat pada daerah rektouterina dan diantara

pembuluh darah dan kandung kencing. Dalam hal ini pencapaian ke daerah abses

dapat dilakukan melalui pendekatan secara transgluteal.

Drainase transgluteal terarah dengan USG untuk abses pelvis juga telah

diteliti sebagai alternatif pembedahan. Pada satu penelitian dari 140 pasien dengan

abses pelvis dengan berbagai etiologi, 96 persen berhasil diterapi dengan drainase

saja . Kateter dilepas setelah rata-rata delapan hari.

3. Drainase laparaskopi

Teknik laparoskopi dalam penatalaksanaan abses mempunyai kelebihan

yakni memberikan visualisasi langsung pada daerah drainase abses, dan hal ini

tentu saja sekaligus sebagai alat bantu dalam konfirmasi diagnosa. Penatalaksanaan

pasien dengan laparoskopi menurunkan morbiditas, dan pembiayaan bila

dibandingkan dengan ekstirpasi dan drainase abses per laparotomi. Pada satu

16
laporan, drainase laparaskopi dengan antibiotika sebagai terapi awal mampu

menyembuhkan 24 dari 25 (96 %) pasien TOA dan hanya 1 kasus gagal yang

membutuhkan penanganan histerektomi total dan salfingoofarektomi bilateral 1

bulan berikutnya. Pada second-look laparoskopi juga terlihat bahwa hanya terdapat

perlengketan minimal pada daerah drainase. sekitar empat dari tujuh pasien yang

menginginkan kehamilan berhasil hamil. Pada penelitian kedua, drainase

laparoskopi berhasil pada 45 dari 48 pasien (48 %). 10

4. Drainase pembedahan

Drainase kavum douglas dengan insisi kolpotomi telah digunakan selama

beberapa tahun sebelumnya. Akan tetapi, prosedur ini harus tidak dikerjakan

kecuali abses teraba pada linea mediana, melekat pada dinding vagina, dan mengisi

sepertiga atas septum rektovaginal. Pasien dengan TOA jarang memiliki kriteria

tersebut. Kolpotomi kurang disukai karena beberapa laporan berhubungan dengan

tingginya komplikasi kematian, dan angka reoperasi untuk infeksi lanjutan 10

17
Turbo ovarian abscess

1. Uncertain diagnosis Medical management


2. Suspicion of rupture With antibiotics active against B, fragilis, that can
penetrate and remain stable within abscesses
3 – 5%
30 – 40% 30 – 40%
Immediate surgery
After patient stabilized and
Failure to respond within Favorable response
antibiotics begun
48-72 hours defined as :
1. Persistent fever
2. Increased size of TOA
3. Persistent leucocytes Required Permanent
4. Increased ESR subsequent response
5. Suspicion of rupture surgery

Surgical intervention Percutaneous drainage with CT


or ultrasound guidance

Laparoscopy with Transvaginal Transabdominal laparotomy


drainage and irrigation of colpotomy drainage with drainage and/or
abscesses extirpation of abscess

Unilateral TAH – BSO


adnexectomy

Gambar 2.5 Algoritma penatalaksanaan TOA. Gibbs, Sweet, 2002

Jika dicurigai adanya TOA yang ruptur, maka pasien harus distabilisasi, dan

dimulai pemberian antibiotik, dan tindakan operatif harus sesegera mungkin

dilakukan. Indikasi lain untuk dilakukannya tindakan operasi segera adalan untuk

kasus dengan diagnosa yang belum jelas namun dicurigai mempunyai resiko untuk

terjadinya ruptur.

Pada kondisi sebaliknya, pasien dapat diberikan antibiotik intravena yang

efektif terhadap gram negatif anaerob seperti misalnya B. Fragilis dan P. Bivia. Jika

dengan terapi antibiotik tersebut tidak menunjukkan respon yang nyata, seperti

misalnya penurunan suhu, jumlah leukosit dan gambaran klinis lain dalam waktu

yang ditetapkan (48-72 jam), intervensi bedah mungkin perlu dilakukan.

18
Namun, ruptur abses selama fase inisial dengan pemberian antibiotik dapat

saja terjadi sehingga harus selalu waspada dengan kemungkinan bahwa intervensi

bedah dapat saja dilakukan sewaktu-waktu. 10

Penanganan pada TOA yang mengalami ruptur

TOA ruptur merupakan keadaan akut yang membutuhkan intervensi medis

segera. Stabilisasi hemodinamik dan pemberian antibiotik dan intervensi

pembedahan segera mutlak diperlukan dalam penanganan. Keterlambatan dalam

diagnosa dan intervensi pembedahan dapat meningkatkan mortalitas.

Histerektomi total dan salfingoofarektomi bilateral biasanya dilakukan pada

abses yang ruptur, pus yang terdapat pada rongga abdomen diambil untuk kultur,

dilakukan irigasi untuk meminimalisir penyebaran infeksi. Gibbs and Sweet, 2003

Prosedur yang harus dilakukan yakni:

1. Pengawasan urin output dengan menggunakan kateter

2. Pengawasan tekanan vena sentral

3. Pemberian Oksigen

4. Resusitasi cairan untuk menjaga tekanan darah dan pengeluaran urin > 30

mL/jam

5. Evaluasi cepat dan persiapan operasi segera.

6. Pertimbangan bedah : insisi pada garis tengah yang rendah. Ketika abdomen

dibuka, pus diambil untuk kultus aerob dan anaerob. Saluran cerna

diinspeksi dan seluruh abses diidentifikasi dan didrainase. Ruangan

subfrenik dan subhepatatik dieksplorasi dan dilakukan irigasi secara

seksama untuk meminimalisir penyebaran infeksi. Dinding abses didiseksi

19
dari struktur-struktur yang berdekatan yang biasanya sangat adheren ke

saluran cerna. Teknik pembedahan dilakukan secara hati-hati untuk

mencegah perforasi saluran cerna atau transeksi dan ligasi ureter.7

Ketika suatu TOA dicurigai mengalami ruptur, intervensi bedah segera

harus dilakukan karena morbiditas dan mortalitas yang tinggi berhubungan dengan

ruptur nya ATO. Tanda-tanda sepsis seperti hipotensi, takikardia, takipnea dan

tanda-tanda akut abdomen harus meningkatkan kecurigaan terhadap rupturnya

TOA. Suatu TOA juga dapat muncul tanpa adanya bukti mengalami ruptur, pada

kasus-kasus ini peran dari drainase dan penatalaksanaan secara operatif tidak begitu

jelas. Reed et al pada tahun 1991 menunjukkan bahwa 35 % abses dengan ukuran

7-9 cm membutuhkan pembedahan dibandingkan dengan 60 % abses dengan

ukuran >9 cm sedangkan DeWitt et al menunjukkan jika abses ukuran >8 cm lebih

sering membutuhkan drainase atau pembedahan dan berhubungan dengan lama

waktu rawatan6.

Pemberian antibiotik saja tanpa tindakan pembedahan diberikan pada

wanita dengan hemodinamik stabil dan abses ukuran <8 cm. Saat respon klinis tidak

dicapai dalam waktu 48 jam, maka harus dipertimbangkan dilakukannya terapi

pembedahan. Pilihan tatalaksana pembedahan untuk TOA mulai dari hanya

drainase sampai salpingooperektomi unilateral hingga histerektomi abdominal

total. Dengan kemajuan efektifitas terapi antibiotik, terapi pembedahan menjadi

lebih konserfatif sehingga memungkinkan suatu prosedur untuk mempertahankan

fungsi ovarium, dimana pendekatannya mulai dari drainase ataupun laparoskopi

hingga laparotomi. Kebanyakan ginekologis akan melanjutkan prosedur laparotomi

untuk debridemen TOA. Bagaimanapun, pendekatan bedah harus bergantung pada

20
keterampilan dan kenyamanan ahli bedah. Walau demikian, pendekatan tatalaksana

yang optimal untuk TOA masih diperdebatkan6.

2.7 Komplikasi

Komplikasi dari TOA adalah ruptur dari TOA itu sendiri. Ruptur TOA

merupakan keadaan emergensi yang biasanya muncul dengan tanda dan gejala dari

peritonitis difus, yang selanjutnya dapat berlanjut menjadi sepsis. Angka kejadian

dari ruptur abses dan sepsis pada penderita dengan TOA yaitu 15% dan 10 hingga

20% secara berurutan, intervensi bedah sangat direkomendasikan untuk

meningkatkan keluaran klinis, penundaan tindakan pembedahan akan

memperburuk keluaran klinis pasien dengan TOA. Sebelum penggunaan antibiotik

spektrum luas, angka mortalitas dari TOA mencapai 85% - 100%1.

2.8 Prognosis

Pada penelitian oleh Topçu et al (2014) dari total 109 pasien, 87 pasien

dalam kelompok prognosis jelek dan 22 dalam kelompok prognosis baik. Pada

kelompok prognosis jelek, 11 diantaranya telah mengalami menopause sedangkan

hanya 2 pasien yang sudah mengalami menopause pada kelompok prognosis baik.

Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok prognosis jelek dan

prognosis baik dalam hal usia, graviditas, paritas, riwayat dilatasi dan kuretase,

mikroorganisme yang diisolasi, riwayat SC, status merokok, kadar LED, leukosit,

suhu tubuh, bilateral atau unilateral, adanya pemakaian AKDR dan lamanya

penggunaan AKDR. Namun demikian, abses dengan diameter ≥6 cm merupakan

indikator yang signifikan untuk risiko terhadap prognosis yang jelek11.

21
22
BAB III

KESIMPULAN

Abses tuba ovarium (ATO) adalah suatu massa inflamatorik yang

melibatkan tuba falopii, ovarium dan juga struktur disekitarnya. ATO merupakan

suatu proses akhir dari penyakit radang panggul (PRP) akut. Abses tubo ovarium

biasanya terjadi pada wanita yang aktif secara seksual yaitu pada usia antara 20 –

40 tahun. Faktor risiko pada ATO sama dengan faktor risiko pada PRP, sama halnya

dengan PRP, ATO juga merupakan suatu infeksi polimikrobial dimana terdapat

organisme anaerob, aerob dan fakultatif. Patogenesis langsung dari ATO sulit

ditentukan karena adanya derajat yang bervariasi dari kerusakan tuba yang terjadi.

Gejala klasik dari TOA biasanya adalah nyeri abdomen, adanya massa di

pelvis pada saat pemeriksaan, demam dan leukositosis. Pemeriksaan fisik lengkap

termasuk pemeriksaan pelvis harus dilakukan. Pasien dengan TOA tidak memiliki

data laboratorium yang spesifik. Beberapa modalitas pencitraan diantaranya foto

polos, USG, CT dan MRI. Tidak ada algoritma terapi yang baku untuk pasien

dengan diagnosis TOA. Komplikasi dari TOA adalah ruptur dari TOA itu sendiri.

Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok prognosis jelek dan

prognosis baik dalam hal usia, graviditas, paritas, riwayat dilatasi dan kuretase,

mikroorganisme yang diisolasi, riwayat SC, status merokok, kadar LED, leukosit,

suhu tubuh, bilateral atau unilateral, adanya pemakaian AKDR dan lamanya

penggunaan AKDR.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Lareau SM, Beigi RH. Pelvic inflammatory disease and tubo-ovarian

abscess. 2008. Infect Dis Clin N Am, 22: 693-708

2. Sope DE. Genitourinary infections and sexually transmitted disease. In:

Berek, JS. Novak’s gynecology, New York: Lippincott Wililiams &

Wilkins; 2002. pp 276

3. Akyol D, Özcan U, Ekin M, Güngör T, Gökmen O. Tubo ovarian abscess:

risk factors and clinical features in Turkish population. 1998. Tr J of Med

Scie, 28: 691-692

4. DeWitt J, Reining A, Allsworth JE, Peipert JE. Tuboovarian abscesses: is

size associated with duration of hospitalization & complications?. 2010.

Obstet Gynec Int, 2010: 1-5

5. Krivak TC, Cooksey C, Propst AM. Tubo-ovarian abscess: diagnosis,

medical and surgical management. 2004. Comp Ther, 30(2): 93-100

6. Chappell CA, Wiesenfeld HC. Pathogenesis, diagnosis, and management of

severe pelvic inflammatory disease and tuboovarian abscess. 2012. Clin

Obstet Gynec, 55(4): 893-903

7. Kairys N, Roepke C. Abscess, tubo-ovarian. 2017. Tersedia di

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448125/ diakses pada tanggal 19

Oktober 2017

8. Workowski KA, Bolan GA. Sexually transmitted diseases treatment

guidlines. 2015. M M W R Recomm Rep, 64(3): 1-109

24
9. Rosen M, Breitkopf D, Waud K. Tubo-ovarian abscess management options

for women who desire fertility. 2009. Obstet Gynec Survey, 64(10): 681-

689

10. Shah V, Weerakkody Y. Tubo-ovarian abscess. Tersedia di:

https://radiopaedia.org/articles/tubo-ovarian-abscess-1 diakses pada

tanggal 4 November 2017

11. Topçu HO, Kokanali K, Güzek AI, Tokmak A, Erkilinç S, Ümit C et al.

Risk factors for adverse clinical outcomes in patients with tubo-ovarian

abscess. 2014. J Obstet Gynec, 2014: 1-4

25

Anda mungkin juga menyukai