Disusun Oleh:
Krismaya Ismayanti
180070200111025
LAPORAN PENDAHULUAN
Oleh :
KRISMAYA ISMAYANTI
NIM. 180070300111025
Hari :
Tanggal :
( ) ( )
1. STEMI
a. Definisi
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST Elevation Myocardial Infarct)
merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri atas angina
pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST (Sudoyo, 2010).
Infark Miokard Akut (IMA) adalah nekrosis miokardium yang disebabkan tidak
adekuatnya pasokan darah akibat sumbatan akut pada arteri koroner. Sumbatan ini
sebagian besar disebabkan oleh rupture plak ateroma pada arteri koroner yang
kemudian diikuti oleh terjadinya thrombosis, vasokonstriksi, reaksi inflamasi, dan
mikroembolisasi distal. Kadang-kadang sumbatan akut ini dapat pula disebabkan
oleh spasme arteri koroner, emboli, atau vaskulitis. Iskemia yang berlangsung lebih
dari 30-45 menit akan menyebabkan kerusakan seluler yang permanen dan kematian
otot atau nekrosis. Area miokardium yang mengalami infark atau nekrosis akan
berhenti berkontraksi secara permanen. Jaringan yang mengalami infark dikelilingi
oleh suatu daerah iskemik yang berpotensi dapat hidup. Ukuran infark akhir
bergantung pada keadaan daerah iskemik tersebut. Bila tepi daerah yang
mengelilingi area iskemik ini mengalami nekrosis maka area infark akan bertambah
luas, sedangkan perbaikan iskemia akan memperkecil area nekrosis. Infark
miokardium biasanya menyerang ventrikel kiri (Muttaqin, 2009).
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah koroner
menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang
sudah ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri
vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi,
dan akumulasi lipid. STEMI terjadi sebagian besar disebabkan karena oklusi total
trombus kaya fibrin di pembuluh koroner epikardial. Oklusi ini akan mengakibatkan
berhentinya aliran darah (perfusi) ke jaringan miokard (Firdaus, 2011).
b. Klasifikasi
Infark miokard dapat di bedakan menjadi :
1. Infark Miokard Subendokardial
Infark Miokard Subendokardial terjadi akibat aliran darah subendokardial yang relatif
menurun dalam waktu yang lama sebagai akibat perubahan derajat penyempitan
arteri koroner atau dicetuskan oleh kondisi-kondisi seperti hipotensi, perdarahan dan
hipoksia (Rendy & Margareth, 2012).
2. Infark Miokard Transmural
Pada lebih dari 90% pasien infark miokard transmural berkaitan dengan trombosis
koroner. Trombosis sering terjadi di daerah yang mengalami penyempitan
arteriosklerosik. Penyebab lain lebih jarang di temukan (Rendy & Margareth, 2012).
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG),
dan pemeriksaan marka jantung, sindrom koroner akut dibagi menjadi:
Pengertian dari NSTEMI adalah pasien yang mengalami gejala nyeri dada khas di
atas 20 menit, menunjukkan pemeriksaan biokimia kardiak marker yang positif atau
perubahan segmen ST pada pemeriksaan EKG tanpa elevasi segmen ST yang
persisten (Alexander et al, 2007).
Angina pektoris adalah nyeri dada intermitten yang disebabkan oleh iskemia
miokardium yang reversibel dan sementara. Diketahui terbagi atas tiga varian utama
angina pektoris: angina pektoris tipikal (stabil), angina pectoris prinzmetal (varian),
dan angina pektoris tak stabil. Pada pembahasan ini akan lebih difokuskan kepada
angina pektoris tidak stabil (Kumar, 2007)
c. Etiologi
Etiologi menurut Tierney (2002):
1. Ruptur plak
Ruptur plak arterosklerotik dianggap penyebab terpenting angina pektoris tak
stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang
sebelumya mempunyai penyempitan yang mininal. Dua pertiga dari pembuluh yang
mengalami ruptur sebelumnya mempunyai penyempitan 50% atau kurang, dan pada
97% pasien dengan angina tak stabil mempunyai penyempitan kurang dari 70%. Plak
arterosklerotik terdiri dari inti yang mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan
fibrotic (fibrotic cap). Plak tidak stabil terdiri dari inti yang banyak mengandung lemak
dan adanya infiltrasi sel makrofag.
Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang normal
atau pada bahu dari timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan timbul pada dinding
plak yang paling lemah karena adanya enzim protease yang dihasilkan makrofag dan
secara enzimatik melemahkan dinding plak (fibrous cap). Terjadinya ruptur
menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi
terbentuknya trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah 100% akan terjadi
infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100%
dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak stabil.
3. Vasospasme
d. Faktor Risiko
Faktor risiko dari infark miokard secara umum dibedakan menjadi :
a) Faktor Resiko Yang Tidak Dapat Dimodifikasi
Faktor resiko yang tidak bisa dirubah atau dikendalikan, yaitu diantaranya:
Usia
Resiko meningkat pada pria datas 45 tahun dan wanita diatas 55 tahun (umumnnya
setelah menopause)
Jenis Kelamin
Morbiditas akibat IMA(Infark Miokard Akut) pada laki-laki dua kali lebih besar
dibandingkan pada perempuan, hal ini berkaitan dengan estrogen endogen yang
bersifat protektif pada perempuan. Hal ini terbukti insidensi IMA meningkat dengan
cepat dan akhirnya setara dengan laki pada wanita setelah masa menopause
Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner (saudara atau orang
tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun) meningkatkan kemungkinan
timbulnya aterosklerosis prematur. Pentingnya pengaruh genetik dan lingkungan
masih belum diketahui. Komponen genetik dapat diduga pada beberapa bentuk
aterosklerosis yang nyata, atau yang cepat perkembangannya, seperti pada
gangguan lipid familial. Tetapi, riwayat keluarga dapat pula mencerminkan komponen
lingkungan yang kuat seperti misalnya gaya hidup yang menimbulkan stres atau
obesitas.
Ras
Orang Afrika lebih rentan terhadap aterosklerosis daripada orang kulit putih
Geografi
Tingkat kematian akibat IMA lebih tinggi di Irlandia Utara, Skotlandia, dan bagian
Inggris Utara dan dapat merefleksikan perbedaan diet, kemurnian air, merokok,
struktur sosio-ekonomi, dan kehidupan urban.
Kelas sosial
Tingkat kematian akibat IMA tiga kali lebih tinggi pada pekerja kasar laki-laki terlatih
dibandingkan dengan kelompok pekerja profesi (missal dokter, pengacara dll). Selain
itu frekuensi istri pekerja kasar ternyata 2 kali lebih besar untuk mengalami kematian
dini akibat IMA dibandingkan istri pekerja professional/non-manual.
e. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala infark miokard menurut Alwi (2006) adalah :
1) Nyeri :
Nyeri dada yang terjadi secara mendadak dan terus-menerus tidak
mereda, biasanya dibagian dada depan bawah sternum dan abdomen
bagian atas, ini merupakan gejala utama.
Keparahan nyeri dapat meningkat secara menetap sampai nyeri tidak
tertahankan lagi.
Nyeri tersebut sangat sakit, seperti tertusuk-tusuk yang dapat menjalar ke
bahu dan terus ke bawah menuju lengan (biasanya lengan kiri).
Nyeri mulai secara spontan (tidak terjadi setelah kegiatan atau
gangguan emosional), menetap selama lebih dari 15 detik – 30 menit, dan
tidak hilang dengan bantuan istirahat atau nitrogliserin (NTG).
Nyeri dapat menjalar ke arah rahang dan leher, atau seperti sakit gigi,
penderita tidak bisa menunjuk lokasi nyeri dengan 1 jari tetapi ditunjukkan
dengan telapak tangan.
Nyeri sering disertai dengan sesak nafas, pucat, dingin, diaforesis berat,
pening atau kepala terasa melayang dan mual muntah.
Pasien dengan diabetes melitus tidak akan mengalami nyeri yang hebat
karena neuropati yang menyertai diabetes dapat mengganggu
neuroreseptor (mengumpulkan pengalaman nyeri).
2) Sesak nafas: mengidentifikasikan ancaman gagal ventrikel kiri.
3) Gejala GI: peningkatan aktivitas fadal menyebabkan mual dan muntah dan
dikatakan lebih sering terjadi pada infrak inferior. Stimulasi diafragmatik pada
infrak inferior juga dapat menyebabkan cegukan.
Gejala lain : palpitasi, rasa pusing, aritmia ventrikel, dan gejala akibat emboli arteri
(stroke, iskemia ekstermitas).
Laborat
Pemeriksaan Enzim jantung :
a. CPK-MB/CPK
merupakan enzim yg spesifik sebagai penanda terjadinya kerusakan pd
otot jantung. Kadar CPK yang ditemukan pada otot jantung meningkat
antara 2-6 jam, memuncak pada 24 jam pertama pasca serangan,
kembali normal dalam 2-3 hari.
b. LDH/HBDH
Meningkat pada hari ke 2-3 kemudian normal kembali pada hari ke 5-6.
c. Cardiac Troponin
Meningkat 3-6 jam pasca serangan dan tetap tinggi selama 14-21 hari.
Kadar kardiak troponin I meningkat 7-14 jam pasca serangan dan tetap
tinggi untuk 5-7 hari pasca serangan. Merupakan Gold standart
pemeriksaan laborat untuk mendiagnosa IMA.
d. AST/SGOT (kurang spesifik/khusus)
Kadar SGOT terdeteksi setelah 8 jam serangan. Kadarnya meningkat
hingga 24-48 jam dan menurun pada hari ke 3-4. Oleh karena itu kadar
SGOT harus diperiksa pada 24, 48, dan 72 jam serangan.
EKG
Perubahan EKG yang terjadi pada fase awal adanya gelombang T tinggi dan
simetris. Setelah ini terdapat elevasi segmen ST.Perubahan yang terjadi
kemudian ialah adanya gelombang Q/QS yang menandakan adanya
nekrosis.
a. Segmen ST elevasi abnormal menunjukkan adanya (dilatasi sekunder)
karena gagal jantung kongesif.
b. Gelombang T invesi (arrow hard) menunjukan adanya askemia miokard.
c. Q patologis menunjukkan adanya nekrosis miokard.
Skor nyeri menurut White :
0 = tidak mengalami nyeri
1 = nyeri pada satu sisi tanpa menggangu aktifitas
2 = nyeri lebih pada satu tempat dan mengakibatkan terganggunya aktifitas,
mislnya kesulitan bangun dari tempat tidur, sulit menekuk kepala dan
lainnya.
f. Patofisiologi
Terlampir
g. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan fisik
Menunjukkan pasien tampak cemas dan tidak bisa beristirahat (gelisah)
dengan ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada
substernal >30 menit dan banyak keringat merupakan kecurigaan kuat adanya
STEMI (Farissa, 2012)
EKG
Untuk mengetahui fungsi jantung : T. Inverted, ST depresi, Q. patologis
Creatine Kinase (CK atau CPK)
Dikeluarkan dari otot yang rusak, CK adalah enzim yang ditemukan di jantung,
otot rangka dan otak. Ini terdiri dari 3 isoenzim;. Mm ( ditemukan di otot rangka ), MB
(ditemukan pada otot jantung ) dan BB ( ditemukan dalam jaringan otak ). Kerusakan
pada salah satu jaringan menyebabkan pelepasan CK ke dalam aliran darah
sehingga jumlahnya dalam darah lebih tinggi dari normal.
CKMB
Setelah cedera jantung, CK dan MB isoenzyme dilepaskan ke dalam aliran darah
pada tingkat yang dapat diprediksi. Dalam waktu 4 sampai 8 jam ( setelah cedera )
tingkat CKMB naik di atas normal dan dalam waktu 12 sampai 24 jam tingkat ini
meningkat sekitar 5 sampai 15 kali normal. Dalam waktu 2 sampai 3 hari CKMB
kembali normal. Karena isoenzyme MB adalah eksklusif untuk jaringan otot jantung,
hal ini dianggap sebagai tes yang sangat definitif untuk mendiagnosa infark miokard
akut.
Troponin
Troponin adalah protein yang membantu mengatur kontraksi otot jantung dan
karena itu dapat diisolasi dalam darah, itu dianggap sebagai indikator yang sensitif
dari infark miokard akut. Troponin terdiri dari 3 protein yang terpisah yaitu Troponin I,
Troponin T dan Troponin C.
Fungsi dari masing-masing protein spesifik adalah sebagai berikut:
Troponin C
Mengikat ion kalsium dan tidak digunakan untuk menentukan jaringan sel / kematian.
Nilai Normal Enzim Jantung
Enzyme/Protein Normal Value
Creatine Kinase 50 – 80 U/L
Total Creatinine Phosphokinase 30 - 200 U/L
(CPK)
CPK MB (Fraction) 0 - 8.8 ng/ml
CPK MB (Fraction with percent of 0 - 4 %
total CPK).
CPK MB2 (Fraction) Less than 1 U/L
Troponin 1 0 – 0.4 ng/ml
Troponin T 0 – 0.1 ng/ml
Troponin I dan T
Biasanya / normalnya tidak ditemukan dalam aliran darah sehingga setiap terdeteksi
protein ini dalam darah menunjukkan infark atau kematian otot jantung / jaringan.
Elektrolit
Ketidakseimbangan dapat mempengaruhi konduksi dan kontraktilitas, missal
hipokalemi, hiperkalemi
Sel darah putih
Leukosit (10.000 – 20.000) biasanya tampak pada hari ke-2 setelah IMA
berhubungan dengan proses inflamasi
Kecepatan sedimentasi
Meningkat pada ke-2 dan ke-3 setelah AMI , menunjukkan inflamasi.
Kimia
Mungkin normal, tergantung abnormalitas fungsi atau perfusi organ akut atau kronis
Analisa Gas Darah
Dapat menunjukkan hipoksia atau proses penyakit paru akut atau kronis.
Kolesterol atau Trigliserida serum
Meningkat, menunjukkan arteriosclerosis sebagai penyebab AMI
Foto dada
Mungkin normal atau menunjukkan pembesaran jantung diduga GJK atau aneurisma
ventrikuler.
Ekokardiogram
Dilakukan untuk menentukan dimensi serambi, gerakan katup atau dinding ventrikuler
dan konfigurasi atau fungsi katup.
Pemeriksaan pencitraan nuklir
o Talium : mengevaluasi aliran darah miocardia dan status sel miocardia
missal lokasi atau luasnya IMA
o Technetium : terkumpul dalam sel iskemi di sekitar area nekrotik
Pencitraan darah jantung (MUGA)
Mengevaluasi penampilan ventrikel khusus dan umum, gerakan dinding regional dan
fraksi ejeksi (aliran darah)
Angiografi koroner
Menggambarkan penyempitan atau sumbatan arteri koroner. Biasanya
dilakukan sehubungan dengan pengukuran tekanan serambi dan mengkaji fungsi
ventrikel kiri (fraksi ejeksi). Prosedur tidak selalu dilakukan pada fase AMI kecuali
mendekati bedah jantung angioplasty atau emergensi.
Digital subtraksion angiografi (PSA)
Teknik yang digunakan untuk menggambarkan
Nuklear Magnetic Resonance (NMR)
Memungkinkan visualisasi aliran darah, serambi jantung atau katup ventrikel,
lesivaskuler, pembentukan plak, area nekrosis atau infark dan bekuan darah.
Tes stress olah raga
Menentukan respon kardiovaskuler terhadap aktifitas atau sering dilakukan
sehubungan dengan pencitraan talium pada fase penyembuhan.(Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, 2010)
h. Penatalaksanaan Klinis
a) Terapi reperfusi
Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis, diindikasikan
untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi segmen
ST yang menetap atau Left Bundle Branch Block (LBBB) yang (terduga) baru. Terapi
reperfusi (sebisa mungkin berupa IKP primer) diindikasikan apabila terdapat bukti
klinis maupun EKG adanya iskemia yang sedang berlangsung, bahkan bila gejala
telah ada lebih dari 12 jam yang lalu atau jika nyeri dan perubahan EKG tampak
tersendat.
Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada
tidaknya rumah sakit sekitar fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung pilih terapi
fibrinolitik. Bila ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit
atau klinik) ke rumah sakit tersebut apakah kurang atau lebih dari (2 jam). Jika
membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah
ibrinolitik selesai diberikan, jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat dengan
fasilitas IKP.
1) Intervensi koroner perkutan primer
IKP primer adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan dibandingkan dengan
fibrinolisis apabila dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit dari
waktu kontak medis pertama. IKP primer diindikasikan untuk pasien gagal jantung
akut yang berat atau syok kardiogenik, kecuali bila diperkirakan bahwa pemberian
IKP akan tertunda lama dan bila pasien dating dengan awitan gejala yang telah lama.
Stenting lebih disarankan dibandingkan angioplasty balon untuk IKP primer.
Tidak disarankan untuk melakukan IKP secara rutin pada arteri yang telah
tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan gejala pada pasien stabil tanpa gejala
iskemia, baik yang telah maupun belum diberikan fibrinolisis. Bila pasien tidak
memiliki indikasi kontra terhadap terapi antiplatelet dual (dual antiplatelet therapy-
DAPT) dan kemungkinan dapat patuh terhadap pengobatan, drug-eluting stents
(DES) lebih disarankan daripada Bare Metal Stents (BMS).
2) Terapi fibrinolitik
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada tempat-
tempat yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam waktu yang
disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak awitan
gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila IKP primer tidak bisa
dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak medis
pertama.
Dosis Awal Koterapi Kontraindikasi
antitrombin spesifik
Streptokinase 1,5 juta U Heparin IV Sebelum Sk atau
(Sk) dalam 100 mL selama 24-48 anistreplase
Dextrose 5% jam
atau larutan
salin 0,9%
dalam waktu
30-60 menit
Alteplase (tPA) Bolus 15 mg Heparin IV
intravena 0,75 selama 24-48
mg/kg selama jam
30 menit,
kemudian 0,5
mg/kg selama
60 menit
Dosis total
tidak lebih
dari 100 mg
Kontraindikasi terapi fibrinolitik
Kontraindikasi Absolut Kontraindikasi Relatif
Stroke hemoragik atau stroke yang Transient Ischaemic Attack (TIA)
penyebabnya belum diketahui, dalam 6 bulan terakhir
dengan awitan kapanpun
Stroke iskemik 6 bulan terakhir Pemakaian antikoagulan oral
Kerusakan sistem saraf sentral dan Kehamilan atau dalam 1 minggu
neoplasma post-partum
Trauma operasi/trauma kepala Tempat tusukan yang tidak dapat
yang berat dalam 3 minggu terakhir dikompresi
Perdarahan saluran cerna dalam 1 Resusitasi traumatik
bulan terakhir
Penyakit perdarahan Hipertensi refrakter (tekanan
darah sistolik >180 mmHg)
Diseksi aorta Penyakit hati lanjut
Infeksi endokarditis
Ulkus peptikum yang aktif
b) Koterapi antikoagulan
1) Pasien yang mendapat terapi reperfusi fibrinolisis, sebaiknya diberikan
terapi antikoagulan selama minimum 48 jam dan lebih baik selama rawat
inap, hingga maksimum 8 hari (dianjurkan regimen non UFH bila lama
terapi lebih dari 48 jam karena risiko heparin-induced thrombocytopenia
dengan terapi UFH berkepanjangan.
2) Pasien STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi, dapat diberikan terapi
antikoagulan (regimen non-UFH) selama rawat inap, hingga maksimum 8
hari pemberian.
3) Strategi lain yang digunakan adalah meliputi LMWH atau fondaparinuks
dengan regimen dosis sama dengan pasien yang mendapat terapi
fibrinolisis.
4) Pasien yang menjalani IKP primer setelah mendapatkan antikoagulan
berikut ini merupakan rekomendasi dosis :
- Bila telah diberikan UFH, berikan bolus UFH tambahan sesuai
kebutuhan untuk mendukung prosedur, dengan pertimbangan GP
IIb/IIIa telah diberikan.
- Bila telah diberikan enoksaparin, dosis subkutan terakhir diberikan
dalam 8 jam, tak perlu dosis tambahan, bila dosis subkutan terakhir
antara 8-12 jam, maka ditambahkan enoxapain intravena 0,3 mg/kg.
- Bila telah diberikan fondaparinuks, diberikan antikoagulan tambahan
dengan aktivitas anti IIa dengan pertimbangan telah diberikan GP
IIb/IIa.
5) Karena adanya risiko thrombosis kateter, fondaparinuks tidak dianjurkan
digunakan sebagai antikoagulan tunggal pendukung IKP, sebaiknya
ditambahkan antikoagulan lain dengan aktivitas anti IIa.
c) Terapi jangka panjang
Terapi jangka panjang yang disarankan setelah pasien pulih dari STEMI
adalah :
1) Kendalikan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, dan terutama
merokok, dengan ketat.
2) Terapi antiplatelet dengan aspirin dosis rendah (75-100 mg) diindikasikan
tanpa henti.
3) DAPT (aspirin dengan penghambat reseptor ADP) diindikasikan hingga 12
bulan setelah STEMI.
4) Pengobatan oral dengan penyekat beta diindikasikan untuk pasien-pasien
dengan gagal ginjal atau disfungsi ventrikel kiri.
5) Profil lipid puasa harus didapatkan pada setiap pasien STEMI sesegera
mungkin sejak datang.
6) Statin dosis tinggi perlu diberikan atau dilanjutkan segera setelah pasien
masuk tumah sakit bil tidak ada kontra indikasi atau riwayat intoleransi,
tanpa memandang nilai kolesterol inisial.
7) ACE-I diindikasikan seak 24 jam untuk pasien-pasien STEMI dengan gagal
ginjal, disfungsi sistolik ventrikel kiri, diabetes, atau infark anterior. Sebagai
alternatif dari ACE-I, ARB dapat digunakan.
8) Antagonis aldosteron diindikasikan bila fraksi ejeksi ≤40% atau terdapat
gagal ginjal atau diabetes, bila tidak ada gagal ginjal atau hiperkalemia.
(Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015)
i. Komplikasi
a) Gangguan hemodinamik
1) Gagal jantung
Dalam fase akut dan subakut setelah STEMI, seringkali terjadi disfungsi
miokardium. Bila revaskularisasi dilakukan segera dengan PCI atau trombolisis,
perbaikan fungsi ventrikel dapat segera terjadi, namun apabila terjadi jejas transmural
dan/atau obstruksi mikrovaskular, terutama pada dinding anterior, dapat terjadi
komplikasi akut berupa kegagalan pompa dengan remodeling patologis disertai tanda
dan gejala klinis kegagalan jantung, yang dapat berakhir dengan gagal jantung kronik.
Gagal jantung juga dapat terjadi sebagai komplikasi mekanis.
Diagnosis gagal jantung secara klinis pada fase akut dan subakut STEMI
didasari oleh gejala-gejala khas seperti dispnea, tanda seperti sinus takikardia, suara
jantung ketiga atau ronchi pulmonal, dan bukti-bukti objektif disfungsi kardiak seperti
dilatasi ventrikel kiri, dan berkurangnya fraksi ejeksi.
2) Hipotensi
Hipotensi ditandai oleh tekanan darah sistolik yang menetap di bawah 90
mmHg. Keadaan ini dapat terjadi akibat gagal jantung, namun dapat juga disebabkan
oleh hipovolemia, gangguan irama atau komplikasi mekanis. Bila berlanjut, hipotensi
dapat menyebabkan gangguan ginjal, acute tubular necrosis, dan berkurangnya urine
output.
3) Kongesti paru
Kongesti paru ditandai dispnea dengan ronkhi basah paru di segmen basal,
berkurangnya saturasi oksigen arterial, kongesti paru pada rontgen dada dan
perbaikan klinis terhadap diuretik dan/atau terapi vasodilator
4) Keadaan output rendah
Keadaan output rendah menggabungkan tanda perfusi perifer yang buruk
dengan hipotensi., gangguan ginjal dan berkurangnya produksi urin. Ekokardiografi
dapat menunjukkan fungsi ventrikel kiri yang buruk, komplikasi mekanis atau infark
ventrikel kanan.
5) Syok kardiogenik
Syok kardiogenik terjadi dalam 6-10% kasus STEMI dan merupakan
penyebab kematian utama, dengan laju mortalitas di rumah sakit mendekati 50%.
Meskipun syok seringkali terjadi di fase awal setelah awitan infark miokard akut, ia
biasanya tidak didiagnosis saat pasien pertama tiba di rumah sakit. Penelitian registry
SHOCK (Should we emergently revascularize Occluded coronaries for Cardiogenic
shoCK) menunjukkan bahwa 50% syok kardiogenik terjadi dalam 6 jam dan 75% syok
terjadi dalam 24 jam. Tanda dan gejala klinis syok kardiogenik yang dapat ditemukan
beragam dan menentukan berat tidaknya syok serta berkaitan dengan luaran jangka
pendek. Pasien biasanya dating dengan hipotensi, bukti output kardiak yang rendah
(takikardia saat istirahat, perubahan status mental, oliguria, ekstremitas dingin) dan
kongesti paru .
Kriteria hemodinamik syok kardiogenik adalah indeks jantung <2,2 L/menit/m2
dan peningkatan wedge pressure >18 mmHg. Selain itu, diuresis biasanya <20
mL/jam. Pasien juga dianggap menderita syok apabila agen inotropik intravena
dan/atau IABP dibutuhkan untuk mempertahankan tekanan darah sistolik >90 mmHg.
Syok kardiogenik biasanya dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri luas, namun
juga dapat terjadi pada infark ventrikel kanan.
6) Aritmia dan gangguan konduksi dalam fase akut
Aritmia dan gangguan konduksi sering ditemukan dalam beberapa jam
pertama setelah infark miokard. Aritmia yang terjadi setelah reperfusi awal dapat
berupa manifestasi dari kondisi berat yang mendasarinya, seperti iskemia miokard,
kegagalan pompa, perubahan tonus otonom, hipoksia, dan gangguan elektrolit
(seperti hipokalemia) dan gangguan asam-basa.
b) Komplikasi kardiak
1) Regugirtasi katup mitral
Regurgitasi katup mitral dapat terjadi selama fase subakut akibat dilatasi
ventrikel kiri, gangguan m. Papilaris, atau pecahnya ujung m. Papilaris atau chordate
tendinae. Keadaan ini biasanya ditandai dengan perburukan hemodinamis dengan
dispnea akut, kongesti paru dan murmur sistolik baru, yang biasanya tidak terlalu
diperhatikan dalam konteks ini. Diagnosis ini dicurigai dengan pemeriksaan klinis dan
perlu segera konfirmasi dengan ekokardiografi darurat. Edema paru dan syok
kardiogenik dapat terjadi dengan cepat.
2) Ruptur jantung
Ruptur dinding bebas ventrikel kiri dapat terjadi pada fase subakut setelah
infark transmural, dan muncul sebagai nyeri tiba-tiba dan kolaps kardiovaskular
dengan disosiasi elektromekanis. Hemoperikardium dan tamponade jantung
kemudian akan terjadi secara cepat dan bersifat fatal. Diagnosis dikonfirmasi dengan
ekokardiografi. Apabila tersumbat oleh formasi thrombus, rupture dinding subakut
yang terdeteksi dengan cepat dapat dilakukan perikardiosentesis dan operasi segera.
3) Ruptur septum ventrikel
Ruptur septum ventrikel biasanya ditandai perburukan klinis yang terjadi
dengan cepat dengan gagal jantung akut dan murmur sistolik yang kencang yang
terjadi pada fase subakut. Diagnosis ini dikonfirmasi dengan ekokardiografi, yang
dapat membedakan keadaan ini dengan regurgitasi mitral akut dan dapat
menentukan lkasi dan besarnya ruptur. Left-to-right shunt yang terjadi sebagai akibat
dari ruptur ini dapat meghasilkan tanda dan gejala gagal jantung kanan akut awitan
baru.
4) Infark ventrikel kanan
Biasanya gejalanya muncul sebagai triad hipotensi, lapangan paru yang
bersih serta peningkatan tekanan vena jugularis. Elevasi segmen ST 1 mV di V1
dan V4R merupakan ciri infark ventrikel kanan dan perlu secara rutin dicari pada
pasien dengan STEMI inferior yang disertai dengan hipotensi. Ekokardiografi Doppler
biasanya menunjukkan dilatasi ventrikel kanan, tekanan arteri pulmonal yang rendah,
dilatasi vena hepatica dan jejas dinding inferior dalam berbagai derajat.
5) Perikarditis
Insidensi perikarditis setelah STEMI semakin berkurang dengan semakin
majunya terapi reperfusi yang modern dan efektif. Gejala perikarditis antara lain nyeri
dada berulang, biasanya khas yaitu tajam dan, bertentangan dengan iskemia
rekuren, terkait dengan postur dan pernapasan. Perikarditis dapat muncul sebagai
re-elevasi segmen ST dan biasanya ringan dan progresif, yang membedakannya
dengan re-elevasi segmen ST yang tiba-tiba seperti pada re-oklusi koroner akibat
trombosis stent, misalnya.
6) Aneurisma ventrikel kiri
Pasien dengan infark transmural besar, terutama di dinding anterolateral,
dapat mengalami perluasan infark yang diikuti dengan pembentukan aneurisma
ventrikel kiri. Proses remodeling ini terjadi akibat kombinasi gangguan sistolik dan
diastolic dan, seringkali, regurgitasi mitral.
7) Trombus ventrikel kiri
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hampir seperempat infark miokard
anterior memiliki thrombus ventrikel kiri yang dapat terdeteksi, keadaan ini dikaitkan
dengan prognosis yang buruk karena berhubungan dengan infark yang luas,
terutama bagian anterior dengan keterlibatan apical, dan risiko embolisme sistemik.
(Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015)
Prosedur
Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan terapi
antiplatelet ganda (DAPT) berupa aspirin dn penghambat reseptor ADP sesegera
mungkin sebelum angiografi, disertai dengan antikoagulan intravena. Aspirin dapat
dikonsumsi secara oral (160-320 mg). Pilihan penghambat reseptor ADP yang dapat
digunakan antara lain :
1) Ticagrelor (dosis loading 180 mg, diikuti dosis pemeliharaan 90 mg dua kali
sehari)
2) Atau clopidogrel (disarannkan dengan dosis lebih tinggi yaitu dosis loading 600
mg diikuti 150 mg per hari), bila ticagrelor tidak tersedia atau
dikontraindikasikan.
Antikoagulan intravena harus digunakan dalam IKP primer. Pilihannya antara lain :
a. Heparin yang tidak terfraksi (dengan atau tanpa penghambat reseptor
GP lib/llla rutin) harus digunakan pada pasien yang tidak mendapatkan
bivarlirudin atau enoksaparin.
b. Enoksaparin (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP lib/llla)
dapat lebih dipilih dibandingkan heparin yang tidak terfraksi.
c. Fondaparinuks tidak disarankan untuk IKP primer.
d. Tidak disarankan menggunakan fibrinolisis pada pasien yang
direncanakan untuk IKP primer.
Teknik PCI tergolong aman dan pasien hanya butuh satu sampai dua hari
masa pemulihan. Munawar memaparkan, proses tindakan PCI, di antaranya
melakukan sayatan kecil di bagian kulit pangkal paha atau pergelangan lengan. Lalu,
dimasukkan sebuah guide wire atau kawat yang didesain khusus untuk menembus
lesi atau plak koroner yang telah tersumbat total. Kemudian lewat kawat itu diselipkan
balloon yang sesuai ukuran hingga sampai di lokasi penyempitan. Balloon yang tipis
namun kuat dan fleksibel tersebut kemudian dikembangkan dengan tekanan tertentu
hingga penyempitan terbuka. Setelah itu, dilanjutkan dengan pemasangan cincin.
Stern yang umumnya terbuat dari metal anti-karat dan berlapis obat ini bertujuan
menekan penyempitan ulang.
Efek Samping
Komplikasi dari tindakan Primary PCI antara lain : komplikasi vaskuler meliputi
perdarahan, hematoma, pseudoaneurisma dan fistula arteriovenous (2-3%), nefropati
karena kontras radiografi (2%) terjadi pada pasien insufiensi renal, usia tua, dan
shock kardiogenik. Takikardi ventrikel dan fibrilasi ventrikel dilaporkan pada 4,3%
pasien yang mendapatkan terapi Primary PCI (Rifqi, 2012).
LOKASI PENYEMPITAN
Dalam tindakan IKP ini harus diketahui anatomi dari pembuluh darah yang
mengalami penyempitan. Sesuai dengan pengertiannya, tindakan IKP ini dilakukan
untuk melebarkan daerah yang menyempit pada pembuluh darah. Selain itu, faktor
anatomi ini mempengaruhi keberhasilan ataupun komplikasi IKP.
Klasifikasi baru membedakan penyempitan berdasarkan tingkat keparahan
yaitu mild, moderate dan severe. Perbedaan tingkatan ini dibedakan berdasarkan ada
tidaknya thrombus da nada tidaknya oklusi (Grech, 2011).
a. Anatomi kasar
Jantung adalah organ berongga dan memiliki empat ruang yang terletak
diantara kedua paru-paru di bagian tengah toraks. Dua per tiga jantung
terletak di sebelah kiri garis midsternal. Jantung dilindungi oleh mediastinum,
jantung memiliki ukuran kurang lebih segenggaman kepalan tangan
pemiliknya. Ujung atas yang lebar mengarah bahu kanan dan ujung bawah
yang mengerucut mengarah panggul kiri. Pelapis terdiri dari perikardium dan
rongga perikardial.
Dinding jantung terdiri dari tiga lapisan yaitu epikardium di bagian luar
yang terdiri atas lapisan mesotelium yang berada di atas jaringan ikat.
Miokardium di bagian tengah terdiri atas otot jantung yang berkontraksi untuk
memompa darah. Yang terakhir adalah endothelial yang terletak di atas
jaringan ikat (Slonane, 2009).
b. Ruang Jantung
Jantung terdiri atas empat ruang yaitu atrium kanan dan atrium kiri yang
dipisahkan oleh septum intratial, ventrikel kanan dan ventrikel kiri yang
dipisahkan oleh septum interventrikular. Dinding atrium relatif tipis. Atrium
membawa darah dari vena yang membawa darah kembali ke jantung. Atrium
kanan terletak di bagian superior kanan jantung, menerima darah dari seluruh
tubuh kecuali paru-paru. Vena kave superior dan inferior membawa darah
yang tidak mengandung oksigen.
Arteri koroner terdiri atas Left Coronary Artery (LCA), Left Marginal
Artery (LMA), Right Coronary Artery (RCA), Left Anterior Descending (LAD),
Right Marginal Artery (RMA), Circumflex Artery dan Posterior Descending
Artery.
c. Sirkulasi koroner memperdarahi jantung
Arteri koroner kanan dan kiri merupakan cabang aorta tepat di atas katup
semilunar aorta. Arteri ini terletak di atas sulkus koroner. Cabang utama dari
arteri koroner kiri adalah sebagai berikut :
i. Arteri interventrikuler arterior (desenden) yang mensuplai darah ke
bagian anteriorventrikel kanan dan kiri serta membentuk suatu
cabang, arteri marginalis kiri, yang mensuplai darah ke ventrikel kiri.
ii. Arteri sirkumpleksa menyuplai darah ke atrium kiri dan ventrikel kiri.
Di sisi anterior, arteri sirkumfleksa beranastomosis dengan arteri
koroner kanan.
Cabang utama dari arteri koroner kanan adalah sebagai berikut:
iii. Arteri intraventrikular posterior (desenden) yang mensuplai darah
untuk kedua dinding ventrikel.
iv. Arteri marginalis kanan yang mensuplai darah untuk atrium kanan
dan ventrikel kanan.
Vena jantung (besar,kecil,oblik) mengalirkan darah dari miokardium ke
sinus koroner yang kemudian bermuara di atrium kanan. Darah mengalir
melalui arteri koroner terutama saat otoo-otot jantung berelaksasi karena
arteri koroner juga tertekan pada saat kontraksi berlangsung.
Ada beragam anatomi sirkulasi pada manusia. Sebagian besar orang
memiliki sirkulasi koroner yang seimbang, tetapi ada orang tertentu yang
memiliki dominan koroner kanan atau dominan koroner kiri (Slonane,2009).
Pada pengklasifikasian lesi dikenal istilah deskripsi lesi risiko tinggi atau
lesi C yaitu sebagai berikut :
Adanya difusi lebih dari 2 cm
Excessive tortuosity dari segmen proksimal
Segmen terakumulasi lebih dari 900
Oklusi total lebih dari 3 bulan dan atau adanya bridging collateral
Ketidakmampuan untuk melindungi cabang yang lebih besar
Vena yang terdegenerasi
Oklusi total lebih dari 3 bulan dan atau adanya bridging collateral dan
vena yang terdegenerasi adalah untuk kegagalan teknik dan peningkatan
restenosis dan tidak untuk komplikasi akut (AHA, 2005).
Adapun klasifikasi lesi berdasarkan SCAI, lesi dibagi menjadi 4 tipe lesi
Sebagai berikut :
i. Tipe I ( angka keberhasilan tertinggi, risiko terendah)
Tidak ditemuinya kriteria untuk lesi C
Patent
ii. Tipe II
Ada beberapa kriteria lesi C
- Difusi ( lebih dari 2 cm)
- Excessive Turtuosity dari segmen proksimal
- Segmen terakumulasi >900
- Ketidakmampuan melindungi cabang yang lebih besar
- Vena yang terdegenerasi
Patent
iii. Tipe III
Tidak ditemuinya kriteria untuk lesi C
Oklusi
iv. Tipe IV
Ada kriteria lesi C
- Difusi lebih dari 2 cm
- Excessive tortuosity dari segmen proksimal.
- Segmen terangulasi >900
- Ketidakmampuan melindungi cabang yang lebih besar
- Vena yang terdegenerasi
- Oklusi lebih dari 3 bulan
Oklusi (AHA, 2005)
DERAJAT PENYEMPITAN
Derajat penyempitan pembuluh darah coroner dapat dilihat secara visual oleh
operator yang berpengalaman atau dapat digunakan angiografi kuantitatif untuk
mendapatkan penilaian computer mengenai derajat keparahan (Gray dkk, 2005).
Penyempitan koroner dinterpretasikan bermakna jika persentasi stenosis ≥ 50 %
pada LMCA atau ≥ 75% pada arteri coroner lainnya. Sintha et al pada tahun 1997
dalam Gani Manurung tahun 2008 dikatakan bahwa derajat penyempitan dibagi
menjadi :
a. Grade 0 : penyempitan < 25%
b. Grade 1 : penyempitan 25-49 %
c. Grade 2 : penyempitan 50-74%
d. Grade 3 : penyempitan 75-94 %
e. Grade 4 : penyempitan ≥ 95%
ASUHAN KEPERAWATAN
a) Pengkajian
Keluhan utama
Keluhan utama biasanya nyeri dada, perasaan sulit bernapas, dan pingsan.
Riwayat penyakit saat ini
Pengkajian PQRST yang mendukung keluhan utama dilakukan dengan
mengajukan serangkaian pertanyaan mengenai nyeri dada pada klien
secara PQRST yang meliputi :
Provoking Incident : Nyeri setelah beraktivitas dan tidak berkurang dengan
istirahat dan setelah diberikan nitrogliserin.
Quality of pain : Seperti apa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien.
Sifat nyeri dapat seperti tertekan, diperas, atau diremas.
Region : Lokasi nyeri di daerah substernal atau nyeri di atas pericardium.
Penyebaran nyeri dapat meluas hingga area dada. Dapat terjadi nyeri dan
ketidakmampuan menggerakkan bahu dan tangan.
Severity of pain : Klien ditanya dengan menggunakan rentang 0-4 atau 0-
10 (visual analog scale) dan klien akan menilai seberapa berat nyeri yang
dirasakan. Biasanya pada saat angina terjadi, skala nyeri berkisar antara
3-4 (skala 0-4) atau 7-9 (skala 0-10).
Time : Sifat mula timbulnya (onset). Biasanya gejala nyeri timbul
mendadak. Lama timbulnya (durasi) nyeri dada umumnya dikeluhkan lebih
dari 15 menit. Nyeri oleh infark miokardium dapat timbul pada waktu
istirahat, nyeri biasanya dirasakan lebih berat dan berlangsung lebih lama.
Gejala-gejala yang menyertai infark miokardium meliputi dispnea,
berkeringat, ansietas, dan pingsan.
Riwayat penyakit dahulu
Data ini diperoleh dengan mengkaji apakah sebelumnya klien pernah
menderita nyeri dada, hipertensi, diabetes mellitus, atau hiperlipidemia.
Cara mengkaji sebaikya sekuens dan terinci. Tanyakan mengenai obat-
obatan yang biasa diminum oleh klien pada masa yang lalu yang masih
relevan dengan obat-obatan antiangina seperti nitrat dan penghambat beta
serta obat-obat antihipertensi. Catat adanya efek samping yang terjadi di
masa lalu, alergi obat, dan reaksi alergi yang timbul. Seringkali klien
menafsirkan suatu alergi sebagai efek samping obat.
Riwayat penyakit keluarga
Perawat senantiasa harus menanyakan tentang penyakit yang pernah
dialami oleh keluarga, anggota keluarga yang meninggal, dan penyebab
kematian. Penyakit jantung iskemik pada orang tua yang timbulnya pada
usia muda merupakan faktor risiko utama terjadinya penyakit jantung
iskemik pada keturunannya.
Riwayat pekerjaan dan pola hidup
Perawat menanyakan situasi tempat bekerja dan lingkungannya. Demikian
pula dengan kebiasaan sosial dengan menanyakan kebiasaan dan pola
hidup misalnya minum alkohol atau obat tertentu. Kebiasaan merokok dikaji
dengan menanyakan kebiasaan merokok sudah berapa lama, berapa
batang per hari, dan jenis rokok. Di samping pertanyaan-pertanyaan di
atas, data biografi juga merupakan data yang perlu diketahui seperti nama,
umur, jenis kelamin, tempat tinggal, suku, dan agama yang dianut oleh
klien.
Dalam mengajukan pertanyaan kepada klien, hendaknya perhatikan
kondisi klien. Bila klien dalam keadaan kritis, maka pertanyaan yang
diajukan bukan pertanyaan terbuka tetapi pertanyaan tertutup, yaitu
pertanyaan yang jawabannya adalah “ya” dan “tidak”. Atau pertanyaan
yang dapat dijawab dengan gerakan tubuh seperti mengangguk atau
menggelengkan kepala sehingga tidak memerlukan energy yang besar.
Pengkajian psikososial
Perubahan integritas ego terjadi bila klien menyangkal, takut mati,
perasaan ajal sudah dekat, marah pada penyakit atau perawatan yang tak
perlu, khawatir tentang keluarga, pekerjaan, dan keuangan. Gejala
perubahan integritas ego yang dapat dikaji adalah klien menolak,
menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah, marah, perilaku
menyerang, dan fokus pada diri sendiri.
Perubahan interaksi sosial yang dialami klien terjadi karena stress yang
dialami klien dari berbagai aspek seperti keluarga, pekerjaan, kesulitan
biaya ekonomi, atau kesulitan koping dengan stressor yang ada.
Pemeriksaan fisik
- Keadaan umum : kesadaran klien IMA biasanya baik atau
composmentis dan akan berubah sesuai tingkat gangguan yang
melibatkan perfusi sistem saraf pusat.
- B1 (Breathing) :
Klien tampak sesak, frekuensi napas melebihi normal dan mengeluh
sesak napas seperti tercekik. Dispnea kardiak biasanya ditemukan.
Sesak napas terjadi akibat pengerahan tenaga dan disebabkan oleh
kenaikan tekanan akhir diastolic ventrikel kiri yang meningkatkan
tekanan vena pulmonalis. Hal ini terjadi karena terdapat kegagalan
peningkatan curah darah oleh ventrikel kiri pada saat melakukan
kegiatan fisik. Dispnea kardiak pada infark miokardium yang kronis
dapat timbul pada saat istirahat.
- B2 (Blood) :
Inspeksi
Inspeksi adanya jaringan parut pada dada klien. Keluhan lokasi
nyeri biasanya di daerah substernal atau nyeri di atas pericardium.
Penyebaran nyeri dapat meluas di dada. Dapat terjadi nyeri dan
ketidakmampuan menggerakkan bahu dan tangan.
Palpasi
Denyut nadi perifer melemah. Thrill pada IMA tanpa komplikasi
biasanya tidak ditemukan.
Auskultasi
Tekanan darah biasanya menurun akibat penurunan volume
sekuncup yang disebabkan IMA. Bunyi jantung tambahan akibat
kelainan katup biasanya tidak ditemukan pada IMA tanpa
komplikasi.
Perkusi
Batas jantung tidak mengalami pergeseran.
- B3 (Brain) :
Kesadaran umum klien biasanya composmentis. Tidak ditemukan
sianosis perifer. Pengkajian objektif klien, yaitu wajah meringis,
perubahan postur tubuh, menangis, merintih, meregang, dan
menggeliat yang merupakan respons dari adanya nyeri dada akibat
infark pada miokardium.
- B4 (Bladder) :
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan
klien. Oleh karena itu, perawat perlu memonitor adanya oliguria pada
klien dengan IMA karena merupakan tanda awal syok kardiogenik.
- B5 (Bowel) :
Klien biasanya mengalami mual dan muntah. Pada palpasi abdomen
ditemukan nyeri tekan pada keempat kuadran, penurunan peristaltik
usus yang merupakan tanda utama IMA.
- B6 (Bone) :
Aktivitas klien biasanya mengalami perubahan. Klien sering merasa
kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur, pola hidup menetap, dan
jadwal olahraga tak teratur. Tanda klinis lain yang ditemukan adalah
takikardia, dispnea pada saat istirahat maupun saat beraktivitas.
Kaji higienis personal klien dengan menanyakan apakah klien
mengalami kesulitan melakukan tugas perawatan diri.
(Muttaqin, 2009)
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi edisi revisi 3. Jakarta : EGC.
Farissa, Inne P. 2012. Komplikasi Pada Pasien Infark Miokard Akut ST-Elevasi
(STEMI) yang Mendapat Maupun Tidak Mendapat Terapi Reperfusi (Studi di
RSUP Dr.Kariadi Semarang). Pogram Pendidikan Sarjana Kedokteran Fakultas
Kedokteran Universitas Didponegoro, Semarang.
Firdaus, 2011. Pharmacoinvasive Strategy in Acute STEMI, Jurnal Kardiologi
Indonesia. 32 : 266-71.
Judith M Wilkinson & Nancy R Ahern. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi
9. Jakarta: EGC.
Muttaqin, A. 2009. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskular. Jakarta : Salemba Medika.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Pedoman
Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Ed. 3. Jakarta : Centra Communications.
Price, S.A. dkk. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta :
EGC.
Ramrakha, Suwiryo. 2005. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskuler.
Jakarta:Gramedia.
Rifqi, Sodiqur. Primary Percutaneous Coronary Intervention (Primary PCI), Senjata
Baru untuk Melawan Serangan Jantung Akut. Medica Hospitalia. 1 (2) : 139-
142.
Selwyn, Andina. 2005. Buku Ajar Kardiologi: Fakultas Kedokteran. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V.
Jakarta: Interna Publishing.
Suhastutik. 2012. Pasien dengan Akut Miokard Infark (STEMI). Yogyakarta : JAY.