Disusun Oleh:
Junnaeni
22010118220181
Pembimbing:
dr. Hesti Triwahyu Hutami, Sp.PD
Residen Pembimbing:
dr. R. Adhytia Pradiartha
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB I LAPORAN KASUS.................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................44
iii
BAB I
LAPORAN KASUS
Nama Pasien : Tn NK
Jenis kelamin : Laki-Laki
Umur : 35 tahun (05/08/1984)
Alamat : Bangsri, Jepara, Jawa Tengah
Agama : Islam
Pendidikan : Tamat SMP
Pekerjaan : Pegawi Swasta
Status pernikahan : Menikah
Ruang : Rajawali 6B
Masuk RS : 31 Januari 2020
No CM : C802058
Pembiayaan : JKN non PBI
2
hari sejak tahun 2015 dan berhenti 6 bulan yang lalu. Pasien tinggal satu
rumah dengan istri dan 2 anak yang belum mandiri. Biaya pengobatan:
JKN non PBI. Kesan sosial ekonomi cukup.
B. OBJEKTIF
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 05 Februari 2020 pukul 16.15
WIB di Bangsal Rajawali 6B.
Keadaan umum : Lemah
Kesadaran : Composmentis, GCS = 15 (E4M6V5)
Tanda-tanda vital :
Tekanan Darah :110/70mmHg
Nadi : 70 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Frekuensi Napas : 22 x/menit, reguler
Suhu Axilla : 37,00 C
SpO2 : 99%
Status Gizi :
Berat Badan : 60 kg
Tinggi : 165 cm
IMT : 22,04 kg/m2
Kesan : Normoweight
Kepala : Mesosefal
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (+/+), perdarahan
subkonjungtiva (-/-)
Telinga: Discharge (-/-), nyeri tekan tragus (-/-)
Hidung : Epistaksis (-), discharge (-)
Mulut : Sianosis (-), mukosa kering (-), atrofi papil lidah (-),
stomatitis (-), gusi berdarah (-)
Kulit : Turgor kulit cukup, ikterik (-)
Leher : JVP R+4 cm, deviasi trakea (-), pembesaran limfonodi (-),
pembesaran tiroid (-)
Axilla : Rambut ketiak rontok (-), pembesaran limfonodi (-)
3
Dada : Bentuk normal, retraksi (-), sela iga tidak melebar (-),
spider naevi (-), simetris saat statis dan dinamis, atrofi
m.pectoralis mayor (-)
Paru-paru
Paru depan
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : Stem fremitus hemithoraks dekstra=sinistra
Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru
Auskultasi : SD vesikuler (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Paru belakang
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)
Palpasi : Stem fremitus hemithoraks dekstra=sinistra
Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru
Auskultasi : SD vesikuler (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tak tampak
Palpasi : iktus kordis teraba di SIC V 2 cm medial linea
Midclavicularis sinistra, sternal lift (-), pulsasi
epigastrik (-), pulsasi parasternal (-), thrill (-)
Perkusi :
Batas atas : SIC II linea parasternal sinistra
Batas kanan : linea parasternalis dextra
Batas kiri : SIC V linea 2 cm midclavicularis sinistra
Auskultasi : BJ I-II murni, bising (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : cembung, scar (-), venektasi (-), caput medusa (-)
Auskultasi : BU (+) normal, bruit hepar sulit dinilai
Perkusi : timpani, pekak sisi (+) meningkat, pekak alih (+), liver
4
span 8 cm, area traube pekak
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien teraba di
shuffner 2, undulasi (+)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
5
Bilirubin Indirect 2,46 mg/dL 0,1 - 0,5 H
Total Protein 7,6 g/dL 6,4 - 8,2
Albumin 2,2 g/dL 3,4 - 5,0 L
Globulin 5,4 g/dL 2,3 - 3,5 H
Ureum 13 mg/dL 15 – 39 L
Kreatinin 0,68 mg/dL 0,6 - 1,3
Magnesium 0,77 mmol/L 0,74 - 0,99
Calsium 1,88 mmol/L 2,12 - 2,52 L
Natrium 151 mmol/L 136 – 145 H
Kalium 3,7 mmol/L 35 - 5,0
Chlorida 101 mmol/L 95 – 105
KOAGULASI
Plasma Prothrombin Time
(PPT)
Waktu Prothrombin 20,0 detik 9,4 - 11,3 H
PPT Kontrol 11,3 detik
Partial thromboplastin Time
(PTTK)
Waktu Thromboplastin 58,5 detik 27,7 - 40,2 H
APTT Kontrol 31,2 detik
AST 93 (U/L)
Batas atas normal AST (U/L) = 34 (U/L) = 2,1
Hitung trombosit (1000/ul) 112 (1000/ul)
Nilai APRI: >1 memiliki sensitivitas 76% dan spesifitas 72% dalam deteksi
sirosis.
Kriteria Nilai
1 2 3
Bilirubin total <2 2-3 >3
(mg/dl)
Serum albumin >3,5 2,8-3,5 <2,8
(g/dl)
Prothrombin time <4 4-6 >6
prolongation
(detik)
Ascites Tidak ada Mild (atau Moderate-severe
dapat diatasi (tidak dapat
dengan obat) diatasi dengan
obat/refrakter)
6
Ensefalopati Tidak ada Grade I-II Grade III-IV
Hepatikum
PEMERIKSAAN HASIL
7
Irama Sinus
Frekuensi 62 x/menit, reguler
Axis Normal
Gelombang P P mitral (-), P pulmonal (-)
PR interval 0,20 detik
QRS complex 0,08 detik, VES (-)
Q patologis (-)
Segmen ST Isoelektrik
Gelombang T T Tall (-), T inverted (-)
Kriteria hipertrofi S di V1/V2 + R di V5/V6 <35
Kesan Normo sinus ritme
8
Cor : CTR < 50%
Bentuk dan letak jantung normal
Pulmo : Corakan vaskular tampak normal
Tak tampak bercak maupun nodul pada kedua lapangan paru
Hemidiafragma kanan setinggi costa 7 posterior
Sinus costrofrenikus kanan kiri lancip
Kesan :
- Cor tak membesar
- Pulmo tak tampak kelainan
5. Pemeriksaan USG Abdomen di RSI Jepara 19/10/2019
9
Kesan:
Hepatomegali dengan fatty liver grade 3
Splenomegali
Tak tampak efusi maupun ascites
10
11
Interpretasi
Hepar : ukuran tak membesar (ukuran ±9,6 cm), parenkim kasar,
tepi irregular, tak tampak nodul, v.porta tak melebar
(ukuran ±1.2 cm), v.hepatika tak melebar (±0,6 cm)
Duktus biliaris : intra dan ekstra hepatal tak melebar
Vesika felea : ukuran normal, dinding tak menebal, tak tampak batu,
tak tampak sludge.
Pankreas : parenkim homogen, tak tampak massa maupun kalsifikasi.
Ginjal kanan : bentuk dan ukurna normal, batas kortikomeduler jelas, tak
tampak penipisan korteks, tak tampak batu, PCS tak
melebar, ureter proksimal tak melebar.
Ginjal kiri : bentuk dan ukuran normal, batas kortikomeduler jelas,
tak tampak penipisan korteks, tak tampak batu, PCS tak
melebar, ureter proksimal tak melebar.
Lien : tampak membesar (ukuran ± 15.3 cm), tak tampak massa,
v.lienalis tak melebar (ukuran ±0,8 cm).
Aorta : tak tampak nodul paraaorta
Vesika urinaria : dinding tak menebal, permukaan rata, tak tampak batu,
tak tampak massa.
Prostat : tak tampak jelas struktur prostat.
Tampak cairan bebas perihepatik, perilienalis, paravesica urinaria
Tak tampak cairan supradiafragma kanan kiri
Kesan
- Ascites
12
- Parenkim hepar kasar dengan tepi irregular proses kronik hepar,
cenderung sirosis hepatis.
- Spenomegaly
- Tak tampak kelainan lain pada sonografi organ-organ intraabdomen di atas
13
1.4 ANALISIS SINTESIS
3,4,5,6,7,9,11,12,14,15,17,18,19,20,21,22,23,25,26,29 Sirosis hepatis
5,8,16,17,18,19,20,21,24,28 Hepatitis B Kronik
2,13 Anemia sedang normositik normokromik
1,2,10,22,29 Ascites grade 2
2,3,22,27 Hipoalbuminemia
27 hipernatremia
2,3,30 hipokalsemia
14
IpRx : Spironolakton 100mg/24 jam PO
IpMx : Penurunan BB, lingkar perut, balance cairan, output urin
IpEx :
• Menjelaskan kepada pasien bahwa akan dilakukan pemeriksaan
pengambilan cairan di perutnya.
• Menjelaskan kepada pasien komplikasi yang mungkin terjadi
setelah dilakukan pungsi.
3. Hepatitis B Kronik
Assessment : Status infeksi (viral load, status replikasi virus)
IpDx : HBV DNA, HbeAg
IpRx : Entekavir tablet salut 0,5 mg 1 tablet tiap 24 jam
Asam ursodeoksikolat kapsul 250 mg 1 tablet tiap 12 jam
Inf Triofusin 12 tpm
IpMx : Darah rutin, SGOT, SGPT, albumin, studi koagulasi
IpEx :
• Menjelaskan kepada pasien bahwa pasien terkena penyakit hati
akibat infeksi virus hepatitis B.
15
• Mengedukasi pasien tidak boleh untuk bertukar sikat gigi, gunting
kuku, jarum suntik dan alat-alat lainnya, serta perlu menutup luka
apabila terdapat luka.
• Menjelaskan kepada pasien mengenai keuntungan dan efek
samping terapi Entekavir.
• Menjelaskan kepada pasien bahwa dapat terjadi komplikasi dari
penyakit hepatitis B yang kronik, seperti sirosis dan kanker
hepatoseluler.
• Menjelaskan kepada pasien pentingnya skrining HBsAg dan
pencegahan dengan vaksin pada keluarga yang tinggal satu rumah
dengan pasien untuk memutus rantai transmisi HBV.
4. Anemia Sedang Normositik Normokromik (Hb 9,4 mg/dl)
Assessment : Penyakit Kronik
Perdarahan
IpDx : Pemeriksaan retikulosit, GDT, hitung jenis
IpRx :-
IpMx : Keadaan umum, tanda vital, saturasi oksigen, tanda-tanda
perdarahan
IpEx :
• Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien mengenai
kemungkinan penyebab dari kekurangan darah yang dialami oleh
pasien
• Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa akan dilakukan
pemeriksaan darah untuk mengetahui penyebab kekurangan darah
16
• Menjelaskan kepada pasien untuk diet rendah garam.
7. Hipokalsemia (1,88mmol/L)
Assesment : sekunder problem 2
Intake kalsium tidak adekuat
IpDx :-
IpRx : Koreksi albumin dengan perhitungan (3,5x2,2) x0,8x60: 67
gram 3 fl albumin 20% 100 cc
IpMx : Keadaan umum, tanda-tanda vital, cek elektrolit post koreksi
albumin
IpEx :
• Menjelaskan kepada pasien untuk mengkomsi makanan tinggi
kalsium seperti susu, kacang-kacangan, makanan laut.
• Menjelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai akibat dari
hipokalsemia seperti kesemutan pada tangan atau kaki, kram otot
pada punggung atau kaki.
• Menghabiskan makanan yang disediakan rumah sakit.
8. Hipernatremia
Assesment : Gastrointestinal loss sekunder problem 2
Intake cairan yang tidak adekuat
Renal loss
IpDx : -
IpRx :-
17
IpMx : Keadaan umum, tanda-tanda vital, intake cairan, output urin, cek
elektrolit ulang
IpEx :
• Menjelaskan kepada pasien untuk minum air yang cukup,
mengetahui tanda-tanda kekurangan cairan sedini mungkin.
A : Hipoalbuminemia
P :
IpRx : 3 fl albumin 20% 100cc IV
IMx : Keadaan umum, tanda-tanda vital, cek darah rutin,
monitoring albumin post koreksi
IEx :
• Menjelaskan kepada pasien untuk diet rendah garam.
05 Februari 2020
Problem 5. Hipoalbuminemia (2,3 g/dl)
S : lemas (+), mual (+)
O : TD : 100/70 mmHg, HR: 72x/menit
RR : 20x/menit, Suhu: 37,20 C
18
Sewaktu
LDH 302 U/L 120-246 H
Tota protein 7,2 g/dl 6,4-8,2
Albumin 2,6 g/dl 3,4-5,0 L
A : Hipoalbuminemia
P :
Ip Rx : 3 fl albumin 20% 100cc IV
Ip Mx : Keadaan umum, tanda-tanda vital, cek darah rutin,
monitoring albumin post koreksi
Ip Ex :
• Menjelaskan kepada pasien untuk diet rendah garam.
19
Kuman Tidak ditemukan kuman
Pewarnaan Jamur
Yeast Cell (-)/ negative
10 Februari 2020
Problem 2. Sirosis Hepatis dengan Child Pugh C
S : lemas (+), mual (+)
O : TD : 100/70 mmHg, HR: 72x/menit
RR : 20x/menit, Suhu: 37,20 C
Pemeriksaan Esofagogastroduodenoscopy (EGD) di RSDK tanggal 10/02/2020
Interpretasi
ESOFAGUS :
Mukosa utuh, inflamasi (-), varises grd III, Lm-Li, HC (+), RWM (+),
CRS (+), erosi (-), ulkus (-)
GASTER :
20
Antrum : mukosa kemerahan (+), erosi (+), snake skin appearance (-),
ulkus (-)
Fundus : Mukosa kemerahan (+), erosi (+), snake skin appearance (+),
ulkus (-), hiatal hernia (-)
Corpus : mukosa kemerahan (+), erosi (+), snake skin appearance (+),
ulkus (-)
DUODENUM : mukosa utuh, inflamasi (-)
Kesimpulan :
- Varises Esofagus Grade 3 post EVL
21
BAB II
PEMBAHASAN
23
Wanita tidak ≥ 12.0 11.0-11.9 8.0-10.9 < 8.0
hamil (usia di
atas 15 tahun)
Wanita hamil ≥ 11.0 10.0-10.9 7.0-9.9 < 7.0
Pria (usia di atas ≥ 13.0 11.0-12.9 8.0-10.9 < 8.0
15 tahun)
Sumber : WHO. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and
assessment of severity: Vitamin and Mineral Nutrition Information System, 2011
Sumber : Greer JP, Arber DA, Glader B, editors. Disorders of the red cells. In:
Wintrobe’s Clinical Hematology. 13th ed. Philadelphia; 2014. p. 587–10292
24
(a) Anemia mikrositik (b) Anemia normositik (c) Anemia makrositik
Gambar 1. (a) Anemia mikrositik; (b) anemia normositik; (c) anemia makrositik.
Sumber: Hoffbrand A V., Moss PAH. Kapita Selekta Hematologi. 6th ed. (Sandra
F, ed.). Jakarta: EGC; 2013.3
25
Gambar 2. Evaluasi awal pasien anemia3
26
Berdasarkan kriteria diatas maka pasien ini digolongkan menjadi Anemia sedang
normositik normokromik, terlihat pada pemeriksaan darah rutin yang
menunjukkan kadar Hb yang rendah (9,4 gr %), serta MCH (29,2 Pg) dan MCV
(87,9 fL) normal. Assesment yang digunakan adalah anemia penyakit kronik yang
disebabkan oleh penyakit hepar kronik yang diderita pasien.
27
pasien gagal mengontrol HBV dan berlanjut menjadi HBeAg-negatif CHB.
c. Fase 3: infeksi HBV kronis HBeAg-negatif, sebelumnya dinamakan fase
inaktif, ditandai dengan adanya serum antibodi terhadap HBeAg (anti-Hbe),
level HBV DNA yang rendah tidak terdeteksi (<2.000 IU/ml) dan ALT yang
normal (ULN ~40 IU/L). Namun, Beberapa penderita pada fase ini
mempunyai level HBV DNA >2.000 IU/ml (biasanya <20.000 IU/ml) dengan
ALT normal dan nekroinflamasi hati yang minimal dan fibrosis minimal.
Penderita-penderita fase ini beresiko rendah berlanjut ke Hepato Celullar
Carcinoma (HCC) bila tetap berada di fase ini. Namun, progresi ke CHB,
biasanya pada penderita HBeAg-negatif, dapat terjadi.
d. Fase 4: Hepatitis B Kronis (CHB) HBeAg-negatif ditandai dengan sedikitnya
serum HBeAg dan biasanya dengan terdeteksinya anti-Hbe, dan tetap atau
fluktuasi sedang sampai tinggi level serum HBV DNA (biasanya lebih rendah
dari penderita HBeAg-positif), sama halnya dengan nilai ALT yang
meningkat. Pada fase ini remisi penyakit yang spontan jarang terjadi.
e. Fase 5: fase HbsAg-negatif ditandai dengan serum HbsAg yang negatif dan
antibodi terhadap HbcAg (anti-HBc) yang positif, dengan atau tanpa
antibodi terhadap HbsAg (anti-HBs). Fase ini dikenal juga dengan “occult
HBV infection”. Pasien pada fase ini mempunyai nilai ALT normal dan
biasanya serum HBV DNA yang tidak terdeteksi.
Gambar 4. Fase infeksi HBV kronis8
28
Gambar 5. Perbedaan pemeriksaan laboratorium pada infeksi HBV kronik dan
kronik hepatitis B8
Gambaran klinis hepatitis B kronis sangat bervariasi. Pada banyak kasus tidak
dapat ditemukan keluhan maupun gejala dan pemeriksaan tes faal hati normal.
Pada sebagian lagi didapatkan hepatomegali atau bahkan splenomegali atau tanda
tanda penyakit hati kronis lainnya, misalnya eritema palmaris dan spider naevi,
serta pemeriksaan laboratorium sering didapatkan kenaikan konsentrasi ALT
walaupun hal itu tidak sering didapatkan. Pada umumnya ditemukan konsentrasi
bilirubin yang normal. Konsentrasi albumin juga normal kecuali pada kasus kasus
yang lebih parah. Secara sederhana manifestasi klinis Hepatitis B kronis dibagi
menjadi 2 yaitu: 6
HbsAg positif dengan DNA HBV lebih dari 105kopi/ml dan didapatkan
kenaikan ALT yang menetap atu intermitten. Menurut status HbeAg pasien
dikelompokan menjadi hepatitis B kronis HbeAG positif dan Hepatitis B
kronis HbeAg negatif.
Pada kelompok ini HbsAg positif dengan titer DNA yang rendah yaitu < 105
kopi/mL. Pada pasien menunjukan konsentrasi ALT yang normal dan tidak
29
didapatkan keluhan. Pasien dengan penyakit hepatitis B kronis bisa terjadi
toleransi sistem imun atau pasien memiliki infeksi kronis yang inaktif tanpa
adanya tanda penyakit tersebut aktif, biasanya asimptomatik
30
c. Penderita dengan HBV DNA >20.000 IU/ml dan ALT >2x ULN, berapapun
derajat fibrosisnya. Penderita dengan infeksi HBeAg-positif HBV kronis,
yang ditandai dengan ALT yang normal dan tingginya level HBV DNA
diterapi jika umurnya lebih dari 30 tahun. 8,9
31
2.3 Sirosis Hepar
Sirosis hepar adalah keadaan dimana sel hepatosit hepar digantikan dengan
jaringan parut akibat adanya kerusakan hati yang bersifat kronik. Secara umum
gejala dari sirosis hepar adalah penurunan dari fungsi hepar contohnya adalah
adanya gangguan koagulasi, hipertensi porta, berkurangnya fungsi detoksifikasi
dari hepar. Pada kasus ini, pasien sudah menjalani pemeriksaan USG abdomen
di RSDK tanggal 03 Februari 2020. Dari hasil pemeriksaan tersebut didapatkan
bahwa pasien mengalami sirosis hepar dengan splenomegali. Saat ini pada
pasien ditemukan adanya penurunan fungsi dari hepar. Hal ini terlihat pada
pemeriksaan fisik dimana ditemukan adanya sklera ikterik dan peningkatan JVP,
namun tidak ada palmar eritem, caput medusa,dan venektasi. Pada pemeriksaan
laboratorium juga ditemukan adanya peningkatan dari enzim hepar dan
bilirubin.6,7
32
prediktif negative untuk terjadinya sirosis. Pada pasien didapatkan skor APRI >
2,1 dengan prediksi terjadi sirosis hepatis.10
Sirosis hepar merupakan tahap akhir proses difus fibrosis hepar progresif
yang ditandai oleh distorsi arsitektur hati dan pembentukan nodul degeneratif.
Gambaran morfologi dari sirosis hepar meliputi fibrosis difus, nodul regeneratif,
perubahan arsitektur lobular, dan pembentukan hubungan vaskular intrahepatik
pembuluh darah hati aferen (vena porta dan vena hepatika) dan eferen (vena
hepatika. Secara klinis/fungsional sirosis hepar dibagi menjadi:4,5
Salah satu tanda sirosis hepatis yaitu hipertensi porta. Hipertensi porta
memiliki berbagai manifestasi klinis, diantaranya yaitu varises esofagus. Varises
esofagus adalah terjadinya distensi vena submukosa yang diproyeksikan ke dalam
lumen esofagus pada pasien dengan hipertensi porta. Hipertensi portal adalah
peningkatan tekanan aliran darah portal lebih dari 10 mmHg yang menetap,
sedangkan tekanan dalam keadaan normal sekitar 5 –10 mmHg. Varises esofagus
merupakan bentuk kompensasi bila aliran dari vena porta menuju ke vena cava
inferior terganggu. Kolateral ini sangat berbahaya karena sangat rawan pecah dan
menyebabkan perdarahan.8
33
Hipertensi porta dapat memicu pembentukan vena kolateral, gangguan
biokimia (meningkatkan produksi dari vasokonstriktor, vascular endhothelial
Growth Factor, NO, dan vasodilator lainnya) dan adanya kelainan fungsional
(seperti peningkatan volume plasma dan peningkatan cardiac output dari jantung)
dimana ketiga hal ini berperan dalam pembentukan dari varises esofagus.8
Derajat dari varises esofagus berdasarkan hasil esofagogastroduodenoskopi
(EGD) dibagi dalam tiga kategori8, yaitu :
- Grade 1 : varises esofagus kecil dan lurus
- Grade 2 : varises esofagus yang lebih besar dan berliku namun tidak
menutupi sepertiga lumen
- Grade 3 : varises esofagus besar “coil shapped” dan menutupi lebih dari
sepertiga lumen
Varises esofagus pada pasien ini adalah varises esofagus grade III yang
ditemukan berdasarkan hasil esofagogastroduodenoskopi (EGD).
Pada anamnesis juga perlu ditanyakan, riwayat penyakit hati kronis, riwayat
dispepsia, riwayat mengkonsumsi NSAID, obat rematik, alkohol, jamu-jamuan,
obat untuk penyakit jantung, dan obat stroke. Kemudian ditanya riwayat penyakit
ginjal, riwayat penyakit paru dan adanya perdarahan ditempat lainnya. Hal – hal
tersebut perlu ditanyakan untuk dapat mengetahui penyebab dari perdarahan
saluran cerna bagian atas oleh karena ruptur variseal atau non variseal.8,9
Dalam prosedur diagnosis, pemeriksaan endoskopi merupakan gold standard.
Tindakan endoskopi selain untuk diagnostik dapat dipakai pula untuk terapi.
Prosedur ini tidak perlu dilakukan segera (bukan prosedur emergensi), dapat
dilakukan dalam kurun waktu 12 - 24 jam setelah pasien masuk dan keadaan
hemodinamik stabil. Tidak ada keuntungan yang nyata bila endoskopi dilakukan
dalam keadaan darurat. Dengan pemeriksaan endoskopi, lebih dari 95% pasien -
pasien dengan hematemesis, melena atau hematemesis – melena dapat ditentukan
lokasi perdarahan dan penyebab perdarahannya.8
Lokasi dan sumber perdarahan : 8
- Esofagus : Varises, erosi, ulkus, tumor
- Gaster : Erosi, ulkus, tumor, polip, angiodisplasia, dilafeuy, varises,
- gastropati kongestif
34
- Duodenum : Ulkus, erosi, tumor, diverticulitis
Salah satu manifestasi lain yang dapat timbul akibat hipertensi porta adalah
gastropati hipertensi porta (GHP) seperti yang ditemui pada pasien ini. GHP
sering dijumpai pada lambung bagian fundus dan corpus, serta jarang ditemui
pada bagian antrum. Diagnosis GHP dibuat berdasarkan pemeriksaan endoskopi.
GHP terjadi sebagai manifestasi klinis dari hipertensi portal sirotik atau nonsirotik
yang secara klinis dapat menyebabkan perdarahan akut. Hal ini dapat
menyebabkan kehilangan darah yang masif.8
2.4 Ascites
35
dengan ascies umumnya harus dipertimbangkan untuk dilakukan transplantasi
hepar.12
Perkembangan ascites pada kasus sirosis hepatis mengindikasikan prognosis
yang jelek. Tingkat mortalitas yaitu ±40% pada 1 tahun dan 50% pada 2 tahun.
Faktor yang paling mungkin berperan dalam memprediksi prognosis yang buruk
adalah hiponatremia, low arterial pressure, peningkatan serum kreatinin, dan
natrium urin rendah. Parameter tersebut tidak terdapat pada Child-Turcotte-Pugh
score (CTP score), hanya serum kreatinin yang termasuk ke dalam Model for end-
stage liver disease (MELD score). Serum kreatinin memiliki kekurangan untuk
menentukan GFR pada pasien sirosis, skor terebut dianggap tidak bermakna untuk
menghitung risiko mortalitas pada pasien sirosis.13
The International Ascites Club mengusulkan pilihan terapi pada pasien ascites
tanpa komplikasi diklasifikan berdasarkan kriteria kuantitatif.
Tabel 4. Grading ascites dan tatalaksana yang dianjurkan13
36
besar dari atau sama dengan 1,1 g / dl (atau 11 g / L), ascites dianggap berasal dari
hipertensi portal dengan perkiraan akurasi 97%. Apabila hasilnya < 1,1 g/dl
mengindikasikan etiologi ascites tidak berhubungan dengan hipertensi portal
tetapi berhubungan dengan keganasan, pankreatitis dan infeksi.11 Tekanan
hidrostatik meningkat antara pembuluh darah portal dan cairan ascites diimbangi
oleh perbedaan yang sesuai dalam kekuatan onkotik. Pada pasien dengan beragam
penyebab ascites, SAAG cenderung menyerupai yang pada ascites transudatif
tanpa komplikasi.14,15
Tatalaksana ascites diantaranya yaitu pembatasan natrium.
Keseimbangan natrium negatif dapat terjadi diperoleh dengan mengurangi
asupan garam di sekitar 10– 20% pasien sirosis dengan ascites, terutama pada
pasien yang datang dengan onset ascites yang baru. Penelitian ini menyatakan
bahwa asupan garam makanan harus dibatasi secara moderat (kurang-lebih 80-120
mmol natrium per hari). Pengurangan yang lebih parah dalam kandungan natrium
makanan dianggap berpotensi merugikan karena dapat merusak nutrisi status.
Tidak ada data untuk mendukung penggunaan profilaksis pembatasan garam pada
pasien yang belum pernah mengalami ascites. Cairan asupan harus dibatasi hanya
pada pasien dengan dilusional hiponatremia.
2.5 Hipoalbumin
Pasien dengan sirosis lanjut hampir selalu memiliki hipoalbuminemia
disebabkan oleh menurunnya sintesis oleh hepatosit dan retensi air dan natrium itu
melarutkan kandungan albumin dalam ruang ekstraseluler. Faktor-faktor lain yang
mungkin berkontribusi pada pengembangan hipoalbuminemia, termasuk
transkapiler yang meningkat tingkat transportasi.16
Sifat onkotik albumin pada sirosis
Penggunaan terapeutik albumin dalam hepatologi sudah ada ke tahun 1960-an
ketika dianggap hipoalbuminemia memiliki peran penting dalam patogenesis
asites, karena perubahan keseimbangan antara forces of starling dalam
mikrosirkulasi intrahepatik. Itu ditemukan bahwa kadar albumin plasma kurang
dari 3 g/L hampir terus berhubungan dengan kehadiran asites, yang tidak
berkembang dengan kadar plasma lebih besar dari 4 g/L. Apalagi tekanan onkotik
37
plasma kurang dari 20 mmHg secara signifikan meningkatkan kemungkinan
berkembang asites di hadapan hipertensi portal. Ini Temuan dapat mendukung
suplementasi dengan eksogen albumin pada pasien dengan asites dan
hipoalbuminemia. Namun, aliran bersih cairan dari kompartemen vaskular ke
interstitium diatur oleh transkapilernya gradien daripada dengan konsentrasi
intravaskularnya sendirian. Ketika gradien antara plasma dan asites Tekanan
onkotik fluida diperhitungkan, tidak korelasi ditemukan dengan tingkat
pembentukan asites, menunjukkan bahwa hipoalbuminemia hanya mencerminkan
penurunan fungsi sintetik hati tanpa memainkan peranan langsung dalam
patogenesis pembentukan asites.16,17
2.6 Trombositopenia
Trombositopenia adalah komplikasi umum pada penyakit hati, dan
trombositopenia terkait penyakit hati sering didefinisikan sebagai jumlah
trombosit <100 × 109/L, termasuk sedang (kurang dari 100 × 10 9/L) dan parah
(kurang dari 50 × 109/L) trombositopenia. Meskipun perdarahan spontan yang
signifikan secara klinis biasanya tidak terjadi sampai jumlah trombosit kurang dari
10×109/L - 20×109/ L, pasien sirosis dengan atau tanpa kanker sering memerlukan
banyak prosedur medis dan / atau bedah selama diagnosis dan terapi.18
Kondisi trombositopenia dapat memperburuk perdarahan bedah atau trauma
dan juga dapat secara signifikan mempersulit perawatan rutin pasien, seperti
38
biopsi hati, terapi antivirus, dan secara medis diindikasikan atau operasi elektif
untuk pasien sirosis, yang mengakibatkan tertundanya atau dibatalkannya
manajemen medis dan memengaruhi administrasi yang efektif. Tingkat
trombositopenia telah terbukti menjadi penanda prognostik yang berguna pada
pasien sirosis karena temuan trombositopenia berat (<50 × 109 / L) pada penyakit
hati dapat dikaitkan dengan morbiditas yang signifikan. Selain itu, penurunan
jumlah trombosit sering dapat menjadi petunjuk diagnostik untuk sirosis yang
tidak terduga dan adanya varises esofagus. Beberapa faktor, termasuk sekuestrasi
limpa, aktivitas trombopoietin (TPO) hematopoietik yang berkurang, koagulopati
sirosis tulang, penekanan sumsum tulang sirosis oleh infeksi HCV kronis dan
agen anti kanker, dan pengobatan antivirus dengan terapi berbasis interferon
(IFN), dapat berkontribusi untuk pengembangan trombositopenia pada pasien
sirosis.18
Mekanisme utama untuk trombositopenia pada sirosis hati adalah
(1) Sekuestrasi platelet dalam limpa.
(2) Penurunan produksi TPO di hati. Trombositopenia telah diperkirakan timbul
akibat peningkatan pengumpulan trombosit dalam limpa yang membesar
(splenomegali) atau yang disebut dengan “Hypersplenism”.18,19
Namun, beberapa penelitian menunjukkan beberapa pasien usia lanjut penyakit
hati dan trombositopenia merespon dengan peningkatan produksi sumsum tulang
platelet. Selain itu, prosedur dekompresi portal,baik dengan pisau bedah atau
transjugular shunt portosystemic intrahepatik (TIPS), belum menimbulkan
peningkatan trombosit secara konsisten. Satu-satunya prosedur yang dapat
mengatasi trombositopenia penyakit hati adalah transplantasi hati ortotopik
(OLT). Thrombopoietin (TPO) beberapa tahun terakhir dapat dikloning dan
diidentifikasi sebagai sitokin primer yang terlibat dalam pematangan
megakaryocytes dan pembentukan trombosit. Konsentrasi TPO serum berbanding
terbalik dengan konsentrasi trombosit pada pasien dengan gangguan
hematopoietik ditandai dengan penurunan megakaryocytes di sumsum tulang.
Tingkat ekspresi mRNA untuk TPO tinggi di hati menunjukkan bahwa ini adalah
sumber utamanya sintesis. Kekurangan produksi TPO bisa menjadi penyebabnya
untuk trombositopenia pada sirosis.19
39
2.7 Hipokalsemia
Hipokalsemia didefinisikan sebagai konsentrasi kalsium serum total <8,8
mg/dL (<2,20 mmol/L), konsentrasi protein plasma normal atau sebagai
konsentrasi kalsium serum terionisasi serum <4,7 mg/dL (<1,17 mmol/L).
Hipokalsemia bisa didapat atau kongenital. Penyebab yang didapat termasuk
berbagai penyakit (misalnya, hipoparatiroidisme, penyakit hati, penyakit ginjal),
diet, obat-obatan, dan pembedahan. Gambaran klinis hipokalsemia sangat
bervariasi, dari yang asimptomatik hingga yang mengancam jiwa. Hipokalsemia
sering dijumpai pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Tergantung pada
penyebabnya, kedaruratan hipokalsemik yang tidak disadari atau diobati dengan
buruk dapat menyebabkan morbiditas atau kematian yang signifikan. Pasien yang
menunjukkan grjala disertai dengan temuan klinis klasik hipokalsemia akut
membutuhkan resusitasi dan evaluasi segera. Namun, sebagian besar kasus
hipokalsemia ditemukan oleh kecurigaan klinis dan pengujian laboratorium yang
sesuai.20
False hipokalsemia harus dikeluarkan sebelum diagnosis hipokalsemia
dapat dilakukan dengan mengoreksi kalsium untuk hipoalbuminemia atau
langsung mengukur kadar kalsium terionisasi. Formula yang paling umum
digunakan untuk koreksi adalah menambahkan 0,8 mg/dL ke total level serum
kalsium untuk setiap penurunan 1 gram serum albumin di bawah 4 g/dL. Namun,
lebih baik mengukur kalsium terionisasi secara langsung jika tes ini tersedia.
Waktu hipokalsemia penting. Hipokalsemia yang telah terjadi dalam waktu lama
menunjukkan hipoparatiroidisme atau pseudohipoparatiroidisme.20,21
Hipokalsemia sangat umum pada pasien di unit perawatan intensif, dengan
kejadian sekitar 80%. Ada beberapa alasan mengapa pasien ini mengalami
hipokalsemia: penyakit ginjal akut atau gagal ginjal kronis (CKD), obat-obatan,
transfusi dengan darah sitrat, studi radiologi menggunakan pewarna kontras yang
mungkin mengandung etlyenediaminetetra-acetic acid (EDTA), hipomagnesemia
dan sepsis. Hipokalsemia adalah tanda prognostik yang buruk pada pasien dengan
penyakit kritis.20
40
Pengobatan hipokalsemia tergantung pada penyebabnya, keparahannya,
adanya gejala, dan seberapa cepat hipokalsemia berkembang. Sebagian besar
kasus hipokalsemia ringan secara klinis dan hanya memerlukan perawatan
suportif dan evaluasi laboratorium lebih lanjut. Penambahan kalsium oral dapat
diindikasikan untuk perawatan rawat jalan pada kasus-kasus ringan. Kadang-
kadang, hipokalsemia berat dapat menyebabkan kejang, tetani, hipotensi refrakter,
atau aritmia yang memerlukan pendekatan yang lebih agresif, termasuk infus
kalsium intravena.20
2.8 Hipernatremia
Hipernatremia jarang terjadi dan juga terkait dengan prognosis yang
merugikan. Hipernatremia biasanya mengikuti hipotonik kehilangan cairan karena
diuresis osmotik (glikosuria) atau diare yang diinduksi laktulosa. Manifestasi
klinis utama dari disnatremia disebabkan oleh efeknya pada sistem saraf pusat:
hiperhidrasi sel astroglial mengikuti hiponatremia (kelainan yang memperburuk
neurotoksisitas ammonia) sedangkan kelainan yang berlawanan terjadi dengan
hipernatremia. Hipernatremia berat adalah suatu kondisi neurotoksik, sehingga
membutuhkan penanganan segera. Pasien hipernatremia memiliki risiko terjadi
perubahan status mental Kondisi hipernatremia mengindikasikan adanya defisit
cairan, hal tersebut dapat diperbaiki melalui penggantian cairan.15 Defisit cairan
dapat dihitung menggunakan peritungan: (total berat badan) × ((natrium 1-
serum) / 140)). Total berat badan sulit untuk memperkirakan pada pasien dengan
sirosis tetapi secara konservatif (0,4 hingga 0,6) × (kilogram). Kami menyarankan
untuk menggunakan 0,4 untuk pasien yang tidak sadar.22
41
Gambar 8. Algoritma untuk manajemen hipernatremia
Hipernatremia simptomatik ringan sebagian besar dikelola dengan
mengoreksi endapan faktor dan pembatasan cairan non-osmotik. Penarikan
diuretik dan ekspansi volume plasma diperlukan pada hipernatremia hipovolemik.
Penangann yang cepat, penghilangan faktor pencetus dan pemberian cairan non-
osmotik merupakan andalan manajemen hipernatremia. Koreksi yang terlalu cepat
pada hipernatremia jangka panjang (long standing hypernatremia) dapat
menyebabkan edema serebral dan harus dilakukan dihindari. Penangan
hipernatremia tergantung pada jenis hipernatremia. Pada hipernatremia akut yang
berkembang selama beberapa jam, diperlukan koreksi cepat (pengurangan
konsentrasi natrium serum hingga 1-2 mmol / L / jam) dapat ditargetkan, karena
risiko edema serebral yang diinduksi oleh pengobatan. rendah. Sebaliknya,
hipernatremia dengan durasi yang lebih lama atau tidak diketahui membutuhkan
tingkat koreksi yang lebih rendah (0,5 mmol /L/ jam) dengan penurunan harian
yang ditargetkan sebesar 10 mmol/L/ 24 jam hingga tingkat konsentrasi natrium
serum 145 mmol / L tercapai. Terjadinya kejang harus ditangani seperti yang
dijelaskan di atas untuk pasien dengan hiponatremia. Cairan hipotonik, seperti air
murni atau glukosa 5%, harus diberikan, lebih disukai secara oral atau melalui
feeding tube. Namun, dalam kasus gangguan sirkulasi yang sering dapat terjadi
42
setelah kehilangan cairan hipotonik, satu setengah atau bahkan 0,9% saline
isotonik intravena diindikasikan sampai stabilisasi hemodinamik.15
Tabel 4. Jenis dan penyebab disnatremia pada pasien sirosis
43
DAFTAR PUSTAKA
42
13. Guidelines CP. Clinical Practice Guidelines EASL clinical practice
guidelines on the management of ascites , spontaneous bacterial peritonitis ,
and hepatorenal syndrome in cirrhosis Clinical Practice Guidelines.
2010;53(May):397–417.
14. Examination P, Paracentesis T. Diagnosis and Management of Ascites
Evaluation of Ascites. 2020;
15. Bernardi M, Zaccherini G. Approach and management of dysnatremias in
cirrhosis. Hepatol Int [Internet]. 2018;6. Available from:
https://doi.org/10.1007/s12072-018-9894-6
16. Bernardi M, Maggioli C, Zaccherini G. Human albumin in the management
of complications of liver cirrhosis. 2012;
17. Walayat S, Martin D, Patel J, Ahmed U, Muhammad N, Pai AU, et al. Role
of albumin in cirrhosis : from a hospitalist ’ s perspective. J Community
Hosp Intern Med Perspect [Internet]. 2017;7(1):8–14. Available from:
http://dx.doi.org/10.1080/20009666.2017.1302704
18. Hayashi H, Beppu T, Shirabe K, Maehara Y, Baba H. Management of
thrombocytopenia due to liver cirrhosis : A review. 2014;20(10):2595–605.
19. Goulis J, Chau TN, Jordan S, Mehta AB, Watkinson A, Rolles K, et al.
Thrombopoietin concentrations are low in patients with cirrhosis and
thrombocytopenia and are restored after orthotopic liver transplantation.
1999;754–8.
20. Shoback DM, Bilezikian JP, Costa AG, Dempster D, Dralle H, Khan AA et
al. Presentation of Hypoparathyroidism: Etiologies and Clinical Features. J
Clin Endocrinol Metab. 2016;101 (6):2300-12.
21. Goyal A SS. Hypocalcemia. 2019.
22. Lizaola B, Bonder A, Tapper EB, Mendez-bocanegra A, Cardenas A. The
Changing Role of Sodium Management in Cirrhosis. Curr Treat Options
Gastroenterol [Internet]. 2016;274–84. Available from:
http://dx.doi.org/10.1007/s11938-016-0094-y
43