(NSTEMI)
DEPARTEMEN EMERGENCY
Oleh :
KRISMAYA ISMAYANTI
180070300111025
JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
KONSEP NSTEMI
1. Pengertian NSTEMI
SKA merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan salah satu dari tiga
manifestasi klinis dari penyakit arteri coroner (Jones & Fix, 2009) :
Angina tak stabil
IM tanpa elevasi ST
IM dengan elevasi ST
Angina tak stabil dan NSTEMI mempunyai patogenesis dan presentasi klinik yang
sama, hanya berbeda dalam derajatnya. Bila ditemui penanda biokimia nekrosis miokard
(peningkatan troponin I, troponin T, atau CK-MB) maka diagnosis adalah NSTEMI;
sedangkan bila penanda biokimia ini tidak meninggi, maka diagnosis adalah APTS (Idrus
Alwi, 2006).
NSTEMI dalah IMA yang disebabkan penurunan suplai oksigen atau peningkatan
kebutuhan oksigen jantung yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena
trombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner. Trombosisi ini diawali dengan adanya
ruptur plak yang tidak stabil dan biasanya plak tersebut mempunyai inti lipid yang besar,
densitas otot polos yang rendah, fibrosus cap yang tipis, dan konsentrasi jaringan yang
tinggi. (Corwin, 2001).
NSTEMI adalah adanya ketidakseimbangan antara pemintaan dan suplai oksigen ke
miokardium terutama akibat penyempitan arteri koroner akan menyebabkan iskemia
miokardium local. Iskemia yang bersifat sementara akan menyebabkan perubahan
reversible pada tingkat sel dan jaringan. Pada NStemi gambaran EKG tidak ditemukn
adanya elevasi pada segmen ST (Sylvia,2006).
Infark miokard adalah kematian jaringan miokard yang diakibatkan oleh kerusakan
aliran darah koroner miokard (Carpenito, 2001). Infark miocard akut (IMA) merupakan
gangguan aliran darah ke jantung yang menyebabkan sel otot jantung mati. Aliran darah
di pembuluh darah terhenti setelah terjadi sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil
aliran kolateral dari pembuluh darah di sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama
sekali tidak mendapat aliran darah atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat
mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan mengalami infark (Guyton & Hall, 2007).
IMA diklasifikasikan berdasarkan EKG 12 lead dalam dua kategori, yaitu ST-
elevation infark miocard (STEMI) dan non ST-elevation infark miocard (NSTEMI). STEMI
merupakan oklusi total dari arteri koroner yang menyebabkan area infark yang lebih luas
meliputi seluruh ketebalan miokardium, yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST
pada EKG. Sedangkan NSTEMI merupakan oklusi sebagian dari arteri koroner tanpa
melibatkan seluruh ketebalan miokardium, sehingga tidak ada elevasi segmen ST pada
EKG.
Berdasarkan lapisan otot yang terkena :
- Transmural yaitu mengenai seluruh bagian ketebalan dinding ventrikel
bersangkutan
- Subendokardial yaitu mengenai sebagian dalam miokardium
Berdasarkan tempat oklusinya :
- Anterior mengenai desendens anterior kiri
- Posterior mengenai sirkumfleksa kiri
- Inferior mengenai koronaria kanan
3. Patofisiologi
Non ST elevation myocardial Infarction (NSTEMI) dapat disebabkan oleh
penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang
diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau proses
vasokonstriksi koroner. Trombosis akut pada arteri koroner diawali dengan adanya ruptur
plak yang tidak stabil (Corwin, Elizabeth 2009).
Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunyai inti lipid yang besar, densitas otot
polos yang rendah, fibrous cap yang tipis dan konsentrasi faktor jaringan yang tinggi. Inti
lemak yang cenderung ruptur mempunyai konsentrasi ester kolesterol dengan proporsi
asam lemak tak jenuh yang tinggi. Pada lokasi ruptur plak dapat dijumpai sel makrofag
dan limfosit T yang menunjukkan adanya proses inflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan
sitokin proinflamasi seperti TNF α , dan IL-6. Selanjutnya IL-6 merangsang pengeluaran
hsCRP di hati.
Nyeri yang lama yaitu minimal 30 menit, sedangkan pada angina kurang dari
itu. Disamping itu pada angina biasanya nyeri akan hilang dengan istirahat akan tetapi
pada infark tidak. Nyeri dan rasa tertekan pada dada itu bisa disertai dengan keluarnya
keringat dingin atau perasaan takut. Biasanya nyeri dada menjalar ke lengan kiri, bahu,
leher sampai ke epigastrium, akan tetapi pada orang tertentu nyeri yang terasa hanya
sedikit. Hal tersebut biasanya terjadi pada manula, atau penderita DM berkaitan
dengan neuropathy.
b. Sesak Nafas
Sesak nafas bisa disebabkan oleh peningkatan mendadak tekanan akhir
diastolik ventrikel kiri, disamping itu perasaan cemas bisa menimbulkan hiperventilasi.
Pada infark yang tanpa gejala nyeri, sesak nafas merupakan tanda adanya disfungsi
ventrikel kiri yang bermakna.
c. Gejala Gastrointestinal
Termasuk palpitasi, rasa pusing atau sinkop dari aritmia ventrikel dan gelisah.
Tabel 1. Karakteristik ACS (Acute Coronary Syndrome)
Jenis Nyeri Dada EKG Enzim Jantung
Angina pada waktu Depresi segmen ST Tidak meningkat
Angina Pectoris istirahat/ aktivitas Inversi gelombang T
Stabil ringan (ICS III-IV). Tidak ada
Hilang dengan nitrat gelombang Q
Lebih berat dan lama (> Depresi segmen ST Meningkat minimal 2
20 menit). Tidak hilang Inversi Gelombang T kali nilai batas atas
NSTEMI
dengan nitrat, perlu dalam normal
opium
Lebih berat dan lama (> Elevasi segmen ST Meningkat minimal 2
20 menit). Tidak hilang inversi gelombang T kali nilai batas atas
STEMI
dengan nitrat, perlu normal
opium
5. Klasifikasi KILLIP
Terdapat beberapa sistem dalam menentukan prognosis pasca IMA. Prognosis IMA
dengan melihat derajat disfungsi ventrikel kiri secara klinis dinilai menggunakan klasifikasi
Killip:
Tabel 2. Klasifikasi Killip Pada IMA
IIIa Severe Heart Failure. Edema paru akut (ALO) 10-15% 30-40
6. Pemeriksaan Penunjang
Angina pektoris tidak stabil (UAP) dan infark miokard akut tanpa elevasi ST
(NSTEMI) diketahui merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi dan
gejala klinis sehingga pada prinsipnya penatalaksanaan keduanya tidak berbeda.
Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis UAP menunjukkan
bukti adanya nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker jantung.15
Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yang lebih disukai
karena lebih spesifik daripada enzim jantung tradisional seperti CK dan CKMB. Pada
pasien dengan IMA, peningkatan awal troponin pada darah perifer setelah 3-4 jam dan
dapat menetap sampai 2 minggu.
Menurut pedoman American College of Cardiology (ACC) dan American Heart
Association (AHA) perbedaan angina tak stabil dan infark tanpa elevasi segmen ST
(NSTEMI) ialah apakah iskemi yang timbul cukup berat sehingga dapat menimbulkan
kerusakan pada miokardium, sehingga adanya petanda kerusakan miokardium dapat
diperiksa. Diagnosis angina tak stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemi sedangkan
tak ada kenaikan troponin maupun CK-MB, dengan ataupun tanpa perubahan ECG untuk
iskemi, seperti adanya depresi segmen ST ataupun elevasi sebentar atau adannya
gelombang T yang negatif.
a. Pemeriksaan fisik
Tujuan dilakukannya pemeriksaan fisik adalah untuk menegakkan diagnosis banding
dan mengidentifikasi pencetus. Selain itu, pemeriksaan fisik jika digabungkan dengan
keluhan angina (anamnesis), dapat menunjukkan tingkat kemungkinan keluhan nyeri
dada sebagai representasi SKA.
b. Biomarker Jantung
1) Troponin
Troponin adalah protein pengatur yang ditemukan di otot rangka dan jantung.
Tiga subunit yang telah diidentifikasi termasuk troponin I (TnI), troponin T (TnT), dan
troponin C (TnC). Gen yang mengkode isoform TnC pada otot rangka dan jantung
adalah identik. Karena itulah tidak ada perbedaan struktural diantara keduanya.
Walaupun demikian, subform TnI dan TnT pada otot rangka dan otot jantung berbeda
dengan jelas, dan immunoassay telah didesain untuk membedakan keduanya. Hal ini
menjelaskan kardiospesifitas yang unik dari cardiac troponin.
Troponin bukanlah marker awal untuk myocardial necrosis. Uji troponin
menunjukkan hasil positif pada 4-8 jam setelah gejala terjadi, mirip dengan waktu
pengeluaran CK-MB. Meski demikian, mereka tetap tinggi selama kurang lebih 7-10
hari pasca MI. Cardiac troponin itu sensitif, kardiospesifik, dan menyediakan informasi
prognostik untuk pasien dengan ACS. Terdapat hubungan antara level TnI atau TnT
dengan tingkat mortalitas dan adverse cardiac event pada ACS. Mereka telah menjadi
cardiac marker pilihan untuk pasien dengan ACS.
Petanda biokimia troponin T dan troponin I mempunyai peranan yang sangat
penting pada diagnostik, stratifikasi dan pengobatan penderita Sindroma Koroner Akut
(SKA). Troponin T mempunyai sensitifitas 97% dan spesitifitas 99% dalam mendeteksi
kerusakan sel miokard bahkan yang minimal sekalipun (mikro infark). Sedangkan
troponin I memiliki nilai normal 0,1. Perbedaan troponin T dengan troponin I:
Troponin T (TnT) dengan berat molekul 24.000 dalton, suatu komponen inhibitorik
yang berfungsi mengikat aktin.
Troponin I (TnI) dengan berat molekul 37.000 dalton yang berfungsi mengikat
tropomiosin.
Pemeriksaan troponin I/T adalah standard baku emas dalam diagnosis
NSTEMI, di mana peningkatan kadar marka jantung tersebut akan terjadi dalam waktu
2 hingga 4 jam. Penggunaan troponin I/T untuk diagnosis NSTEMI harus digabungkan
dengan kriteria lain yaitu keluhan angina dan perubahan EKG. Diagnosis NSTEMI
ditegakkan jika marka jantung meningkat sedikit melampaui nilai normal atas (upper
limit of normal, ULN). Dalam menentukan kapan marka jantung hendak diulang
seyogyanya mempertimbangkan ketidakpastian dalam menentukan awitan angina.
Tes yang negatif pada satu kali pemeriksaan awal tidak dapat dipakai untuk
menyingkirkan diagnosis infark miokard akut. Kadar troponin pada pasien infark
miokard akut meningkat di dalam darah perifer 3 – 4 jam setelah awitan infark dan
menetap sampai 2 minggu.
Peningkatan ringan kadar troponin biasanya menghilang dalam 2 hingga 3
hari, namun bila terjadi nekrosis luas, peningkatan ini dapat menetap hingga 2 minggu.
Mengingat troponin I/T tidak terdeteksi dalam darah orang sehat, nilai ambang
peningkatan marka jantung ini ditetapkan sedikit di atas nilai normal yang ditetapkan
oleh laboratorium setempat. Perlu diingat bahwa selain akibat STEMI dan NSTEMI,
peningkatan kadar troponin juga dapat terjadi akibat:
Takiaritmia atau bradiaritmia berat
Miokarditis
Dissecting aneurysm
Emboli paru
Gangguan ginjal akut atau kronik
Stroke atau perdarahan subarakhnoid
Penyakit kritis, terutama pada sepsis
Apabila pemeriksaan troponin tidak tersedia, pemeriksaan CKMB dapat
digunakan. CKMB akan meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam, mencapai puncaknya
saat 12 jam, dan menetap sampai 2 hari.
2) Creatine Kinase-MB isoenzym
Sebelum cardiac troponin dikenal, marker biokimia yang dipilih untuk
diagnosis AMI adalah isoenzim CK-MB. Kriterium yang kebanyakan digunakan
untuk diagnosis AMI adalah 2 serial elevasi di atas level cutoff diagnostik atau hasil
tunggal lebih dari dua kali lipat batas atas normal. Walaupun CK-MB lebih
terkonsentrasi di miokardium (kurang lebih 15% dari total CK), enzim ini juga
terdapat pada otot rangka. Kardiospesifitas CKMB tidaklah 100%. Elevasi false
positive muncul pada beberapa keadaan klinis seperti trauma atau miopati.
CK-MB pertama muncul pada 4-6 jam setelah gejala, puncaknya adalah
pada 24 jam, dan kembali normal dalam 48-72 jam. CK-MB level walaupun sensitif
dan spesifik untuk diagnosis AMI, tidak prediktif untuk adverse cardiac event dan
tidak mempunyai nilai prognostik.
3) Relative index (Indeks relatif), CK-MB dan total CK
Indeks relatif dihitung berdasarkan rasio [CK-MB (mass) / total CK x 100]
dapat membantu klinisi untuk membedakan elevasi false positive peningkatan CK-
MB otot rangka. Rasio yang kurang dari 3 konsisten dengan sumber dari otot
rangka. Rasio >5 mengindikasikan sumber otot jantung. Rasio diantara 3-5
menunjukkan gray area. Indeks relatif CK-MB/CK diperkenalkan untuk
meningkatkan spesifitas elevasi CK-MB untuk MI.
Pemakaian indeks relatif CK-MB/CK berhasil jika pasien hanya memiliki MI
atau kerusakan otot rangka tapi tidak keduanya. Oleh sebab itu, pada keadaan
dimana terdapat kombinasi AMI dan kerusakan otot rangka (rhabdomyolysis,
exercise yang berat, polymyositis), sensitifitas akan jatuh secara
signifikan. Diagnosis AMI tidak boleh didasarkan hanya pada elevasi indeks relatif
saja. Elevasi indeks relatif dapat terjadi pada keadaan klinis dimana total CK atau
CK-MB pada batas normal. Indeks relatif hanya berfungsi secara klinis bila level
CK dan CK-MB dua-duanya mengalami peningkatan
4) Mioglobin
Mioglobin telah menarik perhatian sebagai marker awal pada MI. Mioglobin
adalah protein heme yang ditemukan pada otot rangka dan jantung. Berat
molekulnya yang rendah menyebabkan pelepasannya yang cepat. Mioglobin
biasanya meningkat pada 2-4 jam setelah terjadinya infark, puncaknya adalah
pada 6-12 jam, dan kembali ke normal setelah 24-36 jam.
Uji cepat mioglobin telah tersedia, tetapi kekurangannya adalah kurang
kardiospesifik. Uji serial setiap 1-2 jam dapat meningkatkan sensitivitas dan
spesifitas. Peningkatan atau perbedaan 25-40% setelah 1-2 jam adalah penanda
kuat dari AMI. Pada kebanyakan penelitian, mioglobin hanya mencapai 90%
sensitifitas untuk AMI. Nilai prediktif negatif mioglobin tidak cukup tinggi untuk
mengeklusi diagnosis AMI. Penelitian original yang mengevaluasi mioglobin
menggunakan definisi origininal WHO tentang AMI yang distandarkan pada CK-
MB. Dengan adopsi dari standar troponin untuk definisi AMI dari ESC/ACC,
sensitifitas mioglobin untuk AMI menurun
5) Creatine Kinase-MB isoforms
Isoenzim CK-MB terdapat dalam 2 isoform, yaitu CK-MB1 dan CK-MB2.
CK-MB2 adalah bentuk jaringan dan awalnya dilepaskan oleh miokardium setelah
MI. Kemudian berubah di serum menjadi isoform CK-MB1. Hal ini terjadi segera
setelah gejala terjadi. Isoform CK-MB dapat dianalisis menggunakan elektroforesis
tegangan tinggi. Rasio CK-MB2/CK-MB1 juga dihitung. Normalnya, isoform
jaringan CK-MB1 lebih dominan sehingga rasionya kurang dari 1. Hasil
pemeriksaan dikatakan positif jika CK-MB2 meningkat dan rasionya lebih dari 1,7.
Pelepasan isoform CK-MB termasuk cepat. CK-MB2 dapat dideteksi di
serum pada 2-4 jam setelah onset dan puncaknya adalah 6-9 jam. Ini adalah
marker awal dari AMI. Dua penelitian besar menyebutkan bahwa sensitivitasnya
adalah 92% pada 6 jam setelah onset gejala dibandingkan dengan 66% untuk
CKMB dan 79% untuk mioglobin. Kekurangan terbesar dari uji ini adalah relatif
sulit dilakukan oleh laboratorium.
6) C-reactive Protein
CRP, marker inflamasi nonspesifik, diperhitungkan terlibat secara langsung
pada coronary plaque atherogenesis. Penelitian yang dimulai pada awal 1990an
menunjukkan bahwa level CRP yang meningkat menunjukkan adverse cardiac
events, baik pada prevensi primer maupun sekunder. Level CRP berguna untuk
mengevaluasi profil risiko jantung pasien. Data baru mengindikasikan bahwa CRP
berguna sebagai indikator prognostik pada pasien dengan ACS. Peningkatan level
CRP memprediksi kematian jantung dan AMI.
7) Referensi Nilai
Hasil normal bervariasi berdasarkan laboratorium dan metode yang
digunakan. Informasi di bawah ini adalah dari ACC dan the American Heart
Association (AHA).
Total CK = 38–174 units/L untuk laki-laki dan 96–140 units/L untuk
perempuan.
CKMB = 10-13 units/L.
Troponin T = kurang dari 0,1 ng/mL.
Troponin I = kurang dari 1,5 ng/mL.
Isoform CKMB = rasio 1,5 atau lebih.
Mioglobin = kurang dari 110 ng/mL
Tabel 4. Cardiac marker pada MI.
Perekaman EKG harus dilakukan dalam 10 menit sejak kontak medis pertama.
Bila bisa didapatkan, perbandingan dengan hasil EKG sebelumnya dapat sangat
membantu diagnosis. Setelah perekaman EKG awal dan penatalaksanaan, perlu
dilakukan perekaman EKG serial atau pemantauan terus-menerus. EKG yang
mungkin dijumpai pada pasien NSTEMI dan UAP antara lain:
Depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T; dapat disertai dengan elevasi
segmen ST yang tidak persisten (<20 menit)
Gelombang Q yang menetap
Nondiagnostik
Normal
Hasil EKG 12 sadapan yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan
diagnosis SKA tanpa elevasi segmen ST, misalnya akibat iskemia tersembunyi di
daerah sirkumfleks atau keterlibatan ventrikel kanan, oleh karena itu pada hasil EKG
normal perlu dipertimbangkan pemasangan sadapan tambahan. Depresi segmen ST
≥0,5 mm di dua atau lebih sadapan berdekatan sugestif untuk diagnosis UAP atau
NSTEMI, tetapi mengingat kesulitan mengukur depresi segmen ST yang kecil,
diagnosis lebih relevan dihubungkan dengan depresi segmen ST ≥1 mm. Depresi
segmen ST ≥1 mm dan/atau inversi gelombang T≥2 mm di beberapa sadapan
prekordial sangat sugestif untuk mendiagnosis UAP atau NSTEMI (tingkat peluang
tinggi). Gelombang Q ≥0,04 detik tanpa disertai depresi segmen ST dan/atau inversi
gelombang T menunjukkan tingkat persangkaan terhadap SKA tidak tinggi sehingga
diagnosis yang seharusnya dibuat adalah Kemungkinan SKA atau Definitif SKA. Jika
pemeriksaan EKG awal menunjukkan kelainan nondiagnostik, sementara angina
masih berlangsung, pemeriksaan diulang 10 – 20 menit kemudian (rekam juga V7-
V9). Pada keadaan di mana EKG ulang tetap menunjukkan kelainan yang
nondiagnostik dan marka jantung negatif sementara keluhan angina sangat sugestif
SKA, maka pasien dipantau selama 12-24 jam untuk dilakukan EKG ulang tiap 6 jam
dan setiap terjadi angina berulang.
Bila dalam masa pemantauan terjadi perubahan EKG, misalnya depresi
segmen ST dan/atau inversi gelombang T yang signifikan, maka diagnosis UAP atau
NSTEMI dapat dipastikan. Walaupun demikian, depresi segmen ST yang kecil (0,5
mm) yang terdeteksi saat nyeri dada dan mengalami normalisasi saat nyeri dada
hilang sangat sugestif diagnosis UAP atau NSTEMI. Stress test dapat dilakukan untuk
provokasi iskemia jika dalam masa pemantauan nyeri dada tidak berulang, EKG tetap
nondiagnostik, marka jantung negatif, dan tidak terdapat tanda gagal jantung. Hasil
stress test yang positif meyakinkan diagnosis atau menunjukkan persangkaan tinggi
UAP atau NSTEMI. Hasil stress test negatif menunjukkan diagnosis SKA diragukan
dan dilanjutkan dengan rawat jalan (PERKI, 2015)
e. Pemeriksaan Noninvasif
Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dapat memberikan
gambaran fungsi ventrikel kiri secara umum dan berguna untuk menentukan diagnosis
banding. Hipokinesia atau akinesia segmental dari dinding ventrikel kiri dapat terlihat
saat iskemia dan menjadi normal saat iskemia menghilang. Selain itu, diagnosis
banding seperti stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofik, atau diseksi aorta dapat
dideteksi melalui pemeriksaan ekokardiografi. Jika memungkinkan, pemeriksaan
ekokardiografi trantorakal saat istirahat harus tersedia di ruang gawat darurat dan
dilakukan secara rutin dan sesegera mungkin bagi pasien tersangka SKA. Stress test
seperti exercise EKG yang telah dibahas sebelumnya dapat membantu menyingkirkan
diagnosis banding PJK obstruktif pada pasien-pasien tanpa rasa nyeri, EKG istirahat
normal dan marka jantung yang negatif. Multislice Cardiac CT (MSCT) dapat
digunakan untuk menyingkirkan PJK sebagai penyebab nyeri pada pasien dengan
kemungkinan PJK rendah hingga menengah dan jika pemeriksaan troponin dan EKG
tidak meyakinkan (PERKI, 2015).
STRATIFIKASI RISIKO
Beberapa cara stratifikasi risiko telah dikembangkan dan divalidasi untuk SKA.
beberapa stratifikasi risiko yang digunakan adalah TIMI (Thrombolysis In Myocardial
Infarction) (Tabel 4), dan GRACE (Global Registry of Acute Coronary Events), sedangkan
CRUSADE (Can Rapid risk stratification of Unstable angina patients Suppress ADverse
outcomes with Early implementation of the ACC/AHA guidelines) digunakan untuk
menstratifikasi risiko terjadinya perdarahan (Tabel 8). Stratifikasi perdarahan penting
untuk menentukan pilihan penggunaan antitrombotik. Tujuan stratifikasi risiko adalah
untuk menentukan strategi penanganan selanjutnya (konservatif atau intervensi segera)
bagi seorang dengan NSTEMI.
Stratifikasi risiko TIMI ditentukan oleh jumlah skor dari 7 variabel yang
masingmasingvsetara dengan 1 poin. Variabel tersebut antara lain adalah usia ≥65vtahun,
≥3 faktor risiko, stenosis koroner ≥50%, deviasi segmen ST pada EKG,vterdapat 2 kali
keluhan angina dalam 24 jam yang telah lalu, peningkatan marka jantung, dan
penggunaan asipirin dalam 7 hari terakhir. Dari semua variabel yang ada, stenosis koroner
≥50% merupakan variabel yang sangat mungkin tidak terdeteksi. Jumlah skor 0-2: risiko
rendah (risiko kejadian kardiovaskular <8,3%); skor 3-4 : risiko menengah (risiko kejadian
kardiovaskular <19,9%); dan skor 5-7 : risiko tinggi (risiko kejadian kardiovaskular hingga
41%). Stratifikasi TIMI telah divalidasi untuk prediksi kematian 30 hari dan 1 tahun pada
berbagai spektrum SKA termasuk UAP/NSTEMI (PERKI, 2015).
Klasifikasi GRACE (Tabel 6) mencantumkan beberapa variabel yaitu usia, kelas
Killip, tekanan darah sistolik, deviasi segmen ST, cardiac arrest saat tiba di ruang gawat
darurat, kreatinin serum, marka jantung yang positif dan frekuensi denyut jantung.
Klasifikasi ini ditujukan untuk memprediksi mortalitas saat perawatan di rumah sakit dan
dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit. Untuk prediksi kematian di rumah sakit,
pasien dengan skor risiko GRACE ≤108 dianggap mempunyai risiko rendah (risiko
kematian <1%). Sementara itu, pasien dengan skor risiko GRACE 109-140 dan >140
berturutan mempunyai risiko kematian menengah (1-3%) dan tinggi (>3%). Untuk prediksi
kematian dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit, pasien dengan skor risiko GRACE
≤88 dianggap mempunyai risiko rendah (risiko kematian <3%). Sementara itu, pasien
dengan skor risiko GRACE 89-118 dan >118 berturutan mempunyai risiko kematian
menengah (3-8%) dan tinggi (>8%) (PERKI, 2015).
7. Penatalaksanaan Medis
a. Tindakan Umum
Pasien perlu perawatan di rumah sakit,sebaiknya di unit intensif koroner, pasien perlu
diistirahatkan (bed rest), diberi penenang dan oksigen. Pemberian morfin atau petidin
perlu pada pasien yang masih merasakan sakit dada walaupun sudah mendapat
nitrogliserin.
Terdiagnosis NSTEMI
Strategi Konservatif
Beberapa gejala beruang seperti : iskemia, gagal jantung atau aritmia serius
Diagnosa Angiografy Evaluasi LVEF (Class I, LOE B) Stress test ( Kelas I, LOE B)
EF 0,40 atau kurang EF lebih besar dari 0,4 Not Low Risk Low Risk
9. Komplikasi
a. Infark miokardium (IM) adalah kematian sel-sel miokardium yang terjadi akibat
kekurangan oksigen yang berkepanjanga. Hal ini adalah respon letal terakhir terhadap
iskemia miokardium yang tidak teratasi. Sel-sel miokardium mulai mati setelah sekitar
20 menit mengalami kekurangan oksigen. Setelah periode ini, kemampuan sel untuk
menghasilkan ATP secara aerobs lenyap dan sel tidak memenuhi kebutuhan
energinya.
b. Aritmia : Karena insidens PJK dan hipertensi tinggi, aritmia lebih sering didapat dan
dapat berpengaruh terhadap hemodinamik. Bila curah jantung dan tekanan darah
turun banyak, berpengaruh terhadap aliran darah ke otak, dapat juga menyebabkan
angina, gagal jantung.
c. Gagal Jantung : Gagal jantung terjadi sewaktu jantung tidak mampu memompa darah
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrien tubuh. Gagal jantung
disebabkan disfungsi diastolik atau sistolik. Gagal jantung diastolik dapat terjadi
dengan atau tanpa gagal jantung sistolik. Gagal jantung dapat terjadi akibat hipertensi
yang lama (kronis). Disfungsi sistolik sebagai penyebab gagal jantung akibat cedera
pada ventrikel, biasanya berasal dari infark miokard.
Alwi, Idrus. 2006. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III. Jakarta: FKUI.
American Heart Association. 2006. Heart and Stroke Facts: 2005 Statistical Supplement.
Dallas: American Heart Association.
Antman EM, Hand M, Armstrong PW, Bates ER, Green LA, Hochman JS, et al. 2008. Focused
update of the ACC/AHA 2004 guidelines for the management of patients with ST-
elevation myocardial infarction: a report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (51: 210–
247). J Am Coll Cardiol.
Corwin, E.J. 2001. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta: EGC;
Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku saku patofisiologi. Edisi 3. EGC. Jakarta
Faqih, R.,. (2006). Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskuler. Malang: UMM Press
Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. 2010. 17th Edition Harrison’s
Principles of Internal Medicine. New South Wales: McGraw Hill.
Guyton AC, Hall JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Levefer, J.,. (1997). Buku Saku Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik dengan Implikasi
Keperawatan. Jakarta: EGC
Prasetyo, J., B.,. (2003). Ilmu Penyakit Jantung. Surabaya: Airlangga University.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
edisi V. dalam Farissa, Inne Pratiwi. 2012. Komplikasi Pada Pasien Infark
Miokard Akut St-Elevasi (STEMI) yang Mendapat Maupun tidak Mendapat
Terapi Reperfusi (Studi Di RSUP Dr.Kariadi Semarang). Program Pendidikan
Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro 2012. Jakarta:
Interna Publishing