Anda di halaman 1dari 24

SUBDURAL HEMATOMA

DEPARTEMEN EMERGENCY

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Profesi Departemen Kegawatdaruratan


di RSUD Bangil

Oleh :

KRISMAYA ISMAYANTI

180070300111025

JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
KONSEP SUBDURAL HEMATOMA

A. PENGERTIAN

Subdural hematoma adalah terkumpulnya darah antara durameter dan jaringan otak,
yang dapat terjadi secara akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah
vena/jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan
sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi
dalam 2 minggu atau beberapa bulan (corwin, 2009).

Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural. Dalam


bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki ruang tersebut
sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea sehingga menambah penekanan
subdural pada jejas langsung di otak. Dalam bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang
subdural akibat pecahnya vena-vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala
tertutup. Efusi itu merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah
cedera, sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan
darah (arif muttaqin,2008).

B. ANATOMI FISIOLOGI

1. Tengkorak
Tulang tengkorak menurut, Evelyn C Pearce (2008) merupakan struktur tulang yang menutupi
dan melindungi otak, terdiri dari tulang kranium dan tulang muka. Tulang kranium terdiri dari
3 lapisan : lapisan luar, etmoid dan lapisan dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan struktur
yang kuat sedangkan etmoid merupakan struktur yang menyerupai busa. Lapisan dalam
membentuk rongga / fosa ; fosa anterior didalamnya terdapat lobus frontalis, fosa tengah
berisi lobus temporalis, parientalis, oksipitalis, fosa posterior berisi otak tengah dan sereblum
2. Meningen

Otak dan sumsum tulang belakang diselimuti meningia yang melindungi syruktur saraf
yang halus itu, membawa pembulu darah dan dengan sekresi sejenis cairan, yaitu: cairan
serebrospinal yang memperkecil benturan atau goncangan (Pearce, Evelyn C : 2008). Selaput
meningen menutupi terdiri dari 3 lapisan yaitu:
a. Dura mater

Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan
lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat
fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat
pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial ruang
subdural yang terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana sering dijumpai
perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh – pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging
Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis
superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi
dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Hematoma subdural yang
besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui
pembedahan.

Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah: 1) sakit kepala yang


menetap 2) rasa mengantuk yang hilang-timbul 3) linglung 4) perubahan ingatan 5)
kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan. Arteri-arteri meningea terletak
antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium ruang epidural. Adanya fraktur dari
tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan
perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea
media yang terletak pada fosa media fosa temporalis. Hematoma epidural diatasi
sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam tulang tengkorak untuk
mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian dan penyumbatan sumber
perdarahan.

b. Selaput Arakhnoid

Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang
meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium
subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh
liquorserebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera
kepala.

c. Pia mater

Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah membrana
vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk ke dalam sulci
yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan
epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia
mater.

3. Otak

Menurut Ganong (2002), Price (2005), otak terdiri dari 3 bagian, antara lain yaitu:

a. Cerebrum
Serebrum atau otak besar terdiri dari dari 2 bagian, hemispherium serebri kanan dan
kiri. Setiap henispher dibagi dalam 4 lobus yang terdiri dari lobus frontal, oksipital,
temporal dan pariental. Yang masing-masing lobus memiliki fungsi yang berbeda,
yaitu:
1) Lobus frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik
misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu. Lobus frontalis
juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. daerah tertentu pada lobus
frontalis bertanggung jawab terhadap aktivitas motorik tertentu pada sisi tubuh yang
berlawanan. Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung
kepada ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika
hanya mengenai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku
yang nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang. Kerusakan luas yang mengarah
ke bagian belakang lobus frontalis bisa menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan
kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau
samping lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan,
kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam.
2) Lobus parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk,
tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan
matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu
mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian
tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa
pada sisi tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan
hilangnya kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan keadaan ini disebut
ataksia dan untuk menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan yang luas bisa
mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali bagian tubuhnya atau ruang
di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk yang
sebelumnya dikenal dengan baik misalnya, bentuk kubus atau jam dinding. Penderita
bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun
melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya.
3) Lobus temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan
mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami
suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta
menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan
menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus
temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal
dari luar maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan
bahasanya. Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang nondominan,
akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat
kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.

4) Lobus Oksipital

Fungsinya untuk visual center. Kerusakan pada lobus ini otomatis akan
kehilangan fungsi dari lobus itu sendiri yaitu penglihatan.

b. Cereblum
Terdapat dibagian belakang kranium menepati fosa serebri posterior dibawah lapisan
durameter. Cereblum mempunyai aski yaitu ; merangsang dan menghambat serta
mempunyai tanggunag jawab yang luas terhadap koordinasi dan gerakan halus.
Ditambah mengontrol gerakan yang benar, keseimbangan posisi dan
mengintegrasikaninput sesori.

c. Brainstem
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan medula oblomata. Otak tengah
midbrain / ensefalon menghubungkan pons dan sereblum dengan hemisfer
sereblum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan motorik, sebagai pusat reflek
pendengaran dan penglihatan. Pons terletak didepan sereblum antara otak tengah
dan medula, serta merupakan jembatan antara 2 bagian sereblum dan juga antara
medula dengan serebrum. Pons berisi jarak sensorik dan motorik. Medula oblomata
membentuk bagian inferior dari batang otak, terdapat pusat –pusat otonom yang
mengatur fungsi-fungsi vital seperti pernafasan, frekuensi jantung, pusat muntah,
tonus vasomotor, reflek batuk dan bersin.

d. Saraf-Saraf Otak
Suzanne C Smeltzer, (2001) Nervus kranialis dapat terganggu bila trauma kepala
meluas sampai batang otak karena edema otak atau pendarahan otak. Kerusakan
nervus yaitu:
a) Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I)
Saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi, membawa rangsangan
aroma (bau-bauan) dari rongga hidung ke otak.
b) Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke otak.
c) Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola mata)
menghantarkan serabut-serabut saraf para simpati untuk melayani otot siliaris
dan otot iris.
d) Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf pemutar mata yang pusatnya
terletak dibelakang pusat saraf penggerak mata.
e) Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)
Sifatnya majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyai tiga buah cabang.
Fungsinya sebagai saraf kembar tiga, saraf ini merupakan saraf otak besar,
sarafnya yaitu:
 Nervus oftalmikus: sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala bagian depan
kelopak mata atas, selaput lendir kelopak mata dan bola mata.
 Nervus maksilaris: sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas, bibir atas, palatum,
batang hidung, ronga hidung dan sinus maksilaris.
 Nervus mandibula: sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi otot-
otot pengunyah. Serabut-serabut sensorisnya mensarafi gigi bawah, kulit
daerah temporal dan dagu.
f) Nervus Abducens (Nervus Kranialis VI)
Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai saraf
penggoyang sisi mata
g) Nervus Fasialis (Nervus Kranialis VII)
Sifatnya majemuk (sensori dan motori) serabut-serabut motorisnya mensarafi
otot-otot lidah dan selaput lendir ronga mulut. Di dalam saraf ini terdapat serabut-
serabut saraf otonom (parasimpatis) untuk wajah dan kulit kepala fungsinya
sebagai mimik wajah untuk menghantarkan rasa pengecap.
h) Nervus Akustikus (Nervus Kranialis VIII)
Sifatnya sensori, mensarafi alat pendengar, membawa rangsangan dari
pendengaran dan dari telinga ke otak. Fungsinya sebagai saraf pendengar.
i) Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)
Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring, tonsil dan lidah, saraf
ini dapat membawa rangsangan cita rasa ke otak.
j) Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)
Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris) mengandung saraf-saraf motorik,
sensorik dan parasimpatis faring, laring, paru-paru, esofagus, gaster intestinum
minor, kelenjar-kelenjar pencernaan dalam abdomen. Fungsinya sebagai saraf
perasa.
k) Nervus Aksesorius (Nervus Kranialis XI)
Saraf ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan muskulus trapezium,
fungsinya sebagai saraf tambahan
l) Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)
Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf ini
terdapat di dalam sumsum penyambung.

C. ETIOLOGI

Penyebab subdural hematoma antara lain (Rosjidi, 2007):

1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda dan mobil.


2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3. Cedera akibat kekerasan.
4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek
otak.
5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya.
6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek
otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam.

Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan
kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural.
Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:
1. Trauma kapitis
Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau putaran
otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.
2. Trauma pada leher karena guncangan pada badan.
Hal ini lebih mudah terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya
pada orangtua dan juga pada anak - anak.
3. Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan subdural
4. Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan subdural
yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial. Pada
orang tua, alkoholik, gangguan hati.

D. PATOFISIOLOGI
Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi
akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan
otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak
yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam
keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek
beberapa vena halus pada tempat di mana mereka menembus duramater Perdarahan yang
besar akan menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural. Perdarahan
yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan tumbuh jaringan ikat yang
membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan dari
sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan
intracranial yang berangsur meningkat.
Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena
jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil sehingga
walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut.
Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering
menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Pada
perdarahan subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma
yang besar biasanya menyebabkan terjadinya membran vaskular yang membungkus
hematoma subdural tersebut. Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran
ini memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh
sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural kronik. Akibat
dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan perubahan dari
bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis
spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi
relatif perlahan karena komplains tekanan intra kranial yang cukup tinggi.
Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui
mekanisme kompensasi tersebut.
Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan
tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi
iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi
tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah
melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma
subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih
terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya. Terdapat 2 teori yang menjelaskan
terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa
sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein
yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan
tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat
inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada
kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian didapatkan bahwa tekanan
onkotik di dalam subdural kronik ternyata hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah
merah. Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang yangdapat
mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan
dapat meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi bantuan
dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural
hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas
dari fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik. (Price and Wilson,
1995).

E. KLASIFIKASI
Perdarahan Subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat timbulnya gejala-
gejala klinis (J Langham, dkk ; 2003) adalah :

a. Perdarahan akut

Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma. Biasanya terjadi pada
cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada
pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat
kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya,
didapatkan lesi hiperdens.
b. Perdarahan sub akut

Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada
subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah . Perdarahan
dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran
skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan karena
terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.

c. Perdarahan kronik

Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan kronik
subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah
trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa
mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau
gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati hati
karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan
sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula
jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum
terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea
bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang
tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari
plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh
darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan
menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang
dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan
menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik
dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya
didapatkan lesi hipodens. Pembagian Subdural kronik : Berdasarkan pada arsitektur internal
dan densitas tiap hematom, perdarahan subdural kronik dibagi menjadi 4 kelompok tipe, yaitu
:

1) Tipe homogen ( homogenous)


2) Tipe laminar
3) Tipe terpisah ( seperated)
4) Tipe trabekular (trabecular)
Tingkat kekambuhan pada tipe terpisah adalah tinggi sedangkan pada tipe yang
trabekular adalah rendah. Pada perdarahan subdural kronik diyakini bahwa pada awalnya
dalam bentuk homogen, kemusian seringkali berlanjut menjadi bentuk laminar. Sedangkan
pada subdural kronik yang matang, diwakili oleh stadium terpisah dan hematomnya terkadang
melalui stadium trabekular selama penyerapan. Sedangkan berdasarkan perluasan
iutrakranial dari tiap hematom, perdarahan subdural kronik dikelompokkan menjadi 3 tipe
yaitu:
1) Tipe konveksiti (convexity)
2) Tipe basis cranial ( cranial base )
3) Tipe interhemisferik
Tingkat kekambuhan perdarahan subdural Kronik tipe cranial base adalah tinggi,
sedangkan kekambuhan tipe convexity adalah rendah. Pengelompokan perdarahan subdural
kronik berdasarkan arsitektur internal dan perluasan intra kranial ini berguna untuk
memperkirakan resiko terjadinya kekambuhan pasca operatif.

F. MANIFESTASI KLINIS

Tanda dan gejala yang timbul pada hematoma dalah sebagai berikut subdural (Sylvia A :
2005, Diane C : 2002) adalah :

1. Hematoma Subdural Akut


Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam
setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif
disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen
magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat
menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan
darah.
2. Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi
kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini
juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural. Anamnesis klinis dari
penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran,
selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu
tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk.
Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam. Dengan
meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita mengalami
kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara
maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh
akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda
neurologik dari kompresi batang otak.
3. Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan
beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah satu vena yang
melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural.
Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane
fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam
hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran
hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau
pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma. Hematoma
subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena
venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan;
selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI
bisa menunjukkan adanya genangan darah.
Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena
tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa
seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan
gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya
pengaliran perdarahan ini adalah:
Sakit kepala yang menetap
Rasa mengantuk yang hilang-timbul
Linglung
Perubahan ingatan
Kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang pada pasien dengan subdural hematom adalah sebagai berikut
( Junaidi ; 2010) :

1. CT Scan
CT Scan saat tanpa atau dengan kontras mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan
ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2. MRI (Magnetic resonance imaging)
Magnetic resonance imaging (MRI) sangat berguna untuk mengidentifikasi perdarahan
ekstraserebral. Akan tetapi CT-scan mempunyai proses yang lebih cepat dan akurat untuk
mendiagnosa SDH sehingga lebih praktis menggunakan CT-scan dibandingkan MRI pada
fase akut penyakit. MRI baru dipakai pada masa setelah trauma terutama untuk menetukan
kerusakan parenkim otak yang berhubungan dengan trauma yang tidak dapat dilihat dengan
pemeriksaan CT-scan. MRI lebih sensitif untuk mendeteksi lesi otak nonperdarahan, kontusio,
dan cedera aksonal difus. MRI dapat membantu mendiagnosis bilateral subdural hematom
kronik karena pergeseran garis tengah yang kurang jelas pada CT-scan.
3. Angiografi Serebral
Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema,
perdarahan, trauma.
4. X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan /
edema), fragmen tulang.
5. Analisa Gas Darah
Medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan
intrakranial.
6. Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan
7. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi, pemeriksaan darah rutin, elektrolit, profil
hemostasis/koagulasi.
8. Foto tengkorak
Pemeriksaan foto tengkorak tidak dapat dipakai untuk memperkirakan adanya SDH. Fraktur
tengkorak sering dipakai untuk meramalkan kemungkinan adanya perdarahan intrakranial
tetapi tidak ada hubungan yang konsisten antara fraktur tengkorak dan SDH. Bahkan fraktur
sering didapatkan kontralateral terhadap SDH.

H. PENATALAKSANAAN MEDIK

Penatalaksanaan medik yang dilakukan pada pasien dengan subdural hematom adalah
sebagai berikut (Junaidi ; 2010) :

1. Tindakan Tanpa Pembedahan


Pada kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc ataupun kurang) dilakukan tindakan
konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi penyerapan darah yang
rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuran. Servadei
dkk merawat non operatif 15 penderita dengan SDH akut dimana tebal hematoma < 1 cm dan
midline shift kurang dari 0.5 cm. Dua dari penderita ini kemudian mendapat ICH yang
memerlukan tindakan operasi. Ternyata dua pertiga dari penderita ini mendapat perbaikan
fungsional. Merawat nonoperatif sejumlah penderita SDH akut dengan tekanan intrakranial
(TIK) yang normal dan GCS 11 – 15. Hanya 6% dari penderita yang membutuhkan operasi
untuk SDH. Penderita SDH akut yang berada dalam keadaan koma tetapi tidak menunjukkan
peningkatan tekanan intrakranial (PTIK) yang bermakna kemungkinan menderita suatu
diffuse axonal injury.
Pada penderita ini, operasi tidak akan memperbaiki defisit neurologik dan karenanya tidak
di indikasikan untuk tindakan operasi. Beberapa penderita mungkin mendapat kerusakan
berat parenkim otak dengan efek massa (mass effect) tetapi SDH hanya sedikit. Pada
penderita ini, tindakan operasi/evakuasi walaupun terhadap lesi yang kecil akan merendahkan
TIK dan memperbaiki keadaan intraserebral. Pada penderita SDH akut dengan refleks batang
otak yang negatif dan depresi pusat pernafasan hampir selalu mempunyai prognosa akhir
yang buruk dan bukan calon untuk operasi.
2. Tindakan Pembedahan
Hematoma subdural yang akut dan kronik, jika memberikan gejala-gejala yang berat dan
progresif maka perlu dioperasi. Pada CT scan pasien dengan hematoma subdural dengan
ketebalan lesi > 10 mm atau midline-shift > 5 mm maka harus dievakuasi dengan
pembedahan,tanpa memperhatikan GCS pasien. Semua pasien dengan hematoma subdural
akut dengan koma maka Tekanan intrakranialnya harus diawasi. Pasien dengan status koma
dengan ketebalan lesi hematom subdural < 10 mm dan midline shift < 5 mm harus dievakuasi
dengan pembedahan jika GCS menurun diantara waktu trauma dan masuk di rumah sakit
dengan 2 atau lebih poin dan atau pasien yang menunjukkan asimetris dan atau pupil dilatasi
dan atau tekanan intrakranial melebihi 20 mm Hg.
Pada pasien dengan hematoma subdural akut dan berindikasi untuk dilakukan
pembedahan, maka evakuasi dengan pembedahan harus dilakukan sesegera mungkin. Jika
terdapat indikasi evakuasi pembedahan pada pasien hematoma subdural akut yang koma,
maka harus dilakukan dengan menggunakan kraniotomi dengan atau tanpa bone flap removal
dan duraplasti.
Evakuasi secara bedah merupakan pengobatan definitif dan tak boleh terlambat, karena
menimbulkan resiko berupa iskemia otak dan hiperventilasi. Pembedahan pada hematoma
subdural akut dengan kraniotomi yang cukup luas untuk mengurangi penekanan pada otak
(dekompresi), menghentikan perdarahan aktif subdural, dan evakuasi darah intraparenkimal.
Setelah evakuasi hematom pada hematoma subdural akut, pemberian obat ditujukan
untuk pengontrolan terhadap tekanan intrakranial (TIK) dan mempertahankan tekanan perfusi
serebral di atas 60-70 mmHg. Parameter ini dipertahankan selama periode perioperatif. Bila
dalam 24 jam ditemukan terjadinya suatu hematoma subdural akut berulang atau ada suatu
peningkatan tekanan intrakranial dilakukan follow up dengan pemeriksaan CT scan ulang
segera untuk melihat lesi intrakranial atau reakumulasi hematoma subdural. Pemeriksaan
pembekuan trombosit darah setelah tindakan operasi diikuti untuk mengoreksi jika ada suatu
resiko perdarahan tambahan.
3. Perawatan Pascabedah
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan dibuka
pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan
dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian. Setelah operasi pun kita harus tetap berhati-hati,
karena pada sebagian pasien dapat terjadi perdarahan lagi yang berasal dari pembuluh darah
yang baru terbentuk, subdural empiema, irigasi yang kurang baik, pergeseran otak yang tiba-
tiba, kejang, tension pneumoencephalus, kegagalan dari otak untuk mengembang kembali
dan terjadinya reakumulasi dari cairan subdural. Maka dalam hal ini hematoma harus
dikeluarkan lagi dan sumber perdarahan harus ditiadakan. Serial CT-scan tomografi pasca
kraniotomi sebaiknya juga dilakukan.

4. Follow – Up

CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan untuk
menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.

5. Pengobatan
a. Hiperventilasi
Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah vasodilatasi pembuluh darah.
b. Cairan hiperosmoler
Umumnya digunakan cairan Manitol 10¬-15% per infus untuk "menarik" air dari ruang intersel
ke dalam ruang intravaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis.
c. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid untuk menstabilkan sawar darah otak. Berupa Dexametason,
Metilprednisolon, dan Triamsinolon.
d. Barbiturat
Digunakan untuk mem"bius" pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan serendah
mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah,
otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun suplai
oksigen berkurang.
e. Pemberian obat-obat neurotropik untuk membantu mengatasi kesulitan/gangguan
metabolisme otak, termasuk pada keadaan koma.
Piritinol, merupakan senyawa mirip piridoksin (vitamin B6) yang dikatakan mengaktivasi
metabolisme otak dan memperbaiki struktur serta fungsi membran sel. Pada fase akut
diberikan dalam dosis 800-4000 mg/hari lewat infus. Tidak dianjurkan pemberian intravena
karena sifatnya asam sehingga mengiritasi vena.
Piracetam, merupakan senyawa mirip GABA - suatu neurotransmitter penting di otak.
Diberikan dalam dosis 4-12 gram/ hari intravena.
Citicholine, disebut sebagai koenzim pembentukan lecithin di otak. Lecithin sendiri diperlukan
untuk sintesis membran sel dan neurotransmitter di dalam otak. Diberikan dalam dosis 100-
500 mg/hari intravena.

I. KOMPLIKASI
Komplikasi yang terjadi pada pasien subdural hematoma adalah sebagai berikut (Anonim ;
2007) :
1. Subdural hematom dapat memberikan komplikasi berupa :
Hemiparese/hemiplegia
Disfasia / afasia
Epilepsi
Hidrosepalus
Subdural empiema
Stroke
Encephalitis
Abses otak
Adverse drugs reactions
Tumor otak
Perdarahan subarachnoid
2. Sedangakan outcome untuk subdural hematom adalah :
Mortalitas pada subdural hematom akut sekitar 75%-85%
Pada subdural hematom kronis :
- Sembuh tanpa gangguan neurologi sekitar 50%-80%.
- Sembuh dengan gangguan neurologi sekitar 20%-50%.

J. PENCEGAHAN

Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan
terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma. Upaya yang dilakukan (
Mansjoer, dkk ; 2000) yaitu :

1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya kecelakaan lalu
lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang terjadinya cedera seperti
pengatur lalu lintas, memakai sabuk pengaman, dan memakai helm.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yangdirancang
untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang terjadi. Dilakukan dengan
pemberian pertolongan pertama, yaitu :
a) Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).
Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh tercepat pada kasus
cedera. Guna menghindari gangguan tersebut penanganan masalah airway menjadi prioritas
utama dari masalah yang lainnya. Beberapa kematian karena masalah airway disebabkan
oleh karena kegagalan mengenali masalah airway yang tersumbat baik oleh karena aspirasi
isi gaster maupun kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas tertutup lidah penderita
sendiri. Pada pasien dengan penurunan kesadaran mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya
gangguan jalan nafas, selain memeriksa adanya benda asing, sumbatan jalan nafas dapat
terjadi oleh karena pangkal lidahnya terjatuh ke belakang sehingga menutupi aliran udara ke
dalam paru. Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya yang mengancam airway.
b) Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatan adalah membantu
pernafasan. Keterlambatan dalam mengenali gangguan pernafasan dan membantu
pernafasan akan dapat menimbulkan kematian.
c) Menghentikan perdarahan (Circulations).
Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang berdarah sehingga
pembuluh darah tertutup. Kepala dapat dibalut dengan ikatan yang kuat. Bila ada syok, dapat
diatasi dengan pemberian cairan infuse dan bila perlu dilanjutkan dengan pemberian transfusi
darah. Syok biasanya disebabkan karena penderita kehilangan banyak darah.
3. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih
berat, penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas
untuk mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan hidup. Pencegahan tertier ini
penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan pengobatan serta
memberikan dukungan psikologis bagi penderita.
Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas perlu
ditangani melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi psikologis dan sosial.
a) Rehabilitasi Fisik
Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada lengan atas dan bawah
tubuh.
Perlengkapan splint dan kaliper
Transplantasi tendon
b) Rehabilitasi Psikologis
Pertama-tama dimulai agar pasien segera menerima ketidakmampuannya dan memotivasi
kembali keinginan dan rencana masa depannya. Ancaman kerusakan atas kepercayaan diri
dan harga diri datang dari ketidakpastian financial, sosial serta seksual yang semuanya
memerlukan semangat hidup.
c) Rehabilitasi Sosial
Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda, perubahan paling
sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur sehingga penderita tidak ketergantungan
terhadap bantuan orang lain.
Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan masyarakat).
ASUHAN KEPERAWATAN SDH

A. Pengkajian
1. Breathing
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung,
sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun
iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor,
ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi ), cenderung terjadi peningkatan
produksi sputum pada jalan napas.
2. Blood:
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi.
Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan
parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat,
merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
3. Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya
gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia
seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada
ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi
gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
a. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
b. Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan
sebagian lapang pandang, foto fobia.
c. Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
d. Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
e. Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus
menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
f. Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah
satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
4. Blader
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri,
ketidakmampuan menahan miksi.
5. Bowel
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah
(mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan
(disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
6. Bone
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi
yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi
spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena
rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal
selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.

B. Diagnosa, Intervensi dan Rasional.


1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran
darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia
(hipovolemia, disritmia jantung)
Tujuan: Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi
motorik/sensorik.
Kriteria hasil: Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK.
INTERVENSI RASIONAL
a. Pantau /catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai
standar GCS.
Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat
dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.
b. Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi
terhadap cahaya.
Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (III) berguna untuk
menentukan apakah batang otak masih baik. Ukuran/ kesamaan
ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan simpatis dan
parasimpatis.
c. Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, frekuensi nafas, suhu.
Peningkatan TD sistemik yang diikuti oleh penurunan TD diastolik (nadi
yang membesar) merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti
oleh penurunan kesadaran. Demam dapat mencerminkan kerusakan pada
hipotalamus.
d. Pantau intake dan out put, turgor kulit dan membran mukosa.
Sebagai indikator dari cairan total tubuh yang terintegrasi dengan perfusi
jaringan. Iskemia/trauma serebral dapat mengakibatkan diabetes insipidus
e. Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti lingkungan
yang tenang.
Memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi fisiologis tubuh dan
meningkatkan istirahat untuk mempertahankan atau menurunkan TIK
f. Bantu pasien untuk menghindari / membatasi batuk, muntah, mengejan.
Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad sesuai indikasi/yang dapat
ditoleransi.
Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan intrathorak dan intraabdomen
yang dapat meningkatkan TIK.
g. Batasi pemberian cairan sesuai indikasi.
Pembatasan cairan diperlukan untuk menurunkan edema serebral,
meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler TD dan TIK.

h. Berikan obat sesuai indikasi.


Diuretik pada fase akut untuk menurunkan air dari sel otak, edema otak
dan TIK. Steroid menurunkan inflamasi, yang selanjutnya menurunkan
edema jaringan. Antikonvulsan untuk mengatasi dan mencegah terjadinya
aktifitas kejang. Analgesik untuk menghilangkan nyeri . Sedatif digunakan
untuk mengendalikan kegelisahan, agitasi. Antipiretik menurunkan atau
mengendalikan demam yang mempunyai pengaruh meningkatkan
metabolisme serebral atau peningkatan kebutuhan terhadap oksigen.

2. Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan


neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak).
Tujuan: mempertahankan pola pernapasan efektif.
Kriteria evaluasi: bebas sianosis, GDA dalam batas normal

INTERVENSI RASIONAL
a. Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakteraturan
pernapasan.
Pernapasan lambat, periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi
mekanis.
b. Pantau dan catat kompetensi reflek gag/menelan dan kemampuan pasien
untuk melindungi jalan napas sendiri. Pasang jalan napas sesuai indikasi.
Kemampuan memobilisasi atau membersihkan sekresi penting untuk
pemeliharaan jalan napas. Kehilangan refleks menelan atau batuk
menandakan perlunaya jalan napas buatan atau intubasi.
c. Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miirng sesuai indikasi.
Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan menurunkan adanya
kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas.
d. Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif bila pasien
sadar.
Mencegah/menurunkan atelektasis.
e. Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15
detik.
Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.
Penghisapan biasanya jika pasien koma atau dalam keadaan imobilisasi
dan tidak dapat membersihkan jalan napasnya sendiri.
f. Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara
tambahan yang tidak normal misal: ronkhi, wheezing, krekel.
Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti atelektasis, kongesti,
atau obstruksi jalan napas yang membahayakan oksigenasi cerebral
dan/atau menandakan terjadinya infeksi paru.
g. Pantau analisa gas darah, tekanan oksimetri dan Lakukan ronsen thoraks
ulang
Menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan asam basa dan
kebutuhan akan terapi.
h. Berikan oksigen.
Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan membantu dalam
pencegahan hipoksia.

3. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak,
prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh.
Tujuan: Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.
Kriteria evaluasi: Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.

INTERVENSI RASIONAL:
a. Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci tangan
yang baik.
Pencegahan infeksi nosokomial harus tetap diterapkan.
b. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang
alat invasi, catat karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi.
Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan
tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
c. Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil,
diaforesis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).
Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya
memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera
d. Ajarkan melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara
terus menerus. Observasi karakteristik sputum.
Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru menurunkan resiko
terjadinya pneumonia, atelektasis.
e. Berikan antibiotik sesuai indikasi Cara pertama untuk menghindari
terjadinya infeksi nosokomial.
Terapi profilatik digunakan pada pasien yang mengalami trauma,
kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan
resiko terjadinya infeksi nosokomial
DAFTAR PUSTAKA

Asikin Z (1991) Simposium Keperawatan Penderita Cedera Kepala.


Panatalaksanaan Penderita dengan Alat Bantu Napas, Jakarta.

Doenges M.E. (2000) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed).
Philadelpia, F.A. Davis Company.

Harsono (1993) Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada University Press

Long; BC and Phipps WJ (1985) Essential of Medical Surgical Nursing : A Nursing Process
Approach St. Louis. Cv. Mosby Company.

R.Sjamsuhidayat,Wim de Jong. 2010. “ Trauma dan Bencana” Dalam: R.Sjamsuhidayat,


Warko Karnadiharja, Thaddeneus O.H.Prasetyono, Reno Rudiman,editor: Buku Ajar Ilmu
Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC

Sidharta, P. dan Mardjono, M. 2006. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat

Anda mungkin juga menyukai

  • LP Hiperglikemia
    LP Hiperglikemia
    Dokumen16 halaman
    LP Hiperglikemia
    Krismaya Ismayanti
    100% (1)
  • Sistem Endokrin
    Sistem Endokrin
    Dokumen14 halaman
    Sistem Endokrin
    Tiya M Khusna
    100% (1)
  • Woc Fraktur
    Woc Fraktur
    Dokumen2 halaman
    Woc Fraktur
    Yanuar Yostan Ali Akbar
    100% (1)
  • Penyuluhan Maternitas
    Penyuluhan Maternitas
    Dokumen15 halaman
    Penyuluhan Maternitas
    Krismaya Ismayanti
    Belum ada peringkat
  • Presentasi
    Presentasi
    Dokumen6 halaman
    Presentasi
    Krismaya Ismayanti
    Belum ada peringkat
  • Progress Note
    Progress Note
    Dokumen3 halaman
    Progress Note
    Krismaya Ismayanti
    Belum ada peringkat
  • Rencana Asuhan Keperawatan
    Rencana Asuhan Keperawatan
    Dokumen5 halaman
    Rencana Asuhan Keperawatan
    Krismaya Ismayanti
    Belum ada peringkat
  • Penyuluhan PJB
    Penyuluhan PJB
    Dokumen8 halaman
    Penyuluhan PJB
    Krismaya Ismayanti
    Belum ada peringkat
  • LP CLL
    LP CLL
    Dokumen21 halaman
    LP CLL
    Krismaya Ismayanti
    Belum ada peringkat
  • LP Stemi Dan Pci
    LP Stemi Dan Pci
    Dokumen35 halaman
    LP Stemi Dan Pci
    Krismaya Ismayanti
    100% (1)
  • LP N Stemi
    LP N Stemi
    Dokumen34 halaman
    LP N Stemi
    Krismaya Ismayanti
    Belum ada peringkat
  • LP Fraktur Umum
    LP Fraktur Umum
    Dokumen22 halaman
    LP Fraktur Umum
    Krismaya Ismayanti
    Belum ada peringkat
  • TRAKSI
    TRAKSI
    Dokumen15 halaman
    TRAKSI
    Krismaya Ismayanti
    Belum ada peringkat
  • Pendidikan Kesehatan Kelompok
    Pendidikan Kesehatan Kelompok
    Dokumen10 halaman
    Pendidikan Kesehatan Kelompok
    Krismaya Ismayanti
    Belum ada peringkat
  • Fraktur Basis Cranii
    Fraktur Basis Cranii
    Dokumen14 halaman
    Fraktur Basis Cranii
    Krismaya Ismayanti
    Belum ada peringkat
  • BARTHEL
    BARTHEL
    Dokumen8 halaman
    BARTHEL
    Krismaya Ismayanti
    Belum ada peringkat
  • Subdural Hematoma
    Subdural Hematoma
    Dokumen24 halaman
    Subdural Hematoma
    Krismaya Ismayanti
    Belum ada peringkat
  • TRAKSI
    TRAKSI
    Dokumen15 halaman
    TRAKSI
    Krismaya Ismayanti
    Belum ada peringkat
  • Sap Ruang Poli Jiwa Manfaat Kontrol
    Sap Ruang Poli Jiwa Manfaat Kontrol
    Dokumen20 halaman
    Sap Ruang Poli Jiwa Manfaat Kontrol
    Krismaya Ismayanti
    Belum ada peringkat
  • LP Fraktur Umum
    LP Fraktur Umum
    Dokumen22 halaman
    LP Fraktur Umum
    Krismaya Ismayanti
    Belum ada peringkat
  • Api Poli
    Api Poli
    Dokumen8 halaman
    Api Poli
    Krismaya Ismayanti
    Belum ada peringkat
  • ASKEP
    ASKEP
    Dokumen3 halaman
    ASKEP
    Krismaya Ismayanti
    Belum ada peringkat
  • Pathway Pasien CVA T
    Pathway Pasien CVA T
    Dokumen3 halaman
    Pathway Pasien CVA T
    Krismaya Ismayanti
    Belum ada peringkat
  • Pathway Pasien CVA T
    Pathway Pasien CVA T
    Dokumen1 halaman
    Pathway Pasien CVA T
    Krismaya Ismayanti
    Belum ada peringkat
  • Resume Nama Klien: Tanggal: Usia: DX. Medis: S
    Resume Nama Klien: Tanggal: Usia: DX. Medis: S
    Dokumen2 halaman
    Resume Nama Klien: Tanggal: Usia: DX. Medis: S
    ghofur
    Belum ada peringkat
  • Pendidikan Kesehatan Kelompok
    Pendidikan Kesehatan Kelompok
    Dokumen10 halaman
    Pendidikan Kesehatan Kelompok
    Krismaya Ismayanti
    Belum ada peringkat
  • RKM
    RKM
    Dokumen5 halaman
    RKM
    Krismaya Ismayanti
    Belum ada peringkat
  • LP Hipertensi
    LP Hipertensi
    Dokumen21 halaman
    LP Hipertensi
    Krismaya Ismayanti
    Belum ada peringkat
  • Sistem Endokrin
    Sistem Endokrin
    Dokumen3 halaman
    Sistem Endokrin
    Krismaya Ismayanti
    Belum ada peringkat