Oleh :
Elma Yunita Nambela (B10018363)
Dosen Pengampu :
• Haryadi, S.H., M.H
• Aga Anum Prayudi, S.H., M.Kn
• Tri Imam Munandar, S.H., M.H
Fakultas Hukum
Universitas Jambi
2020
Diskusi Kelompok
Tugas Ilmu Kedokteran Kehakiman
1. Contoh KasusIKK:
Ayah saya mengalami kelumpuhan sejak 3 bulan yang lalu karna kecelakaan. 3 hari lalu
terjadi keributan di rumah kami, dan ayah saya disudutkan dan ditampar, anggap saja oleh
si A. Merasa ayah saya terpojok dengan kondisi tidak sehat, ayah saya reflex memukul
balas si A dengan menggunakan tongkat yang di pegangnya. Ayah saya tidak ingin
memperpanjang masalah ini dan tidak ingin melaporkan ke polisi, namun si A malah
melaporkan kejadian penganiayaan ke pihak berwajib dengan hasil visum berupa luka di
dada. Kami sudah berbesar hati untuk meminta maaf, namun ditolak. Ayah saya yang
tidak bisa apa-apa hanya membela diri karena diserang dan ditampar terlebih dahulu.
Kondisinya adalah si A punya bukti berupa hasil visum, sedangkan ayah saya tidak
mempunyai bukti kalau si A menampar wajah ayah saya, dan dia berbohong kalau dia
tidak pernah menampar ayah saya di depan polisi. Apakah ayah saya bisa dihukum karena
seperti itu? Apakah ada pembelaan untuk ayah saya?. Coba saudara analisis kasus tersebut
dan kaitkan dengan dasar hukum yangmengatur.!
Jawaban : Dalam hukum pidana dikenal beberapa jenis alat bukti. Pasal 184 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) menyatakan:
“Alat bukti yang sah ialah:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.”
Bukti visum et repertum ("visum") dikategorikan sebagai alat bukti surat. Hal ini
didasarkan pada ketentuan Pasal 187 KUHAP yang menyatakan:
“Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan
atau dikuatkan dengan sumpah, adalah
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum
yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan
tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya
sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat
yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang
menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu
keadaan;
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau suatu keadaan yagn diminta secara
resmi dari padanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain.”
Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa visum merupakan surat yang dibuat oleh pejabat
dan dibuat atas sumpah jabatan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, visum masuk dalam kategori alat bukti surat. Dengan demikian visum
memiliki nilai pembuktian di persidangan.
Dalam sistem pembuktian pidana di Indonesia menganut sistem pembuktian berdasarkan
undang-undang secara negatif (negatief wettelijk), yang digambarkan dalam ketentuan
Pasal 183 KUHAP yang menyatakan:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.”
Berarti di dalam hukum acara pidana Indonesia tidak ada satu alat bukti pun yang dapat
dikatakan sebagai alat bukti terkuat, karena setiap putusan pemidanaan nantinya harus
TETAP didasarkan dengan 2 alat bukti yang sah ditambah dengan keyakinan hakim
(kecuali untuk acara pemeriksaan cepat, cukup 1 alat bukti ditambah dengan keyakinan
hakim) sehingga bukti visum sebagai alat bukti surat yang diajukan tersebut tidak dapat
berdiri sendiri dan harus dilengkapi dengan alat bukti lainnya sesuai dengan ketentuan
Pasal 184 KUHAP.
Selanjutnya permasalahan apakah si ayah bias di hokum ? Dari segi perbuatan, si ayah
dapat saja diduga melakukan tindak pidana penganiayaan sebagaimana diatur Pasal 351
ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang menyatakan:
“Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah ".
Namun, mengingat bahwa si ayah memukul si A karena ingin membela diri, menurut
ketentuan Pasal 49 ayat (1) KUHP disebutkan:
“Tidak dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri
sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan, kesusilaan atau harta benda sendiri
maupun orang lian, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sat dekat pada
saat itu yang melawan hukum.”
Dalam hukum pidana pembelaan yang seperti ini dikenal dengan istilah noodweer.
Sehingga berdasarkan Pasal 49 ayat (1) KUHP tersebut, orang yang melakukan
pembelaan diri tersebut tidak dapat dipidana (dihukum).
Dalam hukum harus didasarkan pada bukti-bukti yang cukup. Dalam hal ini, untuk
pembelaan, si ayah harus dapat membuktikan bahwa si A lah yang memukul si ayah
terlebih dahulu. Pembuktiannya tentu saja sama dengan sistem pembuktian yang dianut
dalam KUHAP sesuai Pasal 184 KUHAP yang mengatur alat-alat bukti yang sah, dengan
pertimbangan minimal 2 alat bukti terpenuhi
2. Berdasarkan ketentuan Pasal 222 dan Pasal 216 KUHP diketahui bahwa pada akhirnya
tugas seorang dokter untuk membantu memberikan data keterangan untuk kepentingan
proses peradilan menjadi sebuah kewajiban, sehingga yang meminta keterangan tersebut
untuk kepentingan yang sama adalah merupakan sebuah kewenangan. Pertanyaannya
adalah siapakah yang berwenang untuk meminta bantuan ahli kedokteran
kehakiman? Uraikan danjelaskan.!
Jawaban : Yang berwenang untuk meminta bantuan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman
adalah hakim pidana, hakim perdata, hakim pada pengadilan agama, jaksa penuntutan
umum, dan penyidik.
Pada penyidik dan penyidik pembantu sebagaimana bunyi pasal 7 ayat (1) butir h dan
pasal 11 KUHAP. Penyidik yang dimaksud di sini adalah penyidik sesuai dengan pasal 6
ayat (1) butir a yakni penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) atau
pejabat pegawai negeri sipil tertentu.Adapun pangkat terendah yang harus dimiliki oleh
penyidik Polri tersebut adalah Pembantu Letnan Dua sesuai dengan Peraturan Pemerintah
no. 27 tahun 1983. Pengecualian di sektor kepolisian yang tidak memiliki pejabat polisi
dengan pangkat Pembantu Letnan Dua Polisi atau lebih, maka komandan sektor kepolisian
yang berpangkat Bintara (Brigadir) akan menjabat sebagai penyidik.Untuk pegawai negeri
sipil, pangkat terendah yang harus dimiliki adalah Pengatur Muda Tingkat 1 (Golongan
II/B) atau yang disamakan dengan itu.
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JAMBI
2. Objek dari kedokteran kehakiman sangat luas termasuk masalah Aborsi dan
kejahatan seksual yang merupakan 2 (dua) kasus disamping kasus-kasus lainnya.
jelaskan peran dari ilmu kedokteran kehakiman berkaitan dengan 2 (dua) kasus
tersebut.
3. Dokter ahli forensik dapat memberikan bantuan dalam hubungannya dengan proses
peradilan dalam hal seperti Pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara (TKP),
Pemeriksaan terhadap korban yang luka, Pemeriksaan mayat dan Pemeriksaan
barang bukti. Jelaskan masing-masing pemeriksaan tersebut dalam hal kaitannya
dengan Ilmu Kedokteran Kehakiman.
4. Jelaskan pengaturan keterangan ahli bagi proses peradilan pidana sesuai KUHAP
serta sanksi yang diberikan jika ahli tidak memenuhi kewajibannya guna
kepentingan penegakan hukum di Indonesia.
“Cukup 4 Soal. Semangattt..” Pahami soal, Periksa dan baca kembali jawabannya,
jangan keliatan sekali Copy/Paste.. karna ini nilai Mid Semester bukan nilai kaleng-
kaleng.
Jawaban :
1. Sejarah pekembangan Ilmu Kedokteran Kehakiman di Indonesia
Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik atau Ilmu Kedokteran Kehakiman di
Indonesia pada awalnya hanya diterapkan oleh ahli medis dari Belanda. Hal
ini dikarenakan belum adanya pendidikan formal dalam bidang kesehatan
untuk penduduk pribumi yang ada di Nusantara. Sehingga hal ini mendorong
pemerintah Belanda untuk membuka pendidikan dokter pertama di Indonesia.
Pendidikan pertama di Indonesia disebut Sekolah Dokter Jawa yang resmi
dimulai pada tanggal 1 Januari 1851. Sekolah ini memberikan materi tentang
ilmu kedokteran kehakiman, patologi, anatomi patologi dan bedah membedah
mayat. Pada tahun 1898 SEKOLAH Dokter Jawa di ubah menjadi School tot
Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) dengan pembaharuan kurikulum
yang ada. Pada tahun 1920 sekolah tersebut semakin eksis dikarenakan jasa
dari dokter H,J.F.Roll yang merupakan ahli patologi dan pemimpin sekolah
serta yang menerbitkan buku dengan judul “llerbok der gerechtlik
geneskuden”. Lalu di tanggal 16 Agustus 1927 dibuka Geneeskundige
Hoogeschool (GHS) untuk menggantikan STOVIA yang merupakan cikal
bakal dari Universitas Indonesia.
Di tahun 1927 didirikan sekolah dokter kedua yang didirikan di Surabaya
dengan nama “ Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS). Prinsip –
prinsip kedokteran forensic tersebut adalah memberi panduan dalam hal
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana di Indonesia.
Pada masa penjajahan Jepang di Indonesia, ilmu kedokteran kehakiman
sempat mengalamo kemunduran. Hal ini karena ditutupnya Nederlandsch
Indische Artsen School (NIAS) di Surabaya, sehingga tersisa satu sekolah
kedokteran di Indonesia. Selanjutnya Geneeskundige Hoogeschool (GHS)
berubah nama menjadi “Djakarta Ika Daigaku”. Lalu terjadi pemisahan dari
system organisasi patologi anatomi pada tahun 1960, ahli kedokteran forensic
membentuk Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (FDFI. Hingga tahun
2008 organisasi ini tercatat beranggotakan sekitar 160 orang dokter spesialis
forensik.
Pemeriksaan mayat
: dilakukan oleh Dokter Ahli Forensik, dalam hal ini dimaksudkan untuk mengetahui
apakah seseorang yang telah menjadi mayat tersebut mati secara wajar atau terdapat
kemungkinan telah terjadi penganiayaan sehingga menyebabkan matinya seseorang
tersebut. Untuk menentukan sebab-sebab kematian dengan pasti, maka Dokter Ahli
Forensik dapat melakukan pemeriksaan jenazah yang meliputi pemeriksaan tubuh
bagian luar, bagian dalam, dan pemeriksaan tambahan. Hal ini berarti harus dilakukan
dengan cara mengotopsi (membedah) mayat tersebut.Berdasarkan ketentuan Pasal 133
ayat (1) KUHAP, maka pemeriksaan mayat yang mati akibat dugaan karena peristiwa
yang merupakan tindak pidana hanya dilakukan atas permintaan penyidik yang
berwenang untuk kepentingan peradilan (pro justitia). Permintaan tersebut dilakukan
secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka
atau pemeriksaan mayat dan/atau pemeriksaan bedah mayat. Di dalam ayat (2) Pasal
133 tersebut, maka cara mayat yang dikirimkan kepada dokter atau rumah sakit harus
diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan. Kemudian, diberi label yang
memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari
kaki atau bagian lain badan mayat.
Sanksi yang diberikan jika ahli tidak memenuhi kewajibannya guna kepentingan
penegakan hukum di Indonesia
: Memberikan keterangan di depan sidang pengadilan bagi Ahli Kedokteran Kehakiman
khususnya dan ahli lain pada umumnya, serta setiap orang merupakan kewajiban.
Pelanggaran terhadap kewajiban ini akan dikenakan ancaman hukuman sebagaimana
yang tertuang didalam ketentuan Pasal 224 KUHP. Adapun ancaman hukuman bagi orang
yang menolak panggilan sebagai saksi diatur dalam Pasal 224 ayat (1) KUHP yang berbunyi:
Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang
dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus
dipenuhinya, diancam:
1. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;
2. dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan