Anda di halaman 1dari 5

Membaca Peluang Korupsi Dalam Pandemi Covid-19

(Analisis Terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan
Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019
(COVID-19) dan/atau dalam Rangka menghadapi Ancaman Yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan)1

Oleh: Iswandi,S.H.,M.H.2

“Korupsi adalah merupakan penyakit sosial yang disebabkan adanya peluang melalui
kekuasaan, korupsi tidak berputar pada permasalahan hukum saja tetapi lebih cenderung
pada penyimpangan moral dan krisis kepercayaan dalam beragama”

A. Latar belakang pemikiran


Pandemi Covid-19 yang melanda negara-negara di dunia telah menimbulkan banyak
permasalahan bagi tatanan kehidupan manusia, mulai dari permasalahan ekonomi, sosial,
politik, hukum bahkan dapat dikatakan bahwa secara holistik negara- negara di dunia yang
terpapar virus corona ini dalam keadaan darurat atau bahaya. Tingkat kedaruratan atau
kegentingan dalam setiap negara tersebut dapat dilihat dari kebijakan atau langkah yang
mereka ambil dalam rangka menghadapi wabah covid-19 ini. Kebijakan tersebut dirumuskan
dalam regulasi setiap negara, baik melalui undang-undang, peraturan pemerintah setingkat
dan/atau pengganti undang-undang sampai kepada kebijakan yang bersifat lokal.
Indonesia sebagai salah satu negara yang terkena musibah global ini juga telah mengeluarkan
kebijakan-kebijakan tertentu, seperti antara lain menerapkan status PSBB (Pembatasan Sosial
Berskala Besar) di beberapa daerah yang tingkat resiko tinggi, program asimilasi narapidana
(yang menurut penulis adalah kebijakan tepat tapi tidak pada waktu yang tepat) sampai pada
penetapan wabah covid-19 sebagai Bencana Nasional Non Alam yang selanjutnya disertai
dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2020.
Kebijakan yang terakhir ini akan menjadi titik awal pembahasan dalam makalah ini, karena
dengan dikeluarkannya perpu tersebut telah menimbulkan perdebatan pemikiran baik yang
pro maupun yang kontra dengan perpu tersebut. Pro dan kontra terhadap perpu ini terfokus
pada kekhawatiran akan terjadi penyalahgunaan (korupsi) yang dilegitimasi. Kekhawatiran ini
sangat beralasan karena dalam perpu tersebut akan dianggarkan uang negara melalui APBN
sebesar 405,1 Trilyun, nominal yang sangat fantastis dan tentu saja amat menggiurkan.

1
Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Online Dengan Tema “Berkelahi Melawan Korupsi Ditengah
Pendemi COVID-19”, yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Prodi Hukum Ekonomi Syariah UIN Sulthan
Thaha Syaifuddin Jambi dan Aulia Learning Center (ALC) Institute, Minggu 03 Mei 2020.
2
Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Jambi, Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum
Universitas Jambi
Dalam pembahasan ini, penulis tidak menempatkan diri pada posisi pro atau kontra tetapi
memposisikan diri sebagai penganalisis yang berangkat dari pemikiran Lord Acton bahwa
“Kekuasaan itu cenderung pada penyalahgunaan…..”.
B. Pembahasan
1. Tolok ukur negara dalam keadaan bahaya dari perspektif Hukum Tata Negara
Kajian tentang negara dalam keadaan darurat/genting/bahaya dalam hukum tata negara
disebut dengan istilah “noodverordeningsrecht” dan constitutional law in a state of
emergency atau menurut Jimlly Ashiddiqie Hukum Tata Negara Darurat.
Dalam konstitusi Indonesia, keadaan darurat atau kegentingan diatur pada Pasal 22 ayat (1)
yang menegaskan bahwa: Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak
menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Selanjutnya dalam
ketentuan Pasal 22 ayat (2) ditentukan bahwa peraturan pemerintah tersebut harus
mendapatkan persetujuan dari DPR dalam persidangan yang berikut. Selanjutnya dalam
ketentuan Pasal 22 ayat (3) ditegaskan bahwa jika tidak mendapat persetujuan, maka
peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Analisis pemikiran dari sudut politik hukum terhadap ketentuan tentang kegentingan negara
tergambar jelas bahwa presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan mempunyai hak
yang kuat untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang dalam
keadaan yang mendesak atau genting, hak yang besar tersebut disadari oleh para perumus
konstitusi harus ada batasannya karena kalau tidak dibatasi maka akan menimbulkan
peluang pemerintah (presiden) akan menjadi tiran atau “dictator by accident”, maka hak
tersebut dibatasi dengan ketentuan pada ayat (2) dan (3).
Pengkajian terhadap rumusan “hal ihwal kegentingan” dalam rumusan Pasal 22 tidak dapat
disamakan dengan rumusan “keadaan bahaya” dalam Pasal 12 UUDRI 1945, karena makna
dari kedua rumusan tersebut mengandung pengertian yang berbeda sama sekali. “keadaan
bahaya lebih menekankan pada kondisi terdapat ancaman (dangerous threat), sedangkan
“ihwal kegentingan” lebih menekankan kepada kebutuhan hukum yang mendesak karena
tidak adanya hukum atau hukum yang ada tidak bisa menyelesaikan permasalahan tersebut.
Sifatnya cenderung limited time.
Permasalahan yang mendasar dalam penetapan kegentingan negara adalah apa yang menjadi
tolok ukur untuk menetapkan status kegentingan tersebut? Karena dalam Pasal 22 tidak
terdapat penjelasan tentang keadaan kegentingan atau hal ihwal kegentingan itu.
Parameter yang digunakan di Indonesia dalam rangka mengeluarkan Perpu adalah
berdasarkan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, yang mensyaratkan pada tiga kondisi,
yaitu:
1. Adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat
berdasarkan undang-undang;
2. Undang-undang yang ada tidak memadai untuk menyelesaikan permasalahan hukum
tersebut; dan
3. Undang-undang yang dibutuhkan belum ada (kekosongan hukum) sedangkan untuk
membuat undang-undang membutuhkan prosedur yang lama.
Menurut Jimly Ashiddiqie (Hukum Tata Negara Darurat,hal 207-208), ada tiga unsur yang
membentuk pengertian keadaan bahaya yang menimbukan kegentingan yang memaksa,
yaitu:
1. Unsur ancaman yang membahayakan (dangerous threat);
2. Unsur kebutuhan yang mengharuskan (reasonable necessity);dan
3. Unsur keterbatasan waktu (limited time).
Ketiga unsur ini dapat dikatakan sebagai tolok ukur dari penetapan hal ihwal kegentingan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22 UUDRI 1945.
2. Substansi Perpu Nomor 1 Tahun 2020
Untuk mengetahui isi atau muatan utama dari sebuah peraturan perundang-undangan dalam
kajian ilmu perundang-undangan dapat dilihat pertama kali dari segi penamaannya atau
judul dari peraturan perundang-undangan tersebut, maka ada dua muatan utama dari Perpu
Nomor 1 Tahun 2020, yaitu pertama, Kebijakan Keuangan Negara dan yang kedua,
Stabilitas Sistem Keuangan Negara Untuk Penanganan Pendemi Covid-19.
Dari kedua rumusan utama Perpu Nomor 1 Tahun 2020, dapat diuraikan hal yang diatur
adalah sebagai berikut:
1.sifat penggunaan anggaran;
2.badan atau lembaga pelaksana anggaran
3.alokasi anggaran; dan
4.kebijakan anggaran
a.d.1. sifat penggunaan anggaran dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1, 2. 3 dan 27 yang
menentukan bahwa biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk menyelamatkan perekonomian
dari krisis bukan kerugian negara, pejabat pemerintah terkait pelaksanaan perpu tidak dapat
dituntut perdata ataupun pidana jika melaksanakan tugas berdasarkan itikad baik, dan segala
putusan berdasarkan perpu bukan merupakan objek gugatan ke peradilan tata usaha negara.
a.d.2. badan atau lembaga pelaksana anggaran dalam perpu ini terdiri dari lembaga
pemerintah dan pemerintah daerah, secara khusus disebutkan adalah KSSK (Komite
Stabilitas Sektor Keuangan), Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS).
a.d.3. alokasi anggaran dalam perpu ini dibagi dalam a. Rp 75 triliun untuk intervensi
penanggulangan Covid-19 berupa tambahan belanja kesehatan, pemberian insentif tenaga
kesehatan, dan pemberian alat kesehatan termasuk Alat Pelindung Diri (APD) bagi seluruh
132 rumah sakit rujukan. b. Rp 110 Triliun untuk memperkuat jaring pengaman sosial.
Program tersebut antara lain kenaikan anggaran Keluarga Harapan (PKH), perluasan
Program kartu sembako, peningkatan Kartu Pra Kerja sebanyak 2 kali lipat untuk
masyarakat yang terkena PHK, pembebasan tagihan listrik selama 3 (tiga) bulan untuk 24
juta pelanggan 450VA, dan pemberian diskon 50 persen selama 3 bulan untuk 7 juta
pelanggan 900VA bersubsidi. Juga diberikan Dukungan logistik sembako dan kebutuhan
pokok bagi daerah yang mengalami pembatasan sosial luas atau karantina. c. Rp 70,1 triliun
dukungan insentif dan relaksasi perpajakan bagi sektor dunia usaha yang terdampak dan
termasuk penundaan pembayaran cicilan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Ultra Mikro dan
Penundaan pembayaran pinjaman terutama untuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan
pelaku ekonomi kecil lainnya. Pemerintah juga melakukan penurunan tarif PPh badan dari
25 persen menjadi 22 persen. d. Dukungan pembiayaan anggaran untuk penanganan Covid-
19 sebesar Rp150 triliun dalam rangka mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional.
a.d.4. kebijakan anggaran dilakukan melalui prosedur realokasi dan refocusing anggaran
yang sebelumnya telah ditetapkan dalam APBN Tahun 2020.
3. Penafsiran yang salah akan mengakibatkan tindakan yang salah
Dari uraian sub bahasan di atas, terdapat titik rawan yang dapat menimbulkan permasalahan
dalam pelaksanaan Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yaitu terutama dalam ketentuan Pasal 1,2,3
dan 27 seakan memberikan kekebalan hukum absolut kepada pemerintah untuk melakukan
tindakan yang dianggap perlu dalam rangka menyelamatkan ekonomi negara dalam keadaan
hal ihwal kegentingan. Ketentuan dalam pasal-pasal tersebut jika ditafsirkan salah oleh
pelaksana negara maka akan terjadi penyalahgunaan kewenangan (korupsi yang
dilegitimasi) dan jika ditafsirkan secara salah oleh pihak di luar pemerintah (Kelompok
penekan, oposisi, dan pemerhati kebijakan), maka akan menimbulkan preseden yang tidak
bagus bagi rezim pemerintahan saat sekarang ini yang pada akhirnya bisa mengakibatkan
hilangnya kepercayaan rakyat terhadap rezim pemerintah.(kondisi yang menurut dugaan
penulis, ada pihak-pihak yang berharap akan terjadi).
Untuk menghindari multi tafsir terhadap perpu ini, penulis menekankan pada frasa “itikad
baik”. Itikad baik (Good faith; bona fides) merupakan asas hukum yang terkait dengan
kejujuran, niat baik dan ketulusan hati. Dari pengertian itikad baik ini jelas dituntut semua
aparatur negara dalam kondisi apapun harus mengutamakan kejujuran, ketulusan dan tidak
mementingkan dirinya sendiri. Jika terjadi sebaliknya maka ketentuan bahwa tidak dapat
dituntut baik secara perdata maupun pidana akan gugur dengan sendirinya, akan tetapi jika
dalam tindakannya benar-benar berdasarkan itikad baik (pembuktiannya biasanya di
peradilan) maka mereka akan dilindungi secara hukum, hal ini juga diatur dalam Pasal 50
KUHP disebutkan bahwa "Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan
ketentuan undang-undang, tidak dipidana", sementara dalam pasal 51 ayat 1 KUHP
disebutkan bahwa barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan
yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. Itikad baik dalam perpu ini
dapat ditafsirkan bahwa mereka tidak melakukan perbuatan yang menguntungkan dirinya,
keluarganya atau kelompoknya sendiri.
Apabila perpu ini dilaksanakan sesuai dengan peruntukannya, maka tidak akan terdapat
penyalahgunaan, tetapi apabila oknum penyelenggara negara baik di tingkat pusat maupun
daerah melakukan praktik penyalahgunaan dengan berlindung dibalik perpu, maka ancaman
hukuman berat akan dikenakan ke mereka sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 yang menegaskan bahwa dalam hal tindak pidana
korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana
mati dapat dijatuhkan. Dan ketentuan ini ditambahkan lagi dalam Pasal 4 yang mengatur
bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan pidana.
C. Simpulan
Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dari makalah ini, yaitu:
1. Penetapan hal ihwal kegentingan yang menjadi dasar pembuatan perpu harus dipertegas
batasannya, sehingga tidak menimbulkan potensi terbentuknya pemerintahan tiran
berdasarkan keadaan tertentu;
2. Perlu dibuat peraturan perundang-undangan yang menetapkan tentang keadaan bahaya
dan kedaruratan tertentu, sehingga tidak menimbulkan multi tafsir terhadap kondisi
tersebut;
3. Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, khususnya tentang keadaan tertentu
(Bencana) harus disertai dengan aturan pelaksana yang memuat tentang petunjuk teknis
disertai dengan sistem pengawasan yang melekat, sehingga mengurangi resiko
penyalahgunaan kewenangan.

=Terima kasih=
Inde datae leges be fortiori Omnia possit
“hukum dibuat, jika tidak maka yang terbuat akan mempunyai kekuatan yang tidak
terbatas”

Anda mungkin juga menyukai