DEPARTEMEN EMERGENCY
Oleh :
KRISMAYA ISMAYANTI
180070300111025
JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
KONSEP SUBDURAL HEMATOMA
A. PENGERTIAN
Subdural hematoma adalah terkumpulnya darah antara durameter dan jaringan otak,
yang dapat terjadi secara akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah
vena/jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan
sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi
dalam 2 minggu atau beberapa bulan (corwin, 2009).
B. ANATOMI FISIOLOGI
1. Tengkorak
Tulang tengkorak menurut, Evelyn C Pearce (2008) merupakan struktur tulang yang menutupi
dan melindungi otak, terdiri dari tulang kranium dan tulang muka. Tulang kranium terdiri dari
3 lapisan : lapisan luar, etmoid dan lapisan dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan struktur
yang kuat sedangkan etmoid merupakan struktur yang menyerupai busa. Lapisan dalam
membentuk rongga / fosa ; fosa anterior didalamnya terdapat lobus frontalis, fosa tengah
berisi lobus temporalis, parientalis, oksipitalis, fosa posterior berisi otak tengah dan sereblum
2. Meningen
Otak dan sumsum tulang belakang diselimuti meningia yang melindungi syruktur saraf
yang halus itu, membawa pembulu darah dan dengan sekresi sejenis cairan, yaitu: cairan
serebrospinal yang memperkecil benturan atau goncangan (Pearce, Evelyn C : 2008). Selaput
meningen menutupi terdiri dari 3 lapisan yaitu:
a. Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan
lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat
fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat
pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial ruang
subdural yang terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana sering dijumpai
perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh – pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging
Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis
superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi
dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Hematoma subdural yang
besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui
pembedahan.
b. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang
meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium
subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh
liquorserebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera
kepala.
c. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah membrana
vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk ke dalam sulci
yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan
epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia
mater.
3. Otak
Menurut Ganong (2002), Price (2005), otak terdiri dari 3 bagian, antara lain yaitu:
a. Cerebrum
Serebrum atau otak besar terdiri dari dari 2 bagian, hemispherium serebri kanan dan
kiri. Setiap henispher dibagi dalam 4 lobus yang terdiri dari lobus frontal, oksipital,
temporal dan pariental. Yang masing-masing lobus memiliki fungsi yang berbeda,
yaitu:
1) Lobus frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik
misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu. Lobus frontalis
juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. daerah tertentu pada lobus
frontalis bertanggung jawab terhadap aktivitas motorik tertentu pada sisi tubuh yang
berlawanan. Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung
kepada ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika
hanya mengenai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku
yang nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang. Kerusakan luas yang mengarah
ke bagian belakang lobus frontalis bisa menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan
kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau
samping lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan,
kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam.
2) Lobus parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk,
tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan
matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu
mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian
tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa
pada sisi tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan
hilangnya kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan keadaan ini disebut
ataksia dan untuk menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan yang luas bisa
mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali bagian tubuhnya atau ruang
di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk yang
sebelumnya dikenal dengan baik misalnya, bentuk kubus atau jam dinding. Penderita
bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun
melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya.
3) Lobus temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan
mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami
suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta
menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan
menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus
temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal
dari luar maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan
bahasanya. Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang nondominan,
akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat
kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.
4) Lobus Oksipital
Fungsinya untuk visual center. Kerusakan pada lobus ini otomatis akan
kehilangan fungsi dari lobus itu sendiri yaitu penglihatan.
b. Cereblum
Terdapat dibagian belakang kranium menepati fosa serebri posterior dibawah lapisan
durameter. Cereblum mempunyai aski yaitu ; merangsang dan menghambat serta
mempunyai tanggunag jawab yang luas terhadap koordinasi dan gerakan halus.
Ditambah mengontrol gerakan yang benar, keseimbangan posisi dan
mengintegrasikaninput sesori.
c. Brainstem
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan medula oblomata. Otak tengah
midbrain / ensefalon menghubungkan pons dan sereblum dengan hemisfer
sereblum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan motorik, sebagai pusat reflek
pendengaran dan penglihatan. Pons terletak didepan sereblum antara otak tengah
dan medula, serta merupakan jembatan antara 2 bagian sereblum dan juga antara
medula dengan serebrum. Pons berisi jarak sensorik dan motorik. Medula oblomata
membentuk bagian inferior dari batang otak, terdapat pusat –pusat otonom yang
mengatur fungsi-fungsi vital seperti pernafasan, frekuensi jantung, pusat muntah,
tonus vasomotor, reflek batuk dan bersin.
d. Saraf-Saraf Otak
Suzanne C Smeltzer, (2001) Nervus kranialis dapat terganggu bila trauma kepala
meluas sampai batang otak karena edema otak atau pendarahan otak. Kerusakan
nervus yaitu:
a) Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I)
Saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi, membawa rangsangan
aroma (bau-bauan) dari rongga hidung ke otak.
b) Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke otak.
c) Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola mata)
menghantarkan serabut-serabut saraf para simpati untuk melayani otot siliaris
dan otot iris.
d) Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf pemutar mata yang pusatnya
terletak dibelakang pusat saraf penggerak mata.
e) Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)
Sifatnya majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyai tiga buah cabang.
Fungsinya sebagai saraf kembar tiga, saraf ini merupakan saraf otak besar,
sarafnya yaitu:
Nervus oftalmikus: sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala bagian depan
kelopak mata atas, selaput lendir kelopak mata dan bola mata.
Nervus maksilaris: sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas, bibir atas, palatum,
batang hidung, ronga hidung dan sinus maksilaris.
Nervus mandibula: sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi otot-
otot pengunyah. Serabut-serabut sensorisnya mensarafi gigi bawah, kulit
daerah temporal dan dagu.
f) Nervus Abducens (Nervus Kranialis VI)
Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai saraf
penggoyang sisi mata
g) Nervus Fasialis (Nervus Kranialis VII)
Sifatnya majemuk (sensori dan motori) serabut-serabut motorisnya mensarafi
otot-otot lidah dan selaput lendir ronga mulut. Di dalam saraf ini terdapat serabut-
serabut saraf otonom (parasimpatis) untuk wajah dan kulit kepala fungsinya
sebagai mimik wajah untuk menghantarkan rasa pengecap.
h) Nervus Akustikus (Nervus Kranialis VIII)
Sifatnya sensori, mensarafi alat pendengar, membawa rangsangan dari
pendengaran dan dari telinga ke otak. Fungsinya sebagai saraf pendengar.
i) Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)
Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring, tonsil dan lidah, saraf
ini dapat membawa rangsangan cita rasa ke otak.
j) Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)
Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris) mengandung saraf-saraf motorik,
sensorik dan parasimpatis faring, laring, paru-paru, esofagus, gaster intestinum
minor, kelenjar-kelenjar pencernaan dalam abdomen. Fungsinya sebagai saraf
perasa.
k) Nervus Aksesorius (Nervus Kranialis XI)
Saraf ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan muskulus trapezium,
fungsinya sebagai saraf tambahan
l) Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)
Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf ini
terdapat di dalam sumsum penyambung.
C. ETIOLOGI
Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan
kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural.
Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:
1. Trauma kapitis
Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau putaran
otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.
2. Trauma pada leher karena guncangan pada badan.
Hal ini lebih mudah terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya
pada orangtua dan juga pada anak - anak.
3. Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan subdural
4. Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan subdural
yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial. Pada
orang tua, alkoholik, gangguan hati.
D. PATOFISIOLOGI
Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi
akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan
otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak
yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam
keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek
beberapa vena halus pada tempat di mana mereka menembus duramater Perdarahan yang
besar akan menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural. Perdarahan
yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan tumbuh jaringan ikat yang
membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan dari
sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan
intracranial yang berangsur meningkat.
Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena
jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil sehingga
walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut.
Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering
menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Pada
perdarahan subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma
yang besar biasanya menyebabkan terjadinya membran vaskular yang membungkus
hematoma subdural tersebut. Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran
ini memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh
sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural kronik. Akibat
dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan perubahan dari
bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis
spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi
relatif perlahan karena komplains tekanan intra kranial yang cukup tinggi.
Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui
mekanisme kompensasi tersebut.
Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan
tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi
iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi
tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah
melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma
subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih
terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya. Terdapat 2 teori yang menjelaskan
terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa
sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein
yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan
tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat
inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada
kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian didapatkan bahwa tekanan
onkotik di dalam subdural kronik ternyata hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah
merah. Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang yangdapat
mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan
dapat meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi bantuan
dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural
hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas
dari fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik. (Price and Wilson,
1995).
E. KLASIFIKASI
Perdarahan Subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat timbulnya gejala-
gejala klinis (J Langham, dkk ; 2003) adalah :
a. Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma. Biasanya terjadi pada
cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada
pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat
kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya,
didapatkan lesi hiperdens.
b. Perdarahan sub akut
Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada
subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah . Perdarahan
dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran
skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan karena
terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.
c. Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan kronik
subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah
trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa
mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau
gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati hati
karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan
sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula
jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum
terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea
bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang
tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari
plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh
darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan
menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang
dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan
menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik
dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya
didapatkan lesi hipodens. Pembagian Subdural kronik : Berdasarkan pada arsitektur internal
dan densitas tiap hematom, perdarahan subdural kronik dibagi menjadi 4 kelompok tipe, yaitu
:
F. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala yang timbul pada hematoma dalah sebagai berikut subdural (Sylvia A :
2005, Diane C : 2002) adalah :
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada pasien dengan subdural hematom adalah sebagai berikut
( Junaidi ; 2010) :
1. CT Scan
CT Scan saat tanpa atau dengan kontras mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan
ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2. MRI (Magnetic resonance imaging)
Magnetic resonance imaging (MRI) sangat berguna untuk mengidentifikasi perdarahan
ekstraserebral. Akan tetapi CT-scan mempunyai proses yang lebih cepat dan akurat untuk
mendiagnosa SDH sehingga lebih praktis menggunakan CT-scan dibandingkan MRI pada
fase akut penyakit. MRI baru dipakai pada masa setelah trauma terutama untuk menetukan
kerusakan parenkim otak yang berhubungan dengan trauma yang tidak dapat dilihat dengan
pemeriksaan CT-scan. MRI lebih sensitif untuk mendeteksi lesi otak nonperdarahan, kontusio,
dan cedera aksonal difus. MRI dapat membantu mendiagnosis bilateral subdural hematom
kronik karena pergeseran garis tengah yang kurang jelas pada CT-scan.
3. Angiografi Serebral
Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema,
perdarahan, trauma.
4. X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan /
edema), fragmen tulang.
5. Analisa Gas Darah
Medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan
intrakranial.
6. Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan
7. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi, pemeriksaan darah rutin, elektrolit, profil
hemostasis/koagulasi.
8. Foto tengkorak
Pemeriksaan foto tengkorak tidak dapat dipakai untuk memperkirakan adanya SDH. Fraktur
tengkorak sering dipakai untuk meramalkan kemungkinan adanya perdarahan intrakranial
tetapi tidak ada hubungan yang konsisten antara fraktur tengkorak dan SDH. Bahkan fraktur
sering didapatkan kontralateral terhadap SDH.
H. PENATALAKSANAAN MEDIK
Penatalaksanaan medik yang dilakukan pada pasien dengan subdural hematom adalah
sebagai berikut (Junaidi ; 2010) :
4. Follow – Up
CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan untuk
menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.
5. Pengobatan
a. Hiperventilasi
Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah vasodilatasi pembuluh darah.
b. Cairan hiperosmoler
Umumnya digunakan cairan Manitol 10¬-15% per infus untuk "menarik" air dari ruang intersel
ke dalam ruang intravaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis.
c. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid untuk menstabilkan sawar darah otak. Berupa Dexametason,
Metilprednisolon, dan Triamsinolon.
d. Barbiturat
Digunakan untuk mem"bius" pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan serendah
mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah,
otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun suplai
oksigen berkurang.
e. Pemberian obat-obat neurotropik untuk membantu mengatasi kesulitan/gangguan
metabolisme otak, termasuk pada keadaan koma.
Piritinol, merupakan senyawa mirip piridoksin (vitamin B6) yang dikatakan mengaktivasi
metabolisme otak dan memperbaiki struktur serta fungsi membran sel. Pada fase akut
diberikan dalam dosis 800-4000 mg/hari lewat infus. Tidak dianjurkan pemberian intravena
karena sifatnya asam sehingga mengiritasi vena.
Piracetam, merupakan senyawa mirip GABA - suatu neurotransmitter penting di otak.
Diberikan dalam dosis 4-12 gram/ hari intravena.
Citicholine, disebut sebagai koenzim pembentukan lecithin di otak. Lecithin sendiri diperlukan
untuk sintesis membran sel dan neurotransmitter di dalam otak. Diberikan dalam dosis 100-
500 mg/hari intravena.
I. KOMPLIKASI
Komplikasi yang terjadi pada pasien subdural hematoma adalah sebagai berikut (Anonim ;
2007) :
1. Subdural hematom dapat memberikan komplikasi berupa :
Hemiparese/hemiplegia
Disfasia / afasia
Epilepsi
Hidrosepalus
Subdural empiema
Stroke
Encephalitis
Abses otak
Adverse drugs reactions
Tumor otak
Perdarahan subarachnoid
2. Sedangakan outcome untuk subdural hematom adalah :
Mortalitas pada subdural hematom akut sekitar 75%-85%
Pada subdural hematom kronis :
- Sembuh tanpa gangguan neurologi sekitar 50%-80%.
- Sembuh dengan gangguan neurologi sekitar 20%-50%.
J. PENCEGAHAN
Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan
terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma. Upaya yang dilakukan (
Mansjoer, dkk ; 2000) yaitu :
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya kecelakaan lalu
lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang terjadinya cedera seperti
pengatur lalu lintas, memakai sabuk pengaman, dan memakai helm.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yangdirancang
untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang terjadi. Dilakukan dengan
pemberian pertolongan pertama, yaitu :
a) Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).
Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh tercepat pada kasus
cedera. Guna menghindari gangguan tersebut penanganan masalah airway menjadi prioritas
utama dari masalah yang lainnya. Beberapa kematian karena masalah airway disebabkan
oleh karena kegagalan mengenali masalah airway yang tersumbat baik oleh karena aspirasi
isi gaster maupun kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas tertutup lidah penderita
sendiri. Pada pasien dengan penurunan kesadaran mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya
gangguan jalan nafas, selain memeriksa adanya benda asing, sumbatan jalan nafas dapat
terjadi oleh karena pangkal lidahnya terjatuh ke belakang sehingga menutupi aliran udara ke
dalam paru. Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya yang mengancam airway.
b) Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatan adalah membantu
pernafasan. Keterlambatan dalam mengenali gangguan pernafasan dan membantu
pernafasan akan dapat menimbulkan kematian.
c) Menghentikan perdarahan (Circulations).
Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang berdarah sehingga
pembuluh darah tertutup. Kepala dapat dibalut dengan ikatan yang kuat. Bila ada syok, dapat
diatasi dengan pemberian cairan infuse dan bila perlu dilanjutkan dengan pemberian transfusi
darah. Syok biasanya disebabkan karena penderita kehilangan banyak darah.
3. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih
berat, penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas
untuk mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan hidup. Pencegahan tertier ini
penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan pengobatan serta
memberikan dukungan psikologis bagi penderita.
Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas perlu
ditangani melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi psikologis dan sosial.
a) Rehabilitasi Fisik
Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada lengan atas dan bawah
tubuh.
Perlengkapan splint dan kaliper
Transplantasi tendon
b) Rehabilitasi Psikologis
Pertama-tama dimulai agar pasien segera menerima ketidakmampuannya dan memotivasi
kembali keinginan dan rencana masa depannya. Ancaman kerusakan atas kepercayaan diri
dan harga diri datang dari ketidakpastian financial, sosial serta seksual yang semuanya
memerlukan semangat hidup.
c) Rehabilitasi Sosial
Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda, perubahan paling
sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur sehingga penderita tidak ketergantungan
terhadap bantuan orang lain.
Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan masyarakat).
ASUHAN KEPERAWATAN SDH
A. Pengkajian
1. Breathing
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung,
sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun
iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor,
ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi ), cenderung terjadi peningkatan
produksi sputum pada jalan napas.
2. Blood:
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi.
Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan
parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat,
merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
3. Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya
gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia
seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada
ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi
gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
a. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
b. Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan
sebagian lapang pandang, foto fobia.
c. Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
d. Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
e. Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus
menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
f. Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah
satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
4. Blader
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri,
ketidakmampuan menahan miksi.
5. Bowel
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah
(mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan
(disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
6. Bone
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi
yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi
spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena
rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal
selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.
INTERVENSI RASIONAL
a. Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakteraturan
pernapasan.
Pernapasan lambat, periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi
mekanis.
b. Pantau dan catat kompetensi reflek gag/menelan dan kemampuan pasien
untuk melindungi jalan napas sendiri. Pasang jalan napas sesuai indikasi.
Kemampuan memobilisasi atau membersihkan sekresi penting untuk
pemeliharaan jalan napas. Kehilangan refleks menelan atau batuk
menandakan perlunaya jalan napas buatan atau intubasi.
c. Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miirng sesuai indikasi.
Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan menurunkan adanya
kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas.
d. Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif bila pasien
sadar.
Mencegah/menurunkan atelektasis.
e. Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15
detik.
Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.
Penghisapan biasanya jika pasien koma atau dalam keadaan imobilisasi
dan tidak dapat membersihkan jalan napasnya sendiri.
f. Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara
tambahan yang tidak normal misal: ronkhi, wheezing, krekel.
Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti atelektasis, kongesti,
atau obstruksi jalan napas yang membahayakan oksigenasi cerebral
dan/atau menandakan terjadinya infeksi paru.
g. Pantau analisa gas darah, tekanan oksimetri dan Lakukan ronsen thoraks
ulang
Menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan asam basa dan
kebutuhan akan terapi.
h. Berikan oksigen.
Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan membantu dalam
pencegahan hipoksia.
3. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak,
prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh.
Tujuan: Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.
Kriteria evaluasi: Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.
INTERVENSI RASIONAL:
a. Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci tangan
yang baik.
Pencegahan infeksi nosokomial harus tetap diterapkan.
b. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang
alat invasi, catat karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi.
Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan
tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
c. Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil,
diaforesis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).
Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya
memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera
d. Ajarkan melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara
terus menerus. Observasi karakteristik sputum.
Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru menurunkan resiko
terjadinya pneumonia, atelektasis.
e. Berikan antibiotik sesuai indikasi Cara pertama untuk menghindari
terjadinya infeksi nosokomial.
Terapi profilatik digunakan pada pasien yang mengalami trauma,
kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan
resiko terjadinya infeksi nosokomial
DAFTAR PUSTAKA
Doenges M.E. (2000) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed).
Philadelpia, F.A. Davis Company.
Long; BC and Phipps WJ (1985) Essential of Medical Surgical Nursing : A Nursing Process
Approach St. Louis. Cv. Mosby Company.
Sidharta, P. dan Mardjono, M. 2006. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat