Anda di halaman 1dari 148

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/357393326

FILSAFAT HUKUM PANCASILA (Kajian Hukum, Politik, dan Hak Asasi


Manusia)

Book · December 2021

CITATIONS READS

0 363

1 author:

Dicky Eko Prasetio


Universitas Negeri Surabaya
203 PUBLICATIONS   83 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Filsafat Hukum- Pusat Kajian Hukum dan Pembangunan Universitas Negeri Surabaya View project

Law Research View project

All content following this page was uploaded by Dicky Eko Prasetio on 29 December 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


FILSAFAT HUKUM
PANCASILA
(Kajian Hukum, Politik, dan Hak Asasi Manusia)

Editor
Dicky Eko Prasetio
Fradhana Putra Disantara
Maydinah Syandra
Hafidz El Hilmi
Judul : Filsafat Hukum Pancasila (Hukum, Politik,
dan Hak Asasi Manusia
Penulis : Eko Listiyani, Eka Lutfia, Maharani Nur
Azizah, Anindya Ismi Setiyawati, Chintya
Ainun Khasanah, Siti Nur Aisyiah, Calvin
Anthony Putra, Audi Navira, Yulianti Nur
Indah Sari, Reza Pahlevi, Dimas Syahrul
Amrulloh, Daud Christian Marbun, Heny
Novyanti, Rama Novtian Ardi, Yazid Bustomi,
Dinda Anindita, Siti Nur Azizah, Reva
Damayanti, Muh. Tio Salsa.
Editor : Dicky Eko Prasetio, Fradhana Putra
Disantara, Maydinah Syandra, Hafidz El
Hilmi
Desain Sampul :
Diterbitkan :
Melalui

Cetakan 1, Mei 2020


Viii+98 Halaman; 14x20 cm
ISBN:

Hak cipta dilindungi undang-undang


All right reserved

Isi di luar tanggung jawab percetakan


PRAKATA EDITOR

‘Rechts hink achten de feiten’ bahwa hukum akan


selalu tertatih-tatih dalam menghadapi kenyataan.
Barangkali, istilah inilah yang pantas untuk
menggambarkan ‘dunia hukum’ yang tidak hanya berkutat
soal ‘pasal-pasal’. Bagi H.L.A Hart dalam bukunya The
Concept of Law, hukum memang dipisahkan dengan aspek
moralitas, namun bukan berarti hukum menjadi antipati
dengan moralitas. Dalam perspektif Hart, tertinggalnya
hukum menghadapi dunia kenyataan sangat memungkinkan
adanya peran ‘moralitas’ di dalam jagat berhukum supaya
hukum benar-benar dapat menjadi ‘pancaran’ dari moral itu
sendiri.
Tertatihnya hukum melawan dunia realitas
termasuk adanya peran moralitas untuk mengisi
(kekosongan) hukum tertulis membuat hukum tidak dapat
lagi dilihat secara ‘hitam-putih’ dan tertulis. Hukum harus
dilihat secara holistik dan komprehensif. Dalam perpektif
filsafat, gagasan Paul Feyerabend dalam buku yang berjudul
Against Method sejatinya merupakan ‘sudut pandang’ baru
dalam khasanah ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak
boleh kaku dan beku serta dinalar secara biasa. Dengan
perkembangan manusia, ilmu pengetahuan harus ‘dibidik’

iii
secara luar biasa. Dalam hal inilah potensi adanya ‘mix-
methode’ dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan menjadi
suatu keniscayaan.
Hal diatas sejalan dengan realitas hukum yang
terjadi saat ini. Dengan berbagai dinamika dan
perkembangan yang terjadi dalam kehidupan manusia,
hukum haruslah menjadi bagian yang ‘integral’ dalam
kehidupan manusia. Dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, hukum mestinya menjadi bagian yang
merefleksikan aspek Filsafat Hukum Pancasila. Tulisan ini,
secara spesifik akan mencoba ‘membedah’ khasanah Filsafat
Hukum Pancasila dalam kajian hukum, politik, dan hak asasi
manusia. ‘Dibedahnya’ Filsafat Hukum Pancasila dengan tiga
kajian di atas sejatinya dimaksudkan supaya hukum
menjadi lebih ‘lentur dan empuk’ ketika berhadapan dengan
masyarakat. Dengan demikian, diharapkan berbagai tulisan
dan tebaran gagasan dari buku ini dapat menambah
khasanah kita tentang Filsafat Hukum Pancasila. Memang,
kesempurnaah hanyalah milik Allah S.W.T., Tuhan Yang
Maha Esa. Untuk itu, segala kritikan, masukan, dan saran
akan diterima dengan senanng hati demi penyempurnaan
ke depannya.

iv
Akhir kata, semoga tulisan ini menjadi koma (dan
bukan titik) untuk terus membedah dan menguliti berbagai
sendi-sendi Filsafat Hukum Pancasila.
Selamat membaca dan selamat ‘bertamasya’ ke alam
Filsafat Hukum Pancasila.

v
DAFTAR ISI

PRAKATA EDITOR iii


DAFTAR ISI vi
PROLOG: KEDUDUKAN PANCASILA DALAM STUDI
FILSAFAT HUKUM 1
Dr. Hananto Widodo, S.H., M.H. 1
ALIRAN KEPERCAYAAN DALAM FILSAFAT HUKUM
PANCASILA 8
Eko Listiyani 8
SUNAT PEREMPUAN DITINJAU DARI FILSAFAT
HUKUM PANCASILA 15
Eka Lutfia 15
Resistensi Atas Eksistensi LGBT di Indonesia dalam
Perspektif Filsafat Hukum Pancasila 22
Maharani Nur Azizah 22
Diskursus Filsafat Hukum Pancasila Terkait Eksistensi
Sila Kelima 28
Anindya Ismi Setiyawati 28
MENJAWAB TANTANGAN REVOLUSI INDUSTRI DI ERA
MILENIAL SAAT INI DALAM PRESPEKTIF NILAI NILAI
PANCASILA 35
Chintya Ainun Khasanah 35

vi
REFLEKSI PENERAPAN SILA KE-2 PANCASILA
TERKAIT PERBUDAKAN ANAK DI BAWAH UMUR
SEBAGAI PEKERJA 41
Siti Nur Aisyiah 41
Analisis Kesetaraan Gender Dalam Perspektif Falsafah
Hukum Menurut Sila Pertama Dalam Pancasila 47
Calvin Anthony Putra 47
LIMITASI HAK PENDIDIKAN MASYARAKAT SUKU
BADUY ‘DALAM’, QUO VADIS PANCASILA? 53
Audi Navira 53
KESETARAAN GENDER DALAM PERSPEKTIF
PANCASILA DAN FILSAFAT 59
Yulianti Nur Indah Sari 59
Pelanggaran HAM dalam Landasan Yuridis dan
Filosofis 65
Reza Pahlevi 65
INTOLERANSI BERAGAMA TERHADAP SESAMA UMAT
MANUSIA 72
Dimas Syahrul Amrulloh 72
HIDUP SECARA BERDEMOKRASI YANG TIDAK AKAN
SELALU DIIDENTIKKAN DENGAN ADANYA
PERISTIWA DEMONSTRASI 78
Daud Christian Marbun 78
DISKRIMINASI TERHADAP KEANEKARAGAMAN SUKU
BANGSA DI INDONESIA DITINJAU DARI PERSPEKTIF
FILSAFAT HUKUM PANCASILA 86
vii
Heny Novyanti 86
LGBT TERKAIT DENGAN SILA DALAM PANCASILA 94
Rama Novtian Ardi 94
Kebebasan Berpendapat menurut Pancasila di Era
Demokrasi Modern 99
Yazid Bustomi 99
Kesehatan Mental di Kalangan Masyarakat Komunitas
Pinggiran dalam Perspektif Pancasila 107
Dinda Anindita 107
ANALISIS MASALAH EKSPLOITASI ANAK DALAM
PRESPEKTIF FALSAFAH PANCASILA 113
Siti Nur Azizah 113
Analisis Eksistensi Penghayat Kepercayaan Terhadap
Pancasila (Terutama Sila Pertama) 118
Reva Damayanti 118
Kebijakan Pengelolaan Hutan NKRI Menurut Prinsip
Pancasila 124
Muh. Tio Salsa 124
TENTANG PENULIS: 131

viii
PROLOG: KEDUDUKAN PANCASILA DALAM
STUDI FILSAFAT HUKUM

Dr. Hananto Widodo, S.H., M.H.

Kita selalu disuguhkan aliran pemikiran filsafat dari


Barat dan sebagian besar dari kita asyik dengan dunia
pemikiran dari Barat itu. Memang, pemikiran dari pemikir
Barat itu menarik kita pelajari, karena jika kita ingin
berpikir lebih rasional, mau tidak mau kita harus belajar
pada negara-negara yang memiliki budaya berpikir rasional.
Akan tetapi, kita lupa bahwa dunia barat juga tidak lepas
dari hiruk pikuk pemikiran yang berpijak pada sesuatu yang
irrasional.
Timbulnya revolusi Perancis tidak lain karena ada
hegemoni dari negara yang berkolaborasi dengan Gereja.
Runtuhnya hegemoni negara pada waktu itu merupakan
pertanda lahirnya tradisi rasionalisme. Oleh karena itu,
Immanuel Kant (2009;1) langsung mengatakan dengan
lantang Sapere Aude. Beranilah menggunakan akalmu! Sejak
saat itulah tradisi berpikir orang-orang barat lebih
didominasi dengan pemikiran yang cenderung rasional dan
positivistic. Salah satu aliran pemikir rasional adalah Rene
Descartes yang terkenal dengan adagiumnya : Cogito Ergo
Sum, yang artinya aku berpikir, maka aku ada. Sedangkan
pemikir positivistic yang merupakan rujukan awal dari
banyak orang yang ingin belajar pemikiran positivistic
adalah Auguste Comte (1798-1857). Comte membagi fase
ilmu pengetahuan menjadi tiga; 1. Teologik; 2) Metafisik; 3)
Positif (Maheswari, 2013).

1
Comte mengatakan bahwa pada tahap positif inilah
yang bisa disebut sebagai ilmu pengetahuan. Karena pada
tahap inilah sesuatu gagasan dibangun berdasarkan
pengamatan dan dibatasi oleh metode ilmu pengetahuan.
Sementara itu, teologi dan metafisik ini gagasannya tidak
difokuskan pada fakta empiris (Maheswari, 2013). Setelah
Comte, lalu lahir banyak pemikir-pemikir positivistic
lainnya, seperti Max Weber.
Aliran filsafat akan selalu berkembang berdasarkan
semangat zamannya (Zeit Geist). Oleh karena itu, sangat naif
jika memelajari kajian filsafat tanpa menengok pada sejarah
di mana pemikiran tersebut dilahirkan. Oleh karena itu,
Filsafat hukum akan selalu bergerak dalam lintasan sejarah.
Madzhab-madzhab yang bermunculan pasti lahir
didasarkan pada madzhab sebelumnya. Aliran Hukum Alam
yang merupakan aliran paling klasik dalam lintasan sejarah
filsafat hukum juga tidak serta merta berdiri sendiri. Hukum
alam juga bukan sebuah pemikiran yang statis. Hingga kini,
aliran ini juga masih menginspirasi banyak pemikir hukum
di dunia.
Hukum alam yang merupakan madzhab yang
menitikberatkan pada nilai-nilai keadilan juga tidak lepas
dari kritik. Beberapa pemikir positivistic hukum, seperti
Hans Kelsen dan Austin juga menunjukkan ketidaksetujuan
terhadap madzhab hukum alam ini. Memang, hukum alam
yang menekankan aspek ontologis dan aksiologisnya pada
nilai-nilai keadilan dianggap oleh kaum postivistik hukum
sebagai sesuatu yang absurd. Para pemikir positivistic
hukum lebih menekankan aspek ontologisnya dan
aksiologisnya pada kepastian hukum. Hingga kini, antinomi

2
(pertentangan) antara keadilan dan kepastian hukum terus
menjadi perdebatan menarik di kalangan ahli hukum,
termasuk ahli hukum di Indonesia.
Pemikiran Hans Kelsen sebagai seorang positivistic
hukum yang paling radikal ini, banyak memengaruhi sistem
hukum di dunia, termasuk Indonesia. Hans Kelsen
berpendapat bahwa hukum harus dibersihkan dari anasir-
anasir non hukum, seperti psikologis dan politik. Sehingga
nalar yang digunakan oleh negara dalam berhukum adalah
nalar yang benar-benar bersih dari anasir non hukum. Salah
satu pemikiran Hans Kelsen yang paling menginspirasi di
kalangan pemikir hukum di Indonesia adalah teori jenjang
norma (stufentheorie). Hans Kelsen mengemukakan
stufentheorie, di mana ia berpendapat bahwa norma-norma
hukum itu berjenjang-jenjang dalam suatu hierarki tata
susunan di mana norma hukum yang lebih rendah
bersumber pada norma hukum yang lebih tinggi sampai
pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut
dan bersifat hipotesis dan fiktif, yang disebut sebagai norma
dasar (Grundnorm) (Farida, 1998:25).
Di sini akan muncul pertanyaan, apakah Pancasila
merupakan Grundnorm? Untuk menjawab itu, maka kita
harus kembali pada karakteristik dari pemikiran Hans
Kelsen. Karakteristik pemikiran Hans Kelsen tidak lain dan
tidak bukan adalah teori yang murni tentang hukum.
Artinya, norma hukum berjenjang mulai dari norma yang
paling rendah sampai Grundnorm harus benar-benar steril
dari anasir non hukum, termasuk moralitas.
Sebagaimana kita ketahui, Pancasila merupakan
norma dasar yang syarat dengan nilai moral. Oleh karena

3
itulah sebagai dasar negara pada hakikatnya Pancasila
adalah suatu ideologi kebangsaan yang berisi asas
kerohanian negara, falsafah negara (philosophische
grondslag), cita hukum (rechstidee). Dengan demikian,
Pancasila tidak dapat dipisahkan dari moral, sedangkan
Hans Kelsen yang mendasarkan dalilinya pada teori hukum
murni menolak dualisme antara hukum dan moral, serta
antara hukum dan keadilan (Hadjon, 1998:8).
Kedudukan Pancasila sebagai cita hukum
(rechtsidee) lebih tepat dibandingkan dengan grundnorm.
Rudolf Stammler (1856-1939), seorang ahli filsafat
beraliran neo-Kantian, berpendapat bahwa cita hukum ialah
kontruksi pikir yang merupakan keharusan bagi
mengarahkan hukum kepada cita-cita yang diinginkan
masyarakat. Cita hukum berfungsi sebagai bintang pemandu
bagi tercapainya cita-cita masyarakat. Sementara itu, Gustav
Radbruch (1878-1949), menegaskan bahwa cita hukum
tidak hanya berfungsi sebagai tolok ukur yang bersifat
regulative, yang menguji apakah sesuatu aturan itu adil atau
tidak, tetapi juga sebagai dasar konstitutif yang menentukan
bahwa tanpa cita hukum, hukum akan kehilangan
maknanya (Attamimi, 1992:68).
Pancasila sebagai rechtsidee membawa konsekuensi
setiap peraturan perundang-undangan harus mengacu pada
nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai Pancasila sarat dengan nilai-
nilai keTuhanan (baca : moral), dan juga nilai-nilai keadilan.
Nilai-nilai keadilan dalam Pancasila bukan sekedar nilai
keadilan hukum semata, tetapi juga nilai social. Oleh karena
itu, dalam Pancasila bukan saja merupakan jalan tengah
bagi ideologi-ideologi di dunia, tetapi juga merupakan jalan

4
tengah bagi tiga madzhab filsafat hukum yang paling
berpengaruh di dunia ini, yakni madzhab hukum alam,
madzhab sosiologis dan madzhab positivism hukum. Nilai
keTuhanan dan kemanusiaan yang adil dan beradab
merupakan cerminan dari madzhab hukum alam dan
keadilan sosial merupakan cerminan dari madzhab
sosiologi. Sedangkan Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber hukum merupakan cerminan dari madzhab
positivism hukum.
Kedudukan Pancasila sebagai norma tertinggi dalam
sistem hukum juga dapat kita lihat pada kedudukan
Pancasila di dalam dua sistem hukum. Sebagaimana kita
ketahui, terdapat dua sistem hukum yang paling
berpengaruh di dunia, yaitu sistem hukum Anglo Saxon dan
Eropa Kontinental. Dalam sistem hukum anglo saxon, apa
yang disebut “hukum” hanyalah apa yang tertulis di dalam
pasal-pasal, sedangkan Pembukaan, dan yang di luar pasal
lainnya bukan hukum sehingga tidak membawa akibat
hukum dalam penafsiran dalam pasal-pasal peraturan.
Sementara itu, dalam sistem hukum Eropa Kontinental,
pembukaan menempati kedudukan yang paling penting
karena ia berisi pertimbangan-pertimbangan yang
mendasari perumusan pasal-pasal dalam suatu peraturan.
Dengan demikian, Pembukaan membawa akibat hukum
dalam penafsiran pasal-pasalnya (Mahendra, 1996:86).
Oleh karena hukum Indonesia lebih banyak
dipengaruhi oleh tradisi hukum Eropa Kontinental, maka
kedudukan Pancasila yang berada dalam Pembukaan UUD
1945 membawa akibat hukum dalam menafsirkan pasal-
pasal UUD NRI Tahun 1945. Hal ini jika ditinjau dari segi

5
filsafat hukum, Pembukaan UUD 1945 yang mengandung
Pancasila adalah staatfundamentalnorm yang akan
mengalirkan rechtsidee sebagai perwujudan konkrit dari
Pancasila staatsfundametal norm (Hadjon, 1998:11).
Peminat filsafat hukum, khususnya bagi mahasiswa
S1 Ilmu Hukum dapat dikatakan sangat jarang peminatnya.
Hal ini wajar, sebab mahasiswa S1 Ilmu Hukum lebih
dibekali pada kemampuan teknis hukum (dogmatika
hukum). Karena kemampuan teknis hukum inilah yang akan
menjadi modal utama dalam menyelesaikan problem
hukum konkrit di masyarakat. Namun demikian,
bagaimanapun juga jangan sampai mahasiswa S1 Ilmu
Hukum sama sekali tidak memiliki bekal filsafat, karena
bagaimanapun juga ilmu hukum tetap harus memiliki ruh
dan ruh filsafat hukum yang paling dikenal oleh mahasiswa
S1 Ilmu Hukum adalah Pancasila. Dengan demikian, upaya
dari mahasiswa S1 Jurusan Hukum dalam menulis mengenai
Filsafat Hukum Pancasila patut diapresiasi.

Referensi
Attamimi, Hamid S. 1992. Pancasila Sebagai Ideologi. Jakarta
: BP-7.

Farida, Maria. 1998. Ilmu Perundang-undangan. Jakarta:


Penerbit Kanisius.
Hadjon, Philipus M. 1998. “Pancasila Sebagai Dasar Negara
dan Hukum Tata Negara”, Jurnal Yustisia, Vol. 1, No. 2,
Desember 1998.

6
Kant, Immanuel. 2009. An Answer to the Question: What is
Enlightenment?,Trans. H.B. Nisbet, London: Penguin
Books.
Mahendra, Yusril Ihza. 1996. Dinamika Tata Negara
Indonesia. Jakarta : Gema Insani Press.

Maheswari, V.K. 2013. Auguste Comte’s “Law of the Three


Stages, dalam
http://www.vkmaheshwari.com/WP/?p=694, diakses
tanggal 5 Juni 2020

7
ALIRAN KEPERCAYAAN DALAM FILSAFAT
HUKUM PANCASILA

Eko Listiyani

Pancasila adalah filsafat negara yang tumbuh


sebagai ideologi kolektif (cita-cita bersama) seluruh bangsa
Indonesia (Dewantara, 2017). Pancasila disebut sebagai
filsafat karena hasil buah pikir jiwa mendalam yang
dilakukan oleh para perintis lalu dituangkan dalam suatu
sistem yang tepat. Notonagoro berpendapat bahwa filsafat
pancasila memberikan pengetahuan dan pengertian ilmiah
yaitu tentang pokok pancasila (Dewantara, 2017).
Pada dasarnya berbicara mengenai pancasila tidak akan
meninggalkan nilai-nilai yang tercantum dalam sila-sila
pancasila. Nilai yang mendasar dari kelima sila pancasila
yaitu nilai ketuhanan. Munculnya “kepercayaan” di
Indonesia adalah bentuk regenerasi dari agama-agama asli
Nusantara. Tercakup dalam sebutan ajaran atau penghayat
kepercayaan, yang terbagi atas kebatinan, kerohanian, dan
kejiwaan (Subagya, 1981). Banyak sebutan yang digunakan
dalam ritual keagamaan mengisyaratkan keesaan Tuhan
(Jilan, 2019).
Kelompok aliran kepercayaan kerap diperlakukan
tidak adil karena kepercayaan yang dianutnya tidak masuk
sebagai agama, sebagaimana agama tercantum dalam
peraturan perundang-undangan di negeri ini (Jilan, 2019).
Mereka sebenarnya tidak berbeda jauh dengan kelompok
penganut agama-agama lain, khususnya pemeluk agama
lainnya. Hanya karena tidak dapat membuktikan adanya
nabi, kitab suci, dan sistem religi secara khusus, sehingga
tidak diakui sebagai sebuah agama oleh masyarakat.

8
Dari isu tersebut apabila ditelisik dengan filsafat pancasila,
maka semua nilai-nilai pancasila akan mempengaruhi
adanya aliran kepercayaan yang berkembang di Indonesia,
meliputi:
a. Nilai Ketuhanan
Nilai ketuhanan sangat erat kaitannya dengan
faithfulness, religius, dan spiritual. Nilai ketuhanan bersifat
konstan, karena pengakuan atas keberadaan Tuhan bersifat
pasti dan tidak berubah-ubah.
Pengakuan nilai ketuhanan tidak dapat dipisahkan
dengan agama, karena agama adalah salah satu tiang dasar
daripada peri kehidupan manusia dan bagi bangsa
Indonesia juga sebagai sendi peri kehidupan negara serta
unsur mutlak dalam usaha nation-building (Sudrajat, 2009).
Nilai ketuhanan tidak pernah lepas dalam
hubungan kemanusiaan dan juga berketuhanan tidak
terlepas dari peri kemanusiaan yang adil dan beradab
(Fuad, 2016).
Secara garis besar, aliran kepercayaan dengan
agama sama. Keduanya meyakini adanya Tuhan sebagai
sumber dari segala sumber kekuatan di dunia ini. Pada
dasarnya entah itu agama ataupun aliran kepercayaan yang
dianut, urusan ketuhanan merupakan privasi masing-
masing orang, orang lain tidak boleh mencampuri urusan
selama tidak bertentangan dengan aturan dan norma yang
berlaku. Selama kepercayaan tidak menyesatkan bagi orang
lain, kepercayaan tersebut tidak menyimpang dan
merugikan bagi orang banyak.
b. Nilai Kemanusiaan
Berangkat dari sila kedua pancasila, nilai
kemanusiaan tidak lepas dari respect, fair, dan courage.
Respect diartikan sebagai sikap hormat, kehormatan serta
kagum terhadap suatu hal. Fair dapat diartikan sebagai adil,
berpegangan pada kebenaran. Courage memiliki arti
keteguhan hati, keberanian, dan keperkasaan.
9
Dalam nilai kemanusiaan, memelihara hak komunal sebagai
perlindungan yang utama juga menempatkan individu-
individu di dalamnya untuk depelihara haknya. Kata yang
lebih tepat digunakan adalah kata “kemerdekaan individu”
sebagai pengganti atau alternatif kata “kebebasan individu”
dalam hukum.
Namun, pada nyatanya masih banyak orang yang
mendiskriminasi orang lain yang berbeda dengannya entah
fisik, mental ataupun hal lainnya. Salah satunya, yaitu
diskriminasi terhadap penganut aliran kepercayaaan.
Lombard mengimbuhkan, sehari-harinya penganut aliran
kepercayaan cenderung dicap sebagai kelompok ilmu klenik
dan diwaspadai keberadannya oleh aparat negara maupun
wakil-wakil agama yang ada di lingkungan sekitar (Teguh,
2019). Hal tersebut merupakan salah satu bentuk
diskriminasi yang diterima oleh penganut aliran
kepercayaan. Seolah-olah mereka merupakan kelompok
yang membahayakan bagi masyarakat disekitarnya.
c. Nilai Persatuan
Pancasila sebenarnya adalah suatu kompromi atau
kesepakatan politik mengenai esensi negara yang
diperlukan untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan
negara baru yang bernama Republik Indonesia (Siregar,
2014). Kesatuan diperlukan mengingat struktur dan
komposisi masyarakat Indonesia yang sangat pluralis, baik
dari segi agama, suku, etnis, budaya, ekonomi, maupun
lainnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa hal yang
mempersatukan bangsa Indonesia bukanlah kesamaan
identitas sebagai suatu kelompok, melainkan perasaan
senasib yang pada akhirnya menumbuhkan tekad bagi
bangsa Indonesia untuk bersatu (Siregar, 2014).
Persatuan kebangsaan mampu mengikis semangat
kedaerahan ataupun kelompok (Sutono, 2015). Kerukunan
adalah dasar dari nilai persatuan sehingga terciptanya
masyarakat yang utuh dan kokoh, sebab kerukunan
10
merupakan salah satu dari jiwa Pancasila. Kerukunan
diibaratkan sebagai semangat rela berkorban untuk
kepentingan yang lebih besar yaitu persatuan masyarakat.
Adanya persatuan masyarakat dapat mengesampingkan
kepentingan-kepentingan individu maupun
kelompok.Apabila kita hanya terpaku dalam satu circle,
tanpa bersatu dengan circle lain akan membuat kita mudah
untuk goyah, runtuh, dan dipecah-belah.Persatuan
merupakan langkah dasar dari terwujudnya kesatuan suatu
negara. Nilai persatuan merupakan perekat, yang
mendamaikan kelompok masyarakat yang memiliki
berbagai macam nilai dalam kelompok-kelompok yang
terdapat di Indonesia.
d. Nilai Demokrasi
Nilai demokrasi atau kerakyatan atau dikenal juga
permusyawaratan merupakan nilai Pancasila yang kental
akan budaya demokrasi. Nilai demokrasi disini berkaitan
dengan tanggung jawab serta harmoni. Tanggung jawab
memiliki arti keadaan yang wajib menanggung segala
sesuatu. Harmoni diartikan sebagai keserasian, keselarasan.
Permusyawaratan, berarti mengusahakan putusan bersama
secara bulat, yang kemudian diadakan tindakan secara
bersama-sama.
Nilai demokrasi harus mampu mewujudkan
semangat demokrasi yang egaliter sebagai sebuah dasar
yang penting dalam penyelenggaraan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa serta bernegara. Kesediaan
orang lain untuk mendengarkan pendapat orang lainnya
serta menghargainya merupakan cita-cta yang harus
diwujudkan daam masyarakat. Nilai demokrasi
termanifestasi dalam kehidupan bangsa yang demokratis,
saling bergotong royong, serta menjunjung tinggi hukum
serta hak asasi manusia sebagai wujud nyata dari karakter
warga Indonesia yang utama dalam mendukung
pembangunan nasional (Prayitno, 2014).
11
Nilai demokrasi yang tertanam yaitu menghargai
keberagaman agama maupun aliran kepercayaan yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Tanpa harus
saling menjatuhkan satu sama lain, namun dapat berjalan
berdampingan dan saling menghargai dalam
bermasyarakat, berbangsa serta bernegara. Dengan
demikian akan terwujud kehidupan dalam masyarakat yang
harmonis secara bersama-sama.
e. Nilai Keadilan
Nilai keadilan dalam pancasila menelisik keadilan
secara bersama bukan keadilan secara individual. Keadilan
yang akan diwujudkan meliputi keadilan bidang materiil
dan spiritual. Nilai keadilan merupakan perilaku-perilaku
luhur yang mencerminkan sikap serta suasana
kekeluargaan dan kegotong-royongan, bersikap adil,
menghargai hak-hak orang lain, bersedia memberi
pertolongan kepada orang lain, tidak melakukan perilaku
yang dapat merugikan kepentingan umum, bersama-sama
berusaha mewujudkan pertumbuhan yang merata dan
berkeadilan sosial (Kirom, 2011).
Adil berarti seimbang antara hak dan kewajiban.
Keadilan sosial merupakan sesuatu yang memang
diharapkan ada dalam masyarakat, bagaimana rasa adil
tidak semata untuk diri sendiri, tetapi juga untuk
masyarakat tempat individu berada. Ada tiga prinsip
keadilan sosial yang dikemukakan oleh Suryawasita, yaitu
keadilan atas dasar hak, keadilan atas dasar jasa, serta
keadilan atas dasar kebutuhan (Siregar, 2014).
Keadilan sosial menempatkan individu-individu
yang kooperatif. Keadilan yang diinginkan adalah keadilan
yang didasarkan atas kemakmuran dan kebahagiaan.
Keadilan dapat dirasakan oleh semua orang, tanpa melihat
bahwa dirinya minoritas maupun mayoritas dalam
masyarakat.

12
Dalam konteks ini, keadilan dapat dirasakan oleh penganut
aliran kepercayaan apabila keberadaannya diakui oleh
masyarakat maupun negara tanpa adanya tekanan yang
dirasakan. Sama halnya yang dirasakan ketika keberadaan
seseorang diakui ditengah kerumunan orang-orang
disekitarnya.

Referensi

Dewantara, A. W. (2017). Diskursus Filsafat Pancasila


Dewasa Ini. Yogyakarta: Kanisius.
Fuad, F. (2016). Falsafah Hukum Pancasila, Reaktualisasi
Staatsfundamentalnorm. Lex Jurnalica, 171-178.
Jilan, B. (2019, Juni 5). uinjkt.ac.id: Konsep Keesaan Tuhan
Aliran Kepercayaan. Retrieved Oktober 19, 2019, from
uinjkt.ac.id: uinjkt.ac.id/id/konsep-keesaan-tuhan-
aliran-kepercayaan.
Kirom, S. (2011). Filsafat Hukum dan Arah Pengembangan
Pancasila: Relevansinya dalam Mengatasi Persoalan
Kebangsaan. Jurnal Filsafat, 99-117.
Prayitno, U. S. (2014). Pancasila dan Perubahan Sosial:
Perspektif Individu dan Struktur dalam Dinamika
Interaksi Sosial. Aspirasi, 107-117.
Siregar, C. (2014). Pancasila, Keadilan Sosial, dan Persatuan
Indonesia. Humaniora, 107-112.
Subagya, R. (1981). Agama Asli Indonesia. Jakarta: Yayasan
Cipta Loka Caraka.
Sudrajat, A. M. (2009). Penemuan Hukum Concreto dalam
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Jurnal
Dinamika Hukum, 96-1003.
Sutono, A. (2015). Meneguhkan Pancasila Sebagai Filsafat
Pendidikan Nasional. Jurnal Ilmiah CIVIS, 666-678.
Teguh, I. (2019, Februari 28). Tirto.id: Sosial Budaya.
Retrieved Oktober 19, 2019, from Tirto.id:
13
https://tirto.id/sejarah-diskriminasi-penganut-
agama-di-indonesia-dhTX.
Subekti, S. (2013). Pemaknaan Humanisme Pancasila Dalam
Rangka Penguatan Karakter Bangsa Menghadapi
Globalisasi. Humanika, 140-155.
Yassa, S. (2018). Pendidikan Pancasila ditinjau dari
perspektif filsafat (Aksiologi). Jurnal Citizenship: Media
Publikasi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan,
1-8.
Yudistira. (2016). Aktualisasi & Implementasi Nilai-Nilai
Pancasila dalam Menumbuh Kembangkan Karakter
Bangsa. Seminar Nasional Hukum, 421-436

14
SUNAT PEREMPUAN DITINJAU DARI
FILSAFAT HUKUM PANCASILA

Eka Lutfia

Perempuan seringkali dianggap sebagai kaum yang


rawan terhadap perbuatan diskriminasi. Hal ini disebabkan
dengan adanya pandangan dari masyarakat bahwa
perempuan merupakan kaum yang lemah dan tidak dapat
berbuat sesuatu misalnya bekerja kantor yang dilakukan
oleh laki-laki. Karena hal tersebut, Indonesia sebagai negara
hukum melindungi hak yang dimiliki perempuan dalam
Pancasila dan UUD 1945. Kesetaraan gender sebagai salah
satu bentuk perlindungan perempuan yang ada pada nilai-
nilai moral Pancasila. Kesetaraan serta upaya memberikan
keadilan atas perbedaan gender telah diperjuangkan oleh
perempuan pada puluhan tahun yang lalu dengan harapkan
dapat mengurangi bahkan menghilangkan ketimpangan
kedudukan antara perempuan dan laki-laki. Namun,
semakin berkembangnya pengetahuan didalam masyarakat
belum mampu untuk menghilangkan ketimpangan tersebut.
Bahkan berbagai instrummen yuridis telah dilakukan oleh
pemerintah. Ketimpangan masih banyak ditemui baik dalam
bidang pekerjaan, sosial, pendidikan, politik, ekonomi,
bahkan didalam budaya masyarakat.
Banyak faktor yang membuat ketimpangan gender
dimasyarakat tersebut masih tinggi. Berdasarkan
pemaparan diatas dapat diketahui bahwa konsep gender
berpengaruh besar dalam kontribusi keseimbangan
kedudukan perempuan dan laki-laki. Lalu bagaimana

15
konsep gender yang ideal yang harusnya berkembang di
Indonesia sebagai wujud pelaksanaan pancasila untuk
menghilangkan padangan bahwa sunat perempuan telah
melanggar adanya hak asasi manusia? Dalam pancasila
sendiri regiulitas atau yang dikenal dengan nilai Ketuhan
sebagai nilai yang utama yaitu tepatnya pada Sila Pertama.
Berkaitan dengan adanya nilai rohani manusia yang
berkaitan dengan aturan agama yang mana bangsa
Indonesia harus mematuhi aturan yang ada serta ajaran
agama yang dianut oleh masing-masing orang. Upaya dalam
pemenuhan hak atas kesetaraan tersebut diperbolehkan
selama tidak bertentangan dengan nilai yang ada pada
ajaran agama.
Dimana dalam hal ini nilai agama sebagai suatu
batasan atas kebebasan yang diatur dalam Pancasila. Lalu
bagaimana dengan adanya pandangan atau suatu
pengakuan dari sudut agama? (Misalnya dalam agama
Islam), tentang seorang perempuan yang telah menganut
atau masuk agama Islam baru atau dapat dikatakan sah
masuk islam berdasarkan pandangan apabila orang
tersebut telah melakukan sunat perempuan tersebut.
Beberapa masyarakat memiliki pandangan bahwa
sunat perempuan sebagai bentuk atau bagian dari syariat
Islam yang bersifat wajib untuk dilaksanakan. Apakah hal
tersebut dapat menjadi dasar bahwa pancasila tidak
menentang adanya sunat perempuan? karena dianggap
sebagai kegiatan menjalankan keagamaan bukan termasuk
pelanggaran Hak Asasi Manusia. Tentu saja tidak, jika
melihat dari makna dari sunat perempuan bagi masyarakat
adat adalah untuk menyucikan diri mereka yang dalam hal

16
ini menyucikan dengan tujuan untuk menjaga kelangsungan
reproduksi mereka atau menjaga keturunan.
Ketika sunat perempuan yang sudah menjadi ritual
tersebut dikaitan dengan alat reproduksi perempuan. Pada
sisi lainnya Hak reproduksi perempuan merupakan suatu
yang harus dijunjung tinggi dan dipastikan agar setiap
perempuan itu dinyatakan dalam keadaan yang sehat baik
secara fisik, psikologis (mental) dan sosial. Pandangan
tersebut menyatakan secara tidak langsung bahwa Sunat
perempuan dianggap memiliki banyak dampak negatif yang
tentunya hal tersebut bertentangan dengan apa yang
menjadi hak-hak sebagai seorang perempuan.
Kesehatan reproduksi dianggap memiliki
keterkaitan dengan hak semua orang terutama perumpuan
untuk merasakan keamanan, terlindung serta kepuasan
dalam kehidupan seksualitasnya dan kebebasan untuk
memilih kapan dan bagaimana memfungsikan alat
reproduksi tersebut, baik kesehatan secara Fisik yaitu
Keadaan jasmani yang mana terbebas dari rasa sakit atau
penyakit, sehat secara Mental yaitu Keadaan psikis yang
terbebas dari berbagai hal yang menyebabkan adanya
tekanan pikiran, batin dan perasaan, sehat secara sosial saat
dimana seseorang tersebut diterima baik dalam lingkungan
sosial atau dalam lingkungan masyarakat serta mampu
untuk melakukan kegiatan bersama-sama orang lain (WHO,
1996).
Apabila dilihat dari perspektif gender, sunat
perempuan bagaimanapun juga bentuknya dan caranya
merupakan suatu bentuk ketidakadilan untuk perempuan
itu sendiri, dan tentu saja hal tersebut merupakan suatu

17
bentuk pelanggaran HAM karena mengabaikan mengenai
hak yang dimiliki perempuan dan juga merupakan suatu
bentuk tindak kekerasan ditambah dengan adanya
pandangan stereotip pada perempuan yang jika tidak
melakukan praktik sunat perempuan tersebut (Hikmalisa,
2016).
Sunat perempuan merupakan salah satu bentuk
diskriminasi yang terjadi pada perempuan. Sunat sebagai
kata-kata yang lazim dikaitkan pada anak laki-laki, akan
tetapi pada kenyataannya sunat tidak hanya dilakukan pada
anak laki-laki saja melainkan adanaya sunat juga bisa terjadi
pada anak perempuan. Sunat perempuan ini dilatar
belakangi dari masyarakat yang memiliki budaya dan agama
yang masih kental. Sunat pada perempuan dianggap sebagai
sebuah tradisi yang diyakini dapat membersihkan diri
seorang perempuan dengan cara menghilangkan bagian
tubuh yang dianggap tidak bersih. Berbeda dengan sunat
pada laki-laki yang berasarkan penelitian ilmiah dapat
berdampak positif berupa menghindarkan diri dari berbagai
bentuk penyakit kelamin misalnya saja yang sering dikenal
umum yaitu penyakit kanker dan HIV/AIDS.
Sunat perempuan masih menjadi problematika yang
belum kunjung selesai. Adanya perbedaan pandangan
mengenai sunat perempuan yang disatu sisi menadang
bahwa sunat perempuan sebagai bentuk pelanggaran HAM
terhadap perempuan dan disis lainnya pandangan bahwa
hal tersebut merupakan tradisi dan budaya yang sudah
berkembang di Indonesia. Praktik sunat perempuan ini
terjadi di salah satunya yaitu di Kuntu Darussalam yang
sudah dianggap sebagai tradisi yang melekat dan diyakini

18
sebagai syari’at dalam Islam. Sunat tersebut dilakukan pada
pada segala usia menjelang akan baligh. Biasanya pada usia
6 tahun. Dilakukan oleh bidan atau dukun setempat.
Realitas sosial yang terjadi dimasyarakat tersebut
menunjukkan bahwa agama dan adat istiadat berpengaruh
besar pada kelangsungan hidup masyarakatnya.
Sunat Perempuan banyak mendapat kecaman
terutama dari ahli kesehatan maupun masyarakat
Internasional yang mengaggap hal tersebut melanggar hak
asasi yang dimiliki perempuan. Selain itu, dikarenakan
dampak yang ditimbulkan oleh sunat perempuan sangat
besar baik itu dampak jangka pendek maupun dampak
jangka panjangnya. Lebih ekstrimnya lagi sunat perempuan
bisa menyebabkan seorang perempuan dapat kehilangan
nyawa yang disebabkan pendarahan hebat akibat
pemotongan sebagian atau seluruhnya organ reproduksi
perempuan. Sunat perempuan juga dapat memberikan
dampak pada kondisi psikis anak berupa rasa trauma
mendalam dan bahkan berkepanjangan. Dengan adanya
sunat perempuan sebgaia suatu bentuk tradisi dan adat
istiadat tersebut menjadikan suanat perempuan sebagai
suatu permasalahan yang kompleks dan sulit untuk
dipecahkan.
Sunat perempuan yang dianggap melanggar Hak
Asasi Manusia tentu saja terlihat jelas dan bahwa sunat
perempuan merupakan hal yang bertentangan dengan nilai-
nilai yang ada dalam Pancasila terutama yang menjunjung
tinggi atas nilai kemanusiaan. Bahkan diatur dalam Pasal
28G ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa” Setiap
orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan

19
yang merendahkan derajat atau martabat manusia”.
Diperjelas mengenai kedududkan wanita dalam lampiran
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang konvensi
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita
Pasal 5 ayat (1) bahwa :
“Negara peserta wajib melakukan langkah-langkah yang
tepat untuk mengubah pola tingkah laku sosial dan budaya
pria dan wanita dengan maksud untuk mencapai
penghapusan prasangka-prasangka dan kebiasaan-
kebiasaan dan segala praktik lainnya yang berdasarkan atas
inferioritas atas superioritas salah satu jenis kelamin atau
berdasarkan salah satu jenis kelamin atau berdasarkan
peranan steotipe bagi pria dan wanita.”
Sunat perempuan mencerminkan ketidaksetaraan,
bahkan sampai dinyatakan sebagai bentuk yang ekstrem
dari adanya diskriminasi terhadap perempuan. Hal ini
hampir saja selalu terjadi dengan dilakukannya hal tersebut
pada anak di bawah umur yang merupakan bentuk dari
pelanggaran hak yaitu hak yang dimiliki oleh seorang anak.
Pada masyarakat adat budaya ini perempuan bukanlah
orang istimewa jika perempuan belum disunat. Kebanyakan
daerah yang masih kental dengan budayanya, sunat
perempuan lazim dilakukan hingga saat ini. Mereka
berdalih bahwa sunat perempuan merupakan tradisi atau
budaya yang sudah dilakukan dari dulu dan mereka tidak
ingin untuk menghilangkan tradisi yang sudah dilakukan
tersebut. Tradisi tersebut sudah melekat erat pada sebagian
kalangan masyarakat karena memang kebiasaan turun-
temurun yang dipercayai sehingga kemungkinan untuk
mengubahnya memang membutuhkan waktu yang cukup

20
lama dan relatif sulit. Upaya melakukan beberapa
perubahan yang dilakukan baik secara signifikan tersebut
diperlukan dengan harapan akan dapat mempengaruhi pola
perilaku yang ada pada masyarakat pada masa yang akan
datang pada khususnya menyangkut atau terkait dengan
pelaksanaan sunat perempuan yang perlu usaha keras.

DAFTAR PUSTAKA
World Health Organization. (August 1996). Estimated
Prevalence of Female Genital Mutilation in Africa.
Diakses melalui
http://haneydaw.myweb.uga.edu/twwh/fgm.html
pada 8 Oktober 2019.
Hikmalisa. 2016. “Peran Keluarga Dalam Tradisi Sunat
Perempuan Di Desa Kuntu Kabupaten Kampar
Provinsi Riau (Analisis Gender sebagai Ketimpangan
HAM dalam Praktik Sunat Perempuan)”, Jurnal
Musãwa, Vol. 15, No. 1.

21
Resistensi Atas Eksistensi LGBT di Indonesia
dalam Perspektif Filsafat Hukum Pancasila

Maharani Nur Azizah

Pancasila merupakan filosofi bangsa Indonesia,


sebagai dasar hal filsafat, hal tersebut dapat menerima
adanya perubahan makna, dimana filsafat itu sendiri yakni
sebagai sesuatu yang relatif atau tidak mutlak dalam
melihat berbagai hal. Pancasila juga dapat dinyatakan
sebagai sebuah ideologi. Ideologis sebagai suatu kebenaran
berbeda dengan filsafat sebagai suatu kebenaran, hal
tersebut dikarena ideologis sebagai suatu kebenaran akan
menerima hal tersebut apa adanya (Fuad, 2013). Pancasila
juga dijadikan dari segala sumber, termasuk sumber hukum
yang berarti posisi hukum harus didasarkan kepada
Pancasila dan tidak boleh bertentangan. Filsafat hukum
Pancasila muncul dari nilai-nilai bangsa Indonesia yang
sudah ada sejak dulu. Hakikat dari filsafat hukum Pancasila
sebenarnya tercemin atas pengetahuan umum bangsa.
Sampai saat ini, belum terdapat pengertian yang
pasti mengenai hukum. Akibatnya, timbul beragam aliran
dalam hukum untuk memberikan penfsiran terhadap
hukum tersebut.Terdapat dua aliran mengenai konsep
hukum, pertama yaitu konsep hukum sebagai nilai metafisis
yang mendekati nilai susila. Aliran ini dirumuskan dalam
Hukum Romawi Kuno yakni hukum itu adalah seni tentang
yang baik dan yang adil atau dalam bahasa asing yaitu yang
terkenal dengan istilah ius est ars boni et aequi. Namun
aliran tersebut juga dihadapkan kepada aliran kedua
dimana hukum hanya kekuasaan belaka. Artinya, hukum
sama seperti kekuasaan, dan kekuasaan adalah hukum.

22
Mazhab filsafat hukum Pancasila juga turut memberikan
pengertian atau makan atas arti hukum. Pancasila sebagai
falsafah bangsa Indonesia, terdiri atas lima sila/nilai (Fuad,
2013), antara lain yakni nilai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, permusyawaratanm dan keadialn sosial. Hal ini
berarti, hukum harus memuat nilai-nilai yang ada, yang
terkandung dalam Pancasila. Cerminan nilai-nilai gotong-
royong yang telah dianut dalam masyarakat, tentu saja
terbentuk dari hukum yang berlaku (Fuad, 2013).
Keutaman dari Pancasila yakni adanya ragam nilai
budaya yang ada, lalu kemudian dijadikan sebagai dasar
pembentukan hukum. Secara logika, filsafat hukum
Pancasila lebih mengutamakan nilai komunal dibanding
nilai individu, maka dari itu hukum dibentuk melindungi
masyarakat secara luas. Jika kepentingan individu yang
diutamakan, maka hal tersebut akan bertentangan dengan
nilai gotong royong. Lanadas etis akan menghilang dan
bertenatangan dengan hukum dan mengakibatkan produk
hukum dianggap gagal. Nilai komunal bermula pada
kebersamaan yang kuat dalam sebuah perasaan yang sama.
Selain itu, nilai komunal juga terikat dengan nilai religius
bahwa suatu perbuatan tidak akan jauh dari kekuatan yang
bersifat magis yang memengaruhinya.
Sebagai landasan yang tepat, filsafat hukum
pancasila sudah sesuai dengan nilai juga budaya Indonesia
yang asli, yakni gotong royong. Filsafat hukum Pancasila
yang mengandung nilai gotong royong, setiap komponen
bersatu untuk mencapai tujuan yang sama. Semangat
gotong royong ini dijadikan sebagai cara untuk membangun
hubungan bersama dengan bangsa lain. Menyadari tanpa
adanya gotong royong ini tidak akan mampu untuk
menyelesaikan beragam masalah. Gotong royong memiliki
makna bahwa adanya kebersamaan dan sikap tolong-
menolong antara individu dan masyarakat. Pada saat
Pancasila diletakkan sebagai landasan filsafat, maka dapat
23
dipastikan Pancasila memberi peluang untuk dapat
diterimanya suatu kebenaran yang baru, karena filsafat
sendiri kebenarannya yaitu relative/tidak mutlak.
Masyarakat, bangsa, dan negara merupakan
subjeka-subjek melekatnya nilai-nilai pancasila, sebagai
pembawa juga pendukung pancasila (Asmaroini, 2016).
Pancasila memberikan kekhasan sendiri untuk bangsa
Indonesia dan merupakan hal yang tak dapat dipisahkan
dari bangsa Indonesia dan sudah menjadi ciri khas bangsa
yakni adanya perbedaan bangsa Indonesia dengan negara
lain (Aminullah, 2016). Pancasila mengutamakan nilai
gotong-royong yang berasal dari nilai-nilai budaya bangsa
Indonesia dan dijadikan sebagai ideologi bangsa, karena
pancasila dijadikan untuk menyelenggarakan pemerintahan
negera Indoensia. Maka itu dalam hal ini, kita menerima
sebuah sifat yang benar adanya. Kebenaran akan datang
ketika orang tersebut yakin akan kebenaran itu sendiri.
Saat ini, nilai-nilai Pancasila sedikit demi sedikit
mulai tergerus dengan adanya budaya barat yang ‘masuk’.
Kebudayaan tersebut mencoba ‘masuk’melalui ruang privat
maupun umum atau publik dalam kehidupan manusia.
Budaya barat tersebut salah satunya yaitu LGBT (Lesbian,
Gay, Bisexual, Transgender). Fenomena ini tentu saja
bertentangan dengan pancasila terutama nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya, yakni nilai ketuhanan. Adanya
fenomena seperti ini sedang berkembang di Indonesia,
bahkan tak jarang adanya pengakuan secara terang-
terangan terkait aktivitas ini dan memperjuangkan agar
dapat menikah sesama jenis (Mansur, 2017). Perilaku LGBT
juga todak sesuai dengan norma yang berlaku dalam
masyarakat, khususnya norma agama. Selain itu, banyak
dari masyarakat yang masih belum sepenuhnya menerima
keberadaan fenomena ini.
Banyak dari masyarakat yang menolak adanya
LGBT, terkhusus bagi masyarakat disekitar lingkungan
24
rumah. Masyarakat memandang keberadaan LGBT sebagai
suatu hal yang negatif, tidak normal, dan kesalahan
(Kemenppa, 2015). Kurangnya interaksi maupun informasi
mengenai LGBT semakin menguatkan pandangan terhadap
keberadaan LGBT. Informasi yang kerap kali diterima
masyarakat yakni LGBT berisi orang-orang yang berkaitan
dengan perbuatan dosa. LGBT masih dianggap sebagai hal
yang tabu di Indonesia khususnya bagi suatu kelompok,
dimana agama menjadi dasar dalam pemikiran. Masih
banyak yang melayangkan hujatan terhadap perilaku dan
orientasi seksual kelompok ini. Bahkan MUI sudah
mengeluarkan fatwa yang berisi untuk menolak perkawinan
sesama jenis.
LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender) apabila
dilihat dari sudut pandang norma agama, LGBT dianggap
sebagai perilaku menyimpang atau tidak sesuai dengan
norma yang ada, salah satunya yakni norma agama yang
berlaku dalam masyarakat. Terdapatnya suatu penolaka
dan pandangan dari masyarakat didasarkan atas ajaran
agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia (Kemenppa,
2015). Budaya juga bisa jadikan alasan dari masyarakat
untuk menolak keberadaan LGBT ini (Yansyah, Roby;
Rahayu, 2018). Pertama yaitu LGBT dalam perspektif agama
Islam. Tuntutan dari Allah SWT dan Rasulullah yang ada
dalam Alquran dan Sunnah, perilaku homoseksual
merupaka perbuatan hina dan termasuk dalam pelanggaran
berat yang dapat merusak harkat dan martabat manusia
sebagai makhluk cipataan-Nya yang paling mulia.
Perbuatan homoseksual dalam Islam tentu saja tidk
dapat dibenarkan, karena sudah melanggar fitrah manusia
yang dicipatakan oleh-Nya dan juga melanggar sunnatullah
bahwasanya laki-laki dipasangkan dengan (Mansur, 2017).
Diciptakannya laki-laki dan perempuan oleh Allah SWT agar
dapat saling mengenal, memahami, mencintai sehingga
terdapat hubungan untuk dapat dijadikan sebagai suami
25
istri yang sah menurut syariat Islam. Tak hanya itu, dalam
Islam juga ditegaskan bahwa perilaku LGBT sebagai suatu
perbuatan yang haram dan sudah menjadi ijma’ atau
ketetapan dari para ulama Islam. Artinya, tak ada diantara
mereka berselisih (Suherry, 2016). Tidak hanya dalam
agama Islam saja yang menolak adanya LGBT, agama lain
seperti Kristen (Katolik dan Prostestan) juga menolak
adanya perbuatan LGBT atau homoseksual, bahkan sampai
menghukum dengan hukuman yang berat, dimana hal ini
sesuai dengan kitab yang diimani oleh mereka. Perbuatan
LGBT sendiri dianggap sebagai perilaku yang hian dan keji
bahkan dibenci oleh Tuhan, sehingga harus dihukum mati
karena perbuatan yang menentang hukum Tuhan yang telah
menciptakan laki-laki dan perempuan yang sudah
tercantum dalam Kitab Perjanjian Lama. Dalam Kitab
Perjanjian Baru juga menegaskan bahwa perbuatan
homoseksual sebagai suatu perbuatan yang jahat dan
terhian karena menuruti hawa nafsu dan memalukan
(Mansur, 2017).
Sesuai yang telah dijelaskan di atas, jika melihat
LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender) dari sudut
pandang norma agama, tidak satupun ada ajaran agama
yang membenarkan adanya perilaku tersebut. Terlebih lagi,
Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi nilai
ketuhanan. Terdapat beberapa solusi yang dapat dilakukan
atau digunakan bagi LGBT ini yaitu dengan yakin akan
Tuhan Yang Maha Esa dan agama yang diyakini. kembali
kepada agama yang memang diyakini karena Tuhan Yang
Maha Esa. Manusia diciptakan sesuai fitrahnya dan jika
melanggar, makan bertentangan dengan ajaran Tuhan yang
telah disampaikan kepada utusannya. (Mansur, 2017).

26
Referensi

Aminullah. (2016). Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam


Kehidupan. Ilmiah IKIP Mataram , 623.
Asmaroini. (2016). Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Bagi
Siswa di Era Globalisasi. Citizenship: Jurnal Pancasila
dan Kewarganegaraan, 442.
Fuad, F. (2013). Filsafat Hukum Pancasila: Antara Cita Ideal
Hukum dan Nilai Praksis. Ilmiah Mimbar Demokrasi, 1.
Kemenppa. (2015). Pandangan Masyarakat Terhadap
Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) di
Jakarta, Bogor, Depok, dan Tangerang. Depok: Pusat
Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia.
Mansur, S. (2017). Homoseksual dalam Perspektif Agama-
Agama di Indonesia. Aqlania, 35.
Suherry, E. M. (2016). Lesbian, Gaya, Biseksual, dan
Transgender (LGBT) dalam Perspektif Masyarakat dan
Agama. Jurnal Aristo, 97.
Yansyah, Roby dan Rahayu. (2018). Globalisasi Lesbian, Gay,
Biseksual, dan Transgender (LGBT): Perspektif HAM
dan Agama dalam Lingkup Hukum di Indonesia. Jurnal
Law Reform, 137.

27
Diskursus Filsafat Hukum Pancasila Terkait
Eksistensi Sila Kelima

Anindya Ismi Setiyawati

Filsafat dalam bahasa Arab adalah falsafah dan


dalam bahasa Inggris adalah philosophy. Philosophia
merupakan asal dari kata filsafat yang berasal dari bahasa
Yunani, yang terdiri dari kata “philein” yang berarti cinta
atau sahabat dan “sophia” yang berarti kebijaksanaan,
kearifan atau pengetahuan. Secara etimologis, filsafat
merupakan cinta pada suatu kebijaksanaan atau kebenaran
dalam arti yang seluas-luasnya, dalam hal ini kebenaran
ilmu pengetahuan (Lubis, 2015). Kata philoshopus mula-
mula dikemukakan dan digunakan oleh yaitu Herakleitos
(480-540 SM) yang memberikan pendapat bahwa semua
yang ada di alam ini tidak ada yang kekal dan terjadi
perubahan, kemudian pada abad 500-580 SM kata ini
digunakan oleh Pythagoras (Suaedi, 2016). Seorang penulis
Romawi yaitu Cicero (106-43 SM) memberikan catatan
bahwa kata “filsafat” yang digunakan oleh Pythagoras
dengan menamakan dirinya sebagai “ahli pengetahuan”
adalah sebagai bentuk reaksi terhadap kaum cendekiawan,
Pytaghoras berpendapat bahwa tidak ada satupun orang
yang mampu mencapai ujung dari suatu pengetahuan, hal
ini dikarenakan luas dan terus berkembangnya
pengetahuan tersebut. Arti filsafat pada waktu itu sering
digunakan dan kemudian diperjelas oleh Socrates (470-

28
399)(Burhanuddin, 2015). Dalam hal ini, Socrates tidak
mengarang uraian-uraian tentang filsafat, namun langsung
menerapkan filsafatnya dengan menggunakan dialog-dialog
bersama orang lain atau disebut dengan metode dialetika
(merupakan kata kerja Yunani dialegesthai, dengan makna
berdialog atau bercakap-cakap), yang terdiri atas induksi
dan definisi (Burhanuddin, 2015).
Apabila berbicara mengenai kebenaran akan suatu
hal, maka tidak akan pernah terlepas dari pengertian dan
fungsi dari suatu yang akan dicari kebenarannya tersebut.
Tidak berbeda halnya dengan berbicara mengenai
kebenaran hukum, maka tidak terlepas dari pengertian dan
fungsi hukum tersebut. Hukum menurut Montesquieu
dalam bukunya The Spirit of Laws, dapat diartikan sebagai
sifat dasar dari segala sesuatu sehingga terdapat hubungan
pasti, dengan demikian dapat dikatakan bahwa semua
wujud memiliki hukumnya (Harefa, 2016). Satjipto
Rahardjo berpendapat bahwa keberadaan hukum
dimaksudkan bagi manusia, hukum itu ada bukan demi
hukum itu sendiri, karena eksistensi hukum memang
bermaksud menggiring manusia untuk memiliki hidup yang
adil, sejahtera, dan bahagia (harefa, 2016).
Orang harus berfilsafat tentang manusia terlebih
dahulu apabila ingin berfilsafat tentang hukum. Sudut
pandang dari manusia yang terdapat keterkaitan dengan
hukum salah satunya yaitu etika atau perilaku. Oleh karena
itu, apabila diperumpamakan maka dapat dikatakan bahwa
filsafat manusia adalah pohonnya, filsafat etika merupakan
salah satu cabangnya, dan filsafat hukum adalah salah satu
cabang dari filsafat etika tersebut, sekaligus sebagai ranting

29
pohon dari filsafat manusia. Theo Huijbers memberikan
pendapat bahwa pokok persoalan filsafat hukum bukan
quid iuris, namun quid ius. Hukum sebagai quid iuris
berorientasi pada dan sebagai hukum positif yaitu hukum
yang berlaku dan sedang berlaku saja. Sedangkan, hukum
sebagai quid ius berorientasi sebagai sesuatu substantif
dan esensial (Harefa, 2016).
Mempelajari filsafat hukum pasti akan membawa
seseorang untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan
hukum. Andre Ata Ujan menyebutkan pendapat Plato bahwa
seorang filsuf tidak akan pernah berhenti untuk mencari
dan menemukan kebenaran serta membangun keadilan
(Harefa, 2016). Dengan demikian, kebenaran dan keadaan
hasil pemikiran para filsuf sebelumnya tidak lepas dari
sikap kritik, karena dalam filsafat tidak ada kebenaran yang
bersifat final. Sama halnya dengan filsafat hukum yang terus
berupaya mencari dan menemukan serta mengkaji hakikat
hukum yang sedalam-dalamnya sampai ke akar-akarnya
baik secara sistematis, rasional, dan modis untuk
menemukan jawaban terdalam dari objek formalnya, yaitu
hukum.
Nilai yang menjadi dasar dari hukum selalu
dipertanyakan dalam pendekatan filsafat terhadap hukum.
Pancasila merupakan staatsfundamentalnorm dalam
hierarki perundang-undangan Indonesia yang berperan
sebagai nilai-nilai utama yang menjadi dasar terwujudnya
aturan hukum di Indonesia. Apabila sumber dari segala
hukum adalah Pancasila, dimana Pancasila ditempatkan
sebagai landas etik dari hukum, maka setiap aturan hukum
yang memiliki posisi di bawah Pancasila sebagai grundnorm

30
(norma dasar) sesuai ajaran stufentheorie, harus
menjadikan Pancasila sebagai dasarnya dan tidak boleh
bertentangan dengannya (Harefa, 2016). Ajaran
stufentheorie menjabarkan bahwa hierarki dari hukum
berasal dari suatu sistem hukum dimana ketentuan hukum
yang lebih tinggi merupakan suatu ketentuan hukum
tertentu. Sifat hipotesis yang dimiliki grundnorm dikatakan
sebagai ketentuan hukum yang paling tinggi.
Pancasila sebagai suatu filsafat hukum terus
berupaya mencari makna atau nilai yang baru. Adanya
penolakan dan penerimaan nilai-nilai yang baru
memberikan warna terhadap nilai Pancasila yang sinkron
dengan jiwa Bangsa Indonesia. Satu-satunya nilai yang
dianggap benar dalam sistem hukum Indonesia dalam
memberikan pemaknaan Pancasila mulai berubah, dimana
terdapat adaptasi hukum Indonesia dengan hukum
Internasional. Hak-hak individu yang dilindungi oleh hukum
mulai mendominasi secara kuat dan terpengaruhnya nilai-
nilai hukum yang bersifat immateriil, sehingga dapat
dikatakan logis apabila kebenaran yang lama tergantikan
dengan nilai kebenaran baru. Sebuah perubahan mengenai
pemaknaan Pancasila sebagai suatu filsafat merupakan
bukti dari perubahan-perubahan sosial yang terjadi.
Filsafat hukum Pancasila tentunya secara logis
mengutamakan sifat komunal yang merupakan bentuk
kesadaran akan kebersamaan dibandingkan sifat individual,
hal ini dikarenakan hukum diciptakan memang untuk
melindungi masyarakat secara luas, tidak untuk
kepentingan individu.

31
Terkait eksistensi sila kelima Pancasila yang
berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
mengandung makna bahwa dalam kehidupan
bermasyarakat yang tidak terlepas dari tujuan adanya
hukum merupakan wujud dari nilai keadilan sosial. Salah
satu tujuan adanya hukum yaitu keadilan dapat tercapai,
baik isi maupun ukuran berdasarkan masyarakat maupun
zaman. Hubungan keadilan dengan filsafat hukum
diwujudkan melalui hukum sehingga dalam kehidupan
manusia, hukum memunculkan keadilan yang mutlak.
Dengan adanya makna bahwa keadilan berasal dari
keadilan, hal ini sesuai dengan tujuan hukum yang lain yaitu
kepastian hukum dan kemanfaatan.
Jika dilihat dalam pembuatan undang-undang
memang keadilan tidak tersurat tertulis dalam teks secara
langsung, namun dalam pembuatan produk perundang-
undangan keadilan dijadikan sebagai dasar tujuan hukum
itu sendiri. Sedangkan keadilan dalam kehidupan
bermasyarakat pada umumnya dikembangkan melalui sikap
kekeluargaan, kerjasama, peduli antar sesama dan bersikap
adil dengan masyarakat disekitarnya dalam kegiatan sehari-
hari. Karena pada kenyataannya, manusia tidak mampu
untuk hidup secara individual dalam menjalankan
kehidupan tanpa meminta pertolongan dari orang lain, hal
ini dikarenakan manusia merupakan makhluk sosial.
Dalam perwujudan yang nyata, keadilan memiliki
dua bentuk penerapan yaitu adanya jaminan tidak
dilanggarnya hak-hak maupun kebebasan setiap orang oleh
siapapun termasuk pemerintah dan adanya perlakuan yang
sama sesuai dengan jasa dan kemampuan yang dimiliki oleh

32
orang tersebut. Namun pada kenyataannya masih banyak
sekali ketimpangan sosial yang terjadi. Adanya ketimpangan
yang terjadi pada daerah yang tidak dapat menyeimbangi
percepatan ekonomi merupakan akibat dari pembangunan
yang tidak merata. Selain itu, perhatian pemerintah terkait
segi infrastruktur tidak seimbang dengan perhatian
terhadap pembangunan kualitas manusianya yang masih
terbilang rendah, terbukti dengan masih banyaknya
pengangguran maupun penyakit sosial yang masih tidak
dapat terkendali.
Dengan demikian, sila kelima Pancasila yang
memiliki makna bahwa memperlakukan dengan adil setiap
warga negara tanpa terkecuali dalam pemenuhan hak
maupun kewajibannya harus terus ditumbuhkan dalam
diskursus untuk memiliki makna baru yang lebih relevan.
Hal ini dikarenakan pada era saat ini, pemaknaan Pancasila
tidak harus bersifat indoktrinasi, sehingga Pancasila
menjadi ideologi yang lintas generasi serta mempersatukan
warga dengan bangsa Indonesia itu sendiri. Selain itu,
pentingnya upaya bersama dalam lintas elemen masyarakat
menjalin komunikasi dengan penyelenggara negara,
organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, komunitas
kebudayaan, maupun komunitas akademik dengan tujuan
agar nilai-nilai Pancasila dapat diwujudkan dalam sikap
maupun perilaku dan nilai tersebut relevan dalam
menjawab serta mengatasi persoalan kebangsaan.

33
Referensi

Lubis, Nur A. Fadhil. Pengantar Filsafat Umum, (Medan:


Perdana Mulya Sarana, 2015), hlm. 5.
Suaedi, Pengantar Filsafat Ilmu, (Bogor: IPB Press, 2016),
hlm. 1
Burhanuddin, Nunu, “Pemikiran Epistemologi Barat : dari
Plato Sampai Gonseth“, Jurnal Intizar, Vol. 21, No.1,
2015, hlm. 135.
Harefa, Beniharmoni, “Kebenaran Hukum Perspektif Filsafat
Hukum”, Jurnal Komunikasi Hukum, Vol. 2, No.1,
Februari 2016, hlm. 11-14.

34
MENJAWAB TANTANGAN REVOLUSI
INDUSTRI DI ERA MILENIAL SAAT INI
DALAM PRESPEKTIF NILAI NILAI PANCASILA

Chintya Ainun Khasanah

Pancasila merupakan sebuah dasar ideologi


Indonesia atau sebuah nilai yang menjadi sebuah
pandangan hidup bagi negara Indonesia. Oleh karena itu
fondasi bernegara harus berlandaskan pada nilai-nilai yang
terkandung di dalam sebuah Pancasila. Pancasila sendiri
merupakan sebuah filsafat negara yang terlahir sebagai
sebuah ideologi atau cita-cita seluruh bangsa Indonesia.
Pancasila dapat dikatakan sebagai sebuah filsafat karena
pancasila meruapakan hasil perenungan jiwa yang
mendalam yang dilakukan oleh para pendiri
negara(Agustinus, 2017). Hasil pemikiran dari para pendiri-
pendiri negara inilah berangkat dari sebuah paham
kebangsaan yang terbentuk dari kesamaan nasib,
sepenanggungan, dan sejarah serta adanya cita-cita
bersama untuk menjadikan bangsa yang bersatu, berdaulat,
adil, dan makmur dalam sebuah negara kesatuan. Dan
adanya sebuah perbedaaninilah membuat Pancasila
menjadi sesuatu yang semakin kuat dan layak sebagai
sebuah ideologi bagi negara Indonesia.
Pada tanggal 1 Juni 2019 kemarin adalah sebuah
moment yang menjadi penanda bahwa Pancasila sudah
memasuki umur yang tidak muda lagi yaitu 74 tahun.
Rentan waktu yang cukup lama dan panjang yang juga
menimbulkan beberapa pertanyaan baru dari kita-kita
semua khususnya generasi mudah. Pertanya-pertanyaan itu

35
bisa berubah “Apakah Pancasila masih relevan dengan
kondisi negara yang saat ini? Dan apakah Pancasila masih
dapat menjawab setiap tantangan di era perkembangan
teknologi, revolusi industri khusunya di generasi milenial
ini ? (detiknews, 2019)
Kalau kita cermati kondisi negara Indonesia saat ini
sudah jauh berbeda dan berubah dari awal kemerdekaan.
Perbedaan dan perubahan yang tidak bisa dihindari untuk
mencapai tujuan kemerdekaan. Saat ini perkembangan
teknologi yang sangat pesat telah memberikan manfaat
tetapi juga mendatangkan dampak buruk bagi masyrakat.
Kemudahan, kecepatan, dan keefektivitasan merupakan
sebuah contoh gambaran yang paling kecil arau umum yang
dapat dilihat dari dampak kemajuan teknologi saat ini.
Kemajuan teknologi yang tidak dapat dikontrol ini
dapat menjadikan sebuah permasalahan baru yang tentunya
dapat menghambat atau merusak suatu negara. Generasi
milenial merupakan generasi yang sangat familier dengan
adanya sebuah teknologi, karena generasi saat ini (Generasi
Milenial) lahir dimana seluruh aspek fisik berpengaruh pada
dunia dgital. Di Indonesia populasi generasi milenial saat ini
telah mencapai 90 juta jiwa. Al ini semakin menandakan
bahwa generasi milenial angat mempunyai sebuah
pengaruh yang sangat besar tentunya terhadap
perkembangan sebuah negara.
Pancasila merupakan sebuah dasar ideologi yang
mempunyai Lima dasar, Pancasila telah disepakati bersama
melalui sebuah founding Father, meliputi :
1. Ketuhanan yang maha esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

36
Lima dasar tersebut telah menjadi sebuah landasan
bagi kita dalam menghadapi kehidupan dan tantangan
Ideologi dunia maupun tantangan global. Pentingnya
Pancasila sebagai ideologi untuk memperlihatkan peran
ideologi sebagai penuntun moral dalam menghadapi
kehidupan bernegara sehingga dapat menghadpi setiap
ancaman-ancaman yang datang dan dapat dicegah dengan
cepat. Sebab Pancasila merupakakan sebuah ideologi yang
terbuka bagis semua perkembangan jaman.
Pancasila memiliki sebuah nilai-nilai yang sangat
relevan untuk kita pelajari dan kita kaji sebagai generasi
milenial agar untuk dapat menghadapi perkembangan
revolusi industri di masa sekarang dan tentunya untuk
masa yang akan datangselanjtnya. (Kompas.com,2018)
Dengan konsep seperti inilah, Pancasila sebagai ideologi
tetap eksis dan diakui meskipun bangsa bangsa kita telah
menikmati kemajuan revolusi industry saat ini. Pentingnya
Pancasila sebagai sebuah ideologi ini tetap harus selalu
konsisten sehingga membuat nilai-nilai yang terkandung
pada setiap butir pancasila tersebut dapat di amalkan
secara nyata oleh seluruh rakyat Indonesia dan di era
revolusi industri saat ini Pancasila harus menjadi sebuah
intisari dari nilai-nilai kearifan yang bersifat universal
sehingga sampai kapan kita tidak ketinggalan jaman.
Gelombang revolusi industri telah memberikan
perubahan terhadap seluruh dunia secara keseluruhan.
Indonesia sebagai negara berkembang dengan penuh
kenyakinan menerima kedatangan gelombang revolusi
untuk memaksimalkan sekaligus mendukung proses
kemajuan baik dalam teknologi revolusi dan industi.
Pancasila bagi Indonesia adalah sebuah ideologi yang
bersifat terbuka/ universal. Sehingga dapat mudah
beradaptasi dengan berbagai ideologi yang masuk.
Indonesia telah menerima gelombang revolusi industri
berarti secara tidak langsung telah menghadapkan
37
Pancasila dengan sains dan teknologi, dengan begitu maka
eksistensi Pancasila sebagai ideologi harus dilindungi
bersama-samaagar nilai-nilai dan eksistensi Pancasila tidak
melebur seperti ideologi-ideologi lainnya.
(FaisalMuhamad,2019)
Ancaman terus datang pada waktu yang sama dan
bangsa terus berkembang di setiap bidang. Bidang
ideologicontohnya seperti ancaman ekstremisme dan
paham radikal, dibidang politik ada ancaman atau
permasalahan seperti permasalahan pemilu, pejabat negara
yang korupsi, dibidang ekonomi contohnya kesenjangan
sosial yang masihtetap tinggi, dibidang sosial budaya seperti
pengangguran, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan
di bidang pertahanan dan keamanan seperti masih adanya
terorisme, konflik SARA atau ilegal fishing. Fakta sosiologis
juga seolah-olah telah menciptakan sebuah ilusi terdadap
pancasila, bahwa Pancasila telah gagal menjawab semua
tantangan jaman. Kegagalan inilah mendiagnosis
permasalahan yang ada dan menyebabkan lahirnya sebuah
ide penyelesaian yang tidak tepat dan malah memperburuk
keadaan negara saat ini. Apabila kita melihat secara
komprehensif dan kita merasakan suasana kebatina,
sebenarnya setiap masalah yang ada sebenarnya yang
terjadi adalah upaya untuk menggantikan atau melunturkan
Pancasila yang sejatinya adalah sebagai jati diri bangsa dan
pegangan dalam kehidupan bernegara kita.
Menjawab tantangan atau problematika Pancasila
sebagai dasar falsafah negara Indonesia ini merupakan
sebuah nilai atau kebaikan universal yang bisa diterapkan
dalam masa ini, masa besok, dan masa yang akan datang. Itu
artinya bahwa Pancasila ddengan segala sejarah yang
mendalam sebenarnya dapat dan mampu untuk menjawab
disetiap problematic-problematika yang adai negara kita.
Terdapat dua syarat agar Pancasila dapat berjalan dengan
optimal di dalam masyarakat, yang pertama yaitu Pancasila
38
harus dapat dipahami dan direalisasikan disetiap individu,
yang kedua, dapat menggunakan Pancasila sebagai sebuah
alat dalam menyelesaikan setiap masalah. Pancasila sebagai
sebuah nilai yang bersifat universal masih sangat relevan
dengan generasi milenial saat ini tentunya, Pancasila hanya
perlu terinternalisasi dengan baik ke setiap generasi yang
ada khususnya generasi milenial yang merupakan salah satu
tokoh pergerakan kemajuan negara ini.
Nilai-nilai ketuhanan, Indonesia inilah menjadikan
negara Indonesia yang religius dan sebagai sumber etika
dalam bersikap atau tindak. Saling menghargai perbedaan
agama dan kepercayaan dalam bermedia sosial akan
menghantarkan ketentraman dalam kehidupan beragama.
Nila-nilai kemanusiaan sangat memahami dan menghargai
betul tentang hak dan kewajiban setiap orang dalam
memanfaatkan dunia maya hal tersebut merupakan salah
satu ciri netizen yang humanis. Tidak menyebarkan konten
yang hoax dan provokasi merupakan tindakan yang tidak
beradab. Nilai-nilai persatuan, forum-forum dunia maya
juga dapat dijadikan media dalam memperkuat semangat
nasionalisme bangsa kita. Memprioritaskan persatuan dan
kesatuan bangsa ini jauh lebih penting di atas kepentingan
pribadi mapun golongan. Dan tentunya selalu menjunjung
tinggi rasa bhinneka tunggal ika dalam menghadapi setiap
perbedaan.
Selanjutnya nilai-nilai keamusyawaratan dalam
hikmat kebijaksanaan, berlaku selalu santun terhadap
semua orang agar selalu saling menghargai. Menyelesaikan
setiap perdebatan di grup online dengan mengedepankan
musyawarah merupakan sebuah nilai kebijaksaan dalam
megambil keputusan. Nilai-nilai keadilan sosial, setiap
orang tentunya mempunyai dan memiliki hak dan
kewajiban yang sama untuk yaitu dapat mengakses
informasi dari manapun dan dapat berkumpul dalam
kelompok-kelompok manapun dengan tetap menghargai
39
hak asasi manusia setiap orang.Oleh karena itu, di tengah-
tengah kemajuan revolusi industri yang sedang dihadapi
kita sebagai generasi milenial saat, Pancasila merupakan
sebuah jawaban untuk tetap mengenal kembali jati diri
bangsa dan mempererat dan mempersatukan perbedaan
yang ada di negara kita. Semoga Tuhan yang Maha Esa
merahmati dan mencerahkan hati kita semua dan pikiran
kita selalu menjaga persatuan dan kesatuan negara kita ini,
dan kita sebagai generasi milenial selalu memiliki semangat
nasionalisme yang tidak mudah goyah di tengah
pekembangan revolusi industri saat ini.

40
REFLEKSI PENERAPAN SILA KE-2
PANCASILA TERKAIT PERBUDAKAN ANAK DI
BAWAH UMUR SEBAGAI PEKERJA

Siti Nur Aisyiah

Indonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan


nilai luhur Pancasila atau biasa disebut sebagai “Negara
Hukum Pancasila”. Konsep Negara hukum Pancasila
tersebut, merupakan kristalisasi nilai-nilai sosial budaya
Indonesia yang berupa Pancasila sebagai dasar Negara
sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yang
merupakan “staatsfundamentalnorm” Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Sedangkan tujuan dari pancasila yang
juga di sebutkan dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu tujuan
Pancasila sebagai basic guideline bagi Negara Republik
Indonesia. Dengan kata lain, Pancasila adalah landasan
dalam mengatur jalannya pemerintahan di Indonesia.
Pancasila merupakan ‘titik tengah’ sekaligus ‘titik
temu’ dari para pendiri bangsa Indonesia agar kita
mempunyai pondasi yang kuat dalam menjalankan
pemerintahan. Dengan demikian, Pancasila ditempatkan
sebagai dasar atau pondasi dalam bernegara sehingga tidak
mudah dipengaruhi dan dijajah oleh bangsa lain. Dasar
negara Indonesia tersebut dilambangkan dengan Garuda
Pancasila yang di dalamnya membagi lebih rinci gambar-
gambarnya meliputi: gambar bintang, rantai, pohon
beringain, kepala banteng, padi dan kapas, yang
mencerminkan arti dari 5 sila Pancasila. Kemudian lambang
negara Indonesia ini disebut dengan Garuda Pancasila.
Pancasila secara umum dipahami mengandung arti lima
dasar. Kelima dasar ini adalah jiwa seluruh rakyat
Indonesia, yang memberi kekuatan hidup kepada bangsa

41
Indonesia serta membimbingnya dalam mengejar
kehidupan lahir batin yang makin baik, di dalam masyarakat
Indonesia yang adil dan makmur. Pengakuan atas eksistensi
Pancasila ini bersifat imperatif atau memaksa. Artinya, siapa
saja yang berada di wilayah NKRI, harus menghormati
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia.
Pancasila juga merupakan sumber kejiwaan masyarakat dan
negara Republik Indonesia.
Pancasila menjadi suatu ideologi dan dasar negara
Indonesia yang menjadi landasan dari segala keputusan
bangsa dan mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia.
Dengan kata lain, Pancasila adalah dasar dalam mengatur
pemerintahan negara Indonesia yang mengutamakan semua
komponen di seluruh wilayah Indonesia. Pada dasarnya,
dalam hidup manusia memiliki suatu hak yang telah di
berikan sejak manusia lahir, hak tersebut yakni Hak Asasi
Manusia. Hak tersebut merupakan hak dasar yang melekat
secara kodrati melekat pada diri manusia. Hak asasi
manusia bersifat universal dan langgeng, sehingga harus di
lindungi, dihormati dan harus di penuhi serta tidak boleh
diabaikan oleh pihak manapun dan siapapun. Hal tersebut
juga membutuhkan peran serta partisipasi masyarakat
dalam menerapkanya, karena jika peran terkait pemenuhan
Hak Asasi Manusia hanya di lakukan oleh satu pihak
utamanya pemerintah, maka kelancaran dalam memenuhi
hak tersebut tidak akan berlangsung dengan baik tanpa
adanya bantuan dan kesadaran dari pihak-pihak yang
terlibat pada pemenuhan hak tersebut.
HAM dalam Pancasila sesunguhnya telah
dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 yang kemudian
diperinci di dalam batang tubuhnya yang merupakan
hukum dasar, hukum yang konstitusional dan fundamental
bagi negara Republik Indonesia. Perumusan alinea pertama
Pembukaan UUD membuktikan adanya pengakuan HAM ini
secara universal. Ditegaskan di awal Pembukaan UUD itu
42
tentang hak kemerdekaan yang dimiliki oleh segala bangsa
di dunia. Oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan
dan perikeadilan. Dasar-dasar HAM tertuang dalam UUD
1945 Republik Indonesia selanjutnya dapat ditemukan
dalam sejumlah pasal Batang Tubuh UUD:
• Pasal 27 ayat (1): “Segala warga negara bersamaan
kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya”
• Pasal 28: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”
• Pasal 29 ayat (2): “Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”
• Pasal 30 ayat (1): “Tiap-tiap warga negara berhak
dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara”
• Pasal 31 ayat (1): “Tiap-tiap warga negara berhak
mendapat pengajaran”.

Hubungan antara Pancasila dan HAM di Indonesia dapat


dijabarkan sebagai berikut:
1. Sila Ketuhanan yang maha Esa menjamin hak
kemerdekaan untuk memeluk agama , melaksanakan ibadah
dan menghormati perbedaan agama. Sila tersebut
mengamanatkan bahwa setiap warga negara bebas untuk
memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing. Hal
ini selaras dengan Deklarasi Universal tentang HAM (Pasal
2) yang mencantumkan perlindungan terhadap HAM
2. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab
menempatkan hak setiap warga negara pada kedudukan
yang sama dalam hukum serta memiliki kewajiban dan hak-
hak yang sama untuk mendapat jaminan dan perlindungan
43
undang-undang. Sila Kedua, mengamanatkan adanya
persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan
kewajiban antara sesama manusia sebagaimana tercantum
dalam Pasal 7 Deklarasi HAM PBB yang melarang adanya
diskriminasi.
3. Sila Persatuan Indonesia mengamanatkan adanya
unsur pemersatu diantara warga Negara dengan semangat
rela berkorban dan menempatkan kepentingan bangsa dan
Negara diatas kepentingan pribadi atau golongan, hal ini
sesuai dengan prinsip HAM Pasal 1 bahwa Semua orang
dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak
yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan
hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan.
4. Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan
dicerminkan dalam kehidupan pemerintahan, bernegara,
dan bermasyarakat yang demokratis. Menghargai hak setiap
warga negara untuk bermusyawarah mufakat yang
dilakukan tanpa adanya tekanan, paksaan, ataupun
intervensi yang membelenggu hak-hak partisipasi
masyarakat. Inti dari sila ini adalah musyawarah dan
mufakat dalam setiap penyelesaian masalah dan
pengambilan keputusan sehingga setiap orang tidak
dibenarkan untuk mengambil tindakan sendiri, atas inisiatif
sendiri yang dapat mengganggu kebebasan orang lain. Hal
ini sesuai pula dengan Deklarasi HAM.
5. Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia
mengakui hak milik perorangan dan dilindungi
pemanfaatannya oleh negara serta memberi kesempatan
sebesar-besarnya pada masyarakat. Asas keadilan dalam
HAM tercermin dalam sila ini, dimana keadilan disini
ditujukan bagi kepentingan umum tidak ada pembedaan
atau diskriminasi antar individu.
Namun di Indonesia masih banyak ketidak sesuaian
antara pengamalan sila tersebut dengan kehidupan nyata
44
masyarakatnya. Tertama pada ketegasan pemerintah saat
adanya pemekerjaan anak di bawah umur yang seharusnya
masih pada fase pendidikan. Anak juga mempunyai hak
untuk mendapatkan perlindungan yang baik dan fasilitas
yang baik dari keluarga maupun masyarakat dan
pemerintah sekitar. Dan pada salah satu perusahaan pabrik
pembuat Kembang api PT Panca Buana Cahaya Sukses di
Kosambi yang mengalami kebakaran dan mengakibatkan 49
orang tewas dan Terbukti mempekerjakan anak dibawah
umur. hal tersebut diniai telah melanggar UU nomor 13
tahun 2003 mengenai ketenagakerjaan. Karena
mempekerjakan anak dibawah umur yang lebih dari jam
kerja seharusnya dan upah yang tidak wajar. Dan masih
banyak kasus-kasus lain yang berkaitan dengan perbudakan
anak seperti eksploitasi anak sebagai pekerja seks
komersial, permekerjaan anak sebagai pengemis,
penyelundupan anak yang akan di pekerjakan di luar negeri
sebagai TKI.
Peran orang tua dalam mendidik dan memilih cara
dalam turut membantu mengembangkan bakat anak
hendaknya seperti yang dijelaskan pada hak asasi sebagai
anak sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang (UU)
Nomor 23 Tahun 2002. Hal ini dikarenakan dalam masa
tersebut anak-anak masih sangat membutuhkan bimbingan
orang tua baik dalam bermain maupun belajar. Disamping
itu Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak No. 13
Tahun 2003 disebutkan bahwa: Anak dapat melakukan
pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
Pernyataan tersebut selaras dengan dukungan potensi
dalam pengembangan bakat dan minat yang dimiliki oleh
anak dengan bimbingan secara menyeluruh dari orang
tuanya. Menurut pasal 1 angka 26 UU ini, Anak adalah setiap
orang yang berumur di bawah usia 18 ( delapan belas )
tahun. UU ini mnegatur mengenai pekerja anak pada pasal
68 sampai dengan pasal 75. Dijelaskan kembali pada Pasal
45
68 UU ini melarang pengusaha mempekerjakan anak.
Tetapi pada pasal-pasal berikutnya, anak diijinkan bekerja
dengan ketentuan bahwa anak yang bekerja berusia
minimal 13 tahun dan melakukan pekerjaan ringan tanpa
mengganggu perkembangan fisik, mental, dan sosial dengan
ketentuan sebagai berikut (pasal 69 ayat 2): Pengusaha
yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagai-
mana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi
persyaratan: 1) Izin tertulis dari orang tua atau wali; 2)
Perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau
wali; 3) Waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam; 4) Dilakukan
pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah; 5)
Keselamatan dan kesehatan kerja; 6) Adanya hubungan
kerja yang jelas; dan 7) Menerima upah sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.

46
Analisis Kesetaraan Gender Dalam Perspektif
Falsafah Hukum Menurut Sila Pertama Dalam
Pancasila

Calvin Anthony Putra

Gender adalah suatu perbedaan antara jenis kelamin


pria dan wanita yang tidak disebabkan oleh keberadaan
sebuah kondisi biologis dan juga keadaan yang tidak
termasuk kodrat Tuhan, melainkan perihal terjadinya
proses dalam lingkup sosial budaya yang cukup panjang.
Suatu perbedaan perilaku antara pria dan wanita selain
disebabkan oleh faktor biologis pada sebagian besar bahkan
terbentuk dengan melalui tahapan sosial dan kultural.
Gender secara umum dapat digolongkan sebagai perangkat
operasional yang melakukan penilaian terhadap persoalan
antara pria dan wanita terutama yang terkait dengan
pembagian peran dalam masyarakat yang muncul dari
budaya masyarakat tersebut. Bagi beberapa budaya, wanita
dilahirkan, dibiasakan hidup di dapur, kemudian dinikahkan
dalam usia belia. Hal ini membuktikan wanita yang tidak
berpendidikan sering kali tidak mempunyai alasan untuk
mencari pekerjaan yang layak. Pendidikan dan penegakan
atas hak wanita saling berkaitan, semakin rendah suatu
pendidikan seorang wanita semakin sedikit kesempatannya
untuk menuntuk haknya.
Kesetaraan Gender adalah suatu keadaan dimana
kedudukan laki – laki dan perempuan berada pada posisi
setara baik dalam hak secara hukum, kondisi kehidupan,
dan beberapa hal lainnya. Gender memiliki beberapa peran
antara lain, peran reproduksi, peran produktif, serta peran
sosial kemasyarakatan. Tidak hanya itu, terdapat pola
berpikir bahwa peran seorang perempuan hanya selalu

47
terkait perihal mengurus keluarga dan anak, dan
mengesampingkan hal – hal di luar itu. Kesetaraan gender
kental hubungannya dengan diskriminasi terhadap
subordinasi, perempuan, perilaku tidak adil, hingga
penindasan. Diskriminasi gender, dapat kerentanan
kerentanan kondisi fisik serta psikis seorang wanita.
Masyarakat berpendapat bahwa seorang
perempuan dengan laki – laki bukan merupakan hanya
sebatas perbedaan yang bersifat kodrat. Keduanya dapat
dibedakan berdasarkan sifatnya. Biasanya perempuan
mudah tersentuh dan lebih peka mengenai hal – hal yang
emosional, sedangkan laki – laki cenderung memakai logika
dan menganggap segala sesuatu rasional. Kebanyakan
masyarakat Indonesia masih berpendapat kuat mengenai
hal itu. Sebab dari pandangan masyarakat tersebut terjadi
akibat hasil konstruksi masyarakat terhadap bersifat alami
pria dan wanita. Pengaruh konstruksi sosial tersebut
menimbulkan dua ruang yang berbeda antara pria dan
wanita. Seorang wanita hanya pantas berada di ruang
domestik (Zaitunah, 2004).
Pada dewasa ini suatu implementasi hak – hak
seorang wanita dalam lingkup kehidupan sosial seperti
politik maupun pendidikan telah di akomodasi dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal
31. Seorang wanita dapat memanfaatkan pemenuhan hak
ini dengan melakukan tindakan yang mendukung suatu
eksistensi peran wanita dalam kehidupan sosial.
Pemanfaatan kebebasan berekspresi wanita dalam ranah
publik juga dapat diwujudkan dengan bekerja sama dalam
hal pekerjaan bersama rekan kerja pria di dunia
pemerintahan atau bahkan melanjutkan pendidikan sampai
perguruan tinggi. Hal tersebut adalah wujud suatu
pemenuhan hak perempuan dalam pemerintahan dan
pendidikan pula. Pada dasarnya isu kesetaraan gender juga
48
masih mengandung unsur adanya perkembangan
tekonologi yang begitu cepat dan inovatif. Pada era ini peran
perempuan telah diselaraskan dengan laki – laki.
Menurut Sunarjo Wrekosuhardjo, ketika memahami
suatu permasalahan masyarakat, kita harus melakukan
sebuah pendekatan terhadap masalah tersebut atas dasar
sila – sila Pancasila. Pertama, yang harus dilakukan ialah
menganalisis sila apa yang sesuai dengan masalah tersebut.
Pembahasan mengenai kesetaraan gender juga telah tertera
dalam Pancasila. Pancasila merupakan dasar filsafat bangsa
Indonesia. Makna yang terdapat dalam sila-sila Pancasila
menjadi dasar bersikap dan bertindak bangsa Indonesia.
Implementasi nilai moral Pancasila dalam kegiatan sehari-
hari menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa
pancasilais (Sunarjo, 2005).
Pancasilais merupakan bangsa yang dapat
mengimplementasikan nilai – nilai moral Pancasila di dalam
kehidupan secara nyata dan konsisten. Orang – orang
terdahulu telah sepakat terkait lima nilai dasar pancasila
yang terdapat dalam setiap silanya. Nilai yang terkandung
dalam Pancasila tersebut harus melatarbelakangi seseorang
dalam menentukan ciri atau konsep gender yang
seharusnya terjadi di Indonesia. Konsep gender dalam
pemenuhan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki
mempunyai ciri khas keindonesiaan yaitu sesuai nilai moral
Pancasila. Pernyataan tersebut sejalan dengan konsep
Pancasila menurut Bernard L. Tanya bahwa untuk
mengolah problem kesetaraan gender didasari sebuah
fundamen moral yang kukuh. Fundamen moral merupakan
sila ketuhanan. Dasar ketuhanan Yang Maha Esa memberi
jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang baik,
benar, dan adil” kata adil dan baik bermakna bahwa setiap
orang harus berbuat baik dan berperilaku adil.
Bernard menyatakan bahwa sila ketuhanan sangat
kuat karena mengandung “kredo ontologi” bangsa, negara,
49
dan manusia Indonesia. Eksistensi manusia, bangsa, dan
negara. Indonesia berelasi dengan Al Khalik yang diyakini
sebagai sumber yang baik, luhur, mulia dan adil. Dengan
demikian, sila Pancasila memiliki relevansi dalam konteks
kereligiusan sebagaimana terdapat dalam sila pertama,
yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa (Tanya, 2015).
Setelah melewati konteks kereligiusan sebagai
tameng utama, selanjutnya agar memiliki keseimbangan
yang tepat sebaiknya dapat di ajarkan melalui pendidikan
formal maupun informal. Sebagai contoh kesetaraan gender
dalam aspek pendidikan adalah melalui muatan materi
gender dalam pemberlakuan kurikulum dan melakukan
upaya integrasi materi-materi gender dalam kurikulum
yang berkesinambungan. Upaya integrasi tersebut dapat
dilakukan dengan berbagai alternative, dan berikut
merupakan langkah – langkahnya:
a. Contribution Aproach
Upaya ini dapat dilakukan dengan menambahkan isu atau
permasalahan gender dalam kurikulum melalui sistem dan
kebijakan publik
b. Additive Aproach
Upaya ini dilakukan melalui adanya adaptasi dalam suatu
ide atau gagasan baru tentang gender dengan tanpa
mengubah struktur kurikulum yang telah ada
c. Transformational Aproach
Upaya ini dilakukan dengan merombak tujuan, struktur dan
perspektif yang ada dengan isu-isu gender
d. Social action Aproach (Rahardjo, 2010).
Masyarakat telah berspekulasi bahwa Pancasila
sebagai Dasar Negara sudah diterima sebagai sesuatu yang
paten walaupun sering kali terdapat banyak pelanggaran
terhadapnya. Seperti halnya ada gap antara de jure dan de
facto dari Pancasila menyadarkan kita bahwa penegakkan
hukum mengenai kesetaraan gender dan hal spesifik
mengenai kesetaraan gender perlu untuk dilakukan
50
perubahan demi kesejahteraan masarakat. Salah satu
tantangan yaitu membuktikan bahwa Pancasila merupakan
ideologi yang responsif terhadap tuntutan atas kesetaraan
gender dibandingkan dua ideologi tersebut. Suatu pokok
atau inti (nilai esensi) sila-sila didalam Pancasila ialah,
Tuhan menjadi kausa prima(utama). Manusia menjadi
makhluk individu maupun sosial, satu merupakan kesatuan
yang mengandung kepribadian sendiri. Rakyat menjadi
suatu unsur mutlak sebuah negara, dan wajib bekerja sama
serta bertindak gotong-royong. Dan adil, yang mengandung
makna memberi keadilan kepada diri sendiri maupun pada
orang lain yang telah menjadi haknya. Jangan sampai
nantinya demi mengupayakan mendapatkan hak
kesetaraan, seorang wanita harus rela atau malah dipaksa
untuk mengesampingkan norma-norma agama yang
merupakan ajaran Tuhan Yang Maha Esa (Yana, 2015).
Pancasila sebagai suatu filsafat mengandung
karakteristik sistem filsafat tersendiri yang cukup jauh
berbeda dengan filsafat lainnya, yaitu sila-sila dalam
pancasila yang merupakan sebuah kesatuan sistem yang
utuh, bulat dan meyeluruh. Penyebab yang membuatnya
saling mempunyai keterkaitan yang sama serta tidak dapat
diganti ataupun dipisahkan. Indonesia merupakan negara
Pancasila. Nilai-nilai Pancasila adalah falsafah hidup bagi
bangsa dan negara. Maka sudah sepantasnya bahwanilai-
nilai tersebut telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari
keseluruhan kehidupan bangsa Indonesia bahkan termasuk
dalam pemenuhan hak-hak kesetaraan seorang wanita.
Konsep gender ini seharusnya disesuaikan dengan nilai-
nilai Pancasila sehingga konsep gender di Indonesia
memiliki ciri khas yang cukup baik. Ciri khas konsep gender
di Indonesia dapat dikatakan cukup baik jika didalamnya
sesuai dengan kaidah nilai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Inilah konsep

51
gender yang dianggap sesuai dengan kepribadian dan jati
diri bangsa Indonesia.

Daftar Pustaka

Subhan, Zaitunah. (2004). Kodrat Perempuan Takdir atau


Mitos?. Bantul: Pustaka Pesantren.
Wreksosuhardjo, Sunarjo. (2005). Ilmu Pancasila Yuridis
Kenegaraan dan Ilmu Filsafat Pancasila. Yogyakarta:
Andi Offset.
Tanya, Bernard L, dkk. (2015). Pancasila Bingkai Hukum
Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.
Mudjia Rahardjo, Pemikiran Kebijakan Pendidikan
Kontemporer, (Malang: UIN Maliki Press, 2010).
Suryana, Yana. (2015). Gender dalam Pendidikan.
Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.

52
LIMITASI HAK PENDIDIKAN MASYARAKAT
SUKU BADUY ‘DALAM’, QUO VADIS
PANCASILA?

Audi Navira

Suku Baduy merupakan satu dari sekian suku


bangsa yang masih mempertahankan nilai-nilai tradisi
untuk dijadikan sebagai pedoman hidup dalam
bermasyarakat. Orang Baduy atau Orang Kanekes
merupakan suatu kelompok masyarakat adat Sunda yang
berada dalam wilayah Kabupaten Lebak, Banten.
Sebutan Suku “Baduy” merupakan sebutan yang
berasal dari luar suku tersebut, berawal dari para peneliti
Belanda yang menyamakan mereka dengan Suku Arab
Badawi yang merupakan suku berpindah-pindah atau
nomaden. Kemungkinan lain disebut Suku Baduy karena
terdapat Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di
bagian utara dari Suku Baduy tersebut.
Kehidupan masyarakat Suku Baduy masih sangat
kental akan tradisi dan hukum adat yang berlaku dalam
suku tersebut, salah satunya adalah mereka tetap
mempertahankan sistem pengetahuan tradisional dimana
dalam sistem pendidikan tradisional mereka masih tetap
terjaga secara khusus untuk masyarakat Suku Baduy dalam
menerapkan cara adat dalam menjalankan pendidikan
secara adat. Masyarakat Suku Baduy mearang berdirinya
pendidikan formal dan melarang masyarakatnya untuk
mengikuti pendidikan formal. Suku Baduy ‘Dalam’ tidak
mengenal budaya tulis menulis, sehingga adat istiadat,
53
kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang yang
berkembang dalam suku tersebut hanya tersimpan di dalam
tuturan lisan saja, dan disampaikan secara turun-temurun.
Tidak adanya budaya tulis dan larangan untuk
bersekolah formal menyebabkan masyarakat Baduy tidak
pernah sekolah, karena para orangtua Suku Baduy
mengajarkan anaknya ilmu pengetahuan yang berkembang
dalam suku tersebut dan mereka sudah mengetahui banyak
hal tanpa perlu bersekolah. Jika adat istiadat mereka
mengatakan tidak memperbolehkan untuk sekolah formal,
maka mereka tidak akan melakukan sekolah formal,
masyarakat Baduy sangat patuh dan taat pada peraturan
dan adat-istiadat yang ada secara turun-temurun di
lingkungan mereka. Masyarakat Baduy mempunyai
pendangan tersendiri mengenai pendidikan.
Pemerintah menyarankan anak-anak Suku Baduy
untuk bersekolah di sekolah formal, masyarakat Baduy
secara langsung akan bersikap tegas menolak pendidikan
formal di sekolah tersebut. Saat belajar di sekolah, identitas
atau budaya mereka dapat tergeserkan karena ilmu dari
pendidikan formal tersebut. Karena, sistem pendidikan
masyarakat Suku Baduy diajarkan secara turun-temurun
oleh para orangtua maupun nenek moyang mereka yang
didapat semuanya dari alam dan pengalaman di sekeliling
mereka.
Larangan untuk menempuh pendidikan formal
sebenarnya didasari oleh pemikiran dan tujuan leluhur
demi keutuhan budaya atau eksistensi suku itu sendiri.
Tujuan paling utama dari larangan tersebut adalah untuk
mencegahnya masyarakat adat yang mengadopsi gaya

54
kehidupan modern karena pengaruh pendidikan, padahal
Suku Baduy memiliki hidup dan keyakinan yang kuat
terhadap hukum adatnya. Jika banyak masyarakat Suku
Baduy yang mengenal pendidikan maka nantinya akan
banyak masyarakat yang keluar dari lingkungan Suku
Baduy demi mengejar kepuasan materi dan kemajuan hidup
yang lebih baik yang pada akhirnya dapat menimbulkan
ketimpangan yang merusak keharmonisan, kesatuan serta
persatuan tatanan hukum Suku Baduy.
Sesungguhnya masyarakat adat istiadat mempunyai
hak untuk menentukan nasib dan jalan hisupnya sendiri
sesuai dengan identitas budaya mereka. Oleh karena itu,
Suku Baduy berhak untuk menjalankan pendidikan
tradisional sesuai dengan amanat leluhurnya yang berbeda
dengan pendidikan formal masyarakat pada umumnya.
Akan tetapi, jika dibiarkan dengan pendidikan tradisional,
maka dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru
dikemudian hari karena zaman semakin maju dan
kebutuhan akan semakin tinggi maka semestinya
masyarakat dan anak-anak Suku Baduy memperoleh
pendidikan formal.
Larangan dalam Suku Baduy untuk menempuh
pendidikan formal merupakan sebuah penyimpangan dari
Pancasila sila ke-5, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Pancasila merupakan sebuah rumah bagi semua
komponen lapisan masyarakat Indonesia. Pancasila harus
dijadikan pedoman untuk mengambil tindakan dan
berperilaku agar tak menyimpang dari nilai-nilai dan norma
dasar bagi masyarakat Indonesia. Pancasila harus dijadikan
sebagai acuan hukum atau sumber dari segala sumber

55
hukum agar Indonesia benar-benar menjadi negara hukum.
Setiap Warga Negara Indonesia memiliki kewajiban untuk
turut serta membantu dalam penegakaan program
pemerintah yang melindungi dan memperjuangkan hak-hak
serta kepentingan rakyat.
Keadilan merupakan salah satu dari beberapa
tujuan Republik Indonesia sebagai negara hukum.
Penegakan keadilan akan membuat masyarakat Indonesia
menjadi aman, tentram, dan sejahtera. Upaya dalam
mencapai nilai keadilan memerlukan nilai keselarasan,
keserasian, dan keseimbangan hak serta kewajiban yang
dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia tanpa
membedakan suku, agama, dan status sosial ekonominya.
Setiap masyarakat harus diperlakukan secara adil
sesuai dengan hak serta kewajibannya sebagai warga
negara. Dalam sila ke-5 keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia
menyadari akan hak serta kewajiban yang sama untuk
menciptakan keadilan sosial. Keadilan sosial memiliki sifat
persamaan dan pemerataan. Namun faktanya, banyak
ketimpangan terjadi akibat tidak terwujudnya sila ke-5.
Pendidikan hal yang penting karena dengan
pendidikan, Indonesia mampu untuk menciptakan generasi-
generasi muda yang cerdas serta dapat memajukan
Indonesia menjadi lebih baik. Namun terdapat masalah lain
mengenai ketidakadilan dalam dunia pendidikan yaitu
ketidakmampuan masyarakat adat istiadat untuk
memperoleh pendidikan formal yang layak, sehingga
banyak anak-anak dari suku adat Indonesia yang tidak
mampu untuk bersekolah karena larangan dari leluhurnya.

56
Oleh sebab itu pemerintah seharusnya memberikan
prioritas untuk masyarakat adat Indonesia dengan
memberikan pendidikan formal yang sesuai dengan
lingkungan mereka. Sehingga anak-anak suku adat tersebut
dapat mengenyam pendidikan yang layak dibangku sekolah
seperti anak-anak masyarakat pada umumnya.
Terdapat masalah-masalah yang lain yang harus
diperhatikan pemerintah salah satunya adalah ketimpangan
pendidikan yang terjadi contohnya untuk anak-anak di
daerah pedalaman atau di daerah perbatasan, pemerintah
hanya dipandang memprioritaskan pendidikan untuk
daerah-daerah yang sudah maju, sementara untuk
pendidikan di daerah-daerah pedalaman cenderung
terabaikan. Banyak anak-anak di daerah pedalaman atau
anak-anak masyarakat adat yang membutuhkan pendidikan
formal.
Dalam menanggapi ketimpangan sila ke-5
diperlukan upaya untuk menciptakan masyarakat yang adil
serta sejahtera, paling tidak dalam menciptakan hal
tersebut perlu ada kesadaran dari setiap individu untuk
merubahnya, jika perubahan dapat terlaksana dengan baik
dan benar, tentunya keadilan akan dapat dengan mudah
tercipta, baik dalam bidang hukum, pendidikan, kesehatan,
ekonomi dan bidang lainnya.
Untuk menciptakan keadilan dalam Pancasila sila
ke-5, peran pemerintah untuk mengupayakan hal tersebut
amat diperlukan. Agar implementasi dari sila ke-5 tersebut
dapat benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat
Indonesia. Hal tersebut juga merupakan sebuah
pelanggaran HAM dikarenakan pembatasan hak untuk

57
menempuh pendidikan. Dalam Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 28D Ayat (1) Tentang Hak Asasi Manusia hasil
amandemen disebutkan bahwa “setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.
Tetapi nyatanya jauh dari yang diharapkan, ini menjadi
bukti bahwa keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia belum
sepenuhnya ditegakkan dengan baik.
Buruknya pelayanan dan peran pemerintah dalam
menyadarkan masyarakat adat istiadat terkait pentingnya
pendidikan dalam Suku Baduy menjadi potret bahwa
keadilan belum bisa ditegakkan dengan baik. Undang-
Undang Dasar 1945 Pasal (28) H ayat (2) tentang Hak Asasi
Manusia menyebutkan bahwa “setiap orang berhak
mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan”. Tetapi pada
kenyataannya masyarakat Suku Baduy masih
mempertahankan sistem pendidikan tradisional yang telah
dilakukannya secara turun-temurun.

58
KESETARAAN GENDER DALAM PERSPEKTIF
PANCASILA DAN FILSAFAT

Yulianti Nur Indah Sari

Pancasila merupakan sebuah cara berpikir suatu


golongan dan pokok dari suatu negara Indonesia yang
digunakan sebagai tumpuan dari segala sesuatu ketetapan
suatu bangsa dan juga menggambarkan keadaan tentang
sikap yang tercermin dari bangsa Indonesia. Pancasila juga
sebagai pokok sebelum menyusun segala urusan yang
dilakukan oleh negara Indonesia yang mementingkan
seluruh bagian dari keseluruhan atau unsur di seluruh
wilayah Indonesia. Pancasila dalam konteks kehidupan
berbangsa dan juga bernegara, semua masyarakat
berpegang kepada pancasila sebagai tujuan dari suatu
bangsa. Sebagian dari keinginan yang ingin dicapai terdapat
didalamnya yakni terpenuhinya keadilan bagi semua warga
masyarakat bersama memperoleh keadilan dan hak-haknya
sebagai manusia.
Hari Kesaktian Pancasila sebenarnya dapat
diartikan sebagai suatu rintangan untuk terus memberikan
bukti bahwa kesaktian Pancasila di sela-sela kendali dari
cara berpikir suatu negara baik yang berdasarkan pada
agama maupun pasar bebas. Satu diantaranya yang ada
sebagai suatu rintangan adalah dengan memberikan bukti
bahwa Pancasila merupakan sebuah cara berpikir yang
cepat terhadap apa yang harus dipenuhi atas kesetaraan
gender dibandingkan dengan dua cara berpikir tersebut.
Penerimaan kesadaran masyarakat Indonesia terhadap

59
Pancasila dapat diamati dari tanggapan yang ditunjukkan
masyarakat terhadap bagaimana kasus upaya formalisasi
Islam di tanah air. Pancasila yang dijadikan sebagai
argumen tidak menerima bahkan menyatakan penolakan
perda-perda Islam tersebut tetapi isu diskriminasi terhadap
perempuan kurang digunakan sebagai pokok dari sebuah
penolakan. Beberapa ideologi Pancasila bahkan
mengutarakan pendapat bahwa Pancasila tidak berkaitan
antara Pancasila dengan isu gender. Sementara Soekarno,
sang pencetus gagasan Pancasila, secara tegas dan terus
terang menyatukan sudut pandang terhadap kesetaraan
gender ke dalam penjelasan mengenai Pancasila.
Pancasila dalam sila-silanya saling berkaitan,
sehingga isu seperti tentang perempuan dan laki-laki dapat
dicari lebih dalam pada sila ke-2 yaitu kemanusiaan yang
adil dan beradab. Jika dikaitkan dengan kesetaraan gender
maka sila yang lebih menjiwai adalah terdapa pada sila ke-1
yaitu tentang kehidupan berketuhanan maupun beragama
yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa atau dalam sila
ke-4 tentang bagaimana sistem politik demokrasi
perwakilan yaitu bunyinya Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh
Hikmat Kebijaksanaan
DalamPermusyawaratan/Perwakilan.
Tingkatan atau martabat perempuan juga dapat
dilihat dari lambang Negara Garuda Pancasila. Sila ke-4
disimbolkan dengan gambar rantai, yang terdiri dari gelang
persegi berhubungan dengan gelang bundar. Kaitan antara
kedua simbol tersebut memberikan isyarat tentang perihal
setara gender antara laki-laki dan perempuan. Karena
perempuan dan laki-laki menjadi sebuah harapan bagi

60
bangsa karena sebuah bangsa berhubungan erat terhadap
kegiatan atau usaha yang dilakukan warga masyarakat
antara laki-laki dan perempuan.
Peri kemanusiaan merupakan ungkapan dari jiwa
merasa, bahwa antara manusia satu dengan manusia
lainnnya terdapat suatu hubungan. Lebih jelasnya, peri
kemanusiaan merupakan perubahan yang suci, batin
ataupun perasaan yang membentengi diri kita untuk
melakukan perbuatan yang rendah dan menimbulkan
celaka manusia yang lain. Jadi diskriminasi dengan jenis
apapun, merupakan suatu perbuatan yang merusak prinsip
dari dari kesetaraan gender antar manusia yang dijunjung
oleh sila ke-2 yaitu peri kemanusian yang adil dan beradab.
Sila ke-2 tersebut tidak hanya membatasi tentang ikatan
antar manusia, tetapi juga digunakan menjadi suatu prinsip
agar dapat menata lebih teratur hubungan masyarakat
antar bangsa.
Perbedaan antar gender dapat diamati dari peran,
fungsi, tugas, dan juga tanggungjawab antar individu serta
kedudukan yang secara langsung maupun tidak langsung
dan resiko dari suatu peraturan perundang-undangan
ataupun suatu cara bertindak yang sudah mengakibatkan
bermacam-macam ketidakadilan. Lantaran telah tertanam
dari dalam adat, norma ataupun dari struktur masyarakat.
Kondisi Budaya bangsa Indonesia yang patriaki yaitu
sebuah sistem yang mendominasi kaum laki-laki sebagai
pemegang kekuasaan yang utama. Sistem inilah yang
menyebabkan partisipasi dari kaum perempuan dalam isu
berpolitik tidak sama jumlahnya dengan laki laki. Peluang
perempuan dalam berpoltik untuk dipilih sebagai seorang

61
politisi relative diberikan batasan karena pendapat yang
beranggapan dari masyarakat tentang hal membagikan
peran antara laki laki dan perempuan, condong
menyimpang kearah pembatasan peran kaum perempuan
pada urusan rumah tangga.
Gender merupakan suatu keadaan atau wujud sosial
berkenaan dengan masyarakat yang sesungguhnya bukan
keadaan dari lahir sehingga dapat dibentuk atau diubah
sesuai dari tempat, waktu atau zaman, suku, ras, atau
bangsa, budaya, status sosial, pemahaman agama, ideologi
negara, politik, hukum, dan ekonomi. Oleh karena itu,
gender sebenarnya tidak dari kodrat Tuhan melainkan
ciptaan manusia yang tidak dapat ditukarkan dan memiliki
sifat yang tidak mutlak. Pancasila sebagai tahapan dan
pandangan hidup bangsa Indonesia, tidak membuat selisih
antara laki-laki dan perempuan, dengan pernyataan bahwa
setiap warga Negara mempunyai status, hak, dan kewajiban,
serta kesempatan yang sama di dalam keluarga dan
masyarakat.
Ketidakadilan gender adalah suatu metode dan cara
sesuatu yang disusun untuk menempatkan laki-laki dan
perempuan sebagai korban dari metode tersebut.
Ketidakadilan gender terwujud dalam bermacam-macam
bentuk ketidakadilan, yang paling utama pada perempuan,
yaitu stereotif atau pemberian label negatif, kedudukan
yang rendah dan usaha pembatasan pada perempuan,
sekaligus perlakuan yang membeda-bedakan terhadap
perempuan, kekerasan terhadap perempuan, ataupun
tanggung jawab kerja yang lebih banyak dan panjang.
Manifestasi atau perwujudan pendapat ketidakadilan

62
gender tersebut masing-masing tidak bisa dilepaskan, saling
berkaitan dan berpengaruh secara dialektis. Keadilan
gender dapat dimaknai bahwa laki-laki dan perempuan
memiliki dan merasakan status yang sama; laki-laki dan
perempuan sama-sama memiliki peluang untuk
mewujudkan hak-hak dan kemampuan yang
dikembangkannya untuk memberikan kontribusi pada
perkembangan politik, ekonomi, sosial, dan budaya, serta
bersama-sama dapat merasakan hasil dari perkembangan
itu (Syarif, 2016).
Pelaksanaan secara nyata suatu ketidakadilan yang
dialami perempuan dalam masyarakat terkadang
menggunakan dalil agama, apabila ditelaah lebih jauh maka
tidak ada satupun nas al-Qur‟an maupun hadis yang
memberikan petunjuk pada perempuan lebih rendah
martabatnya dari laki-laki. Ikatan antara laki-laki dan
perempuan dalam Islam selalu didasarkan pada prinsip-
prinsip dari suatu kesetaraan, persaudaraan dan
kemaslahatan. Bila ditelusuri lebih jauh, maka banyak ayat
maupun hadist memberikan anugerah kepada kaum
perempuan hak asasi yang belum pernah diberikan oleh
aturan hukum ataupun undang-undang lain yang penah ada
di muka bumi. Hal ini dapat dilihat pada adanya
perlindungan hak waris perempuan, Islam memberikan hak
tersebut dengan ketentuan apabila perempuan telah
menerima setengah bagian dari lakilaki. Ketentuan ini
bukan berarti kaum perempuan lebih rendah martabatnya
dari kaum lakilaki tetapi karena perempuan di samping
menerima setengah bagiannya juga menerima nafkah dari
saudara laki-lakinya. Dengan kata lain, sekalipun

63
perempuan menerima separuh dari bagiannya namun
kewajiban memberi nafkah tidak dibebankan kepada
perempuan. (Musyahid, 2013).
Kesetaraan gender dalam suatu negara masih
menjadi suatu isu yang belum terselesaikan, meskipun
dalam suatu dasar negara telah diatur ataupun telah
disinggung, namun faktanya masih banyak yang melakukan
diskriminasi terutama tindakan kesetaraan gender yaitu
membedakan perlakuan terhadap kaum perempuan dengan
kaum laki-laki. Dalam Pancasila isu mengenai keadilan antar
kaum disinggung dalam sila ke-2 lalu diikuti dengan sila ke-
1 dan juga sila ke-4. Kemudian, dalam filsafat istilah gender
dan feminisme dikatakan sebagai gender equality, yaitu
kesetaraan gender masih tetap ada tetapi tidak dalam
pengakhiran suatu hubungan yang cara berpikir dengan
patriarki. Di dalam gender equality, seseorang mempunyai
keinginan untuk menyamakan hak melalui kebijakan,
sedangkan pada feminisme pendapatnya bukan lagi sekadar
kesetaraan mengenai suatu hak tetapi mengenai perubahan
logika di dalam menentukan kebijakan. Jadi feminisme lebih
tajam karena menginginkan segala bentuk dari jenis
patriarki berakhir.

Referensi

Syarif, Edwin, 2016, “Etika Falsafah Islam Perspektif


Kesetaraan Gender”, Refleksi, Volume 15, Nomor 2.
Musyahid, Achmad, 2013, “Kesetaraan Gender Perspektif
Filsafat Hukum Islam”, Sipakalebbi’, Volume 1 Nomor
1.

64
Pelanggaran HAM dalam Landasan Yuridis
dan Filosofis

Reza Pahlevi

HAM (Hak Asasi Manusia) adalah hak yang paling


awal dan diperoleh oleh setiap insan ciptaan Allah SWT
dimana keberadaan HAM sendiri harus dijunjung tinggi dan
diakui serta dijamin keberadaanya oleh kita bersama, oleh
negara dan oleh dunia sebagai bentuk penghargaan kepada
martabat diri kita sendiri selaku manusia. Keberadaan HAM
sendiri sudah dijamin oleh Undang-Undang Negara
Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia, pada peraturan ini juga sudah memberi
pengertian mengenai HAM yaitu pada Pasal 1 angka 1
berbunyi “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-
Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia”.
Diakui dan dilindungi terhadap HAM, adalah
karakteristik yang harus ada pada sebuah negara hukum
(rechtstaat), karena di dalam negara hukum jaminan
terhadap HAM itu diakui dan dijamin secara konstitusional.
Indonesia yang notabenenya merupakan negara hukum hal
ini dapat terbukti pada peraturan negara kita yaitu dalam
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

65
Indonesia Tahun 1945 berbunyi “Negara Indonesia adalah
negara hukum”. Jelas bahwa dari bunyi pasal itu Indonesia
berkewajiban untuk menjaga dan menjamin terlaksananya
HAM di lingkungan yurisdiksi negaranya sehingga tercapai
tujuan nasional bangsa Indonesia yaitu melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Adapun ciri-ciri khas negara hukum adalah: a.) Pengakuan
dan perlindungan terhadap hak asasi manusia; b.) Peradilan
yang bebas dari pengaruh suatu kekuasaan atau kekuatan
dan tidak boleh memihak; c.) Legalitas dalam arti hukum
untuk segala bentuknya (Thaib, 1991).
Hak asasi manusia itu pada mulanya adalah
bersumber dari pancasila, sebuah kenyataan bahwa hak
asasi itu memang ada pada setiap butir sila yang ada pada
pancasila, apabila kita meninjau dari isi di dalam sila-sila
yang ada pada pancasila maka akan kita temui isi dari
masing-masing sila itu terkandung makna mengenai hak
asasi manusia, seperti pada sila pertama pancasila yakni sila
“Ketuhanan Yang Maha Esa” disini memuat pengertian
mengenai adanya perlindungan dan jaminan terhadap
setiap manusia Indonesia untuk bebas dalam beribadah dan
bebas menentukan pilihan untuk memeluk agama sesuai
dengan kepercayaan masing-masing.
Sila kedua pancasila juga terkandung makna
mengenai HAM yakni “Kemanusiaan yang adil dan beradab”
,perlu kita garis bawahi dari bunyi sila tersebut yaitu
kemanusiaan yang merupakan bentuk kata yang

66
menyangkut hak asasi itu. Rakyat Indonesia diwajibkan
untuk bertindak secara adil dan beradab baik itu untuk
sesama manusia dengan sesama makhluk hidup.
Kesemuannya itu kita selaku manusia dituntut untuk
bertindak secara adil dan beradab, apabila kita tidak
bertindak secara adil dan beradab maka kita bukanlah
rakyat Indonesia yang mengamalkan butir-butir dari sila
pancasila kita.
Kepribadian pancasila adalah sebagai landasan
yuridis filosofis bangsa Indonesia. Suatu keharusan moral
bagi setiap aspek kegiatan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara kita itu wajib bersumber dari
nilai-nilai pancasila. Hal ini berdasarkan kenyataan secara
filosofis dan objektif bahwa bangsa Indonesia dalam hidup
bermasyarakat dan bernegara mendasarkan pada nilai yang
tertuang dalam butir sila-sila pancasila yang secara filosofis,
bangsa Indonesia sebelum mendirikan suatu negara adalah
sebagai bangsa yang berketuhanan dan berkemanusiaan.
(Arum, 2020) Oleh karenanya, pancasila merupakan sumber
nilai dalam pelaksanaan kenegaraan dan untuk menjawab
berbagai persoalan di negeri ini utamanya untuk mengatasi
masalah pelanggaran HAM, di dalam negara Indonesia
sendiri masalah HAM adalah bentuk pencorengan harkat
dan martabat kemanusiaan yang dewasa ini bangsa
Indonesia sudah lama menjamin keberadaanya dalam
pancasila (Budiyono, 2009).
Kaitannya dengan pelanggaran HAM, baru-baru ini
kita mendapati sebuah kasus yang terjadi di Surabaya
mengenai tindakan diskriminasi ras dan persekusi yang
terjadi pada masyarakat Papua lebih tepatnya terjadi pada

67
17 Agustus 2019 di Asrama Kamasan milik mahasiswa
Papua yang berada di Jl. Kalasan 10, Surabaya, Jawa Timur.
Beberapa tudingan dan sangkaan yang melatarbelakangi
kasus ini adalah karena adanya sangkaan bahwa pada 17
Agustus 1945 yang bertepatan dengan hari kemerdekaan
Indonesia, para mahasiswa Papua yang berdomisisli di
Asrama tersebut tidak mau memasang bendera nasional
bangsa Indonesia dan malah merusak serta membuangnya
ke selokan depan asrama tersebut. Tudingan ini yang
menjadi awal terjadinya kerusuhan dan datangnya berbagai
perwakilan Organisasi Kemasyarakatan, TNI, Polisi, Satpol
PP dan warga setempat terkait hal itu, serta cacian dan
penyebutan yang berbau pelanggaran rasial ditujukan pada
mahasiswa Papua saat itu oleh mereka (BBC, 2019).
Jelas bahwa perbuatan diskriminasi yang dilakukan
oleh oknum-oknum tersebut adalah melanggar Pasal 1
angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia yang berbunyi “Diskriminasi adalah
setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang
langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan
manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok,
golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin,
bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan,
penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan,
atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam
bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek
kehidupan lainnya”.
Adanya kasus diatas, kita menyayangkan adanya
tindakan main hakim sendiri, cacian yang berbau rasial

68
serta diskriminasi yang menimpa mahasiswa Papua yang
terjadi di wilayah Surabaya dan lebih disayangkan lagi
adalah banyak dari perbuatan itu juga dilakukan oleh aparat
penegak hukum Indonesia yang seyogyanya aparat adalah
sebagai pengayom dan pemberi rasa nyaman pada
rakyatnya. Banyak alternatif yang dapat diperbuat untuk
mengatasi kesalahpahaman ini, misalnya musyawarah,
diskusi secara kekeluargaan dan berbagai upaya-upaya
damai dahulu serta diminimalkan sampai adanya tindak
kekerasan yang kita lakukan kepada masyarakat lain,
apalagi dari kasus ini masih belum diketahui siapa yang
benar-benar melakukan tindakan pelanggaran hukum
dengan merusak dan/atau membuang serta cara lain
sehingga bendera nasional kita ada pada selokan saat itu.
Apabila memang kedepan dapat dibuktikan adanya suatu
tindakan pelanggaran tersebut oleh masyarakat tertentu,
maka jalur hukum adalah jalan yang harus ditempuh oleh
pelanggarnya guna menimbulkan efek jera sehingga
kejadian tersebut tidak diulangi.
Sejarah bangsa Indonesia dalam merdeka tidak
boleh dilupakan, karena dalam sejarah masa lalu bangsa ini
dapat merdeka adalah tidak hanya dilakukan satu suku
tertentu saja. Akan tetapi, dengan persatuan semua suku
yang berdiam di wilayah Indonesia. Maka, persatuan
haruslah dijunjung tinggi dan diskriminasi rasial kepada
golongan tertentu haruslah kita hindari karena bangsa
Indonesia yang besar dan kaya akan suku bangsa yang
berdiam didalamnya harus mampu mengaktualisasikan
nilai-nilai yang ada dalam pancasila. Kasus diatas sudah
pasti mencoreng nilai-nilai yang terdapat pada pancasila

69
karena dalam inti ajarannya adalah menjunjung tinggi
persatuan dan kesatuan bangsa serta kemanusiaan yang
merupakan hal mutlak harus kita lindungi bersama demi
tegaknya tujuan bangsa Indonesia.
Kita sebagai masyarakat Indonesia yang beradab
dituntut untuk patuh dan taat kepada pancasila sebagai
ideologi Indonesia. Melihat contoh kasus “Diskriminasi
Papua” yang sampai sekarang juga menimbulkan kasus baru
yakni kerusuhan di Papua sendiri sebagai ujung dari rasa
kecewa dan rasa sakit yang mendalam yang dialami
masyarakat Papua. Kita harus belajar akan nilai-nilai
pancasila yang secara tegas sudah memberi pengetahuan
akan toleransi keberagaman dan mengedepankan
musyawarah untuk mencapai mufakat dalam mengatasi
berbagai persoalan kita sehari-hari ataupun dalam
persoalan berbangsa dan bernegara.
Patuh kepada isi dan ajaran nilai-nilai yang ada pada
pancasila adalah sesuatu hal yang wajib. Hal ini tentu untuk
mengatasi berbagai persoalan bernegara ini dengan baik,
karena sifat dari pancasila sendiri yang telah dibuat oleh
para pendiri bangsa yang sampai sekarang ini mampu untuk
menghadapi perkembangan zaman bahkan ikut serta
menyemarakkan perkembangan zaman sebagai ideologi
yang dinamis dan tidak kaku dalam menghadapi tantangan
berbangsa dan bernegara di era global dengan segala aspek
yang sudah segalanya modern saat ini. Selanjutnya,
diharapkan dalam menyikapi berbagai persoalan tersebut
kita dapat kembali kepada pancasila terlebih dahulu dan
mengamalkan nilai-nilai yang terkandung didalamnya agar

70
dapat tercapai perdamaian dan kehidupan yang selaras
sesama manusia.

Daftar Pustaka

Arum, S. (2020). Nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara


dan pandangan hidup Retrieved from Kompas.com
website
https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/03/
090000769/nilai-nilai-pancasila-sebagai-dasar-
negara-dan-pandangan-hidup?page=all
BBC, T. (2019). Asrama Papua: Cek Fakta Kasus Bendera
Merah Putih dan Makian Rasisme di Surabaya
Retrieved from BBC News website:
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-
49446765
Budiyono, K. (2009). Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan
Tinggi. Bandung: Alfabeta.
Thaib, D. (1991). Pancasila Yuridis Ketatanegaraan.
Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan AMP YKPN.

71
INTOLERANSI BERAGAMA TERHADAP
SESAMA UMAT MANUSIA

Dimas Syahrul Amrulloh

Pancasila merupakan staats fundamentalnorm


dalam susunan perundang-undangan yang ada di Indonesia.
Pancasila juga merupakan suatu nilai utama yang mendasari
terbentuknya hukum. Pancasila sebagai fundamen hukum
berusaha agar memperindah bentuk hukum yang ada di
Indonesia dengan lima nilai dasar negara, yaitu: nilai
Ketuhanan, nilai Kemanusiaan, nilai Persatuan, nilai
Musyawarah, dan nilai Keadilan Sosial. Kelima dasar negara
ini merupakan dasar dari terciptanya peraturan-peraturan
yang mengatur perilaku masyarakat dalam berbangsa dan
bernegara.
Pancasila sebagai dasar negara dalam terciptanya
sebuah peraturan pastinya mengalami rintangan yang
cukup berat, ketika berhadapan dengan masuknya berbagai
ragam nilai yang ada. Pancasila berhadapan dengan
berbagai nilai baru yang masuk, seperti sosialisme,
kapitalisme, dan sebagainya. Dewasa ini selain dihadapkan
pada nilai-nilai yang baru Pancasila juga berhadapan
dengan beragam sistem filsafat hukum yang berlomba-
lomba untuk mewarnai dan menanamkan nilai-nilainya
dalam berbagai aturan. Nilai Kapitalisme adalah lawan berat
dari Pancasila yang terus-menerus berupaya dalam
menanamkan nilai-nilai dasarnya khususnya pada hukum
ekonomi di Indonesia. Pancasila yang sejatinya sebagai cikal
bakal terbentuknya aturan hukum di Indonesia masih

72
belum juga mendapatkan pengakuan. Dan juga masih dalam
keadaan tidak terciptanya kesamaan dalam suatu
pandangan pada kalangan ahli hukum. Eksistensi Pancasila
cepat atau lambat akan beralih kepada nilai-nilai dasar baru
dengan mengatasnamakan demokrasi. Pandangan ahli, juga
tidak lagi menganggap Pancasila sebagai staats
fundamentalnorm.
Filsafat Hukum Pancasila mengandung makna
gotong-royong, yang berarti bahwa keadaan dimana setiap
komponen bersatu untuk mencapai tujuan yang
didambakan bersama-sama. Semangat dari nilai gotong-
royong ini dijadikan sebagai cara untuk membangun
hubungan dengan bangsa lain, bahwa dalam menyelesaikan
permasalahan internasional selayaknya harus dilakukan
dengan gotong-royong. Tanpa adanya semangat gotong-
royong tidak mungkin dapat menyelesaikan berbagai
masalah dengan cepat dan mudah. Menurut Kartohadiprojo
(2010:248), Mazhab Hukum Pancasila memberikan arti
bahwa hukum yang benar adalah hukum yang memberikan
nilai-nilai religiusitas. Daya pengikat dalam hukum
Pancasila diperoleh dari kekuatan sebuah negara sebagai
kesatuan individu-individu yang membangun bangsa
menerapkan hukum dengan nilai yang religius dan
mengutamakan nilai kebersamaan. Dalam Pancasila hak
individu tidak akan kehilangan tempatnya dan akan tetap
dihormati. Jika Ketuhanan adalah faktor utama dalam
pembentukan hukum Pancasila, maka secara logika Tuhan
menjadi teladan masyarakat. Tuhan menerima amal
kebaikan secara individu maupun kelompok (jamaah).
Tuhan akan memeriksa amal hambaNya secara adil.

73
Pancasila juga menilai kebajikan dan amal bakti individu-
individu. Hak setiap individu harus dihormati karena Tuhan
juga menghormati setiap hak individu tersebut.
Dewasa ini, terdapat banyak sekali kasus intoleransi
berbasis agama di kalangan masyarakat. Seperti yang
terjadi di daerah Bantul, Yogyakarta terdapat kesepakatan
bersama menolak seseorang non-Muslim untuk tinggal di
daerah yang mayoritas berpendudukan Muslim. Selain di
daerah Bantul, hal serupa juga terjadi di makam Giriloyo,
Magelang, Jawa Tengah. Dimana nisan yang berbentuk salib
pada makam tersebut dirusak oleh para warga setempat.
Permasalahan nisan makam juga terjadi di daerah
Purbayam, Kotagede, Yogyakarta dimana nisan salib
dipatahkan oleh para warga setempat dan juga warga
menolak diadakannya doa bagi jenazah baik di pemakaman
dan juga di rumah kerabat yang ditinggalkan. Dalam
pernyataanya, Kementerian Dalam Negeri berpendapat
bahwa setiap warga Indonesia berhak untuk memilih
dimanapun dia tinggal dalam wilayah NKRI. Hak tersebut
hanya terbatasi oleh hak khusus yang juga diatur dalam
perundang-undangan yang ada.
Dari kasus di atas tentu saja sudah melanggar Pasal
28E ayat (1) Undang-Undang Negara Republik Indonesia
1945 yang menyatakan bahwa, Setiap orang bebas memeluk
agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah
negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Selain
pasal tersebut tercantum juga pada Pasal 29 ayat (2) , yakni
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya

74
untuk memeluk agama. Selain melanggar pasal yang
terdapat dalam UUD 1945, kasus di atas juga menciderai
nilai Pancasila, yaitu nilai Ketuhanan, nilai Persatuan, nilai
Musyawarah dan juga nilai Keadilan Sosial.
Nilai Ketuhanan, dimana seperti yang dijelaskan di
atas bahwa Tuhan menerima amal kebaikan setiap manusia.
Tuhan sangat menentang adanya intoleransi antar agama
seperti kasus yang dipaparkan di atas. Tuhan selalu
mengajarkan untuk selalu menyayangi dan mengasihi,
memberi cinta kasih antar sesama manusia, tidak
membeda-bedakan antar sesama manusia. Bukan tanpa
alasan Tuhan selalu mengajarkan kebaikan kepada hamba-
Nya. Salah satu alasannya ialah karena dengan berbuat baik,
maka kita mempraktikkan salah satu sifat Tuhan, yang terus
menerus berbuat baik untuk para hamba-Nya, seperti yang
tertera dalam surah Al-Qashash ayat 77 di bawah ini.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
oleh Allah kepadamu kebahagiaan akherat, dan janganlah
kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan dunia,
dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah
telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai terhadap orang-orang yang berbuat
kerusakan.” (QS. Al-Qashash: 77).

Selain pada kitab umat Muslim, Al-Quran, pada kitab


Injil pula terdapat ajaran Tuhan agar selalu memberikan
cinta kasih kepada sesama manusia. Seperti yang terdapat
pada 1 Yohanes 4:7 “Saudara-saudaraku yang kekasih,
marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari

75
Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan
mengenal Allah.” Dan juga terdapat pada 1 Yohanes 13:34
yang berbunyi “Aku memberikan perintah baru kepada
kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti
Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling
mengasihi.” Disini dapat diambil kesimpulan bahwa, setiap
umat yang beragama pasti selalu diajarkan dan ditanamkan
rasa cinta kasih kepada sesama manusia. Tidak ada yang
membeda-bedakan ras, suku, agama, dan budaya agar
masyarakat Indonesia selalu hidup damai, tentram dan
tenang.
Nilai Persatuan, dengan banyaknya kasus intoleransi
beragama di kalangan masyarakat, ditakutkan akan
memperlemah persatuan dan kesatuan yang sudah terjalin
dari zaman perjuangan. Dimana seluruh pejuang dari
berbagai suku, ras, adat, agama bersatu dalam melawan
penjajah dan pada saat ini dengan mudahnya masyarakat
dengan kepentingan kelompok mereka untuk memecah
belah persatuan dan kesatuan tersebut. Jika intoleransi
beragama terus saja terjadi, dikhawatirkan di Indonesia
akan terjadi perpecahan atau perang antar umat beragama.
Cara mengatasi hal tersebut adalah dengan menumbuhkan
lagi sikap toleransi dan menghormati antar agama, ras,
suku, maupun antar golongan. Perbedaan ini harus
dijadikan sebagai pondasi untuk lebih menguatkan rasa
persatuan dan bukan menjadikan alasan menimbulkan
suatu perpecahan
Nilai Musyawarah, dari kasus di atas sebelum warga
mengambil tindakan secara semena-mena, sebaiknya
dilakukan musyawarah mufakat terlebih dahulu.

76
Bermusyawarah antar warga dan juga pihak keluarga yang
dianggap “berbeda” bagi warga setempat. Jika
mengharuskan warga yang berbeda agama tersebut untuk
pindah, maka harus dicarikan pula pengganti rumahnya.
Tidak semena-mena mengusir dengan cara yang tidak
sopan. Jika makam yang menggunakan nisan salib tersebut
juga tidak cocok pada tempat pemakaman umum, juga
harus dibicarakan baik-baik kepada pihak keluarga. Apakah
makam tersebut dipindahkan atau nisan pada makam
tersebut diganti. Tidak dengan seenaknya merusak nisan
makam. Jika perlu harus terdapat pejabat pemerintah pada
musyawarah untuk menjaga keamanan pada saat
berlangsungnya musyawarah untuk mufakat. Nilai Keadilan
Sosial, pihak keluarga dan juga pihak yang merasa dirugikan
akibat perbuatan warga yang semena-mena pastinya akan
selalu mencari keadilan bagi diri mereka. Karena dari
paparan kasus dia atas selain telah mencederai nilai
Pancasila, para warga juga telah melanggar Pasal 29 ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Seharusnya pemerintah juga harus lebih teliti dalam
menangani kasus intoleransi beragama agar tidak ada pihak
yang dirugikan pada kasus yang sama. Jika perlu
pemerintah mengkaji ulang aturan dan menambahkan
butir-butir baru agar hal serupa tidak terjadi lagi dan agar
supaya masyarakat merasa terjaga keamanan mereka untuk
bebas memeluk agama dan kepercayaan yang dianut. Jika
terjadi kasus yang serupa setidaknya pemerintah telah
berpegang pada aturan yang mengikat dan menjatuhi
hukuman yang setimpal untuk pelaku intoleransi beragama.

77
HIDUP SECARA BERDEMOKRASI YANG
TIDAK AKAN SELALU DIIDENTIKKAN
DENGAN ADANYA PERISTIWA DEMONSTRASI

Daud Christian Marbun

Hak Asasi Manusia adalah hak fundamental yang


melekat secara kodrati pada setiap diri manusia, dimana
hak tersebut bersifat universal dan final. Oleh karenanya
kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi
serta tidak mengabaikan, mengurangi atau merampas HAM
oleh siapapun adalah harga mati. Penghormatan,
perlindungan dan pemenuhan HAM juga mengharuskan
masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemenuhannya
meskipun negara memiliki kewajiban dan tanggungjawab
yang tidak kecil juga dalam pemenuhan HAM. Kebebasan
berekspresi adalah elemen penting dalam demokrasi,
sebelum disahkannya Universal of Human Rights dalam
sidang pertamanya. Majelis Umum PBB dengan Resolusi
Nomor 59 telah menyebutkan “hak atas informasi
merupakan hak asasi manusia fundamental…standar dari
semua kebebasan dinyatakan ‘suci’ oleh PBB”. Dengan
terbentuknya Universal Declaration of Human Rights
(UDHR) yang diawali dengan berdirinya Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) di tahun 1945. Tujuan utama dari
pembentukan PBB ialah untuk memelihara perdamaian dan
keamanan dunia. Universal Declaration of Human Rights
menjelaskan pengertian bersama dari semua rakyat yang
ada di dunia mengenai hak-hak yang tidak bisa dicabut

78
maupun dihilangkan pada diri setiap manusia. Substansi
Deklarasi tersebut ialah pengakuan atas martabat alamiah
dan kesamaan hak yang mutlak dari semua manusia
berdasarkan kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di
dunia. Hak tersebut antara lain ialah hak untuk hidup, hak
untuk menyampaikan pendapat, hak untuk persamaan di
depan hukum, hak mendapatkan penghidupan yang layak,
dan sebagainya.

Dalam hal kebebasan berekspresi untuk


mengemukakan pendapat, didalam pasal Deklarasi Hak
Asasi Manusia ialah terdapat rumusan yang menyatakan
bahwa:

“Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan


mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan
menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk
mencari, menerima dan menyampaikan keterangan
keterangan dan pendapat dengan cara apapun dan dengan
baik memandang batas batas.” (Selian, 2019).

Pada zaman milenial ini, demontrasi terlihat sangat


berbeda dengan demonstrasi di zaman orde baru.
Perbedaan gaya demonstrasi antara mahasiswa yang
tumbuh di era Orde Baru dengan mahasiswa era milenial
terlihat dari spanduk yang dibawa. Kalimat yang dimuat
dalam poster saat aksi tidak melelu serius. Justru kalimat
yang nampak di spanduk mereka cukup unik, dan kreatif
sesuai selera anak muda saat ini. Ada berbagai uniknya
protes ini disampaikan dengan gaya milenial. Seperti
contohnya

79
1. “Aku ingin yang-yangan tanpa takut ditangkap
polisi.”

2. “Asline mager pol, tapi piye maneh? DPRe pekok,”

3. “RKUHP dan RUU KPK is so fucked up, even


introverts like me join the protest (RKUHP dan RUU KPK itu
sialan, buat introvet seperti saya ikut protes).” (Warta Kota,
2019).

Banyak contoh yang lainnya dengan kelucuan dan


keunikan dalam membuat poster untuk berdemonstrasi.
Sayangnya demosntrasi di zaman milenial ini sangat-sangat
mudah untuk di provokatori oleh pihak lembaga yang
bersangkutan semisalnya KPK. Sudah terdapat di berbagai
media sosial bahwa mahasiswa sudah terprovokatori oleh
lembaga KPK yang keberatan atas perubahan Undang-
Undang yang baru maka dari itu lewat perantara mahasiswa
untuk menolak semua rancangan perubahan revisi Undang-
Undang KPK yang baru.

Disinilah mahasiswa di era milenial ini suka dan


mudah untuk dimingi-imingi sesuatu dari pihak tertentu
tidak lagi memakai kekritisannya, sudah tidak lagi banyak
membaca akibatnya mau dibodoh-bodohi serta kurangnya
atau ketidaktepatannya dalam berargumentasi. Dan
mahasiswa yang tidak tau apa-apa permasalahan yang
terjadi malah ikut-ikutan untuk berdemonstrasi. Disinilah
kebobrokan mahasiswa untuk berdemonstrasi, beda dengan
di masa orde baru memang berdemonstrasi dengan hati dan
sangat kritis.

80
Aksi demonstrasi seolah tidak dapat dipisahkan dari
bangsa ini sekal dari sebelum merdeka hingga era reformasi
kini. Jatuhnya kekuasaan Orde baru menandai awal era
reformasi adalah buah perjuangan para demonstran yang
begitu militan. Demonstrasi menuntut turunnya Presiden
Suharto adalah demo terbesar sepanjang sejarah berdirinya
Indonesia, yang diwarnai dengan penembakan oleh aparat
kepada beberapa mahasiswa. Penembakan oleh aparat
tersebut membuat jatuhnya korban jiwa tidak dapat
dihindari. Demonstrasi besar-besaran pada masa orde baru
dipicu karena hak masyarakat dalam menyampaikan
pendapat sangat dikekang oleh pemerintah. Media massa
dicekal, pelopor demonstrasi ditangkap dan demonstran
dibubarkan dengan kekerasan. Namun akhirnya perjuangan
itupun berhasil dan hasil perjuangan itu adalah era
reformasi.

Sejak era reformasi hingga saat ini demonstrasi


menjadi hal yang tidak dapat dihindarkan, karena
merupakan saluran hak untuk menyampaikan aspirasi
ketika ada permasalahan yang terjadi. Indonesia sebagai
negara penjunjung tinggi demokrasi tentu tidak boleh
sampai merepresi pelaksanaan demonstrasi. Dalam
demokrasi negara wajib hair untuk mengakui,
melaksanakan serta melindungi HAM warganya. Jenis-jenis
HAM terdiri berbagai macam, dimana salah satunya adalah
hak untuk mengemukakan pendapat yang dijamin oleh
undang-undang.

Demonstrasi merupakan manifestasi hak untuk


mengeluarkan pendapat, dimana pelaksanaannya
81
konstitusional sesuai dengan nila-nilai demokrasi pancasila
apabila masih pada alur yang semestinya, berjalan damai,
serta tidak melakukan vandalisme atau anarkisme dan tidak
melanggar peraturan perundang-undangan.

Etika atau tata cara demonstrasi yang sesuai dengan


nila-nilai demokrasi pancasila telah diatur dalam undang-
undang. Penjelasan dan aturan yang ditetapkan oleh
undang-undang tersebut, tentu mempunyai tujuan dan
makna tentang bagaimana seharusnya aksi dan tindakan
pelaksanaan dari pada demontrasi itu sendiri, yang dibuat
secara struktur dan sistematis serta sesuati dengan nilai-
nilai demokrasi pancasila. Dengan tujuan bahwa baik
pelaksanaan (pendemo) maupun yang dituju (didemo),
haknya dijamin dengan pagar undang-undang dan aturan
yang berlaku, dengan tujuan untuk menghindari hal-hal
yang tidak diinginkan atau terjadinya pelanggaran HAM
yang memakan korban jiwa.

Anggapan beberapa masyarakat terhadap


demonstrasi yang terjadi akhir-akhir ini seolah sebagai
wadah atau tempat untuk mencaci maki para lawan politik,
atau pihak yang berseberangan dengan pemerintah. Nilai-
nilai moralitas dan keadaban yang dahulu sangat
ditonjolkan dalam aksi demonstrasi kini telah memudar.
Dapat dikatakan beberapa aksi demonstrasi seringkali tidak
merefleksikan semangat dari demokrasi itu sendiri.
Beberapa aksi demonstrasi seringkali bukan sekedar
menyampaikan pendapat melainkan pada memaksakan
pendapat. Pemaksaan kehendak ini seringkali dilakukan
berupa tindakan vandalism dan anarkis. Tindakan anarkis
82
dan vandalistis yang dilakukan merupakan hasil dari
pemaksaan kehendak dengan tujuan agar kehendak atau
aspirasi tersebut diperhatikan, namun mengabaikan nilai-
nilai demokrasi Pancasila dimana etika atau tata cara
penyampaian pendapat telah diatur dalam undang-undang
(Hidayati, 2015).

Disaat baru-baru ini terutamanya mahasiswa cara


berdemonstrasinya tidak menggunakan akal sehat, asal aksi
saja akan tetapi tidak mempunyai gagasan dan argumentasi
yang baik, cuman asal ngomong tetapi tidak mempunyai
konsep yang baik, mudah terprovokasi, asal main ucap saja
yang tidak jelas. Oleh karena itu ada solusi cara-cara
demonstrasi secara konstitusional yaitu dengan cara setelah
menempuh jalur aksi, mahasiswa terutamanya
memperjuangkan untuk menuntut regulasi yang
konstitusional adalah dengan jalur konstitusi. Caranya
adalah saatnya constitutional review ke Mahkamah
Konstitusi arti dari adanya constitutional review adalah
pengujian terhadap undang-undang. Mari kawan-kawan
mahasiswa kita hujani gedung Mahkamah Konstitusi
dengan beribu-ribu teori, asas, konsep, dan pendekatan
dalam sebuah argumentasi demi terwujudnya regulasi yang
sesuai dengan konstitusi kita.

Hidup berdemokrasi belum tentu juga secara


demonstrasi, tergantung masing-masing orang yang
menerapkannya ada yang secara konstitusional atau ada
yang secara inkonstitusional. Jika ada berdemokrasi secara
inkonstitusional maka hidup berdemokrasinya tidak
menggunakan gagasan, argumen yang kuat serta tidak
83
mempunyai adanya landasan dasar yang kuat, mudah
terprovokasi oleh oknum yang keberatan hasil sebuah
keputusan oleh karena itu dilimpahkanlah melalui
perantara orang-orang yang berdemokrasi secara
inkonstitusional. Jika sebaliknya berdemokrasi secara
konstitusional itulah orang-orang yang mempunyai sifat
karakter tidak mudah terprovokasi. Mereka selalu melihat
memahami seluk beluknya, memahami dasar, mempunyai
gagasan yang matang untuk mengkritisi jika ada suatu
kesalahan, mempunyai konsep yang jelas, mempunyai
keilmuan, menyampaikan hak demokrasi secara jalur
hukum yaitu ke Mahkamah Konstitusi. Disinilah yang harus
diterapkan kepada mahasiswa khususnya dikarenakan
mahasiswa identik dengan jiwa-jiwa yang akademik,
berintelektual dll jangan asal ngomong akan tetapi isinya
kosong tidak tau apa-apa.

84
DAFTAR PUSTAKA

Selian, D. L. d. (2018). Kebebasan Berekspresi Di Era


Demokrasi : Catatan Penegakan Hak Asasi Manusia.
Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Negeri
Semarang, Volume 2 No. 2(kebebasan di era
demokorasi),

Warta Kota Live.com, 2019. “Bedanya Mahasiswa Milenial


dan Orde Baru Ikut Demo, Spanduk yang Dibawa Isinya
Curhatan Cinta” diakses pada 11 Oktober 2019 di
https://wartakota.tribunnews.com/2019/09/24/ini-
bedanya-mahasiswa-milenial-ikut-demo-spanduk-
yang-dibawa-isinya-curhatan-cinta

Nurul Anggraeni Hidayati dkk, Skripsi “Etika Demonstrasi


dalam Sistem Demokrasi di Indonesia” (Malang : UIN
Malik Ibrahim, 2015),

85
DISKRIMINASI TERHADAP
KEANEKARAGAMAN SUKU BANGSA DI
INDONESIA DITINJAU DARI PERSPEKTIF
FILSAFAT HUKUM PANCASILA

Heny Novyanti

Setiap negara ingin berdiri dengan kokoh dan kuat,


untuk itulah pada suatu negara memerlukan adanya suatu
dasar serta ideologi sebagai acuan dalam negara itu sendiri.
Pancasila merupakan ideologi dari negara Indonesia, yang
juga berperan sebagai pandangan hidup dalam bangsa
Indonesia. Pancasila lahir tanggal 1 Juni 1945 serta telah
ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945 bersamaan dengan
disahkannya UUD 1945 sebagai dasar negara Indonesia
(Yassa, 2018).
Unsur-unsur yang terdapat pada Pancasila meliputi
nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai
musyawarah sebagai dasar bagi tata pemerintahan, serta
adanya nilai keadilan sosial sebagai suatu asas yang dianut
oleh bangsa Indonesia. Susunan Pancasila memiliki bentuk
yang hierarkis dan piramidal, apabila melihat dari inti isinya
tata urutan pada Pancasila terdapat lima sila didalamnya
menunjukkan suatu rangkaian yang luas. Adanya nilai dari
Pancasila merupakan suatu acuan untuk menyusun dan
menerapkan etika dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara bagi rakyat Indonesia, paradigma pembangunan
nasional harus berlandaskan Pancasila agar tercapainya
cita-cita dan tujuan nasional. Sebagai salah satu paradigma
86
pembangunan di Indonesia, Pancasila merupakan suatu
acuan nilai, dasar, arah ataupun tujuan dari proses
pembangunan itu sendiri.
Peranan Pancasila tidak hanya sebagai ideologi
bangsa Indonesia semata, tetapi Pancasila juga memiliki
peranan penting sebagai filsafat atau sistem nilai yang
menjadi acuan pada lingkungan masyarakat dalam upaya
untuk menjalankan kehidupannya ataupun sistem
pemerintahan yang ada. Filsafat berfungsi dalam
menentukan adanya pemikiran hidup suatu masyarakat
dalam menghadapi masalah dan setiap hakikat yang ada.
Pada susunan filsafat Pancasila akan menerima suatu
perubahan-perubahan terkait dengan pemaknaa Pancasila
itu sendiri, hal tersebut mengingat adanya konsep filsafat
yangmana memang relatif dalam memandang segala hal.
Pancasila sendiri merupakan suatu sumber dari segala
sumber hukum yang ada di Indonesia, maka dari itulah
setiap adanya aturan hukum yang memiliki kedudukan di
bawah Pancasila harus bertumpu pada rasio-logis serta
tidak diperkenankan bertentangan dengan Pancasila.
Penerapan dari nilai-nilai filsafat hukum dalam Pancasila
setiap aturan hukumnya dan perundang-undangan yang ada
di Indonesia berinteraksi dengan isme-isme yang berlaku di
masyarakat internasional. Selain itu, dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara sendiri tidak lepas dari adanya
tatanan tingkah laku kehidupan bermasyarakat yang sesuai
dengan karakter serta kepribadian bangsa Indonesia.
Salah satu tingkah laku yang terdapat dalam
kehidupan di masyarakat terkadang kurang sesuai dengan
penerapan nilai-nilai filsafat hukum Pancasila yaitu terkait

87
adanya diskriminasi terhadap suku bangsa di Indonesia.
Makna dari diskriminasi sendiri merupakan suatu cara
perlakuan yang tidak setara terhadap perorangan ataupun
kelompok, hal tersebut dapat dikaitkan berdasarkan
sesuatu, bersifat kategorikal, ataupun adanya ciri khas yang
melekat, seperti berdasarkan ras, suku bangsa, agama, atau
keanggotaan dari kelas-kelas sosial yang ada (Theodorson &
Theodorson). Diskriminasi seringkali diawali dengan
adanya prasangka terhadap orang lain. Terkadang diri kita
sendirilah yang memicu adanya pembedaan dengan orang
lain, misal saja dalam hal kehidupan sehari-hari kita sering
menggunakan konteks “kita” dan “mereka”.
Adanya pembedaan atau pengkategorian tersebut
timbul karena diri kita sendiri merupakan makhluk sosial
yang secara alamiah berkeinginan untuk berkumpul dengan
orang yang memiliki kemiripan serta persamaan dengan
kita baik itu dalam sutu jenis kelompok tertentu ataupun
juga dalam kelas sosial. Prasangka sering terjadi karena
didasari pada ketidakpahaman, atau bahkan
ketidakpedulian pada suatu kelompok atas ketakutan dari
adanya perbedaan (Fathoni, 2009). Indonesia terdiri atas
berbagai jenis suku bangsa yang tidak hanya dalam lingkup
yang sama, tetapi memiliki keberagaman. Beberapa orang
masih beranggapan bahwa adanya keberagaman tersebut
merupakan suatu pembeda dan hal yang baru bagi
lingkungan hidupnya. Hal tersebut menciptakan adanya
pola pikir yang tidak seimbang, seperti adanya kelompok
mayoritas dan minoritas dalam lingkungan tersebut. Bentuk
dari adanya diskriminasi tersebut tidak sesuai dengan nilai-

88
nilai yang tercantum serta yang seharusnya diaktualisasikan
dalam Pancasila.
Indonesia telah menyatakan serta mengakui bahwa
bangsa Indonesia merupakan bangsa yang memiliki
kesatuan persatuan rakyat, dimana hal tersebut terdiri dari
adanya berbagai jenis suku bangsa yang dilatarbelakangi
oleh sejarah, budaya, agama serta berbagai macam
kepercayaan yang berbeda. Negara harus menjaga dan
memelihara persatuan bangsa Indonesia. Indonesia
merupakan negara persatuan yang meletakkan Pancasila
sebagai dasar negara dan simpul persatuan dalam suatu
keberagaman. Berikut terdapat beberapa makna sila
persatuan Indonesia terkait bentuk diskriminasi
keberagaman suku bangsa:
1. Setiap kebijakan yang ditempuh oleh negara
(pemerintah) harus selalu mengacu pada persatuan rakyat
demi keutuhan dan kesatuan dari bangsa Indonesia.
2. Dalam upaya untuk memperkuat persatuan rakyat
dalam satu kesatuan,negara telah memfasilitasi dan
mendorong lahirnya partai politik, lembaga-lembaga non
pemerintah, organisasi, badan hukum, badan usaha dan
berbagai jenis perkumpulan apapun.
3. Pelarangan atas organisasi, ajaran, faham ideologi
ataupun teori-teori yang mengancam persatuan bangsa,
seperti menyebarluaskan isu-isu buruk terkait jenis suku
dan ras tertentu.
4. Bahasa Indonesia telah digunakan dan dipakai
sebagai sarana utama dalam pemersatu bangsa oleh warga
negara dan lembaga-lembaga yang ada. Lembaga-lembaga
tersebut juga harus memfasilitasi serta mendorong agar

89
terpeliharanya budaya asli suatu daerah yang ada di
Indonesia sebagai kekayaan bangsa.
5. Keberadaan suku, agama, ras harus terjaga sebagai
unsur-unsur dalam kesatuan bangsa, bukan alasan untuk
menjadikan hal tersebut sebagai pembeda hingga
melahirkan adanya kelompok mayoritas dan minoritas.
6. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah harus
menghindari hal-hal yang dapat menempatkan dan
menyudutkan satu suku, agam, ras tertentu.
Sila persatuan Indonesia menjadi acuan bagi warga
Indonesia untuk menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan
bangsa. Sila tersebut juga mengajarkan kepada seluruh
rakyat Indonesia untuk menumbuhkan rasa nasionalisme
dengan membina kerukunan terhadap segala perbedaan
dan menghargai dengan sepenuh hati terhadap segala
keragaman yang ada. Indonesia belum bisa dikatakan
sebagai negara yang dapat menjunjung asas persatuan
karena masih terdapat sebagian orang atau kelompok yang
melakukan hal-hal seperti memecahbelahkan persatuan
bangsa Indonesia serta adanya sikap diskriminatif terhadap
orang lain yang didasari karena suatu perbedaan suku
bangsa yang mengancam lemahnya persatuan bangsa.
Kecenderungan serta potensi adanya kekerasan antar
masyarakat yang multi-etnis dapat ditunjukkan dalam
beberapa peristiwa kekerasan yang sering terjadi di dalam
sejumlah daerah di Indonesia, baik di lingkungan
masyarakat ataupun lingkungan sosial lainnya. Adanya
perasaan terpinggiran di Indonesia yang dialami oleh
kelompok-kelompok minoritas ternyata masih memiliki
lingkup yang luas dan dalam jumlah yang banyak. Hal

90
tersebut masih belum cukup terpengaruh meskipun
reformasi politik telah menghasilkan sejumlah perubahan
positif, seperti aktualisasi untuk lebih menghargai
masyarakat adat, akan tetapi lingkup kebijakan pemerintah
Indonesia terkait multikulturalisme hampir tidak memiliki
perubahan dan perkembangan dari perspektif yang ada di
masa lalu (Armiwulan, 2015).
Pada hirarki perundang-undangan di Indonesia,
Pancasila merupakan staatsfundamentalnorm. Nilai-nilai
utama yang terdapat dalam Pancasila melandasi
terbentuknya aturan hukum di Indonesia. Pancasila
diletakkan sebagai sebuah fundamen dan dasar hukum
dalam berbangsa dan bernegara, yang dalam hal ini
berupaya dan bertujuan untuk menegakkan hukum di
Indonesia dengan nilai-nilai persatuan yang ada. Nilai dasar
yang terdapat dalam Pancasila dapat diwujudkan dalam
bentuk aturan hukum di bawah Pancasila yangmana akan
mengendalikan perilaku-perilaku masyarakat dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Posisi Pancasila
sebagai esensi dari terbentuknya aturan hukum di
Indonesia membuat semua aturan hukum yang ada harus
mengacu pada nilai dasar dalam Pancasila.
Pertama, nilai dasar yang terdapat dalam Pancasila
merupakan nilai yang bersifat abstrak dan tetap yang
menimbulkan pengaruh terhadap perubahan waktu. Nilai
dasar dalam Pancasila tidak terikat adanya waktu atau
bahkan tempat, makna kebenaran yang terkandung pada
nilai dasar merupakan aksioma. Nilai dasar yang
terkandung dalam Pancasila memiliki seubuah eksistensi
dimana dalam eksistensi tersebut mencakup adanya cita-

91
cita, tujuan, tatanan dasar dan ciri khasnya. Penegakkan
deskriminasi atas suku bangsa dalam nilai dasar harus
diberlakukan secara luas tanpa memandang berada pada
lingkungan tertentu ataupun dalam kurun waktu yang
singkat.
Kedua, nilai instrumental memiliki sifat yang
kontekstual. Nilai instrumental merupakan pemaparan dari
nilai dasar, dimana sistem kinerjanya berpacu pada kurun
waktu dan kondisi tertentu. Nilai instrumental perlu
disesuaikan dengan tuntutan zaman, hal ini akan
berpengaruh terhadap aktualisasi dari nilai tersebut.
Aturan-aturan yang dibentuk dalam upaya penegakkan
deskriminasi suku bangsa harus sesuai dengan keadaan
lingkungan, hal ini menentukan terkait lemah tidaknya
peraturan yang telah dibentuk, serta seberapa efisien
aturan tersebut untuk diberlakukan pada lingkungan yang
baru. Makna yang terkandung dalam nilai instrumental
dapat berupa suatu kebijaksanaan, strategi, organisasi,
sistem, rencana, program, dan proyek-proyek yang
menindaklanjuti adanya nilai dasar. Beberapa lembaga
negara yang memiliki kewenangan dalam menyusun nilai
instrumental adalah MPR, Presiden, dan DPR.
Ketiga, Nilai praksis yaitu nilai yang terdapat serta
yang diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari, hal ini
dapat mencakup cara bagaimana rakyat melaksanakan nilai
persatuan. Nilai praksis merupakan wujud salah satu dari
penerapan nilai-nilai persatuan yang terdapat dalam
Pancasila, baik itu secara tertulis maupun tidak tertulis.
Sedangkan makna yang terkandung dari nilai praksis
sendiri merupakan pro kontra antara idealisme dan realitas.

92
Apabila ditinjau dari segi penerapan nilai yang dianut, maka
nilai praksislah yang berperan dalam menentukan tegak
atau tidaknya nilai dasar serta nilai instrumental yang ada
sebelumnya. Tidak hanya dari segi rumusan abstrak,
kebijaksanaan, strategi, rencana, program ataupun suatu
proyek, akan tetapi juga memandang dari kualitas
pelaksanaan atau aktualisasi di lapangan. Apabila rumusan
yang terdapat dalam nilai praksis tersebut tidak dapat
diaktualisasikan maka nilai-nilai yang lainnya akan
kehilangan kredibilitasnya (Eddy, 2018).

DAFTAR PUSTAKA
Yassa, S. 2018. Pendidikan Pancasila Ditinjau dari Perspektif
Filsafat (Aksiologi). Jurnal Citizenship: Media
Publikasi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.
Vol. 1 No. 1.
Fulthoni, d. 2009. Buku Saku untuk Kebebasan Beragama.
Jakarta: The Indonesian Legal Resource (LILR).
Armiwulan, H. 2015. Diskriminasi Rasial dan Etnis Sebagai
Persoalan Hukum dan Hak Asasi Manusia. Jurnal
MMH. Jilid 44 No. 4.
Eddy, I. W. 2018. Aktualisasi Nilai Pancasila dalam
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Jurnal
Dharmasmrti. Vol.1 No. 18.

93
LGBT TERKAIT DENGAN SILA DALAM
PANCASILA

Rama Novtian Ardi

Pancasila merupakan ideologi Negara Indonesia dan


sebagai dasar falsafah. Ideologi merupakan suatu sebutan
kepribadian suatu masyarakat. Ideologi Pancasila dibentuk
dari kenyataan yang ada yang selanjutnya dirumuskan
dalam suatu sistem hingga diterapkan dalam kehidupan
bermasyarakat bernegara. Pada hakikatnya, Pancasila
merupakan suatu nilai dan nilai tersebut diakui dan
diilhami oleh bangsa Indonesia. Nilai abstrak yang
terkandung dalam Pancasila akan menjadi nyata jika
diwujudkan dalam keseharian.
Dalam perkembangan zaman, Pancasila kini sering
dipandang sebelah mata. Sehingga masyarakat dalam
melakukan segala kegiatan kurang memandang nilai luhur
Pancasila, yang mana hal ini sendiri adalah dasar negara
Indonesia. Di indonesia, teknologi dan komunikasi saat ini
berkembang dengan pesat, sebagai akibat dari globalisasi.
Tidak terbendungnya arus globalisasi ini membuat nilai
budaya asli bangsa Indonesia menjadi tergeser dan
tergantikan oleh budaya dari luar. Budaya baru tersebut
dapat berdampak pada tatanan sosial dalam masyarakat
yang menajdi bebas dalam pergaulan. Bangsa Indonesia
yang turut serta dalam perubahan dan perkembangan
teknologi dan ilmu pengetahuan melalui globalisasi,
dimanfaatkan oleh sebagian orang. Beberapa gaya hidup
dari luar yang diterapkan oleh masyarakat jauh dari nilai

94
Pancasila, seperti munculnya golongan LGBT (Lesbian Gay
Bisexual and Transgender) dan masifnya pengakuan
terhadap LGBT ini. Orientasi dan bentuk LGBT dianggap
sebagai ekspresi masyarakat terhadap orientasi seksual
secara menyimpang, yakni antara sesama jenis dan atau
perubahan gender. Pada dasarnya, bentuk orientasi LGBT
sudah ada sejak lama, akan tetapi tidak muncul secara
terang-terangan di masyarakat sebab masyarakat Indonesia
cenderung memandang perilaku LGBT sebagai hal yang
negatif. Namun, menurut beberapa pihak, orientasi seksual
ini dianggap sebagai perilaku alami dan bukan bentuk dari
sebuah perilaku jahat. (Fokky, 2015).
Di kalangan masyarakat internasional maupun
nasional pengakuan eksistensi golongan LGBT dalam bidang
hukum dapat menimbulkan perdebatan sosial, seperti
Amerika Serikat yang telah melegalkan perkawinan antara
sesama jenis sebagai bentuk pengakuan AS bahwa hal
tersebut merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia. Di
Indonesia sendiri, LGBT masih menjadi perdebatan bagi
masyarakat. Berbagai kelompok masyarakat, utamanya dari
kelompok agama sangat menentang adanya hal tersebut. Di
sisi lain, tidak sedikit pula kelompok masyarakat yang
mendukung adanya gerakan LGBT di Indonesia, bahkan
sebagian telah mengusulkan kepada pemerintah untuk
segera membuat kebijakan mengenai keberadaan dan
kepentingan gerakan LGBT di Indonesia. Beberapa pihak
yang menentang berpendapat bahwa yang dilakukan oleh
golongan LGBT merupakan perbuatan menyimpang yang
bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Terlebih lagi,
gerakan LGBT sendang menjadi trend di kalangan generasi

95
muda sehingga dapat memberikan pengaruh yang tidak
baik, terutama untuk amsa depan mereka.
Pengakuan terhadap perkawinan sesama jenis
menghilangkan makna keluarga sebagai pembentuk
tercipatnya peradaban masyarakat bermoral di masa yang
akan datang. Menurut pendukung gerakan LGBT, perilaku
yang dilakukan adalah hal yang lumrah untuk dilakukan
sebagai manusia pada umumnya dan seharusnya
pemerintah dapat memberikan ruang bagi golongan
pendukung agar setara dengan masyarakat lain atas dasar
persamaan Hak Asasi Manusia. Dan bagi mereka, perbedaan
orientasi seksual adalah hak yang harus dihormati oleh
manusia lainnya.
Gerakan LGBT yang sempat menjadi sorotan dunia
dan beberapa negara yang telah mendukung dan
melegalkan golongan dan gerakan LGBT, membuat
pendukung gerakan tersebut di Indonesia ikut mendesak
pemerintah untuk segera melegalkan melalui pembentukan
peraturan perundang-undangan. Tuntutan gerakan tersebut
mengenai pemenuhan hak asasi manusia, tentutnya harus
disesuaikan dengan nilai-nilai dan peraturan perundang-
undangan yang ada di Indonesia. Di sisi lain sejalan dengan
pandangan Charles W. Socarides MD bahwa gay bukan
bawaan sejak lahir (genetik). seseorang dapat menjadi gay
karena wawasan dan pikiran secara sadar, dengan kata lain
seseorang dapat menjadi gay karena dipelajari dan
dilakukan secara sadar. Faktor biologis tidak menjadi
dominan, karena orientasi dapat berubah selama masa
tumbuh kembang seseorang.

96
Dalam hal ini, negara memberikan hak bagi
golongan LGBT hanya sebatas melindungi haknya sebagai
warga Negara Indonesia. Perlu diingat pula di Indonesia,
kebebasan hak asasi diberikan dengan pembatasan.
Pembatasan pertama yaitu bahwa seseorang tidak boleh
melanggar hak asasi orang lain, pembatasan kedua yaitu
kebebasan dibatasi dengan nilai-nilai moral, dan
pembatasan ketiga yaitu kebebasan dibatasi dengan nilai-
nilai agama. Sehingga pernikahan sesama jenis yang
dilakukan oleh golongan LGBT bukan merupakan hak yang
harus dilindungi akan tetapi patut untuk ditolak dengan
tegas karena negara Indonesia memiliki standar hukum
negara. Standar hukum ini dijelaskan dalam UUD 1945 dan
Pancasila. Jangan diartikan pula itu sebagai bentuk
pengakuan atas keberadaan gerakan LGBT di Indonesia,
karena peraturan perundang-undangan di Indonesia sudah
mengatur dengan tegas bahwa perkawinan dilaksanakan
oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Dalam Pasal 1 undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, dijelaskan bahwa perkawinan ialah
ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan gerakan
LGBT melangsungkan perkawinan antara laki-laki dengan
laki-laki atau antara perempuan dengan perempuan. Selain
itu, dalam UU Perkawinan, dijelaskan pula bahwa
perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita dengan tujuan membentuk
keluarga (Prodjohamidjojo, 2002). Perkawinan merupakan

97
suatu cara yang dilakukan untuk melahirkan keturunan
(anak) dalam rangka kehidupan manusia dan memelihara
keutuhan masyarakat. Perilaku seksual hanya diwadahi
dalam bentuk perkawinan yang merupakan ikatan lahir
batin. Dengan demikian perkawinan antara sesama jenis
tidak dapat dilangsungkan di Indonesia.
Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa mengindikasi bahwa perkawinan mempunyai hubungan
yang erat sekali dengan agama, sehingga perkawinan bukan
saja memiliki unsur lahiriah tetapi juga unsur batiniah
(Ramulyo, 1996).

DAFTAR PUSTAKA
Martiman Prodjohamidjojo. 2002. Hukum Perkawinan
Indonesia. PT Abadi, Jakarta.
Moh. Idris Ramulyo. 1996. HukumPerkawinan Islam: Suatu
Analisis dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: BumiAksara

98
Kebebasan Berpendapat menurut Pancasila
di Era Demokrasi Modern

Yazid Bustomi

Lahirnya pancasila dan akhirnya ditetapkan menjadi


sebuah dasar negara yang memiliki nilai historis, yuridis,
dan filosofis yang mempunyai peranan penting bagi
kehidupan rakyat Indonesia memiliki proses panjang dan
rumit. Ketika tantara Jepang merasa kehilangan kuasa dan
power atas pertempuran yang terjadi dan akhirnya
mendekati kekalahan, pada detik-detik akhir sebagai upaya
untuk tetap bertahan hidup dan bertahan dari kekalahan,
prajurit jepang yang masih berada disekitaran wilayah
Indonesia mencoba mencari pertolongan berupa bantuan
dukungan perasaan kepada Indonesia untuk membantu
mereka mengembalikan keadaan dengan membentuk
sebuah badan bentukan Jepang bernama Dokuritsu Junbi
Cosakai atau yang lebih dikenal dengan nama BPUPKI
(Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) yang memiliki tugas pokok dan fungsi untuk
mempelajari dan menyelidiki unsur-unsur serta tatanan
yang bersifat urgent berkaitan dengan tatanan pemerintah
negara Indonesia untuk kedepannya. Melewati beberapa
kali persidangan dan pada akhirnya membuat BPUPKI
membentuk sebuah panitia bernama panitia Sembilan, yang
bertugas untuk membentuk kembali rumusan Pancasila
yang akan dijadikan lima pilar utama negara, yang pada
akhirnya Pancasila ada dan lahir untuk Indonesia pada
tanggal 1 Juni 1945 dan ditetapkan sebagai dasar Negara

99
Republik Indonesia pada 18 Agustus 1945 (Ida Bagus Brata,
2017).
Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila
merupakan pedoman bagi masyarakat Indonesia dalam
terwujudnya cita-cita masyakarat yang aman, adil, dan
makmur sesuai amanah UUD 1945 yang terutulis pada
alenia 4.
Selain sebagai pedoman hidup, pancasila merupakan
dasar bagi siapapun Warga Negara Indonesia dalam
bertindak menjalankan berbagai kegiatan sehari-hari
mereka. Dalam menjalankan berbagai kegaiatan, pancasila
berfungsi sebagai landasan hukum di Indonesia yang berarti
pancasila memberikan batasan-batasan bagaimana
masyarakat Indonesia melakukan kegiatan sehari-hari
mereka sehingga ketika semua melakukan berbagai
kegiatan kehidupan, mereka tidak bersinggungan dengan
hak-hak orang lain yang akhirnya justru menimbulkan
suatu konflik. Dalam aturan hukum, pancasila berfungsi
sebagai sebagai sumber dari segala hukum.
Dapat diartikan jika pancasila mengandung peranan
dan fungsi sebagai petunjuk serta pijakan dalam
menentukan langkah manusia, sikap dan seluruh tatanan
yag dijadikan keseharian bangsa Indonesia. Hadirnya
pancasila membuat masyarakat Indonesia memiliki
kebebasan dalam melakukan apapun karena pada dasarnya
pancasila memberikan kebebasan apapun, seperti memeluk
agama, menentukan pilihan, berpendapat dimuka umum,
dll. Namun, kebebasan ini pun memiiliki batasan-batasan
dalam menggunakannya. Kebebasan merupakan kondisi
hidup diharpakan setiap manusia. Oleh sebab itu, para

100
pendahulu kita rela berkorban dan berhasil meraih kembali
kemerdekaannya. Masyarakat Indonesia pun memerlukan
sebuah kebahagiaan dan kesejahteraan pada kesehariannya.
Oleh karena nya kehendak untuk berbuat apapun dan
kemerdekaan adalah bagian paling inti dalam sebuah hidup.
Sangat disayangkan, kehendak untuk berbuat apapun ini
tidak bersifat mutlak karena manusia hidup berdampingan
dengan makhluk lain yang kapasitas hak dan kewajiban
adalah sama. Perbedaan jauh tentang paham ini adalah
dengan paham individualisme. Pandangan ini beranggapan
bahwa manusia adalah makhluk yang agung dan bernilai
tinggi daripada makhluk lain, oleh karenanya pemahaman
tentang kehendak untuk melakukan apapun tanpa ada
tekanan bersifat mutlak. Selain dua paham tersebut,
berkembang pula paham mengenai neo-liberalisme yang
memiliki anggapan bahwa yang kuat akan tetap unggul
tanpa rasa simpati kepada yang lemah dan akan bertambah
menderita serta antipasti terhadap kesenjangan antara
kelompok hedonis dan proletar. (Soesilowati, 2009). Sudah
jelas jika teori ini sangat kontra dengan nilai filosofis dari
dasar negara kita serta bertentangan dalam cita-cita sila ke-
2 dan ke-5 pancasila.
Kebebasan secara umum dimasukan dalam konsep
dari filosofi politik dan mengenali kondisi di mana individu
memiliki kemampuan bertindak sesuai keinginannya
(Nelson, 2014) Kebebasan memiliki peranan penting
sebagai wadah menyampaikan informasi kepada
masyarakat. Hal ini dapat mendorong siapapun Warga
Negara Indonesia baik pemerintah maupun sipil untuk,
menambah ilmu pengetahuan, mewujudkan kemajuan serta

101
mendorong Indonesia memiliki sistem pemerintahan yang
baik dan pada akhirnya dapat mewujudkan kesejahteraan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebebasan
pendapat merupakan hal urgent (freedom of speech) dalam
aspek kehidupan. Dalam kebebasan menyatakan pendapat
dimuka umum melalui sarana apapun merupakan hal
penting. Ketika seseorang menyatakan pendapat mereka
yang bersifat membangun kebaikan dan kemajuan dalam
bidang keilmuan serta kenegaraan, secera tidak langsung
mereka telah turut berpartisipasi menyumbangkan ide atau
gagasan mereka dalam bentuk berpendapat untuk
memajukan negara ini. Berkaca melalui keadaan empiris di
Indonesia, kebebasan menyatakan pendapat pada akhir-
akhir ini seakan kehilangan kemaknaannya. Setiap harinya,
warga Indonesia diramaikan dengan berita pelaporan
terkait ujaran kebencian dan penghinaan, baik secara
langsung maupun melalui media sosial, seperti kasus
pelaporan atas nama Ahmad Dhani, Jonru Ginting, Rocky
Gerung, Robertus Robert pada Aksi Kamisan, dan baru-baru
ini tentang pencopotan Dandim Kendari dari jabatannya
karena istrinya menulis cuitan tentang tragedi penusukan
yang dialami oleh Menkopolhukam Wiranto. Peristiwa ini
semakin menimbulkan pertanyaan tentang kebebasan
berpendapat dan berekspresi di muka umum pada era
sekarang. Kemudian karena perosalan ini munculah
pertanyaan tentang dimana sebenarnya letak batasan
antara HAM dengan kebebasan berpendapat dan
pelanggaran hukum (Sukandana, 2019).
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 berbunyi: “setiap
orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan

102
mengeluarkan pendapat.” Dikatakan dalam ayat tersebut
bahwa setiap orang memiliki hak untuk bebas berekspresi.
Selain itu juga termuat di dalam Pancasila sila ke-2 yang
berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab,” dan sila ke-
4 yang berbunyi: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/peradilan”. Sila ke-
2 memuat jika tiap manusia wajib menghormati hak asasi
yang dimiliki oleh manusia lain, tidak terkecuali kebebasan
dalam mengemukakan pendapat. Dalam sila ke-4 memuat
bahwa setiap keputusan dan masalah sebaiknya
diselesaikan dengan musyawarah, oleh karenanya setiap
orang berhak untuk mengajukan pendapatnya tentang
masalah yang dibahas. Jika melihat dari kacamata hukum
pidana tindakan melaporkan seseorang tentang
menyatakan pendapat di muka umum adalah tindakan yang
sah menurut hukum dan dibenarkan. Hal tersebut telah
diatur pada KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana) yang memberikan kepada setiap orang berupa hak
untuk melakukan laporan dan pengaduan.
Permasalahannya adalah terletak pada tafsiran setiap
individu mengenai tindakan yang dapat dilaporkan dan jika
dilihat dari lensa negara demokrasi karena memang
fundamen dari negara yang demokratis adalah
ditegakkannya hak-hak sipil. Apabila hak-hak sipil tersebut
tidak ditegakkan oleh negara maka negara tersebut tidak
bisa dikatakan sebagai negara demokratis. (Aswandi Bobi
dan Roisah Kholis, 2019)
Rangkain peristiwa diatas dilatar belakangi oleh
batasan yang tidak jelas antara hak asasi manusia (HAM)
untuk menyatakan pendapat dan penegakan hukum itu

103
sendiri. Penegakan hukum yang kaku seakan menutup
implementasi asli dari freedom of speech yang secara rinci
telah diatur dalam konstitusi, dan justru akan berakhir pada
sebuah permasalahan baru berupa abuse of power
(penyelagunaan kekuasaan). Keadaan seperti itu nantinya
akan dikhawatirkan berdampak buruk pada masa
mendatang dimana semua warga negara akan sangat
mungkin dibatasi oleh rezim tentang hak kebebasan
berpendapatnya. Kemudian suatu saat akan timbul sebuah
pertanyaan apakah hak asasi yang telah diatur oleh
pancasila dan undang-undang itu hilang, seyogyanya
kebebasan dalam mengutarakan berpendapat pada negara
sistem demokrasi modern adalah suatu hal bersifat mutlak.
Dalam negara demokrasi konsep penegakan hukum ada 2,
yaitu pencengahan sebelum terjadinya peristiwa hukum
dan penanganan setelah terjadinya peristiwa hukum
(Sanyoto, 2008). Jika konsep penegakan tersebut
disangkutkan dengan kebebasan dalam berpendapat yang
mewajibkan untuk sebuah regulasi dapat memahami
batasan antara kedua keadaan tersebut, maka konsep
tersebut sudah ideal. Dalam penegakan hukum wajib
menjunjung HAM tentang kebebasan dalam menyampaikan
berpendapat demi terbentuknya sebuah harmonisasi antara
kebebasan berpendapat dalam nilai pancasila dan hukum.
Batasan antara HAM dan hukum dalam sebuah
negara yang menganut sistem demokrasi modern
merupakan hal yang harus dipertahankan dan tidak boleh di
intervensi. Ketika hukum lebih dominan maka hukum dapat
menjadi sebuah penjara yang malah membelenggu HAM.
Pun sebaliknya. Padahal, pancasila disini hadir sebagai

104
sumber bagi hukum untuk memberikan keadilan seadil-
adilnya demi terjaminnya hak asasi manusia. Penegak
hukum memiliki peran vital, mereka harus memahami
konteks tentang bagaimana sebenarnya kebebasan
berpendapat, karena terjemahan yang salah tentang batasan
antara HAM dalam hal kebebasan berpendapat justru malah
membuat dikriminasi bagi aparat penegak hukum dalam
proses peradilan. Serta keintegritasan dan kejujuran dari
para penegak hukum untuk benar-benar bertindak netral
dan adil tidak memihak siapaun yang berperkara dan hanya
berpegang terhadap undang-undang serta penafsiran
mereka. Selama pendapat yang diucapkan tidak melanggar
batasan orang lain dan tidak melanggar ketentuan hukum
yang ada maka sudah seharusnya mereka dilindungi atas
dasar hukum. Tetapi jika pendapat yang disampaikan
tersebut melanggar orang lain dan melanggar hukum, hal
yang demikian baru dapat telah melakukan suatu tindak
pidana.

105
Daftar Pustaka

Aswandi, Bobi dan Roisah, Khois. (2019) NEGARA HUKUM


DAN DEMOKRASI PANCASILA DALAM KAITANNYA
DENGAN HAK ASASI MANUSIA (HAM). Jurnal
Pembangunan Hukum Indonesia. 1 (1). 128-145.
Ida Bagus Brata, I. B. N. W. (2017). Lahirnya Pancasila
Sebagai Pemersatu Bangsa. Jurnal Santiaji Pendidikan,
7.
Nelson, (2014). Kebebasan yang Kebablasan. Rerieved from
Kompasania.com website:
https://www.kompasiana.com/nelson.s/54f7c0eaa33
311bc208b484e/kebebasan-yang-kebablasan
Sanyoto. (2008). Penegakan Hukum di Indonesia. Jurnal
Dinamika hukum, 8, 199-204.
Soesilowati, E. (2009). Neoliberalisme: Antara Mitos dan
Harapan. JEJAK, 2, 126-134.
Sukandana, S. (2019). Paradoks Makna "Kebebasan
Berpendapat". Retrieved from Sindonews.com
website:
https://nasional.sindonews.com/read/1386179/18/
paradoks-makna-kebebasan-berpendapat-
1552410362.

106
Kesehatan Mental di Kalangan Masyarakat
Komunitas Pinggiran dalam Perspektif
Pancasila

Dinda Anindita

Topik mengenai kesehatan mental memang belum


menjadi bahan pembicaraan umum yang mudah kita temui
di masyarakat luas. Banyak sekali anggota masyarakat yang
belum mengetahui ide/gagasan dan ataupun mendapat
kesempatan untuk mengikuti penyuluhan tentang
kesehatan mental dan pentingnya mengenali ciri - ciri
ataupun tanda - tanda lain yang mungkin muncul pada
orang – orang disekitar kita ataupun kepada mereka yang
kita sayangi, dan bagaimana kita menjaga kesehatan mental
kita pribadi maupun orang lain. Sebagian besar masyarakat
masih belum begitu paham dan sadar bahwa menjaga
kesehatan mental juga tak kalah pentingnya dengan
menjaga kesehatan jasmani.
Penulis menemukan tentang fakta kesehatan mental
di Indonesia yang dikutip dari CNN Indonesia dan ditulis
oleh Puput Trimeni Juniman (2018), menjelaskan bahwa
15,8 persen keluarga hidup dengan penderita gangguan
mental. Bahwa berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2013 menunjukkan prevalensi gangguan
mental emosional dengan gejala-gejala depresi dan
kecemasan pada usia 15 tahun mencapai 14 juta orang.
Angka ini setara dengan 6 persen jumlah penduduk
Indonesia. Sementara itu, prevalensi gangguan jiwa berat
seperti skizofrenia mencapai 400 ribu. Tingginya angka
107
penderita gangguan jiwa pun juga berjalan beriringan
dengan sejumlah kasus bunuh diri yang ada di Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat setidaknya ada
812 kasus bunuh diri yang ada di seluruh wilayah Indonesia
pada tahun 2015. Data di atas tentunya penulis asumsikan
masih akan bertambah lebih banyak setiap tahunnya di
karenakan masih lekatnya banyak stigma yang negatif di
kalangan masyarakat luas tentang gangguan kejiwaan dan
kesehatan mental, serta mungkin terbatasnya tenaga medis
ataupun pengobatan yang tersedia.
Semua semakin diperparah dengan masih umumnya
ditemukan kepercayaan bahwa gangguan mental yang
selama ini disebut sebagai ‘gila’ adalah tidak bisa diobati,
dan bukannya diberikan pertolongan menjadikan banyak
penderita gangguan mental justru malah diasingkan dari
keluarga dan masyarakat sekitar. Di dalam spektrum yang
lain, sudah banyak juga tulisan yang mempelajari tentang
kaitan meningkatnya gangguan mental yang dipengaruhi
oleh sosial media dan berita hoax. Sedangkan dewasa ini,
sosial media bukan hanya konsumsi sebagian masyarakat
tertentu, melainkan sudah menjadi hal umum, dapat diakses
oleh siapapun dan dapat diakses kapanpun dengan
perangkat komunikasi yang dimiliki.
Masyarakat sering menyaksikan orang – orang yang
memiliki gangguan mental berkeliaran dan juga terlantar di
jalanan berbagai kota. Akan tetapi, masyarakat sekitar
sering lupa bahwa orang – orang yang memiliki gangguan
mental tersebut adalah manusia. Banyak diantara mereka
merupakan orang – orang yang dibuang oleh keluarga
mereka sendiri. Bahkan orang orang yang memiliki

108
gangguan mental tersebut bukan tak mungkin menjadi
pengelana dari suatu daerah ke daerah lain hingga tutup
usianya. Sebagian besar dari mereka juga hidup dalam
pasungan dengan kondisi yang sangat mengenaskan dan
seringkali tak terawat. Sebagian lagi dari mereka juga
merupakan penghuni di berbagai panti social yang tersebar
di berbagai daerah. Masyarakat pada umumnya memang
memberikan stigma kepada orang dengan gangguan
kesehatan mental. Orang – orang yang memiliki gangguan
mental ini oleh sebagian besar masyarakat dianggap telah
kehilangan hak asasi yang dimilikinya. Sebagian besar dari
mereka sering dilecehkan, diolok -olok, diganggu, serta
tidak dianggap oleh masyarakat sekitar di lingkungannya.
Dalam hukum di Indonesiapun, orang yang memiliki
gangguan kesehatan mental tidak dimasukkan sebagai
subjek hukum. Kondisi – kondisi inilah yang mungkin
menjadi faktor – faktor yang membuat hak-hak asasi
mereka terlanggar oleh orang lain.
Semakin banyaknya orang dengan gangguan mental
yang terlantar di jalan – jalan dan tidak terawat atau
mendapatkan penanganan sebagaimana mestinya maka hal
tersebut tentunya menimbulkan pertanyaan mengenai hak
asasi yang dimiliki oleh mereka. Hal tersebut dapat dilihat
dalam UUD 1945 Pasal 34 ayat (2) yang menyatakan bahwa
“Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi
seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang
lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaaan”. Bahwa isi Pasal tersebut tidak terkecuali
juga ditujukan untuk semua masyarakat yang memiliki
gangguan mental. Artinya orang yang memiliki gangguan

109
mental juga merupakan bagian dari rakyat Indonesia yang
memiliki hak yang sama sebagai manusia serta dijamin
martabatnya dan tidak lantas membiarkan mereka terlantar
dan juga tidak terurus di jalanan tanpa mendapat
penaganan.
Topik permasalahan ini seharusnya mejadi hal yang
perlu mendapat perhatian khusus di kalangan masyarakat
Indonesia. Dalam perkembangannya, kemajuan zaman
sangat dipengaruhi oleh Pancasila sebagai dasar dari negara
Indonesia. Di mana Pancasila berperan penting dalam
kehidupan warga negara Indonesia. Masyarakat Indonesia
sering kali tidak menyadari betapa pentingnya peranan
Pancasila dalam perkembangan kualitas generasi bangsa.
Dalam sila kedua Pancasila, yakni kemanusiaan yang adil
dan beradab, Indonesia mengakui, menghargai, dan
memberikan hak yang sama kepada setiap warganya untuk
menetapkan Hak Asasi Manusia (HAM). Akan tetapi
ternyata di lain sisi masih banyak warga negara yang hak
asasinya terabaikan, termasuk warga yang memiliki
gangguan kesehatan mental di kalangan masyarakat
komunitas pinggiran.
Sila kedua Pancasila yakni Kemanusiaan yang Adil
dan Beradab menempatkan setiap warga negara Indonesia
memiliki kedudukan yang sama dalam hukum dan juga
memiliki kewajiban serta hak – hak yang sama untuk
mendapatkan jaminan dan perlindungan hukum. Hal ini
diwujudkan dalam perilaku mengakui persamaan derajat,
hak, serta kewajiban antar sesama manusia, saling
mencintai dan mengasihi sesama manusia, tidak bersikap
semena - mena kepada orang lain, dan juga menjunjung

110
tinggi nilai - nilai ke manusiaan. Selain itu, sila kelima
Pancasila, yakni Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia juga mengakui hak milik dan jaminan sosial
secara perorangan yang dilindungi oleh negara serta berhak
mendapatkan pekerjaan dan perlindungan. Hal tersebut
diwujudkan dalam sikap menghormati hak - hak yang
dimiliki oleh orang lain dan juga dengan kegiatan memberi
pertolongan kepada setiap orang yang membutuhkan
bantuan.
Oleh karena itu, penulis berkeyakinan bahwa
sangatlah penting untuk semakin ditingkatkannya
pemahaman masyarakat luas bahwa gangguan mental itu
bisa disembuhkan dan kesehatan mental sama pentingnya
dengan kesehatan jasmani. Juga pembicaraan maupun
diskusi tentang kesehatan mental harus dinilai bukan lagi
menjadi topik yang asing maupun tabu lagi. Dengan
semakin di galakannya kegiatan – kegiatan penyuluhan
ataupun edukasi dalam bentuk lain di masyarakat, penulis
berkeyakinan bahwa akan semakin cepat pula kita bisa
mengilangkan stigma negative di kalangan masyarakat luas.
Pendampingan langsung dan pengobatan langsung oleh
tenaga medis yang datang menjemput bola ke pada pasien
ataupun keluarga terdampak juga dipercaya akan semakin
membantu menurunkan angka penderita gangguan mental,
terutama yang tinggal di daerah pinggiran ataupun
komunitas kecil dan tertutup.
Konklusi yang bisa penulis rumuskan di dalam
tulisan kali ini adalah betapa pentingnya peran generasi
muda untuk ikut menyebarluaskan pemahaman tentang
kesehatan mental, baik dari segi pendidikan maupun terjun

111
langsung membantu tenaga medis kita yang mungkin
terbatas dengan giat menyebarluaskan informasi positif
tentang kesehatan mental dan ikut memerangi dampak
berita negative dan hoax di sosial media. Dan di dalam
lingkup keluarga, sangatlah penting generasi muda ini juga
ikut memberikan pemahaman baru yang lebih bijaksana
terhadap persepsi kesehatan mental di kalangan keluarga.
Alangkah baiknya juga bagi para generasi muda yang aktif
di masyarakat dan lingkungan pendidikan untuk semakin
aktif terjung langsung dalam kegiatan penyuluhan ataupun
pendampingan keluarga korban penderita gangguan mental
dan masyarakat sekitarnya agar semakin cepat pula stigma
negatif seputar gangguan mental hilang dari masyarakat
kita.

DAFTAR PUSTAKA :

Website
cnnindonesia.com, 15,8 Persen Keluarga Hidup dengan
Penderita Gangguan Mental, Diakses pada 5 Maret
2020, https://www.cnnindonesia.com/gaya-
hidup/20180830182931-255-326289/158-persen-
keluarga-hidup-dengan-penderita-gangguan-mental.

112
ANALISIS MASALAH EKSPLOITASI ANAK
DALAM PRESPEKTIF FALSAFAH PANCASILA

Siti Nur Azizah

Eksploitasi anak saat ini merupakan hal yang biasa


dinegara kita, itu dikarenakan jumlah kasus terkait
eksploitasi anak masih banyak terjadi. Pengertian dari
eksploitasi sendiri yaitu suatu kegiatan atau tindakan yang
memiliki tujuan atas suatu kepentingan untuk mengambil
sebuah keuntungan atau memanfaatkan sesuatu dengan
berlebih dan bertindak sewenang-wenang. Eksploitasi ini
akan berdampak merugikan pada pihak lain baik
lingkungan maupun manusia itu sendiri. Eksploitasi masih
memiliki makna yang cukup luas yang dapat dijadikan objek
atau sasaran untuk dieksploitasi. Berbeda dengan
eksploitasi anak yang memiliki pengertian yaitu segala
bentuk kegiatan atau tindakan pengeksplotasian anak
dimana anak dipaksa melakukan sesuatu dengan maksud
meraih suatu hal baik dalam hal politik, sosial, ataupun
ekonomi tanpa memperhatikan usia dari anak tersebut.
Eksploitasi anak seringkali dilakukan oleh orang-
orang terdekat dari anak itu sendiri seperti misal kakak,
paman, bibi, bahkan orang tua anak tersebut. Banyak sekali
bentuk dari eksploitasi anak salah satunya yaitu
mengeksploitasi dari fisiki anak sehingga disini anak akan
dimanfaatkan tenaganya untuk bekerja agar mendapat
belas kasihan dari orang lain misalnya anak-anak disuruh
berjualan tissue, berjualan koran, menjadi pemulung,
menjadi pengemis.
Eksploitasi terhadap anak sebaiknya tidak harus
dilakukan karena selayaknya anak ditugaskan untuk belajar

113
dan menikmati masa kecilnya. Eksploitasi anak juga
melanggar salaha satu sila dari pancasila yaitu sila kedua
yang berbunyi "kemanusiaan yang adil dan beradab". Kata
dasar dari "kemanusiaan" sendiri yaitu manusia, yaitu
sesuatu yang diciptakan oleh pencipta serta diberikan
kelebihan akal dan pikiran dibandingkan dengan makhluk
ciptaan-Nya yang lain serta mempunyaii kelebihan,
pemikikiran, serta perasaan. Kelebihan tersebut menjadikan
kita sebagai manusia memiliki dan menduduki sebuah
kedudukan serta memiliki rasa hormat yang tinggi. "adil"
mempunyai arti bahwa suatu hal yang dibuat dan
diputuskan didasarkan pada adanya norma atau aturan
yang bersifat objektif dan tidak subjektif sehingga tindakan
sewanang-wenang akan tidak terjadi. Asal dari kata
"Beradab" yaitu "adab" yang mempunyai arti budaya.
Sehingga disini dapat dijelaskan bahwa berbudaya
merupakan salah satu sikap dalam hidup dimana keputusan
dan tindakan selalu didasarkan pada nilai budaya terutama
norma dan moral. "Kemanusiaan yang adil dan beradab"
mengandung makna yaitu terdapat kesadaran sikap serta
perbuatan dimana didasarkan pada perilaku manusia dalam
hubungannya dengan norma dan kebudayaan yanh ada
pada masyarakat pada umumnya. Salah satu dari butir
pancasila yaitu pada sila ke-2 yang menjelaskan bahwa kita
sebagai manusia harus dapat mengakui serta
memperlakukan manusia lain sebagai makhluk tuhan
lainnya sesuai dengan harkat dan martabat. Hal ini dapat
kita dinaikkan bahwa pancasila sangat menentang
mengenai eksploitasi anak. Hal tersebut dikarenakan sikap
yang tidak adil dan tidak memiliki adab terhadap anak yang
juga memiliki hak untuk hidup. Salah satunya butir
Pancasila sila ke-2 mengatakan bahwa kita harus mengakui
dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan
martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Ini
mengindikasikan bahwa Pancasila sangat menentang
114
eksploitasi anak (child exploitation). Sebab perbuatan
tersebut merupakan sikap yang tidak adil dan tidak beradab
terhadap anak yang juga memiliki hak untuk hidup
sejahtera seperti rakyat Indonesia pada umumnya. Sehingga
sudah dapat kita lihat jika seseorang mengekspoitasi anak
dengan memanfaatkan fisik dan belas kasihan maka hal
tersebut jelas melanggar sila ke-2 dari Pancasila dimana
selayaknya anak fokus pada pendidikannya bukan pada
pekerjaannya.
Masalah eksploitasi anak Pancasila tidak
memberikan sedikitpun celah, sehingga dalam hal ini
Pancasila sangat menentang keras segala bentuk eksploitasi
terhadap anak. Butir kedua pancasila berisi "Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab". Hal ini mengandung makna bahwa
setiap warga negara berhak untuk mendapatkan perlakuan
yang sama dihadapan hukum serta mengakui persamaan
hak dan persamaan kewajiban antar manusia.
Menempatkan manusia sesuai dengan hakekatnya dapat
membantu menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Menjaga
sikap serta bertingkah laku sesuai dengan aturan yang ada.
Namun dalam keseharian pada faktanya anak lebih sering
dimanfaatkan fisik dan rasa kasihan untuk mencari uang
karena adanya paksaan atau cara tertentu sehingga
menyebabkan anak harus bekerja sebelum waktunya. Hak
ini pada masa kecil akan berdampak seperti hak untuk
bermain ataupun hak untuk belajar dimana hal ini jelas
melanggar Hak Anak.
Dalam sudut pandang pelaku eksoloitasi memang
dapat menguntungkan,tetapi dari sudut pandang korban
eksploitasi tentu sangat merugikan. Hal tersebut
dikarenakan anak sebagai korban eksploitasi tidak dapat
menikmati hak dalam hidupnya dengan bebas, bahkan
mereka kehilangan kebahagiaan dalam hidupnya yaitu
menikmati masa kecil seperti anak-anak lainnya. Banyak
peraturan yang mengatur mengenai larangan untuk
115
memperdayakan anak dibawah umur atau mengeksploitasi
anak namun banyak juga yang melanggar terhadap aturan
yang telah ada. Filsafat hukum mengajarkan mengenai apa
yang dimaksud hakekat hukum, apa tujuannya, serta
mengapa orang harus tunduk terhadap hukum. Hal tersebut
tentunya memiliki korelasi atau saling terkait satu sama
lain. Meskipun tujuan eksploitasi menguntungkan dan baik
untuk si pelaku namum hal tersebut justru merugikan bagi
korban eksploitasi.
Filsafat hukum berperan menggali mengenai hakikat
hukum dalam rangkaian filsafat hukum pancasila. Apabila
adanya aturan mempunyai tujuan untuk meraih suatu
keadilan maka kurang tepat karena dalam hal ini hanya
menguntungkan salah satu pihak yang menjadikan nilai
keadilan masih belum terpenuhi dalam mahzab Hukum
Pancasila. Apabila suatu keadilan tetap menjadi tujuan
adanya sebuah hukum, maka filsafat hukum ini berhasil
untuk menyesuaikan dirinya sebagai pendukung suatu
kerangka keadilan. Pancasila yang biasa dikatakan dengan
filosofi negara, dalam konsep filsafat pancasila ini akan
terdapat suatu pergeseran makna karena melihat kerangka
filsafat yaitu sama dalam melihat sesuatu. Kebenaran
terhadap Pancasila tidak dapat dikatakan mutlak atau
absolut melainkan kebenaran Pancasila akan terus dibuka
untuk menemukan kebenaran-kebenaran yang baru.
Kebenaran pancasila tentu berbeda jika dibandingkan
dengan kebenaran dalam filsafat hukum, karena "kebenaran
Pancasila" akan menerima apa adanya sedangkan
"kebenaran filsafat" akan mempertanyakan mengenai
hakikat segala segala sesuatu.
Mahzab filsafat hukum pancasila juga berusaha
memberikan penjelasan dari sebuah aturan hukum
sehingga dari sinilah dimulai ontologi atas aturan hukum
dalam cara pandang pancasila. Pancasila dijadikan sebagai
landasan falsafah negara karena dalam Pancasila
116
mengandung 5 sila yang sesuai dengan tujuan bangsa
Indonesia. Jika sumber dari segala sumber dinobatkan pada
pancasila maka pancasila juga dapat ditempatkan pada
landas etik dari hukum. Hukum diciptakan karena ingin
melindungi masyarakat bukan untuk kepentingan individu.
Apabila kepentingan individu diutamakan tanpa
memikirkan kepentingan orang lain atau kepentingan
umum maka nilai tersebut dinilai bertentangan dengan
landas etik dari sebuah hukum sehingga hukum yang
tercipta akan menjadi gugur.
Dalam hal ini, permasalahan mengenai eksploitasi
anak memang belum jelas ditemukan kebenarannya.
Maksudnya, jika dilihat dari sudut pandang orang awam
akan melihat anak itu dieksploitasi fisik yang mungkin
berdampak terhadap mental anak itu sendiri. Namun disisi
lain jika anak menghendaki untuk bekerja seperti menjual
tissue, koran, atau mengamen karena ingin membantu
perekonomian keluarga yang kurang tanpa paksaan dari
pihak manapun maka tidak dapat dikatakan eksploitas.
Dengan melihat apa yang dilakukan anak tersebut pastinya
akan mendapat dorongan dari orang tua anak tersebut,
karena perekonomiannya akan sedikit terbantu dengan
hasil yang didapat oleh anak saat bekerja. Jika eksploitasi
anak dilakukan atas kepentingan individu, hal tersebut
melanggar nilai etik dari hukum. Terdapat beberapa faktor
yang dapat dikatakan menjadi pemicu terjadinya eksploitasi
anak. Mulai dari faktor ekonomi, faktor anak yang takut
orang tuanya marah. Hal ini dapat berimbas pada masa
depan anak karena pada usia anak seharusnya
mendapatkan perhatian dan kasih sayang orang tua dimana
hal ini akan berdampak pada masa depan anak. Kasus
eksploitasi anak membutuhkan perhatian dari pemerintah
dan harus segara diatasi agar kasus pelanggaran Hak Asasi
Manusia dapat menurun.

117
Analisis Eksistensi Penghayat Kepercayaan
Terhadap Pancasila (Terutama Sila Pertama)

Reva Damayanti

Pancasila merupakan dasar ideologi serta


pandangan bangsa Indonesia, yang mencerminkan tujuan
dan cita bangsa. Sebagai pandangan hidup bangsa Pancasila
tercermin dalam sikap kegotongroyongan, musyawarah,
kekeluargaan, kebersamaan, dan persatuan. Pancasila
memiliki lima sila yang saling berkaitan satu sama lain, yang
saling mendasari sila-sila yang lain yang menjadi suatu
kesatuan. Jika bisa diibaratkan bangunan, pancasila
merupakan pondasi bagi sebuah bangunan, diharapkan
Pancasila bisa menjadi pondasi yang kokoh bagi bangsa dan
negara. Pancasila diharapkan sebagai pegangan bagi
masyarakat yang akan dapat mengatasi masalah yang
paling mendasar yang dihadapi bangsa Indonesia. Masalah
perbedaan yang saat ini marak terjadi baik itu antar
golongan, antar masyarakat, ataupun antara pemerintah
dengan masyarakat. Indonesia merupakan negara yang kaya
akan keragaman budaya, ras, suku dan agama. Banyaknya
kultur budaya yang ada di masyarakat, maka akan memicu
pula banyak perbedaan yang ada dalamnya.
Masalah yang paling krusial yang ada di Indonesia
adalah masalah agama, masyarakat Indonesia sangat
sensitif jika menyangkut masalah agama. Agama merupakan
sila yang pertama dalam Pancasila yaitu Ketuhanan Yang
Maha Esa. Makna dari sila pertama adalah bahwa Indonesia
mewajibkan warga negaranya untuk bertuhan, maksud

118
bertuhan disini adalah masyarakat mempercayai adanya
tuhan, sebagai pencipta manusia dan alam semesta yang
mempunyai kekuatan lebih dari makhluk apapun di dunia.
Di dalam sila pertama ini kita harus percaya dan taqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, saling menghormati dan
bekerjasama antara pemeluk agama, saling menghormati
kebebasan dalam menjalankan ibadah sesuai agama dan
kepercayaan masing-masing, tidak memaksakan satu agama
dan kepercayaan kepada orang lain. Kepercayaan seseorang
terhadap agama tidak dapat dipaksakan, karena hal
tersebut sesuai dengan hati nurani masing-masing orang.
Di Indonesia orang yang memiliki tuhan disebut
orang yang beragama. Agama yang diakui di Indonesia ada
enam yaitu agama Islam, agama Kristen Katholik, agama
Kristen Protestan, agama Hindu, agama Budha, dan Kong Hu
Cu. Hak kebebasan beragama atau hak untuk berkeyakinan
tercantum di dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan
bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Ayat selanjutnya, pada Pasal 29 ayat (2) UUD 1945
menyebutkan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-
tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”. Kepercayaan disini yang dimaksud
dalam Pasal 29 adalah kepercayaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, sedangkan banyak warga negara Indonesia yang
tidak mempercayai adanya tuhan. Mereka memiliki
kepercayaaan yang lain selain kepercayaan kepada tuhan,
yang disebut aliran kepercayaan atau penghayat
kepercayaan (Budhijanto, 2016). Mereka tidak mengakui

119
adanya enam agama resmi yang ada di Indonesia. menurut
penghayat kepercayaan mereka memiliki hak untuk percaya
terhadap sesuatu selain tuhan. Hal ini bertentagan dengan
Pancasila terutama pada sila pertama, karena sila pertama
menjelakan bahwa warga negara Indonesia harus bertuhan.
Pada hakikatnya aliran kepercayaan itu sudah ada sejak
jama dulu, sejak keenam agama itu belum masuk di
Indonesia. Kata kepercayaan memiliki beberapa arti, yakni:
pertama, iman/keimanan kepada agama. Kedua, keyakinan.
Ketiga, dianggap benar dan jujur. Keempat, setuju kepada
kebijaksanaan. Berdasarkan uraian latar belakang di atas
maka penulis dapat menyimpulkan bagaimana konteks
penghayat kepercayaan terhadap Pancasila jika dianalisis
berdasarkan falsafah/ filsafat?
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa,
“Indonesia adalah Negara Hukum”. Ketentuan ini
mempertegas bahwa Negara Indonesia adalah negara
hukum, baik dalam penyelenggaraan negara maupun dalam
kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara .
Konsep negara hukum yang menyatakan bahwa tindakan
negara/ pemerintah yang berdasarkan atas aturan hukum,
dan negara/ pemerintah wajib melindungi Hak Asasi
Manusia (HAM) warga negara. Konsekuensinya
mengharuskan negara atau pemerintah untuk membuat
aturan-aturan hukum yang akan menjadi instrumen
pengatur hak dan kewajiban negara atau pemerintah dalam
penyelenggaraan negara sekaligus mengatur dan
melindungi hak dan kewajiban warga negara.
Penghayat kepercayaan sudah diatur dalam
konstitusi negara meskipun tidak secara langsung

120
menyebutkan penghayat kepercayaan yaitu pada Pasal 29
ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa “Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ayat selanjutnya,
pada Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Sebelumnya
pada Pasal 28E Ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa,
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya, memilih pendudukan dan pengajaran,
memilih kewaarganegaraan, memilih tempat tinggal di
wilayah negara dan meninggalkannya dan berhak kembali.”
Selanjutnya Pasal 28E Ayat (2) UUD 1945 menentukan,
“Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya.”.
Dari ketentuan Pasal 28E Ayat (1) dan Pasal 29
Ayat (2) UUD 1945 telah menunjukkan jaminan kebebasan
beragama kepada setiap orang tanpa terkecuali dalam
meyakini dan mengamalkan keyakinan agama dan
kepercayaannya. Kebebasan beragama itu meliputi hak atas
kebebasan memeluk agama dan kepercayaan, kebebasan
meyakini dan menjalankan ajaran agama dan kepercayaan.
Di Indonesia hak kebebasan beragama masih menjadi hal
yang ekslusif. Kebebasan beragama masih diartikan secara
sempit hanya untuk kelompok agama tanpa
mengikutsertakan kelompok penghayat kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa di dalamnya yang
mempunyai hak kebebasan berkeyakinan terhadap
Tuhannya. Hal ini berimplikasi terhadap perbedaan hasil
atas manfaat hak kebebasan beragama atau berkeyakinan

121
yang dirasakan antara pemeluk agama dengan penghayat
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Dilihat dari segi filsafat atau cara berfikir saya
melihat bahwa penghayat keercayaan juga mempercayai
adanya tuhan namun mereka tidak menyebutkan bahwa
yang mereka percayai disebut tuhan. mereka
memperpercayai benda-benda atau roh-roh halus sebagai
sesuatu yang memiliki kekuatan yang berpengaruh
terhadap kehidupan mereka (Banjarnahor, 2019). Mereka
percaya bahwa jika mereka tidak melakukan peribadatan
sesuai dengan tradisi mereka maka kemalangan akan terjadi
menimpa mereka. hal seperti ini menunjukkan bahwa
mereka juga memiliki tuhan meski tidak disebut secara
langsung sebagai tuhan, maka hak mereka juga harus
dipenuhi berdasarkan nilai pancasila terutama sila pertama.
Pada sila pertama bermakna masyarakat Indonesia harus
bertuhan, maka penghayat kepercayaan memenuhi syarat
tersebut. Mereka berhak untuk mendapatkan hak
administrasi berupa pengisian kolom kepercayaan pada
KTP, dan berhak untuk diakui sebagai penghayat
kepercayaan. Pemenuhan Hak Konstitusional Penghayat
Kepercayaan dalam Administrasi Kependudukan Sebelum
Putusan MK RI Nomor 97/PUU-XIV/2016 dilakukan oleh
negara pada satu sisi dilaksanakannya aturan hukum yaitu
pada pengosongan kolom agama KTP-el, namun di sisi lain
aturan hukum tidak dilaksanakan, yaitu pada pengisian
kolom agama pada Kartu Keluarga dengan status penghayat
kepercayaan. Hal ini menunjukkan belum dilaksanakannya
konsep negara hukum dengan baik. Setelah Putusan MK RI
Nomor 97/PUU-XIV/2016, secara perlahan negara

122
Indonesia melalui pemerintah mulai melakukan langkah-
langkah strategis untuk mengakomodir pencantuman status
penghayat kepercayaan dalam dokumen administrasi
kependudukan mereka yaitu menerbitkan Permendagri,
melakukan perubahan pada sistem informasi administrasi
kependudukan, dan mengeluarkan Surat Edaran Mendagri
Nomor 118 Tahun 2017 tentang Blangko Kartu Keluarga.
Dalam hal ini hukum memenuhi segi kemanfaatan serta
kepastian hukum, karena para penghayat kepercayaan
sudah lama menuntut tentang pengakuannya dalam
administrasi kependudukan mereka sudah mendapat
kepastian berupa pencantuman kepercayaan di kolom
agama KTP Elektronik.

DAFTAR PUSTAKA

Budijanto, Oki Wahju. 2016. “Penghormatan Hak Asasi


Manusia Bagi Penghayat Kepercayaan Di Kota
Bandung”. Jurnal Hak Asasi Manusia. Vol. 7 No. 1.
Banjarnahor, Daulat Nathanael dkk. 2019. “Pemenuhan Hak
Konstitusional Penghayat Kepercayaan Parmalim
Dalam Dokumen Administrasi Kependudukan : Studi
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Nomor 97/PUU-XIV/2016”. USU Law Journal. Vol.7
No.4.

123
Kebijakan Pengelolaan Hutan NKRI Menurut
Prinsip Pancasila

Muh. Tio Salsa

Hutan merupakan salah satu dari sumber daya alam


hayati, yang memiliki banyak manfaat untuk
keberlangsungan hidup Manusia di Bumi. Manfaat dari
hutan ada banyak macam yakni sebagai pemasok oksigen di
dunia, produk rumah tangga, bahan bangunan, dan lain-lain
sebagainya. Hutan memegang peranan penting untuk
keberlangsungan kehidupan, karena hutan mempunyai
fungsi ekologis, sosial dan ekonomis. Namun, seiring
berjalannnya waktu hutan semakin sedikit akibat perbuatan
manusia yang terlalu menekankan fungsi ekonomis hutan
yang menjadi dominan, sedangkan fungsi ekologis dan
fungsi sosial hutan kurang mendapat perhatian. Contohnya
seperti penggundulan hutan agar lahannya dapat dijadikan
perusahaan, perumahan, dan sebagainya serta hasil pohon
yang ditebang akan dijual untuk mendapatkan keuntungan.
Demi keberlanjutan dan nasib hutan Indonesia,
maka diperlukan suatu peraturan yang tegas dalam
mengatur tentang pengelolaan, pemanfaatan, perlindungan
dan perizinan yang berhubungan dengan hutan. Di
Indonesia telah mengatur itu dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata
Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta
Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah terakhir
dengan PP Nomor 3 Tahun 2008. Dalam PP ini dijelaskan
pengertian pemanfaatan hutan yang perlu kita pahami
sebagai pedoman dasar untuk melakukan sesuatu.
Pemanfaatan hutan adalah suatu kegiatan pemanfaatan
kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemanfaatan
hasil hutan dan hasil hutan bukan kayu yang dapat
124
dilakukan pada seluruh kawasan hutan, baik hutan
konservasi (kecuali cagar alam, zona rimba, dan zona inti
pada taman nasional), hutan lindung, dan hutan produksi.
Pemanfaatan hutan tersebut wajib disertai dengan izin
pemanfaatan hutan. Yang dimaksud dengan Izin
Pemanfaatan Hutan adalah izin yang diterbitkan oleh
pejabat yang berwenang yang terdiri dari izin usaha
pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa
lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu
dan/atau bukan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan
kayu dan/atau bukan kayu pada areal hutan yang telah
ditentukan. Jenis-jenis izin Pemanfaatan Hutan, meliputi:
a. IUPK (Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan)
b. IUPJL (Izin Usaha Pemanfaatan Jasa
Lingkungan)
c. IUPHHK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu) dan/atau IUPHHBK (Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Bukan Kayu)
d. IPHHK (Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu)
e. IPHHBK (Izin Pemungutan Hasil Hutan
Bukan Kayu)
Selain hal yang telah disebut diatas, terdapat izin lainnya
baik izin untuk pengolahan hasil hutan kayu maupun bukan
kayu seperti Izin Usaha Industri Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu (IUIPHHK) dan Izin Usaha Industri Pemanfaatan Hasil
Hutan Bukan Kayu (IUIPHHBK), Izin Pemanfaatan Kayu
(IPK) pada kawasan di luar hutan seperti APL (Areal
Penggunaan Lain), juga Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan
(IPHHK) pada kawasan hutan produksi yang ditujukan
untuk kegiatan diluar bidang kehutanan yang diatur dalam
peraturan tersendiri.
Dalam proses penegakannya, Menteri Kehutanan
juga membentuk KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan).
Kementerian Kehutanan mendefinisikan Kesatuan
Pengelolaan Hutan sebagai wilayah pengelolaan hutan
125
sesuai fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola
secara efisien dan lestari. Filosofi dibangunnya KPH
sebenarnya adalah pengelolaan hutan di tingkat tapak,
karena munculnya permasalahan kehutanan ditenggarai
akibat ketiadaan pengelola di tingkat tapak, sehingga dibaca
oleh masyarakat sebagai kawasan open acces. Untuk
menghadirkan pengelolaan hutan di tingkat tapak
diperlukan unit pengelolaan yang efektif dan efisien.
Menurut pasal 9 PP No. 6 Tahun 2007 tentang Tata
Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta
Pemanfaatan Hutan yang berbunyi sebagai berikut:
“Organisasi KPH mempunyai tugas dan fungsi:

a.menyelenggarakan pengelolaan hutan yang


meliputi:
1. tata hutan dan penyusunan rencana
pengelolaan hutan;
2. pemanfaatan hutan;
3. penggunaan kawasan hutan;

4. rehabilitasi hutan dan reklamasi; dan

5. perlindungan hutan dan konservasi alam.


b.menjabarkan kebijakan kehutanan nasional,
provinsi dan kabupaten/kota bidang kehutanan untuk
diimplementasikan;
c.melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di
wilayahnya mulai dari perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian;
d.melaksanakan pemantauan dan penilaian atas
pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya;
e.membuka peluang investasi guna mendukung
tercapainya tujuan pengelolaan hutan.”
Menjelang akhir abad ke-21 ini, hutan Indonesia
seringkali mengalami kebakaran hutan atau Karhutla,
126
penggundulan hutan secara besar-besaran serta minimnya
penghijauan hutan kembali. Hal ini disebabkan oleh banyak
faktor, diantaranya yakni kebutuhan akan bahan kayu,
kebutuhan lahan untuk perusahaan atau perumahan, serta
banyaknya pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,
yakni melakukan tindakan illegal terhadap hutan Indonesia
sehingga menimbulkan banyak dampak negatif. Apabila
tindakan dari pemerintah kurang merespon dan belum
segera menemukan solusi atas permasalahan,
dikhawatirkan akan semakin besar. Dampak yang telah
dirasakan hingga sekarang yakni perubahan iklim yang
ekstrim, oksigen semakin menipis, suhu lingkungan tidak
stabil dan semakin tinggi.
Dengan melihat dasar negara kita yaitu Pancasila,
yang memiliki dasar yang paling mendasari berdirinya
sebuah negara yang ideal, maka kita dapat mengatasi
permasalahan-permasalahan dalam negara kita.
Hal ini terlihat pada sila pertama, yaitu Ketuhanan
yang maha Esa. Bahwasanya kita wajib mengakui dengan
penuh kesadaran dalam memiliki keyakinan pada Sang
Pencipta. Alam semesta ini adalah ciptaan dari Allah SWT.
dan semua agama mengakui itu dan manusia diajarkan
untuk memiliki kewajiban menjaga dan merawatnya. Kalau
alam tidak dirawat dengan baik, berarti kita tidak
menghargai ciptaan-Nya. Realitas yang terjadi belakangan
ini sungguh membuat kesedihan, dikarenakan tidak hanya
hutan yang menjadi korban, namun hewan-hewan yang
bernaung disana juga terusir dari tempat tinggalnya.
Sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Sila
ini menekankan pada sisi kemanusiaan dengan tekanan
keadilan dan keberadaban, memberikan makna bahwa
setiap manusia dituntut untuk berlaku adil kepada segala
manusia dan menjunjung peradaban yang berbudi luhur.
Dalam artian, manusia juga mempunyai tugas untuk
menjaga dan membuat kenyamanan untuk keberlanjutan
127
kehidupan di Bumi. Dengan memerhatikan aspek sila ke-2
ini juga menyangkut terkait menjaga dan melindungi
lingkungan sebagai tempat untuk kehidupan manusia.
Hutan juga merupakan salah satu aspek lingkungan yang
perlu dilindungi dan dilestarikan. Meski hutan di Indonesia
sangat luas, namun kondisi hutan kini semakin memburuk
dan berantakan. Bentuk tindakan yang tidak menerapkan
prinsip Pancasila ialah salah satunya memberikan izin
pengelolaan hutan secara besar-besaran, namun ada unsur
kepentingan pribadi yang melanggar aturan yang telah
berlaku. Selain itu, banyaknya kabar di berita tentang
penggundulan hutan secara illegal, pembakaran hutan
secara besar-besaran, dan lain-lain yang mengakibatkan
kondisi hutan Indonesia semakin memburuk. Dampak yang
dirasakan masyarakat yakni terganggunya aktivitas
manusia akibat hasil kebakaran hutan, berkurangnya
pasokan oksigen, suhu udara semakin tinggi, perubahan
iklim yang semakin ekstrim dan lain-lain.
Sila ketiga, persatuan Indonesia. Hal ini memberikan
makna bahwasanya semua aspek yang ada di negara baik
dari Manusia maupun alam harus dijaga keseimbangannya.
Apabila alam terlalu ditekan untuk dibabat habis tanpa ada
penghijauan Kembali, banyak lahan hutan beralih menjadi
lahan untuk perusahaan dan perumahan, maka alam akan
bereaksi yang pada mulanya penyebabnya berasal dari
manusia itu sendiri. Jadi kita perlu melakukan
keseimbangan karena semua aspek ini dinilai penting dan
memiliki pengaruh.
Sila keempat, memberikan makna bahwa menjadi
pemimpin dalam negara harus bijaksana dalam langkah
melalui musyawarah untuk mufakat, maksudnya ialah harus
menyertai masyarakat dalam menegakkan kebijakan dan
harus mencapai mufakat, yaitu tidak memaksakan suatu
kehendak. Hal ini menjadi poin penting bahwa seluruh
perjuangan masyarakat yang rela memperjuangkan hingga
128
berkucuran keringat hingga tumpah darah pada negara ini
harus diperlakukan secara bijaksana demi kesejahteraan
dan kemakmuran, serta dengan semangat kebersamaan.
Tanah, bumi dan kekayaan alam didalamnya adalah milik
bersama. Sudah sering terdengar bahwa ada oknum tidak
bertanggung jawab yang tega melakukan penjualan lahan
hutan maupun oknum yang tidak memiliki wewenang untuk
mengolah hutan sehingga merusak ekosistem hutan. Maka
sebagai pihak yang bersangkutan baik dari pemerintah
maupun pihak yang berkepentingan juga diharap
melakukan tindakan sesuai hukum positif yang berlaku di
Indonesia, apabila ada hal yang tidak boleh maka jangan
dilanggar, apabila melanggar harus di adili.
Sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, memberikan makna bahwa semua masrakyat
Indonesia mempunyai hak untuk mendapatkan hak-haknya
yang merupakan keharusan. Dengan adanya hutan,
masyarakat dapat terbantu agar terhindar dari bencana
kemiskinan dan kelaparan, jika hutan itu rusak, maka akan
sulit untuk mencari sumber penghidupan. Sudah
seharusnya kita menjaga hutan sebagai stabilitas suatu
negara, dengan cara merawat dan menjaga hutan dengan
sebaik-baiknya. Pada dasarnya hutan mempunyai peranan
yang strategis yakni fungsi ekologis, sosial dan ekonomis.
Mirisnya Hutan Indonesia yang kian lama semakin sedikit
dan tidak terawat, padahal hutan memiliki peranan besar
untuk menyuplai oksigen serta menyejukkan wilayah yang
didekatnya. Menjelang akhir abad ke-21 ini hutan Indonesia
seringkali terjadi kebakaran hutan, penggundulan hutan
secara besar-besaran serta minimnya penghijauan hutan
kembali.
Di Indonesia telah mengatur itu dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007
Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah
129
terakhir dengan PP Nomor 3 Tahun 2008. Dalam PP ini,
diatur mengenai kegiatan pemanfaatan hutan. Pemanfaatan
hutan adalah suatu kegiatan pemanfaatan kawasan,
pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemanfaatan hasil hutan
dan hasil hutan bukan kayu yang dapat dilakukan pada
seluruh kawasan hutan, baik hutan konservasi (kecuali
cagar alam, zona rimba, dan zona inti pada taman nasional),
hutan lindung, dan hutan produksi.

130
TENTANG PENULIS:

Eko Listiyani, perempuan tapi suka disangka laki-


laki sama orang yang cuma tahu nama saja. Mahasiswa
tetapi dikira masih SMA karena lebih tinggi anak SMA.
Penulis suka menulis, tetapi setiap ingin menulis bingung
mau menulis apa. Penulis lebih suka pakai celana dan
sneakers daripada rok, gamis, flatshoes, heels atau
sejenisnya. Penulis lebih suka tidur dirumah daripada diluar
rumah dengan orang asing. Penulis susah untuk beradaptasi
dengan orang baru. “even if you fall, all you need is to get up
once again”.
Eka Lutfia, sebagai penulis yang lahir di Banyuwangi
ini namanya sudah tidak asing dan sudah umum dipakai
semua orang. Saat ini menjadi mahasiswa aktif di
Universitas Negeri Surabaya. Menjadi mahasiswa
merupakan salah satu pilihan untuk menuju ke jalan
kesuksesan. Menulis menjadi bagian dari keseharian.
Menulis bagi penulis merupakan bagian mengekspresikan
dirinya yang tidak mampu di ucapkan namun memiliki nilai
seni. Karena itu menulis puisi di kala waktu luang. Selain itu
penulis memiliki beberapa hobi yang cukup unik yaitu
mencicipi berbagai jenis makanan baru dan mengamati
orang.
Maharani Nur Azizah. Perempuan yang akrab disapa
Rani, lahir di Surabaya tahun 1999. Penulis merupakan
mahasiswi jurusan Hukum Universitas Negeri Surabaya
angkatan 2017. Pada tahun 2017-2018 penulis merupakan
anggota dari Departemen Keuangan Himpunan Mahasiswa
Jurusan Hukum. Untuk mengisi waktu luang, penulis

131
biasanya melakukan banyak aktivitas seperti memasak,
membaca utas dijejaring media sosial twitter (ilmu, teori,
peristiwa sejarah, dll), terkadang menulis cerita fiksi, dan
menonton film maupun drama. Penulis juga merupakan
staff dari pengelola jurnal mahasiswa jurusan Hukum yakni
Jurnal Novum. Penulis bercita-cita untuk menjadi orang
yang sukses dan dapat membahagiakan orang-orang
disekitarnya.
Anindya Ismi Setiyawati atau biasa dipanggil Anin
adalah salah satu mahasiswi Jurusan Ilmu Hukum
Universitas Negeri Surabaya. Perempuan kelahiran
Lamongan tahun 1998 ini memiliki hobi membaca dan
menggambar. Motto dalam hidupnya sederhana yaitu I can,
I must, and I will.
Chintya Ainun Khasanah, yang biasa di panggil
Chintya adalah salah satu mahasiswi jurusan Ilmu Hukum
Universitas Negeri Surabaya. Penulis berkelahiran
Mojokerto ini memiliki hobi travelling, dan memasak.
Penulis yang bercita-cita sebagai notaris ini juga memiliki
motto hidup “ Kerja keraslah meraih mimpi, tapi jangan
lupa untuk menikmati indahnya alam “
Siti nur aisyiah , yang lahir di kota kecil bernama
tuban , yang lahir pada 25 april 2000.seharihari akrab
disapa ais, ia seorang mahasiswi jurusan hukum di salah
satu perguruan tinggi negeri di surabaya yaitu UNESA ,
dengan cita-cita ingin menjadi orang sukses dunia akhirat,
ia memiliki moto"percaya diri sendiri, jangan dengar
hujatan orang, kamu bisa" dengan harapan hidup paling
besar yaitu membanggkan orang tua dan orang orang yang

132
sudah berperan besar dalam hidupnya semampu yang ia
bisa.
Calvin Anthony Putra, Pria Kelahiran Sidoarjo, 1999.
Sejak kecil bertempat tinggal dan menempuh pendidikan di
Surabaya. Penulis adalah seorang Mahasiswa Jurusan S1
Ilmu Hukum dan kian aktif berperan dalam organisasi
seperti Himpunan Jurusan dan BEM Fakultas. Penulis
berupaya untuk menyeimbangkan antara prestasi dalam
organisasi dengan prestasi akademik, terbukti dengan
memenangkan Juara II kompetisi Peradilan Semu dan
merampungkan PKKMB Fakultas sebagai ketua pelaksana.
Penulis dapat dihubungi lebih lanjut melalui
calvinanhonyy68@gmail.com.
Audi Navira. Penulis kelahiran Sidoarjo, 25 Januari
1998 ini akrab dipanggil “Audi”, memiliki hobi menyetir
sambil mendengarkan musik Rock, Traveling, dan juga
Jooging. Audi merupakan mahasiswa aktif Universitas
Negeri Surabaya yang memiliki cita-cita menjadi Notaris.
Audi merupakan manusia pagi hari yang menurutnya
merupakan sebuah berkah tersendiri ketika melakukan
aktivitas di pagi hari. Dalam melakukan kegiatan
perkuliahan, Audi sangat minat dengan kegitan dan
pembelajaran yang berhubungan dengan Agraria. Bumi, Air
dan Ruang Angkasa merupakan sesuatu hal yang tidak akan
habisnya untuk dipelajari. Semoga kedepannya kita dapat
mewujudkan cita-cita kita bersama, Aamiin. Audi dapat
dihubungi lebih lanjut melalui akun Instagram @audinvra.
Yulianti Nur Indah Sari. Penulis lahir di Kediri pada
tahun 1999. Penulis cukup aktif dalam kegiatan organisasi
kemahasiswaan. Aktivitas yang dilakukan penulis diwaktu

133
luang sering digunakan untuk bermain dengan keponakan-
keponakan atau mendengarkan musik. Pesan dari penulis,
dalam melakukan sesuatu lakukanlah dengan ikhlas dan
sesuai dengan keinginan karena bagaimanapun
keadaannya dirimu sendirilah yang menentukan hidupmu.
Nama saya Reza Pahlevi, biasa dipanggil dengan
nama Reza, sekarang saya sedang menempuh pendidikan di
Universitas Negeri Surabaya tepatnya pada jurusan S1 Ilmu
Hukum. Saya sangat senang menempuh jurusan hukum di
Universitas Negeri Surabaya karena banyak pengalaman
baru dan teman-teman yang baik selama saya belajar disini
dan masuk jurusan hukum sendiri merupakan cita-cita saya
sejak kecil, hal ini mungkin karena keluarga besar saya
yang banyak menempuh pendidikan hukum dan bekerja
tidak jauh diranah hukum juga serta kedua orang tua saya
sendiri dahulu sama-sama menempuh pendidikan hukum.
Hobi saya adalah memancing dan cita-cita saya adalah
menjadi seorang notaris
Dimas Syahrul Amrulloh, yang lahir di Ponorogo
tahun 1999 dan akrab dipanggil dengan sebutan “Dim”,
“Dimas” atau “Samid”. Penulis saat ini merupakan
Mahasiswa S1 Ilmu Hukum Universitas Negeri Surabaya
(UNESA) angkatan 2017. Aktivitas yang dilakukan penulis
dikala pandemi Covid-19 ini adalah memperbanyak
istirahat, membaca berita di sosial media terutama Twitter,
melihat drama korea yang bertemakan hukum. Penulis juga
memiliki hobi travelling, bermain game online, bermain
dengan kucing serta anak-anaknya, berolahraga guna
menjaga kesehatan dan juga agar mendapatkan bentuk
tubuh yang ideal. Penulis dapat ditemui diakun Instagram :
@dimdimas__

134
Daud Christian Marbun. Daud kelahiran di Kota
Surabaya ini mempunyai hobi dari kecil yaitu bernyanyi,
dan olahraga. Yang lebih terlihat dalam prestasinya pada
masa kuliah di Universitas Negeri Surabaya ini terdapat
pada hobi bernyanyi saya yaitu terdiri dari mendapatkan
mendali perak di perlombaan paduan suara di tingkat
nasional di Universitas Brawijaya Malang, mendapatkan
juara 2 di perlombaan paduan suara di tingkat nasional di
Universitas Islam Sunan Ampel Surabaya, mendapatkan
mendali perak dan emas di tingkat Internasional
penyelenggaranya yaitu Jakarta World Choir Festival dalam
2 kategori yakni folklore dan mix. Dalam hal menulis,
penulis juga menyempatkan menulis didalam waktu yang
terkadang agak longgar.
Heny Novyanti, atau akrab dipanggil “Heny” atau
“Vyy” merupakan salah seorang Mahasiswa Angkatan 2017
Jurusan Ilmu Hukum Universitas Negeri Surabaya.
Perempuan yang memiliki darah keturunan Lamongan
Trenggalek ini sering memanfaatkan waktu luangnya untuk
bermain game online, menonton film, pergi traveling serta
kegiatan lain yang tidak memicu timbulnya stres. Penulis
adalah tipe orang yang selalu mengutarakan pendapatnya
secara jujur, hal tersebut sangat membantu penulis dalam
memilih pertemanan dan mengekspresikan karyanya.
Strategi pembelajaran yang diterapkan oleh penulis yaitu
tidak terpaku pada nilai atau hasil akhir yang ada,
melainkan seberapa besar usaha serta perjuangan yang
telah dilakukan oleh penulis dalam mencapai hasil tersebut.
Rama Novtian Ardi lahir di Sidoarjo tahun 1998.
Penulis adalah mahasiswa jurusan Ilmu Hukum Universitas
Negeri Surabaya. Pria yang akrab dipanggil Rama ini

135
merupakan anggota dari salah satu organisasi kampus, yaitu
International law student community. Selain ikut dalam
organisasi kampus, penulis juga aktif dalam organisasi luar
kampus, yaitu Palang Merah Indonesia. selain berkuliah
dan aktif dalam beberapa organisasi, penulis juga memiliki
usaha yang bergerak di bidang industri kayu. Infromasi
lanjut dapat langsung menghubungi nomor +62 822-3028-
3288 ataupun email penulis inforama98@gmail.com
Yazid Bustomi, atau yang akrab disapa dengan
“Tomi”, merupakan putra daerah dari “Kota Pendekar” yang
sedang menempuh pendidikan S1 Ilmu Hukum di
Universitas Negeri Surabaya. Penulis memiliki hobi
travelling, otomotif dan desain grafis. Dalam hidupnya,
penulis memiliki motto “Awiting Mulyo, Jalaran Wani
Rekoso”.
Dinda Anindita, adalah mahasiswi S1 Ilmu Hukum
Universitas Negeri Surabaya angkatan tahun 2017. Penulis
Lahir di Sidoarjo, 28 Desember 1998 dan memiliki
kegemaran menulis dan membaca. Penulis sangat tertarik
mempelajari berbagai macam bahasa, budaya, dan isu - isu
global yang sedang terjadi. Penulis juga cukup aktif dalam
berbagai kegiatan akademik dan juga organisasi pada saat
kuliah, antara lain Himpunan Mahasiswa Jurusan Hukum
UNESA, LSO ‘Last Court’ UNESA, dan juga meraih Juara 2
dan Panitera Terbaik dalam Kompetisi Peradilan Semu
Konstitusi Gebyar Konstitusi V Universitas Hassanudin
tahun 2018. Penulis dapat dihubungi melalui email :
dindaanindita7@gmail.com dan Instagram : @antarikssaa.
Siti Nur Azizah dimana biasa dipanggil
"azizah",penulis kelahiran rembang jawa tengah ini

136
memiliki tekat yang kuat jika ada target yang dituju. Saat
waktu luang seringkali digunakan penulis untuk main game
online karena membantu menyegarkan otak, bisa dibilang
sebuah hiburan dijala jadwal yang padat. Selain itu penulis
juga memiliki hobby travelling untuk mencari inspirasi.
Reva Damayanti lahir di Sidoarjo pada tanggal 20
Oktober 1998. Merupakan anak pertama dari tiga
bersaudara. Tempat tinggal di Kelurahan Urang Agung
Jedong Rt.17/Rw.06, Kec. Sidoarjo, Kab. Sidoarjo, Jawa
Timur. Memasak merupakan hal yang sangat digemari.
Terkait dengan cita-cita yang semua orang memilikinya
namun lain dengan saya, saya tidak memiliki tujuan yang
pasti tentang apa yang akan saya lakukan di masa depan
nanti, karena saya mempunyai pemikiran bahwa semua
pekerjaan akan saya lakukan sepanjang bisa membuat
orang tua saya bahagia dan tidak menyimpang dari aturan
agama saya. “Ikhtiar dan doa tetap dilakukan, namun saya
menjalani hidup mengalir sesuai yang digariskan”
Muhammad Tio Salsa Wijaya adalah mahasiswa
program studi Hukum Universitas Negeri Surabaya tahun
2017 . Penulis dikenal sebagai orang yang pendiam dan
suka tidur saat pembelajaran di kelas, meskipun sudah
minum kopi. Kegiatan/Organisasi di kampus yang aktif
diikuti yaitu LPK Pers Gema, UKM Karate dan UKM Menwa
804. Penulis juga gemar mengikuti event perlombaan
sebagai panitia diantaranya, event LKBB Komando 2020
tingkat Jawa Timur, Kejuaraan Karate Unesa Cup tingkat
seJawa-Bali yang diselenggarakan oleh UKM Karate UNESA
pada tahun 2018 dan 2019, Kejuaraan Karate senior-junior
tingkat Nasional dalam rangka HUT Marinir ke 73,

137
Kejuaraan Karate Internasional 2020 yang diselenggarakan
FORKI Surabaya.

138

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai