Anda di halaman 1dari 34

NON ST ELEVATION INFARK MIOCARD

(NSTEMI)

DEPARTEMEN EMERGENCY

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Profesi Departemen Kegawatdaruratan


di RSUD Bangil

Oleh :

KRISMAYA ISMAYANTI

180070300111025

JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
KONSEP NSTEMI

1. Pengertian NSTEMI
SKA merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan salah satu dari tiga
manifestasi klinis dari penyakit arteri coroner (Jones & Fix, 2009) :
 Angina tak stabil
 IM tanpa elevasi ST
 IM dengan elevasi ST
Angina tak stabil dan NSTEMI mempunyai patogenesis dan presentasi klinik yang
sama, hanya berbeda dalam derajatnya. Bila ditemui penanda biokimia nekrosis miokard
(peningkatan troponin I, troponin T, atau CK-MB) maka diagnosis adalah NSTEMI;
sedangkan bila penanda biokimia ini tidak meninggi, maka diagnosis adalah APTS (Idrus
Alwi, 2006).

NSTEMI dalah IMA yang disebabkan penurunan suplai oksigen atau peningkatan
kebutuhan oksigen jantung yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena
trombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner. Trombosisi ini diawali dengan adanya
ruptur plak yang tidak stabil dan biasanya plak tersebut mempunyai inti lipid yang besar,
densitas otot polos yang rendah, fibrosus cap yang tipis, dan konsentrasi jaringan yang
tinggi. (Corwin, 2001).
NSTEMI adalah adanya ketidakseimbangan antara pemintaan dan suplai oksigen ke
miokardium terutama akibat penyempitan arteri koroner akan menyebabkan iskemia
miokardium local. Iskemia yang bersifat sementara akan menyebabkan perubahan
reversible pada tingkat sel dan jaringan. Pada NStemi gambaran EKG tidak ditemukn
adanya elevasi pada segmen ST (Sylvia,2006).
Infark miokard adalah kematian jaringan miokard yang diakibatkan oleh kerusakan
aliran darah koroner miokard (Carpenito, 2001). Infark miocard akut (IMA) merupakan
gangguan aliran darah ke jantung yang menyebabkan sel otot jantung mati. Aliran darah
di pembuluh darah terhenti setelah terjadi sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil
aliran kolateral dari pembuluh darah di sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama
sekali tidak mendapat aliran darah atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat
mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan mengalami infark (Guyton & Hall, 2007).
IMA diklasifikasikan berdasarkan EKG 12 lead dalam dua kategori, yaitu ST-
elevation infark miocard (STEMI) dan non ST-elevation infark miocard (NSTEMI). STEMI
merupakan oklusi total dari arteri koroner yang menyebabkan area infark yang lebih luas
meliputi seluruh ketebalan miokardium, yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST
pada EKG. Sedangkan NSTEMI merupakan oklusi sebagian dari arteri koroner tanpa
melibatkan seluruh ketebalan miokardium, sehingga tidak ada elevasi segmen ST pada
EKG.
 Berdasarkan lapisan otot yang terkena :
- Transmural yaitu mengenai seluruh bagian ketebalan dinding ventrikel
bersangkutan
- Subendokardial yaitu mengenai sebagian dalam miokardium
 Berdasarkan tempat oklusinya :
- Anterior mengenai desendens anterior kiri
- Posterior mengenai sirkumfleksa kiri
- Inferior mengenai koronaria kanan

2. Etiologi dan Faktor Resiko


NSTEMI disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan peningkatan kebutuhan
oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena
thrombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner, sehingga terjadi iskemia miokard dan
dapat menyebabkan nekrosis jaringan miokard dengan derajat lebih kecil, biasanya
terbatas pada subendokardium. Keadaan ini tidak dapat menyebabkan elevasi segmen
ST, namun menyebabkan pelepasan penanda nekrosis (Idrus Alwi, 2006).
Penyebab paling umum adalah penurunan perfusi miokard yang dihasilkan dari
penyempitan arteri koroner disebabkan oleh thrombus non occlusive yang telah
dikembangkan pada plak aterosklerotik terganggu. Penyempitan abnormal dari arteri
koroner mungkin juga bertanggung jawab.
Faktor resiko
a. Yang tidak dapat diubah
 Umur (> 65 tahun)
 Jenis kelamin : insiden pada pria tinggi, sedangkan pada wanita meningkat
setelah menopause
 Riwayat penyakit jantung coroner pada anggota keluarga di usia muda (anggota
keluarga laki-laki muda dari usia 55 tahun atau anggota keluarga perempuan yang
lebih muda dari usia 65 tahun).
 Hereditas
 Ras : lebih tinggi insiden pada kulit hitam.
b. Yang dapat diubah
 Mayor : hiperlipidemia, hipertensi, merokok, diabetes, obesitas, diet tinggi lemak
jenuh, kalori.
 Minor : Inaktifitas fisik, emosional, agresif, ambisius, kompetitif, stress psikologis
berlebihan.
Penentuan risiko berdasarkan skor risiko TIMI (Thrombolysis in myocardial Infarctio)
sebagai berikut:
 Penggunaan aspirin dalam 7 hari terakhir
 Usia > 65 tahun
 Memiliki lebih dari 3 faktorrisiko penyakit jantung koroner
 Diketahhui penderita PJK atau terdapat stenosis arteri koroner > 60%
 Lebih dari 2x episode angina dalam 24 jam terakhir
 Peningkatan enzim jantung (CKMB dan Troponin)
 Adanya deviasi segmen ST.
Beberapa faktor resiko penyebab yang dapat menimbulkan ACS antara lain:
1. Suplai oksigen ke miocard berkurang yang disebabkan oleh 3 faktor :
 Faktor pembuluh darah : 1) Aterosklerosis, 2) Spasme, 3) Arteritis\
 Faktor sirkulasi : 1) Hipotensi, 2) Stenosis aorta, 3) Insufisiensi
 Faktor darah : 1) Anemia 2) Hipoksemia 3) Polisitemia
2. Curah jantung yang meningkat :
 Aktifitas berlebihan
 Emosi
 Makan terlalu banyak
 hypertiroidisme
3. Kebutuhan oksigen miocard meningkat pada :
 Kerusakan miocard
 Hypertropi miocard
 Hypertensi diastolic
Faktor penyebab (Idrus Alwi, 2006)

No. Penyebab ST/Nstemi

1. Trombus tidak oklusif pada plak yang sudah ada

2. Obstruksi dinamik (spasme koroner atau vasokonstriksi)

3. Obstruksi mekanik yang progresif

4. Inflamasi dan atau infeksi

5. Faktor atau keadaan pencetus

a) Trombus tidak oklusif pada plak yang sudah ada


Penyebab paling sering SKA adalah penurunan perfusi miokard oleh karena
penyempitan arteri koroner sebagai akibat dari trombus yang ada pada plak
aterosklerosis yang robek/pecah dan biasanya tidak sampai menyumbat. Mikroemboli
(emboli kecil) dari agregasi trombosit beserta komponennya dari plak yang ruptur,
yang mengakibatkan infark kecil di distal, merupakan penyebab keluarnya petanda
kerusakan miokard pada banyak pasien.
b) Obstruksi dinamik
Penyebab yang agak jarang adalah obstruksi dinamik, yang mungkin diakibatkan oleh
spasme fokal yang terus menerus pada segmen arteri koroner epikardium (angina
prinzmetal). Spasme ini disebabkan oleh hiperkontraktilitas otot polos pembuluh darah
dan/atau akibat disfungsi endotel. Obstruksi dinamik koroner dapat juga diakibatkan
oleh konstriksi abnormal pada pembuluh darah yang lebih kecil.
c) Obstruksi mekanik yang progresif
Penyebab ke tiga SKA adalah penyempitan yang hebat namun bukan karena spasme
atau trombus. Hal ini terjadi pada sejumlah pasien dengan aterosklerosis progresif
atau dengan stenosis ulang setelah intervensi koroner perkutan (PCI).
d) Inflamasi dan/atau infeksi
Penyebab ke empat adalah inflamasi yang mungkin menyebabkan penyempitan arteri,
destabilisasi plak, ruptur dan trombogenesis. Makrofag dan limfosit-T di dinding plak
meningkatkan ekspresi enzim seperti metaloproteinase, yang dapat mengakibatkan
penipisan dan ruptur plak, sehingga selanjutnya dapat mengakibatkan SKA.
e) Faktor atau keadaan pencetus
Penyebab ke lima adalah SKA yang merupakan akibat sekunder dari kondisi pencetus
diluar arteri koroner. Pada pasien ini ada penyebab berupa penyempitan arteri koroner
yang mengakibatkan terbatasnya perfusi miokard, dan mereka biasanya menderita
angina stabil yang kronik. SKA jenis ini antara lain karena:
 Peningkatan kebutuhan oksigen miokard, seperti demam, takikardi dan
tirotoksikosis.
 Berkurangnya aliran darah coroner.
 Berkurangnya pasokan oksigen miokard, seperti pada anemia dan hipoksemia.
Kelima penyebab SKA di atas tidak sepenuhnya berdiri sendiri dan banyak
terjadi tumpang tindih. Dengan kata lain tiap penderita mempunyai lebih dari satu
penyebab dan saling terkait.

3. Patofisiologi
Non ST elevation myocardial Infarction (NSTEMI) dapat disebabkan oleh
penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang
diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau proses
vasokonstriksi koroner. Trombosis akut pada arteri koroner diawali dengan adanya ruptur
plak yang tidak stabil (Corwin, Elizabeth 2009).
Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunyai inti lipid yang besar, densitas otot
polos yang rendah, fibrous cap yang tipis dan konsentrasi faktor jaringan yang tinggi. Inti
lemak yang cenderung ruptur mempunyai konsentrasi ester kolesterol dengan proporsi
asam lemak tak jenuh yang tinggi. Pada lokasi ruptur plak dapat dijumpai sel makrofag
dan limfosit T yang menunjukkan adanya proses inflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan
sitokin proinflamasi seperti TNF α , dan IL-6. Selanjutnya IL-6 merangsang pengeluaran
hsCRP di hati.

4. Manifestasi Klinis NSTEMI


a. Nyeri Dada

Nyeri yang lama yaitu minimal 30 menit, sedangkan pada angina kurang dari
itu. Disamping itu pada angina biasanya nyeri akan hilang dengan istirahat akan tetapi
pada infark tidak. Nyeri dan rasa tertekan pada dada itu bisa disertai dengan keluarnya
keringat dingin atau perasaan takut. Biasanya nyeri dada menjalar ke lengan kiri, bahu,
leher sampai ke epigastrium, akan tetapi pada orang tertentu nyeri yang terasa hanya
sedikit. Hal tersebut biasanya terjadi pada manula, atau penderita DM berkaitan
dengan neuropathy.
b. Sesak Nafas
Sesak nafas bisa disebabkan oleh peningkatan mendadak tekanan akhir
diastolik ventrikel kiri, disamping itu perasaan cemas bisa menimbulkan hiperventilasi.
Pada infark yang tanpa gejala nyeri, sesak nafas merupakan tanda adanya disfungsi
ventrikel kiri yang bermakna.
c. Gejala Gastrointestinal

Peningkatan aktivitas vagal menyebabkan mual dan muntah, dan biasanya


lebih sering pada infark inferior, dan stimulasi diafragma pada infak inferior juga bisa
menyebabkan cegukan.
d. Gejala Lain

Termasuk palpitasi, rasa pusing atau sinkop dari aritmia ventrikel dan gelisah.
Tabel 1. Karakteristik ACS (Acute Coronary Syndrome)
Jenis Nyeri Dada EKG Enzim Jantung
Angina pada waktu Depresi segmen ST Tidak meningkat
Angina Pectoris istirahat/ aktivitas Inversi gelombang T
Stabil ringan (ICS III-IV). Tidak ada
Hilang dengan nitrat gelombang Q
Lebih berat dan lama (> Depresi segmen ST Meningkat minimal 2
20 menit). Tidak hilang Inversi Gelombang T kali nilai batas atas
NSTEMI
dengan nitrat, perlu dalam normal
opium
Lebih berat dan lama (> Elevasi segmen ST Meningkat minimal 2
20 menit). Tidak hilang inversi gelombang T kali nilai batas atas
STEMI
dengan nitrat, perlu normal
opium

5. Klasifikasi KILLIP
Terdapat beberapa sistem dalam menentukan prognosis pasca IMA. Prognosis IMA
dengan melihat derajat disfungsi ventrikel kiri secara klinis dinilai menggunakan klasifikasi
Killip:
Tabel 2. Klasifikasi Killip Pada IMA

Kelas Definisi Proporsi pasien Mortalitas(%)

I Tidak ada tanda gagal jantung kongestif 40-50% 6

Heart falure. Kriteria diagnosis disertai adanya S3


II gallop dan/atau ronki basah (rales) di basal paru dan 30-40% 17
hipertensi pulmonal

IIIa Severe Heart Failure. Edema paru akut (ALO) 10-15% 30-40

IV Syok kardiogenik 5-10% 60-80

6. Pemeriksaan Penunjang
Angina pektoris tidak stabil (UAP) dan infark miokard akut tanpa elevasi ST
(NSTEMI) diketahui merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi dan
gejala klinis sehingga pada prinsipnya penatalaksanaan keduanya tidak berbeda.
Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis UAP menunjukkan
bukti adanya nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker jantung.15
Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yang lebih disukai
karena lebih spesifik daripada enzim jantung tradisional seperti CK dan CKMB. Pada
pasien dengan IMA, peningkatan awal troponin pada darah perifer setelah 3-4 jam dan
dapat menetap sampai 2 minggu.
Menurut pedoman American College of Cardiology (ACC) dan American Heart
Association (AHA) perbedaan angina tak stabil dan infark tanpa elevasi segmen ST
(NSTEMI) ialah apakah iskemi yang timbul cukup berat sehingga dapat menimbulkan
kerusakan pada miokardium, sehingga adanya petanda kerusakan miokardium dapat
diperiksa. Diagnosis angina tak stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemi sedangkan
tak ada kenaikan troponin maupun CK-MB, dengan ataupun tanpa perubahan ECG untuk
iskemi, seperti adanya depresi segmen ST ataupun elevasi sebentar atau adannya
gelombang T yang negatif.
a. Pemeriksaan fisik
Tujuan dilakukannya pemeriksaan fisik adalah untuk menegakkan diagnosis banding
dan mengidentifikasi pencetus. Selain itu, pemeriksaan fisik jika digabungkan dengan
keluhan angina (anamnesis), dapat menunjukkan tingkat kemungkinan keluhan nyeri
dada sebagai representasi SKA.
b. Biomarker Jantung
1) Troponin
Troponin adalah protein pengatur yang ditemukan di otot rangka dan jantung.
Tiga subunit yang telah diidentifikasi termasuk troponin I (TnI), troponin T (TnT), dan
troponin C (TnC). Gen yang mengkode isoform TnC pada otot rangka dan jantung
adalah identik. Karena itulah tidak ada perbedaan struktural diantara keduanya.
Walaupun demikian, subform TnI dan TnT pada otot rangka dan otot jantung berbeda
dengan jelas, dan immunoassay telah didesain untuk membedakan keduanya. Hal ini
menjelaskan kardiospesifitas yang unik dari cardiac troponin.
Troponin bukanlah marker awal untuk myocardial necrosis. Uji troponin
menunjukkan hasil positif pada 4-8 jam setelah gejala terjadi, mirip dengan waktu
pengeluaran CK-MB. Meski demikian, mereka tetap tinggi selama kurang lebih 7-10
hari pasca MI. Cardiac troponin itu sensitif, kardiospesifik, dan menyediakan informasi
prognostik untuk pasien dengan ACS. Terdapat hubungan antara level TnI atau TnT
dengan tingkat mortalitas dan adverse cardiac event pada ACS. Mereka telah menjadi
cardiac marker pilihan untuk pasien dengan ACS.
Petanda biokimia troponin T dan troponin I mempunyai peranan yang sangat
penting pada diagnostik, stratifikasi dan pengobatan penderita Sindroma Koroner Akut
(SKA). Troponin T mempunyai sensitifitas 97% dan spesitifitas 99% dalam mendeteksi
kerusakan sel miokard bahkan yang minimal sekalipun (mikro infark). Sedangkan
troponin I memiliki nilai normal 0,1. Perbedaan troponin T dengan troponin I:
 Troponin T (TnT) dengan berat molekul 24.000 dalton, suatu komponen inhibitorik
yang berfungsi mengikat aktin.
 Troponin I (TnI) dengan berat molekul 37.000 dalton yang berfungsi mengikat
tropomiosin.
Pemeriksaan troponin I/T adalah standard baku emas dalam diagnosis
NSTEMI, di mana peningkatan kadar marka jantung tersebut akan terjadi dalam waktu
2 hingga 4 jam. Penggunaan troponin I/T untuk diagnosis NSTEMI harus digabungkan
dengan kriteria lain yaitu keluhan angina dan perubahan EKG. Diagnosis NSTEMI
ditegakkan jika marka jantung meningkat sedikit melampaui nilai normal atas (upper
limit of normal, ULN). Dalam menentukan kapan marka jantung hendak diulang
seyogyanya mempertimbangkan ketidakpastian dalam menentukan awitan angina.
Tes yang negatif pada satu kali pemeriksaan awal tidak dapat dipakai untuk
menyingkirkan diagnosis infark miokard akut. Kadar troponin pada pasien infark
miokard akut meningkat di dalam darah perifer 3 – 4 jam setelah awitan infark dan
menetap sampai 2 minggu.
Peningkatan ringan kadar troponin biasanya menghilang dalam 2 hingga 3
hari, namun bila terjadi nekrosis luas, peningkatan ini dapat menetap hingga 2 minggu.
Mengingat troponin I/T tidak terdeteksi dalam darah orang sehat, nilai ambang
peningkatan marka jantung ini ditetapkan sedikit di atas nilai normal yang ditetapkan
oleh laboratorium setempat. Perlu diingat bahwa selain akibat STEMI dan NSTEMI,
peningkatan kadar troponin juga dapat terjadi akibat:
 Takiaritmia atau bradiaritmia berat
 Miokarditis
 Dissecting aneurysm
 Emboli paru
 Gangguan ginjal akut atau kronik
 Stroke atau perdarahan subarakhnoid
 Penyakit kritis, terutama pada sepsis
Apabila pemeriksaan troponin tidak tersedia, pemeriksaan CKMB dapat
digunakan. CKMB akan meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam, mencapai puncaknya
saat 12 jam, dan menetap sampai 2 hari.
2) Creatine Kinase-MB isoenzym
Sebelum cardiac troponin dikenal, marker biokimia yang dipilih untuk
diagnosis AMI adalah isoenzim CK-MB. Kriterium yang kebanyakan digunakan
untuk diagnosis AMI adalah 2 serial elevasi di atas level cutoff diagnostik atau hasil
tunggal lebih dari dua kali lipat batas atas normal. Walaupun CK-MB lebih
terkonsentrasi di miokardium (kurang lebih 15% dari total CK), enzim ini juga
terdapat pada otot rangka. Kardiospesifitas CKMB tidaklah 100%. Elevasi false
positive muncul pada beberapa keadaan klinis seperti trauma atau miopati.
CK-MB pertama muncul pada 4-6 jam setelah gejala, puncaknya adalah
pada 24 jam, dan kembali normal dalam 48-72 jam. CK-MB level walaupun sensitif
dan spesifik untuk diagnosis AMI, tidak prediktif untuk adverse cardiac event dan
tidak mempunyai nilai prognostik.
3) Relative index (Indeks relatif), CK-MB dan total CK
Indeks relatif dihitung berdasarkan rasio [CK-MB (mass) / total CK x 100]
dapat membantu klinisi untuk membedakan elevasi false positive peningkatan CK-
MB otot rangka. Rasio yang kurang dari 3 konsisten dengan sumber dari otot
rangka. Rasio >5 mengindikasikan sumber otot jantung. Rasio diantara 3-5
menunjukkan gray area. Indeks relatif CK-MB/CK diperkenalkan untuk
meningkatkan spesifitas elevasi CK-MB untuk MI.
Pemakaian indeks relatif CK-MB/CK berhasil jika pasien hanya memiliki MI
atau kerusakan otot rangka tapi tidak keduanya. Oleh sebab itu, pada keadaan
dimana terdapat kombinasi AMI dan kerusakan otot rangka (rhabdomyolysis,
exercise yang berat, polymyositis), sensitifitas akan jatuh secara
signifikan. Diagnosis AMI tidak boleh didasarkan hanya pada elevasi indeks relatif
saja. Elevasi indeks relatif dapat terjadi pada keadaan klinis dimana total CK atau
CK-MB pada batas normal. Indeks relatif hanya berfungsi secara klinis bila level
CK dan CK-MB dua-duanya mengalami peningkatan
4) Mioglobin
Mioglobin telah menarik perhatian sebagai marker awal pada MI. Mioglobin
adalah protein heme yang ditemukan pada otot rangka dan jantung. Berat
molekulnya yang rendah menyebabkan pelepasannya yang cepat. Mioglobin
biasanya meningkat pada 2-4 jam setelah terjadinya infark, puncaknya adalah
pada 6-12 jam, dan kembali ke normal setelah 24-36 jam.
Uji cepat mioglobin telah tersedia, tetapi kekurangannya adalah kurang
kardiospesifik. Uji serial setiap 1-2 jam dapat meningkatkan sensitivitas dan
spesifitas. Peningkatan atau perbedaan 25-40% setelah 1-2 jam adalah penanda
kuat dari AMI. Pada kebanyakan penelitian, mioglobin hanya mencapai 90%
sensitifitas untuk AMI. Nilai prediktif negatif mioglobin tidak cukup tinggi untuk
mengeklusi diagnosis AMI. Penelitian original yang mengevaluasi mioglobin
menggunakan definisi origininal WHO tentang AMI yang distandarkan pada CK-
MB. Dengan adopsi dari standar troponin untuk definisi AMI dari ESC/ACC,
sensitifitas mioglobin untuk AMI menurun
5) Creatine Kinase-MB isoforms
Isoenzim CK-MB terdapat dalam 2 isoform, yaitu CK-MB1 dan CK-MB2.
CK-MB2 adalah bentuk jaringan dan awalnya dilepaskan oleh miokardium setelah
MI. Kemudian berubah di serum menjadi isoform CK-MB1. Hal ini terjadi segera
setelah gejala terjadi. Isoform CK-MB dapat dianalisis menggunakan elektroforesis
tegangan tinggi. Rasio CK-MB2/CK-MB1 juga dihitung. Normalnya, isoform
jaringan CK-MB1 lebih dominan sehingga rasionya kurang dari 1. Hasil
pemeriksaan dikatakan positif jika CK-MB2 meningkat dan rasionya lebih dari 1,7.
Pelepasan isoform CK-MB termasuk cepat. CK-MB2 dapat dideteksi di
serum pada 2-4 jam setelah onset dan puncaknya adalah 6-9 jam. Ini adalah
marker awal dari AMI. Dua penelitian besar menyebutkan bahwa sensitivitasnya
adalah 92% pada 6 jam setelah onset gejala dibandingkan dengan 66% untuk
CKMB dan 79% untuk mioglobin. Kekurangan terbesar dari uji ini adalah relatif
sulit dilakukan oleh laboratorium.
6) C-reactive Protein
CRP, marker inflamasi nonspesifik, diperhitungkan terlibat secara langsung
pada coronary plaque atherogenesis. Penelitian yang dimulai pada awal 1990an
menunjukkan bahwa level CRP yang meningkat menunjukkan adverse cardiac
events, baik pada prevensi primer maupun sekunder. Level CRP berguna untuk
mengevaluasi profil risiko jantung pasien. Data baru mengindikasikan bahwa CRP
berguna sebagai indikator prognostik pada pasien dengan ACS. Peningkatan level
CRP memprediksi kematian jantung dan AMI.
7) Referensi Nilai
Hasil normal bervariasi berdasarkan laboratorium dan metode yang
digunakan. Informasi di bawah ini adalah dari ACC dan the American Heart
Association (AHA).
 Total CK = 38–174 units/L untuk laki-laki dan 96–140 units/L untuk
perempuan.
 CKMB = 10-13 units/L.
 Troponin T = kurang dari 0,1 ng/mL.
 Troponin I = kurang dari 1,5 ng/mL.
 Isoform CKMB = rasio 1,5 atau lebih.
 Mioglobin = kurang dari 110 ng/mL
Tabel 4. Cardiac marker pada MI.

Waktu Awal Waktu Puncak Waktu Kembali


Marker
Peningkatan (jam) Peningkatan (jam) Normal
CK 4–8 12 – 24 72 – 96 jam
CK-MB 4–8 12 – 24 48 – 72 jam
Mioglobin 2–4 4–9 < 24 jam
LDH 10 – 12 48 – 72 7 – 10 hari
Troponin I 4–6 12 – 24 3 – 10 hari
Troponin T 4–6 12 – 48 7 – 10 hari
Grafik 1. Pelepasan mioglobin, CK-MB, troponin I, dan troponin T
berdasarkan waktu.

c. EKG (T Inverted dan ST Depresi)


EKG perlu dilakukan pada waktu serangan angina, bila EKG istirahat normal,
stress test harus dilakukan dengan treadmill ataupun sepeda ergometer. Tujuan dari
stress test adalah:
a. menilai nyeri dada apakah berasal dari jantung atau tidak
b. menilai beratnya penyakit seperti bila kelainan terjadi pada pembuluh darah utama
akan memberi hasil positif kuat
Pada pemeriksaan EKG dijumpai adanya gambaran T Inverted dan ST depresi
yang menunjukkan adanya iskemia pada arteri koroner. Jika terjadi iskemia,
gelombang T menjadi terbalik (inversi), simetris, dan biasanya bersifat sementara
(saat pasien simptomatik). Bila pada kasus ini tidak didapatkan kerusakan
miokardium, sesuai dengan pemeriksaan CK-MB (creatine kinase-myoglobin) maupun
troponin yang tetap normal, diagnosisnya adalah angina tidak stabil. Namun, jika
inversi gelombang T menetap, biasanya didapatkan kenaikan kadar troponin, dan
diagnosisnya menjadi NSTEMI. Angina tidak stabil dan NSTEMI disebabkan oleh
thrombus non-oklusif, oklusi ringan (dapat mengalami reperfusi spontan), atau oklusi
yang dapat dikompensasi oleh sirkulasi kolateral yang baik.

Perekaman EKG harus dilakukan dalam 10 menit sejak kontak medis pertama.
Bila bisa didapatkan, perbandingan dengan hasil EKG sebelumnya dapat sangat
membantu diagnosis. Setelah perekaman EKG awal dan penatalaksanaan, perlu
dilakukan perekaman EKG serial atau pemantauan terus-menerus. EKG yang
mungkin dijumpai pada pasien NSTEMI dan UAP antara lain:
 Depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T; dapat disertai dengan elevasi
segmen ST yang tidak persisten (<20 menit)
 Gelombang Q yang menetap
 Nondiagnostik
 Normal
Hasil EKG 12 sadapan yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan
diagnosis SKA tanpa elevasi segmen ST, misalnya akibat iskemia tersembunyi di
daerah sirkumfleks atau keterlibatan ventrikel kanan, oleh karena itu pada hasil EKG
normal perlu dipertimbangkan pemasangan sadapan tambahan. Depresi segmen ST
≥0,5 mm di dua atau lebih sadapan berdekatan sugestif untuk diagnosis UAP atau
NSTEMI, tetapi mengingat kesulitan mengukur depresi segmen ST yang kecil,
diagnosis lebih relevan dihubungkan dengan depresi segmen ST ≥1 mm. Depresi
segmen ST ≥1 mm dan/atau inversi gelombang T≥2 mm di beberapa sadapan
prekordial sangat sugestif untuk mendiagnosis UAP atau NSTEMI (tingkat peluang
tinggi). Gelombang Q ≥0,04 detik tanpa disertai depresi segmen ST dan/atau inversi
gelombang T menunjukkan tingkat persangkaan terhadap SKA tidak tinggi sehingga
diagnosis yang seharusnya dibuat adalah Kemungkinan SKA atau Definitif SKA. Jika
pemeriksaan EKG awal menunjukkan kelainan nondiagnostik, sementara angina
masih berlangsung, pemeriksaan diulang 10 – 20 menit kemudian (rekam juga V7-
V9). Pada keadaan di mana EKG ulang tetap menunjukkan kelainan yang
nondiagnostik dan marka jantung negatif sementara keluhan angina sangat sugestif
SKA, maka pasien dipantau selama 12-24 jam untuk dilakukan EKG ulang tiap 6 jam
dan setiap terjadi angina berulang.
Bila dalam masa pemantauan terjadi perubahan EKG, misalnya depresi
segmen ST dan/atau inversi gelombang T yang signifikan, maka diagnosis UAP atau
NSTEMI dapat dipastikan. Walaupun demikian, depresi segmen ST yang kecil (0,5
mm) yang terdeteksi saat nyeri dada dan mengalami normalisasi saat nyeri dada
hilang sangat sugestif diagnosis UAP atau NSTEMI. Stress test dapat dilakukan untuk
provokasi iskemia jika dalam masa pemantauan nyeri dada tidak berulang, EKG tetap
nondiagnostik, marka jantung negatif, dan tidak terdapat tanda gagal jantung. Hasil
stress test yang positif meyakinkan diagnosis atau menunjukkan persangkaan tinggi
UAP atau NSTEMI. Hasil stress test negatif menunjukkan diagnosis SKA diragukan
dan dilanjutkan dengan rawat jalan (PERKI, 2015)

d. Echo Cardiografi pada Pasien Non-ST Elevasi Miokardial Infark


 Fraksi Ejeksi
Fraksi ejeksi adalah daya sembur jantung dari ventrikel ke aorta. Freksi
pada prinsipnya adalah presentase dari selisih volume akhir diastolik dengan
volume akhir sistolik dibagi dengan volume akhir diastolik. Nilai normal > 50%. Dan
apabila < dari 50% fraksi ejeksi tidak normal.
 Angiografi koroner (Coronari angiografi)
Untuk menentukan derajat stenosis pada arteri koroner. Apabila pasien
mengalami derajat stenosis 50% pada pasien dapat diberikan obat-obatan. Dan
apabila pasien mengalami stenosis lebih dari 60% maka pada pasien harus di
intervensi dengan pemasangan stent.
Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner yang terlibat
(culprit) digambarkan dengan skala kualitatif sederhana disebut thrombolysis in
myocardial infarction (TIMI) grading system:
1. Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang
terkena infark.
2. Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik
obstruksi tetapi tanpa perfusi vascular distal.
3. Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke bagian
distal tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan arteri normal.
4. Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark dengan
aliran normal.

e. Pemeriksaan Noninvasif
Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dapat memberikan
gambaran fungsi ventrikel kiri secara umum dan berguna untuk menentukan diagnosis
banding. Hipokinesia atau akinesia segmental dari dinding ventrikel kiri dapat terlihat
saat iskemia dan menjadi normal saat iskemia menghilang. Selain itu, diagnosis
banding seperti stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofik, atau diseksi aorta dapat
dideteksi melalui pemeriksaan ekokardiografi. Jika memungkinkan, pemeriksaan
ekokardiografi trantorakal saat istirahat harus tersedia di ruang gawat darurat dan
dilakukan secara rutin dan sesegera mungkin bagi pasien tersangka SKA. Stress test
seperti exercise EKG yang telah dibahas sebelumnya dapat membantu menyingkirkan
diagnosis banding PJK obstruktif pada pasien-pasien tanpa rasa nyeri, EKG istirahat
normal dan marka jantung yang negatif. Multislice Cardiac CT (MSCT) dapat
digunakan untuk menyingkirkan PJK sebagai penyebab nyeri pada pasien dengan
kemungkinan PJK rendah hingga menengah dan jika pemeriksaan troponin dan EKG
tidak meyakinkan (PERKI, 2015).

f. Pemeriksaan Invasif (Angiografi Koroner)


Angiografi koroner memberikan informasi mengenai keberadaan dan tingkat
keparahan PJK, sehingga dianjurkan segera dilakukan untuk tujuan diagnostik pada
pasien dengan risiko tinggi dan diagnosis banding yang tidak jelas. Penemuan oklusi
trombotik akut, misalnya pada arteri sirkumfleksa, sangat penting pada pasien yang
sedang mengalami gejala atau peningkatan troponin namun tidak ditemukan
perubahan EKG diagnostik. Pada pasien dengan penyakit pembuluh multipel dan
mereka dengan stenosis arteri utama kiri yang memiliki risiko tinggi untuk kejadian
kardiovaskular yang serius, angiografi koroner disertai perekaman EKG dan
abnormalitas gerakan dinding regional seringkali memungkinkan identifikasi lesi yang
menjadi penyebab. Penemuan angiografi yang khas antara lain eksentrisitas, batas
yang ireguler, ulserasi, penampakkan yang kabur, dan filling defect yang
mengesankan adanya trombus intrakoroner.

STRATIFIKASI RISIKO
Beberapa cara stratifikasi risiko telah dikembangkan dan divalidasi untuk SKA.
beberapa stratifikasi risiko yang digunakan adalah TIMI (Thrombolysis In Myocardial
Infarction) (Tabel 4), dan GRACE (Global Registry of Acute Coronary Events), sedangkan
CRUSADE (Can Rapid risk stratification of Unstable angina patients Suppress ADverse
outcomes with Early implementation of the ACC/AHA guidelines) digunakan untuk
menstratifikasi risiko terjadinya perdarahan (Tabel 8). Stratifikasi perdarahan penting
untuk menentukan pilihan penggunaan antitrombotik. Tujuan stratifikasi risiko adalah
untuk menentukan strategi penanganan selanjutnya (konservatif atau intervensi segera)
bagi seorang dengan NSTEMI.
Stratifikasi risiko TIMI ditentukan oleh jumlah skor dari 7 variabel yang
masingmasingvsetara dengan 1 poin. Variabel tersebut antara lain adalah usia ≥65vtahun,
≥3 faktor risiko, stenosis koroner ≥50%, deviasi segmen ST pada EKG,vterdapat 2 kali
keluhan angina dalam 24 jam yang telah lalu, peningkatan marka jantung, dan
penggunaan asipirin dalam 7 hari terakhir. Dari semua variabel yang ada, stenosis koroner
≥50% merupakan variabel yang sangat mungkin tidak terdeteksi. Jumlah skor 0-2: risiko
rendah (risiko kejadian kardiovaskular <8,3%); skor 3-4 : risiko menengah (risiko kejadian
kardiovaskular <19,9%); dan skor 5-7 : risiko tinggi (risiko kejadian kardiovaskular hingga
41%). Stratifikasi TIMI telah divalidasi untuk prediksi kematian 30 hari dan 1 tahun pada
berbagai spektrum SKA termasuk UAP/NSTEMI (PERKI, 2015).
Klasifikasi GRACE (Tabel 6) mencantumkan beberapa variabel yaitu usia, kelas
Killip, tekanan darah sistolik, deviasi segmen ST, cardiac arrest saat tiba di ruang gawat
darurat, kreatinin serum, marka jantung yang positif dan frekuensi denyut jantung.
Klasifikasi ini ditujukan untuk memprediksi mortalitas saat perawatan di rumah sakit dan
dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit. Untuk prediksi kematian di rumah sakit,
pasien dengan skor risiko GRACE ≤108 dianggap mempunyai risiko rendah (risiko
kematian <1%). Sementara itu, pasien dengan skor risiko GRACE 109-140 dan >140
berturutan mempunyai risiko kematian menengah (1-3%) dan tinggi (>3%). Untuk prediksi
kematian dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit, pasien dengan skor risiko GRACE
≤88 dianggap mempunyai risiko rendah (risiko kematian <3%). Sementara itu, pasien
dengan skor risiko GRACE 89-118 dan >118 berturutan mempunyai risiko kematian
menengah (3-8%) dan tinggi (>8%) (PERKI, 2015).
7. Penatalaksanaan Medis
a. Tindakan Umum
Pasien perlu perawatan di rumah sakit,sebaiknya di unit intensif koroner, pasien perlu
diistirahatkan (bed rest), diberi penenang dan oksigen. Pemberian morfin atau petidin
perlu pada pasien yang masih merasakan sakit dada walaupun sudah mendapat
nitrogliserin.

b. Terapi Medika Mentosa


1) Obat anti-iskemia
a) Nitrat : dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer,
dengan efek mengurangi preload dan afterload sehingga dapat mengurangi
wall stress dan kebutuhan oksigen (Oxygen demand). Nitrat juga menambah
oksigen suplay dengan vasodilatsai pembuluh koroner dan memperbaiki aliran
darah kolateral. Dalam keadaan akut nitrogliserin atau isosorbid dinitrat
diberikan secara sublingual atau infus intravena. Dosis pemberian intravena :
1-4 mg/jam. Bila keluhan sudah terkendali maka dapat diganti dengan per oral.
Preparat :
 Nitrogliserin : Nitromock 2,5 - 5 mg tablet sublingual
 Nitrodisc 5- 10 mg tempelkan di kulit
 Nitroderm 5-10 mg tempelkan di kulit
 Isosorbid dinitrat :Isobit 5-10 mg tablet sublingual
 Isodil 5-10 mg tablet sublingual
 Cedocard 5-10 mg tablet sublingual
b) β-blocker : dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui efek
penurunan denyut jantung dan daya kontraksi miokardium. Berbagai macam
beta-blocker seperti propanolol, metoprolol, dan atenolol. Kontra indikasi
pemberian penyekat beta antra lain dengan asma bronkial, bradiaritmia.
c) Antagonis kalsium : dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan menurunkan
tekanan darah. Ada 2 golongan besar pada antagonis kalsium :
- golongan dihidropiridin : efeknya sebagai vasodilatasi lebih kuat dan
penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit dan efek
inotropik negatif juga kecil (Contoh: nifedipin)
- golongan nondihidropiridin : golongan ini dapat memperbaiki survival dan
mengurangi infark pada pasien dengan sindrom koroner akut dan fraksi
ejeksi normal. Denyut jantung yang berkurang, pengurangan afterload
memberikan keutungan pada golongan nondihidropiridin pada sindrom
koroner akut dengan faal jantung normal (Contoh : verapamil dan
diltiazem).
2) Obat anti-agregasi trombosit
Obat antiplatelet merupakan salah satu dasar dalam pengobatan angina
tidak stabil maupun infark tanpa elevasi ST segmen. Tiga gologan obat anti platelet
yang terbukti bermanfaat seperti aspirin, tienopiridin dan inhibitor GP Iib/IIIa.
a) Aspirin : banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat mengurangi
kematian jantung dan mengurangi infark fatal maupun non fatal dari 51%
sampai 72% pada pasien dengan angina tidak stabil. Oleh karena itu aspirin
dianjurkan untuk diberikan seumur hidup dengan dosis awal 160mg/ hari dan
dosis selanjutnya 80 sampai 325 mg/hari.
b) Tiklopidin : obat ini merupakan suatu derivat tienopiridin yang merupakan obat
kedua dalam pengobatan angina tidak stabil bila pasien tidak tahan aspirin.
Dalam pemberian tiklopidin harus diperhatikan efek samping granulositopenia.
c) Klopidogrel : obat ini juga merupakan derivat tienopiridin yang dapat
menghambat agregasi platelet. Efek samping lebih kecil dari tiklopidin .
Klopidogrel terbukti juga dapat mengurangi strok, infark dan kematian
kardiovaskular. Dosis klopidogrel dimulai 300 mg/hari dan selanjutnya75
mg/hari.
d) Inhibitor glikoprotein IIb/IIIa
Ikatan fibrinogen dengan reseptor GP IIb/IIIa pada platelet ialah ikatan terakhir
pada proses agregasi platelet. Karena inhibitor GP IIb/IIIa menduduki reseptor
tadi maka ikatan platelet dengan fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi
platelet tidak terjadi. Pada saat ini ada 3 macam obat golongan ini yang telah
disetujui :
- absiksimab suatu antibodi mooklonal
- eptifibatid suatu siklik heptapeptid
- tirofiban suatu nonpeptid mimetik
Obat-obat ini telah dipakai untuk pengobatan angina tak stabil maupun untuk
obata tambahan dalam tindakan PCI terutama pada kasus-kasus angina
tak stabil.
3) Obat anti-trombin
a) Unfractionated Heparin
Heparin ialah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagi rantai
polisakarida yang berbeda panjangnya dengan aktivitas antikoagulan yang
berbeda-beda. Antitrombin III, bila terikat dengan heparin akan bekerja
menghambat trombin dan dan faktor Xa. Heparin juga mengikat protein
plasma, sel darah, sel endotel yang mempengaruhi bioavaibilitas. Pada
penggunaan obat ini juga diperlukan pemeriksaan trombosit untuk
mendeteksi adanya kemungkinan heparin induced thrombocytopenia (HIT).
b) Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
LMWH dibuat dengan melakukan depolimerisasi rantai plisakarida heparin.
Dibandingkan dengan unfractionated heparin, LMWH mempuyai ikatan
terhadap protein plasma kurang, bioavaibilitas lebih besar. LMWH yang ada
di Indonesia ialah dalteparin, nadroparin, enoksaparin dan fondaparinux.
Keuntungan pemberian LMWH karena cara pemberian mudah yaitu dapat
disuntikkan secara subkutan dan tidak membutuhkan pemeriksaan
laboratorium.
c) Direct Thrombin Inhibitors
Direct Thrombin Inhibitors secara teoritis mempunyai kelebihan karena bekerja
langsung mencegah pembentukan bekuan darah, tanpa dihambat oleh
plasma protein maupun platelet factor 4. Hirudin dapat menurunkan angka
kematian dan infark miokard, tetapi komplikasi perdarahan bertambah.
Bivalirudin telah disetujui untuk menggantikan heparin pada pasien angina tak
stabil yang menjalani PCI. Hirudin maupun bivalirudin dapat menggantikan
heparin bila ada efek samping trombositopenia akibat heparin (HIT). 21
4) Tindakan revaskularisasi pembuluh koroner
Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada pasien dengan
iskemi berat dan refakter dengan terapi medikamentosa. Pada pasien dengan
penyempitan di left main atau penyempitan pada 3 pembuluh darah, bila disertai
faal ventrikel kiri yang kurang tindakan operasi bypass (CABG) mengurangi
masuknya kembali ke rumah sakit. Pada pasien dengan faal jantung yang masih
baik dengan penyempitan pada satu pembuluh darah atau dua pembuluh darah
atau bila ada kontraindikasi tindakan pembedahan PCI merupakan pilihan utama.
Teknik-teknik invasif misalnya percutaneous transluminal coronary
angioplasty (PTCA) dan bedah pintas arteri koroner dapat menurunkan serangan
angina klasik. Dengan PTCA,lesi aterosklerotik didilatasi oleh sebuah kateter yang
dimasukkan melalui kulit ke dalam arteri femoralis atau brakialis dan di dorong ke
jantung. Setelah berada di pembuluh yag sakit, balon yang ada di kateter
digembungkan. Hal ini akan memecahkan plak dan meregangkan arteri. Dengan
bedah pintas, potongan arteri koroner yang sakit diikat, dan diambil arteri atau
vena dari tempat lain untuk dihubungkan ke bagian yang tidak sakit. Aliran darah
dipulihkan melalui pembuluh baru ini. Pembuluh yang paling sering
ditransplantasikan adalah vena safena atau arteri mamaria interna. Pemasangan
selang artificial atau stent ke dalam arteri agar tatap terbuka kadang-kadang
dilakukan dengan keberhasilan yang bervariasi. Bedah pintas koroner
menghilangkan nyeri angina tetapi tampaknya tidak mempengaruhi mortalitas
jangka-panjang.
c. Terapi Non Medika Mentosa
1) Istirahat memungkinkan jantung memompa lebih sedikit darah (penurunan volume
sekuncup) dengan kecepatan yang lambat (penurunan kecepatan denyut jantung).
Hal ini menurukan kerja jantung sehingga kebutuhan oksigen juga berkurang.
Posisi duduk adalah postur yang dianjurkan sewaktu beristirahat. Sebaliknya
berbaring, meningkatkan aliran balik darah ke jantung sehingga terjadi
peningkatan volume diastolik akhir, volume sekuncup dan curah jantung.
2) Terapi oksigen untuk mengurangi kebutuhan oksigen jantung.
PATHWAY (Arie Baldwell, 2011)

Terdiagnosis NSTEMI

ASA atau Clopidogrel (Kelas I, LOE A) jika ASA tidak toleran

Pilih manajemen strategi

Strategi Konservatif

1. Inisiasi terapi antikoagulan : Enoxaparin/UHF (Kelas I, LOE A)


2. Bivalirudin atau Fondaparinux (Kelas I, LOE A)
3. Enoxaparin dan Fondaparinux lebih baik (Kelas II a LOE B)

1. Inisiasi terapi Clopidogrel


2. Pertimbangan penambahan IV Eptifibtide atau Tirofiban (Kelas IIb, LOE B)

Beberapa gejala beruang seperti : iskemia, gagal jantung atau aritmia serius

Diagnosa Angiografy Evaluasi LVEF (Class I, LOE B) Stress test ( Kelas I, LOE B)

EF 0,40 atau kurang EF lebih besar dari 0,4 Not Low Risk Low Risk

1. Lanjutkan ASA 75-162 mg (Kelas I, LOE A)


2. Lanjutkan Clopidogrel 75 mg untuk kurang lebih satu
bulan ( Kelas I, LOE A) dan lebih idealnya 1 tahun
(Kelas I, LOE B)
3. Jangan lanjutkan IV GP II/IIIa jika memulai sebelumnya
(Kelas I, LOE A)
4. Jangan lanjutkan terapi antikoagulan (Kelas I, LOE A)

(Adapted from : 2007 ACC/AHA UA/NSTEMI Guidelines)


8. Pencegahan
a. Perubahan life style (termasuk berhenti merokok dan lain-lain), penurunan BB,
penyesuaian diet, olahraga teratur dan lain-lain.
b. Mengobati faktor predisposisi dan faktor pencetus : stress, emosi, hipertensi, penyakit
DM, hiperlipidemia, obesitas, anemia.
c. Menghindari bekerja pada keadaan dingin atau stres lain yang diketahui mencetuskan
serangan angina klasik pada seseorang.
d. Memberikan penjelasan perlunya melatih aktivitas sehari-hari sehingga untuk
meningkatkan kemampuan jantung agar dapat mengurangi serangan jantung.

9. Komplikasi
a. Infark miokardium (IM) adalah kematian sel-sel miokardium yang terjadi akibat
kekurangan oksigen yang berkepanjanga. Hal ini adalah respon letal terakhir terhadap
iskemia miokardium yang tidak teratasi. Sel-sel miokardium mulai mati setelah sekitar
20 menit mengalami kekurangan oksigen. Setelah periode ini, kemampuan sel untuk
menghasilkan ATP secara aerobs lenyap dan sel tidak memenuhi kebutuhan
energinya.
b. Aritmia : Karena insidens PJK dan hipertensi tinggi, aritmia lebih sering didapat dan
dapat berpengaruh terhadap hemodinamik. Bila curah jantung dan tekanan darah
turun banyak, berpengaruh terhadap aliran darah ke otak, dapat juga menyebabkan
angina, gagal jantung.
c. Gagal Jantung : Gagal jantung terjadi sewaktu jantung tidak mampu memompa darah
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrien tubuh. Gagal jantung
disebabkan disfungsi diastolik atau sistolik. Gagal jantung diastolik dapat terjadi
dengan atau tanpa gagal jantung sistolik. Gagal jantung dapat terjadi akibat hipertensi
yang lama (kronis). Disfungsi sistolik sebagai penyebab gagal jantung akibat cedera
pada ventrikel, biasanya berasal dari infark miokard.

10. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Non-St Elevasi Miokardial Infark


a. Pengkajian
Pengkajian persisten :
 B1: Breath
Sesak nafas, apnea, eupnea, takipnea.
 B2: Blood
Denyut nadi lemah, nadi cepat, teratur/tidak teratur, EKG Aritmia, Suara jantung
bisa tidak terdengar pada VF. Tekanan darah sukar / tidak dapat diukur/ normal,
Saturasi oksigen bisa menurun < 90%.
 B3: Brain
Menurunnya/hilangnya kesadaran, gelisah, disorientasi waktu, tempat dan orang.
 B4: Bladder
Produksi urine menurun, warna urine lebih pekat dari biasanya, oliguria, anuria.
 B5: bowel
Konstipasi.
 B6: Bone
Perfusi dingin basah pucat, CRT > 2 detik, diaforesis, kelemahan.
Keluhan Utama Pasien :
a) Kualitas Nyeri Dada : seperti terbakar, tercekik, rasa menyesakkan nafas atau
seperti tertindih barang berat.
b) Lokasi dan radiasi : retrosternal dan prekordial kiri, radiasi menurun ke lengan kiri
bawah dan pipi, dagu, gigi, daerah epigastrik dan punggung.
c) Faktor pencetus : mungkin terjadi saat istirahat atau selama kegiatan
d) Lamanya dan faktor-faktor yang meringankan : berlangsung lama, berakhir lebih
dari 20 menit, tidak menurun dengan istirahat, perubahan posisi ataupun minum
Nitrogliserin.
e) Tanda dan gejala : Cemas, gelisah, lemah sehubungan dengan keringatan,
dispnea, pening, tanda-tanda respon vasomotor meliputi : mual, muntah, pingsan,
kulit dinghin dan lembab, cekukan dan stress gastrointestinal, suhu menurun.
f) Pemeriksaan fisik : mungkin tidak ada tanda kecuali dalam tanda-tanda gagalnya
ventrikel atau kardiogenik shok terjadi. BP normal, meningkat atau menuirun,
takipnea, mula-mula pain reda kemudian kembali normal, suara jantung S3, S4
Galop menunjukan disfungsi ventrikel, sistolik mur-mur, M. Papillari disfungsi, LV
disfungsi terhadap suara jantung menurun dan perikordial friksin rub, pulmonary
crackles, urin output menurun, Vena jugular amplitudonya meningkat ( LV disfungsi
), RV disfungsi, ampiltudo vena jugular menurun, edema periver, hati lembek.
g) Parameter Hemodinamik : penurunan PAP, PCWP, SVR, CO/ CI.

b. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi


1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan irama jantung, stroke
volume, pre load dan afterload, kontraktilitas jantung.
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri (biologi, kimia, fisik, psikologis),
kerusakan jaringan miokard
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi
ventilasi, perubahan membran kapiler-alveolar
4. Ketidakefektifan perfusi jaringan kardiopulmonal berhubungan dengan gangguan
afinitas Hb oksigen, penurunan konsentrasi Hb, Hipervolemia, Hipoventilasi,
gangguan transport O2, gangguan aliran arteri dan vena
5. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan mekanisme pengaturan melemah,
asupan cairan berlebihan.
6. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan tirah baring atau imobilisasi, kelemahan
menyeluruh, ketidakseimbangan antara suplei dan kebutuhan oksigen, gaya hidup
yang monoton.
7. Ansietas berhubungan dengan faktor keturunan, Krisis situasional, Stress,
perubahan status kesehatan, ancaman kematian, perubahan konsep diri, kurang
pengetahuan dan hospitalisasi.
8. Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, interpretasi
terhadap informasi yang salah, kurangnya keinginan untuk mencari informasi, tidak
mengetahui sumber-sumber informasi.

C. Diagnosa Keperawatan, NOC, dan NIC


Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan
Masalah Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Nyeri akutbd agens  Pain Level, 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
cerdera biologis  pain control, komprehensif termasuk lokasi,
 comfort level karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
dan faktor presipitasi
2. Observasi reaksi nonverbal dari
ketidaknyamanan
3. Bantu pasien dan keluarga untuk
mencari dan menemukan dukungan
4. Kontrol lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan dan kebisingan
5. Kurangi faktor presipitasi nyeri
6. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan intervensi
7. Ajarkan tentang teknik non farmakologi:
napas dala, relaksasi, distraksi,
kompres hangat/ dingin
8. Berikan analgetik untuk mengurangi
nyeri: ……...
9. Tingkatkan istirahat
10. Berikan informasi tentang nyeri seperti
penyebab nyeri, berapa lama nyeri
akan berkurang dan antisipasi
ketidaknyamanan dari prosedur
11. Monitor vital sign sebelum dan sesudah
pemberian analgesik pertama kali
Risiko penurunan  Cardiac pump 1. Monitor nyeri dada (durasi, intensitas
perfusi jaringan Effectiveness dan faktor-faktor presipitasi)
kardiopulmonal  Circulation status 2. Observasi perubahan ECG
 Tissue Prefusion : 3. Auskultasi suara jantung dan paru
cardiac, periferal 4. Monitor irama dan jumlah denyut
 Vital Sign Statusl jantung
5. Monitor angka PT, PTT dan AT
6. Monitor elektrolit (potassium dan
magnesium)
7. Monitor status cairan
8. Evaluasi oedem perifer dan denyut
nadi
9. Monitor peningkatan kelelahan dan
kecemasan
10. Instruksikan pada pasien untuk tidak
mengejan selama BAB
11. Jelaskan pembatasan intake kafein,
sodium, kolesterol dan lemak
12. Kelola pemberian obat-obat:
analgesik, anti koagulan, nitrogliserin,
vasodilator dan diuretik.
13. Tingkatkan istirahat (batasi
pengunjung, kontrol stimulasi
lingkungan)
Risiko penurunan  Cardiac Pump 1. Evaluasi adanya nyeri dada
curah jantung effectiveness 2. Catat adanya disritmia jantung
 Circulation Status
 Vital Sign Status 3. Catat adanya tanda dan gejala
 Tissue perfusion: penurunan cardiac putput
perifer 4. Monitor status pernafasan yang
menandakan gagal jantung
5. Monitor balance cairan
6. Monitor respon pasien terhadap efek
pengobatan antiaritmia
7. Atur periode latihan dan istirahat untuk
menghindari kelelahan
8. Monitor toleransi aktivitas pasien
9. Monitor adanya dyspneu, fatigue,
tekipneu dan ortopneu
10. Anjurkan untuk menurunkan stress
11. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
12. Monitor VS saat pasien berbaring,
duduk, atau berdiri
13. Auskultasi TD pada kedua lengan dan
bandingkan
14. Monitor TD, nadi, RR, sebelum,
selama, dan setelah aktivitas
15. Monitor jumlah, bunyi dan irama
jantung
16. Monitor frekuensi dan irama
pernapasan
17. Monitor pola pernapasan abnormal
18. Monitor suhu, warna, dan kelembaban
kulit
19. Monitor sianosis perifer
20. Monitor adanya cushing triad (tekanan
nadi yang melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik)
21. Identifikasi penyebab dari perubahan
vital sign
22. Jelaskan pada pasien tujuan dari
pemberian oksigen
23. Sediakan informasi untuk mengurangi
stress
24. Kelola pemberian obat anti aritmia,
inotropik, nitrogliserin dan vasodilator
untuk mempertahankan kontraktilitas
jantung
25. Kelola pemberian antikoagulan untuk
mencegah trombus perifer
26. Minimalkan stress lingkungan

Gangguan Pertukaran  Respiratory Status : 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan


gas bd ketidakseimbang Gas exchange ventilasi
ventilasi-perfusi  Keseimbangan asam 2. Pasang mayo bila perlu
Basa, Elektrolit 3. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
 Respiratory Status : 4. Keluarkan sekret dengan batuk atau
ventilation suction
 Vital Sign Status 5. Auskultasi suara nafas, catat adanya
suara tambahan
6. Berikan bronkodilator ;
7. Barikan pelembab udara
8. Atur intake untuk cairan
mengoptimalkan keseimbangan.
9. Monitor respirasi dan status O2
10. Catat pergerakan dada,amati
kesimetrisan, penggunaan otot
tambahan, retraksi otot supraclavicular
dan intercostal
11. Monitor suara nafas, seperti dengkur
12. Monitor pola nafas : bradipena,
takipenia, kussmaul, hiperventilasi,
cheyne stokes, biot
13. Auskultasi suara nafas, catat area
penurunan / tidak adanya ventilasi dan
suara tambahan
14. Monitor TTV, AGD, elektrolit dan ststus
mental
15. Observasi sianosis khususnya
membran mukosa
16. Jelaskan pada pasien dan keluarga
tentang persiapan tindakan dan tujuan
penggunaan alat tambahan (O2,
Suction, Inhalasi)
17. Auskultasi bunyi jantung, jumlah, irama
dan denyut jantung
Kelebihan Volume  Electrolit and acid 1. Pertahankan catatan intake dan output
Cairan bd gangguan base balance yang akurat
mekanisme reagulasi  Fluid balance 2. Pasang urin kateter jika diperlukan
 Hydration 3. Monitor hasil lab yang sesuai dengan
retensi cairan (BUN , Hmt , osmolalitas
urin )
4. Monitor vital sign
5. Monitor indikasi retensi / kelebihan
cairan (cracles, CVP , edema, distensi
vena leher, asites)
6. Kaji lokasi dan luas edema
7. Monitor masukan makanan / cairan
8. Monitor status nutrisi
9. Berikan diuretik sesuai interuksi
10. Kolaborasi pemberian obat:
11. ....................................
12. Monitor berat badan
13. Monitor elektrolit
14. Monitor tanda dan gejala dari odema

Intoleransi aktivitas bd  Self Care : ADLs 1. Observasi adanya pembatasan klien


immobilisasi  Toleransi aktivitas dalam melakukan aktivitas
 Konservasi eneergi 2. Kaji adanya faktor yang menyebabkan
kelelahan
3. Monitor nutrisi dan sumber energi
yang adekuat
4. Monitor pasien akan adanya kelelahan
fisik dan emosi secara berlebihan
5. Monitor respon kardivaskuler terhadap
aktivitas (takikardi, disritmia, sesak
nafas, diaporesis, pucat, perubahan
hemodinamik)
6. Monitor pola tidur dan lamanya
tidur/istirahat pasien
7. Kolaborasikan dengan Tenaga
Rehabilitasi Medik dalam
merencanakan progran terapi yang
tepat.
8. Bantu klien untuk mengidentifikasi
aktivitas yang mampu dilakukan
9. Bantu untuk memilih aktivitas
konsisten yang sesuai dengan
kemampuan fisik, psikologi dan sosial
10. Bantu untuk mengidentifikasi dan
mendapatkan sumber yang diperlukan
untuk aktivitas yang diinginkan
11. Bantu untuk mendpatkan alat bantuan
aktivitas seperti kursi roda, krek
12. Bantu untuk mengidentifikasi aktivitas
yang disukai
13. Bantu klien untuk membuat jadwal
latihan diwaktu luang
14. Bantu pasien/keluarga untuk
mengidentifikasi kekurangan dalam
beraktivitas
15. Sediakan penguatan positif bagi yang
aktif beraktivitas
16. Bantu pasien untuk mengembangkan
motivasi diri dan penguatan
17. Monitor respon fisik, emosi, sosial dan
spiritual
Kecemasan bd stressor  Kontrol kecemasan Anxiety Reduction (penurunan
 Koping kecemasan)
1. Gunakan pendekatan yang
menenangkan
2. Nyatakan dengan jelas harapan
terhadap pelaku pasien
3. Jelaskan semua prosedur dan apa yang
dirasakan selama prosedur
4. Temani pasien untuk memberikan
keamanan dan mengurangi takut
5. Berikan informasi faktual mengenai
diagnosis, tindakan prognosis
6. Libatkan keluarga untuk mendampingi
klien
7. Instruksikan pada pasien untuk
menggunakan tehnik relaksasi
8. Dengarkan dengan penuh perhatian
9. Identifikasi tingkat kecemasan
10. Bantu pasien mengenal situasi yang
menimbulkan kecemasan
11. Dorong pasien untuk mengungkapkan
perasaan, ketakutan, persepsi
12. Kelola pemberian obat anti cemas:........
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Idrus. 2006. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III. Jakarta: FKUI.

American Heart Association. 2006. Heart and Stroke Facts: 2005 Statistical Supplement.
Dallas: American Heart Association.

American Heart Association. 2007. Management of Patients with Unstable Angina/Non-ST-


Elevation Myocardial Infrction. Dallas: American Heart Association.

Antman EM, Hand M, Armstrong PW, Bates ER, Green LA, Hochman JS, et al. 2008. Focused
update of the ACC/AHA 2004 guidelines for the management of patients with ST-
elevation myocardial infarction: a report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (51: 210–
247). J Am Coll Cardiol.

Corwin, E.J. 2001. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta: EGC;
Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku saku patofisiologi. Edisi 3. EGC. Jakarta
Faqih, R.,. (2006). Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskuler. Malang: UMM Press

Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. 2010. 17th Edition Harrison’s
Principles of Internal Medicine. New South Wales: McGraw Hill.

Guyton AC, Hall JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

Levefer, J.,. (1997). Buku Saku Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik dengan Implikasi
Keperawatan. Jakarta: EGC

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Pedoman Tatalaksana


Sindrom Koroner Akut. Edisi Ketiga. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia.

Prasetyo, J., B.,. (2003). Ilmu Penyakit Jantung. Surabaya: Airlangga University.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
edisi V. dalam Farissa, Inne Pratiwi. 2012. Komplikasi Pada Pasien Infark
Miokard Akut St-Elevasi (STEMI) yang Mendapat Maupun tidak Mendapat
Terapi Reperfusi (Studi Di RSUP Dr.Kariadi Semarang). Program Pendidikan
Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro 2012. Jakarta:
Interna Publishing

Anda mungkin juga menyukai