Anda di halaman 1dari 20

EKSAMINASI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 365 K/ PID/

2012

Disusun Untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester


Mata Kuliah Penyelesain Sengketa Medis

Dosen Pengampu :
Dr. Absar Kartabrata., SH., M.Hum.

Oleh :
Rafa Zhafirah Amaani
NPM : 178040014

Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Kesehatan


Pasca Sarjana Universitas Pasundan
Bandung
2018
DAFTAR ISI

Daftar isi…………………………………………………………………………………………..i
BAB 1 Pendahuluan……………………………………………………………………………….1
A. Kasus Posisi……………………………………………………………………….1
BAB II Analisis Fakta dan Yuridis………….………………………...…………………………5

A. Analisis Fakta…………………….……………………………………………….5
B. Analisis Yuridis……………………..…………………………………………...12
BAB III Analisis Kasus………………………………………………………………………….13
BAB IV Penutup……………………………………………………………………………........17
A. Kesimpulan………………………………………………………………………17
Daftar Pustaka…………………………………………………………………………..………..19

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Kasus Posisi

Kejadian yang menimpa dr Ayu berlangsung pada April 2010 lalu. Kala itu, dr Ayu
kala itu bersama rekannya yaitu dr Hendry Simanjuntak dan dr Hendy Siagian sedang
menangani pasien rujukan Puskesmas di daerah Manado. Karena keadaan terdesak, dr
Ayu melakukan tindakan operasi cito secsio sesaria.
Tetapi tindakan itu gagal menyelamatkan pasien. Selang beberapa waktu pasca
kejadian, dr Ayu cs malah mendapat 'undangan' dari kepolisian. Dia dilaporkan oleh
keluarga pasien karena melakukan operasi tanpa izin.
Pada persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Manado, dr Ayu dkk dituntut 10 bulan
penjara. Tapi dr Ayu divonis bebas karena tidak terbukti melakukan
malpraktik.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menangani kasus itu mengajukan kasasi dan
dikabulkan MA lewat putusan yang dikeluarkan pada 18 November 2012 lalu. Kasasi
ini memerintahkan dokter Ayu cs untuk dipenjara selama 10 bulan. Duduk sebagai
ketua majelis kasasi ialah hakim agung Artidjo Alkotsar dibantu Dudu Duswara dan
Sofyan Sitompul sebagai hakim anggota.
Pada tanggal 10 April 2010 pada pukul 22.00 WITA Siska Makatey menjalani
operasi Cito Secsio Sesaria bertempat di Ruangan Operasi Rumah Sakit Umum Prof.
Dr. R. D. Kandouw Malalayang Kota Manado. Dalam operasi tersebut dilakukan oleh
masing-masing dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak
(Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian
(Terdakwa III).

1
2

Bahwa pada waktu melakukan operasi cito secsio sesaria terhadap korban

Siska Makatey yaitu pada saat korban Siska Makatey sudah tidur terlentang di atas

meja operasi kemudian dilakukan tindakan asepsi anti septis pada dinding perut dan

sekitarnya, selanjutnya korban ditutup dengan kain operasi kecuali pada lapangan

operasi dan saat itu korban telah dilakukan pembiusan total.

Selama operasi berlangsung, dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) sebagai dokter yang

melakukan operasi mengiris dinding perut lapis demi lapis sampai pada rahim milik

korban kemudian bayi yang berada di dalam rahim korban diangkat dan setelah bayi

diangkat dari dalam rahim korban, rahim korban dijahit sampai tidak terdapat

pendarahan lagi dan dibersihkan dari bekuan darah, selanjutnya dinding perut milik

korban dijahit.

Adapun dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) sebagai asisten operator I (satu)

dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) sebagai asisten operator II (dua) membantu

untuk memperjelas lapangan operasi yang dilakukan oleh dr. Dewa Ayu (Terdakwa I)

sebagai pelaksana operasi/operator yang memotong, menggunting dan menjahit agar

lapangan operasi bisa terlihat agar mempermudah operator yaitu dr. Dewa Ayu

(Terdakwa I) dalam melakukan operasi.

Sebelum operasi cito secsio sesaria terhadap korban dilakukan, Para Terdakwa

tidak pernah menyampaikan kepada pihak keluarga korban tentang kemungkinan-

kemungkinan terburuk termasuk kematian yang dapat terjadi terhadap diri korban jika

operasi cito secsio sesaria tersebut dilakukan terhadap diri korban dan Para Terdakwa

sebagai dokter yang melaksanakan operasi cito secsio sesaria terhadap diri korban

tidak melakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan jantung, foto rontgen


3

dada dan pemeriksaan penunjang lainnya sedangkan tekanan darah pada saat sebelum

korban dianestesi/ dilakukan pembiusan, sedikit tinggi yaitu menunjukkan angka

160/70 (seratus enam puluh per tujuh puluh) dan pada waktu kurang lebih pukul 20.10

WITA, hal tersebut telah disampaikan oleh saksi dr. Hermanus J. Lalenoh, Sp. An.

pada bagian Anestesi melalui jawaban konsul kepada bagian kebidanan bahwa pada

prinsipnya disetujui untuk dilaksanakan pembedahan dengan anestesi resiko tinggi,

oleh karena itu mohon dijelaskan kepada keluarga segala kemungkinan yang bisa

terjadi, tetapi pemeriksaan jantung terhadap korban dilaksanakan setelah pelaksanaan

operasi selesai dilakukan kemudian pemeriksaan jantung tersebut dilakukan setelah dr.

Dewa Ayu (Terdakwa I) melaporkan kepada saksi Najoan Nan Waraouw sebagai

Konsultan Jaga Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan bahwa nadi korban 180

(seratus delapan puluh) x per menit dan saat itu saksi Najoan Nan Waraouw

menanyakan kepada dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) jika telah dilakukan pemeriksaan

jantung/EKG (Elektri Kardio Graf atau Rekam Jantung) terhadap diri korban,

selanjutnya dijawab oleh dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) tentang hasil pemeriksaan adalah

Ventrikel Tachy Kardi (denyut jantung sangat cepat) dan saksi Najoan Nan Waraouw

mengatakan bahwa denyut nadi 180 (seratus delapan puluh) x per menit bukan

Ventrikel Tachy Kardi (denyut jantung sangat cepat) tetapi Fibrilasi (kelainan irama

jantung).

Sejak dibawa masuk ke rumah sakit, keadaan umum korban adalah lemah dan

status penyakit korban adalah berat, dan korban tidak langsung ditangani melainkan

hanya diberikan resap untuk membeli obat sampai 4 kali.Namun keadaan korban

bukan malah membaik tetapi malah kian memburuk, sampai pada akhirnya pada pukul
4

08.00 WITA pihak keluarga minta dilakukan operasi. Namun pihak rumah sakit

menolak melakukan operasi karena

persyaratan administratif dari rumah sakit belum dipenuhi.

Setelah ada pihak keluarga yang datang dan menyelesaikan persyaratan

administratif dengan pihak rumah sakit, langsung diberitahukan kalau operasi terhadap

Siska Makatey telah selesai dilakukan dan pihak keluarga tidak tahu menahu kalau

operasi sudah dilakukan. Pihak keluarga Siska Makatey mendapatkan kabar dari

Rumah Sakit Malalayang pada pukul 22.00 WITA bahwa pasien atas nama Siska

Makatey telah meninggal dunia setelah melalui proses persalinan dengan operasi Cito

Secsio Sesaria, namun bayi dalam kandungan korban dapat diselamatkan.

Berdasarkan hasil pemeriksaan forensik, kematian korban Siska Makatey

adalah diakibatkan karena pada diri korban terjadi emboli udara yang masuk ke dalam

bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi

kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung.

Korban Siska Makatey meninggal dunia berdasarkan Surat Keterangan dari Rumah

Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandou Manado No. 61/VER/IKF/FK/K/VI/2010,

tanggal 26 April 2010 dan ditandatangani oleh dr. Johannis F. Mallo, SH. SpF. DFM.

yang menyatakan bahwa:

a. Korban telah diawetkan dengan larutan formalin, melalui nadi besar paha kanan;

b. Lama kematian si korban tidak dapat ditentukan, oleh karena proses perubahan pada

tubuh korban setelah kematian “Thanatologi” sebagai dasar penilaian, terhambat


5

dengan adanya pengawetan jenazah. Sesuai dengan besarnya rahim dapat menyatakan

korban meninggal dalam hari pertama setelah melahirkan;

c. Tanda kekerasan yang ditemukan pada pemeriksaan tubuh korban :

1. Pada Pasal 1 IV (a) adalah kekerasan tumpul sesuai dengan tanda jejas sungkup alat

bantu pernapasan.

2. Pada Pasal 1 angka IV (b) dan pasal dua angka romawi ayat tiga adalah kekerasan

tajam sesuai tindakan medik dalam operasi persalinan.

3. Pada pasal 1 angka IV (c) adalah kekerasan tajam sesuai dengan tanda perawatan

medis sewaktu korban hidup.

4. Pada pasal 1 angka IV (d) adalah kekerasan tajam sesuai tanda perawatan

pengawetan jenazah.

d. Udara yang ditemukan pada bilik kanan jantung korban, masuk melalui pembuluh

darah balik yang terbuka pada saat korban masih hidup. Pembuluh darah balik yang

terbuka pada korban terjadi pada pemberiancairan obat-obatan atau infus, dan dapat

terjadi akibat komplikasi dari

persalinan itu sendiri.

e. Sebab kematian si korban adalah akibat masuknya udara ke dalam bilik kanan

jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan

fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung


BAB II

ANALISIS FAKTA DAN YURIDIS

A. Analisis Fakta

Pasal 183 KUHAP mengandung;


1. Sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah
2. Dasar-dasar alat bukti yang sah itu keyakinan hakim, yakni bahwa :
a. Tidak terjadi;
b. Terdakwa telah bersalah.
Alat bukti dalam perkara ini yaitu keterangan beberapa saksi (2 orang) dan mendengarkan
keterangan ahli (2 orang) dalam perkara ini, keterangan para terdakwa, serta barang bukti
berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Askes atas nam Julia Fransiska Makatey,
Dokumen hasil pemeriksaan Laboratorium Forensik Cabang Makassar dan berdasarkan hasil
pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik pada tanggal 09 Juni 2010 NO.LAB: 509/DTF/2011,
serta Berkas catatan medis No. cm. 041969 atas nama Siska Makatey.
Hal ini telah sesuai dengan alat bukti yang sah yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP,
yang menyatakan bahwa: Alat bukti yang sah ialah:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa;
Berdasarkan pertimbangan bahwa dr. Dewa Ayu dkk telah melakukan kelalaian dan
menyebabkan matinya pasien atas nama Julia Fransiska Makatey yang mana Para Terdakwa
telah melakukan pembiaran dengan tidak melakukan hal yang seharusnya dilakukan oleh
dokter ketika pasien datang meminta pertolongan. Hal itu diperoleh berdasarkan fakta-fakta

4
5

di persidangan yakni mendasarkan pada keterangan dari saksi Prof. Dr. Najoan Nan
Waraouw, Sp.OG., yang mana Terdakwa I (satu) melaporkan ketuban pasien/ korban sudah
dipecahkan di Puskesmas dan jika ketuban sudah pecah berarti air ketuban sudah keluar
semua, selanjutnya sejak Terdakwa I (satu) mengawasi korban pada pukul 09.00 WITA
sampai dengan pukul 18.00 WITA tindakan yang dilakukan oleh Terdakwa I (satu) hanya
pemeriksaan tambahan dengan USG (Ultrasonografi) dan sebagian tindakan medis yang
telah dilakukan tidak dimasukkan ke dalam rekam medis dan Terdakwa I (satu) sebagai
ketua residen yang bertanggung jawab saat itu tidak mengikuti seluruh tindakan medis
beserta rekam medis termasuk Terdakwa I (satu) tidak mengetahui tentang pemasangan infus
yang telah dilakukan terhadap korban.

Pasal 359 KUHP Jis Pasal 361 KUHP, Jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Pasal 359 KUHP
berbunyi sebagai berikut : “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan
orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana kurungan
paling lama 1 tahun”
Schuld atau kesalahan atau kelalaian atau kulpa menurut ilmu pengetahuan mempunyai 2
(dua) syarat: 1
1) Perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan kurang hati-hati atau kurang waspada.
2) Pelaku harus dapat membayangkan timbulnya akibat karena perbuatan yang dilakukannya
dengan kurang hati-hati
Unsur Barang Siapa :
Pengertian barang siapa adalah kata ganti orang, yang lazimnya dipergunakan dalam setiap
perumusan pasal-pasal tindak pidana dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
atau dengan kata lain dapat diartikan pula sebagai subjek pelaku delik. Dalam perkara ini
tidak ada orang lain yang dijadikan sebagai Terdakwa (subjek pelaku delik) selain Terdakwa
I dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, Terdakwa II dr. Hendry Simanjuntak dan Terdakwa III dr.
Hendy Siagian. Dengan demikian menurut Majelis Hakim unsur barang siapa dalam perkara
ini telah terpenuhi menurut hukum.

1
H.A.K Moch Anwar,., hlm 110
6

Unsur Karena Kesalahannya menyebabkan matinya orang


Bahwa pada saat sebelum operasi Cito secsio sesaria terhadap korban dilakukan para
Terdakwa tidak pernah menyampaikan kepada pihak keluarga tentang kemungkinan-
kemungkinan terburuk termasuk kematian yang dapat terjadi terhadap diri korban jika
operasi Cito secsio sesaria tersebut dilakukan terhadap diri korban dan para Terdakwa
sebagai dokter yang melaksanakan operasi cito secsio sesaria terhadap diri korban tidak
melakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan jantung foto rontgen dada dan
pemeriksaan penunjang lainnya ………dst”
Perbuatan Para Terdakwa melakukan operasi terhadap korban Siska Makatey yang
kemudian terjadi emboli udara yang masuk ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat
darah masuk ke paru-paru kemudian terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya
mengakibatkan kegagalan fungsi jantung;
Perbuatan Para Terdakwa mempunyai hubungan kausal dengan meninggalnya korban Siska
Makatey sesuai Surat Keterangan dari Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
No. 61/VER/IKF/FK/K/VI/2010, tanggal 26 April 2010;
Unsur “menyebabkan matinya orang” adalah melihat pada unsur objektif yang merupakan
akibat dari perbuatan yang mana karena kurang hatihati atau kurang waspada. Matinya telah
terjadi karena perbuatan yang dilakukan secara kurang hati-hati dan kematian tersebut tidak
dikehendaki.
Unsur karena kesalahannya dapat dilihat pada kasus dr. Dewa Ayu dkk ini, dalam mana
secara bersama-sama ketiganya yakni dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendy Siagian,
dan dr. Hendri Simanjuntak yang mana masingmasing dr. Dewa Ayu bertugas sebagai
operator yang melakukan operasi, kemudia dr. Hendy Siagian dan dr. Hendri Simanjuntak
masing-masing sebagai asisten operator I dan II.
Dokter Dewa Ayu sebagai operator merupakan dader atau pembuat tindak pidana. Adapun
dr. Hendy Siagian dan dr. Hendri Simanjuntak keduanya sebagai asisten operator maka
perbuatan keduanya dikualifisir sebagai mededader atau turut melakukan sebagaimana
dimaksud dalam bentuk delneming atau keturutsertaan kedua yang diatur dalam Pasal 55
ayat (1) angka 1 KUHP.
7

Para terdakwa secara bersama-sama melakukan operasi cito secsio sessaria terhadap korban
Siska Makatei, dan sebelum dilakukannya operasi tidak dilakukan pemeriksaan penunjang
seperti pemeriksaan jantung, foto rontgen dada dan lain-lain sedangkan tekanan darah pada
saat sebelum korban dianestesi/ dilakukan pembiusan, sedikit tinggi yaitu menunjukkan
angka 160/70 (seratus enam puluh per tujuh puluh) dan pemeriksaan jantung terhadap korban
Berdasarkan uraian diatas, para terdakwa dianggap lalai karena tidak menjalankan tugasnya
sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang telah ditetapkan oleh Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) maupun Peraturan perundangan yang berlaku.
Berdasarkan Pasal 1 angka 10 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.512/MenKes/PER/IV/2007 tentang izin praktek dalam melaksanakan praktek
kedokteran menyebutkan: “Standard prosedur operasional adalah suatu perangkat
instruksi/langkahlangkah yang dilakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin
tertentu, dimana standard prosedur operasional memberikan langkah yang benar dan terbaik
berdasarkan consensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi
pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan berdasarkan standard profesi.”
Dengan demikian Para Terdakwa lalai untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak
melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang
tertentu, Para Terdakwa telah melakukan penyimpangan kewajiban, Para Terdakwa telah
menimbulkan kerugian dengan tindakan kedokteran yang telah dilakukan oleh Para
Terdakwa terhadap korban, Para Terdakwa telah menimbulkan suatu hubungan sebab akibat
yang nyata yaitu terdapatnya tindakan kedokteran dari Para Terdakwa dengan suatu keadaan
korban yang dikatakan darurat sejak tidak terdapat kemajuan persalinan pada pukul 18.30
WITA tetapi yang seharusnya sejak korban datang dengan surat rujukan dari Puskesmas dan
masuk ke ruang Instalasi Rawat Darurat Obstetrik keadaan korban sudah dapat dikatakan
darurat, kemudian sejak diketahuinya ketuban dari korban yang telah pecah sejak di
Puskesmas, rekam medis yang tidak dibuat sepenuhnya dalam setiap tindakan medis yang
dilakukan, pemasangan infus dengan jenis obat yang tidak diketahui oleh Para Terdakwa
sampai dengan dikeluarkannya resep obat secara berulang kali hingga ditolak oleh pihak
apotik, tidak terdapatnya koordinasi yang baik di dalam tim melakukan tindakan medis,
terdapatnya informed consent / lembar persetujuan tindakan kedokteran sedangkan Para
Terdakwa berpendapat bahwa tindakan kedokteran yang dilakukan adalah tindakan cito /
8

darurat, tidak adanya tindakan persiapan jika korban secara tiba-tiba mengalami keadaan
darurat seperti EKG/ pemeriksaan jantung baru dilakukan setelah korban selesai dioperasi
dengan kondisi gawat, yang seharusnya seluruh tindakan medis dan tindakan kedokteran
yang dilakukan oleh Para Terdakwa tersebut sebelumnya telah dapat dibayangkan dengan
cara berpikir, pengetahuan atau kebijaksanaan sesuai pengetahuan, keahlian dan moral yang
dimiliki oleh Para Terdakwa berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) sehingga
seluruh tindakan kedokteran yang dilakukan oleh Para Terdakwa tersebut telah
menimbulkan kerugian terhadap korban yaitu korban meninggal dunia.

B. Analisis Yuridis

Tujuan dari hukum acara pidana adalah mencari dan mendapatkan setidak-tidaknya

mendekati kebenaran materiil ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu

perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat,

dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu

pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan

guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah

orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.

Upaya mencari dan menemukan kebenaran material (materiele waarheid) dalam acara

pidana tampaknya merupakan suatu hal yang sudah sewajarnya dan seharusnya dilakukan.

Peristiwa pembunuhan, pencurian, perkosaan, penipuan, dan berbagai tindak pidana

lainnya, merupakan peristiwa-peristiwa yang diancam pidana dalam hukum pidana dan

dipandang sebagai perbuatan-perbuatan yang pelakunya dirasakan sebagai patut dipidana

(strafwaardig).

Lilik Mulyadi maka pedoman pelaksanaan KUHAP yang menyebutkan bahwa tujuan

hukum acara pidana guna “...mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran


9

materiil..”, rasanya kurang sepadan dan selaras dengan ketentuan hukum acara pidana

sebagai bagian dari ketentuan hukum publik yang mengatur kepentingan umum juga

mencari, mendapatkan, serta menemukan “kebenaran materiil”. Jadi bukanlah untuk

“setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil.

Hakikat kebenaran materiil yang ingin dicapai oleh hukum acara pidana ini merupakan

manifestasi dari fungsi hukum acara pidana, yaitu: 1. Mencari dan menemukan kebenaran;

2. Pemberian keputusan oleh hakim; dan 3. Pelaksanaan keputusan.9 Fungsi mencari dan

menemukan kebenaran ini selaras dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP sehingga dapat

disimpulkan sekali lagi merupakan “hakikat kebenaran materiil sesungguhnya”, jadi bukan

“mendekati kebenaran materiil” atau terlebih lagi bukan “setidak-tidaknya mendekati

kebenaran materiil.”

Kebenaran sebagai asas dalam Hukum Acara Pidana ini sebagaimana disampaikan oleh

Lilik Mulyadi, bahwa pada asasnya pengertian hukum acara pidana adalah: “Peraturan

hukum yang mengatur, menyelenggarakan, dan mempertahankan eksistensi ketentuan

hukum pidana materiil (materieel strafrecht) guna mencari, menemukan, dan mendapatkan

kebenaran materiil atau kebenaran yang sesungguhnya.

Tujuan Hukum Acara Pidana adalah mencari dan mendapatkan setidak-tidaknya

mendekati kebenaran materiil. Kebenaran materiil, yakni kebenaran yang sungguh

sungguh sesuai dengan kenyataan. Atau dengan kata lain kebenaran yang selengkap-

lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana

secara jujur dan tepat. Prinsip ini terlihat dalam proses persidangan, bahwa walaupun

pelaku sudah mengakui kesalahannya namun belum cukup dijadikan alasan untuk

menjatuhkan alasan, jika secara materiil belum dibuktikan kesalahannya.


10

Ketentuan ini merupakan anasir umum yang telah dianut sejak lama dalam pandangan para

doktrina hukum pidana dan hukum acara pidana. Kebenaran materiil ini haruslah terdapat

mulai dari tingkat penyidikan dan penyelidikan yang dilakukan oleh pejabat polisi negara

Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus

oleh undang-undang (Bab IV Bagian kesatu penyidik dan penyelidik Pasal 4-12 jo. Bab

XIV Bagian kesatu Pasal 102-105 jo. Bab XIV Bagian kedua Pasal 106-136 KUHP).

Kemudian di tingkat penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa/penuntut umum (Bab IV

Bagian ketiga Pasal 13-15 jo. Bab XV Pasal-Pasal 144 KUHP) dan tingkat peradilan oleh

hakim yang mengadili perkara tersebut.

a. KUHAP

Pasal 183 KUHAP

Sistem pembuktian dalam KUHAP terdapat dalam rumusan pasal 183 KUHAP. Pasal ini

menentukan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali

apabila dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan

bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukannya.” Dalam pasal ini ditentukan dua syarat untuk menjatuhkan pidana terhadap

seseorang, yaitu: 1“Adanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah; dan 2. Adanya

keyakinan pada Hakim yang diperoleh berdasarkan alat-alat bukti tersebut.”

Jika sudah ada dua alat bukti yang sah, tetapi yakin tidak yakin bahwa terdakwa yang

bersalah melakukan tindak pidana, maka Hakim tidak akan menghukum terdakwa.

Demikian pula sebaliknya, keyakinan Hakim semata-mata tanpa didukung dua alat bukti

yang sah, tidak dapat menjadi dasar untuk menghukum terdakwa. Dari kedua syarat
11

tersebut jelas bahwa sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP adalah sistem

pembuktian menurut undang-undang sampai suatu batas (negatief wettelijk bewijsleer).

Rumusan Pasal 183 KUHAP tampak pula bahwa alat-alat bukti yang diperlukan adalah

sekurang-kurangnya atau minimal 2 (dua) alat bukti yang sah. Dengan dua alat bukti yang

sah tidaklah dimaksudkan bahwa setidaknya harus ada dua alat bukti yang berbeda

jenisnya, misalnya harus ada satu keterangan saksi dan satu surat. Sudahlah cukup jika dua

alat bukti yang bersangkutan merupakan alat bukti yang sejenis, misalnya 2 (dua)

keterangan saksi.

Pasal 184 KUHAP

Pasal 184 ayat (1) KUHAP secara tegas menunjuk keterangan ahli sebagai salah satu alat

bukti yang sah, sebagaimana terlihat dalam rumusan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, di mana

ditentukan bahwa alat bukti yang sah ialah:

1. keterangan saksi;

2. keterangan ahli;

3. surat;

4. petunjuk;

5. keterangan terdakwa

KUHP

Pasal 359 KUHP Jis Pasal 361 KUHP, Jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Pasal 359 KUHP

berbunyi sebagai berikut : “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya)


12

menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau

pidana kurungan paling lama 1 tahun”

Schuld atau kesalahan atau kelalaian atau kulpa menurut ilmu pengetahuan mempunyai 2

(dua) syarat:

1) Perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan kurang hati-hati atau kurang waspada.

2) Pelaku harus dapat membayangkan timbulnya akibat karena perbuatan yang

dilakukannya dengan kurang hati-hati

Pasal 263 KUHP berbunyi sebagai berikut:

(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan

suatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti

dari pada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain

memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam jika

pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan

pidana penjara selama 6 tahun

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa degan sengaja memakai surat palsu

atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu seolah-olah sejati.

Undang-Undang Prakek Kedokteran

Di dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran tidak dijelaskan sejauh mana proses hukum

berperan dalam penyelesaian sengketa medik. Di dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang

No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran disebutkan:


13

“Untuk menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik

kedokteran, dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia”

Selanjutnya di dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang

Praktek Kedokteran dinyatakan:

“Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau

dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis

kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia”

BAB III

ANALISIS KASUS
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahsan, maka dapat diambil kesimpulan yaitu:

1. Alasan dari majelis hakim pemeriksa perkara kasus dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr.

Hendy Siagian, dan dr. Hendry Simanjuntak dalam Putusan No

90/Pid.B/2011/PN.Mdo adalah tindakan para Terdakwa mendiamkan pasien (Siska

Makatey) ketika sampai di RSU Prof. Dr. Kandou Malalayang Kota Manado dan

tindakan yang dilakukan oleh Terdakwa I hanya pemeriksaan tambahan dengan USG

(Ultrasonografi) dan sebagian tindakan medis yang telah dilakukan tidak dimasukkan

ke dalam rekam medis dan Terdakwa I sebagai ketua residen yang bertanggung jawab

saat itu tidak mengikuti seluruh tindakan medis beserta rekam medis termasuk

Terdakwa I tidak mengetahui tentang pemasangan infus yang telah dilakukan terhadap

korban adalah bukan merupakan perbuatan yang menyalahi Prosedur tindakan medik

dan tidak melanggar etika kedokteran tentang apa yang harus dilakukan seorang dokter

dalam menghadapi pasien.

2. Pertimbangan ini berbeda dengan majelis kasasi Mahkamah Agung dalam putusannya

No. 365K/Pid/2012 yang mana menyatakan bahwa tindakan Para Terdakwa

mendiamkan pasien (Siska Makatey) sehingga menyebabkan meninggalnya pasien

adalah sebuah tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 359

KUHP.

16
17

3. Berkaitan dengan pemalsuan tanda tangan dan pelanggaran praktek kedokteran

sebagaimana diatur dalam Pasal 76 Undang-Undang No 24 tahun 2009 tentang Praktek

Kedokteran baik Majelis hakim pemeriksa pada tingkat pertama maupun majelis hakim

kasasi mempunyai kesepahaman dalam menafsirkan hukumnya.


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

B. Peraturan Perundang-undangan

18

Anda mungkin juga menyukai