Dibuat Oleh :
NPM: 21801021267
Page
Mata Kuliah :
Hukum Filsafat
Dosen :
1
ABSTRAK
Filsafat hukum Filsafat bangsa Pancasila terbentuk dari Indonesia. Dia menggali dalam ontologi,
epistemologi, dan aksiologi memenuhi syarat sebagai ilmu hukum. Penelitian ini menggunakan hukum
normatif dengan pendekatan konseptual. Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm telah mengalami pasang
surut. Kini, setelah bergulir kembali reformasi bangsa Indonesia tersadarkan akan pentingnya Pancasila
sebagai staatsfundamentalnorm. Nilai Pacasila kini dituangkan dalam nilai-nilai primer, yaitu: Nilai-nilai
Religiusitas dan KebersamaanPerbedaan. Nilai-nilai ituhendak direaktualisasi dengan serangkaian metode
khusus untuk mengembalikannya sebagai ruh hukum Indonesia.
2 Page
2
DAFTAR ISI
A. Pendahuluan………………………………………………………………………… 3
B.Pembahasan…………………………………………………………………………...7
DaftarPustaka………………………………………………………………………………….....19
BAB 1
A. Pendahuluan
A.1.Latar Belakang
3Page
3
Pancasila merupakan staatsfundamentalnorm dalam hirarki perundangan Indonesia.Ia ada
sebagai nilai-nilai utama yang melandasi terbentuknya aturan hukum di Indonesia. Penelitian
terhadap peletakan Pancasila sebagai nilai dasar ini menarik untuk dikaji setidaknya
disebabkan oleh beberapa hal: Pertama, bahwa Pancasila diletakkan sebagai sebuah
fundamen hukum berbangsa bernegara berupaya untuk mewarnai corak hukum di Indonesia
dengan lima nilai dasar, yaitu: nilai Ketuhanan, nilai Kemanusiaan, nilai Persatuan, nilai
Musyawarah, dan nilai Keadilan Sosial. Kelima nilai dasar ini akan diturunkan dalam bentuk
peraturan-peraturan hukum di bawah Pancasila yang akan mengendalikan perilaku-perilaku
dalam berbangsa dan bernegara. Peletakan Pancasila sebagai ruh atau esensi dari
terbentuknya aturan hukum ini menjadikan semua aturan hukum harus mengacu pada lima
nilai dasar hukum Indonesia.
Kedua, bahwa Pancasila sebagai sebuah nilai dasar dari akan terbentuknya setiap aturan
hukum yang berlaku di Indonesia menghadapi tantangan berat ketika ia berhadapan dengan
masuknya beragam nilainilai yang ada di luar dirinya. Ia berhadapan dengan beragam nilai
baru seperti sosialisme, kapitalisme, dan sebagainya. Pancasila kini berhadapan dengan
beragam sistem filsafat hukum lainnya berhadapan dengan beragam nilai lainnya untuk
berupaya saling mewarnai dan menanamkan nilai-nilainya dalam beragam aturan hukum
yang berlaku di Indonesia.Nilai Kapitalisme sebagai lawan berat Pancasila berupaya terus
menanamkan nilai-nilai dasarnya dalam pembentukan beragam peraturan-peraturan hukum
khususnya lapangan hukum ekonomi di Indonesia.
Ketiga, Pancasila yang sejatinya menjadi ruh setiap hukum di Indonesia masih juga
belum mendapatkan pemaknaan yang hakiki.Belum tercipta kesamaan pandangan di
kalangan ahli hukum sejak Indonesia merdeka tiba-tiba era reformasi meluluhlantakkan ide
besar Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm dalam hubungan berbangsa dan bernegara.
Fokus pandangan akan eksistensi Pancasila segera beralih kepada nilai-nilai dasar lainnya
atas nama demokratisasi. Optik hukum para ahli hukum pun tidak lagi menjadikan Pancasila
sebagai staats fundamentalnorm.Kini tantangan Pancasila menjadi semakin berat sebagai
sebuah sistem filsafat dalam hukum untuk mewarnai setiap aturan hukum di Indonesia.
4
Page
Falsafah hukum Pancasila tidak terlepas dari lima Sila yang terkandung dalam Pancasila. Nilai
Ketuhanan, Nilai Kemanusiaan, Nilai Persatuan, Nilai Musyawarah, dan Nilai Keadilan Sosial.
Dari lima nilai tersebut dapat dilihat terdapat dua inti nilai utama:
Nilai Religiusitas mengandung makna adanya sebuah konsep berfikir bahwa dalam ruang
kosmik berfikir dan berhukum selalu mengkaitkan dengan nilai-nilai ketuhanan.Meletakkan
4
Tuhan sebagai pusat dari gerak alam sekaligus gerak dinamika berhukum masyarakat
Indonesia.Nilai komunalitas adalah sebuah ruang kosmik bahwa manusia Indonesia menyadari
tak dapat hidup sendiri. Dalam berkehidupan ia selalu bersama dengan orang lain. Ia menyadari
bahwa eksistensi dirinya ada ketika ia hidup bersama dan mengakui, menghormati sesamanya. Ia
menjadi manusia justru ketika ia hidup bersama dengan manusia lainnya. Bukankah hukum baru
muncul ketika ada lebih dari satu manusia yang hidup bersama? Nilai komunalitas ini berpadu
dengan nilai Religiusitas membentuk sebuah falsafah hukum hukumnya sendiri yaitu: Falsafah
Hukum Pancasila.
Falsafah Hukum Pancasila dapat diartikan sebagai norma-norma dasar yang berisi nilai
Ketuhanan dan Kemanusiaan, dalam sekelompok manusia yang bersatu dan mengutamakan
musyawarah demi tercipta-nya sebuah keadilan social (Fuad, 2015).Disinilah hukum tercipta,
terbentuk sesuai dengan ruang kosmik berfikir manusia Indonesia. Falsafah hukum Pancasila ini
tidak sekedar berada dalam konstruksi ilmu pengetahuan hukum saja, tetapi iatelah terefleksikan
dalam gerak dinamikafikir, sikap-tindak, serta perilaku manusia Indonesia. Ruang kosmik ini
tidak terlepas dari alam ketimuran yang selalu meletakkan posisi dunia dan alam akhirat secara
bersama dan tidak terpisah. Tuhan bukan sekedar sebagai sebuah gagasan yang menghiasi akal,
tetapi ia tertanam dalam jiwa sehingga terefleksikan dalam gerak manusia Indonesia
(Gazalba,1992).
Dalam ruang Falsafah Hukum Pancasila terdapat dua sifat: Sifat Konstanta dan Sifat Dinamis.
Sila Ketuhanan mengandung sifat konstanta karena pengakuan atas eksistensi Tuhan sifatnya
adalah pasti dan tidak berubah. Sifat Dinamis diwujudkan dalam Sila Kedua hingga Kelima,
karena Sila Kemanusiaan, Sila Persatuan, dan Sila Demokrasi musyawarah hingga Keadilan
Sosial menunjukkan dinamika antar dan intersubjek. Sila Ketiga-Keempat adalah Proses
kebersatuan melalui musyawarah menunjukkan sifat dinamis Bangsa Indonesia dalam beragam
kondisi.Konflik, sengketa, dan juga kerjasama antar subjek menunjukkansifat dinamis ini. Dalam
proses interaksi untuk membangun nilai-nilai kemanusiaan terjadi dinamika sesuai dengan sifat
relativitas manusia. Sila Kelima mengandung Nilai Keadilan Sosial,dan nilai terakhir ini adalah
aksiologi dan teleleologis dari Nilai-nilai Pancasila secara keseluruhan. Dalam ruang kosmik
religius-komunalkebhinekaan, apakah menghilang-kan sama sekali ide atas perlindungan hak
fundamental manusia yaitu Hak Azasi Manusia? Tidak sama sekali.
tidak terlepas dari perikemanusiaan yang adil dan beradab.Melindungi hak komunal sebagai
perlindungan yang utama juga menempatkan individu-individu di dalamnya untuk dilindungi
haknya.Untuk itu yang lebih tepat adalah kemerdekaan individu sebagai pengganti kata
kebebasan individu dalam hukum.Kebebasan dapat berarti membuang jauh ide dan cita hukum
religus-komunalkebhinekaan dalam konstruksi falsafah hukum Pancasila. Ia merdeka untuk
berbuat, merasa, bersikap, dan bertindak selama dalam bingkai kemerdekaannya sebagai
manusia. Kemerdekaan disini bukanlah kebebasan tak berbatas, karena kebebasan mutlak
hanyalah utopia, ia akan selalu terbatasi kebebasannya oleh kebebasan orang lain. Maka ruang
dinamika gerak manusia akan selalu berada dalam bingkai optik ketuhanan dan sekaligus
Falsafah Hukum Pancasila, Reaktualisasi Staatsfundamentalnorm Lex Jurnalica Volume 13
5
Nomor 3, Desember 2016 174 optic komunal: kebersamaan dengan manusia lainnya. Dua nilai
yang akan selalu menjadi pembatas: Kehendak Tuhan dan kehendak manusia lainnya (Fuad,
2015). Ruang komunal ini memiliki sebuah kekhasan tertentu, yaitu: keberagaman.
Kebersamaan ini merupakan ruang dinamis, didalamnya terdapat kerjasama untuk saling
bergotong-royong antar individu dan kelompok.Kebersamaan ini berada dalam ruang
multikultur, multi etnik, multi Bahasa, dan multi religi. Maka ruang komunal ini menjadi ruang
yang diisi oleh proses penerimaan antar beragam unsur budaya, religi, dan nilai-nilai yang
membentuknya.Layak apabila dinyatakan bahwa komunal bangsa Indonesia adalah komunal
keragaman, komunal kebhinekaan. Jika dikaitkan dengan eksistensi keyakinan akan wujud
Immateri Tuhan, maka dapat dinyatakan sebagai: Religius-komunal kebhinekaan.Nilai religius-
komunal kebhinekaan ini diturunkan dari nilai falsafah hukum Pancasila sebagai
staatsfundamentalnorm. Darinya akan dibentuk grundnorm yaitu Konstitusi, Undang-Undang
Dasar. Pada kondisi inilah maka manusia Indonesia menyadari akan arti penting falsafah hukum
Pancasila sebagai sebuah kebenaran. Bahwa manusia Indonesia menyadari akan posisinya dalam
hubungannya dengan Tuhan dan kebersamaan dengan manusia lainnya. Manusia Indonesia
berhukum dengan dua nilai tersebut, sehingga ketika terdapat keberlakuan hukum yang
menghilangkan konsep religius atau komunal-kebhinekaan, maka ia akan terasing dengan
hukumnya sendiri. Hukum mengajarkan bahwa ia lahir dan berkembang bersama dengan jiwa
bangsanya. Jiwa bangsa Indonesia akan melahirkan hukum yang sesuai dengan ruang jiwa
bangsa Indonesia. Forma hukum baik hukum negara maupun hukum rakyat secara ideal akan
terisi oleh dua nilai utama sebagai esensi dari hukum: Nilai Religiusitas dan Nilai
KomunalitasKebhinekaan.
(Kartohadi-prodjo, 2010) Mewujudkan Nilai-nilai Falsafah Hukum Pancasila sebagai
sebuah nilai-nilai fundamen hukum Indonesia bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan.Nilai-
nilai hukum barat yang sangat logis individual telah tertanam dengan azas konkordansi secara
empirik telah begitu jauh dari ruang berfikir penstudi hukum di Indonesia. Maka untuk
membentuk kembali kesadaran akan gagasan Falsafah Hukum Pancasila perlu kembali
menuangkan pemikiran-pemikiran klasikdan kontemporer akan Falsafah Pancasila. Buya Hamka
menjelaskan bahwa Pancasila sebagai landasan falsafah Bangsa Indonesia terbentuk oleh
pengakuan manusia Indonesia atas eksistensi Tuhan pada dirinya.Tuhan menurut Buya Hamka
lebih dahulu ada daripada manusia, dan Tuhan berkehendak atas Bangsa Indonesia berupa
kemerdekaan. Ia menolak Pancasila semata hanya dimaknai sebagai Gotong-Royong seperti ide
dan gagasan Soekarno (Rajagukguk,2016), karena ketika hanya menempatkan gotong-royong
6 Page
sebagai inti Pancasila berarti menafikan peran Tuhan dalam proses pembentukan Bangsa
Indonesia. Buya Hamka bahkan menjelaskan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai urat
tunggang Pancasila.Sila Ketuhanan Yang Maha Esa melahirkan sila-sila Pancasila lainnya
(Hamka, 2005).
BAB II
6
B. Pembahasan
1.2. Pembangunan hukum yang berkelanjutan merupakan kebutuhan yang harus dilakukan
oleh suatu bangsa dalam mengikuti perkembangan masyarakat maupun perkembangan
kejahatan, karena pada dasarnya perkembangan kejahatan selalu mengikuti
perkembangan masyarakat itu sendiri. Menurut Barda Nawawi Arief bahwa
pembangunan hukum harus selalu disesuaikan dengan dinamika kehidupan (Roeslan
Saleh, 1984: 41). Dalam konteks inilah pengkajian terhadap pembaharuan hukum
merupakan kajian yang bergenerasi (Barda Nawawi Arief, 2009: 2).
Lebih lanjut, bahwa pembaharuan/pembangunan hukum pada hakikatnya merupakan
pembaharuan/pembangunan yang berkelanjutan (sustainable reform/sustainable
development) (Barda Nawawi Arief ,1994:15/ Jay A. Sigler ,1981:269).
tertulis dan hukum tidak tertulis (Ismail Saleh,1987:38). Untuk itu di dalam melakukan
Page
yang menjadi dasar dalam menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara harus
Page
Nilai-nilai dasar bangsa Indonesia yang sudah menjadi pandangan hidup bangsa,
terkristalisasi berupa nilai-nilai dalam sila-sila Pancasila, oleh sebab itu Pancasila
seharusnya ditempatkan sebagai filter dalam pembangunan hukum untuk menghadapi
9
9
Perundangundangan, secara eksplisit disebutkan bahwa Pancasila adalah sumber segala
sumber hukum. Bunyi Pasal 2 tersebut mengandung makna bahwa dalam pembentukan
peraturan perundangan apapun tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam sila-sila Pancasila. Bagi bangsa Indonesia pembangunan hukum nasional perlu
dilakukan bukan sekedar untuk mengikuti/menghadapi perkembangan masyarakat, akan
tetapi pembangunan hukum nasional harus dilakukan bangsa Indonesia karena hukum yang
ada sekarang ini – khususnya hukum pidana- sebagian besar adalah peninggalan pemerintah
kolonial. Sebagai negara yang merdeka, maka pembangunan hukum yang sesuai dengan
dasar negara merupakan suatu keharusan. Keharusan tersebut tertuang dalam konstitusi
Negara Indonesia yaitu UUD 1945. Oleh sebab itu pembangunan hukum yang merupakan
rangkaian proses dari rule breaking kemudian dilanjutkan dengan rule making mengandung
suatu pengertian bahwa yang harus dilakukan dalam pembangunan hukum tidak hanya
mengubah teks-teks dari pasal-pasal dalam undang-undang tetapi lebih dari itu mengubah
jiwa dari hukum itu sendiri agar sesuai dengan ideologi bangsa Indonesia, yaitu Pancasila.
Pada dasarnya hukum adalah alat untuk mencapai tujuan, oleh sebab itu perlu dibentuk suatu
hukum yang dapat mewujudkan tujuan nasional. Adapun tujuan nasional bangsa Indonesia
tertuang dalam pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial. Tujuan nasional tersebut hanya akan menjadi kata-kata indah yang
tidak bermakna apabila tidak ada upaya dan sarana untuk mewujudkannya. Agar tujuan
nasional tersebut dapat terwujud maka diperlukan sarana atau alat yang salah satunya berupa
regulasi/peraturan dalam semua bidang kehidupan. Berkaitan dengan tujuan nasional yang
merupakan cita-cita seluruh bangsa Indonesia, maka hukum yang digunakan harus sesuai
dengan cita-cita dan nilai-nilai bangsa Indonesia, karena hukum yang dapat ditegakkan dan
efektif adalah hukum yang sesuai dengan nilai-nilai suatu bangsa. Adapun hukum yang sesuai
dengan nilai dan jiwa bangsa Indonesia adalah hukum yang berdasarkan ideologi bangsa
Indonesia, karena ideologi adalah kristalisasi nilai-nilai suatu bangsa yang diyakini
kebenarannya. Ideologi bangsa Indonesia adalah Pancasila, maka menjadikan Pancasila
sebagai cita hukum adalah suatu keniscayaan. Pancasila dijadikan sebagai sumber dari segala
sumber hukum sudah ditetapkan pada saat Indonesia baru merdeka, yaitu sejak sila-sila
Pancasila dicantumkan dalam pembukaan UUD 1945 sebagai dasar negara.Melakukan
pembaharuan hukum pidana berdasar pada nilai-nilai Pancasila diharapkan akan tercapai
keadilan Pancasila, yaitu keadilan yang berketuhanan, keadilan yang berkemanusiaan,
10
keadilan yang demokratik, keadilan yang nasionalistik serta berkeadilan sosial. Keadilan
Page
Pancasila yang terwujudkan dalam kategori lima macam keadilan tersebut merupakan wujud
keadilan yang sesungguhnya (keadilan substantif), bukan sekedar keadilan formal saja (Barda
Nawaawi Arief, 2011:30).
Hal tersebut dilandasi pertimbangan bahwa hukum yang ada sekarang hanya melahirkan
keadilan formal sehingga perlu diperbaharui agar tujuan hukum untuk mewujudkan keadilan
yang sesungguhnya dapat tercapai. Sebagaimana yang telah dikemukakan di muka bahwa
hukum suatu bangsa seharusnya bersumber pada nilai-nilai luhur bangsa yang bersangkutan,
maka menjadi keharusan pula dalam melakukan rekonstruksi hukum pidana Indonesia agar
berdasar pada nilai-nilai yang dimiliki dan diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia. Hal
10
itu dikarenakan nilai-nilai tersebut memberi warna yang menjadi jati diri bangsa Indonesia
yang membedakan dengan bangsa-bangsa lain serta nilai-nilai tersebut dapat mewujudkan
keadilan yang lebih sesuai dengan keinginan bangsa Indonesia. Nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia tersebut sebagaimana yang kita ketahui, terkristalisasi dalam wujud ideologi, dasar
falsafah dan pedoman hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Oleh sebab itu harus difahami
untuk kemudian dilaksanakan bahawa Pancasila merupakan dasar pembangunan hokum
nasional, harus berdasar pada nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila.
Sebagai negara hukum, maka Indonesia menjadikan hukum sebagai norma di dalam
negara, di mana hukumhukum tersebut seharusnya dibentuk dengan berdasarkan pada
Pancasila, karena sebagai alat yang berfungsi untuk menciptakan tata dalam masyarakat,
maka hukum harus dibentuk dengan berdasar pada ideologi bangsa yang menjadi cita-cita
bangsa (Sudarto, 1972:88). Keharusan hukum berdasar pada Pancasila sebagai ideologi
bangsa adalah karena ideologi bangsa merupakan dasar filsafat Negara (Kaelan, 2002:59).
Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya hukum tidak dapat begitu saja ditransformasikan
dari negara satu ke negara yang lainnya, karena hukum suatu bangsa adalah cerminan nilai
dan moral bangsa yang bersangkutan (Suteki, 2007:1). Hukum dapat ditegakkan apabila
hukum tersebut sesuai dengan nilai-nilai bangsa itu sendiri (Satjipto Rahardjo, 2008:32). Jadi
hukum yang efektif adalah hukum yang berdasarkan pada nilai-nilai dari bangsa tersebut. Di
samping ketentuan yang ada sudah menggariskan bahwa politik hukum bangsa Indonesia
berdasarkan pada Pancasila yang memuat nilai-nilai agama, hukum yang hidup dan
keyakinan bangsa, para sarjana berualang kali menegaskan di berbagai forum seminar hukum
nasional, agar dalam melakukan Pembaharuan Sistem Hukum Nasionaldigunakan pendekatan
religius yang dikaitkan juga dengan pendekatan nilai-nilai budaya dan kesadaran hukum yang
hidup dalam masyarakat (hukum adat).
Di dalam hasil kesimpulan dan rekomendasi Konvensi Hukum Nasional 2008 tentang
11
Undang Undang Dasar 1945 sebagai Landasan Konstitusional Grand Design Sistem dan
Politik Hukum Nasional, secara tersirat maupun tersurat juga menyebutkan bahwa sistem dan
Page
politik hukum nasional berlandaskan Pancasila. Disimpulkan pula bahwa dalam pembentukan
Grand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional harus secara konsisten didasari landasan
falsafah Pancasila (Barda Nawawi Arief, 2009: 121-123).
Di samping beberapa hasil seminar nasional dan konvensi hukum nasional yang
merekomendasikan Pancasila sebagai bentuk dan dasar sistem hukum nasional, ada beberapa
pendapat para tokoh yang menjadikan Pancasila sebagai dasar sistem hukum nasional, yang
menunjukkan bahwa pembangunan sistem hukum nasional dengan berdasarkan Pancasila
adalah sebuah keniscayaan. Pendapat tokoh tersebut antara lain datang dari Hazairin dalam
konferensi Departemen Kehakiman tahun 1950, mengatakan : Pancasilalah yang paling tepat
11
untuk dijadikan rujukan bagi segala hukum di Indonesia karena Pancasila adalah dasar dan
falsafah kenegaraan dari bangsa Indonesia. Dan di atas demokrasi Pancasila masih ada suatu
kedaulatan yang harus diperhatikan, yaitu kedaulatan Allah SWT, yang disebut Ketuhanan
yang Maha
Penggunaan Pancasila sebagai hukum dasar dalam pembangunan hukum nasional, dapat
dilihat antara lain dalam ketentuan-ketentuan tersebut di bawah ini yaitu:
1. UU Nomor 1 Drt 1951 di dalam Pasal 5 ayat (3) sub b yang menyatakan sebagai
berikut :
Bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan
pidana, akan tetapi tiada bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana sipil, maka dianggap
diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara atau denda lima ratus
rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak
diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh
hakim dengan besar kesalahan terhukum; - Bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum
yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dalam Kitab
Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman
bandingannya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu (Barda Nawawi Arief , 2006:
5).
Pasal 27 ayat (1) : Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup‖.
atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili‖
12
5. Pasal 18 B (2) UUD 1945 (Amandemen ke-4) : Negara mengakui dan
menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undang-undang (Barda Nawawi Arief, 2006: 5)
Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa ‖Peradilan negara menerapkan dan
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila‖.Bunyi pasal tersebut tentunya dilandasi
pemikiran bahwa hukum akan dapat ditegakkan dan akan efektif apabila bersumber pada nilai-
nilai yang hidup dan diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia, sedangkan Pancasila
merupakan wujud konkrit dari nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat Indonesia. Demikian
pula halnya dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundangundangan, di mana dalam Pasal 2 secara eksplisit disebutkan bahwa Pancasila
merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. Dapat dikatakan Pasal 2 tersebut
merupakan landasan yuridis digunakannya Pancasila sebagai landasan iidiil dalam pembentukan
perundangundangan. Undang-undang ini diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 12 tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Undangundang yang baru ini tetap
menjadikan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum negara sebagaimana yang tertuang di
dalam Pasal 2. Di dalam penjelasan Pasal 2 disebutkan bahwa dengan menjadikan Pancasila
sebagai suumber segala sumber hukum, terkandung maksud menempatkan Pancasila sebagai
dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila. Berdasarkan penjelasan undang-undang tersebut menunjukkan bahwa di dalam
negara Indonesia tidak diperbolehkan adanya suatu peraturan perundangan yang bertentangan
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam silasila Pancasila. Bertolak pada hal tersebut maka
Undangundang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
kemudian disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan merupakan landasan yuridis keharusan penggunaan Pancasila
sebagai basic ideas dalam pembangunan hukum.
Secara yuridis Pancasila sebagai dasar filsafat Negara terdapat dalam Pembukaan
UUD1945 alinea IV yang berbunyi “…..maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu
dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan
13
Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : ketuhanan yang maha esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang oleh hikmat
Page
13
sumber nilai bagi bangsa dan Negara Indonesia. Konsekuensinya seluruh aspek dalam
penyelenggaraan Negara didasarkan dan diliputi oleh nilai-nilai Pancasila. Selanjutnya Pancasila
sebagai dasar filsafat Negara pada hakikatnya merupakan asas kerokhanian Negara. Dalam
penyelenggaraan Negara jelas dibutuhkan adanya peraturan-peraturan yang berlaku secara jelas
dan tegas, inilah yang disebut dengan hukum, selain adanya peraturan-peraturan lain. Dengan
demikian secara langsung maupun tidak langsung Pancasila merupakan sumber bagi peraturan-
peratuarn yang berlaku, termasuk peraturan hukum. Dalam hal inilah Pancasila menjadi asas yang
mutlak bagi adanya tertib hukum di Indonesia. Dalam pengertian ini maka Pancasila
berkedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum Indonesia. Kedudukan tersebut secara
rinci dapat dinyatakan sebagai berikut :
a. Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum (sumber tertib hukum) di
Indonesia. Pancasila merupakan asas kerohkanian tertib hukum yang dalam Pembukaan
UUD1945 dijelmakan lebih lanjut ke dalam empat pokok pikiran.
c. Pancasila mewujudkan cita-cita hukum bagi hukum dasar Negara, baik hukum tertulis
maupun tidak tertulis.
Fungsi tambahan Pancasila ini berawal dari realisasi fungsi Pancasila sebagai dasar
Negara. Sebagai dasar Negara nilai-nilai Pancasila harus diwujudkan dalam berbagai bidang,
sehinngga muncullah fungsi dan kedudukan lain, selain sebagai dasar negara. Beberapa fungsi
dan kedudukan Pancasila tersebut adalah :
b. Sebagai jati diri bangsa Para pendiri Negara Indonesia pada saat mempersiapkan dasar
Negara didasarkan pada suatu semangat untuk menemukan dasar Negara yang mengandung
makna hidup bagi bangsa Indonesia. Makna hidup bagi bangsa Indonesia tersebut ditemukan dari
budaya dan peradaban bangsa Indonesia sendiri, yang merupakan perwujudan nilai-nilai yang
dimiliki, diyakini, dan dihayati kebenarannya oleh masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia
menciptakan tata nilai yang mendukung tata kehidupan sosial dan tata kehidupan kerokhanian
bangsa yang member corak, watak, dan ciri masyarakat Indonesia, yang membedakan dengan
bangsa lain.
14
Pancasila secara material berasal dari nilai-nilai masyarakat tersebut. Sehingga Pancasila
dapat dinyatakan sebagai pembeda , penciri, atau jati diri bangsa Indonesia yang membedakan
dengan bangsa lainnya.Pengertian “Ideologi” secara umum dapat dikatakan sebagai kumpulan
gagasan-gagasan, ide-ide, keyakinan-keyakinan, kepercayaan-kepercayaan, yang menyeluruh dan
sistematis, yang menyangkut dan mengatur tingkah laku sekelompok manusia tertentu dalam
berbagai bidang kehidupan. hal ini menyangkut :
2) Bidang social
3) Bidang kebudayaan
Terdapat dua macam ideologi, yaitu ideologi tertutup dan terbuka. Ideologi tertutup ide,
pemikiran berasal dari luar diri masyarakat, sehingga keberadaannya dipaksalan, dan masyarakat
kurang merasa memilki. Sedangkan ideologi terbuka, ide,pemikirannya berasal dari dalam diri
masyarakat sendiri, tidak dipaksakan, dan masyarakat sudah memilkinya. Pancasila merupakan
ideologi terbuka, artinya Pancasila merupakan kristalisasi dari ide-ide, cita-cita, keyakinan-
keyakinan, masyarakat Indonesia sendiri, sehingga masyarakat sudah memilikinya. Sebagai
ideologi terbuka, nilai-nilai cita-cita, ide-ide dari Pancasila bersifat tetap keberadaannya, namun
bersifat dinamis dalam perwujudannya (sesuai dengan tempat, waktu, dan kepentingannya)
Ideologi terbuka memiliki tiga unsur yang harus selalu dikembangkan dan dihidupkan agar
ideologi menjadi berkembang dan tahan uji. Ketiga unsur tersebut adalah : dimensi idealita
1) Nilai dasar Nilai dasar berupa kelima nilai pokok dalam Pancasila, yaitu ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.Nilai dasar merupakan cita-cita bangsa
Indonesia dan bersifat tetap. dimensi normative / fleksibilitas
2) Nilai instrumental Nilai instrumental merupakan alat / media bagi terwujudnya nilai
dasar. Nilai instrumental berupa norma-norma dan kebijakan-kebijakan, misalnya norma
hukum, norma moral,norma agama, norma sosial, GBHN, dan kebijakan lain. dimensi
realita
15
3) Nilai Praksis Nilai praksis adalah realisasi cita-cita (nilai dasar) dalam kehidupan
Page
setelah diproses dengan norma atau kebijakan yang dibuat. Nilai praksis ini bersifat
nyata, dan selalu memiliki kesenjangan dengan nilai dasar. Jika terjadi kesenjangan
antara nilai dasar dan nilai praksis, maka yang seharusnya berperan adalah dimensi
normative
Sesuatu hal dapat disebut sistem apabila terdiri dari beberapa bagian, unsur yang saling
berhubungan sehingga merupakan satu kesatuan dalam mencapai tujuannya. Pancasila
15
sebagai sistem berarti Pancasila terdiri dari beberapa bagian, yaitu beberapa sila / nilai
dasar, yang saling berelasi / berhubungan baik dalam hal susunan maupun
perwujudannya, sehingga kelima sila merupakan satu kesatuan, sehingga tujuan sebagai
dasar Negara dapat tercapai. Saling berhubungan dalam hal susunan sila-sila Pancasila
maksudnya susunan kelima sila Pancasila tidak dapat ditukar balikkan, dan saling
berhubungan dalam perwujudan sila-sila Pancasila maksudnya perwujudan sila-sila
Pancasila saling menyempurnakan, apabila salah satu sila tidak terwujud akan
mempengaruhi perwujudan sila lainnya. Pancasila sebagai sistem dijelaskan dengan 4
istilah , yaitu :
1. Majemuk tunggal : Pancasila terdiri dari banyak sila dan merupakan satu
kesatuan
BAB III
3. KESIMPULAN
16
nasional seharusnya mendasarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, yang
diyakini kebenarannya dan mengikat masyarakat, artinya menjadipetunjuk dalam
berkehidupan.Bertolak pada hal tersebut, maka dalam melakukan pembangunan hukum
nasional harus berdasar pada asas-asas yang ada dalam nilai-nilai Pancaila karena nilai-
nilai Pancasila sesungguhnya adalah kristalisasi dari nilai-nilai agama dan nilai-nilai adat
yang diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia dan menjadi petunjuk hidup.
17Page
Daftar Pustaka
1. http://eprints.uad.ac.id/9432/1/Pancasila%20Dwi.pdf
17
2. https://studylibid.com/doc/221933/peranan-filsafat-hukum-dalam-pembentukan-
hukum-di-indonesia
3. Dr. P.J Suwarno S.H, Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Penerbit Kanisus1993,
Hal.125-167
4. Prof. Dr.. H. Bambang Satriyo, SH., MH. Buku Filsafat Pancasila,,Nirmana Media
2015 Hal 174- 212.
5. W. Friedman, Buku Teori & Filsafat Hukum ,PT Raja Grafindo Persada
Jakarta,1990 Hal 243-255.
18Page
18