Anda di halaman 1dari 2

Mengenal Diversi: Proses Penyelesaian Perkara Pidana Anak di Luar Pengadilan

Oleh : Rahmiati Aulia, S.Psi


Pembimbing Kemasyarakatan Ahli Pertama
Dari Balai Pemasyarakatan Kelas I Padang

Saat ini cukup banyak kejadian tindak pidana yang pelakunya adalah anak-anak. Usianya
beragam dari yang masih di bawah 12 tahun hingga berusia 18 tahun. Tindak pidana yang
dilakukanpun cukup beragam, seperti kasus pencurian, penganiayaan/bullying,
pengrusakan, kecelakaan lalu lintas, narkotika, asusila bahkan pembunuhan yang
dilakukan oleh anak-anak di bawah umur. Fenomena ini seringkali menimbulkan stigma
negatif terhadap anak-anak tersebut. Anak dapat dicap sebagai anak nakal, anak yang
tidak benar, masa depan suram, dan tidak jarang mendapat perlakuan yang diskriminatif
oleh masyarakat. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, sejak
Januari-Februari 2021 terdapat 945 Kasus pidana yang dilakukan oleh Anak. 90 anak
berhasil diselesaikan di luar proses peradilan melalui diversi, 450 anak disalurkan ke
panti sosial dan lainnya, sedangkan 405 lainnya diputus pidana penjara
(http://smslap.ditjenpas.go.id/).

Sebagian masyarakat mungkin masih belum mengetahui bagaimana proses hukum dalam
penanganan perkara anak yang berbeda dengan perkara yang dilakukan oleh orang
dewasa. Sehingga dapat memunculkan prasangka bahwa anak-anak yang melakukan
pidana tidak ditanggapi dengan serius, dimudahkan, bahkan mungkin ada yang berpikir
bahwa anak-anak tidak dapat dihukum. Tidak sedikit yang berpikir bahwa anak
seharusnya mendapat perlakuan yang sama dengan pelaku pidana lainnya, dan dihukum
sesuai “undang-undang yang berlaku.”

Namun pada faktanya pada tahun 2012, negara republik Indonesia sudah mengeluarkan
undang-undang khusus yang mengatur tatacara penanganan Anak yang berkonflik
dengan hukum. Peraturan tersebut dituangkan dalam Undang-Undang RI No. 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengedepankan prinsip keadilan
restoratif. Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan
melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk
bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali
pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Dalam konsep keadilan restoratif,
ditekankan bahwa pidana penjara merupakan upaya terakhir yang bisa dijatuhkan kepada
anak pelaku pidana.
Salah satu implementasi dari keadilan restoratif tersebut adalah dengan pelaksanaan
diversi. Pada proses diversi, pada tahapan awal di tingkat kepolisian, penyidik sudah
menfasilitasi dilakukannya proses musyawarah antara pihak Anak sebagai pelaku,
orangtua, korban dan orangtua/walinya, masyarakat, aparat penegak hukum, Pembimbing
Kemasyarakatan (PK Bapas), dan Pekerja Sosial Profesional (Peksos) untuk mencarikan
alternatif terbaik untuk menyelesaikan perkara yang melibatkan anak tersebut.
Singkatnya, diversi adalah upaya mencari jalan damai yang memiliki kekuatan hukum
yang sah.

Tujuan dari pelaksanaan diversi adalah:


a. Mencapai perdamaian antara korban dan anak;
b. Menyelesaikan perkara anak di luar proses pengadilan;
c. Menghindarkan anak dari proses perampasan kemerdekaan;
d. Mendorong anak untuk berpartisipasi; dan
e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

Akan tetapi tidak semua tindak pidana dapat diberlakukan diversi. Diversi dapat
dilaksanakan apabila : (a) Pelaku Anak diancam pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun;
dan (b) bukan pengulangan tindak pidana. Adapun seseorang bisa dikatakan anak-anak
apabila usianya tidak lebih dari 18 tahun. Selagi memenuhi syarat tersebut, terhadap
perkara anak wajib diupayakan diversi di setiap tingkatan. Diversi wajib diupayakan di
tingkat kepolisian, kejaksaan bahkan di tingkat pengadilan.

Proses diversi sendiri tidak berarti membebaskan anak dari kesalahan yang sudah ia
lakukan. Akan tetapi mencarikan alternatif solusi dengan mempertimbangkan
kepentingan terbaik bagi anak dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya, tanpa
harus merenggut kemerdekaan Anak dengan proses peradilan yang panjang dan berujung
hukuman penjara. Melalui diversi diharapkan dapat memperkecil dampak buruk yang
bisa dialami anak karena berhadapan dengan proses hukum.

Pada praktiknya, hasil keputusan diversi dapat berupa: dengan atau tanpa ganti kerugian,
penyerahan kembali kepada orang tua/wali, keikut sertaan dalam pendidikan/pelatihan
dilembaga pendidikan atau Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (LPKS), dan
pelayanan masyarakat. Dalam hal kesepakatan tercapai, maka setiap pihak fasilitator
dalam proses diversi meminta Penetapan Diversi dari Pengadilan sehingga proses
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara terhadap anak akan dihentikan. Setiap
pihak yang terlibat dalam proses diversi bertanggung jawab dalam mengawasi
pelaksanaan kesepakatan diversi tersebut.

Namun apabila tidak tercapai kesepakatan diversi maka proses pemeriksaan dilanjutkan
dengan tetap mempertimbangkan hak-hak Anak, diantaranya; Anak berhak untuk
didampingi oleh orangtua/wali/kuasa hukumnya, identitas anak harus dirahasiakan,
dipisahkan dari orang dewasa; bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain
yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan derajat/martabatnya; tidak dijatuhi
pidana mati atau pidana seumur hidup; tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali
sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat; hak untuk memperoleh
pendidikan dan pelayanan kesehatan; serta hak-hak lain yang sudah diatur oleh Undang-
undang perlindungan Anak. Selain itu perlu diketahui bahwa dalam UU SPPA juga
disebutkan bahwa Anak hanya boleh ditahan apabila usianya sudah lebih dari 14 tahun.

Anda mungkin juga menyukai