Disusun oleh:
RENDI AJI ARIAWAN
22010117210006
Penguji : dr. A. Rizal Fanany, Sp.M
Pembimbing : dr. Joseph
i
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Penguji Pembimbing
LAPORAN KASUS
Penguji Kasus : dr. A. Rizal Fanany, Sp.M
Pembimbing : dr. Joseph
Dibacakan oleh : Rendi Aji Ariawan
Dibacakan tanggal : 11 Maret 2019
I. PENDAHULUAN
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular berbentuk segitiga
yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah
interpalpebra. Pterigium tumbuh membentuk sayap pada konjungtiva
bulbi. Pterigium berasal dari bahasa yunani pteron yang berarti wing atau
sayap. Insiden pterigium cukup tinggi di indonesia yang terletak dekat
ekuator yaitu 13,1%. Pterigium umumnya tumbuh pada daerah
interpalpebra, lebih sering terdapat pada bagian nasal konjungtiva. Puncak
segitiga disebut apex, yaitu bagian pterigium yang tumbuh masuk ke
jaringan kornea. Usia penderita biasanya pada usia dewasa muda (20-40
tahun). 1
Faktor risiko terjadinya pterigium yaitu faktor keturunan, paparan
ultra-violet (UV), suhu yang tinggi, iklim tropis, debu, lingkungan yang
banyak angin dan peradangan kronis. Kejadian pterigium semakin
meningkat dengan bertambahnya usia dan kegiatan di luar rumah. Hal-hal
diatas dapat menginduksi produksi faktor pertumbuhan, atau
mengakibatkan peradangan kronis, atau mengakibatkan kerusakan DNA.1-4
Gejala klinis pada pasien pterigium berupa kemerahan, rasa panas
pada mata, gatal, mata kering, rasa mengganjal pada mata, hingga
gangguan visual. Pterigium menjadi permasalahan yang sulit karena
tingginya angka pterigium rekuren. Recurrence rate pasca operasi
pterigium di Indonesia adalah 35–52%. Pterigium juga menimbulkan
1
2
III. ANAMNESIS
Autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 22 Februari 2019 pukul 10.00
WIB di Poli Mata RSND
Keluhan utama : mata kiri mengganjal
IV. PEMERIKSAAN
PEMERIKSAAN FISIK (tanggal 22 Februari 2019 pukul 10.00 WIB di
Poli Mata RSND)
Status Praesen
Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos mentis
Tanda vital : tekanan darah : 140/80 mmHg suhu : 360C
Nadi : 88x/menit RR: 16x/menit
Pemeriksaan fisik : Kepala : mesosefal
Thoraks : Cor : tidak ada kelainan
Paru : tidak ada kelainan
Abdomen : tidak ada kelainan
Ekstremitas : tidak ada kelainan
4
Status Ophthalmologi
V. RESUME
Seorang Perempuan, 60 tahun, datang ke poli mata RSND dengan
keluhan mata mengganjal. ± 4 bulan yang lalu, pasien merasa mata kiri,
mengganjal seperti berpasir. Pasien mengatakan melihat adanya daging
tumbuh pada bagian putih mata kiri di sisi dekat hidung pasien saat
bercermin. Pasien mengeluhkan injeksi konjungtiva (+), gatal (+) jika
terkena debu/angin, dan lakrimasi (+). Pasien belum memeriksakan diri ke
dokter karena merasa penyakitnya tersebut belum sangat mengganggu dan
merasa mungkin bisa sembuh sendiri. ± 2 bulan sebelum masuk rumah
sakit, pasien merasakan bahwa kedua mata terasa semakin mengganjal.
Selain itu, pasien mengeluhkan pada mata kiri, injeksi konjungtiva (+), gatal
(+), dan lakrimasi (+). Karena pasien merasa penyakitnya semakin parah,
pasien memeriksakan diri ke poli mata RSND.
Faktor risiko : tempat pekerjaan pasien di luar ruangan (paparan asap rokok,
sinar matahari, debu)
Pemeriksaaan fisik : dalam batas normal
Status oftalmologi :
Oculus dexter (OD) Pemeriksaan Oculus sinister (OS)
6/7.5 VISUS 6/7.5
S -1 6/6 KOREKSI S -1 6/6
Injeksi (-), Sekret (-), KONJUNGTIVA BULBI Injeksi (-), Sekret (-),
6
IX. TERAPI
Program :
- Pemberian artificial tears setiap 6 jam OS
- Kontrol 2-3 bulan lagi
X. EDUKASI
- Menjelaskan kepada penderita bahwa pada mata sebelah kiri terdapat
selaput tumbuh yang disebut pterigium yang mungkin dapat
disebabkan oleh karena sering terpapar debu, asap, angin, ataupun
sinar matahari jangka lama.
- Menjelaskan kepada penderita dan keluarga bahwa untuk mengatasi
keluhan penderita akan diberikan tetes mata air mata buatan untuk
meringakan gejala dan control lagi 2-3 bulan. Apabila tidak membaik
sebaiknya dilakukan operasi dengan pertimbangan pertumbuhan
jaringan di bagian putih mata sudah menyebabkan gangguan
penglihatan.
7
XI. SARAN
- Memberikan saran kepada pasien untuk memakai kacamata atau topi
agar mata tidak terpapar langsung sinar matahari dan menghindari
paparan debu atau angin terhadap mata saat berada di luar ruangan.
XII. PROGNOSIS
OD OS
Quo ad visam Ad bonam Dubia ad bonam
Quo ad sanam Dubia ad bonam Dubia ad bonam
Quo ad vitam Ad bonam
Quo ad cosmeticam Dubia ad bonam
XIII. DISKUSI
1. ANATOMI KONJUNGTIVA DAN KORNEA
a. Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran mukosa transparan dan
tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata
(konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera
(konjungtiva bulbaris). 4, 6, 7
Konjungtiva menghubungkan bola mata dan kelopak mata.
Dari kelopak mata bagian dalam, konjungtiva terlipat ke bola mata
baik di bagian atas maupun bawah. 4, 6, 7
Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian: 4, 7
1) Konjungtiva Palpebra
Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada
bagian posterior kelopak mata, yaitu daerah dimana
epidermis bertransformasi menjadi konjungtiva. Konjungtiva
palpebra dapat dibagi lagi menjadi zona marginal, tarsal, dan
orbital. Konjungtiva marginal dimulai pada mucocutaneus
junction hingga konjungtiva proper. Kemudian zona tarsal
8
Keterangan:
1. Limbus
2. Konjungtiva bulbi
3. Konjungtiva forniks
4. Kongjungtiva palpebra
5. Punctum lakrimalis
6. Margo inferior palpebral
b. Kornea
Kornea adalah salah satu media refrakta yang terdiri dari 5
lapisan, yaitu:
1) Epitel
Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak
bertanduk yang saling tumpang tindih.
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda
ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan
semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal
berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel
poligonal di depnanya melalui desmosom dan makula
okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air,
elektrolit, dan glukosa yang merupakan barier.4
2) Membran Bowman
Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang
merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma
dan berasal dari bagian depan stroma dan lapisan ini tidak
mempunyai daya regenerasi.4
3) Stroma
10
Keterangan:
1. Epitel kornea
2. Membrana Bowman
3. Stroma kornea
4. Membrana descement
5. Endotelium
11
2. PTERIGIUM
Pterigium merupakan pertumbuhan jaringan fibrovaskular
berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada
daerah interpalpebra. Kata pterigium berasal dari bahasa Yunani, yaitu
pteron yang artinya sayap. Pterigium umumnya tumbuh pada daerah
interpalbebra, lebih sering tedapat pada bagian nasal konjungtiva. Puncak
segitiga disebut apeks, yaitu bagian pterigium yang tumbuh masuk ke
jaringan kornea. Usia penderita pada umumnya dewasa muda (20-40
tahun) dan kejadian meningkat pada daerah tropis dan subtropis.1, 3, 4
1. Radiasi ultraviolet
Faktor risiko lingkungan merupakan faktor penting dalam
timbulnya pterigium, terutama paparan sinar matahari. Sinar
ultraviolet yang diabsorbsi oleh kornea dan konjungtiva akan
menyebabkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Banyaknya paparan
sinar matahari dipengaruhi oleh letak geografis, waktu di luar rumah,
penggunaan pelindung kepala / mata.
2. Faktor Genetik
12
2.2 Patogenesis 4, 9
Etiologi pterigium belum diketahui dengan jelas. Tetapi penyakit
ini lebih sering ditemukan pada orang yang tinggal di daerah iklim panas.
Gambaran yang paling diterima tentang hal tersebut adalah respon
terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan sinar matahari
(ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau
faktor iritan lainnya. Salah satu teori menyatakan pengeringan lokal dari
kornea dan konjungtiva yang disebabkan kelainan tear film menimbulkan
pertumbuhan fibroplastik baru. Tingginya insiden pterigium pada daerah
kering, iklim panas mendukung teori ini.
Ultraviolet merupakan mutagen untuk p53 tumor supresor gene
pada limbal basal stem cell. Tanpa proses apoptosis, transforming growth
factor-beta diproduksi dalam jumlah berlebihan dan menimbulkan
peningkatan proses kolagenase. Sel-sel bermigrasi dan terjadi proses
angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat
jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva akan
mengalami degenerasi elastoik proliferasi jaringan vaskular bawah
13
Gambar 4. Pterigium3
2.5 Penatalaksanaan10, 13
Pada awal perjalanan penyakit, dokter sering mengambil tindakan
konservatif dengan menghindari asap dan debu dan memberi obat topical
seperti lubrikans, vasokonstriktor dan kortikosteroid digunakan untuk
menghilangkan gejala terutama pada derajat 1 dan derajat 2. Untuk
mencegah progresifitas, beberapa peneliti menganjurkan penggunaan
kacamata pelindung ultraviolet. Pterigium yang ukurannya lebih besar dari
3 mm dapat menyebabkan astigmatisma, dan diperlukan intervensi untuk
memperbaiki visus.
Indikasi eksisi pterigium sangat bervariasi. Eksisi dilakukan pada
kondisi adanya ketidaknyamanan yang menetap, gangguan penglihatan
akibat pertumbuhan yang progresif ke tengah kornea atau aksis visual, dan
adanya gangguan pergerakan bola mata. Eksisi pterigium bertujuan untuk
mencapai gambaran permukaan mata yang sesuai dengan anatomisnya.
Suatu teknik yang sering digunakan untuk mengangkat pterigium dengan
menggunakan pisau yang datar untuk mendiseksi pterigium ke arah
limbus. Memisahkan pterigium ke arah bawah pada limbus lebih disukai,
kadang-kadang dapat timbul perdarahan oleh karena trauma jaringan
sekitar otot. Setelah eksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol
perdarahan.
Beberapa teknik operasi yang dapat menjadi pilihan yaitu :
1. Bare sclera : tidak ada jahitan atau jahitan benang absorbable
digunakan untuk melekatkan konjungtiva ke sklera di depan insersi
tendon rektus. Meninggalkan suatu daerah sklera yang terbuka.
2. Simple closure : tepi konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif
hanya jika defek konjungtiva sangat kecil).
3. Sliding flaps : suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka kemudian flap
konjungtiva digeser untuk menutupi defek.
4. Rotational flap : insisi bentuk U dibuat sekitar luka untuk membentuk
lidah konjungtiva yang dirotasi pada tempatnya.
19
2.6 Komplikasi
Komplikasi pterigium diantaranya adalah merah, iritasi, skar kronis
pada konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral berkurang,
skar pada otot rektus medial yang dapat menyebabkan diplopia.
Komplikasi yang jarang diantaranya adalah malignan degenerasi pada
jaringan epitel diatas pterigium.13
Komplikasi saat operasi eksisi antara lain perforasi korneosklera,
graft oedem, graft hemorrhage, graft retraksi, jahitan longgar,
korneoskleral dellen, granuloma konjungtiva, epithelial inclusion cysts,
skar konjungtiva, skar kornea dan astigmatisma, disinsersi otot rektus.
Komplikasi terbanyak adalah rekuren pterigium post operasi. Umumnya
rekurensi terjadi pada 3-6 bulan pertama setelah operasi akibat terjadinya
reaktivasi proses inflamasi pada area operasi. Jika setelah operasi limbus
stem cell dan jaringan fibroblastik tetap aktif, maka hal ini dapat
20
DAFTAR PUSTAKA