Anda di halaman 1dari 10

HUKUM KEDOKTERAN KEHAKIMAN

• Tugas Diskusi Kelompok


• Ujian Tengah Semester

Oleh :
Elma Yunita Nambela (B10018363)

Dosen Pengampu :
• Haryadi, S.H., M.H
• Aga Anum Prayudi, S.H., M.Kn
• Tri Imam Munandar, S.H., M.H

Fakultas Hukum
Universitas Jambi
2020
Diskusi Kelompok
Tugas Ilmu Kedokteran Kehakiman

Hari/Tanggal: Senin, 28 September


2020 Kelas: C
Dosen: Tri Imam Munandar, S.H., M.H.

1. Contoh KasusIKK:
Ayah saya mengalami kelumpuhan sejak 3 bulan yang lalu karna kecelakaan. 3 hari lalu
terjadi keributan di rumah kami, dan ayah saya disudutkan dan ditampar, anggap saja oleh
si A. Merasa ayah saya terpojok dengan kondisi tidak sehat, ayah saya reflex memukul
balas si A dengan menggunakan tongkat yang di pegangnya. Ayah saya tidak ingin
memperpanjang masalah ini dan tidak ingin melaporkan ke polisi, namun si A malah
melaporkan kejadian penganiayaan ke pihak berwajib dengan hasil visum berupa luka di
dada. Kami sudah berbesar hati untuk meminta maaf, namun ditolak. Ayah saya yang
tidak bisa apa-apa hanya membela diri karena diserang dan ditampar terlebih dahulu.
Kondisinya adalah si A punya bukti berupa hasil visum, sedangkan ayah saya tidak
mempunyai bukti kalau si A menampar wajah ayah saya, dan dia berbohong kalau dia
tidak pernah menampar ayah saya di depan polisi. Apakah ayah saya bisa dihukum karena
seperti itu? Apakah ada pembelaan untuk ayah saya?. Coba saudara analisis kasus tersebut
dan kaitkan dengan dasar hukum yangmengatur.!
Jawaban : Dalam hukum pidana dikenal beberapa jenis alat bukti. Pasal 184 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) menyatakan:
“Alat bukti yang sah ialah:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.”
Bukti visum et repertum ("visum") dikategorikan sebagai alat bukti surat. Hal ini
didasarkan pada ketentuan Pasal 187 KUHAP yang menyatakan:
“Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan
atau dikuatkan dengan sumpah, adalah
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum
yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan
tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya
sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat
yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang
menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu
keadaan;
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau suatu keadaan yagn diminta secara
resmi dari padanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain.”
Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa visum merupakan surat yang dibuat oleh pejabat
dan dibuat atas sumpah jabatan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, visum masuk dalam kategori alat bukti surat. Dengan demikian visum
memiliki nilai pembuktian di persidangan.
Dalam sistem pembuktian pidana di Indonesia menganut sistem pembuktian berdasarkan
undang-undang secara negatif (negatief wettelijk), yang digambarkan dalam ketentuan
Pasal 183 KUHAP yang menyatakan:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.”
Berarti di dalam hukum acara pidana Indonesia tidak ada satu alat bukti pun yang dapat
dikatakan sebagai alat bukti terkuat, karena setiap putusan pemidanaan nantinya harus
TETAP didasarkan dengan 2 alat bukti yang sah ditambah dengan keyakinan hakim
(kecuali untuk acara pemeriksaan cepat, cukup 1 alat bukti ditambah dengan keyakinan
hakim) sehingga bukti visum sebagai alat bukti surat yang diajukan tersebut tidak dapat
berdiri sendiri dan harus dilengkapi dengan alat bukti lainnya sesuai dengan ketentuan
Pasal 184 KUHAP.
Selanjutnya permasalahan apakah si ayah bias di hokum ? Dari segi perbuatan, si ayah
dapat saja diduga melakukan tindak pidana penganiayaan sebagaimana diatur Pasal 351
ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang menyatakan:
“Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah ".
Namun, mengingat bahwa si ayah memukul si A karena ingin membela diri, menurut
ketentuan Pasal 49 ayat (1) KUHP disebutkan:
“Tidak dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri
sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan, kesusilaan atau harta benda sendiri
maupun orang lian, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sat dekat pada
saat itu yang melawan hukum.”
Dalam hukum pidana pembelaan yang seperti ini dikenal dengan istilah noodweer.
Sehingga berdasarkan Pasal 49 ayat (1) KUHP tersebut, orang yang melakukan
pembelaan diri tersebut tidak dapat dipidana (dihukum).
Dalam hukum harus didasarkan pada bukti-bukti yang cukup. Dalam hal ini, untuk
pembelaan, si ayah harus dapat membuktikan bahwa si A lah yang memukul si ayah
terlebih dahulu. Pembuktiannya tentu saja sama dengan sistem pembuktian yang dianut
dalam KUHAP sesuai Pasal 184 KUHAP yang mengatur alat-alat bukti yang sah, dengan
pertimbangan minimal 2 alat bukti terpenuhi
2. Berdasarkan ketentuan Pasal 222 dan Pasal 216 KUHP diketahui bahwa pada akhirnya
tugas seorang dokter untuk membantu memberikan data keterangan untuk kepentingan
proses peradilan menjadi sebuah kewajiban, sehingga yang meminta keterangan tersebut
untuk kepentingan yang sama adalah merupakan sebuah kewenangan. Pertanyaannya
adalah siapakah yang berwenang untuk meminta bantuan ahli kedokteran
kehakiman? Uraikan danjelaskan.!
Jawaban : Yang berwenang untuk meminta bantuan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman
adalah hakim pidana, hakim perdata, hakim pada pengadilan agama, jaksa penuntutan
umum, dan penyidik.
Pada penyidik dan penyidik pembantu sebagaimana bunyi pasal 7 ayat (1) butir h dan
pasal 11 KUHAP. Penyidik yang dimaksud di sini adalah penyidik sesuai dengan pasal 6
ayat (1) butir a yakni penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) atau
pejabat pegawai negeri sipil tertentu.Adapun pangkat terendah yang harus dimiliki oleh
penyidik Polri tersebut adalah Pembantu Letnan Dua sesuai dengan Peraturan Pemerintah
no. 27 tahun 1983. Pengecualian di sektor kepolisian yang tidak memiliki pejabat polisi
dengan pangkat Pembantu Letnan Dua Polisi atau lebih, maka komandan sektor kepolisian
yang berpangkat Bintara (Brigadir) akan menjabat sebagai penyidik.Untuk pegawai negeri
sipil, pangkat terendah yang harus dimiliki adalah Pengatur Muda Tingkat 1 (Golongan
II/B) atau yang disamakan dengan itu.
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JAMBI

Mata Kuliah : Hukum Kedokteran Kehakiman Kelas/Semester : C / 5 (Lima)


Dosen : Haryadi, S.H., M.H. Tri Imam Munandar, S.H., M.H. Aga Anum
Prayudi, S.H., M.Kn

SOAL MID SEMESTER

1. Uraikan secara singkat sejarah perkembangan Ilmu Kedokteran Kehakiman di


Indonesia serta pentingnya Ilmu Kedokteran Kehakiman dalam proses peradilan
pidana.

2. Objek dari kedokteran kehakiman sangat luas termasuk masalah Aborsi dan
kejahatan seksual yang merupakan 2 (dua) kasus disamping kasus-kasus lainnya.
jelaskan peran dari ilmu kedokteran kehakiman berkaitan dengan 2 (dua) kasus
tersebut.

3. Dokter ahli forensik dapat memberikan bantuan dalam hubungannya dengan proses
peradilan dalam hal seperti Pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara (TKP),
Pemeriksaan terhadap korban yang luka, Pemeriksaan mayat dan Pemeriksaan
barang bukti. Jelaskan masing-masing pemeriksaan tersebut dalam hal kaitannya
dengan Ilmu Kedokteran Kehakiman.

4. Jelaskan pengaturan keterangan ahli bagi proses peradilan pidana sesuai KUHAP
serta sanksi yang diberikan jika ahli tidak memenuhi kewajibannya guna
kepentingan penegakan hukum di Indonesia.

“Cukup 4 Soal. Semangattt..” Pahami soal, Periksa dan baca kembali jawabannya,
jangan keliatan sekali Copy/Paste.. karna ini nilai Mid Semester bukan nilai kaleng-
kaleng.
Jawaban :
1. Sejarah pekembangan Ilmu Kedokteran Kehakiman di Indonesia
 Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik atau Ilmu Kedokteran Kehakiman di
Indonesia pada awalnya hanya diterapkan oleh ahli medis dari Belanda. Hal
ini dikarenakan belum adanya pendidikan formal dalam bidang kesehatan
untuk penduduk pribumi yang ada di Nusantara. Sehingga hal ini mendorong
pemerintah Belanda untuk membuka pendidikan dokter pertama di Indonesia.
Pendidikan pertama di Indonesia disebut Sekolah Dokter Jawa yang resmi
dimulai pada tanggal 1 Januari 1851. Sekolah ini memberikan materi tentang
ilmu kedokteran kehakiman, patologi, anatomi patologi dan bedah membedah
mayat. Pada tahun 1898 SEKOLAH Dokter Jawa di ubah menjadi School tot
Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) dengan pembaharuan kurikulum
yang ada. Pada tahun 1920 sekolah tersebut semakin eksis dikarenakan jasa
dari dokter H,J.F.Roll yang merupakan ahli patologi dan pemimpin sekolah
serta yang menerbitkan buku dengan judul “llerbok der gerechtlik
geneskuden”. Lalu di tanggal 16 Agustus 1927 dibuka Geneeskundige
Hoogeschool (GHS) untuk menggantikan STOVIA yang merupakan cikal
bakal dari Universitas Indonesia.
 Di tahun 1927 didirikan sekolah dokter kedua yang didirikan di Surabaya
dengan nama “ Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS). Prinsip –
prinsip kedokteran forensic tersebut adalah memberi panduan dalam hal
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana di Indonesia.
 Pada masa penjajahan Jepang di Indonesia, ilmu kedokteran kehakiman
sempat mengalamo kemunduran. Hal ini karena ditutupnya Nederlandsch
Indische Artsen School (NIAS) di Surabaya, sehingga tersisa satu sekolah
kedokteran di Indonesia. Selanjutnya Geneeskundige Hoogeschool (GHS)
berubah nama menjadi “Djakarta Ika Daigaku”. Lalu terjadi pemisahan dari
system organisasi patologi anatomi pada tahun 1960, ahli kedokteran forensic
membentuk Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (FDFI. Hingga tahun
2008 organisasi ini tercatat beranggotakan sekitar 160 orang dokter spesialis
forensik.

Pentingnya ilmu kedokteran kehakiman dalam proses peradilan pidana :


: Ilmu kedokteran kehakiman di dalam proses peradilan pidana merupakan sub bagian
dari kriminalistik dan bagian dari ilmu – ilmu forensic yang kedudukannya merupakan
salah satu dari ilmu – ilmu pengetahuan pembantu (hulp wettenschappen) bagi hokum
pidana, hokum acara pidana didalam mencapai tujuannya. Penegakan hokum pidana
oleh hokum acara pidana sangat dipengaruhi oleh pembuktian ; UU RI Nomor 8 tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menegaskan pembuktiannya dengan
menggunakan negative wettelijke bewisjstheory (teori pembuktian dengan
menggunakan UU secara negative). Oleh karena itu KUHAP membutuhkan bantuan
ilmu kedokteran kehakiman atau ilmu forensic dalam hal pembuktian. Contoh pasal
KUHAP yang memerlukan bantuan ilmu kedokteran kehakiman : Pasal 104 KUHAP.

2. Peran ilmu kedokteran kehakiman dalam masalah aborsi


: Pasal 347 KUHP (1) “ Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
(2) : “ Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun.”
Adanya aborsi legal yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 36 tahun 2009
tentang Kesehatan pasal 75 ayat (2) yang memberikan ruang untuk dilakukannya
aborsi bagi korban pemerkosaan. Pasal tersebut menyatakan bahwa kehamilan akibat
perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban pemerkosaan dapat
dilakukan aborsi. Untuk menjawab bagaimana cara menentukan bahwa pemerkosaan
tersebut mempunyai dampak trauma psikologis bagis korban atau tidak maka harus
menggunakan bantuan ilmu kedokteran kehakiman, ilmu hokum tidak mampu untuk
menjawab hal tersebut. Harus dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh berkaitan
dengan psikis korban. Pernyataan trauma psikologis harus dikeluarkan oleh dokter
yang memang mempunyai kewenangan dan kompetensi untuk menyatakan hal
tersebut. Jika tidak dikeluarkan oleh dokter yang berwenang, apalagi oleh korban,
maka pernyataan tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa korban
pemerkosaan mengalami trauma psikologis akibat pemerkosaan yang berarti aborsi
tidak dapat dilakukan atau aborsi illegal.

Peran Ilmu Kedokteran Kehakiman dalam masalah kejahatan seksual


: Kejahatan Seksual (sexual offences) merupakan salah satu bentuk kejahatan yang
menyangkut tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia. Kejahatan seksual mempunyai
kaitan yang erat dengan Ilmu Kedokteran khususnya Ilmu Kedokteran Forensik yaitu
dalam upaya pembuktian bahwasanya kejahatan tersebut memang telah terjadi.
Pelaksanaan dalam upaya pembuktian dengan kedokteran forensik, factor keterbatasan
di dalam ilmu kedokteran itu sendiri dapat sangat berperan. Demikian dengan hal nya
factor waktu dan factor keaslian dari barang bukti korban maupun factor – factor si
pelaku kejahatan kejahatan seksual itu sendiri. Dengan demikian upaya pembuktian
secara kedokteran forensik pada setiap kasus kejahatan seksual sebenarnya terbatas di
dalam upaya pembuktian ada tidaknya tanda-tanda persetubuhan, ada tidaknya tanda-
tanda kekerasan, perkiraan umur serta pembuktian apakah seseorang itu memang
sudah pantas atau sudah mampu untuk dikawini atau tidak.

3. Pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara (TKP)


: Dalam hal ini, seorang Dokter Ahi Forensik dapat diminta bantuannya untuk datang
bersama-sama dengan petugas Kepolisian ke tempat terjadinya perkara. Tugas dokter
setelah tiba di tempat kejadian perkara adalah:
a. Menentukan apakah korban hidup atau sudah meninggal dunia.
b. Membuat perkiraan mengenai waktu kematian korban.
c. Memperkirakan cara kematian korban.
d. Menentukan sebab akibat luka.
e. Membantu mencari dan mengumpulkan barang bukti. Sebagai contoh: Sisa
racun yang belum terminum, bercak darah atau noda sperma, dan sebagainya.
Apabila pemeriksaan di TKP sudah selesai, barulah jenazah boleh dibawa ke rumah
sakit dengan disertai:
a. Surat permintaan Visum et Repertum jenazah dari Penyidik kepada Dokter.
b. Label jenazah yang diikatkan oleh penyidik pada ibu jari kaki korban.
Pemeriksaan oleh Dokter Ahli Forensik ini sangat penting dalam hal menentukan jenis
kematian, sebab-sebab dari kematian, sehingga nantinya akan sangat berguna bagi
pihak yang berwajib untuk memproses atau tidaknya menurut hukum.

Pemeriksaan terhadap korban yang luka


: Pemeriksaan ini bergantung pada macam kejahatan yang telah dilakukan terhada diri
korban. Secara garis besar pemeriksaan ini dapat berupa:
a. Pemeriksaan korban kecelakaan lalu lintas.
b. Pemeriksaan korban keracunan.
c. Pemeriksaan korban penganiayaan.
d. Pemeriksaan korban kejahatan kesusilaan.
e. Pemeriksaan penentuan umur.
Pemeriksaan terhadap korban, oleh Dokter Ahli Forensik dimaksudkan untuk
mengetahui:
a. Ada atau tidaknya penganiayaan;
b. Menentukan ada atau tidaknya kejahatan atau pelanggaran kesusilaan;
c. Untuk mengetahui umur seseorang;
d. Untuk menentukan kepastian seorang bayi yang meninggal dalam kandungan
seorang ibu.

Pemeriksaan mayat
: dilakukan oleh Dokter Ahli Forensik, dalam hal ini dimaksudkan untuk mengetahui
apakah seseorang yang telah menjadi mayat tersebut mati secara wajar atau terdapat
kemungkinan telah terjadi penganiayaan sehingga menyebabkan matinya seseorang
tersebut. Untuk menentukan sebab-sebab kematian dengan pasti, maka Dokter Ahli
Forensik dapat melakukan pemeriksaan jenazah yang meliputi pemeriksaan tubuh
bagian luar, bagian dalam, dan pemeriksaan tambahan. Hal ini berarti harus dilakukan
dengan cara mengotopsi (membedah) mayat tersebut.Berdasarkan ketentuan Pasal 133
ayat (1) KUHAP, maka pemeriksaan mayat yang mati akibat dugaan karena peristiwa
yang merupakan tindak pidana hanya dilakukan atas permintaan penyidik yang
berwenang untuk kepentingan peradilan (pro justitia). Permintaan tersebut dilakukan
secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka
atau pemeriksaan mayat dan/atau pemeriksaan bedah mayat. Di dalam ayat (2) Pasal
133 tersebut, maka cara mayat yang dikirimkan kepada dokter atau rumah sakit harus
diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan. Kemudian, diberi label yang
memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari
kaki atau bagian lain badan mayat.

Pemeriksaan Barang Bukti


: Dalam kaitan ini barang bukti yang dimaksud adalah barang bukti yang apabila
dilihat dengan mata telanjang sulit untuk membuktikan siapakah sesungguhnya yang
mempunyai barang-barang tersebut.Contohnya seperti:
a. Membuktikan suatu noda merah itu suatu darah manusia atau bukan;
b. Membuktikan sehelai rambut itu milik manusia atau bukan;
c. Menentukan adanya spermatozoa pada sehelai kain;
d. Menentukan adanya bahan racun dalam muntahan;
e. Memeriksa suatu kerangka.
4. Pengaturan keterangan ahli bagi proses peradilan pidana sesuai KUHAP: Keterangan
ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Artinya, keterangan
ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau
penuntut umum yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat
sumpah diwaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. dalam penjelasan KUHAP
tentang Pasal 133 KUHAP dijelaskan bahwa “Keterangan yang diberikan oleh ahli
kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli. Penggunaan keterangan ahli, atau
dalam hal ini Visum et Repertum adalah hanya untuk kepentingan peradilan. Dengan
demikian berkas Keterangan Ahli ini hanya boleh diserahkan kepada penyidik
(instansi) yang memintanya. Keluarga korban atau pengacaranya dan pembela
tersangka pelaku tindak pidana tidak dapat meminta keterangan ahli langsung kepada
dokter pemeriksa, melainkan harus melalui aparat peradilan (penyidik, jaksa, atau
hakim).

Sanksi yang diberikan jika ahli tidak memenuhi kewajibannya guna kepentingan
penegakan hukum di Indonesia
: Memberikan keterangan di depan sidang pengadilan bagi Ahli Kedokteran Kehakiman
khususnya dan ahli lain pada umumnya, serta setiap orang merupakan kewajiban.
Pelanggaran terhadap kewajiban ini akan dikenakan ancaman hukuman sebagaimana
yang tertuang didalam ketentuan Pasal 224 KUHP. Adapun ancaman hukuman bagi orang
yang menolak panggilan sebagai saksi diatur dalam Pasal 224 ayat (1) KUHP yang berbunyi:
Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang
dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus
dipenuhinya, diancam:
1. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;
2. dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan

Anda mungkin juga menyukai