Anda di halaman 1dari 14

TUGAS PERBANKAN

Upaya Restrukturisasi Kredit Bank Terhadap Kredit Macet


Akibat Corona Virus Disease-19 (Covid-19)

Dosen Pengampu:
Dr. Surach Winarni, S.H., M.Hum

Disusun:
Dera Fauziyah (18/437195/PHK/10452)

MAGISTER HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
1

I. Latar Belakang
Dunia perbankan yang merupakan salah satu lembaga keuangan sudah dipersiapkan untuk
mengiringi kebijakan pemerintah untuk menguatkan struktur permodalan usaha bisnis dengan
dilakukannya rekapitulisasi terhadap beberapa bank nasional dengan harapan perbankan nasional
mampu mengembangkan diri sehingga dapat memenuhi permintaan pasar terhadap pinjaman dana
yang diperlukan. Maraknya transaksi bisnis saat ini, maka pelayanan pihak bank terhadap dana
pinjaman yang dibutuhkan oleh pelaku usaha juga meningkat terus. Hal tersebut tidak dapat
dihindari, sebab berdasarkan corak managemen modern untuk mengembangkan usaha itu pada
umumnya harus didukung dengan dana dari pihak luar, sedang modal milik sendiri menempati
prosentasi relative kecil.
Bank dalam memberikan kredit harus melakukannya berdasarkan analisis pemberian kredit
yang memadai, agar kredit-kredit yang diberikan oleh bank itu adalah kredit-kredit yang tidak
mudah menjadi kredit-kredit macet. Bila kredit-kredit yang diberikan oleh suatu bank banyak
mengalami kemacetan, sudah tentu akan melumpuhkan kemampuan bank dalam melaksanakan
kewajibamya terhadap para penyimpan dananya. Kemampuan bank untuk dapat membayar
kembali simpanan dana masyarakat banyak tergantung pula dari kemampuan bank untuk
memperoleh pembayaran kembali kredit-kredit yang diberikan oleh bank tersebut kepada para
nasabah debit.1
Bedasarkan pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan atau di singkat dengan UU Perbankan
menjelaskan bahwa bank dalam memberikat kredit, bank wajib mempunyai keyakinan
berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan nasabah
debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Dalam memperoleh keyakinan
atas itikad, kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya, sebelum memberikan
kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal,
agunan dan prospek usaha dari nasabah debitur.
Berdasarkan pasal 8 ayat (2) UU Perbankan menjelaskan bahwa bank wajib memiliki dan
menerapkan pedoman perkreditan, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Sehingga dalam pemberian kredit harus telah ditempuh prosedur-prosedur yang di atur dalam
Undang-Undang dan kebijakansanaan perkreditan oleh bank.
Kredit diberikan dalam rangka menunjang operasional dunia usaha demi mencapai
produktifitas usaha. Fasilitas kredit tentunya dimanfaatkan oleh pelaku usaha sebagai tambahan
modal dan insentif untuk membantu pelaku usaha meningkatkan kapasitas produksinya hingga

1
Mohammad Chairul Anwar, 2006, Perjanjian Recheduling Dan Restrukturisasi Utang Pada Perjanjian Kredit Bank, Tesis,
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, hlm. 2.
2

membantu memperluas jaringan usaha. Pada praktiknya, dalam memanfaatkan fasilitas kredit,
antara Bank dengan pelaku usaha membuat perjanjian kredit sebagai dasar kesepakatan kedua
belah pihak dalam perjanjian kredit pastinya telah diatur hak dan kewajiban para pihak. Pihak
Bank selaku kreditor berkewajiban menyalurkan kredit sesuai nilai dan mekanisme yang
disepakati sedangkan pelaku usaha selaku debitur berkewajiban mengembalikan nilai kredit plus
bunga sesuai jadwal pembayaran yang disepakati.
Setiap kredit yang disalurkan bank kepada masyarakat berpotensi bank akan mengalami
kerugian apabila debitur tidak membayar tepat waktu dan atau tepat jumlah (risiko kredit), yang
berakibat pada kondisi kredit menjadi kredit bermasalah atau Non Performing Loan ( NPL). Setiap
bank dalam kenyataannya memiliki NPL karena ini merupakan risiko bisnis dan sesuai ketentuan
NPL tidak boleh lebih dari 5% dari total kredit yang disalurkan. Apabila NPL melebihi 5% maka
bank tersebut tidak sehat dan menjadi bank dalam pengawasan khusus Otoritas Jasa Keuangan.
Namun dalam situasi krisis wabah penularan penyakit Corona Virus Disease-19 (Covid-19)
atau disebut Covid-19 semakin meluas, sehingga tidak hanya berdampak pada kondisi kesehatan
masyarakat akan tetapi juga berdampak negatif pada sektor lainnya yaitu dunia usaha. Saat ini
yang turut mengganggu kinerja dunia usaha tentu berdampak juga pada terganggunya proses
pengembalian nilai kredit yang dipinjamkan oleh bank kepada pelaku usaha. Banyak pelaku usaha
kesulitan melakukan pembayaran kredit ke bank akibat dari menurunnya tingkat pendapat mereka,
bahkan ada yang mengalami defisit.
Implikasi pandemi Corona Virus Disease-19 (Covid-19) telah berdampak pula terhadap
memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi
domestik sehingga perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem
Keuangan (KSSK) untuk melakukan tindakan antisipasi (forward looking) dalam rangka menjaga
stabilitas sektor keuangan. Potensi rasio kredit macet atau Non Performing Loan (NPL) berpotensi
melonjak sebagai dampak dari merebaknya pandemi ini di dunia dan Indonesia. Mengantisipasi
hal tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun mengeluarkan aturan pelonggaran kolektivitas
kredit bermasalah.2
Kemudaian Presiden Republik Indonesia memberikan berbagai kemudahan kepada sejumlah
sektor usaha dan masyarakat yang terkena dampak dari pandemi ini. Kemudahan ini diberikan
Presiden setelah mendengar berbagai keluhan dari kalangan pelaku usaha, mulai dari pelaku usaha
mikro kecil dan menengah (UMKM), hingga tukang ojek dan supir taksi. Sebelumnya, pemerintah
melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga sudah memberikan kelonggaran kepada debitur

2
Liputan6.com, Kredit Macet Diprediksi Melonjak Gara-Gara Virus Corona, pada https://www.liputan6.com/bisnis/read/
4194752/kredit-macet-diprediksi-melonjak-gara-gara-virus-corona, diakses pada tanggal 28 April 2020 pukul 14.00 WIB
3

3
perbankan. Pemberian stimulus tersebut tertuang dalam Peraturan OJK No.11/POJK.03/2020
tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak
Penyebaran Corona Virus Disease-19 (Covid-19). Dengan terbitnya POJK tersebut maka
pemberian stimulus untuk industri perbankan sudah berlaku sejak 13 Maret 2020 sampai dengan
31 Maret 2021.
Dalam situasi krisis yang nyaris melanda seluruh sektor dunia usaha, perbankan diharapkan
dapat proaktif dalam mengidentifikasi debitur-debiturnya yang terkena dampak penyebaran
Corona Virus Disease-19 (Covid-19) dan segera menerapkan POJK stimulus tersebut dengan
mengeluarkan kebijakan penyehatan kredit atau restrukturisasi kredit. Tindakan restrukturisasi
kredit ini memiliki landasarn hukum, yaitu salah satunya diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
No.7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Aktiva Bank Umum.
Keadaan pandemi tersebut dianggap oleh debitur sebagai force majeure (keadaan tidak
terduga), sehingga dapat dijadikan landasan debitur yang tidak melaksanakan prestasinya atas
situasi akibat kondisi krisis diluar penguasaan debitur. Sehingga jika merujuk pada kondisi seperti
ini yang begitu masif hingga berdampak pada kontraksi tersebut tidak dipenuhinya kewajiban
kredit bukan disebabkan itikad buruk semata dari debitur malainkan adanya faktor eksternal yang
mengakibatkan debitur tidak dapat memenuhi prestasinya.
Berdasarkan hal tersebut perlu dilihat terlebih dahulu isi perjanjian kredit yang mengatur
mengenai force majeure (keadaan tidak terduga), kemudian jangan sampai upaya restrukturisasi
kredit yang diharapkan bertujuan untuk mengendalikan atau meminimalisir risiko kredit justru
berpotensi lebih meningkatkan risiko akibat upaya tersebut. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk
menganalisis terkait dengan upaya restrukturisasi kredit bank terhadap kredit macet akibat Corona
Virus Disease-19 (Covid-19).

II. Permasalahan
1. Apakah Corona Virus Disease-19 (Covid-19) sebagai keadaan force majeure dalam
perjanjian kredit bank?
2. Bagaimanakah upaya restrukturisasi kredit terhadap kredit macet akibat Corona Virus
Disease-19 (Covid-19)?

3
Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia, Mau Dapat Kredit Pahami Dulu Aturan Berikut Ini, pada https://www.
cnbcindonesia.com/news/20200328163353-4-148183/mau-dapat-penundaan-kredit-pahami-dulu-aturan-berikut-ini,
diakses pada tanggal 30 April 2020 pukul 13.00 WIB.
4

III. Pembahasan
A. Keadaan Force Majeure Menurut Perjanjian Kredit Bank
Di dalam suatu perjanjian, klausul force majeure merupakan sebuah hal umum yang
biasa dituangkan ke dalam perjanjian. Secara etimologi force majeure berasal dari bahasa
Perancis yang berarti “kekuatan yang lebih besar”, sedangkan secara terminologi adalah
suatu kejadian yang terjadi di luar kemampuan manusia dan tidak dapat dihindarkan
sehingga suatu kegiatan tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinnya. Dalam konteks
hukum perdata force majeure adalah suatu kondisi dimana seseorang tidak dapat
menjalankan kewajibannya bukan karena ia sengaja atau lalai, melainkan karena ada hal-hal
yang ada di luar kuasanya dan mempengaruhi dirinya untuk tidak menjalankan
kewajibannya (overmacht).
Ketentuan mengenai force majeure ini secara umum tertuang dalam Pasal 1244 dan
Pasal 1245 KUHPerdata yang dimana intinya membebaskan debitur dari segala biaya, rugi
dan bunga sepanjang debitur dapat membuktikan adanya keadaan memaksa (force majeure).
Force majeure merupakan keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan
prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak,
keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur,
sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan beriktikad buruk. Adapun macam-macam
keadaan memaksa, yaitu sebagai berikut:4
1. Keadaan memaksa yang absolut (absolut onmogelijkheid) merupakan suatu keadaan
dimana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur,
oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar;
2. Kadaan memaksa yang relatif (relatieve onmogelijkheid) suatu keadaan yang
menyebabkan debitur mungkin untuk melaksanakan prestasinya.
Dalam yurisprudensi Mahkamah Agung keadaan memaksa harus memenuhi unsur-
unsur tertentu hal mana juga dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Agung
No.409K/Sip/1983 tertanggal 25 Oktober 1984 dalam kasus antara Rudy Suardana v.
Perusahaan Pelayaran Lokal PT Gloria Kalimantan Timur pada intinya Majelis Hakim
berpendapat bahwa keadaan memaksa harus memenuhi unsur sebagai berikut:
1. Tidak terduga;
2. Tidak dapat dicegah oleh pihak yang harus memenuhi kewajiban atau melaksanakan
perjanjian; dan
3. Di luar kesalahan dari pihak tersebut.

4
Subekti R, 2003, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, hlm. 150
5

Secara sempit force majeure memang identik dengan peristiwa alam (act of god) yang
menyebakan seseorang tidak dapat menjalankan kewajibannya dengan alasan terjadinya
bencana. Namun pada perkembangannya force majeure juga dimaknai secara luas, hal ini
dapat terlihat dalam putusan Mahkamah Agung No. 3389K/Pdt/1984 yang mana salah satu
intisari yang dapat diambil adalah menyatakan bahwa tindakan administratif penguasa yang
sah dalam arti kebijakan Pemerintah secara mendadak yang tidak dapat diprediksi oleh para
pihak juga dapat dikualifikasikan sebagai force majeure.
Dalam sebuah hubungan kontraktual setiap pihak-pihak yang menyepakati suatu
perjanjian wajib menjalankan seluruh ketentuan yang tertuang dalam perjanjian tersebut.
para pihak harus menunaikan kewajibannya serta mendapatkan hak-haknya yang diatur
dalam perjanjian tersebut, sehingga hal tersebut pun berlaku dalam perjanjian kredit.Dalam
perjanjian biasanya juga diatur mengenai konsekuensi dari adanya peritiwa force majeure,
seperti adanya penundaan prestasi atau pembatalan suatu perjanjian.
Dalam perjanjian kredit bank ada yang mengatur pasal tentang force majeure ada juga
yang tidak mengatur pasal tentang force majeure, namun mayoritas bank tidak mengatur
pasal force majeure dalam perjanjian kredit, karena isi dari perjanjian kredit tidak ada
pengaturannya sehingga adanya kebebasan berkontrak dalam membuat perjanjian kredit.
Alasan lain terkait tidak diaturnya pasal force majeure dalam perjanjian kredit bank karena
nantinya akan memberikan kesempatan bagi debitur untuk tidak membayar kredit ketika
terjadi force majeure. Sumber bank dalam memberikan dana kredit yaitu dari nasabah,
andai kata debitur tidak membayar kredit bagaimana bank bisa mengembalikan dana-dana
nasabah penabung (deposan dan giran). Sehingga hal tersebut menjadi pertimbangan bagi
bank dalam membuat perjanjian kredit.
Kemudian dalam kondisi saat ini, dimana pandemi Corona Virus Disease-19 (Covid-
19) yang meluluhlantakkan seluruh sendi-sendi sosial dan khususnya pelaku usaha.
Fenomena ini menghantam para pelaku usaha yang berimbas pada tidak dapatnya mereka
menjalankan usahanya dengan normal, sehingga terhambatnya pembayaran kredit dan
menjadi kredit macet. Bedasarkan pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2007 Tentang Penanggulangan Bencana atau UU Penanggulangan Bencana menjelaskan
bahwa bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan
wabah penyakit.
Sehingga dapat disimpulkan menurut UU Penanggulangan Bencana, epidemi dan
wabah penyakit dapat dikualifikasikan sebagai bencana non alam yang disebabkan
rangkaian peristiwa non alam. Sehingga dalam hal ini sangatlah relevan untuk menggunakan
6

pernyataan Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization yang telah menyatakan


bahwa Corona Virus Disease-19 (Covid-19) adalah sebuah pandemi. Hal ini juga dikuatkan
dengan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang penetapan Corona Virus
Disease-19 (Covid-19) sebagai bencana nasional. Perlu diketahui terdapat perbedaan definisi
antara wabah, epidemi dan pandemi. Wabah adalah penyakit yang tersebar namun masih
dapat diantisipasi. Adapun epidemi adalah penyakit yang tersebar dalam jumlah besar yang
tersebar dalam suatu area geografis. Kemudian pandemi sebuah penyakit dengan
persebarannya hingga tingkat internasional.
Dengan demikian dapatlah kita definisikan bahwa Corona Virus Disease-19 (Covid-
19) merupakan sebuah bencana non alam. Tetapi hal tersebut belum dapat mengafirmasi
bahwa Corona Virus Disease-19 (Covid-19) yang merupakan bencana non alam dapat
dikualifikasikan sebagai force majeure. Kemudian yang terpenting untuk diketahui adalah
melihat unsur-unsur keadaan memaksa yaitu tidak dikehendakinya wabah ini, wabah ini
dapat menghambat salah satu pihak menjalankan kewajibannya serta yang terakhir tidak
adanya unsur kesengajaan atau kelalaian yang membuat salah satu pihak tidak dapat
menjalankan kewajibannya.
Sehingga dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa Corona Virus Disease-19
(Covid-19) yang terjadi dan menyebar ini dapat dikualifikasikan sebagai force majeure.
Meskipun tidak diatur dalam perjanjian kredit, dengan memperhatikan sifat serta unsur-
unsurnya Corona Virus Disease-19 (Covid-19) dapat dikualifikasikan sebagai force
majeure. Meskipun Corona Virus Disease-19 (Covid-19) bisa saja dikualifikasikan sebagai
force majeure, hal tersebut belumlah cukup untuk dapat membuktikan bahwa salah satu
pihak dalam perjanjian kredit dapat dilepaskan dari tanggung jawab melakukan ganti rugi
karena tidak dapat menjalankan kewajibannya karena force majeure.
Hal tersebut merupakan fase dimana para ahli hukum harus menelaah secara
komprehensif untuk menyimpulkan bahwa tidak dilaksanakannya kewajiban salah satu
pihak terjadi karena adanya force majeure. Seperti halnya perlu dibedakan terlebih dahulu
antara keadaan memaksa karena adanya Corona Virus Disease-19 (Covid-19) dan keadaan
memaksa berupa kebijakan pemerintah yang ditetapkan berdasarkan pandemi Corona Virus
Disease-19 (Covid-19).
Dengan adanya pamdemi Corona Virus Disease-19 (Covid-19) ini pemerintah
membuat kebijakan untuk menutup akses ke suatu daerah yang melarang siapapun untuk
masuk atau keluar dari daerah tersebut. Sehingga pelaku usaha terhambat dalam
menjalankan usahanya yang mengakibatkan kurangnya pendapatan dan tidak terpenuhnya
kewajiban sebagai debitur untuk membayar kredit bank.
7

Pada intinya yang perlu dipahami bahwa tidaklah mudah untuk membuktikan pandemi
Corona Virus Disease-19 (Covid-19) yang terjadi membebaskan salah satu pihak dari
kewajiban mengganti rugi atau membenarkan pihak lainnya untuk tidak menjalankan
kewajibannya. Oleh karena itu, perlu dibuktikan adanya hubungan sebab akibat yang nyata
antara adanya pandemi Corona Virus Disease-19 (Covid-19) dengan ketidakmampuan untuk
menjalankan kewajiban.
Dapat disimpulkan bahwa Corona Virus Disease-19 (Covid-19) yang telah ditetapkan
oleh Pemerintah sebagai bencana nasional dapat dikualifikasikan sebagai force majeure,
namun tidak secara otomatis sebagai force majeure karena tidak diatur dalam perjanjian
kredit. Namun hal tersebut tidaklah cukup untuk menjadi dasar bahwa salah satu pihak dalam
perjanjian kredit menjadi dapat menunda pelaksanaan kewajibannya. Dalam hal ini perlulah
dibuktikan adanya hubungan kausalitas secara langsung antara wabah Corona Virus
Disease-19 (Covid-19) beserta dengan kebijakan Pemerintah dalam menanggulangi pademi
ini yang berakibat pada ketidakmampuan untuk menjalankan kewajiban dalam suatu
perjanjian kredit.

B. Upaya Restrukturisasi Kredit Bank Terhadap Kredit Macet Akibat Covid-19


Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. 5 Kredit adalah suatu pemberian prestasi
oleh suatu pihak kepada pihak lainnya dan prestasi itu akan dikembalikan lagi pada suatu
masa tertentu yang akan datang disertai dengan suatu contra prestasi berupa bunga”.6
Restrukturisasi Kredit adalah upaya perbaikan yang dilakukan Bank dalam
kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi
kewajibannya. 7 Restrukturisasi dimaksudkan untuk membantu debitur dalam hal
menyelesaikan kewajiban utang-utang nya sampai dengan utang-utang tersebut lunas.
Terhadap kredit-kredit bermasalah tersebut diperlukan penanganan dengan segera oleh
pihak bank agar tidak berkelanjutan menjadi kredit macet (non performing loan) yang jika
persentasenya terus meningkat akan dapat mempengaruhi tingkat kesehatan suatu bank.
Namun restrukturisasi kredit itu juga berpotensi menimbulkan risiko kredit bermasalah
bagi bank. Dalam perbankan dikenal kualitas kredit, yang disusun berdasarkan penilaian

5
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
6
Muchdarsah Sinungan, 2003, Dasar-Dasar dan Teknik Manajemen Kredit, Bina Aksara, Jakarta, hlm.3.
7
Pasal 1 angka 25 Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum.
8

prospek usaha, kinerja debitur, dan kemampuan membayar. Ada 5 (lima) kualitas kredit:
kredit lancar atau:
1. kolektibilitas 1 (dengan cadangan minimal 1% dari aktiva), kredit dalam perhatian
khusus atau
2. kolektibilitas 2 (minimal 5% dari aktiva setelah dikurangi nilai agunan), kredit kurang
lancar atau
3. kolektibilitas 3 (minimal 15% dari aktiva setelah dikurangi nilai agunan), kredit
diragukan atau
4. kolektibilitas 4 (minimal 50% dari aktiva setelah dikurangi nilai agunan), dan kredit
macet atau
5. kolektibilitas 5 (minimal 100% dari aktiva setelah dikurangi nilai agunan).
Dari 5 (lima) kualitas kredit di atas yang temasuk ke dalam non performing loan
(NPL) adalah kredit kolektibilitas 3, 4, dan 5. Sehingga diperlukannya strategi dalam
menerapkan restrukturisasi kredit supaya dapat mengendalikan non performing loan (NPL)
yang terlalu tinggi.
Sebagai salah satu upaya dalam penyelamatan kredit bermasalah, bank selaku kreditur
harus melakukan restrukturisasi pada kesempatan pertama, dan memberikan penjelasan
kepada debitur tentang keuntungan dilakukannya restrukturisasi baik bagi dirinya maupun
bagi bank, agar kredit-kredit yang bermasalah tersebut tidak menjadi pemberat yang
menghabiskan biaya PPAP (Penyisihan Penghapusan Aset Produktif) setiap bulanya. Dalam
pelaksanaannya, restrukturisasi kredit diterapkan kepada debitur yang memiliki kesulitan
pembayaran terhadap nilai pokok kredit dan bunga kredit. Namun pengenaan restrukturisasi
tersebut juga mempertimbangkan kemampuan debitur melakukan pembayaran kredit setelah
direstrukturisasi.
Dalam situasi pandemi Corona Virus Disease-19 (Covid-19) yang nyaris melanda
seluruh sektor dunia usaha, penting bagi bank untuk mengeluarkan kebijakan
restrukturisasi kredit. Tindakan melakukan restrukturisasi kredit ini memiliki
landasan hukum, yaitu salah satunya diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor:
7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. Langkah-langkah yang
diperlukan agar kualitas aktiva senantiasa baik antara lain dengan cara menerapkan
manajemen risiko kredit secara efektif, termasuk penyusunan kebijakan dan pedoman
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Peraturan Bank Indonesia tersebut memberikan kewenangan bagi bank untuk
melakukan restrukturisasi kredit dalam rangka mengelola risiko kredit dan meniminalisir
risiko kredit macet. Kemudian Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berinisiatif mengeluarkan
9

kebijakan untuk memberikan stimulus perekonomian di sektor perbankan. Kebijakan


tersebut tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan RI Nomor 11/POJK.03/2020
Tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercylical Dampak
Penyebaran Corona Virus Disease-19 (Covid-19) yang ditetapkan pada tanggal 13 Maret
2020. Peraturan tersebut sebagai upaya mendorong dan meningkatkan peran dan fungsi bank
sebagai intermediasi khsususnya di tengah krisis wabah saat ini. Dalam POJK tersebut, bank
memiliki kewenangan membuat 2 bentuk kebijakan, diantaranya; kebijakan penetapan
kualitas asset dan kebijakan restrukturisasi kredit atau pembiayaan.
Berdasarkan penjelasan force majeure yag sudah dijelaskan di atas, debitur harus
terlebih dahulu membuktikan kalau dampak penyebaran Corona Virus Disease-19 (Covid-
19) benar-benar berdampak kepada sektor usahanya. Setelah itu debitur harus
mempersiapkan proposal pengajuan restrukturisasi kredit kepada pihak bank yang
menjelaskan dampak penyebaran pandemi ini terhadap usahanya termasuk potensi
pemutusan hubungan kerja di lingkungan perusahaan apabila kondisi keuangan debitur terus
memburuk.
Maka kebijakan restrukturisasi ini harus dipandang sebagai kebijakan pengendalian
risiko agar terhindar dari krisis yang berkepanjangan. Selama proses restrukturisasi, pihak
bank juga wajib menerapkan prinsip kehati-hatian sekaligus menerapkan manajemen risiko
yang efektif dan ketat. Tujuannya agar kebijakan reskturisasi yang akan dijalankan dapat
terhindar dari risiko penyalahgunaan penerapan aturan (moral hazard) yang dapat
disalahgunakan oleh oknum-oknum debitur yang tidak bertanggung jawab. Jangan sampai
kebijakan restrukturisasi kredit yang harapannya bertujuan untuk mengendalikan atau
meminimalisir risiko kredit macet justru berpotensi lebih menigkatkan risiko akibat tidak
diterapkannya manajemen risiko dengan baik.
Upaya restrukturisasi kredit terkait dampak Corona Virus Disease-19 (Covid-19) di
atur dalam POJK Nomor11/POJK.03/2020 yang mengatur bahwa debitur yang mendapatkan
perlakuan khusus dalam POJK ini adalah debitur (termasuk debitur UMKM) yang
mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban pada Bank karena debitur atau usaha
debitur terdampak penyebaran pandemi ini baik secara langsung ataupun tidak langsung
pada sektor ekonomi antara lain pariwisata, transportasi, perhotelan, perdagangan,
pengolahan, pertanian, dan pertambangan. Dalam POJK ini jelas diatur bahwa pada
prinsipnya bank dapat melakukan restrukturisasi untuk seluruh kredit/pembiayaan kepada
seluruh debitur, termasuk debitur UMKM, sepanjang debitur-debitur tersebut teridentifikasi
terdampak pandemi ini. Pemberian perlakuan khusus tersebut tanpa melihat batasan plafon
kredit/pembiayaan.
10

Secara umum dalam pemberian restrukturisasi, bank mengacu pada POJK penilaian
kualitas asset. Namun dalam penerapan ataupun skema restrukturisasinya dapat bervariasi
dan sangat ditentukan oleh kebijakan masing-masing bank tergantung pada asesmen
terhadap profil dan kapasitas membayar debiturnya. Agar dapat dipahami juga oleh
masyarakat bahwa OJK menekankan kepada seluruh bank agar dalam pemberian kebijakan
restrukturisasi ini dilakukan secara bertanggungjawab dan agar tidak terjadi moral hazard.
Sebagai suatu ilustrasi bentuk moral hazard dan pemberian restrukturisasi yang tidak
bertanggungjawab antara lain adalah kebijakan restrukturisasi diberikan kepada nasabah
yang sebelum merebaknya Corona Virus Disease-19 (Covid-19) sudah bermasalah namun
memanfaatkan stimulus ini dengan memberikan restru agar status debiturnya menjadi lancar,
sehingga tindakan tidak terpuji ini yang harus dihindari oleh bank.
Kualitas kredit/pembiayaan yang direstrukturisasi dapat ditetapkan lancar apabila
diberikan kepada debitur yang teridentifikasi terkena dampak penyebaran Corona Virus
Disease-19 (Covid-19. Restrukturisasi kredit/pembiayaan dilakukan mengacu pada POJK
mengenai penilaian kualitas aset, antara lain dengan cara:
1. penurunan suku bunga;
2. perpanjangan jangka waktu;
3. pengurangan tunggakan pokok;
4. pengurangan tunggakan bunga;
5. penambahan fasilitas kredit/pembiayaan; dan/atau
6. konversi kredit/pembiayaan menjadi Penyertaan Modal Sementara.
Berbagai skema tersebut diserahkan sepenuhnya kepada bank dan sangat tergantung
pada hasil identifikasi bank atas kinerja keuangan debitur ataupun penilaian atas prospek
usaha dan kapasitas membayar debitur yang terdampak Corona Virus Disease-19 (Covid-
19. Jangka waktu restrukturisasi ini sangat bervariasi tergantung pada asesmen bank
terhadap debiturnya dengan jangka waktu maksimal 1 (satu) tahun.
Pelaksanaan restrukturisasi ini diprioritaskan untuk debitur yang memiliki itikad baik
dan terdampak akibat Corona Virus Disease-19 (Covid-19. Beberapa hal penting yang wajib
diketahui adalah sebagai berikut:
1. Debitur wajib mengajukan permohonan restrukturisasi melengkapi dengan data yang
diminta oleh bank yang dapat disampaikan secara online (email/website yang
ditetapkan oleh bank) tanpa harus datang bertatap muka.
2. Bank akan melakukan assesment antara lain terhadap apakah debitur termasuk yang
terdampak langsung atau tidak langsung, historis pembayaran pokok/bunga.
11

3. Bank memberikan restrukturisasi berdasarkan profil debitur untuk menentukan pola


restrukturisasi atau perpanjangan waktu, jumlah yang dapat direstrukturisasi termasuk
jika masih ada kemampuan pembayaran cicilan yang nilainya melalui penilaian
dan/atau diskusi antara debitur dengan bank. Hal ini tentu memperhatikan pendapatan
debitur yang terdampak akibat Corona Virus Disease-19 (Covid-19. Informasi
persetujuan restrukturisasi dari bank disampaikan secara online atau via website bank
yang terkait.

IV. Kesimpulan dan Saran


A. Kesimpulan
1. Corona Virus Disease-19 (Covid-19) yang telah ditetapkan oleh Pemerintah sebagai
bencana nasional dapat dikualifikasikan sebagai force majeure, namun tidak secara
otomatis sebagai force majeure karena tidak diatur dalam perjanjian kredit. Namun hal
tersebut tidaklah cukup untuk menjadi dasar bahwa salah satu pihak dalam perjanjian
kredit menjadi dapat menunda pelaksanaan kewajibannya. Dalam hal ini perlulah
dibuktikan adanya hubungan kausalitas secara langsung antara wabah Corona Virus
Disease-19 (Covid-19) beserta dengan kebijakan Pemerintah dalam menanggulangi
Corona Virus Disease-19 (Covid-19) yang berakibat pada ketidakmampuan untuk
menjalankan kewajiban dalam suatu perjanjian kredit.
2. Upaya restrukturisasi kredit dalam situasi pandemi Corona Virus Disease-19
(Covid-19) mempunyai lamdasan hukum yaitu PBI Nomor: 7/2/PBI/2005 dan
POJK Nomor 11/POJK.03/2020. Debitur harus terlebih dahulu membuktikan kalau
dampak penyebaran pandemi ini benar-benar berdampak kepada sektor usahanya.
Setelah itu debitur harus mempersiapkan proposal pengajuan restrukturisasi kredit
kepada pihak bank yang menjelaskan dampak penyebaran pandemi ini terhadap
usahanya termasuk potensi pemutusan hubungan kerja di lingkungan perusahaan
apabila kondisi keuangan debitur terus memburuk. Restrukturisasi kredit/pembiayaan
dilakukan mengacu pada POJK mengenai penilaian kualitas aset, antara lain dengan
cara: penurunan suku bunga, perpanjangan jangka waktu, pengurangan tunggakan
pokok, pengurangan tunggakan bunga, penambahan fasilitas kredit/pembiayaan;
dan/atau, konversi kredit/pembiayaan menjadi Penyertaan Modal Sementara.
B. Saran
Adapun saran yang dapat penulis kemukakan setelah mengamati mengenai
restrukturisasi kredit dalam menangani kredit bermasalah akibat Corona Virus Disease-19
(Covid-19) adalah sebagai berikut:
12

1. Kepada pihak Bank harus lebih menekankan prinsip kehati-hatian bank dalam
melaksanakan restrukturisasi tersebut, agar kebijakan reskturisasi yang akan
dijalankan dapat terhindar dari risiko penyalahgunaan penerapan aturan (moral hazard)
yang dapat disalahgunakan oleh oknum-oknum debitur yang tidak bertanggung jawab.
2. Kepada para nasabah debitur, kebijakan restrukturisasi yang diberikan oleh
Pemerintah atau OJK diterapkan dengan sebaik-baiknya, dan sebelum mengajukan
restrukturisasi harus dipertanyakan dahulu mengenai syarat atau ketentuannya supaya
tidak terjadi miskominikasi dan sengketa kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Subekti R, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2003.

Muchdarsah Sinungan, Dasar-Dasar dan Teknik Manajemen Kredit, Bina Aksara, Jakarta, 2003.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang penetapan Corona Virus Disease-19 (Covid-19)
Peraturan Bank Indonesia No.7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Aktiva Bank Umum.
Peraturan OJK No.11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan
Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease-19 (Covid-19)

PUTUSAN PENGADILAN

Putusan Mahkamah Agung No.409K/Sip/1983 tertanggal 25 Oktober 1984 dalam kasus antara
Rudy Suardana v. Perusahaan Pelayaran Lokal PT Gloria Kalimantan Timur.

TESIS

Mohammad Chairul Anwar, Perjanjian Recheduling Dan Restrukturisasi Utang Pada Perjanjian
Kredit Bank, Tesis, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2006.

WEBSITE

Liputan6.com, Kredit Macet Diprediksi Melonjak Gara-Gara Virus Corona, pada


https://www.liputan6.com/bisnis/read/ 4194752/kredit-macet-diprediksi-melonjak-gara-gara-
virus-corona, diakses pada tanggal 28 April 2020 pukul 14.00 WIB
Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia, Mau Dapat Kredit Pahami Dulu Aturan Berikut Ini, pada
https://www. cnbcindonesia.com/news/20200328163353-4-148183/mau-dapat-penundaan-
kredit-pahami-dulu-aturan-berikut-ini, diakses pada tanggal 30 April 2020 pukul 13.00 WIB.

Anda mungkin juga menyukai