Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN KASUS BESAR

SEORANG LAKI-LAKI 35 TAHUN DENGAN SIROSIS HEPATIS, HEPATITIS B


KRONIK, ASCITES GRADE 2, ANEMIA SEDANG NORMOSITIK
NORMOKROMIK, HIPOALBUMINEMIA, TROMBOSITOPENIA,
HIPOKALSEMIA, DAN HIPERNATREMIA

Diajukan guna melengkapi tugas kepaniteraan senior


Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Disusun Oleh:
Junnaeni
22010118220181

Pembimbing:
dr. Hesti Triwahyu Hutami, Sp.PD

Residen Pembimbing:
dr. R. Adhytia Pradiartha

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Nama Mahasiswa : Junnaeni


NIM : 22010118220181
Bagian : Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Kariadi Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro Semarang
Judul Kasus : Seorang Laki-Laki 35 Tahun Dengan Sirosis Hepatis,
Hepatitis B Kronik, Ascites grade 2, Anemia Sedang
Normositik Normokromik, Hipoalbuminemia,
Trombositopenia, Hipokalsemia, dan Hipernatremia
Pembimbing : dr. Hesti Triwahyu Hutami, Sp.PD
Residen Pembimbing : dr. R. Adhytia Pradiartha

Semarang, Februari 2020

Residen Pembimbing Pembimbing

dr. R. Adhytia Pradiartha dr. Hesti Triwahyu Hutami, Sp.PD

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB I LAPORAN KASUS.................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................44

iii
BAB I

LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PASIEN

Nama Pasien : Tn NK
Jenis kelamin : Laki-Laki
Umur : 35 tahun (05/08/1984)
Alamat : Bangsri, Jepara, Jawa Tengah
Agama : Islam
Pendidikan : Tamat SMP
Pekerjaan : Pegawi Swasta
Status pernikahan : Menikah
Ruang : Rajawali 6B
Masuk RS : 31 Januari 2020
No CM : C802058
Pembiayaan : JKN non PBI

1.2 DATA DASAR


A. SUBJEKTIF
Autoanamnesis dengan pasien di Bangsal Rajawali 6B tanggal 05 Februari
2020 pukul 16.00 WIB
Keluhan utama : Perut membesar
Riwayat Penyakit Sekarang:
± 4 bulan SMRS pasien mengeluh perut membesar, dirasakan terus-
menerus, semakin lama semakin membesar, terutama 1 minggu SMRS.
Perut terasa sebah (+) membuat pasien lebih sering berbaring di tempat
tidur, namun pasien masih dapat beraktivitas ringan seperti makan, mandi,
memakai baju secara mandiri. Tidak ada faktor yang memperberat atau
memperingan keluhan.
± 2 tahun SMRS pasien mengalami keluhan BAK seperti teh (+), BAB
hitam (+), muntah darah (-), nyeri ulu hati (+), perut membesar (-),
bengkak pada kedua kaki (+), kuning seluruh tubuh (+). Pasien kemudian
memeriksakan diri ke RS Medan kemudian dikatakan pasien mengalami
1
hepatitis B. Pasien kemudian meminta pulang dari RS. Kemudian pasien
memeriksakan diri ke RSI Jepara. Di RSI jepara pasien dilakukan
pemeriksaan USG dan di cek laborat, serta pasien juga diberikan infus
berwarna kuning (albumin). Pasien diberikan obat namun tidak diminum
teratur dan pasien jarang kontrol ke poli penyakit dalam. Kemudian
kondisi pasien semakin memburuk dan pasien datang ke IGD RSDK.
Pasien juga mengeluh mual (+), muntah (-), mata kuning (+) sejak 2 tahun
yang lalu, demam (-), seluruh badan kuning (-), gusi bengkak (-), gusi
berdarah (-), rambut ketiak rontok (-), payudara membesar (-), sesak napas
(-), nyeri ulu hati (-), telapak tangan kemerahan (-), BAK seperti teh (-),
BAB hitam (-), wasir (-), nafsu makan menurun (+) sejak 4 bulan SMRS,
BB menurun ± 5 kg dalam 2 minggu terakhir.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat penyakit kuning atau hepatitis B (+) 2 tahun yang lalu, tidak
rutin minum obat.
 Riwayat mengkonsumsi alkohol (+), jenis anggur merah yang
dikonsumsi ± 6 gelas perhari, 3x/sehari, dan sampai kecanduan,
terakhir minum 2 tahun yang lalu.
 Riwayat berganti-ganti pasangan disangkal.
 Riwayat penyakit darah tinggi dan kencing manis disangkal.
 Riwayat penyakit keganasan disangkal.
 Riwayat penyakit jantung disangkal.
 Riwayat mengkonsumsi obat-obatan terlarang disangkal
 Riwayat penggunaan jarum suntik seperti tindik/tato/narkoba
disangkal.
 Riwayat konsumsi jamu-jamuan disangkal.
 Riwayat minum obat warung dan obat anti nyeri disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga :
 Riwayat penyakit kuning disangkal.
 Riwayat keganasan disangkal.
 Riwayat darah tinggi pada ayah dan ibu (+)
 Riwayat penyakit jantung pada ayah dan ibu (+)
 Riwayat kencing manis pada kaka kandung pasien (+)

Riwayat Sosial Ekonomi :


Pasien bekerja sebagai seorang pegawai swasta, yaitu pegawai dengan
penghasilan berkisar 3 juta perbulan. Pasien rutin merokok 3 bungkus tiap

2
hari sejak tahun 2015 dan berhenti 6 bulan yang lalu. Pasien tinggal satu
rumah dengan istri dan 2 anak yang belum mandiri. Biaya pengobatan:
JKN non PBI. Kesan sosial ekonomi cukup.

B. OBJEKTIF
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 05 Februari 2020 pukul 16.15
WIB di Bangsal Rajawali 6B.
Keadaan umum : Lemah
Kesadaran : Composmentis, GCS = 15 (E4M6V5)
Tanda-tanda vital :
Tekanan Darah :110/70mmHg
Nadi : 70 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Frekuensi Napas : 22 x/menit, reguler
Suhu Axilla : 37,00 C
SpO2 : 99%
Status Gizi :
Berat Badan : 60 kg
Tinggi : 165 cm
IMT : 22,04 kg/m2
Kesan : Normoweight
Kepala : Mesosefal
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (+/+), perdarahan
subkonjungtiva (-/-)
Telinga: Discharge (-/-), nyeri tekan tragus (-/-)
Hidung : Epistaksis (-), discharge (-)
Mulut : Sianosis (-), mukosa kering (-), atrofi papil lidah (-),
stomatitis (-), gusi berdarah (-)
Kulit : Turgor kulit cukup, ikterik (-)
Leher : JVP R+4 cm, deviasi trakea (-), pembesaran limfonodi (-),
pembesaran tiroid (-)
Axilla : Rambut ketiak rontok (-), pembesaran limfonodi (-)

3
Dada : Bentuk normal, retraksi (-), sela iga tidak melebar (-),
spider naevi (-), simetris saat statis dan dinamis, atrofi
m.pectoralis mayor (-)

Paru-paru
Paru depan
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : Stem fremitus hemithoraks dekstra=sinistra
Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru
Auskultasi : SD vesikuler (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)

Paru belakang
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)
Palpasi : Stem fremitus hemithoraks dekstra=sinistra
Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru
Auskultasi : SD vesikuler (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : iktus kordis tak tampak
Palpasi : iktus kordis teraba di SIC V 2 cm medial linea
Midclavicularis sinistra, sternal lift (-), pulsasi
epigastrik (-), pulsasi parasternal (-), thrill (-)
Perkusi :
Batas atas : SIC II linea parasternal sinistra
Batas kanan : linea parasternalis dextra
Batas kiri : SIC V linea 2 cm midclavicularis sinistra
Auskultasi : BJ I-II murni, bising (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : cembung, scar (-), venektasi (-), caput medusa (-)
Auskultasi : BU (+) normal, bruit hepar sulit dinilai
Perkusi : timpani, pekak sisi (+) meningkat, pekak alih (+), liver

4
span 8 cm, area traube pekak
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien teraba di
shuffner 2, undulasi (+)

Ekstremitas : Superior Inferior


Edema -/- +/+
Sianosis -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Capillary refill time <2 detik <2 detik
Ikterik -/- -/-
Eritema Palmaris -/-
Flapping tremor -/-

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Laboratorium di RSDK (30/01/2020)


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Keterangan
Normal
HEMATOLOGI
Hemoglobin 9,4 g/dL 13,2-17,3 L
Hematokrit 28,3 % 32-62 L
Eritrosit 3,22 10^6/u 4,4-5,9 L
L
MCH 29,2 Pg 27,00-
32,00
MCV 87,9 fL 76-96
MCHC 33,2 g/dL 29-36
Leukosit 3,6 (ANC: 10^3/u 3,8-10,6
1990/uL) L
Trombosit 112 10^3/u 150-400 L
L
RDW 14,6 % 11,6-14,8
MPV 10,2 fL 4,00-11,00
KIMIA KLINIK
GDS 116 mg/dL 80 – 160
SGOT 93 U/L 15 – 34 H
SGPT 56 U/L 15 – 60
Alkali Phospatase 223 U/L 50 – 136 H
Gamma GT 196 U/L 5 – 85 H
Bilirubin Total 4,20 mg/dL 0,0 - 1,0 H
Bilirubin Direk 1,74 mg/dL 0,00 - 0,30 H

5
Bilirubin Indirect 2,46 mg/dL 0,1 - 0,5 H
Total Protein 7,6 g/dL 6,4 - 8,2
Albumin 2,2 g/dL 3,4 - 5,0 L
Globulin 5,4 g/dL 2,3 - 3,5 H
Ureum 13 mg/dL 15 – 39 L
Kreatinin 0,68 mg/dL 0,6 - 1,3
Magnesium 0,77 mmol/L 0,74 - 0,99
Calsium 1,88 mmol/L 2,12 - 2,52 L
Natrium 151 mmol/L 136 – 145 H
Kalium 3,7 mmol/L 35 - 5,0
Chlorida 101 mmol/L 95 – 105
KOAGULASI
Plasma Prothrombin Time
(PPT)
Waktu Prothrombin 20,0 detik 9,4 - 11,3 H
PPT Kontrol 11,3 detik
Partial thromboplastin Time
(PTTK)
Waktu Thromboplastin 58,5 detik 27,7 - 40,2 H
APTT Kontrol 31,2 detik

SKOR APRI (AST to Platelet Ratio Index)

AST 93 (U/L)
Batas atas normal AST (U/L) = 34 (U/L) = 2,1
Hitung trombosit (1000/ul) 112 (1000/ul)
Nilai APRI: >1 memiliki sensitivitas 76% dan spesifitas 72% dalam deteksi
sirosis.

SKOR CHILD PUGH

Kriteria Nilai
1 2 3
Bilirubin total <2 2-3 >3
(mg/dl)
Serum albumin >3,5 2,8-3,5 <2,8
(g/dl)
Prothrombin time <4 4-6 >6
prolongation
(detik)
Ascites Tidak ada Mild (atau Moderate-severe
dapat diatasi (tidak dapat
dengan obat) diatasi dengan
obat/refrakter)

6
Ensefalopati Tidak ada Grade I-II Grade III-IV
Hepatikum

Skor: 12  tergolong Class C, most severe liver disease

2. Pemeriksaan Imunoserologi di RSDK (30/01/2020)


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal Keterangan
IMUNOSEROLOGI
HBsAg >1000,00 - Negatif: <1.0
Equivocal: 1-50
Positif: >50
Hbe Ag tunggu hasil SCO Negatif: <1.0
Positif: >=0,1
Anti DS DNA tunggu hasil IU/ml Negatif 0-200
Equivocal: 201-
300
Positif >300
Anti HCV tunggu hasil - Negatif: 0,80
Equivocal: 1-50
Positif: >50

3. Pemeriksaan EKG di RSDK (30/01/2020)

PEMERIKSAAN HASIL

7
Irama Sinus
Frekuensi 62 x/menit, reguler
Axis Normal
Gelombang P P mitral (-), P pulmonal (-)
PR interval 0,20 detik
QRS complex 0,08 detik, VES (-)
Q patologis (-)
Segmen ST Isoelektrik
Gelombang T T Tall (-), T inverted (-)
Kriteria hipertrofi S di V1/V2 + R di V5/V6 <35
Kesan Normo sinus ritme

4. Pemeriksaan X foto thoraks

8
Cor : CTR < 50%
Bentuk dan letak jantung normal
Pulmo : Corakan vaskular tampak normal
Tak tampak bercak maupun nodul pada kedua lapangan paru
Hemidiafragma kanan setinggi costa 7 posterior
Sinus costrofrenikus kanan kiri lancip
Kesan :
- Cor tak membesar
- Pulmo tak tampak kelainan
5. Pemeriksaan USG Abdomen di RSI Jepara 19/10/2019

9
Kesan:
Hepatomegali dengan fatty liver grade 3
Splenomegali
Tak tampak efusi maupun ascites

6. Pemeriksaan USG Abdomen 03/02/2020 di RSDK

10
11
Interpretasi
Hepar : ukuran tak membesar (ukuran ±9,6 cm), parenkim kasar,
tepi irregular, tak tampak nodul, v.porta tak melebar
(ukuran ±1.2 cm), v.hepatika tak melebar (±0,6 cm)
Duktus biliaris : intra dan ekstra hepatal tak melebar
Vesika felea : ukuran normal, dinding tak menebal, tak tampak batu,
tak tampak sludge.
Pankreas : parenkim homogen, tak tampak massa maupun kalsifikasi.
Ginjal kanan : bentuk dan ukurna normal, batas kortikomeduler jelas, tak
tampak penipisan korteks, tak tampak batu, PCS tak
melebar, ureter proksimal tak melebar.
Ginjal kiri : bentuk dan ukuran normal, batas kortikomeduler jelas,
tak tampak penipisan korteks, tak tampak batu, PCS tak
melebar, ureter proksimal tak melebar.
Lien : tampak membesar (ukuran ± 15.3 cm), tak tampak massa,
v.lienalis tak melebar (ukuran ±0,8 cm).
Aorta : tak tampak nodul paraaorta
Vesika urinaria : dinding tak menebal, permukaan rata, tak tampak batu,
tak tampak massa.
Prostat : tak tampak jelas struktur prostat.
Tampak cairan bebas perihepatik, perilienalis, paravesica urinaria
Tak tampak cairan supradiafragma kanan kiri
Kesan
- Ascites

12
- Parenkim hepar kasar dengan tepi irregular  proses kronik hepar,
cenderung sirosis hepatis.
- Spenomegaly
- Tak tampak kelainan lain pada sonografi organ-organ intraabdomen di atas

1.3 DAFTAR ABNORMALITAS


1. Perut membesar
2. Lemas dan penurunan nafsu makan
3. Mual
4. Penurunan berat badan 5 kg dalam 2 minggu
5. Riwayat penyakit kuning (+) 2 tahun yang lalu, tidak rutin minum obat
6. Riwayat mengkonsumsi alkohol (+), jenis anggur merah yang dikonsumsi
± 6 gelas perhari, 3x/sehari, dan sampai kecanduan, terakhir minum 2
tahun yang lalu.
7. Riwayat merokok 3 bungkus/hari sejak tahun 2015 dan berhenti 4 bulan
yang lalu.
8. Konjungiva anemis (+/+) dan sklera ikterik (+/+)
9. JVP R+4cm (meningkat)
10. Pemeriksaan abdomen: perut cembung, pekak sisi (+) meningkat, pekah

alih (+), tes undulasi (+)


11. Skor APRI 2,1
12. Skor Child Pugh 12 (Child pugh C)
13. Anemia sedang normositik normokromik (Hb 9,4 mg/dl)
14. Leukopenia (3600/uL , ANC 1990/UL)
15. Trombositopenia (Trombosit 112.000/uL)
16. SGOT meningkat 93 U/L
17. Alkaline phosphatase meningkat 223 U/L
18. Gamma GT meningkat 196 U/L
19. Bilirubin Total meningkat 4,20 mg/dl
20. Bilirubin Direk meningkat  1,74 mg/dl
21. Bilirubin Indirect meningkat 2,46 mg/dl
22. Albumin menurun  2,2 g/dl
23. Globulin meningkat  5,4 g/dl
24. Ureum menurun  13 mg/dl
25. PPT meningkat (20 detik)
26. PTTK meningkat (58,5 detik)
27. Hipernatremia (Na: 151 mmol/L)
28. HbsAg (+)  1000,00
29. USG Abdomen: Parenkim hepar kasar dengan tepi irregular  proses

kronik hepar, cenderung sirosis hepatis. Disertai adanya spenomegaly dan


ascites.
30. Hipokalsemia (1,88mmol/L)

13
1.4 ANALISIS SINTESIS
3,4,5,6,7,9,11,12,14,15,17,18,19,20,21,22,23,25,26,29  Sirosis hepatis
5,8,16,17,18,19,20,21,24,28  Hepatitis B Kronik
2,13  Anemia sedang normositik normokromik
1,2,10,22,29  Ascites grade 2
2,3,22,27  Hipoalbuminemia
27  hipernatremia
2,3,30 hipokalsemia

1.5 DAFTAR MASALAH


NO MASALAH AKTIF TANGGAL NO MASALAH PASIF TANGGAL
1 Ascites grade 2 05/02/2020 1. Riwayat minum Tahun 2018
alkohol (+)
2. Sirosis hepatis 05/02/2020 2. Riwayat merokok Tahun 2019
(+)
3. Hepatitis B kronik 05/02/2020
4. Anemia sedang 05/02/2020
normositik normokromik
(Hb 9,4 mg/dl)
5. Hipoalbuminemia 05/02/2020
(albumin 2,2 g/dl)
6. Trombositopenia 05/02/2020
(Trombosit 112.000/uL)
7. Hipokalsemia 05/02/2020
(1,88mmol/L)
8. Hipernatremia (Na: 151 05/02/2020
mmol/L)

1.6 RENCANA PEMECAHAN MASALAH


1. Ascites grade 2
Assessment : transudat e.c hipertensi porta
eksudat
komplikasi Peritonitis Bacterial Spontan (PBS)
IpDx : Pungsi diagnostik ascites, SAAG, Albumin serum, sitologi cairan
ascites

14
IpRx : Spironolakton 100mg/24 jam PO
IpMx : Penurunan BB, lingkar perut, balance cairan, output urin
IpEx :
• Menjelaskan kepada pasien bahwa akan dilakukan pemeriksaan
pengambilan cairan di perutnya.
• Menjelaskan kepada pasien komplikasi yang mungkin terjadi
setelah dilakukan pungsi.

2. Sirosis Hepatis dengan Child Pugh C


Assessment : komplikasi  HCC
IpDx : Fibroscan, CT Scan abdomen, biopsi hepar,
Esophagogastroduodenoscopy (EGD)
IpRx : Propanolol 40 mg/12 jam
IpMx : KU, tanda-tanda vital, keluhan nyeri ulu hati, monitoring tanda
tanda hipertensi porta, tanda-tanda ensefalopati hepatikum.
IpEx :
• Menjelaskan kepada pasien bahwa akan dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut untuk penegakkan diagnosis dan terapi.
• Mengedukasi tanda-tanda peyakit hepar kronik.
• Menjelaskan kepada pasien bahwa kondisi sirosis hepatis dapat
berkembang menjadi hepatoselular karsinoma.

3. Hepatitis B Kronik
Assessment : Status infeksi (viral load, status replikasi virus)
IpDx : HBV DNA, HbeAg
IpRx : Entekavir tablet salut 0,5 mg 1 tablet tiap 24 jam
Asam ursodeoksikolat kapsul 250 mg 1 tablet tiap 12 jam
Inf Triofusin 12 tpm
IpMx : Darah rutin, SGOT, SGPT, albumin, studi koagulasi
IpEx :
• Menjelaskan kepada pasien bahwa pasien terkena penyakit hati
akibat infeksi virus hepatitis B.

15
• Mengedukasi pasien tidak boleh untuk bertukar sikat gigi, gunting
kuku, jarum suntik dan alat-alat lainnya, serta perlu menutup luka
apabila terdapat luka.
• Menjelaskan kepada pasien mengenai keuntungan dan efek
samping terapi Entekavir.
• Menjelaskan kepada pasien bahwa dapat terjadi komplikasi dari
penyakit hepatitis B yang kronik, seperti sirosis dan kanker
hepatoseluler.
• Menjelaskan kepada pasien pentingnya skrining HBsAg dan
pencegahan dengan vaksin pada keluarga yang tinggal satu rumah
dengan pasien untuk memutus rantai transmisi HBV.
4. Anemia Sedang Normositik Normokromik (Hb 9,4 mg/dl)
Assessment : Penyakit Kronik
Perdarahan
IpDx : Pemeriksaan retikulosit, GDT, hitung jenis
IpRx :-
IpMx : Keadaan umum, tanda vital, saturasi oksigen, tanda-tanda
perdarahan
IpEx :
• Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien mengenai
kemungkinan penyebab dari kekurangan darah yang dialami oleh
pasien
• Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa akan dilakukan
pemeriksaan darah untuk mengetahui penyebab kekurangan darah

5. Hipoalbuminemia (2,2 g/dl)


Assesment : Sekunder problem 2
IpDx :-
IpRx : Koreksi albumin dengan perhitungan (3,5x2,2) x0,8x60: 67
gram 3 fl albumin 20% 100 cc
IpMx : Keadaan umum, tanda-tanda vital, cek darah rutin,
monitoring albumin post koreksi
IpEx :

16
• Menjelaskan kepada pasien untuk diet rendah garam.

6. Trombositopenia (Trombosit 112.000/uL)


Assesment : gangguan produksi  sekunder problem 2
sindroma hipersleen
Peningkatan distribusi trombosit
IpDx : Cek GDT, Hitung jenis
IpRx :-
IpMx : Keadaan umum, tanda-tanda vital, tanda-tanda perdarahan
IpEx :
• Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa akan dilakukan
pemeriksaan darah rutin untuk evaluasi.

7. Hipokalsemia (1,88mmol/L)
Assesment : sekunder problem 2
Intake kalsium tidak adekuat
IpDx :-
IpRx : Koreksi albumin dengan perhitungan (3,5x2,2) x0,8x60: 67
gram 3 fl albumin 20% 100 cc
IpMx : Keadaan umum, tanda-tanda vital, cek elektrolit post koreksi
albumin
IpEx :
• Menjelaskan kepada pasien untuk mengkomsi makanan tinggi
kalsium seperti susu, kacang-kacangan, makanan laut.
• Menjelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai akibat dari
hipokalsemia seperti kesemutan pada tangan atau kaki, kram otot
pada punggung atau kaki.
• Menghabiskan makanan yang disediakan rumah sakit.

8. Hipernatremia
Assesment : Gastrointestinal loss  sekunder problem 2
Intake cairan yang tidak adekuat
Renal loss
IpDx : -
IpRx :-

17
IpMx : Keadaan umum, tanda-tanda vital, intake cairan, output urin, cek
elektrolit ulang
IpEx :
• Menjelaskan kepada pasien untuk minum air yang cukup,
mengetahui tanda-tanda kekurangan cairan sedini mungkin.

1.7 CATATAN KEMAJUAN


03 Februari 2020
Problem 5. Hipoalbuminemia (2,2 g/dl)
S : lemas (+), mual (+)
O : TD : 110/80 mmHg, HR: 75x/menit
RR : 20x/menit, Suhu: 37,20 C
Pemeriksaan Albumin di RSDK (03 Februari 2020)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Keterangan
Normal
Albumin 2,3 g/dl 3,4-5,0 L

A : Hipoalbuminemia
P :
IpRx : 3 fl albumin 20% 100cc IV
IMx : Keadaan umum, tanda-tanda vital, cek darah rutin,
monitoring albumin post koreksi
IEx :
• Menjelaskan kepada pasien untuk diet rendah garam.

05 Februari 2020
Problem 5. Hipoalbuminemia (2,3 g/dl)
S : lemas (+), mual (+)
O : TD : 100/70 mmHg, HR: 72x/menit
RR : 20x/menit, Suhu: 37,20 C

Pemeriksaan Kimia klinik di RSDK (05/02/2020)


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal Keterangan
Glukosa 84 mg/dl 80-160

18
Sewaktu
LDH 302 U/L 120-246 H
Tota protein 7,2 g/dl 6,4-8,2
Albumin 2,6 g/dl 3,4-5,0 L

A : Hipoalbuminemia
P :
Ip Rx : 3 fl albumin 20% 100cc IV
Ip Mx : Keadaan umum, tanda-tanda vital, cek darah rutin,
monitoring albumin post koreksi
Ip Ex :
• Menjelaskan kepada pasien untuk diet rendah garam.

Problem 1. Ascites grade 2


S : lemas (+), mual (+)
O : TD : 100/70 mmHg, HR: 74x/menit
RR : 20x/menit, Suhu: 37,20 C
Pemeriksaan Analisis cairan ascites di RSDK (05/02/2020)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal Keterangan
Kimia klinik
LDH 43 U/L 120-246 L
Sekersi-Ekskresi
Cairan tubuh
Phisis
Warna kuning muda -
Kekeruhan Jernih -
Tes rivalta Negative - negatif
Kadar protein 0,5 gr/dl
Glukosa 137 mg/dl
Sel leukosit
MN 125 /mmk
PMN 9 /mmk
Sel eritrosit 336 /mmk

Pemeriksaan Tambahan dari sampel cairan ascites di RSDK (05/02/2020)


Pemeriksaan Hasil Keterangan
Pewarnaan BTA
BTA (-)/ negative
Leukosit <1/ LPF
Pewarnaan Gram

19
Kuman Tidak ditemukan kuman
Pewarnaan Jamur
Yeast Cell (-)/ negative

A : Ascites grade 2 transudat


P :
IpRx :-
IMx : Penurunan BB, lingkar perut, balance cairan, output urin
IEx :
• Menjelaskan kepada pasien bahwa akan dilakukan pemeriksaan
pengambilan cairan di perutnya.
• Menjelaskan kepada pasien komplikasi yang mungkin terjadi
setelah dilakukan pungsi.

10 Februari 2020
Problem 2. Sirosis Hepatis dengan Child Pugh C
S : lemas (+), mual (+)
O : TD : 100/70 mmHg, HR: 72x/menit
RR : 20x/menit, Suhu: 37,20 C
Pemeriksaan Esofagogastroduodenoscopy (EGD) di RSDK tanggal 10/02/2020

Interpretasi
ESOFAGUS :
 Mukosa utuh, inflamasi (-), varises grd III, Lm-Li, HC (+), RWM (+),
CRS (+), erosi (-), ulkus (-)
GASTER :

20
 Antrum : mukosa kemerahan (+), erosi (+), snake skin appearance (-),
ulkus (-)

 Fundus : Mukosa kemerahan (+), erosi (+), snake skin appearance (+),
ulkus (-), hiatal hernia (-)
 Corpus : mukosa kemerahan (+), erosi (+), snake skin appearance (+),
ulkus (-)
DUODENUM : mukosa utuh, inflamasi (-)

Dilakukan ligase pada 4 tempat varises esophagus

Kesimpulan :
- Varises Esofagus Grade 3 post EVL

- Gastropati hipertensi porta

A : Sirosis hepatis dengan Child Pugh C


P :
IpDx : Fibroscan, CT Scan abdomen, biopsi hepar
IpRx : Propanolol 40 mg/12 jam
IpMx : KU, tanda-tanda vital, keluhan nyeri ulu hati, tanda-tanda
hipertensi porta, tanda-tanda ensefalopati hepatikum.
IpEx :
• Menjelaskan kepada pasien bahwa akan dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut untuk penegakkan diagnosis dan terapi.
• Mengedukasi tanda-tanda peyakit hepar kronik.
• Menjelaskan kepada pasien bahwa kondisi sirosis hepatis dapat
berkembang menjadi hepatoselular karsinoma.

21
BAB II

PEMBAHASAN

3.1 Ringkasan kasus


± 4 bulan SMRS pasien mengeluh perut membesar, dirasakan terus-menerus,
semakin lama semakin membesar, terutama 1 minggu SMRS. Perut terasa sebah
(+) membuat pasien lebih sering berbaring di tempat tidur, namun pasien masih
dapat beraktivitas ringan seperti makan, mandi, memakai baju secara mandiri.
Tidak ada faktor yang memperberat atau memperingan keluhan.
± 2 tahun SMRS pasien mengalami keluhan BAK seperti teh (+), BAB hitam
(+), muntah darah (-), nyeri ulu hati (+), perut membesar (-), bengkak pada kedua
kaki (+), kuning seluruh tubuh (+). Pasien kemudian memeriksakan diri ke RS
Medan kemudian dikatakan pasien mengalami hepatitis B. Pasien kemudian
meminta pulang dari RS. Kemudian pasien memeriksakan diri ke RSI Jepara. Di
RSI jepara pasien dilakukan pemeriksaan USG dan di cek laborat, serta pasien
juga diberikan infus berwarna kuning (albumin). Pasien diberikan obat namun
tidak diminum teratur dan pasien jarang kontrol ke poli penyakit dalam.
Kemudian kondisi pasien semakin memburuk dan pasien datang ke IGD RSDK.
Pasien juga mengeluh mual (+), muntah (-), mata kuning (+) sejak 2 tahun
yang lalu, demam (-), seluruh badan kuning (-), gusi bengkak (-), gusi berdarah
(-), rambut ketiak rontok (-), payudara membesar (-), sesak napas (-), nyeri ulu
hati (-), telapak tangan kemerahan (-), BAK seperti teh (-), BAB hitam (-), wasir
(-), nafsu makan menurun (+) sejak 4 bulan SMRS, BB menurun ± 5 kg dalam 2
minggu terakhir.
Berdasakan anamnesis riwayat penyait dahulu didapatkan riwayat penyakit
kuning atau hepatitis B (+) 2 tahun yang lalu, tidak rutin minum obat. Pasien juga
memiliki riwayat mengkonsumsi alkohol (+) jenis anggur merah yang dikonsumsi
6 gelas perhari, 3x/sehari, dan sampai kecanduan, terakhir minum 2 tahun yang
lalu.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak lemah dengan GCS 15.
Pada pemeriksaan head to toe terdapat konjungtiva palpebra anemis, sklera
ikterik, JVP R+4. Pada pemeriksaan abdomen inspeksi dan auskultasi dalam batas
22
normal, pemeriksaan perkusi didapatkan timpani, pekak sisi (+) meningkat, pekak
alih (+), liver span sulit dinilai, area traube timpani, dan dari perkusi hepar dan
lien sulit teraba, area traube (+) timpani dan didapatkan undulasi (+).
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan di RSI Jepara didapatkan
Hepatomegali dengan fatty liver grade 3, splenomegaly, tak tampak efusi maupun
ascites. Dari pemeriksaan yang dilakukan di RSDK didapatkan HbsAg positif.
Peningkatan SGOT yang menandakan adanya gangguan fungsi hepar. Total
protein ditemukan meningkat disertai dengan peningkatan bilirubin total,
bilirubin direk, dan bilirubin indirek. Pemeriksaan hematologi didapatkan
hemoglobin yang menurun, eritrosit rendah, dan trombositopenia, leukositopenia,
hipoalbuminemia, hipokalsemmia, hipernatremia. Adanya gangguan dari faktor
koagulasi dengan PPT dan PTTK yang meningkat. Dari pemeriksaan USG
Abdomen didapatkan kesimpulan ascites, parenkim hepar kasar dengan tepi
irregular  cenderung sirosis hepatis, spenomegaly. Dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien didiagnosa Seorang Laki-
Laki 35 Tahun Dengan Sirosis Hepatis, Hepatitis B Kronik, Ascites grade 2,
Anemia Sedang Normositik Normokrommik, Hipoalbuminemia,
Trombositopenia, Hipokalsemia, dan Hipernatremia

2.1 Anemia Sedang Normositik Normokromik


Pada pasien ini juga terdapat anemia. Anemia adalah berkurangnya
hemboglobin dalam darah. Nilai rujukan kadar hemoglobin untuk mendiagnosis
anemia pada orang dewasa menurut WHO dapat dilihat pada tabel.1

Tabel 1. Kadar hemoglobin untuk mendiagnosis anemia menurut WHO1


Anemia
Populasi Non Anemia
Mild Moderate Severe
Bayi usia 6-59 ≥ 11.0 10.0-10.9 7.0-9.9 < 7.0
Bulan
Anak usia 5 – 11 ≥ 11.5 11.0-11.4 8.0-10.9 < 8.0
Tahun
Anak usia 12 – ≥ 12.0 11.0-11.9 8.0-10.9 < 8.0
14 tahun

23
Wanita tidak ≥ 12.0 11.0-11.9 8.0-10.9 < 8.0
hamil (usia di
atas 15 tahun)
Wanita hamil ≥ 11.0 10.0-10.9 7.0-9.9 < 7.0
Pria (usia di atas ≥ 13.0 11.0-12.9 8.0-10.9 < 8.0
15 tahun)
Sumber : WHO. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and
assessment of severity: Vitamin and Mineral Nutrition Information System, 2011

Sementara klasifikasi anemia berdasarkan gambaran morfologis dengan


melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi dibagi menjadi tiga golongan
yaitu: Tabel 2. Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi dan Etiologi2

Anemia Hipokromik Anemia Normokromik


Anemia Makrositer
Mikrositer Normositik
MCV < 80 fl MCV 80 – 95 fl
MCV > 95 fl
MCH < 27 pg MCH 27 – 34 pg
1. Anemia defisiensi 1. Anemia pasca1. Anemia megaloblastik
besi perdarahan - Anemia defisiensi
2. Thalasemia major 2. Anemia aplastik – asam folat
3. Anemia akibat hipoplastik - Anemia defisiensi
penyakit kronik 3. Anemia hemolitik B12
4. Anemia sideroblastik 4. Anemia akibat2. Anemia non
penyakit kronik megaloblastik
5. Anemia mieloptisik - Anemia pada
6. Anemia pada sindrom penyakit kronik
mielodisplastik hepar
7. Anemia pada leukemia - Anemia pada
akut sindroma
mielodisplastik

Sumber : Greer JP, Arber DA, Glader B, editors. Disorders of the red cells. In:
Wintrobe’s Clinical Hematology. 13th ed. Philadelphia; 2014. p. 587–10292

24
(a) Anemia mikrositik (b) Anemia normositik (c) Anemia makrositik

Gambar 1. (a) Anemia mikrositik; (b) anemia normositik; (c) anemia makrositik.

Sumber: Hoffbrand A V., Moss PAH. Kapita Selekta Hematologi. 6th ed. (Sandra
F, ed.). Jakarta: EGC; 2013.3

Pendekatan diagnostik untuk mencari penyebab anemia dimulai dari


anamnesis dan pemeriksaan fisik, dilanjutkan pemeriksaan laboratorium untuk
memperkuat diagnosis. Salah satu pemeriksaan laboratorium yang penting
adalah gambaran darah tepi dan retikulosit, karena dapat ditemukan gambaran
sel darah yang spesifik untuk penyakit tertentu. Retikulosit adalah eritrosit muda
yang masih mengandung sisa RNA. Jumlah retikulosit di darah tepi
mencerminkan aktivitas pembentukan eritrosit (eritropoiesis) di sumsum tulang.
Jumlah retikulosit yang meningkat pada anemia menandakan respons
pembentukan eritrosit yang masih baik di sumsum tulang. Pada kondisi ini,
kemungkinan penyebab anemia adalah kelainan yang tidak melibatkan
sumsum tulang, misalnya anemia hemolitik atau anemia karena perdarahan.
Sebaliknya, jumlah retikulosit yang normal/rendah pada anemia menandakan
adanya masalah di sumsum tulang sehingga pembentukan eritrosit tidak berjalan
baik. Anemia dengan retikulosit rendah terjadi karena penurunan produksi
eritrosit di sumsum tulang, seperti pada anemia sekunder (penyakit hati,
penyakit ginjal, dan penyakit endokrin), penyakit infiltratif (leukemia,
mielofibrosis, mieloma), mielodisplasia, atau anemia aplastik. Selain itu, juga
dapat ditemukan pada awal anemia penyakit kronik atau defisiensi besi.4

25
Gambar 2. Evaluasi awal pasien anemia3

Gambar 3. Algoritma pendekatan diagnosis Anemia Normositik Normokromik3

26
Berdasarkan kriteria diatas maka pasien ini digolongkan menjadi Anemia sedang
normositik normokromik, terlihat pada pemeriksaan darah rutin yang
menunjukkan kadar Hb yang rendah (9,4 gr %), serta MCH (29,2 Pg) dan MCV
(87,9 fL) normal. Assesment yang digunakan adalah anemia penyakit kronik yang
disebabkan oleh penyakit hepar kronik yang diderita pasien.

2.2 Infeksi Hepatitis B Kronik


Hepatitis B merupakan suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus
Hepatitis B, suatu anggota famili hepadnavirus yang dapat menyebabkan
peradangan hati akut atau kronis yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau
kanker hati. Disebut hepatitis B akut jika perjalanan penyakit kurang dari 6 bulan
sedangkan Hepatitis B kronis bila penyakit menetap, tidak sembuh secara klinis
atau laboratorium atau pada gambaran patologi anatomi selama 6 bulan.5

Infeksi HBV kronis merupakan suatu proses dinamis yang melibatkan


interaksi antara replikasi HBV dan respon imun penderita. Tidak semua pasien
dengan infeksi HBV kronis mempunyai hepatitis kronis (CHB). Infeksi kronis
HBV dibagi menjadi lima fase, yang dilihat dari adanya HbeAg, banyaknya
HBV DNA, nilai alanine aminotransferase (ALT), dan ada atau tidaknya inflamasi
hati. Lima fase tersebut adalah sebagai berikut :6,7

a. Fase 1: Infeksi HBV kronis HbeAg-positif (fase immunotoleran). Dicirikan


dengan adanya serum HbeAg, nilai HBV DNA yang sangat tinggi, dan nilai
ALT yang tetap normal. Pada hepar tidak terjadi atau minimal terjadi
inflamasi maupun fibrosis. Pada fase ini penderita sangat infeksius karena
nilai HBV DNA yang tinggi.
b. Fase 2: Hepatitis B Kronis HBeAg-positif, ditandai dengan adanya serum
HBeAg, nilai HBV DNA yang tinggi dan kenaikan ALT. Pada hepar terjadi
nekroinflamasi yang sedang sampai parah serta progesi cepat terjadi fibrosis.
Fase ini dapat terjadi beberapa tahun setelah fase pertama dan lebih sering
terjadi pada penderita yang terinfkesi saat dewasa. Kelanjutan dari fase ini
bervariasi. Kebanyakan pasien dapat mencapai HBeAg serokonversi dan
supresi HBV DNA dan memasuki fase infeksi HBeAg-negatif. Beberapa

27
pasien gagal mengontrol HBV dan berlanjut menjadi HBeAg-negatif CHB.
c. Fase 3: infeksi HBV kronis HBeAg-negatif, sebelumnya dinamakan fase
inaktif, ditandai dengan adanya serum antibodi terhadap HBeAg (anti-Hbe),
level HBV DNA yang rendah tidak terdeteksi (<2.000 IU/ml) dan ALT yang
normal (ULN ~40 IU/L). Namun, Beberapa penderita pada fase ini
mempunyai level HBV DNA >2.000 IU/ml (biasanya <20.000 IU/ml) dengan
ALT normal dan nekroinflamasi hati yang minimal dan fibrosis minimal.
Penderita-penderita fase ini beresiko rendah berlanjut ke Hepato Celullar
Carcinoma (HCC) bila tetap berada di fase ini. Namun, progresi ke CHB,
biasanya pada penderita HBeAg-negatif, dapat terjadi.
d. Fase 4: Hepatitis B Kronis (CHB) HBeAg-negatif ditandai dengan sedikitnya
serum HBeAg dan biasanya dengan terdeteksinya anti-Hbe, dan tetap atau
fluktuasi sedang sampai tinggi level serum HBV DNA (biasanya lebih rendah
dari penderita HBeAg-positif), sama halnya dengan nilai ALT yang
meningkat. Pada fase ini remisi penyakit yang spontan jarang terjadi.
e. Fase 5: fase HbsAg-negatif ditandai dengan serum HbsAg yang negatif dan
antibodi terhadap HbcAg (anti-HBc) yang positif, dengan atau tanpa
antibodi terhadap HbsAg (anti-HBs). Fase ini dikenal juga dengan “occult
HBV infection”. Pasien pada fase ini mempunyai nilai ALT normal dan
biasanya serum HBV DNA yang tidak terdeteksi.
Gambar 4. Fase infeksi HBV kronis8

28
Gambar 5. Perbedaan pemeriksaan laboratorium pada infeksi HBV kronik dan
kronik hepatitis B8

Gambaran klinis hepatitis B kronis sangat bervariasi. Pada banyak kasus tidak
dapat ditemukan keluhan maupun gejala dan pemeriksaan tes faal hati normal.
Pada sebagian lagi didapatkan hepatomegali atau bahkan splenomegali atau tanda
tanda penyakit hati kronis lainnya, misalnya eritema palmaris dan spider naevi,
serta pemeriksaan laboratorium sering didapatkan kenaikan konsentrasi ALT
walaupun hal itu tidak sering didapatkan. Pada umumnya ditemukan konsentrasi
bilirubin yang normal. Konsentrasi albumin juga normal kecuali pada kasus kasus
yang lebih parah. Secara sederhana manifestasi klinis Hepatitis B kronis dibagi
menjadi 2 yaitu: 6

a. Hepatitis B yang masih aktif (hepatitis B kronis Aktif)

HbsAg positif dengan DNA HBV lebih dari 105kopi/ml dan didapatkan
kenaikan ALT yang menetap atu intermitten. Menurut status HbeAg pasien
dikelompokan menjadi hepatitis B kronis HbeAG positif dan Hepatitis B
kronis HbeAg negatif.

b. Carier HBV inaktif

Pada kelompok ini HbsAg positif dengan titer DNA yang rendah yaitu < 105
kopi/mL. Pada pasien menunjukan konsentrasi ALT yang normal dan tidak

29
didapatkan keluhan. Pasien dengan penyakit hepatitis B kronis bisa terjadi
toleransi sistem imun atau pasien memiliki infeksi kronis yang inaktif tanpa
adanya tanda penyakit tersebut aktif, biasanya asimptomatik

Kriteria diagnosis infeksi hepatitis B kronis adalah HBsAg seropositif >6


bulan, DNA HBV serum >20.000 IU/mL (nilai yang lebih rendah 200-20.000
IU/mL ditemukan pada HBeAg negatif), peningkatan ALT (peninggian SGOT
dan SGPT yang tidak terlalu hebat, biasanya SGPT dan SGOT meningkat 2-3
kali normal) dan biopsi hati menunjukkan hepatitis kronis dengan derajat
nekroinflamasi sedang sampai berat.8,9,10

Tabel 3. Kriteria diagnosis infeksi HBV6

Rekomendasi EASL untuk Indikasi Terapi Hepatitis B adalah sebagai berikut:

a. Semua penderita dengan HBeAg-positif atau -negatif hepatitis B kronis,


yang ditandai dengan HBV DNA >2.000 IU/ml, ALT >ULN dan/atau sedikit
nekroinflamasi atau fibrosis hati.
b. Penderita dengan cirrosis kompensata atau dekompensata, dengan
berapapun level HBV DNA maupun ALT

30
c. Penderita dengan HBV DNA >20.000 IU/ml dan ALT >2x ULN, berapapun
derajat fibrosisnya. Penderita dengan infeksi HBeAg-positif HBV kronis,
yang ditandai dengan ALT yang normal dan tingginya level HBV DNA
diterapi jika umurnya lebih dari 30 tahun. 8,9

Gambar 6. Indikasi Terapi pada Pasien Sirosis Hepatis4

Gambar 7. Algoritme tatalaksana infeksi4


Pada pasien ini mendapatkan terapi Entekavir tablet salut 0.5 mg/24 jam PO.

31
2.3 Sirosis Hepar

Sirosis hepar adalah keadaan dimana sel hepatosit hepar digantikan dengan
jaringan parut akibat adanya kerusakan hati yang bersifat kronik. Secara umum
gejala dari sirosis hepar adalah penurunan dari fungsi hepar contohnya adalah
adanya gangguan koagulasi, hipertensi porta, berkurangnya fungsi detoksifikasi
dari hepar. Pada kasus ini, pasien sudah menjalani pemeriksaan USG abdomen
di RSDK tanggal 03 Februari 2020. Dari hasil pemeriksaan tersebut didapatkan
bahwa pasien mengalami sirosis hepar dengan splenomegali. Saat ini pada
pasien ditemukan adanya penurunan fungsi dari hepar. Hal ini terlihat pada
pemeriksaan fisik dimana ditemukan adanya sklera ikterik dan peningkatan JVP,
namun tidak ada palmar eritem, caput medusa,dan venektasi. Pada pemeriksaan
laboratorium juga ditemukan adanya peningkatan dari enzim hepar dan
bilirubin.6,7

Sesuai dengan konsensus Baveno IV, sirosis hepar dapat diklasifikasikan


menjadi empat stadium klinis berdasarkan ada tidaknya varises, ascites dan
perdarahan varises: stadium 1 (tidak ada varises, tidak ada ascites), stadium 2
(ada varises tanpa ascites), stadium 3 (ascites dengan atau tanpa varises), dan
stadium 4 (perdarahan dengan atau tanpa ascites). Stadium 1 dan 2 dimasukkan
dalam kelompok sirosis kompensata, sementara stadium 3 dan 4 dalam
kelompok sirosis dekompensata. Pada pasien ini, sudah terdapat ascites,
sehingga dapat dikategorikan dalam stadium 3.6,7

Berdasarkan perhitungan skor APRI (AST to Platelet Ratio Index) yang


digunakan untuk memprediksi adanya sirosis hepatis. Pada meta-analisis dari 40
penelitian, peneliti menyimpulkan bahwa skor APRI yang lebih dari 1.0
mempunyai sensitivitas 76% dan spestivitas 72 % untuk memprediksi adanya
sirosis. Skor >0,7 mempunyai sensitivitas 77% dan spestivitas 72% untuk
memprediksi fibrosis hapar secara signifikan. Untuk deteksi sirosis,
menggunakan skor APRI yang hasilnya >2,0 lebih spesifik 91% namun
sensitivitasnya kurang (46%), sedangkan skor APRI <0,5 mempunyai nilai

32
prediktif negative untuk terjadinya sirosis. Pada pasien didapatkan skor APRI >
2,1 dengan prediksi terjadi sirosis hepatis.10

Sirosis hepar merupakan tahap akhir proses difus fibrosis hepar progresif
yang ditandai oleh distorsi arsitektur hati dan pembentukan nodul degeneratif.
Gambaran morfologi dari sirosis hepar meliputi fibrosis difus, nodul regeneratif,
perubahan arsitektur lobular, dan pembentukan hubungan vaskular intrahepatik
pembuluh darah hati aferen (vena porta dan vena hepatika) dan eferen (vena
hepatika. Secara klinis/fungsional sirosis hepar dibagi menjadi:4,5

1. Sirosis hepar kompensata

2. Sirosis hepar dekompensata

disertai dengan tanda – tanda kegagalan hepatoselular atau hipertensi porta.


Sesuai dengan konsensus Baveno IV, sirosis hepatis dapat diklasifikasikan
menjadi empat stadium klinis berdasarkan ada tidaknya varises, ascites dan
perdarahan varises:4

- Stadium 1 (tidak ada varises, tidak ada ascites)


- Stadium 2 (ada varises tanpa ascites)
- Stadium 3 (ascites dengan atau tanpa varises)
- Stadium 4 (perdarahan dengan atau tanpa ascites).
Stadium 1 dan 2 dimasukkan dalam kelompok sirosis kompensata,
sementara stadium 3 dan 4 dalam kelompok sirosis dekompensata.6,7

Salah satu tanda sirosis hepatis yaitu hipertensi porta. Hipertensi porta
memiliki berbagai manifestasi klinis, diantaranya yaitu varises esofagus. Varises
esofagus adalah terjadinya distensi vena submukosa yang diproyeksikan ke dalam
lumen esofagus pada pasien dengan hipertensi porta. Hipertensi portal adalah
peningkatan tekanan aliran darah portal lebih dari 10 mmHg yang menetap,
sedangkan tekanan dalam keadaan normal sekitar 5 –10 mmHg. Varises esofagus
merupakan bentuk kompensasi bila aliran dari vena porta menuju ke vena cava
inferior terganggu. Kolateral ini sangat berbahaya karena sangat rawan pecah dan
menyebabkan perdarahan.8

33
Hipertensi porta dapat memicu pembentukan vena kolateral, gangguan
biokimia (meningkatkan produksi dari vasokonstriktor, vascular endhothelial
Growth Factor, NO, dan vasodilator lainnya) dan adanya kelainan fungsional
(seperti peningkatan volume plasma dan peningkatan cardiac output dari jantung)
dimana ketiga hal ini berperan dalam pembentukan dari varises esofagus.8
Derajat dari varises esofagus berdasarkan hasil esofagogastroduodenoskopi
(EGD) dibagi dalam tiga kategori8, yaitu :
- Grade 1 : varises esofagus kecil dan lurus
- Grade 2 : varises esofagus yang lebih besar dan berliku namun tidak
menutupi sepertiga lumen
- Grade 3 : varises esofagus besar “coil shapped” dan menutupi lebih dari
sepertiga lumen
Varises esofagus pada pasien ini adalah varises esofagus grade III yang
ditemukan berdasarkan hasil esofagogastroduodenoskopi (EGD).
Pada anamnesis juga perlu ditanyakan, riwayat penyakit hati kronis, riwayat
dispepsia, riwayat mengkonsumsi NSAID, obat rematik, alkohol, jamu-jamuan,
obat untuk penyakit jantung, dan obat stroke. Kemudian ditanya riwayat penyakit
ginjal, riwayat penyakit paru dan adanya perdarahan ditempat lainnya. Hal – hal
tersebut perlu ditanyakan untuk dapat mengetahui penyebab dari perdarahan
saluran cerna bagian atas oleh karena ruptur variseal atau non variseal.8,9
Dalam prosedur diagnosis, pemeriksaan endoskopi merupakan gold standard.
Tindakan endoskopi selain untuk diagnostik dapat dipakai pula untuk terapi.
Prosedur ini tidak perlu dilakukan segera (bukan prosedur emergensi), dapat
dilakukan dalam kurun waktu 12 - 24 jam setelah pasien masuk dan keadaan
hemodinamik stabil. Tidak ada keuntungan yang nyata bila endoskopi dilakukan
dalam keadaan darurat. Dengan pemeriksaan endoskopi, lebih dari 95% pasien -
pasien dengan hematemesis, melena atau hematemesis – melena dapat ditentukan
lokasi perdarahan dan penyebab perdarahannya.8
Lokasi dan sumber perdarahan : 8
- Esofagus : Varises, erosi, ulkus, tumor
- Gaster : Erosi, ulkus, tumor, polip, angiodisplasia, dilafeuy, varises,
- gastropati kongestif

34
- Duodenum : Ulkus, erosi, tumor, diverticulitis
Salah satu manifestasi lain yang dapat timbul akibat hipertensi porta adalah
gastropati hipertensi porta (GHP) seperti yang ditemui pada pasien ini. GHP
sering dijumpai pada lambung bagian fundus dan corpus, serta jarang ditemui
pada bagian antrum. Diagnosis GHP dibuat berdasarkan pemeriksaan endoskopi.
GHP terjadi sebagai manifestasi klinis dari hipertensi portal sirotik atau nonsirotik
yang secara klinis dapat menyebabkan perdarahan akut. Hal ini dapat
menyebabkan kehilangan darah yang masif.8

2.4 Ascites

Ascites merupakan akumulasi patologis dari cairan di dalam rongga


peritoneum. Ascites merupakan gejala dari banyak medis kondisi dan memiliki
diagnosis banding yang luas diantaranya yaitu sirosis hepatis. Ascites dapat
diklasifikasikan berdasarkan patofisiologis yang mendasarinya mekanisme:
hipertensi portal, peritoneal penyakit, hipoalbuminemia dan gangguan lain-lain.
Sirosis hati (75%) adalah penyebab paling umum pada orang dewasa di dunia,
diikuti oleh keganasan (10%), gagal jantung (3%), TBC (2%), dan pankreatitis
(1%). Diagnosis yang memadai diperlukan untuk keberhasilan perawatan.11
Ascites merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi dan ±60%
pasien dengan sirosis kompensata mengalami ascites dalam 10 tahun selama
perjalanan penyakit tersebut. Ascites terjadi jika terdapat hipertensi porta dan
secara langsung berhuubungan dengan ketidakmampuan untuk megekskresi
sejumlah natrium ke dalam urin, yang berhubungan dengan keseimbangan
natrium. Sejumlah bukti menunjukkan retensi natrium di ginjal pada pasien sirosis
hepatis merupakan akibat sekunder akibat vasodilatasi arteri splanik. Hal ini
menyebabkan penurunan volume darah arteri yang efektiif dengan aktivasi
reseptor volume arteri dann kardiopulmoner , dan aktivasi homeostatik dari
vasokonstriktor dan sistem penahan natrium (misalnya sistem saraf simpatik dan
sistem renin angiotensin-aldosteron atau RAAS). Retensi natrium di ginjal
menyebabkan ekspansi volume cairan ekstravaskuler dan pembentukan ascites
dan edema. Perkembangan ascites dikaitkan dengan prognosis yang buruk dan
gangguan kualitas hidup pada pasien dengan sirosis. Dengan demikian, pasien

35
dengan ascies umumnya harus dipertimbangkan untuk dilakukan transplantasi
hepar.12
Perkembangan ascites pada kasus sirosis hepatis mengindikasikan prognosis
yang jelek. Tingkat mortalitas yaitu ±40% pada 1 tahun dan 50% pada 2 tahun.
Faktor yang paling mungkin berperan dalam memprediksi prognosis yang buruk
adalah hiponatremia, low arterial pressure, peningkatan serum kreatinin, dan
natrium urin rendah. Parameter tersebut tidak terdapat pada Child-Turcotte-Pugh
score (CTP score), hanya serum kreatinin yang termasuk ke dalam Model for end-
stage liver disease (MELD score). Serum kreatinin memiliki kekurangan untuk
menentukan GFR pada pasien sirosis, skor terebut dianggap tidak bermakna untuk
menghitung risiko mortalitas pada pasien sirosis.13
The International Ascites Club mengusulkan pilihan terapi pada pasien ascites
tanpa komplikasi diklasifikan berdasarkan kriteria kuantitatif.
Tabel 4. Grading ascites dan tatalaksana yang dianjurkan13

Konsentrasi protein total cairan ascites memiliki secara tradisional telah


digunakan untuk mengklasifikasikan sampel ke dalam kategori eksudat atau
transudat yang luas. Rendah protein ascites dengan konsentrasi protein total
kurang dari 2,5 g per desiliter disebut ascites transudatif dan biasanya terjadi
dengan hipertensi portal atau hipoalbuminemia. Protein ascites lebih tinggi
dengan total konsentrasi protein lebih dari 2,5 g per desiliter disebut ascites
eksudatif dan biasanya terkait dengan TBC, keganasan, pankreatitis, myxoedema,
dll.13 Namun, konsentrasi total protein lebih besar dari 2,5 g per desiliter miliki
baru-baru ini terbukti memiliki akurasi hanya 56 persen dalam mendeteksi
eksudat. Serum-ascites albumin gradien (SAAG) merupakan salah satu parameter
terbaik untuk menentukan penyebab ascites berhubungan dengan hipertensi porta
atau hepatic congestion dan penyebab yang lain. SAAG memiliki spesifisitas dan
sensitifitas yang lebih lebih tinggi daripada konsentrasi total protein ascites untuk
diagnosis banding ascites. Gradien dihitung dengan mengurangi albumin cairan
ascites level dari level serum yang didapat pada hari yang sama. Jika SAAG lebih

36
besar dari atau sama dengan 1,1 g / dl (atau 11 g / L), ascites dianggap berasal dari
hipertensi portal dengan perkiraan akurasi 97%. Apabila hasilnya < 1,1 g/dl
mengindikasikan etiologi ascites tidak berhubungan dengan hipertensi portal
tetapi berhubungan dengan keganasan, pankreatitis dan infeksi.11 Tekanan
hidrostatik meningkat antara pembuluh darah portal dan cairan ascites diimbangi
oleh perbedaan yang sesuai dalam kekuatan onkotik. Pada pasien dengan beragam
penyebab ascites, SAAG cenderung menyerupai yang pada ascites transudatif
tanpa komplikasi.14,15
Tatalaksana ascites diantaranya yaitu pembatasan natrium.
Keseimbangan natrium negatif dapat terjadi diperoleh dengan mengurangi
asupan garam di sekitar 10– 20% pasien sirosis dengan ascites, terutama pada
pasien yang datang dengan onset ascites yang baru. Penelitian ini menyatakan
bahwa asupan garam makanan harus dibatasi secara moderat (kurang-lebih 80-120
mmol natrium per hari). Pengurangan yang lebih parah dalam kandungan natrium
makanan dianggap berpotensi merugikan karena dapat merusak nutrisi status.
Tidak ada data untuk mendukung penggunaan profilaksis pembatasan garam pada
pasien yang belum pernah mengalami ascites. Cairan asupan harus dibatasi hanya
pada pasien dengan dilusional hiponatremia.

2.5 Hipoalbumin
Pasien dengan sirosis lanjut hampir selalu memiliki hipoalbuminemia
disebabkan oleh menurunnya sintesis oleh hepatosit dan retensi air dan natrium itu
melarutkan kandungan albumin dalam ruang ekstraseluler. Faktor-faktor lain yang
mungkin berkontribusi pada pengembangan hipoalbuminemia, termasuk
transkapiler yang meningkat tingkat transportasi.16
Sifat onkotik albumin pada sirosis
Penggunaan terapeutik albumin dalam hepatologi sudah ada ke tahun 1960-an
ketika dianggap hipoalbuminemia memiliki peran penting dalam patogenesis
asites, karena perubahan keseimbangan antara forces of starling dalam
mikrosirkulasi intrahepatik. Itu ditemukan bahwa kadar albumin plasma kurang
dari 3 g/L hampir terus berhubungan dengan kehadiran asites, yang tidak
berkembang dengan kadar plasma lebih besar dari 4 g/L. Apalagi tekanan onkotik

37
plasma kurang dari 20 mmHg secara signifikan meningkatkan kemungkinan
berkembang asites di hadapan hipertensi portal. Ini Temuan dapat mendukung
suplementasi dengan eksogen albumin pada pasien dengan asites dan
hipoalbuminemia. Namun, aliran bersih cairan dari kompartemen vaskular ke
interstitium diatur oleh transkapilernya gradien daripada dengan konsentrasi
intravaskularnya sendirian. Ketika gradien antara plasma dan asites Tekanan
onkotik fluida diperhitungkan, tidak korelasi ditemukan dengan tingkat
pembentukan asites, menunjukkan bahwa hipoalbuminemia hanya mencerminkan
penurunan fungsi sintetik hati tanpa memainkan peranan langsung dalam
patogenesis pembentukan asites.16,17

Pasien-pasien ini biasanya memiliki sirkulasi hyperdynamic circulatory


sindrome, ditandai dengan penurunan perifer resistensi pembuluh darah dan
peningkatan kompensasi pada curah jantung, yang bermanifestasi pada tingkat
klinis dengan hipotensi arteri, takikardia, dan hiperkinetik denyut nadi arteri.
Penyebab utama hyperdynamic circulatory sindrome adalah vasodilatasi arteri,
terutama terlokalisasi di area sirkulasi splanknik, cukup besarnya untuk
mengurangi volume darah efektif (mislnya volmume darah di jantung, paru-paru
dan cabang arteri sentral yang ditangkap oleh reseptor arteri). Vasodilatasi arteri
pada sirosis terutama hasil dari peningkatan produksi zat vasoaktif, seperti nitric
oxide (NO), karbon monoksida, dan endocannabinoid, yang menginduksi
vasodilatasi dan menghambat respons pembuluh darah.16

2.6 Trombositopenia
Trombositopenia adalah komplikasi umum pada penyakit hati, dan
trombositopenia terkait penyakit hati sering didefinisikan sebagai jumlah
trombosit <100 × 109/L, termasuk sedang (kurang dari 100 × 10 9/L) dan parah
(kurang dari 50 × 109/L) trombositopenia. Meskipun perdarahan spontan yang
signifikan secara klinis biasanya tidak terjadi sampai jumlah trombosit kurang dari
10×109/L - 20×109/ L, pasien sirosis dengan atau tanpa kanker sering memerlukan
banyak prosedur medis dan / atau bedah selama diagnosis dan terapi.18
Kondisi trombositopenia dapat memperburuk perdarahan bedah atau trauma
dan juga dapat secara signifikan mempersulit perawatan rutin pasien, seperti

38
biopsi hati, terapi antivirus, dan secara medis diindikasikan atau operasi elektif
untuk pasien sirosis, yang mengakibatkan tertundanya atau dibatalkannya
manajemen medis dan memengaruhi administrasi yang efektif. Tingkat
trombositopenia telah terbukti menjadi penanda prognostik yang berguna pada
pasien sirosis karena temuan trombositopenia berat (<50 × 109 / L) pada penyakit
hati dapat dikaitkan dengan morbiditas yang signifikan. Selain itu, penurunan
jumlah trombosit sering dapat menjadi petunjuk diagnostik untuk sirosis yang
tidak terduga dan adanya varises esofagus. Beberapa faktor, termasuk sekuestrasi
limpa, aktivitas trombopoietin (TPO) hematopoietik yang berkurang, koagulopati
sirosis tulang, penekanan sumsum tulang sirosis oleh infeksi HCV kronis dan
agen anti kanker, dan pengobatan antivirus dengan terapi berbasis interferon
(IFN), dapat berkontribusi untuk pengembangan trombositopenia pada pasien
sirosis.18
Mekanisme utama untuk trombositopenia pada sirosis hati adalah
(1) Sekuestrasi platelet dalam limpa.
(2) Penurunan produksi TPO di hati. Trombositopenia telah diperkirakan timbul
akibat peningkatan pengumpulan trombosit dalam limpa yang membesar
(splenomegali) atau yang disebut dengan “Hypersplenism”.18,19
Namun, beberapa penelitian menunjukkan beberapa pasien usia lanjut penyakit
hati dan trombositopenia merespon dengan peningkatan produksi sumsum tulang
platelet. Selain itu, prosedur dekompresi portal,baik dengan pisau bedah atau
transjugular shunt portosystemic intrahepatik (TIPS), belum menimbulkan
peningkatan trombosit secara konsisten. Satu-satunya prosedur yang dapat
mengatasi trombositopenia penyakit hati adalah transplantasi hati ortotopik
(OLT). Thrombopoietin (TPO) beberapa tahun terakhir dapat dikloning dan
diidentifikasi sebagai sitokin primer yang terlibat dalam pematangan
megakaryocytes dan pembentukan trombosit. Konsentrasi TPO serum berbanding
terbalik dengan konsentrasi trombosit pada pasien dengan gangguan
hematopoietik ditandai dengan penurunan megakaryocytes di sumsum tulang.
Tingkat ekspresi mRNA untuk TPO tinggi di hati menunjukkan bahwa ini adalah
sumber utamanya sintesis. Kekurangan produksi TPO bisa menjadi penyebabnya
untuk trombositopenia pada sirosis.19

39
2.7 Hipokalsemia
Hipokalsemia didefinisikan sebagai konsentrasi kalsium serum total <8,8
mg/dL (<2,20 mmol/L), konsentrasi protein plasma normal atau sebagai
konsentrasi kalsium serum terionisasi serum <4,7 mg/dL (<1,17 mmol/L).
Hipokalsemia bisa didapat atau kongenital. Penyebab yang didapat termasuk
berbagai penyakit (misalnya, hipoparatiroidisme, penyakit hati, penyakit ginjal),
diet, obat-obatan, dan pembedahan. Gambaran klinis hipokalsemia sangat
bervariasi, dari yang asimptomatik hingga yang mengancam jiwa. Hipokalsemia
sering dijumpai pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Tergantung pada
penyebabnya, kedaruratan hipokalsemik yang tidak disadari atau diobati dengan
buruk dapat menyebabkan morbiditas atau kematian yang signifikan. Pasien yang
menunjukkan grjala disertai dengan temuan klinis klasik hipokalsemia akut
membutuhkan resusitasi dan evaluasi segera. Namun, sebagian besar kasus
hipokalsemia ditemukan oleh kecurigaan klinis dan pengujian laboratorium yang
sesuai.20
False hipokalsemia harus dikeluarkan sebelum diagnosis hipokalsemia
dapat dilakukan dengan mengoreksi kalsium untuk hipoalbuminemia atau
langsung mengukur kadar kalsium terionisasi. Formula yang paling umum
digunakan untuk koreksi adalah menambahkan 0,8 mg/dL ke total level serum
kalsium untuk setiap penurunan 1 gram serum albumin di bawah 4 g/dL. Namun,
lebih baik mengukur kalsium terionisasi secara langsung jika tes ini tersedia.
Waktu hipokalsemia penting. Hipokalsemia yang telah terjadi dalam waktu lama
menunjukkan hipoparatiroidisme atau pseudohipoparatiroidisme.20,21
Hipokalsemia sangat umum pada pasien di unit perawatan intensif, dengan
kejadian sekitar 80%. Ada beberapa alasan mengapa pasien ini mengalami
hipokalsemia: penyakit ginjal akut atau gagal ginjal kronis (CKD), obat-obatan,
transfusi dengan darah sitrat, studi radiologi menggunakan pewarna kontras yang
mungkin mengandung etlyenediaminetetra-acetic acid (EDTA), hipomagnesemia
dan sepsis. Hipokalsemia adalah tanda prognostik yang buruk pada pasien dengan
penyakit kritis.20

40
Pengobatan hipokalsemia tergantung pada penyebabnya, keparahannya,
adanya gejala, dan seberapa cepat hipokalsemia berkembang. Sebagian besar
kasus hipokalsemia ringan secara klinis dan hanya memerlukan perawatan
suportif dan evaluasi laboratorium lebih lanjut. Penambahan kalsium oral dapat
diindikasikan untuk perawatan rawat jalan pada kasus-kasus ringan. Kadang-
kadang, hipokalsemia berat dapat menyebabkan kejang, tetani, hipotensi refrakter,
atau aritmia yang memerlukan pendekatan yang lebih agresif, termasuk infus
kalsium intravena.20

2.8 Hipernatremia
Hipernatremia jarang terjadi dan juga terkait dengan prognosis yang
merugikan. Hipernatremia biasanya mengikuti hipotonik kehilangan cairan karena
diuresis osmotik (glikosuria) atau diare yang diinduksi laktulosa. Manifestasi
klinis utama dari disnatremia disebabkan oleh efeknya pada sistem saraf pusat:
hiperhidrasi sel astroglial mengikuti hiponatremia (kelainan yang memperburuk
neurotoksisitas ammonia) sedangkan kelainan yang berlawanan terjadi dengan
hipernatremia. Hipernatremia berat adalah suatu kondisi neurotoksik, sehingga
membutuhkan penanganan segera. Pasien hipernatremia memiliki risiko terjadi
perubahan status mental Kondisi hipernatremia mengindikasikan adanya defisit
cairan, hal tersebut dapat diperbaiki melalui penggantian cairan.15 Defisit cairan
dapat dihitung menggunakan peritungan: (total berat badan) × ((natrium 1-
serum) / 140)). Total berat badan sulit untuk memperkirakan pada pasien dengan
sirosis tetapi secara konservatif (0,4 hingga 0,6) × (kilogram). Kami menyarankan
untuk menggunakan 0,4 untuk pasien yang tidak sadar.22

41
Gambar 8. Algoritma untuk manajemen hipernatremia
Hipernatremia simptomatik ringan sebagian besar dikelola dengan
mengoreksi endapan faktor dan pembatasan cairan non-osmotik. Penarikan
diuretik dan ekspansi volume plasma diperlukan pada hipernatremia hipovolemik.
Penangann yang cepat, penghilangan faktor pencetus dan pemberian cairan non-
osmotik merupakan andalan manajemen hipernatremia. Koreksi yang terlalu cepat
pada hipernatremia jangka panjang (long standing hypernatremia) dapat
menyebabkan edema serebral dan harus dilakukan dihindari. Penangan
hipernatremia tergantung pada jenis hipernatremia. Pada hipernatremia akut yang
berkembang selama beberapa jam, diperlukan koreksi cepat (pengurangan
konsentrasi natrium serum hingga 1-2 mmol / L / jam) dapat ditargetkan, karena
risiko edema serebral yang diinduksi oleh pengobatan. rendah. Sebaliknya,
hipernatremia dengan durasi yang lebih lama atau tidak diketahui membutuhkan
tingkat koreksi yang lebih rendah (0,5 mmol /L/ jam) dengan penurunan harian
yang ditargetkan sebesar 10 mmol/L/ 24 jam hingga tingkat konsentrasi natrium
serum 145 mmol / L tercapai. Terjadinya kejang harus ditangani seperti yang
dijelaskan di atas untuk pasien dengan hiponatremia. Cairan hipotonik, seperti air
murni atau glukosa 5%, harus diberikan, lebih disukai secara oral atau melalui
feeding tube. Namun, dalam kasus gangguan sirkulasi yang sering dapat terjadi

42
setelah kehilangan cairan hipotonik, satu setengah atau bahkan 0,9% saline
isotonik intravena diindikasikan sampai stabilisasi hemodinamik.15
Tabel 4. Jenis dan penyebab disnatremia pada pasien sirosis

43
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and


assessment of severity: Vitamin and Mineral Nutrition Information. In
2011.
2. Chapman RW AP. Textbook of hepatology from basic science to clinical
practice. Blackwell Publishing; The effect of liver disease on the
gastrointestinal tract. 2007. 267-79. p.
3. Hoffbrand A V. MP 6th ed. Kapita Selekta Hematologi. F S, editor. Jakarta:
EGC; 2013.
4. Procopet B BA. Diagnosis of cirrhosis and portal hypertension: imaging,
non-invasive markers of fibrosis and liver biopsy. Gastroenterol Rep.
2017;5(2):79–89.
5. Chou R WN. Blood tests to diagnose fibrosis or cirrhosis in patients with
chronic hepatitis C virus infection: a systematic review. Ann Intern Med.
2013;158:807–20.
6. Liver EA for the S of the. Clinical Practice Guidelines EASL 2017 Clinical
Practice Guidelines on the management of hepatitis B virus infection q
Clinical Practice Guidelines. J Hepatol. 2017;xxx(0).
7. Pyrsopoulos, N. T., Reddy, K. R., Talavera, F., Anand, B. & Wu GYM.
Hepatitis B. 2018.
8. Bari K G-TG. Treatment of portal hypertension. World J Gastroenterol.
2012;18(11):1166–75.
9. Pusat IPJ. Buku Ajar : Ilmu Penyakit Dalam. 2014.
10. Moore KP, Aithal GP. Guidelines on the management of ascites in cirrhosis.
2006;1–12.
11. Oey RC, Buuren HR Van, Man RA De. The diagnostic work-up in patients
with ascites : current guidelines and future prospects. 2016;(8):330–5.
12. Guidelines CP. Clinical Practice Guidelines OF HEPATOLOGY EASL
Clinical Practice Guidelines for the management of patients with
decompensated cirrhosis q Clinical Practice Guidelines. 2018;xxx(March).

42
13. Guidelines CP. Clinical Practice Guidelines EASL clinical practice
guidelines on the management of ascites , spontaneous bacterial peritonitis ,
and hepatorenal syndrome in cirrhosis Clinical Practice Guidelines.
2010;53(May):397–417.
14. Examination P, Paracentesis T. Diagnosis and Management of Ascites
Evaluation of Ascites. 2020;
15. Bernardi M, Zaccherini G. Approach and management of dysnatremias in
cirrhosis. Hepatol Int [Internet]. 2018;6. Available from:
https://doi.org/10.1007/s12072-018-9894-6
16. Bernardi M, Maggioli C, Zaccherini G. Human albumin in the management
of complications of liver cirrhosis. 2012;
17. Walayat S, Martin D, Patel J, Ahmed U, Muhammad N, Pai AU, et al. Role
of albumin in cirrhosis : from a hospitalist ’ s perspective. J Community
Hosp Intern Med Perspect [Internet]. 2017;7(1):8–14. Available from:
http://dx.doi.org/10.1080/20009666.2017.1302704
18. Hayashi H, Beppu T, Shirabe K, Maehara Y, Baba H. Management of
thrombocytopenia due to liver cirrhosis : A review. 2014;20(10):2595–605.
19. Goulis J, Chau TN, Jordan S, Mehta AB, Watkinson A, Rolles K, et al.
Thrombopoietin concentrations are low in patients with cirrhosis and
thrombocytopenia and are restored after orthotopic liver transplantation.
1999;754–8.
20. Shoback DM, Bilezikian JP, Costa AG, Dempster D, Dralle H, Khan AA et
al. Presentation of Hypoparathyroidism: Etiologies and Clinical Features. J
Clin Endocrinol Metab. 2016;101 (6):2300-12.
21. Goyal A SS. Hypocalcemia. 2019.
22. Lizaola B, Bonder A, Tapper EB, Mendez-bocanegra A, Cardenas A. The
Changing Role of Sodium Management in Cirrhosis. Curr Treat Options
Gastroenterol [Internet]. 2016;274–84. Available from:
http://dx.doi.org/10.1007/s11938-016-0094-y

43

Anda mungkin juga menyukai